• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERHENTIAN PRESIDENDAN/ATAU WAKIL PRESIDEN MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Oleh : Heru Drajat Sulistyo Fakultas Hukum Universitas Soerjo Ngawi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBERHENTIAN PRESIDENDAN/ATAU WAKIL PRESIDEN MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Oleh : Heru Drajat Sulistyo Fakultas Hukum Universitas Soerjo Ngawi"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERHENTIAN PRESIDENDAN/ATAU

WAKIL PRESIDEN MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Oleh :

Heru Drajat Sulistyo Fakultas Hukum Universitas Soerjo Ngawi A. ABSTRAC

Dismissal of the President and / or Vice- President has been regulated in the Act of 1945 Dismissal of the President and / or Vice President shall be proposed by the House of Representatives (DPR) to the People's Consultative Assembly (MPR). Prior to the filing of the dismissal to the MPR, DPR must first submit an application to the Constitutional Court (MK). Dismissal of the President and / or Vice-President has been provided for in Article 7 B of the 1945 Constitution . Furthermore, the authors examine the relationship of the rule of law (Article 1 , paragraph 3 of the 1945 Constitution) with a mechanism impeach the President and/ or Vice President (Section 7 B 1945) in Indonesian

The purpose of this study was to describe the use of the right of inquiry in the dismissal of the President and / or Vice President , and discover a new concept in the field of law relating to dismissal constitutional President and / or Vice President.

This study is a normative legal research, and using qualitative

descriptive analysis.

Dismissal of the President and / or Vice President through several stages in the three state institutions , namely the Parliament, the Court and the Assembly as set in Section 7B of the 1945 Constitution. Article 78 paragraph ( 3 ) and paragraph ( 7 ) of the 1945 Constitution contrary to the principles of rule of law

B. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

Secara konstitusional,

aturan mengenaipemberhentian

Presiden dan/atau Wakil

Presiden telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Bangsa Indonesia sejak

merdeka tahun 1945, telah

beberapa kali terjadi

pember-hentian Presiden. Presiden

pertama Soekarno, diberhentikan berdasarkan TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967.Presiden

Soeharto (presiden kedua)

menyatakan berhenti sebagai

Presiden setelah secara de facto

rakyat tidak mendukungnya.

Presiden K.H. Abdurrahman

(2)

sebutan “Gus Dur” diberhentikan berdasarkan TAP MPR Nomor II/MPR/2001.

Dalam perspektif UUD 1945 yang telah diamandemen, proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus

diusulkan oleh Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR)

kepada Majelis

Permusya-waratan Rakyat (MPR). Namun

sebelum proses pengajuan

pemberhentian kepada MPR,

terlebih dahulu DPRharus

mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebelum upaya pengajuan

pemberhentian diajukan ke

MPR, maka DPR terlebih dahulu

menggunakan hak angket

sebagai upaya penyelidikan

terhadap kebijakan Presiden

dan/atau Wakil Presiden.

Kemudian DPR menggunakan

hak menyatakan pendapat

sebagai pintu masuk DPR untuk

membawa Presiden dan/atau

Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi.

Praktek ketatanegaraan di

Indonesia dalam penegakkan

hukum dilakukan secara

prosedural. Upaya DPR

mengajukan ke Mahkamah

Konstitusi mengenai dugaan

DPR atas dugaan pelanggaran

konstitusi oleh Presiden

dan/atau Wakil Presiden masih terkendala pada proses politik di

DPR dengan mekanisme

pemungutan suara. Implikasinya

terdapat kontradiksi antara

ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD

1945 menyatakan “Negara

Indonesia adalah negara hukum”, dengan ketentuan Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 menyatakan “ Pengajuan permintaan Dewan

Perwakilan rakyat kepada

Mahkamah Konstitusi hanya

dapat dilakukan dengan

dukungan sekurang-kurangnya

2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam persidangan yang dihadiri

sekurang-kurangnya 2/3 dari

jumlah anggota Dewan

Perwakilan Rakyat”.

Kemudian, permohonan

DPR atas pelanggaran konstitusi

yang dilakukan Presiden

dan/atau Wakil Presiden telah berhasil diajukan ke Mahkamah Konstitusi, selanjutnya

Mahka-mah Konstitusi memutuskan

bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah inkonstitusional dengan melanggar Pasal 7A UUD 1945, maka tidak serta merta Presiden dan/atau Wakil

Presiden dapat diberhentikan

sejak dibacakan putusan

Mahkamah Konstitusi. Proses

selanjutnya pada sidang

paripurna MPR. Pengambilan

keputusan untuk

member-hentikan Presiden dan/atau

Wakil Presiden harus dihadiri 2/3 dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh

(3)

sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah

anggota MPR yang hadir.

Implikasinya, apakah MPR

sebagai lembaga politik mampu menjunjung tinggi supremasi hukum sebagaimana Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”, sehingga melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi ?

