• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STATUS BADAN HUKUM YAYASAN BAGI YAYASAN YANG TIDAK / TERLAMBAT MENYESUAIKAN ANGGARAN DASARNYA BERDASARKAN UNDANG-INDANG YAYASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II STATUS BADAN HUKUM YAYASAN BAGI YAYASAN YANG TIDAK / TERLAMBAT MENYESUAIKAN ANGGARAN DASARNYA BERDASARKAN UNDANG-INDANG YAYASAN"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

STATUS BADAN HUKUM YAYASAN BAGI YAYASAN YANG TIDAK / TERLAMBAT MENYESUAIKAN ANGGARAN DASARNYA

BERDASARKAN UNDANG-INDANG YAYASAN

1. Eksistensi Badan Hukum Yayasan

1.1. Eksistensi Badan Hukum Yayasan berdasar Hukum Kebiasaan

Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 juncto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, telah banyak Yayasan yang didirikan dengan berdasar pada hukum kebiasaan. Lazimnya badan hukum, Yayasan-Yayasan itu didirikan dengan akta otentik, akta otentik berdasarkan BW Pasal 1868 adalah suatu akta yang didalam bentuk bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya9 dan didaftarkan ke Pengadilan negeri. Mekanisme demikian berjalan tanpa landasan hukum yang ada, melainkan karena kebiasaan. Bahkan kesediaan Pengadilan Negeri untuk pendaftaran Yayasan-Yayasan tersebut menunjukkan adanya pengakuan oleh negara.

Keberadaan Yayasan-Yayasan tersebut diakui sebagai badan hukum, sama dengan badan hukum lainnya. Hal ini terbukti bahwa masyarakat dan juga negara mengakui hubungan hukum yang dilakukan oleh Yayasan-Yayasan tersebut.

9

R Subekti, R. Tjitrosudibio, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA, PT Pradadnya Paramita, 2001, Jakarta, h.475

(2)

Bukti itu dapat ditunjukkan dalam beberapa bentuk antara lain

a. Secara kasat mata kita saksikan banyak lembaga pendidikan yang didirikan dengan menggunakan nama Yayasan.

b. Dikeluarkannya ijin operasional pendidikan oleh Pemerintah setempat terhadap Yayasan penyelenggara pendidikan tersebut.

c. Diterimanya pendaftaran berdirinya Yayasan tersebut oleh Pengadilan negeri.

Cirri-ciri Yayasan sebagai suatu entitas hukum berdasarkan hukum kebiasaan dan praktak hukum yang terjadi di Indonesia adalah sebagai berikut10:

1. Eksistensi Yayasan sebagai entitas hukum di Indonesia belum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

2. Pengakuan Yayasan sebagai badan hukum belum ada dasar yuridis yang tegas berbeda halnya dengan PT, Koperasi dan badan hukum lain

3. Yayasan dibentuk dengan memisahkan kekayaan pribadi pendiri untuk tujuan nirlaba, untuk tujuan religious, sosial keagamaan, kemanusiaan, dan tujuan idiil yang lain

4. Yayasan didirikan dengan akta notaris atau dengan surat keputusan pejabat yang bersangkutan dengan pendirian Yayasan

5. Yayasan tidak memiliki anggota dan tidak memiliki siapapun, namun mempunyai pengurus atau organ untuk merealisasikan tujuan Yayasan

10Husen Basri, TESIS KARAKTARISTIK YAYASAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004, Program studi Magister Kenotariatan, Universitas Airlangga, 2005, h.18-19

(3)

6. Yayasan mempunyai kedudukan yang mandiri, sebagai akibat dari adanya kekayaan yang terpisah dari kekayaan pribadi pendiri atau pengurusnya dan mempunyai tujuan sendiri, berbeda atau terlepas dari tujuan pribadi pendiri atau pengurus

7. Yayasan diakui sebagai badan hukum seperti halnya orang yang berarti ia diakui sebagai subyek hukum mandiri yang dapat menyandang hak dan kewajiban mandiri, didirikan dengan akta dan didaftarkan di kantor kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat, dan

8. Yayasan dapat dibubarkan oleh Pengadilan bila tujuan Yayasan bertentangan dengan hukum, dapat dilikuidasi dan dapat dinyatakan pailit

Dari aspek hukum tata negara, setiap penyelenggara negara dalam melaksanakan fungsinya harus berdasar pada perUndang-Undangan. Hal ini penting agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang (onrechtmatig

overheidsdaad). Sementara itu pengadilan negeri menerima pendaftaran badan

hukum Yayasan, dan demikian pula Dinas Pendidikan memberikan Ijin Operasional sekolah dan tidak ada Perundang-undangan yang menjadi landasannya. Tetapi karena hal ini dilaksanakan terus menerus dan diterima oleh masyarakat maupun badan resmi pemerintah, maka tindakan tersebut menjadi hukum kebiasaan.

