PEMBERHENTIAN PRESIDENDAN/ATAU
WAKIL PRESIDEN MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Oleh :
Heru Drajat Sulistyo Fakultas Hukum Universitas Soerjo Ngawi A. ABSTRAC
Dismissal of the President and / or Vice- President has been regulated in the Act of 1945 Dismissal of the President and / or Vice President shall be proposed by the House of Representatives (DPR) to the People's Consultative Assembly (MPR). Prior to the filing of the dismissal to the MPR, DPR must first submit an application to the Constitutional Court (MK). Dismissal of the President and / or Vice-President has been provided for in Article 7 B of the 1945 Constitution . Furthermore, the authors examine the relationship of the rule of law (Article 1 , paragraph 3 of the 1945 Constitution) with a mechanism impeach the President and/ or Vice President (Section 7 B 1945) in Indonesian
The purpose of this study was to describe the use of the right of inquiry in the dismissal of the President and / or Vice President , and discover a new concept in the field of law relating to dismissal constitutional President and / or Vice President.
This study is a normative legal research, and using qualitative
descriptive analysis.
Dismissal of the President and / or Vice President through several stages in the three state institutions , namely the Parliament, the Court and the Assembly as set in Section 7B of the 1945 Constitution. Article 78 paragraph ( 3 ) and paragraph ( 7 ) of the 1945 Constitution contrary to the principles of rule of law
B. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah
Secara konstitusional,
aturan mengenaipemberhentian
Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Bangsa Indonesia sejak
merdeka tahun 1945, telah
beberapa kali terjadi
pember-hentian Presiden. Presiden
pertama Soekarno, diberhentikan berdasarkan TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967.Presiden
Soeharto (presiden kedua)
menyatakan berhenti sebagai
Presiden setelah secara de facto
rakyat tidak mendukungnya.
Presiden K.H. Abdurrahman
sebutan “Gus Dur” diberhentikan berdasarkan TAP MPR Nomor II/MPR/2001.
Dalam perspektif UUD 1945 yang telah diamandemen, proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus
diusulkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR)
kepada Majelis
Permusya-waratan Rakyat (MPR). Namun
sebelum proses pengajuan
pemberhentian kepada MPR,
terlebih dahulu DPRharus
mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebelum upaya pengajuan
pemberhentian diajukan ke
MPR, maka DPR terlebih dahulu
menggunakan hak angket
sebagai upaya penyelidikan
terhadap kebijakan Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
Kemudian DPR menggunakan
hak menyatakan pendapat
sebagai pintu masuk DPR untuk
membawa Presiden dan/atau
Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi.
Praktek ketatanegaraan di
Indonesia dalam penegakkan
hukum dilakukan secara
prosedural. Upaya DPR
mengajukan ke Mahkamah
Konstitusi mengenai dugaan
DPR atas dugaan pelanggaran
konstitusi oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden masih terkendala pada proses politik di
DPR dengan mekanisme
pemungutan suara. Implikasinya
terdapat kontradiksi antara
ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD
1945 menyatakan “Negara
Indonesia adalah negara hukum”, dengan ketentuan Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 menyatakan “ Pengajuan permintaan Dewan
Perwakilan rakyat kepada
Mahkamah Konstitusi hanya
dapat dilakukan dengan
dukungan sekurang-kurangnya
2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam persidangan yang dihadiri
sekurang-kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota Dewan
Perwakilan Rakyat”.
Kemudian, permohonan
DPR atas pelanggaran konstitusi
yang dilakukan Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah berhasil diajukan ke Mahkamah Konstitusi, selanjutnya
Mahka-mah Konstitusi memutuskan
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah inkonstitusional dengan melanggar Pasal 7A UUD 1945, maka tidak serta merta Presiden dan/atau Wakil
Presiden dapat diberhentikan
sejak dibacakan putusan
Mahkamah Konstitusi. Proses
selanjutnya pada sidang
paripurna MPR. Pengambilan
keputusan untuk
member-hentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden harus dihadiri 2/3 dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota MPR yang hadir.
Implikasinya, apakah MPR
sebagai lembaga politik mampu menjunjung tinggi supremasi hukum sebagaimana Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”, sehingga melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi ?