Penulis melakukan

pene-litian untuk mengetahui

hubungan antara prinsip negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD

1945 menyatakan “Negara

Indonesia adalah negara

hukum”) dengan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau

Wakil Presiden sebagaimana

diatur dalam Pasal 7B UUD 1945.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah penggunaan

hak angketdan hak

menyatakan pendapat oleh DPR yang dilanjutkandengan

proses pemerikasaan di

Mahkamah Konstitusi ? b. Apakah ketentuan Pasal 7B

ayat (7) UUD 1945 (mengatur

pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden di sidang paripurna MPR ) sudah sesuai denganPasal 1 ayat (3) UUD 1945 (Negara Indonesia adalah negara hukum) ?

3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian adalah :

a. Untuk menjelaskan

penggu-naan hak angket dalam

pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden.

b. Untuk melakukan analisis

mengenai prinsip negara

hukum dengan mekanisme

pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden di Indonesia.

c. Untuk menemukan konsep

baru dibidang hukum

ketetanegaraan berkaitan

dengan pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil

Presiden.

4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah

a. Penelitian ini dapat

memberikan sumbangan

pemikiran yang seharusnya

dilakukan dalam hukum

ketatanegaraan tentang

pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden.

b. Penelitian ini dapat

menjelaskan hukum positif Indonesia berkaitan dengan

mekanisme politik hukum

pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden

Indonesia.

c. Penelitian ini dapat

menjelaskan implementasi

praktek pemberhentian

(4)

Presiden di Indonesia sehingga tetap sesuai dengan asas negara hukum Indonesia.

C. TINJAUAN PUSTAKA 1. Teori Negara Hukum

Perkembangan konsep

negara hukum merupakan

produk dari sejarah sebab

rumusan atau pengertian negara itu terus berkembang mengikuti perkembangam umat manusia, karena itu untuk memahami konsep negara hukum perlu

mengetahui perkembangan

politik hukum yang mendorong lahir dan berkembangnya konsep negara hukum.

Ditinjau dari perspektif historis perkembangan pemikiran

filsafat hukum dan

ketatanegaraan, gagasan mengenai

negara hukum sudah

berkembang semenjak 1800 SM,

akar terjauh mengenai

perkembangan awal pemikiran negara hukum adalah pada masa yunani kuno.Gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan tradisi yunani kuno menjadi

sumber gagasan kedaulatan

hukum. (Jimly Asshidiqie,2010:11) Pada masa Yunani kuno pemikiran tentang negara hukum dikembangkan oleh para filsuf besar Yunani seperti Plato (429-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM).

Menurut Budiono Kusumo Hamidjojo (Budiono Kusumo

Hamidjojo,2004:56)dalam buku-nya Politikos, Plato menguraikan

bentuk-bentuk pemerintahan

yang mungkin dijalankan. Pada

dasarnya ada dua macam

pemerintahan yang dapat

diselenggarakan, yaitu

pemerintahan yang dibentuk

melalui jalan hukum dan

pemerintahan yang terbentuk

tidak melalui jalan hukum.

Konsep negara hukum

menurut Aristoteles adalah

negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada

warga negaranya.Keadilan

merupakan syarat tercapainya

kebahagiaan hidup untuk

warganya dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susilakepada setiap manusia agar menjadi warga negara yang

baik.(Moh. Kusnadi dan

Harmaily Ibrahim,1988:23) Selanjutnya teori negara hukummulai berkembang saat munculnya pemikiran tentang teori hukum alam, yang tumbuh di Eropa pada abad ketujuh belas

hingga abad ke Sembilan

belas.Secara umum dalam teori negara hukum dikenal adanya dua macam konsepsi tentang negara hukum, yang terdiri dari konsep negara hukum dalam arti rechstaat, dan negara hukum dalam pengertian sebagai the rule of lawatau rule of law.Istilah rechstaat dikenal dalam

(5)

negara-negara Eropa Kontinental (Belanda, Jerman, Perancis).

Konsep rechstaatmuncul

dari Friedrich Julius Stahl yang diilhami oleh Immanuel Kant.

Menurut Stahl (Ridwan

HR,2006:3) unsur-unsur

rechstaatyaitu:

a. Perlindungan hak-hak asasi manusia;

b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;

c. Pemerintahan berdasarkan

peraturan

perundang-undangan dan

d. Peradilan administrasi negara Selanjutnya, rule of law

merupakan konsep negara

hukum yang tumbuh dan

berkembang di negara Anglo Saxon (Amerika Serikat dan Inggris).

Menurut Albert Venn

Dicey (I Dewa Gede

Palguna,2000:112) unsur-unsur rule of law yaitu :

a. Supremasi hukum (supremacy of law) dan tidak adanya kewenangan-kewenangan tanpa aturan yang jelas.

b. Persamaan di muka hukum (equality before the law) dan c. Hak asasi manusia yang

dijamin melalui

undang-undang.