Dengan berdasar pada hukum kebiasaan, begitu banyak Yayasan yang didirikan pada masa itu dengan tujuan sosial yang bermacam-macam, misalnya Yayasan pendidikan, yayasan pondok pesantren, Yayasan masjid, Yayasan Anak Yatim Piatu, Yayasan Panti Jompo dan lain-lain. Bahkan tokoh-tokoh

(4)

pemerintahan juga mendirikan beberapa Yayasan seperti Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Yayasan Supersemar dan lain-lain, tetapi semua itu belum ada perUndang-Undangan yang mengatur secara jelas tentang apa dan siapa Yayasan itu. Sehingga tidak menutup kemungkinan terdapat Yayasan-Yayasan yang didirikan dengan kedok tujuan sosial, tetapi kenyataannya untuk kepentingan pribadi.

Kenyataan tersebut juga diungkapkan dalam Penjelasan Undang-Undang Yayasan sebagai berikut “fakta menunjukkan kecenderungan masyarakat mendirikan Yayasan dengan berlindung dibalik status badan hukum Yayasan , yang tidak hanya digunakan sebagai wadah mengembangkan kegiatan sosial , keagamaan dan kemanusiaan, melainkan ada kalanya bertujuan untuk memperkaya diri para pendiri, pengurus, dan pengawas” Dengan demikian Yayasan-Yayasan itu menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang bisa menggali dana dari mana saja dan digunakan untuk apa saja sesuai kehendak para pendiri, pengurus dan pengawasnya. Tidak ada pemisahan harta pendiri dan harta Yayasan, tidak ada pertanggungjawaban publik, tidak ada transparansi dan lain-lain.

Beberapa peraturan perundang-undangan secara tidak tegas mengakui bahwa Yayasan adalah badan hukum, diantaranya yaitu11:

11Teddy Padma Kwardiano, Tesis : TANGGUNG GUGAT ORGAN YAYASAN ATAS KESALAHAN ATAU KELALAIAN DALAM MENGURUS YAYASAN, Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Airlangga, 2005, h.14

(5)

a) UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi (LN 1955-27) Pasal 15 yang mengatur tentang penghukuman terhadap badan hukum Yayasan

b) UUPA Nomor 5 Tahun 1960 (LN 1960-164 TLN 2034) Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 49 Jo Pasal 1 PP Nomor 38 Tahun 1983 tentang penunjukkan Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, mengakui bahwa Yayasan dapat memiliki hak atas tanah c) UU Kepailitan telah mensejajarkan Yayasan sebagai badan hukum

yang dapat dijatuhkan putusan pailit, asal saja sebagai debitur yang dalam keadaan berhenti membayar

d) Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1951 tentang bursa yang kemudian diubah statusnya menjadi Undang-Undang biasa, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1952 dimana Pasal 9 undang-undang ini menyatakan bahwa jika suatu perbuatan diancam menurut Undang-Undang tesebut, dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan lain, atau Yayasan, maka penuntutan hukuman dilakukan dan hukuman dijatuhkan dan/atau tindakan diambil terhadap anggota pengurus badan hukum itu atau terhadap wakil-wakilnya apabila mereka tidak berada di Indonesia.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka ditetapkanlah Undang-Undang Yayasan dengan maksud untuk “memberikan pemahaman-pemahaman yang benar pada masyarakat mengenai Yayasan, menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta mengembalikan fungsi Yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka

(6)

mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan dan kermanusiaan”. Demikian ini bunyi penjelasan Undang-Undang Yayasan.

Selain fakta-fakta diatas status hukum Yayasan sebagai badan hukum dapat pula diketahui dari berbagai teori mengenai badan hukum. Dalam kaitan badan hukum dapat dikemukakan teori-teori sebagai berikut12:

a. Teori Fiksi

Teori ini dipelopori oleh Von Savigny. Menurutnya, bahwa badan hukum itu semata-mata buatan Negara saja. Badan hukum itu suatu fiksi, yakni sesuatu yang sebenarnya tidak ada, tetapi orang menciptakan dalam bayangannya suatu badan hukum yang dianggapnya sama dengan manusia. Dengan kata lain, sebenarnya menurut alam hanya manusia sajalah sebagai subyek hukum, sedang badan hukum hanya sebagai subyek. Jadi orang bersikap seolah-olah ada subyek hukum yang lain, tetapi dalm wujud yang tidak riil, sehingga tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan. Untuk melakukan perbuatan tersebut, maka manusialah yang melakukannya sebagai wakil-wakilnya.

b. Teori Orgaan

Sebagai reaksi atau lawan dari teori fiksi menimbulkan ajaran yang disebut teori realitas. Ajaran (teori) ini kemudian lebih dikenal dengan nama teori organ. Ajaran ini dipelopori oleh Von Gierke di Jerman.