Penulis melakukan
pene-litian untuk mengetahui
hubungan antara prinsip negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD
1945 menyatakan “Negara
Indonesia adalah negara
hukum”) dengan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden sebagaimana
diatur dalam Pasal 7B UUD 1945.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah penggunaan
hak angketdan hak
menyatakan pendapat oleh DPR yang dilanjutkandengan
proses pemerikasaan di
Mahkamah Konstitusi ? b. Apakah ketentuan Pasal 7B
ayat (7) UUD 1945 (mengatur
pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden di sidang paripurna MPR ) sudah sesuai denganPasal 1 ayat (3) UUD 1945 (Negara Indonesia adalah negara hukum) ?
3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah :
a. Untuk menjelaskan
penggu-naan hak angket dalam
pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
b. Untuk melakukan analisis
mengenai prinsip negara
hukum dengan mekanisme
pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden di Indonesia.
c. Untuk menemukan konsep
baru dibidang hukum
ketetanegaraan berkaitan
dengan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah
a. Penelitian ini dapat
memberikan sumbangan
pemikiran yang seharusnya
dilakukan dalam hukum
ketatanegaraan tentang
pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
b. Penelitian ini dapat
menjelaskan hukum positif Indonesia berkaitan dengan
mekanisme politik hukum
pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden
Indonesia.
c. Penelitian ini dapat
menjelaskan implementasi
praktek pemberhentian
Presiden di Indonesia sehingga tetap sesuai dengan asas negara hukum Indonesia.
C. TINJAUAN PUSTAKA 1. Teori Negara Hukum
Perkembangan konsep
negara hukum merupakan
produk dari sejarah sebab
rumusan atau pengertian negara itu terus berkembang mengikuti perkembangam umat manusia, karena itu untuk memahami konsep negara hukum perlu
mengetahui perkembangan
politik hukum yang mendorong lahir dan berkembangnya konsep negara hukum.
Ditinjau dari perspektif historis perkembangan pemikiran
filsafat hukum dan
ketatanegaraan, gagasan mengenai
negara hukum sudah
berkembang semenjak 1800 SM,
akar terjauh mengenai
perkembangan awal pemikiran negara hukum adalah pada masa yunani kuno.Gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan tradisi yunani kuno menjadi
sumber gagasan kedaulatan
hukum. (Jimly Asshidiqie,2010:11) Pada masa Yunani kuno pemikiran tentang negara hukum dikembangkan oleh para filsuf besar Yunani seperti Plato (429-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM).
Menurut Budiono Kusumo Hamidjojo (Budiono Kusumo
Hamidjojo,2004:56)dalam buku-nya Politikos, Plato menguraikan
bentuk-bentuk pemerintahan
yang mungkin dijalankan. Pada
dasarnya ada dua macam
pemerintahan yang dapat
diselenggarakan, yaitu
pemerintahan yang dibentuk
melalui jalan hukum dan
pemerintahan yang terbentuk
tidak melalui jalan hukum.
Konsep negara hukum
menurut Aristoteles adalah
negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada
warga negaranya.Keadilan
merupakan syarat tercapainya
kebahagiaan hidup untuk
warganya dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susilakepada setiap manusia agar menjadi warga negara yang
baik.(Moh. Kusnadi dan
Harmaily Ibrahim,1988:23) Selanjutnya teori negara hukummulai berkembang saat munculnya pemikiran tentang teori hukum alam, yang tumbuh di Eropa pada abad ketujuh belas
hingga abad ke Sembilan
belas.Secara umum dalam teori negara hukum dikenal adanya dua macam konsepsi tentang negara hukum, yang terdiri dari konsep negara hukum dalam arti rechstaat, dan negara hukum dalam pengertian sebagai the rule of lawatau rule of law.Istilah rechstaat dikenal dalam
negara-negara Eropa Kontinental (Belanda, Jerman, Perancis).
Konsep rechstaatmuncul
dari Friedrich Julius Stahl yang diilhami oleh Immanuel Kant.
Menurut Stahl (Ridwan
HR,2006:3) unsur-unsur
rechstaatyaitu:
a. Perlindungan hak-hak asasi manusia;
b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
c. Pemerintahan berdasarkan
peraturan
perundang-undangan dan
d. Peradilan administrasi negara Selanjutnya, rule of law
merupakan konsep negara
hukum yang tumbuh dan
berkembang di negara Anglo Saxon (Amerika Serikat dan Inggris).