Doktrin rule of law makin berkembang dan menjadi topik

pembahasan sejak Dicey

mengemukakan pemikirannya

pada abad ke -19. Ketiga elemen

unsur negara hukum yang

dikemukakan Dicey hingga saat ini tetap merupakan warisan Dicey yang sangat berharga. Bukan hanya dalam memahami perkembangan pemikiran tentang negara hukum itu sendiri, tetapi

juga dalam memahami

demokrasi liberal yang kini dipraktikkan oleh negara-negara di dunia dan negara-negara yang baru terlepas dari sistem totoliter

dan otoliter.(I Dewa Gede

Palguna,2000:114)

2. Negara Hukum di Indonesia

Undang-undang Dasar

1945 sebagai konstitusi Negara

Indonesia merupakan the

supreme law of the land.(Moh. Mahfud MD,2009:258)

Pasca amandemen UUD 1945, telah dirumuskan dalam batang tubuh mengenai konsep negara, yang sebelumnya hanya dicantumkan dalam penjelasan UUD1945 sebelum amandemen.

Salah satu upaya (prosedur

dan mekanisme) untuk

melindungi rakyat terhadap

penyalahgunaan kekuasaan

negara dapat dilakukan dengan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Indonesia.

Konsep negara hukum

modern merupakan perpaduan antara konsep negara hukum dan

negara kesejahteraan.Didalam

konsep ini, negara atau

(6)

semata-mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat saja, tetapi juga memikul tanggung

jawab untuk mewujudkan

keadilan sosial dan kesejahteraan

umum demi kemakmuran

rakyat.(Jazim hamidi,2009:36)

Menurut Frans Magnis

Suseno (Lukman Hakim,

2009:47) negara hukum yang

demokratis meliputi sebagai

berikut :

a. Fungsi-fungsi kenegaraan

dijalankan oleh

lembaga-lembaga sesuai

ketetapan-ketetapan sebuah

undang-undang dasar;

b. Undang-undang dasar

menjamin hak asasi manusia sebagai unsure yang paling penting;

c. Badan-badan negara yang

menjalankan kekuasaan

masing-masing selalu dan

hanya atas dasar hukum yang berlaku;

d. Terhadap tindakan badan

negara, masyarakat dapat

mengadu ke pengadilan dan

putusan pengadilan

dilaksanakan oleh badan

negara; dan

e. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.

Negara Indonesia diideal-kan untuk mewujuddiideal-kan negara

hukum yang demokratis.

Ketentuan tersebut dapat dilihat pada Pasal 1UUD 1945, yaitu Kedaulatan di tangan rakyat dan

dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, serta negara Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensinya, segala tindakan

kekuasaan negara harus

senantiasa berpegang pada

hukum dalam mewujudkan

demokrasi berdasarkan atas

hukum (constituonal

democracy), atau negara hukum yang demokrasi (democratiche rechtstaat). ((Jimly Asshidiqie, 2005:74)

3. Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan di

Indonesia.

Dewan Perwakilan

Re-publik Indonesia memiliki

beberapa hak dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya, yaitu hak angket, hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat. Hak angket merupakan manifestasi dari fungsi pengawasan DPR kepada Presiden. Peranan hak angket merupakan wujud dari

suatu kekuasaan dengan

mekanisme cheks and balances antar lembaga negara, termasuk antara DPR dengan Presiden.Hak angket diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 junto

Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2009 Tentang Majelis Pemusyawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwkilan Rakyat Daerah.

Penggunaan hak angket

sebagai wujud dari fungsi

(7)

upaya untuk menghindari sentralisasi kekuasaan negara, termasuk kekuasaan Presiden.

4. Kewenangan Mahkamah

Konstitusi Dalam

Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Berdasarkan Pasal 24C

UUD 1945 Mahkamah

Konstitusi memiliki kewenangan dan kewajiban sebagai berikut :

(1) Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final

untuk menguji

undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar, memutus

sengketa kewenangan

lembaga negara yang

kewe-nangannya diberikan oleh

Undang-Undang Dasar,

memutus pembubaran partai

politik, dan memutus

perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

(2) Mahkamah Konstitusi wajib

memberikan putusan atas

pendapat Dewan Perwakilan

Rakyat mengenai dugaan

pelanggaran oleh Presiden

dan/atau Wakil Presiden

menurut Undang-Undang

Dasar.

Dengan demikian

Mah-kamah Konstitusi memiliki

empat kewenangan

konsti-tusional dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, yaitu:

a. menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang

Dasar

b. memutus sengketa

kewenangan lembaga negara

yang kewenangannya

diberikan oleh

Undang-Undang Dasar

c. memutus pembubaran partai politik

d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum

Disamping itu Mahkamah Konstitusi juga memiliki satu kewajiban konstitusional dalam Pasal 24 C ayat (2) untuk

memberikan putusan atas

pendapat Dewan Perwakilan

Rakyat mengenai dugaan

pelanggaran oleh Presiden

dan/atau Wakil Presiden menurut

Undang-Undang Dasar.

Dilibatkannya Mahkamah

Konstitusi dalam proses

pemberhentian terhadap

Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terlepas dari pengalaman masa lampau

dan merupakan konsekuensi

logis dari perubahan sistem

ketataegaraan yang

dikembangkan di Indonesia.