12

Prof.Dr.Anwar Borahima, S.H., M.Hum., KEDUDUKAN YAYASAN DI INDONESIA, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, h.59

(7)

Menurut ajaran ini, badan hukum itu merupakan suatu realitas sesungguhnya sama seperti sifat kepribadian alam manusia didalam pergaulan hukum. Badan hukum ini mempunyai kehendak atau kemampuan sendiri yang dibentuk melalui perantaraan alat-alat perlengkapannya (organnya) seperti pengurus atau anggota-anggotanya. Kehendak atau kemauan dari badan hukum identik dengan kehendak atau kemauan dari pengurus atau anggota. Teori ini sekaligus menggambarkan tidak adanya perbedaan antara manusia dan badan hukum. Pengikut ajaran ini di Belanda yaitu, L.C Polano yang terkenal dengan ajarannya Leer der volledige realiteit (ajaran realitas sempurna)

c. Teori Kenyataan Yuridis (Jurdische Realiteit)

Dari teori organ muncullah suatu teori baru yang merupakan penyempitan dari teori organ yang disebut teori kenyataan yuridis. Ajaran ini dikemukakan oleh E.M. Meijers dan dianut oleh Paul Scholten, dan sudah merupakan ajaran yang diterima umum (heersende leer).

Menurut Meijers, badan hukum itu merupakan suatu realitas, konkret, riil, walaupun tidak dapat diraba, bukan khayal, tetapi suatu kenyataan yuridis. Meijers menyebut teori tersebut, teori yang sederhana (envoudige realitetit). Disebut sederhana karena menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia itu terbatas sampai pada bidang hukum saja. Jadi menurut teori kenyataan yuridis badan hukum adalah wujud yang riil, seperti halnya dengan manusia.

Teori yang dianut oleh Paul Scholten ini berasal dari teori organ yang dipersempit, artinya tidak begitu mutlak lagi, artinya sekedar diperlukan untuk

(8)

hukum, sehingga tidak perlu lagi ditanyakan dimana tangan, kaki dan otaknya. Oleh karena itu menurut Paul Scholten, jika ada masalah yang timbul dalam badan hukum tidak perlu dipersulit, tetapi semuanya dikembalikan kepada perwakilannnya.

d. Teori Kekayaan Kolektif (Leer van de Collectieve Eigendom)

Teori ini dikemukakan oleh Rudolf von Jhering. Pembela teori ini adalah Marcel Planiol (Prancis) dan Mollenggraaff (Belanda), kemudian diikuti pula Star Busmann, Kranenburg, Paul Scholten dan Apeldoorn.

Menurut teori ini, hak dan kewajiban badan hukum itu pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama. Mereka bertanggungjawab bersama-sama. Disamping hak milik pribadi, hak milik serta kekayaan itu merupakan harta kekayaan bersama. Dengan kata lain, bahwa orang-orang yang berhimpun itu semuanya merupakan satu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang disebut badan hukum. Oleh sebab itu, badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis belaka. Pada hakikatnya badan hukum adalah sesuatu yang abstrak.

e. Teori Kekayaan Bertujuan (Doel vermogen)

Teori ini dipelopori oleh Brinz. Menurut teori ini hanya manusia yang dapat menjadi subyek hukum, karena itu badan hukum bukan subyek hukum dan hak-hak yang diberikan kepada badan hukum pada hakikatnya hak-hak tanpa subyek hukum. Namun demikian, tidak dapat disangkal adanya hak-hak atas kekayaan, sedangkan tidak ada manusia yang menjadi pendukung hak-hak itu, dengan kata lain kekayaan badan hukum, dipandang terlepas dari yang memegangnya. Jadi hak-hak dari suatu badan hukum, sebenernya adalah hak-hak

(9)

yang tidak ada yang mempunyainya, dan sebagai penggantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atau kekayaan kepunyaan suatu tujuan. Disini yang terpenting kekayaan tersebut diurus dengan tujuan tertentu tanpa peduli siapakah badan hukum itu apakah manusia atau bukan, apakah kekayaan itu merupakan hak-hak normal atau tidak.

f. Teori tentang Harta Kekayaan yang Dimiliki oleh seseorang dalam Jabatannya (leer van Het Ambtelijk Ver Mogen)

Pelopor teori ini adalah Holder dan Binder. Menurut ajaran ini, tidak mungkin mempunyai hak jika tidak dapat melakukan hak itu, dengan kata lain tanpa daya kehendak (wilsvermorgen), tidak ada kedudukan sebagai subyek hukum.

Ini merupakan konsekuensi terluas dari teori yang menitik beratkan pada daya berkehendak. Untuk badan hukum, yang berkehendak adalah para pengurus, maka pada badan hukum semua hak itu diliputi oleh pengurus. Dalam kualitasnya sebagai pengurus mereka berhak, karena itu disebut ambelijk vermorgen. Konsekuensi ajaran ini ialah, bahwa orang yang belum dewasa, dimana wali melakukan segala perbuatan hukum, eigendom ada pada curatele eigenaarnya atau kuratornya. Teori ambelijk vermorgen ini mendekati teori kekayaan bertujuan (doel vermogen).

g. Teori Leon Duguit

Duguit tidak mengakui hak yang oleh hukum diberikan kepada subyek hukum, tetapi hanya fungsi-fungsi sosial yang harus dilakukan oleh subyek hukum itu. Disamping itu, Duguit menegaskan pula bahwa hanya manusia dapat

(10)

menjadi subyek hukum tanpa menjadi pendukung hak. Oleh karena itu Duguit hanya menerima manusia sebagai subyek hukum, maka baginya juga hanya manusia menjadi subyek hukum internasional.