Menurut Albert Venn
Dicey (I Dewa Gede
Palguna,2000:112) unsur-unsur rule of law yaitu :
a. Supremasi hukum (supremacy of law) dan tidak adanya kewenangan-kewenangan tanpa aturan yang jelas.
b. Persamaan di muka hukum (equality before the law) dan c. Hak asasi manusia yang
dijamin melalui
undang-undang.
Doktrin rule of law makin berkembang dan menjadi topik
pembahasan sejak Dicey
mengemukakan pemikirannya
pada abad ke -19. Ketiga elemen
unsur negara hukum yang
dikemukakan Dicey hingga saat ini tetap merupakan warisan Dicey yang sangat berharga. Bukan hanya dalam memahami perkembangan pemikiran tentang negara hukum itu sendiri, tetapi
juga dalam memahami
demokrasi liberal yang kini dipraktikkan oleh negara-negara di dunia dan negara-negara yang baru terlepas dari sistem totoliter
dan otoliter.(I Dewa Gede
Palguna,2000:114)
2. Negara Hukum di Indonesia
Undang-undang Dasar
1945 sebagai konstitusi Negara
Indonesia merupakan the
supreme law of the land.(Moh. Mahfud MD,2009:258)
Pasca amandemen UUD 1945, telah dirumuskan dalam batang tubuh mengenai konsep negara, yang sebelumnya hanya dicantumkan dalam penjelasan UUD1945 sebelum amandemen.
Salah satu upaya (prosedur
dan mekanisme) untuk
melindungi rakyat terhadap
penyalahgunaan kekuasaan
negara dapat dilakukan dengan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Indonesia.
Konsep negara hukum
modern merupakan perpaduan antara konsep negara hukum dan
negara kesejahteraan.Didalam
konsep ini, negara atau
semata-mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat saja, tetapi juga memikul tanggung
jawab untuk mewujudkan
keadilan sosial dan kesejahteraan
umum demi kemakmuran
rakyat.(Jazim hamidi,2009:36)
Menurut Frans Magnis
Suseno (Lukman Hakim,
2009:47) negara hukum yang
demokratis meliputi sebagai
berikut :
a. Fungsi-fungsi kenegaraan
dijalankan oleh
lembaga-lembaga sesuai
ketetapan-ketetapan sebuah
undang-undang dasar;
b. Undang-undang dasar
menjamin hak asasi manusia sebagai unsure yang paling penting;
c. Badan-badan negara yang
menjalankan kekuasaan
masing-masing selalu dan
hanya atas dasar hukum yang berlaku;
d. Terhadap tindakan badan
negara, masyarakat dapat
mengadu ke pengadilan dan
putusan pengadilan
dilaksanakan oleh badan
negara; dan
e. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
Negara Indonesia diideal-kan untuk mewujuddiideal-kan negara
hukum yang demokratis.
Ketentuan tersebut dapat dilihat pada Pasal 1UUD 1945, yaitu Kedaulatan di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, serta negara Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensinya, segala tindakan
kekuasaan negara harus
senantiasa berpegang pada
hukum dalam mewujudkan
demokrasi berdasarkan atas
hukum (constituonal
democracy), atau negara hukum yang demokrasi (democratiche rechtstaat). ((Jimly Asshidiqie, 2005:74)
3. Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan di
Indonesia.
Dewan Perwakilan
Re-publik Indonesia memiliki
beberapa hak dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya, yaitu hak angket, hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat. Hak angket merupakan manifestasi dari fungsi pengawasan DPR kepada Presiden. Peranan hak angket merupakan wujud dari
suatu kekuasaan dengan
mekanisme cheks and balances antar lembaga negara, termasuk antara DPR dengan Presiden.Hak angket diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 junto
Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2009 Tentang Majelis Pemusyawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwkilan Rakyat Daerah.
Penggunaan hak angket
sebagai wujud dari fungsi
upaya untuk menghindari sentralisasi kekuasaan negara, termasuk kekuasaan Presiden.
4. Kewenangan Mahkamah
Konstitusi Dalam
Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Berdasarkan Pasal 24C
UUD 1945 Mahkamah
Konstitusi memiliki kewenangan dan kewajiban sebagai berikut :
(1) Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji
undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan
lembaga negara yang
kewe-nangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai
politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib
memberikan putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang
Dasar.
