• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI. atau kelompok melakukan dan menjalankan proses konsumsi atau pemakaian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KERANGKA TEORI. atau kelompok melakukan dan menjalankan proses konsumsi atau pemakaian"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KERANGKA TEORI

2. 1. Teori Konsumerisme

Konsumerisme merupakan paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan dan menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang – barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan manusia menjadi pecandu dari suatu produk. Menurut Encyclopedia Britanica, Konsumerisme sebagai gerakan atau kebijaksanaan yang diarahkan untuk menata metode dan standar kerja produsen, penjual dan pengiklan untuk kepentingan pihak pembeli.

Sassateli (2007) dalam Marisa Liska (2011), menjelaskan istilah “Masyarakat Konsumsi” pertama kali muncul di Barat setelah Perang Dunia II dan dipopulerkan oleh beberapa tokoh sosiologi termasuk Baudrillard. Istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan bahwa masyarakat saat itu merupakan salah satu variasi kapitalisme yang dibentuk oleh kegiatan konsumsi yang semakin mencolok. Studi ini, disebut sebagai studi produktivis, menilai bahwa masyarakat konsumsi tidak lain merupakan dampak produksi kapitalis. Dengan kata lain, revolusi industri dinilai sebagai transformasi radikal dalam struktur ekonomi produksi dan menjadi akar revolusi permintaan masyarakat terhadap barang. Dari sudut pandang ini, masyarakat konsumsi dapat dianggap sebagai suatu respon kultural yang secara logis mengikuti aliran transformasi ekonomi secara mendasar.

Gervasi (Baudrillard, 1998:63) dalam Marisa Liska (2011), menyatakan bahwa pertumbuhan dalam masyarakat konsumsi diiringi dengan kemunculan produk – produk baru yang didorong oleh meluasnya lingkup konsumsi karena

(2)

meningkatnya pendapatan. Hal ini karena semakin besar pendapatan seseorang, semakin banyak pula hal yang diinginkan. Akan tetapi, pendapatan sebesar apapun jelas tidak akan dapat memenuhi semua permintaan manusia karena keinginan – keinginan itu tidak memiliki batas tertentu. Maka, perilaku konsumsi pun akan terus terjadi dalam ruang dan waktu masyarakat konsumsi.

Ada dua proses pokok di dalam konsumerisme, yaitu komoditisasi dan dekomoditisasi (Sassateli, 2007:139 dalam Marisa Liska 2011). Kata, komoditisasi terkait dengan dunia periklanan. Sedangkan kata dekomoditisasi berarti bahwa tindakan mengkonsumsi terkandung dalam pemaknaan ulang dan penggunaan kebudayaan material dengan mengubah nilai – nilai komersial sejati dalam suatu barang menjadi berbagai bentuk nilai: kasih sayang, hubungan manusia, simbolisme, status, dan lain sebagainya.

Baudrillard dalam tulisannya The Consumer Society: myths and structures (1998:50) menyatakan bahwa setiap isu mengenai, kebutuhan berakar pada ide tentang kebahagiaan (le bonheur) dan hal inilah yang menjadi acuan dasar masyarakat konsumsi. Ide-ide tentang kebahagiaan dalam masyarakat tidak muncul secara alamiah dalam diri manusia, melainkan dibentuk secara sosial melalui proses sejarah yang panjang dan menjelma dalam masyarakat modern terkait erat dengan ide – ide kesamaan hak (egalitarian myth). Baudrillard, menyatakan bahwa ide keseimbangan, kesamaan yang berasal dari para idealis tersebut adalah hal yang mustahil secara sosial. Peningkatan kuantitas produk yang beredar dalam masyarakat betapapun besarnya kuantitas barang yang diproduksi, betapapun besarnya kekayaan yang dimiliki memperlihatkan tanda – tanda pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat yang pada titik tertentu menghasilkan kesenjangan.