1.2. Eksistensi Badan Hukum Yayasan Berdasar PerUndang-Undangan

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan pada 6 Agustus 2001, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004, maka sejak itu terdapat payung hukum yang diharapkan dapat memberikan jaminan kepastian dan ketertiban hukum atas berdirinya sebuah Yayasan.

Syarat-syarat bagi berdirinya Yayasan diatur dalam BAB II mengenai pendirian dalam Undang- Undang tentang Yayasan, dimana Pasal-Pasal pada Undang-Undang tersebut menentukan tentang berdirinya sebuah Yayasan, dan tentang kapan Yayasan yang didirikan tersebut mempunyai kedudukan sebagai badan hukum, hal tersebut diatur oleh Pasal 11 (1) sebagai berikut “ Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), memperoleh pengesahan dari menteri’.

Dengan demikian jelas bahwa syarat utama bagi berdirinya Badan Hukum Yayasan adalah PENGESAHAN MENTERI. Tanpa pengesahan Menteri, Yayasan tidak berkedudukan sebagai badan hukum.

Persoalan kemudian muncul, ketika banyak Yayasan yang didirikan sebelum berlakunya Undang-Undang Yayasan, dengan berbagai alasan tidak

(11)

dapat menyesuaikan diri dengan ketentuan Pasal 71 Undang Undang-Undang Yayasan.

Adapun kalimat lengkap Pasal-Pasal tersebut adalah sebagai berikut : Pasal 71 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 :

(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Yayasan yang telah,

a. Didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, atau

b. Didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait tetap diakui sebagai badan hukum, dengan ketentuan dalam waktu paling lambat (5) lima tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini Yayasan tersebut wajib menyesuaikan Anggaran dasarnya dengan ketentuan Undang-Undang ini.

(2) Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diberitahukan kepada Menteri paling lambat (1) satu tahun setelah pelaksanaan penyesuaian (3) Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran dasarnya dalam jangka

waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.

Kemudian dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004, Pasal tersebut diubah yang secara lengkap penulis kutip sebagai berikut :

(1). Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Yayasan yang telah,

a. Didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, atau

(12)

b. Telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait; tetap diakui sebagai badan hukum, dengan ketentuan dalam waktu paling lambat (3) lima tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini berlaku, Yayasan tersebut wajib menyesuaikan Anggaran dasarnya dengan ketentuan Undang-Undang ini. (2). Yayasan yang telah didirikan dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud pada dapat memperoleh status badan hukum dengan cara menyesuaikan anggaran dasarnya dengan Undang-Undang ini. Dan mengajukan permohonan kepada menteri dalam jangka waktu paling lambat (1) satu tahyun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku. (3). Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diberitahukan kepada

menteri paling lambat (1) satu tahun setelah pelaksanaan penyesuaian

(4). Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depannya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.

Penambahan ayat (4) pada Pasal 71, inilah yang kemudian menimbulkan masalah pada Yayasan yang tidak/belum menyesuaikan anggaran dasarnya dengan Undang-Undang tersebut.

Memperhatikan Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 tersebut, menimbulkan pertanyaan, apakah dengan demikian eksistensi Yayasan

(13)

yang tidak / belum menyesuaikan anggaran dasarnya dengan Undang-Undang tersebut TIDAK DIAKUI dan BUBAR DEMI HUKUM ?

2. Eksistensi badan hukum Yayasan lama yang tidak menyesuaikan Anggaran dasarnya dengan Undang-Undang Yayasan.

2.1. Asas Pembentukan PerUndang-Undangan

Memperhatikan kalimat pada Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004, menurut penulis Pasal tersebut tidak sesuai dengan asas pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan khususnya apa yang dimaksud Pasal 5 huruf d dan f, Pasal tersebut juga tidak sesuai dengan asas materi muatan khususnya Pasal 6 huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan PerUndang-Undangan.

Asas pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan sebagaimana dimaksud Pasal 5 huruf d dan f adalah sebagai berikut :

- Asas dapat dilaksanakan, yang artinya bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut didalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis maupun yuridis

- Asas kejelasan rumusan, yang artinya bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

(14)

Sementara asas muatan materi sebagaimana dimaksud Pasal 6 huruf i adalah asas ketertiban dan kepastian hukum ( bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum )

Ditinjau dari asas “dapat dilaksanakan”, terbukti Pasal tersebut tidak dapat dilaksanakan, karena tidak memberikan solusi terhadap banyaknya Yayasan pendidikan yang tetap melaksanakan kegiatannya, meskipun belum menyesuaikan anggaran dasarnya dengan Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004.