Dengan demikian
Mah-kamah Konstitusi memiliki
empat kewenangan
konsti-tusional dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, yaitu:
a. menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang
Dasar
b. memutus sengketa
kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya
diberikan oleh
Undang-Undang Dasar
c. memutus pembubaran partai politik
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
Disamping itu Mahkamah Konstitusi juga memiliki satu kewajiban konstitusional dalam Pasal 24 C ayat (2) untuk
memberikan putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.
Dilibatkannya Mahkamah
Konstitusi dalam proses
pemberhentian terhadap
Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terlepas dari pengalaman masa lampau
dan merupakan konsekuensi
logis dari perubahan sistem
ketataegaraan yang
dikembangkan di Indonesia.
Selain itu ada keinginan untuk memberikan pembatasan agar seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan bukan alasan politik belaka, melainkan juga memiliki landasan dan pertimbangan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
Secara khusus keberadaan
Mahkamah Kontitusi diatur
dalam Undang-Undang Nomor
24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
Kewajiban dan
kewenangan Mahkamah
Konstitusi kemudian dipertegas dan diuraikan lebih lanjut dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor
24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi
menyatakan :
(1) Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
a. menguji undang-undang ter-hadap Undang-Undang Dasar
b. memutus sengketa
kewe-nangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar c. memutus pembubaran partai
politik
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
(2) Mahkamah Konstitusi wajib
memberikan putusan atas
pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan / tidak lagi
memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana
dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar 1945.
Berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, maka alasan-alasan seorang Presiden dan/atau Wakil
Presiden dimintakan putusan
oleh DPR Kepada Mahkamah Konstitusi adalah :
1. Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana
berat lainnya
2. Presiden dan/atau Wakil
Presiden melakukan
perbuatan tercela
3. Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 10 ayat (3) UU
No.23 tahun 2002 tentang
Mahkamah Konstitusi dijelaskan lebih lanjut maksud tindakan
pelanggaran hukum oleh
Presiden dan/atau Wakil
Presiden, yaitu berupa :
a. Pengkhianatan terhadap
negara adalah tindakan pidana terhadap keamanan negara
sebagaimana diatur dalam undang-undang.
b. Korupsi dan penyuapan
adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang. c. Tindak pidana berat lainnya
adalah tindak yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
d. Tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden adalah syarat
sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 6 UUD 1945.
5. Dasar Hukum Pember-hentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
UUD 1945 sebelum
amandemen tidak ada aturan
yang jelas untuk
memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden di
tengah masa
jabatan.Implikasinya, proses
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presidendilakukan dengan kesepakatan politik tanpa adanya kejelasan status hukum. Proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada waktu itu
senantiasa tergantung pada
konfigurasi politik sehingga
Presiden dengan sangat mudah
diberhentikan oleh parlemen
ketika Presiden tidak mempunyai banyak pendukung di parlemen. Dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia, telah terjadi dua kali pemberhentian Presiden ditengah
masa jabatan, yaitu terhadap Presiden Soekarno tahun 1967 dengan TAP MPRS Nomor
XXXIII/MPRS/1967 dan
terhadap Presiden Abdurrahman Wahid tahun 2001 berdasarkan TAP MPR Nomor II/MPR/2001.
Keduanya diberhentikan
ditengah masa jabatan oleh MPR tanpa alasan hukum yang jelas yang semata-mata didasarkan atas keputusan politik.Artinya pemeriksaan dan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam rapat paripurna MPR bukan persidangan judisial, namun forum ketatanegaraan.
Pasca amandemen UUD 1945, telah diatur mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden dapat
diberhentikan ditengah masa
jabatan. Setidaknya
penyem-purnaan ini dapat mencegah pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di tengah masa
jabatannya karena ada
kepentingan politik.Dalam Pasal 7A telah diatur alasan-alasan untuk memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden
ditengah masa jabatan.
D. METODE PENELITIAN
Metode adalah alat untuk
mencari jawab. Jadi
menggunakan suatu metode
(alat) harus mengetahui dulu apa
yang akan dicari.
Metode penelitian diguna-kan untuk mengumpuldiguna-kan data guna mendapat jawaban atas pokok permasalahan, sehingga
data yang diperoleh dari
penelitian dapat
dipertanggungjawabkan dan
tidak menyimpang dari pokok permasalahan.