(3)

Sehingga, kesamaan, kemapanan bagi semua manusia adalah hal yang tidak mungkin terjadi.

Dengan argumen tersebut, Baudrillard menilai bahwa objek yang dikonsumsi dalam masyarakat konsumsi ini sesungguhnya hanyalah tiruan status, seperti yang ia nyatakan dalam kalimat berikut “Objects merely simulate the social essence (status)” Status inilah yang menyebabkan orang tergila – gila pada objek tertentu. Banyak orang, terutama yang berasal dari kelas masyarakat menengah dan bawah yang menggunakan objek sebagai bentuk pembuktian diri demi perjuangan yang dilakukan dengan perasaan putus asa untuk memperoleh suatu status kehormatan. Melihat hal ini, Baudrillard (1998:61) memandang proses konsumsi dalam dua perspektif, yaitu sebagai:

1. Proses signifikansi dan komunikasi

Yang berarti konsumsi terjadi berdasarkan aturan tertentu yang memberikannya makna seperti bahasa yang menyampaikan makna dalam komunikasi.

2. Proses klasifikasi dan diferensiasi sosial

Yang berarti objek telah menjadi nilai status dalam suatu hierarki dan konsumsi mendistribusikan nilai – nilai tersebut.

Baudrillard (2004) Pada masyarakat konsumsi orang – orang membeli barang bukan karena nilai kemanfaatannya namun lebih dikarenakan faktor gaya hidup, demi sebuah citra yang diarahkan dan dibentuk dari suatu iklan ataupun proses promosi. Terlepas dari nilai guna dan manfaat dari suatu barang, masyarakat konsumsi membeli dikarenakan atas makna yang melekat dari produk

(4)

tersebut. Sehingga masyarakat konsumsi tidak pernah mampu memenuhi kebutuhannya, tidak pernah merasa puas, dan akhirnya akan menjadi “Pemboros Agung” yang akan mengkonsumsi tanpa henti.

Perilaku konsumen pada masyarakat konsumsi justru akan menghasilkan rasa ketidakpuasan dan menimbulkan rasa teralienasi atas perilaku tersebut. Sehingga akan menimbulkan kesadaran palsu, dimana masyarakat konsumsi merasa terpuaskan namun nyatanya mereka kekurangan dan juga merasa makmur namun sesungguhnya mereka berada dalam kemiskinan. Saat ini kita tidak sedang hidup di dalam masyarakat yang berkecukupan, melainkan hidup di dalam masyarakat pertumbuhan. Dimana ideologi dari masyarakat pertumbuhan selalu menghasilkan dua hal, yakni kemakmuran dan kemiskinan. Kemakmuran akan diperoleh bagi masyarakat yang diuntungkan, sedangkan kemiskinan akan diperoleh pada masyarakat yang terpinggirkan. Kenyataannya, pertumbuhan adalah alat untuk membatasi ruang gerak orang – orang miskin, oleh sebab itulah ideologi ini terus dipertahankan untuk menjaga sistem karena menurut pendapat Baudrillard pertumbuhan merupakan fungsi dari kemiskinan. Dimana pertentangan di dalamnya mengarah kepada pemiskinan psikologis dan kefakiran sistematis karena “Kebutuhan” akan selalu melampaui produksi barang.

Faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen diantaranya yakni7 1. Faktor Eksternal

:

Faktor – faktor lingkungan eksternal yang mempengaruhi perilaku konsumen antara lain:

7

(5)

a. Kelas Sosial

Kelas sosial adalah sebuah kelompok yang relatif homogen yang bertahan lama dalam sebuah masyarakat, yang tersusun secara hierarki dan yang keanggotaanya mempunyai nilai minat dan perilaku yang sama (Philip Kotler, 1993 : 225). Kelas sosial mempunyai beberapa karakteristik, antara lain:

1. Orang – orang dalam setiap kelas sosial cenderung mempunyai perilaku yang serupa disbanding orang – orang yang berasal dari dua kelas social yang berbeda.