Ditinjau dari asas kejelasan rumusan, Pasal tersebut di atas tidak sesuai dengan apa yang dimaksud Pasal 5 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Apakah kalimat “dilarang menggunakan nama Yayasan di depan namanya” sebagaimana dimaksud Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 merupakan norma larangan, yaitu larangan untuk melakukan perbuatan hukum ataukah merupakan norma pembubaran Yayasan. Kalau memang yang dimaksud adalah norma pembubaran, mestinya rumusan kalimatnya adalah sebagai berikut :” Yayasan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2), dinyatakan bubar” . Dengan rumusan tersebut Pasal tersebut lebih jelas, tegas dan tidak menimbulkan multi tafsir.

Dari segi ragam bahasa pun, Pasal ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Undang-

(15)

PerUndang-Undangan. Pada Bab III lampiran Undang-Undang no 12 Tahun 2011 dijelaskan bahwa ciri bahasa hukum antara lain adalah :

a. Lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau rancu. b. Bercorak hemat, hanya kata yang diperlukan yang dipakai

c. Obyektif dan menekan rasa subyektif (tidak emosi dalam mengungkapkan tujuan atau maksud)

d. Membakukan makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan secara konsisten

e. Memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat

f. Penulisan kata yang bermakna tunggal atau jamak selalu dirumuskan dalam bentuk tunggal; dan

g. Penulisan huruf awal dari kata,frasa atau istilah yang sudah didefinisikan atau diberikan batasan pengertian, nama jabatan, nama profesi , nama institusi/lembaga pemerintah/ketenagakerjaan, dan jenis Peraturan Perundang-undangan dan rancangan Peraturan Perundang-undangan dalam rumusan norma ditulis dengan huruf capital.

Oleh sebab itu bila yang dikehendaki oleh Pasal 71 ayat 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 adalah adalah norma pembubaran Yayasan, mengapa kalimatnya harus berputar-putar, tidak hemat dan tidak lugas ?

Menurut penulis, ketidakjelasan Pasal tersebut, bukan tidak diketahui oleh pembuat Undang-Undang, tetapi pembuat undang-undang menyadari bahwa

(16)

bila Pasal tersebut secara tegas berisi norma pembubaran, akan berdampak sangat luas dan akan menimbulkan gejolak dalam masyarakat.

Penulis berpendapat demikian karena sebelumnya pada Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 disebutkan “...dapat dibubarkan berdasar putusan pengadilan...dst.”. Pada Pasal tersebut ada kata “dibubarkan”, tapi di depannya diselipkan kata “dapat” sehingga kalimat tersebut menimbulkan ketidakpastian, artinya bisa dibubarkan, bisa juga tidak. Oleh sebab itu dilakukan perubahan dengan maksud untuk memberikan kepastian.

Bila itu yang dimaksudkan sesungguhnya cukup menghilangkan kata “dapat” telah selesai. Tetapi pada kenyataannya ditambahkan beberapa kalimat sehingga menimbulkan kerancuan. Sehingga Pasal perubahan tersebut tidak ada bedanya dengan Pasal sebelumnya.

Menurut penulis para pembuat Undang-Undang adalah oarng ahli atau setidak-tidaknya melibatkan para ahli Perundang-undangan dalam melahirkan norma tersebut, mustahil bila tidak memahami hal tersebut.

Akan tetapi dengan substansi Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 sebagaimana yang ada saat ini, justru menimbulkan ketidakpastian hukum.

2.2. Tafsir Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004

Di samping adanya ketidaksesuaian, dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan PerUndang-Undangan, Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 juga menimbulkan multi tafsir dan masalah hukum yang rumit.

(17)

Tafsir pertama, kalimat “larangan menggunakan nama Yayasan di

depannya” dapat ditafsirkan bermacam-macam

a. bahwa Yayasan tersebut bubar, sehingga eksistensi kebadanhukuman Yayasan tersebut sudah tidak diakui dan oleh sebab itu tidak boleh melakukan perbuatan atau hubungan hukum. Konsekuensinya apabila melakukan perbuatan atau hubungan hukum atas nama Yayasan, maka perbuatan atau hubungan hukum itu dianggap tidak pernah ada.

Hal tersebut di atas menjadi lebih jelas bila memperhatikan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 sebagai berikut : “ Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2) , memperoleh pengesahan menteri.

Dalam konteks tersebut, jelas bahwa Yayasan yang belum menyesuaikan anggaran dasarnya dengan Undang-Undang Yayasan, pasti belum mendapat pengesahan dari menteri. Oleh sebab itu berdasar Pasal tersebut status badan hukum Yayasan tersebut dianggap tidak pernah ada.

Ketidakabsahan perbuatan atau hubungan hukum Yayasan tersebut diperjelas juga oleh Pasal 13A yang menentukan bahwa : “perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurus atas nama Yayasan sebelum Yayasan memperoleh status badan hukum, menjadi tanggung jawab pengurus secara tanggung renteng”.

Kalau tafsir ini benar dan diakui, tentu ada implikasi hukum atas perbuatan hukum yang dilakukan, yaitu perbuatan hukumya tidak sah. Lebih jauh lagi segala keputusan yang dikeluarkan oleh Yayasan tersebut tidak sah.