Penelitian adalah terje-mahan dari istilah bahasa Inggris research, yang terdiri dari re dan search artinya mencari. Jadi research atau penelitian adalah
kegiatan mencari ulang,
mengungkapkan kembali gejala atau kenyataan yang sudah ada untuk direkontruksi dan diberi arti guna memperoleh kebenaran
yang dipemasalahkan.(Abdul
Kadir Muhammad,2004:7) 1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian dengan mengkaji dan menganalisis subtansi peraturan perundang-undangan atas pokok permasalahan atau isu hukum dalam konsistensinya dengan asas-asas hukum yang ada. 2. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini
menggunakan dua macam
pendekatan, yakni pendekatan
perundang-undangan (statute
approach) dan pendekatan asas-asas hukum (legal principle approach).
3. Metode Pengumpulan Data
Teknil pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi pustaka, dokumen dan arsip.
4. Sumber Data
Sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, yang terdiri dari :
a. Non Bahan seperti arsip, dokumen.
b. Bahan hukum, terdiri dari : (1) Primer, seperti peraturan
perundang-undangan (2) Sekunder, seperti
buku-buku, jurnal
(3) Tertier, seperti kamus, ensiklopedia
5. Teknik Analisa Data
Dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sitematisasi terhadap bahan-bahan hukum
tertulis.Sitematisasi berarti
membuat klasifikasi terhadap
bahan-bahan hukum tertulis
tersebut, untuk memudahkan
pekerjaan analisis.
Sebelum analisis dilakukan
terlebih dahulu diadakan
pemeriksaan dan evaluasi
terhadap semua data yang telah dikumpulkan untuk megetahui
validasinya. Setelah itu
keseluruhan data akan
disistematisasikan sehingga
menghasilkan klasifikasi yang
selaras dengan permasalahan
Penelitian ini
menggu-nakan analisis deskriptif
kualitatif dengan menguraikan, menjabarkan, dan menjelaskan konsep dan teori.
E. PEMBAHASAN HASIL
PENELITIAN
1. Penggunaan hak angket dan hak menyatakan pendapat oleh DPR yang dilanjutkan
dengan proses
pemerikasaan di Mahkamah Konstitusi
a. Hak Angket dan Hak
Menyatakan Pendapat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Menurut Pasal 20A ayat (2)
UUD 1945, Hak angket
merupakan hak konstitusional DPR sebagai wujud fungsi
pengawasan DPR kepada
pemerintah guna tercapainya mekanisme saling kontrol dan imbang (checks and balances mechanism).Hak angket dipergunakan oleh DPR untuk
melakukan penyelidikan
terhadap kebijakan
pemerintah yang penting dan strategis, serta berdampak
luas pada kehidupan
masyarakat dan bangsa yang diduga bertentangan dengan
peraturan
perundang-undangan. Hak angket
diususulkan sedikitnya 25
anggota DPR dan lebih dari 1 fraksi, selanjutnya hak angket akan menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan
dari rapat paripurna DPR
yang dihadiri lebih dari
1/2(satu perdua) jumlah
anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2(satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir. Selanjutnya usulan hak
angket diterima maka
dibentuk panitia angket
yanganggotanya semua fraksi DPR dengan keputusan DPR. Kelanjutan hak angket DPR
adalah hak menyatakan
pendapat. Paling sedikit 25 (dua puluh lima) anggota DPR yang mengusulkan hak menyatakan pendapat. Hak menyatakan pendapat harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR. Rapat
paripurna DPR dihadiri
sekurang kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan
persetujuan sekurang
kurangnya 3/4 jumlah anggota
DPR yang hadir. Hak
menyatakan pendapat
diterima oleh DPR maka dibentuk panitia khusus yang anggotanya mewakili semua fraksi DPR dengan keputusan DPR.Selanjutnya dalam rapat
paripurna DPR menerima
laporan panitia khusus yang
memberikan kesimpulan
Presiden dan/atau Wakil
Presiden melakukan
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela,
ataupun tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
Langkah berikutnya DPR
meminta kepada Mahkamah
Konstitusi (MK) untuk
memeriksa, mengadili dan
memutuskan atas dugaan
pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut. Pengajuan
pemintaan DPR kepada
Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dalam sidang
paripurna DPR dengan
dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR, dan putusannya didukung 2/3 dari anggota DPR yang hadir. Ketika dalam rapat paripurna DPR memutuskan menerima laporan panitia khusus yang menyatakan bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden
melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela, ataupun tidak lagi
memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil
Presiden, DPR
menyam-paikan keputusan tentang hak menyatakan pendapat kepada Mahkamah Konstitusi. Dalam
hal DPR mengajukan
permintaan kepada MK atas
dugaan pelanggaran yang
dilakukan oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden,
maka harus berhasil
mendapatkan dukungan
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR
b. Proses Pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil
Presiden di Mahkamah
Konstitusi. Setelah hak angket dan hak menyatakan pendapat disetujui DPR, maka langkah
selanjutnya proses
persidangan di Mahkamah
Konstitusi. Kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam
proses pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil
Presiden diatur Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5) UUD 1945 juncto Pasal 24C ayat (2) UUD 1945. Selanjutnya
untuk melaksanakan
kewenangan dalam proses
pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden
tersebut, Mahkamah
Kons-titusi menegeluarkan
Peraturan Mahkamah
Konstitusi (PMK) Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden Dan/Atau Wakil Presiden. Pasal 3 ayat 3 dan 3 PMK
menyatakan, permohonan
dibuat dalam bahasa
Indonesia, 12 rangkap 12 (dua belas) ditandatangani oleh Pimpinan DPR atau kuasa hukumnya. Pasal 4 PMK menyatakan, pendapat DPR
berkaitan dengan dugaan
Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum,
permohonan harus memuat secara rinci mengenai jenis,
waktu dan tempat
pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
Dalam hal Pendapat DPR
berkaitan dengan dugaan
Presiden dan/atau Wakil
Presiden berkaitan dengan tidak lagi dipenuhinya syarat
sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden berdasarkan
UUD 1945, permohonan
harus memuat uraian yang jelas mengenai syarat-syarat apa yang tidak dipenuhi.
Pasal 7 PMK, menyatakan dalam permohonan DPR wajib menyampaikan alat bukti, yaitu : 1) Risalah dan/atau berita acara
proses pengambilan
Keputusan DPR bahwa
pendapat DPR didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota DPR yang hadir dalam 2/3 dari jumlah anggota DPR;
2) Dokumen hasil pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPR
yang berkaitan langsung
dengan materi permohonan; 3) Risalah dan/atau berita acara
rapat DPR;
4) Alat-alat bukti mengenai
dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil
Presiden yang menjadi dasar pendapat DPR.
Pasal 9 ayat 1 dan 2 PMK,
menyatakan Persidangan
dilakukan oleh Pleno Hakim dengan sekurang-kurangnya ada 7 (tujuh) hakim konstitusi. Persidangan berlangsung dalam 6 tahap sebagai berikut:
1) Tahap I : Pemeriksaan Pendahuluan. 2) Tahap II : Tanggapan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
3) Tahap III : Pembuktian
oleh DPR. 4) Tahap IV : Pembuktian oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. 5) Tahap V : Kesimpulan. 6) Tahap VI : Pembacaan Putusan. Pasal 10 PMK menyatakan Pemeriksaan Pendahuluan wajib dihadiri oleh Pimpinan DPR dan
dan/atau wakil Presiden tidak wajib hadir pada Pemeriksaan Pendahuluan. Pada Pemeriksaan Pendahuluan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat
menghadiri Pemeriksaan
Pendahuluan, maka Presiden
dan/atau wakil Presiden dapat diwakili oleh kuasa hukumnya.
Pasal 11 PMK
menyatakan, pada Pemeriksaan Pendahuluan, Majelis Hakim
memeriksaan kelengkapan
materi permohonan dan
memberikan kesempatan kepada Pimpinan DPR dan/atau kuasa hukumnya untuk melengkapi dan /atau memperbaiki permohonan.
Selanjutnya pimpinan DPR
membacakan permohonannya.
Setelah itu Ketua Sidang
memberikan kesempatan kepada
Presiden dan/atau Wakil
Presiden atau kuasa hukum untuk bertanya tentang materi permohonan.
Pasal 12 PMK
menyatakan, pada Persidangan Tahap II, Presiden dan/atau
Wakil Presiden wajib
menghadiri persidangan dan
dapat didampingi kuasa
hukumnya untuk menyampaikan tanggapan atas permohonanan DPR.
Tanggapan yang disampaikan
Presiden dan/atau Wakil
Presidensebagai berikut :
1) Sah atau tidaknya
pengambilan keputusan oleh DPR;
2) Materi Permohonan DPR; dan;
3) Alat-alat bukti tulis yang diajukan oleh DPR .