2. Seseorang dipandang mempunyai pekerjaan yang rendah atau tinggi sesuai dengan kelas sosialnya.

3. Kelas sosial seseorang dinyatakan dengan beberapa variabel seperti jabatan, pendapatan, kekayaan, pendidikan dan orientasi terhadap ilai daripada hanya berdasarkan sebuah variabel.

4. Seseorang mampu berpindah dari satu kelas social ke kelas sosisal lainnya, naik atau turun selama hidupnya.

Kelas sosial memegang peranan penting dalam suatu program pemasaran, karena adanya perbedaan substansial diantara kelas – kelas tersebut memengaruhi perilaku pemberian mereka. Pembagian kelas sosial dapat digunakan sebagai variabel yang bebas untuk meramalkan tanggapan konsumen terhadap kegiatan perusahaan. Dengan memahami perilaku konsumen antara masing – masing kelas social maka perusahaan dapat menyelenggarakan dan melaksanakan program – program pemasaran yang efektif dan efesien.

(6)

b. Kelompok Referensi dan Kelompok Sosial 1. Kelompok Referensi

Kelompok referensi adalah kelompok yang menjadi ukuran seseorang untuk membentuk kepribadian perilakunya. Biasanya masing – masing kelompok mempunyai pelopor opini (opinion leader) yang dapat memengaruhi anggota dalam membeli sesuatu. Orang umumnya sangat dipengaruhi oleh kelompok referensi mereka dengan tiga cara pertama, kelompok referensi pada seseorang perilaku dan gaya dan konsep jati diri seseorang karena orang tersebut ingin menyesuaian diri yang dapat memengaruhi pilihan produk dan merk seseorang (Philip Kotler, 1993 : 228). Dalam hal ini maka manajer pemasaran perlu mengetahui siapa pelopor opini dan suatu kelompok bersangkutan, guna menentukan program pemasaran.

2. Kelompok Sosial

Semenjak manusia dilahirkan sudah mempunyai hasrat atau keinginan pokok, yaitu keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain disekelilingnya (masyarakat) serta keinginan untuk menjadi satu dengan alam sekelilingnya. Untuk dapat mengetahui alam dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut, manusia menggunakan pikiran, perasaan dan kehendaknya. Sehingga timbul kelompok – kelompok sosial dalam kehidupan manusia. Kelompok – kelompok tersebut merupakan himpunan manusia yang hidup bersama, saling berhubungan timbale balik, pengaruh memengaruhi, dan kesadaran untuk saling tolong – menolong. Suatu kelompok tidak merupakan kelompok yang statis, akan tetapi selalu berkembang, dan akan mengalami perubahan – perubahan dalam aktivitas

(7)

maupun bentuknya. Perkembangan dan perubahan suatu kelompok sosial dan memengaruhi individu – individu dalam suatu kelompok dalam berperilaku.

2. Faktor Internal

Faktor – faktor lingkungan internal yang mempengaruhi perilaku konsumen antara lain:

a. Motivasi

Perilaku seseorang dimulai dengan adanya suatu motif yang menggerakkan individu dalam mencapai suatu tujuan. Secara definisi motivasi adalah suatu dorongan kebutuhan dan keinginan individu yang diarahkan pada tujuan untuk memperoleh kepuasan (Basu Swastha DH dan T. Hani Handoko, 1982 : 76). Tanpa motivasi seseorang tidak akan terpengaruh untuk mencari kepuasan terhadap dirinya.

b. Persepsi

Persepsi didefinisikan sebagai proses di mana seseorang memilih, mengorganisasikan dan mengartikan masukan informasi untuk menciptakan suatu gambaran yang berarti dari dunia ini (Philip Kotler, 1993 : 240). Persepsi dapat melibatkan penafsiran seseorang atas suatu kejadian berdasarkan pengalaman masa lalunya. Pada pemasar perlu bekerja keras untuk memikat perhatian konsumen agar pesan yang disampaikan dapat mengenai pada sasaran.