(18)

Demikianpun terhadap Yayasan-Yayasan pendidikan yang belum menyesuaikan dengan Undang-Undang Yayasan di mana kepala sekolahnya diangkat oleh Yayasan, maka keputusan pengangkatan kepala sekolah tersebut tidak sah. Karena kepala sekolahnya tidak sah, maka ijazah yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh kepala sekolah tersebut juga tidak sah. Artinya dari aspek legal formal logika itu benar adanya

Sementara itu realitasnya masih begitu banyak Yayasan pendidikan yang belum menyesuaikan dengan Undang-Undang Yayasan tetapi tetap eksis melakukan kegiatan pendidikan dan memberikan ijazah pada lulusannya. Bahkan pemerintah dalam hal ini Dinas pendidikan setempat masih memberikan ijin operasional kepada sekolah-sekolah tersebut.

Adakah keberanian Pemerintah untuk menegakkan Undang-Undang Yayasan secara konsisten sesuai tafsir tersebut dengan tidak mengakui ijazah lulusan sekolah yang dikelola oleh Yayasan yang belum menyesuaikan dengan Undang-Undang Yayasan ?

Terhadap permasalahan tersebut ternyata pemerintah sangat jelas TIDAK menggunakan tafsir pertama tersebut. Hal ini terbukti adanya Keputusan Tata Usaha Negara baik yang dibuat oleh pejabat pusat maupun daerah yang menguatkan pernyataan penulis tersebut.

Dalam hal ini penulis ingin mengemukakan fakta yang cukup menarik yaitu atas kasus sengketa Yayasan Ta’mirul Masjid Kemayoran Surabaya yang didirikan sebelum lahirnya Undang-Undang Yayasan (selanjutnya disingkat

(19)

YTMKS ) versus Yayasan Ta’mirul Masjid Kemayoran Surabaya yang didirikan setelah lahirnya Undang-Undang Yayasan (YTMKS baru) dan telah mendapat pengesahan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia .

Dua Yayasan yang namanya sama, alamatnya sama dan hartanya sama. Yang lama belum menyesuaikan dengan Undang-Undang Yayasan, sementara yang baru didirikan berdasar Undang-Undang Yayasan, dengan memasukkan seluruh harta YTMKS sebagai harta kekayaannya tanpa adanya proses pengalihan hak.

Terhadap pengesahan Menteri tersebut, YTMKS meminta penjelasan pada Menteri dan sekaligus melayangkan gugatan ke Pengadilan tata Usaha Negara di jakarta.

Atas permintaan penjelasan YTMKS tersebut menteri mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara berupa surat yang isinya janggal dan menimbulkan ketidakpastian hukum, yakni mengakui keabsahan kedua Yayasan tersebut.

Pada isi surat itu antara lain dijelaskan bahwa :

a. YTMKS baru dan YTMKS adalah dua Yayasan yang berbeda dan tidak ada hubungannya.

b. YTMKS tetap diakui dan tetap dapat melanjutkan kegiatannya.

Terhadap isi surat tersebut jelas menunjukkan bahwa Pemerintah masih mengakui eksistensi YTMKS dan tetap dapat melaksanakan kegiatannya.

(20)

Demikianpun terhadap gugatan yang dilayangkan pada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia , pada akhirnya sampai pada tingkat kasasi dimenangkan oleh YTMKS , di mana pada salah satu amar putusannya mahkamah Agung memerintahkan untuk mencabut Keputusan menteri Hukum dan Ham yang mengesahkan YTMKS baru sebagai badan hukum.

Dari uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa lembaga eksekutif dan yudisiil tidak menggunakan tafsir pertama tersebut sebagai pijakan dalam melaksanakan Undang-Undang Yayasan.

Tafsir kedua, Yayasan tersebut tetap eksis, tetapi tidak boleh melakukan

perbuatan hukum. Artinya status kebadanhukuman Yayasan tersebut tetap hidup dan diakui, tetapi tidak dapat bergerak, sampai memenuhi sayarat sebagaimana dimaksud Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004.

Seperti manusia yang mengalami coma, hidup, bernafas dan memerlukan nutrisi, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa. Hidup tetapi tidak hidup. Penulis berpendapat demikian karena akhir kalimat pada Pasal tersebut dinyatakan “…dan dapat dibubarkan atas putusan pengadilan atas permohonan kejaksaan atau pihak yang berkepentingan”. Logika hukumnya adalah apabila dengan pernyataan “dilarang memakai kata Yayasan di depannya”, serta merta Yayasan dianggap bubar, mengapa masih harus ditambah kalimat seperti itu ? Bila proses peradilan untuk pembubaran Yayasan tersebut benar-benar terjadi, pertanyaannya adalah apa yang akan dibubarkan ? bukankah Yayasan tersebut sudah bubar ?

(21)

Selain itu, kata “dapat” pada kalimat “dan dapat dibubarkan melalui putusan pengadilan...dst, pada Pasal 71 ayat(4) menunjukkan pembubaran oleh pengadilan bukan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Dengan kata lain, pada Pasal tersebut cukup sampai pada kalimat “tidak boleh menggunakan kata Yayasan di depannya”, maka Yayasan dianggap bubar. Demikian halnya mengapa Pasal tersebut masih ditambah dengan kalimat “..dan dapat dibubarkan melalui putusan pengadilan…dst” ? kalimat akhir pada Pasal 71 ayat (1) ini, justru menimbulkan interpretasi bahwa Yayasan masih hidup.