Pasal 13 PMK
menyatakan, persidangan Tahap II, Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada Pimpinan DPR dan/atau kuasa hukumnya untuk memberikan jawaban atas
tanggapan Presiden dan/atau
wakil Presiden, juga diberi
kesempatan untuk mengajukan
pertanyaan kepada Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 14 PMK
menyatakan, Persidangan Tahap III, DPR dapat menyampaikan alat –alat bukti berupa :
1) Alat bukti surat; 2) Keterangan Saksi; 3) Keterangan Ahli; 4) Petunjuk;
5) Alat bukti lainnya, seperti
halnya informasi yang
diucapkan, dikirimkan,
diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu.
Pasal 15 PMK
menyatakan, Persidangan Tahap IV, Presiden dan/atau Wakil
Presiden dan/atau kuasa
hukumnya memberikan bantahan atas alat-alat bukti yang diajukan DPR, dan mengajukan bukti untuk membantah bukti yang
diajukan DPR.Ketua sidang memberikan kesempatan kepada DPR dan /atau kuasa hukumnya untuk mengajukan pertanyaan atas alat bukti yang diajukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 16 PMK
menyatakan, Persidangan Tahap
IV adalah Kesimpulan.
Kesimpulan disampaikan oleh
Presiden dan/atau Wakil
Presiden dan DPR.Kesimpulan disampaikan paling lama 14 hari
setelah berakhirnya Sidang
Tahap IV.
Pasal 17 PMK menya-takan, apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri pada waktu pemeriksaan di mahkamah, maka pemeriksaan
dihentikan dan permohonan
dinyatakan gugur oleh
mahkamah.Pernyataan
penghentian pemeriksaan dan
gugurnya permohonan
dituangkan dalam Ketetapan
Mahkamah yang diucapkan
dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum
Pasal 18 PMK menya-takan, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), dilakukan untuk
mengambil keputusan.RPH
dilakukan secara tertutup
dihadiri sekurang-kurangnya
dihadiri oleh 7 orang hakim konstitusi.Pengambilan
keputusan secara musyawarah
dan mufakat.Dalam hal
musyawarah dan mufakat tidak
tercapai, maka keputusan
diambil dengan suara
terbanyak.Dalam hal
pengambilan putusan dilakukan dengan suara terbanyak, maka hakim konstitusi yang ingin menyampaikan pendapat yang berbeda, maka pendapat yang berbeda tersebut harus dimuat dalam putusan .
Pasal 19 PMK menya-takan, Putusan paling lambat 90 hari sejak permohonan dicatat pada Mahkamah Konstitusi.
Putusan dibacakan dalam
Sidang Pleno terbuka untuk umum.
Adapun bentuk putusannya sebagai berikut :
1) Permohonan diterima ;
2) Permohonan tidak dapat
diterima;
3) Permohonan ditolak.
Pasal 19 PMK
menyatakan, Putusan Mahkamah
bersifat final dan
mengikat.Putusan Mahkamah
yang menyatakan permohonan tidak diterima atau permohonan ditolak, maka proses penghentian
Presiden dan/atau Wakil
Presiden terhenti, tidak berlanjut
ke MPR. Sebalik nya
permohonan diterima maka
proses penghentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden
berlanjut ke MPR.
Keputusan MPR untuk
dan/atau Wakil Presiden terhenti diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 anggota dari jumlah anggota dan disetujui
sekurang-kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota yang hadir.
2. Ketentuan Pasal 7B ayat (7) UUD 1945 (mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di sidang paripurna MPR) di hubungkan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 (Negara Indonesia adalah negara hukum ).
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan “ Negara
Indonesia adalah Negara
hukum”. Selanjutnya Pasal 7B ayat (7) UUD 1945 menyatakan :
“Keputusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat atas
usul pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna
Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 3/4 dari
jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil
Presidendiberi kesempatan
menyampaikan penjelasan dalam
rapat paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat.” Ketentuan Pasal 7B ayat (7) UUD 1945 bertentangan dengan
prinsip Negara hukum, karena
Mahkamah Konstitusi telah
memutuskan Presiden dan/atau
Wakil Presiden melakukan
pelanggaran hukum, tetapi pada
akhirnya yang menentukan
pemberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden adalah
MPR, yaitu dengan cara
menggelar sidang paripurna
MPR untuk memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Mekanisme
pemberhentianPresiden dan/atau
Wakil Presiden di MPR
dilakukan dengan cara voting, yaitu keputusan diambil dengan
dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah
anggota dan disetujui oleh
sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir.