Selain itu ada keinginan untuk memberikan pembatasan agar seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan bukan alasan politik belaka, melainkan juga memiliki landasan dan pertimbangan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

(8)

Secara khusus keberadaan

Mahkamah Kontitusi diatur

dalam Undang-Undang Nomor

24 tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi.

Kewajiban dan

kewenangan Mahkamah

Konstitusi kemudian dipertegas dan diuraikan lebih lanjut dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor

24 tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi.

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi

menyatakan :

(1) Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :

a. menguji undang-undang ter-hadap Undang-Undang Dasar

b. memutus sengketa

kewe-nangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan

oleh Undang-Undang Dasar c. memutus pembubaran partai

politik

d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum

(2) Mahkamah Konstitusi wajib

memberikan putusan atas

pendapat DPR bahwa

Presiden dan/atau Wakil

Presiden diduga telah

melakukan pelanggaran

hukum berupa pengkhianatan

terhadap negara, korupsi,

penyuapan, tindak pidana

berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan / tidak lagi

memenuhi syarat sebagai

Presiden dan/atau Wakil

Presiden sebagaimana

dimaksud dalam

Undang-Undang Dasar 1945.

Berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, maka alasan-alasan seorang Presiden dan/atau Wakil

Presiden dimintakan putusan

oleh DPR Kepada Mahkamah Konstitusi adalah :

1. Presiden dan/atau Wakil

Presiden diduga telah

melakukan pelanggaran

hukum berupa pengkhianatan

terhadap negara, korupsi,

penyuapan, tindak pidana

berat lainnya

2. Presiden dan/atau Wakil

Presiden melakukan

perbuatan tercela

3. Presiden dan/atau Wakil

Presiden tidak lagi memenuhi

syarat sebagai Presiden

dan/atau Wakil Presiden

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 10 ayat (3) UU

No.23 tahun 2002 tentang

Mahkamah Konstitusi dijelaskan lebih lanjut maksud tindakan

pelanggaran hukum oleh

Presiden dan/atau Wakil

Presiden, yaitu berupa :

a. Pengkhianatan terhadap

negara adalah tindakan pidana terhadap keamanan negara

(9)

sebagaimana diatur dalam undang-undang.

b. Korupsi dan penyuapan

adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang. c. Tindak pidana berat lainnya

adalah tindak yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

d. Tidak lagi memenuhi syarat

sebagai Presiden dan/atau

Wakil Presiden adalah syarat

sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 6 UUD 1945.

5. Dasar Hukum Pember-hentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

UUD 1945 sebelum

amandemen tidak ada aturan

yang jelas untuk

memberhentikan Presiden

dan/atau Wakil Presiden di

tengah masa

jabatan.Implikasinya, proses

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presidendilakukan dengan kesepakatan politik tanpa adanya kejelasan status hukum. Proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada waktu itu

senantiasa tergantung pada

konfigurasi politik sehingga

Presiden dengan sangat mudah

diberhentikan oleh parlemen

ketika Presiden tidak mempunyai banyak pendukung di parlemen. Dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia, telah terjadi dua kali pemberhentian Presiden ditengah

masa jabatan, yaitu terhadap Presiden Soekarno tahun 1967 dengan TAP MPRS Nomor

XXXIII/MPRS/1967 dan

terhadap Presiden Abdurrahman Wahid tahun 2001 berdasarkan TAP MPR Nomor II/MPR/2001.

Keduanya diberhentikan

ditengah masa jabatan oleh MPR tanpa alasan hukum yang jelas yang semata-mata didasarkan atas keputusan politik.Artinya pemeriksaan dan pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil

Presiden dalam rapat paripurna MPR bukan persidangan judisial, namun forum ketatanegaraan.

Pasca amandemen UUD 1945, telah diatur mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau

Wakil Presiden dapat

diberhentikan ditengah masa

jabatan. Setidaknya

penyem-purnaan ini dapat mencegah pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di tengah masa

jabatannya karena ada

kepentingan politik.Dalam Pasal 7A telah diatur alasan-alasan untuk memberhentikan Presiden

dan/atau Wakil Presiden

ditengah masa jabatan.

D. METODE PENELITIAN

Metode adalah alat untuk

mencari jawab. Jadi

menggunakan suatu metode

(alat) harus mengetahui dulu apa

yang akan dicari.

(10)

Metode penelitian diguna-kan untuk mengumpuldiguna-kan data guna mendapat jawaban atas pokok permasalahan, sehingga

data yang diperoleh dari

penelitian dapat

dipertanggungjawabkan dan

tidak menyimpang dari pokok permasalahan.

Penelitian adalah terje-mahan dari istilah bahasa Inggris research, yang terdiri dari re dan search artinya mencari. Jadi research atau penelitian adalah

kegiatan mencari ulang,

mengungkapkan kembali gejala atau kenyataan yang sudah ada untuk direkontruksi dan diberi arti guna memperoleh kebenaran

yang dipemasalahkan.(Abdul

Kadir Muhammad,2004:7) 1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian dengan mengkaji dan menganalisis subtansi peraturan perundang-undangan atas pokok permasalahan atau isu hukum dalam konsistensinya dengan asas-asas hukum yang ada. 2. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini

menggunakan dua macam

pendekatan, yakni pendekatan

perundang-undangan (statute

approach) dan pendekatan asas-asas hukum (legal principle approach).