Demikian pula kata “dan” pada kalimat “dan dapat dibubarkan melalui putusan pengadilan..dst”, menandakan bahwa putusan pengadilan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk pembubaran Yayasan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 71 ayat (1) dan (2). Tetapi di setelah “dan” ditambahkan kata “dapat”, yang menggambarkan bahwa pembubaran oleh pengadilan itu bukan suatu keharusan. Jelas sekali bahwa dari aspek Teknik penyusunan peraturan perUndang-Undangan dan ragam bahasa , Pasal tersebut tidak sesuai dengan asas kejelasan rumusan sebagaimana dimaksud Pasal 5 huruf d Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perUndang-Undangan.

Bahkan penulis berpendapat bahwa dalam satu Pasal terjadi konflik norma yang berbeda. Adapun konstruksi norma yang berbeda tersebut menurut penulis adalah sebagai berikut :

(22)

a. Yayasan tidak boleh lagi menggunakan kata Yayasan di depan namanya karena badan hukum Yayasan sudah bubar.

b. Yayasan dapat dibubarkan melalui putusan pengadilan atas permohonan kejaksaan atau pihak yang berkepentingan. Artinya pada saat permohonan pembubaran diajukan oleh kejaksaan atau pihak yang berkepentingan, dan pada masa proses peradilan, status badan hukum Yayasan tersebut masih eksis dan belum bubar. Sebab kalau sudah bubar, untuk apa diajukan permohonan pembubaran.

Hal ini dapat dikaitkan dengan Pasal 63 yang kalimat lengkapnya adalah sebagai berikut :

(1) Dalam hal Yayasan bubar karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf a dan huruf b, Pembina menunjuk likuidator untuk membereskan kekayaan Yayasan

(2) Dalam hal tidak ditunjuk likuidator, pengurus bertindak selaku likuidator.

(3) Dalam hal Yayasan bubar, Yayasan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali untuk membereskan kekayaannya dalam proses likuidasi.

(4) Dalam hal Yayasan sedang dalam proses likuidasi, untuk semua surat keluar, dicantumkan frasa “dalam likuidasi”, dibelakang nama Yayasan.

(23)

Terhadap Pasal tersebut ada dua permasalahan mendasar yang dapat diketengahkan, pertama apa yang akan dilikuidasi ? tentu jawabannya yang dilikuidasi adalah Yayasan. Tetapi bukankah berdasar Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang Yayasan, sudah tidak mengakui lagi kebadanhukuman Yayasan ? kalau yang dilikuidasi bukan badan hukum Yayasan, lalu badan hukum apa ?

Pertanyaan kedua yang dapat diketengahkan adalah “pengurus” yang ditunjuk untuk melakukan likuidasi tersebut dalam kapasitas sebagai pengurus apa ? Pengurus Yayasan atau bukan ? pasti jawabannya adalah pengurus Yayasan. Kita kembalikan pada Pasal 71 ayat (4), bukankah berdasar Pasal tersebut kebadanhukuman Yayasan sudah tidak diakui Kembali. Demikian pula bila kita lanjutkan dengan pertanyaan Siapa yang menunjuk liquidator menurut Pasal tersebut ? jawabnya juga Yayasan, padahal jelas sekali berdasar Pasal 71 ayat (4), keberadaan Yayasan sudah tidak diakui lagi.

Yang ketiga adalah mencantumkan frasa “dalam likuidasi” dibelakang nama Yayasan, kita kembalikan lagi pada Pasal 71 ayat (4) yang tidak dapat menggunakan nama Yayasan di depan namanya. Bila tidak ada nama Yayasan, lalu apa yang sedang dalam keadaan dilikuidasi?

Dari dua tafsir serta permasalahan yang diketengahkan menggambarkan bahwa dari teknik penyusunan perUndang-Undangan ada kekeliruan yaitu adanya

konflik norma, antara norma yang satu dengan norma yang lain. Selain itu

menyalahi asas kejelasan norma sebagaimana dimaksud Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

(24)

3. Bubarnya Yayasan Menurut Undang-Undang Yayasan

Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. dari pengertian tersebut sehingga apabila tujuan dari Yayasan telah tercapai maka Yayasan dapat saja bubar atau meneruskan Yayasan tersebut.