Teori Konsumerisme dipilih penulis sebagai salah satu mata pisau dalam menganalisa permasalah dalam penelitian ini dikarenakan kesesuaian dari penjelasan pada teori tersebut. Dimana pada teori konsumerisme membahas tentang perilaku konsumen dalam membuat keputusan yang pada akhirnya

(8)

menciptakan masyarakat konsumsi. Hal tersebut sesuai dengan ungkapan Baudrillard yang menilai bahwa keputusan konsumen yang diambil oleh masyarakat konsumsi sesungguhnya hanyalah sebuah tiruan berdasarkan status dan status inilah yang menyebabkan orang menjadi “tergila – gila” pada objek tertentu. Sehingga membeli dan mengkonsumsi barang pada masyarakat konsumsi bukanlah berdasarkan nilai guna dan manfaat dari barang tersebut, melainkan berdasarkan gaya hidup dan makna yang melekat dari suatu produk.

2. 2. Merton dan Teori Fungsionalisme Taraf – Menengah

Doyle Paul Johnson (1986) menjelaskan karya Merton secara keseluruhan tidak memberikan suatu analisa yang abstrak mengenai fungsi atau disfungsi, baik yang bersifat laten maupun yang bersifat manifest. Namun sebaliknya, karya Merton memperlihatkan pilihannya terhadap teori taraf-menengah yang terkenal yakni “Social Theory and Social Structure”, yang berisikan serangkaian teori taraf-menengah dengan macam – macam judul. Akan tetapi teori – teori ini memiliki satuannya tersendiri, tanpa memperluas penggunaan terminologi analisa fungsional dan tanpa menghubungkannya dengan yang lainnya secara jelas.

a. Kepribadian Birokratis

Doyle Paul Johnson (1986) kepribadian birokratis merupakan sebuah contoh yang tepat mengenai tipe konsekuensi yang bersifat tidak produktif atau disfungsional yang diberikan Merton dalam analisanya mengenai kepribadian birokratis (bureaucratic personality). Seperti para ahli sosiologi sejak Weber sering menekankan, organisasi birokratis sangat menyesuaikan diri dengan

(9)

peraturan dan prosedur yang dibuat secara formal. Hal ini perlu (atau fungsional) untuk menjamin keberlangsungan kepercayaan dan koordinasi dalam mencapai tujuan organisasi itu. Namun, Merton mengemukakan bahwa satu konsekuensi disfungsional dari kepercayaan yang terlampau besar terhadap peraturan adalah bahwa kaum birokrat itu akhirnya melihat kepatuhan terhadap peraturan sebagai tujuan dan akibatnya mereka tidak mampu untuk menjawab tantangan situasi baru secara fleksibel.

Dalam beberapa hal, akibat dari ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri atau mengubah (bahkan mengabaikan) peraturan supaya cocok dengan situasi baru adalah bahwa pencapaian tujuan utama dari organisasi itu menjadi terhalang. Karena itu, di sini terdapat suatu situasi dimana suatu pola yang sudah melembaga memiliki konsekuensi fungsional dan disfungsional terhadap sistem yang sama, yang tergantung pada tipe situasi yang sedang dihadapi. Namun, sering kali para anggota suatu organisasi birokratis menjadi merasa menderita karena kekakuan birokratis itu sendiri.

Teori Merton tentang kepribadian birokratis juga dapat menjadi rujukan sebagai salah satu pisau analisis dalam melihat keterkaitan dari pengaruh status Membership Group pada perusahaan kosmetik berbasis multi level marketing terhadap perilaku konsumtif. Hal ini dikarenakan pada dasarnya aturan – aturan serta segala ketentuan dan kewajiban yang diberikan kepada setiap member Oriflame merupakan salah satu cara yang bersifat baik dan tepat dalam upaya menjaga keberlangsungan untuk mencapai tujuan serta keuntungan bersama.