3. Metode Pengumpulan Data

Teknil pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi pustaka, dokumen dan arsip.

4. Sumber Data

Sumber data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, yang terdiri dari :

a. Non Bahan seperti arsip, dokumen.

b. Bahan hukum, terdiri dari : (1) Primer, seperti peraturan

perundang-undangan (2) Sekunder, seperti

buku-buku, jurnal

(3) Tertier, seperti kamus, ensiklopedia

5. Teknik Analisa Data

Dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sitematisasi terhadap bahan-bahan hukum

tertulis.Sitematisasi berarti

membuat klasifikasi terhadap

bahan-bahan hukum tertulis

tersebut, untuk memudahkan

pekerjaan analisis.

Sebelum analisis dilakukan

terlebih dahulu diadakan

pemeriksaan dan evaluasi

terhadap semua data yang telah dikumpulkan untuk megetahui

validasinya. Setelah itu

keseluruhan data akan

disistematisasikan sehingga

menghasilkan klasifikasi yang

selaras dengan permasalahan

(11)

Penelitian ini

menggu-nakan analisis deskriptif

kualitatif dengan menguraikan, menjabarkan, dan menjelaskan konsep dan teori.

E. PEMBAHASAN HASIL

PENELITIAN

1. Penggunaan hak angket dan hak menyatakan pendapat oleh DPR yang dilanjutkan

dengan proses

pemerikasaan di Mahkamah Konstitusi

a. Hak Angket dan Hak

Menyatakan Pendapat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Menurut Pasal 20A ayat (2)

UUD 1945, Hak angket

merupakan hak konstitusional DPR sebagai wujud fungsi

pengawasan DPR kepada

pemerintah guna tercapainya mekanisme saling kontrol dan imbang (checks and balances mechanism).Hak angket dipergunakan oleh DPR untuk

melakukan penyelidikan

terhadap kebijakan

pemerintah yang penting dan strategis, serta berdampak

luas pada kehidupan

masyarakat dan bangsa yang diduga bertentangan dengan

peraturan

perundang-undangan. Hak angket

diususulkan sedikitnya 25

anggota DPR dan lebih dari 1 fraksi, selanjutnya hak angket akan menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan

dari rapat paripurna DPR

yang dihadiri lebih dari

1/2(satu perdua) jumlah

anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2(satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir. Selanjutnya usulan hak

angket diterima maka

dibentuk panitia angket

yanganggotanya semua fraksi DPR dengan keputusan DPR. Kelanjutan hak angket DPR

adalah hak menyatakan

pendapat. Paling sedikit 25 (dua puluh lima) anggota DPR yang mengusulkan hak menyatakan pendapat. Hak menyatakan pendapat harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR. Rapat

paripurna DPR dihadiri

sekurang kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan

persetujuan sekurang

kurangnya 3/4 jumlah anggota

DPR yang hadir. Hak

menyatakan pendapat

diterima oleh DPR maka dibentuk panitia khusus yang anggotanya mewakili semua fraksi DPR dengan keputusan DPR.Selanjutnya dalam rapat

paripurna DPR menerima

laporan panitia khusus yang

memberikan kesimpulan

Presiden dan/atau Wakil

Presiden melakukan

(12)

pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,

atau perbuatan tercela,

ataupun tidak lagi memenuhi

syarat sebagai Presiden

dan/atau Wakil Presiden.

Langkah berikutnya DPR

meminta kepada Mahkamah

Konstitusi (MK) untuk

memeriksa, mengadili dan

memutuskan atas dugaan

pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut. Pengajuan

pemintaan DPR kepada

Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dalam sidang

paripurna DPR dengan

dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR, dan putusannya didukung 2/3 dari anggota DPR yang hadir. Ketika dalam rapat paripurna DPR memutuskan menerima laporan panitia khusus yang menyatakan bahwa Presiden

dan/atau Wakil Presiden

melakukan pelanggaran

hukum berupa pengkhianatan

terhadap negara, korupsi,

penyuapan, tindak pidana

berat lainnya, atau perbuatan tercela, ataupun tidak lagi

memenuhi syarat sebagai

Presiden dan/atau Wakil

Presiden, DPR

menyam-paikan keputusan tentang hak menyatakan pendapat kepada Mahkamah Konstitusi. Dalam

hal DPR mengajukan

permintaan kepada MK atas

dugaan pelanggaran yang

dilakukan oleh Presiden

dan/atau Wakil Presiden,

maka harus berhasil

mendapatkan dukungan

sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR

b. Proses Pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil

Presiden di Mahkamah

Konstitusi. Setelah hak angket dan hak menyatakan pendapat disetujui DPR, maka langkah

selanjutnya proses

persidangan di Mahkamah

Konstitusi. Kewenangan

Mahkamah Konstitusi dalam

proses pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil

Presiden diatur Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5) UUD 1945 juncto Pasal 24C ayat (2) UUD 1945. Selanjutnya

untuk melaksanakan

kewenangan dalam proses

pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden

tersebut, Mahkamah

Kons-titusi menegeluarkan

Peraturan Mahkamah

Konstitusi (PMK) Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan

(13)

Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden Dan/Atau Wakil Presiden. Pasal 3 ayat 3 dan 3 PMK

menyatakan, permohonan

dibuat dalam bahasa

Indonesia, 12 rangkap 12 (dua belas) ditandatangani oleh Pimpinan DPR atau kuasa hukumnya. Pasal 4 PMK menyatakan, pendapat DPR

berkaitan dengan dugaan

Presiden dan/atau Wakil

Presiden telah melakukan

pelanggaran hukum,

permohonan harus memuat secara rinci mengenai jenis,

waktu dan tempat

pelanggaran hukum yang

dilakukan oleh Presiden

dan/atau Wakil Presiden.

Dalam hal Pendapat DPR

berkaitan dengan dugaan

Presiden dan/atau Wakil

Presiden berkaitan dengan tidak lagi dipenuhinya syarat

sebagai Presiden dan/atau

Wakil Presiden berdasarkan

UUD 1945, permohonan

harus memuat uraian yang jelas mengenai syarat-syarat apa yang tidak dipenuhi.

Pasal 7 PMK, menyatakan dalam permohonan DPR wajib menyampaikan alat bukti, yaitu : 1) Risalah dan/atau berita acara

proses pengambilan

Keputusan DPR bahwa

pendapat DPR didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari

jumlah anggota DPR yang hadir dalam 2/3 dari jumlah anggota DPR;

2) Dokumen hasil pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPR

yang berkaitan langsung

dengan materi permohonan; 3) Risalah dan/atau berita acara

rapat DPR;

4) Alat-alat bukti mengenai

dugaan pelanggaran oleh

Presiden dan/atau Wakil

Presiden yang menjadi dasar pendapat DPR.

Pasal 9 ayat 1 dan 2 PMK,

menyatakan Persidangan

dilakukan oleh Pleno Hakim dengan sekurang-kurangnya ada 7 (tujuh) hakim konstitusi. Persidangan berlangsung dalam 6 tahap sebagai berikut:

1) Tahap I : Pemeriksaan Pendahuluan. 2) Tahap II : Tanggapan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

3) Tahap III : Pembuktian

oleh DPR. 4) Tahap IV : Pembuktian oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. 5) Tahap V : Kesimpulan. 6) Tahap VI : Pembacaan Putusan. Pasal 10 PMK menyatakan Pemeriksaan Pendahuluan wajib dihadiri oleh Pimpinan DPR dan

(14)

dan/atau wakil Presiden tidak wajib hadir pada Pemeriksaan Pendahuluan. Pada Pemeriksaan Pendahuluan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat

menghadiri Pemeriksaan

Pendahuluan, maka Presiden

dan/atau wakil Presiden dapat diwakili oleh kuasa hukumnya.

Pasal 11 PMK

menyatakan, pada Pemeriksaan Pendahuluan, Majelis Hakim

memeriksaan kelengkapan

materi permohonan dan

memberikan kesempatan kepada Pimpinan DPR dan/atau kuasa hukumnya untuk melengkapi dan /atau memperbaiki permohonan.

Selanjutnya pimpinan DPR

membacakan permohonannya.

Setelah itu Ketua Sidang

memberikan kesempatan kepada

Presiden dan/atau Wakil

Presiden atau kuasa hukum untuk bertanya tentang materi permohonan.

Pasal 12 PMK

menyatakan, pada Persidangan Tahap II, Presiden dan/atau

Wakil Presiden wajib

menghadiri persidangan dan

dapat didampingi kuasa

hukumnya untuk menyampaikan tanggapan atas permohonanan DPR.

Tanggapan yang disampaikan

Presiden dan/atau Wakil

Presidensebagai berikut :

1) Sah atau tidaknya

pengambilan keputusan oleh DPR;

2) Materi Permohonan DPR; dan;

3) Alat-alat bukti tulis yang diajukan oleh DPR .

Pasal 13 PMK

menyatakan, persidangan Tahap II, Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada Pimpinan DPR dan/atau kuasa hukumnya untuk memberikan jawaban atas

tanggapan Presiden dan/atau

wakil Presiden, juga diberi

kesempatan untuk mengajukan

pertanyaan kepada Presiden

dan/atau Wakil Presiden.

Pasal 14 PMK

menyatakan, Persidangan Tahap III, DPR dapat menyampaikan alat –alat bukti berupa :

1) Alat bukti surat; 2) Keterangan Saksi; 3) Keterangan Ahli; 4) Petunjuk;

5) Alat bukti lainnya, seperti

halnya informasi yang

diucapkan, dikirimkan,

diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu.