Bubarnya Yayasan diatur dalam Undang-Undang Yayasan dan dituangkan dalam Pasal 62, sebagai berikut :

Yayasan bubar karena :

a. Jangka waktu yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar berakhir;

b. Tujuan Yayasan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar telah tercapai atau tidak tercapai;

c. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan :

1) Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan;

2) Tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; atau 3) Harta kekayaan Yayasan tidak cukup untuk melunasi utangnya

setelah pernyataan pailit dicabut. Pasal 63 :

(25)

(1) Dalam hal Yayasan bubar karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf a dan huruf b, Pembina menunjuk likuidator untuk membereskan kekayaan Yayasan

(2) Dalam hal tidak ditunjuk likuidator, pengurus bertindak selaku likuidator

(3) Dalam hal Yayasan bubar, Yayasan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali untuk membereskan kekayaannya dalam proses likuidasi

(4) Dalam hal Yayasan sedang dalam proses likuidasi, untuk semua surat keluar, dicantumkan frasa “dalam likuidasi” dibelakang nama Yayasan

Dalam hal Yayasan bubar karena pailit, maka berlaku undang-undang kepailitan hal ini sesuai dengan Pasal 64 undang-undang Yayasan sebagai berikut :

(1) Dalam hal Yayasan bubar karena putusan pengadilan, maka pengadilan juga menunjuk likuidator

(2) Dalam hal pembubaran Yayasan karena pailit berlaku peraturan perundang-undangan dibidang kepailitan

(3) Ketentuan mengenai penunjukan, pengangkatan, pemberhentian sementara, pemberhentian, wewenang, kewajiban, tugas dan tanggung jawab, serta pengawasan terhadap pengurus, berlaku juga bagi likuidator.

(26)

Apabila dibandingkan dengan badan hukum lain (perseroan terbatas), dimana dasar terjadinya pembubaran perseroan diatur dalam Pasal 142 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas selanjutnya disebut undang-undang perseroan terbatas, adalah sebagai berikut :

a. Berdasarkan keputusan RUPS,

b. Karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir,

c. Berdasarkan penetapan pengadilan,

d. Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan Niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan,

e. Karena harta pailit perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang kepailitan dan kewajiban pembayaran utang, atau

f. Karena dicabutnya izin usaha perseroan sehingga mewajiban perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pembubaran perseroan menurut hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 143 ayat (1) adalah :

 Penghentian kegiatan usaha perseroan

 Namun penghentian kegiatan usaha itu, tidak mengakibatkan status hukumnya “hilang”

(27)

 Perseroan dibubarkan baru kehilangan status badan hukumnya, sampai selesainya likuidasi, dan pertanggungjawaban likuidator proses akhir likuidasi diterima oleh RUPS, pengadilan negeri dan Hakim pengawas. Apabila penulis bandingkan dengan pembubaran yang ada di dalam Undang-Undang Yayasan pada Pasal 62 dan 63 dan Undang-Undang Perseroan Terbatas Pasal 142 dan 143 (1) , maka kedua badan hukum tersebut diatas masih tetap diakui sebagai badan hukum hingga proses likuidasi atau proses pembubaran berakhir. Meskipun status hukumnya masih tetap ada sampai pertanggung jawaban likuidator atas hasil akhir proses likuidasi diterima RUPS atau pengadilan, akan tetapi eksistensi dan validitasnya adalah “perseroan” dalam likuidasi atau “Perseroan dalam pembubaran” (verffening, liquidation or

settlement)13. Hal ini juga berlaku pada Yayasan dimana pengurus bertindak

selaku likuidator dan Yayasan juga tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali untuk membereskan kekayaannya dalam proses likuidasi.

Bandingkan hal tersebut diatas dengan pada Pasal 71 (4) Undang-Undang Yayasan, dimana belum terdapat proses pembubaran tetapi Yayasan tersebut tidak boleh menggunakan nama Yayasan didepan namanya, lalu bagaiamana status kebadan hukumannya? Lalu bagaimana pula status harta kekayaannya? Apabila tidak boleh menggunakan nama Yayasan, lalu harta tersebut adalah milik siapa apabila Yayasan tersebut telah dianggap bubar dengan sendirinya tanpa proses pembubaran?

13

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun Pemilu 2004 diwarnal oleh berbagai kerumltan, tetapi secara umum sistem Pemilu 2004 lebih balk dibandingkan Pemilu sebelumnya. Pemlllh dapat menentukan sendiri pilihannya,

[r]

Sebuah katrol dari benda pejal dengan tali yang dililitkan pada sisi luarnya ditampilkan seperti gambar.. Gesekan

Hasil penelitian ini adalah (1) jumlah siswa putri yang mengalami tingkat kesulitan rendah cara belajar matematika lebih banyak (53%) dari pada jumlah siswa putra yang

802 Sukaraja Gedong Tataan mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa untuk pelaksanaan kegiatan tahun anggaran 2012, seperti tersebut dibawah ini:. NO NAMA PAKET PEKERJAAN

Orang pertama yang memasuki pelataran Kabah sejak saat itu, tidak peduli dari kabilah mana , harus memutuskan siapa yang akan mengangkat baru itu. Begitu keputusan

Setelah mengikuti mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan mampu memodelkan mesin AC synchron dan representasinya per-unit, memodelkan transformator dan representasinya

- Judul proposal atau judul laporan hasil penelitian, harus menggambarkan dan sesuai dengan ruang lingkup penelitian, baik dalam segi kuantitas maupun kualitas sehingga