Asas dari Negara hukum antara lain berdasarkan atas hukum,
melaksanakan putusan
pengadilan, maka seharusnya
UUD 1945 memberikan
ketentuan MPR harus
melaksanakan putusan MK
sebagai putusan badan peradilan.
Kenyataannya UUD 1945
mengatur pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil
Presiden dilakukan dengan cara
voting di MPR, dengan
mengesampingkan adanya
putusan MK. Akibatnya dapat
terjadi MK memutuskan
Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum, tetapi
dengan mekanisme voting MPR, maka MPR tidak menyetujui pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.Disinilah letak runtuhnya asas Negara hukum oleh UUD 1945.
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
dijelaskan Indonesia adalah
negara hukum. Namun pada
Pasal yang mengatur
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presidenyaitu Pasal 7B ayat (7) UUD 1945, terjadi
ketidaksesuaian atau
pertentangan terhadap Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.Putusan MK
bersifat final dan mengikat
(finally binding) serta
mempunyai kekuatan hukum
tetap (inkracht van gewijdse) kenyataan pelaknaannya masih menunggu mekanisme voting di MPR.
F. Penutup
1. Kesimpulan
a. Penggunaan hak angket
dan hak menyatakan
pendapat oleh DPR hanya untuk menyatakan Presiden dan/atau Wakil Presiden
telah melakukan
pelanggaran hukum oleh
DPR, selanjutnya di
masalah pelanggaran
hukum tersebut dibawa ke Mahkamah
Konstitusi.Proses
persidangan di Mahkamah
Konstitusi untuk menguji pelanggaran hukum yang
dilakukan Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana di tuduhkan DPR.
b. Ketentuan Pasal 7B ayat (7) UUD 1945 (mengatur
pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden di sidang paripurna MPR) tidak sesuai / beretentangan denganPasal 1 ayat (3)
UUD 1945 (Negara
Indonesia adalah negara hukum)
2. Saran-saran
a. Prinsip negara hukum di Indonesia dalam hubungan
dengan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil
Presiden pada sidang
paripurna MPR (Pasal 7B ayat (7) UUD 1945) masih
lemah, maka harus
diperkuat .
b. Untuk memperkuat prinsip
Negara hukum dalam
hubungan dengan
pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil
Presidenpada sidang
paripurna MPR (Pasal 7B ayat (7) UUD 1945), maka
ketentuan mengatur
pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden
dalamsidang paripurna
MPR (Pasal 7B ayat (7) UUD 1945) harus dirubah.
c. Adapun
ketentuanpemberhentian
Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalamsidang
paripurna MPR (Pasal 7B ayat (7) UUD 1945) harus
dirubah, yang inti
perubahannya adalah MPR
wajib melaksanakan
pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden yang telah diputus MK .
DAFTAR PUSTAKA Buku-buku
Abdul Kadir Muhammad,
Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.
Budiono Kusumo Hamidjojo, Filsafat Hukum, Problematika Ketertiban yang Adil, Grasindo, Jakarta, 2004.
IDewa Gede Palguna,
Mahkamah Konstitusi, Judicial Review dan welfare State: Kumpulan Pemikiran I Dewa Gede Palguna, Setjen dan Kepaniteraan MK, Jakarta, 2000.
Jazim hamidi, Teori dan Politik Hukum Tata negara, Total Media, Yogyakarta, 2009. Jimly Asshsidiqie,Hukum Tata
Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
……….,
Perkembangan dan Kondisi
Lembaga Negar Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
Lukman Hakim, Eksistensi
Komisi-Komisi Negara
dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Pustaka Sutra, Jakarta, 2009.
Moh.Kusnadi dan Harmaily
Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, Sinar Bakti, Jakarta, 1988.
Moh.Mahfud MD. Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu,Rajawali Pers, Jakarta, 2009.
RidwanHR. Hukum Adminstrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006. Setiono, Pemahaman Terhadap
Metodologi Penelitian Hukum, UNS, Surakarta, 2005.
Widodo Ekatjajana, Pengujian Peraturan Perundang-undangan dan Sistem Peradilan di Indonesia,
Pustaka Putra, Jakarta,
2008.
Peraturan
perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang
Dasar Negara Republik
……….., Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ………., Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawatan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat,
dan Dewan Perwakilan
rakyat Daerah.
……….., Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor
21/PMK/2009 tentang
Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat
Mengenai Dugaan
Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.