Pasal 15 PMK

menyatakan, Persidangan Tahap IV, Presiden dan/atau Wakil

Presiden dan/atau kuasa

hukumnya memberikan bantahan atas alat-alat bukti yang diajukan DPR, dan mengajukan bukti untuk membantah bukti yang

(15)

diajukan DPR.Ketua sidang memberikan kesempatan kepada DPR dan /atau kuasa hukumnya untuk mengajukan pertanyaan atas alat bukti yang diajukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Pasal 16 PMK

menyatakan, Persidangan Tahap

IV adalah Kesimpulan.

Kesimpulan disampaikan oleh

Presiden dan/atau Wakil

Presiden dan DPR.Kesimpulan disampaikan paling lama 14 hari

setelah berakhirnya Sidang

Tahap IV.

Pasal 17 PMK menya-takan, apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri pada waktu pemeriksaan di mahkamah, maka pemeriksaan

dihentikan dan permohonan

dinyatakan gugur oleh

mahkamah.Pernyataan

penghentian pemeriksaan dan

gugurnya permohonan

dituangkan dalam Ketetapan

Mahkamah yang diucapkan

dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum

Pasal 18 PMK menya-takan, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), dilakukan untuk

mengambil keputusan.RPH

dilakukan secara tertutup

dihadiri sekurang-kurangnya

dihadiri oleh 7 orang hakim konstitusi.Pengambilan

keputusan secara musyawarah

dan mufakat.Dalam hal

musyawarah dan mufakat tidak

tercapai, maka keputusan

diambil dengan suara

terbanyak.Dalam hal

pengambilan putusan dilakukan dengan suara terbanyak, maka hakim konstitusi yang ingin menyampaikan pendapat yang berbeda, maka pendapat yang berbeda tersebut harus dimuat dalam putusan .

Pasal 19 PMK menya-takan, Putusan paling lambat 90 hari sejak permohonan dicatat pada Mahkamah Konstitusi.

Putusan dibacakan dalam

Sidang Pleno terbuka untuk umum.

Adapun bentuk putusannya sebagai berikut :

1) Permohonan diterima ;

2) Permohonan tidak dapat

diterima;

3) Permohonan ditolak.

Pasal 19 PMK

menyatakan, Putusan Mahkamah

bersifat final dan

mengikat.Putusan Mahkamah

yang menyatakan permohonan tidak diterima atau permohonan ditolak, maka proses penghentian

Presiden dan/atau Wakil

Presiden terhenti, tidak berlanjut

ke MPR. Sebalik nya

permohonan diterima maka

proses penghentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden

berlanjut ke MPR.

Keputusan MPR untuk

(16)

dan/atau Wakil Presiden terhenti diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 anggota dari jumlah anggota dan disetujui

sekurang-kurangnya 2/3 dari

jumlah anggota yang hadir.

2. Ketentuan Pasal 7B ayat (7) UUD 1945 (mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di sidang paripurna MPR) di hubungkan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 (Negara Indonesia adalah negara hukum ).

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan “ Negara

Indonesia adalah Negara

hukum”. Selanjutnya Pasal 7B ayat (7) UUD 1945 menyatakan :

“Keputusan Majelis

Permusyawaratan Rakyat atas

usul pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna

Majelis Permusyawaratan

Rakyat yang dihadiri oleh

sekurang-kurangnya 3/4 dari

jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil

Presidendiberi kesempatan

menyampaikan penjelasan dalam

rapat paripurna Majelis

Permusyawaratan Rakyat.” Ketentuan Pasal 7B ayat (7) UUD 1945 bertentangan dengan

prinsip Negara hukum, karena

Mahkamah Konstitusi telah

memutuskan Presiden dan/atau

Wakil Presiden melakukan

pelanggaran hukum, tetapi pada

akhirnya yang menentukan

pemberhentikan Presiden

dan/atau Wakil Presiden adalah

MPR, yaitu dengan cara

menggelar sidang paripurna

MPR untuk memberhentikan

Presiden dan/atau Wakil

Presiden. Mekanisme

pemberhentianPresiden dan/atau

Wakil Presiden di MPR

dilakukan dengan cara voting, yaitu keputusan diambil dengan

dihadiri oleh

sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah

anggota dan disetujui oleh

sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir.

Asas dari Negara hukum antara lain berdasarkan atas hukum,

melaksanakan putusan

pengadilan, maka seharusnya

UUD 1945 memberikan

ketentuan MPR harus

melaksanakan putusan MK

sebagai putusan badan peradilan.

Kenyataannya UUD 1945

mengatur pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil

Presiden dilakukan dengan cara

voting di MPR, dengan

mengesampingkan adanya

putusan MK. Akibatnya dapat

terjadi MK memutuskan

(17)

Presiden telah melakukan

pelanggaran hukum, tetapi

dengan mekanisme voting MPR, maka MPR tidak menyetujui pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.Disinilah letak runtuhnya asas Negara hukum oleh UUD 1945.

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945

dijelaskan Indonesia adalah

negara hukum. Namun pada

Pasal yang mengatur

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presidenyaitu Pasal 7B ayat (7) UUD 1945, terjadi

ketidaksesuaian atau

pertentangan terhadap Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.Putusan MK

bersifat final dan mengikat

(finally binding) serta

mempunyai kekuatan hukum

tetap (inkracht van gewijdse) kenyataan pelaknaannya masih menunggu mekanisme voting di MPR.