Namun dalam proses pengimplementasiannya, tidak jarang terjadi disfungsional dari aturan itu sendiri yang dikarenakan oleh kepatuhan yang terlampau besar dan kekakuan atas aturan dan kewajiban tersebut sehingga dapat

(10)

berubah menjadi fungsi laten yang tidak baik. Hingga pada akhirnya member Oriflame menjadi terfokus pada setiap aturan untuk dijalankan dan dipatuhi dengan baik, sehingga mengabaikan dan mengesampingkan keuntungan dan tujuan bersama yang telah menjadi orientasi awal mereka, maka pergeseran orientasi itulah yang dapat merujuk pada fungsi manifest. Hal ini dapat tergambar dari beberapa tindakan para konsultan Oriflame yang mencerminkan prilaku konsumtif untuk menaiki jenjang karir (Success Plan) yang disediakan oleh pihak manajemen Oriflame. Dimana secara tidak sadar mereka terkungkung dengan aturan yang ada dan menjalankan bisnis tanpa rasionalitas, tanpa memikirkan nilai guna dan manfaat bagi diri mereka sendiri.

2. 3 Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini ialah penelitian dari Puji Astuti (2008) tentang “Hubungan Antara Sikap Remaja Putri Terhadap Produk Multi Level Marketing dengan Perilaku Konsumtif dalam Pembelian Barang Kosmetik” Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Dimana dalam penelitian ini dibahas tentang fenomena yang berkembang dikalangan remaja menunjukkan bahwa remaja ingin selalu berpenampilan yang dapat menarik perhatian orang lain terutama teman sebaya. Pada remaja putri, mereka biasanya menggunakan kosmetik untuk menambah penampilan daya tarik fisiknya agar terlihat cantik. Sehingga remaja kebanyakkan membelanjakan uangnya atau berperilaku konsumtif untuk keperluan tersebut. Salah satu kosmetik pada saat ini dijual melalui sistem multi level marketing oleh distributornya, yaitu distribusi produk kosmetik dan pelayanannya dari mulut ke mulut berdasarkan pesanan yang secara langsung berasal dari produsen ke konsumen (Yarnell & Yarnell, 2001).

(11)

Yang menjadi konsumennya adalah orang – orang yang spesifik atau orang yang membutuhkan produknya (Natan, 1993). Remaja putri sebagai salah satu pengkonsumsi kosmetik yang konsumtif dapat mempunyai ketertarikkan untuk membeli produk multi level marketing kosmetik. Variabel prediktornya adalah sikap terhadap produk multi level marketing, sedangkan variabel kriteriumnya adalah perilaku konsumtif terhadap barang kosmetik. Subjeknya 50 orang remaja putri, usia antara 19 sampai 22 tahun. Untuk skala sikap terhadap produk multi level marketing mengacu pada komponen-komponen sikap dari Prasetijo & Ihalauw (2005). Pada skala ini dari 40 item yang diujicobakan terdapat 11 item yang dinyatakan gugur, sedangkan item yang valid berjumlah 29 item. Adapun hasil uji reliabel menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,887. Untuk skala perilaku konsumtif terhadap barang kosmetik mengacu pada aspek-aspek perilaku konsumtif dari Lina & Rasyid (1997). Pada skala ini dari 43 item yang diujicobakan terdapat 23 item yang dinyatakan gugur, sedangkan item yang valid berjumlah 20 item. Adapun hasil uji reliabel menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,828. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi product moment, diketahui bahwa hasil koefisien korelasi sebesar -0,167 dengan taraf signifikansi 0,245 (p > 0,05). Dari hasil tersebut berarti hipotesis ditolak, yaitu tidak ada hubungan yang signifikan antara sikap terhadap produk multi level marketing dengan perilaku konsumtif terhadap barang kosmetik pada remaja putri.

Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Nur Fitriyani, Prasetyo Budi Widodo, dan Nailul Fauziah (2013) yang berjudul “Hubungan Antara Konformitas Dengan Perilaku Konsumtif Pada Mahasiswa Di Genuk Indah Semarang” Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. Dimana dalam penelitian tersebut membahas

(12)

perihal salah satu dampak dari perkembangan di Indonesia membawa gaya hidup bermewah – mewahan yang mendorong munculnya perilaku konsumtif. Mahasiswa sebagai remaja juga terpengaruh. Perilaku konsumtif adalah perilaku membeli yang didasarkan pada keinginan irasional dan eksesif dan bukan kebutuhan. Perilaku konsumtif dipengaruhi oleh motivasi, harga diri, obervasi, proses belajar, kepribadian, konsep diri, gaya hidup, budaya, kelas sosial, dan referensi kelompok serta keluarga. Mahasiswa menjadikan kelompok sebagai referensi sebagai usahanya untuk berkonformitas dengan kelompok tersebut. Konformitas adalah perilaku menyesuaikan diri dengan kelompok agar dapat diterima. Penelitian ini melibatkan 130 subjek yang tinggal di Genuk Indah yang diambil dengan teknik sampling random proporsional. Pengumpulan data menggunakan dua skala yaitu Skala konformitas dan Skala perilaku konsumtif. Analisis regresi dipakai untuk mengevaluasi data dan menghasilkan rxy = 0.333 dengan p = 0.000 (p <0.05). Hasil ini menunjukkan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara konformitas dengan perilaku konsumtif dengan pengaruh 10.9% dari konformitas terhadap perilaku konsumtif.

Dari beberapa penelitian terdahulu tersebut, peneliti lebih memfokuskan perhatian pada pengaruh status Membership Group terhadap perilaku konsumtif. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lebih luas dari keterikatan status keanggotaan dengan tindakan perilaku konsumen. Penelitian ini akan dikaji dengan sudut pandang sosiologis menggunakan perspektif struktural fungsional. Dengan begitu penelitian ini akan membahas tentang fungsi laten dan manifes dari setiap aturan yang melekat pada status Membership Group dan mengungkap adakah hubungannya dengan perilaku konsumtif yang dicerminkan oleh setiap konsultan Oriflame dalam jaringan Imaginer.

Referensi

Dokumen terkait

Kepemimpinan Kiai dan Sistem Pendidikan Pesantren , (Yogyakarta: LkiS, 2013), hlm.. 6 مّلعت دق نلأ .لبقلا نم ت لطلا بة ةيساردلا ةدالدا يرطب اهتقرف ءاقدصأ عم

Peserta setelah selesai mengikuti seminar agar segera menyampaikan laporan pelaksanaan seminar dan disertai bukti-bukti asli pengeluaran yang sah dan sesuai ketentuan yang

Pilar utama dari Superleadership adalah melakukan dialog setiap hari untuk meningkatkan rasa percaya diri pengikutnya dan merangsang mereka untuk mempraktekan “self leadership”

Berdasarkan hasil analisis maka diketahui hal-hal apa saja yang dapat diusulkan yaitu mengusulkan agar operator menggunakan alat di telinga untuk mengurangi tingkat bising,

karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Periode Kritis Tanaman Bawang Merah Varietas Bima ( Allium ascalonicum L.) Terhadap Persaingan

Listening process dapat mengatasi kesulitan siswa dalam menanggapi cerita peristiwa karena dalam listening process berisi sejumlah aktivitas siswa yang membantu dan mengarahkan

Dalam kaitannya dengan judul penelitian, yang dimaksud dengan prestasi tersebut adalah prestasi akademik, yaitu hasil pelajaran yang diperoleh dari kegiatan belajar

Setelah dilakukan penelitian, pengolahan data dan pembahasan tentang hubungan antara pendampingan suami terhadap tingkat kecemasan ibu pada fase aktif kala I proses