F. Penutup

1. Kesimpulan

a. Penggunaan hak angket

dan hak menyatakan

pendapat oleh DPR hanya untuk menyatakan Presiden dan/atau Wakil Presiden

telah melakukan

pelanggaran hukum oleh

DPR, selanjutnya di

masalah pelanggaran

hukum tersebut dibawa ke Mahkamah

Konstitusi.Proses

persidangan di Mahkamah

Konstitusi untuk menguji pelanggaran hukum yang

dilakukan Presiden

dan/atau Wakil Presiden sebagaimana di tuduhkan DPR.

b. Ketentuan Pasal 7B ayat (7) UUD 1945 (mengatur

pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden di sidang paripurna MPR) tidak sesuai / beretentangan denganPasal 1 ayat (3)

UUD 1945 (Negara

Indonesia adalah negara hukum)

2. Saran-saran

a. Prinsip negara hukum di Indonesia dalam hubungan

dengan pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil

Presiden pada sidang

paripurna MPR (Pasal 7B ayat (7) UUD 1945) masih

lemah, maka harus

diperkuat .

b. Untuk memperkuat prinsip

Negara hukum dalam

hubungan dengan

pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil

Presidenpada sidang

paripurna MPR (Pasal 7B ayat (7) UUD 1945), maka

ketentuan mengatur

pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden

dalamsidang paripurna

MPR (Pasal 7B ayat (7) UUD 1945) harus dirubah.

(18)

c. Adapun

ketentuanpemberhentian

Presiden dan/atau Wakil

Presiden dalamsidang

paripurna MPR (Pasal 7B ayat (7) UUD 1945) harus

dirubah, yang inti

perubahannya adalah MPR

wajib melaksanakan

pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden yang telah diputus MK .

DAFTAR PUSTAKA Buku-buku

Abdul Kadir Muhammad,

Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Budiono Kusumo Hamidjojo, Filsafat Hukum, Problematika Ketertiban yang Adil, Grasindo, Jakarta, 2004.

IDewa Gede Palguna,

Mahkamah Konstitusi, Judicial Review dan welfare State: Kumpulan Pemikiran I Dewa Gede Palguna, Setjen dan Kepaniteraan MK, Jakarta, 2000.

Jazim hamidi, Teori dan Politik Hukum Tata negara, Total Media, Yogyakarta, 2009. Jimly Asshsidiqie,Hukum Tata

Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

……….,

Perkembangan dan Kondisi

Lembaga Negar Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

Lukman Hakim, Eksistensi

Komisi-Komisi Negara

dalam Sistem

Ketatanegaraan Republik Indonesia, Pustaka Sutra, Jakarta, 2009.

Moh.Kusnadi dan Harmaily

Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, Sinar Bakti, Jakarta, 1988.

Moh.Mahfud MD. Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu,Rajawali Pers, Jakarta, 2009.

RidwanHR. Hukum Adminstrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006. Setiono, Pemahaman Terhadap

Metodologi Penelitian Hukum, UNS, Surakarta, 2005.

Widodo Ekatjajana, Pengujian Peraturan Perundang-undangan dan Sistem Peradilan di Indonesia,

Pustaka Putra, Jakarta,

2008.

Peraturan

perundang-undangan

Indonesia, Undang-Undang

Dasar Negara Republik

(19)

……….., Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ………., Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawatan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat,

dan Dewan Perwakilan

rakyat Daerah.

……….., Peraturan Mahkamah

Konstitusi Nomor

21/PMK/2009 tentang

Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat

Mengenai Dugaan

Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai salah satu kesenian daeiah di Jawa Timur, ludruk mampu mengun- dang masyarakat penonton yang cukup banyak. la mampu pula menjangkau penonton sampai ke berbagai pelosok

Negara Domisili Negara Domisili/ Sumber 11 Denmark Negara Domisili Negara Domisili Negara Domisili 12 Egypt Negara Domisili Negara Domisili Negara Domisili/ Sumber 13 Finland

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui pengaruh penggantian Bovine Serum Albumin (BSA) dengan putih telur dalam pengencer dasar CEP-2 terhadap kualitas

Setelah proses pengukuran selesai, dilakukan proses identifikasi dan klasifikasi spesies, dengan cara dilakukan pengamatan terhadap dua duri tajam yang berada pada bagian

Melalui hasil penelitian dapat diketahui bahwa Peranan POLRI dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Senjata Api oleh Masyarakat Sipil di Kota Surakarta, dalam hal ini

Nilai koefisien transmision loss untuk mengetahui seberapa besar pengurangan suara yang dapat dilakukan oleh komposit berbahan dasar serat sabut kelapa dan alumunium hollow

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Fitriana yang berjudul Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Seks Selama Kehamilan dengan Melakukan Hubungan

Metode yang digunakan dalam akuisisi data yaitu metode seismik refraksi dengan interpretasi data menggunakan Metode Hagiwara untuk menentukan kedalaman suatu lapisan tanah