• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abdul Rahim Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Jember & Mahasiswa S-3 Universita Negeri Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Abdul Rahim Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Jember & Mahasiswa S-3 Universita Negeri Yogyakarta"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KONSEP DIRI DAN ADVERSITY QUOTIENT TERHADAP KEMANDIRIAN SANTRI

Abdul Rahim

Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Jember & Mahasiswa S-3 Universita Negeri Yogyakarta

ar18071972@gmail.com ABSTRACT

Independence and survival indicate the fighting power of santri, who often experience an ambivalence situation. Such a situation, increas-ingly puts the position of santri in uncertainty situations. This phe-nomenon encourages to examine more about the Influence of Self Concept and Adversity Quotient on the independence of santri, espe-cially santri Pondok Pesantren Nurul Islam, Jember. From this study concluded that, for self concept variable (X1) high category 4,76%,

medium 84,13% and low 11,11%. This shows the general, self-concept of the study respondents are medium category. For adversity quotient (X2) category high category 3,97%, medium 89,68% and low 6,35%. In general, it shows adversity quotient variable, the re-spondent is medium category. While the independent variable santri (Y), high category of 7.94%, medium 85.71% and low 6.35%. This shows that the independence of santri (Y) is in the medium category. Meanwhile, self concept variable (X1) and adversity quotient (X2)

simultaneously have an effect on santri independence (Y), self con-cept variable (X1) have partial effect on santri independence variable (Y), and adversity quotient (X2) partially to the independent variable santri (Y).

Keywords: Self Concept, Adversity Quotient, and Santri

PENDAHULUAN

Perkembangan eksistensi manusia menuntut sistem pendidikan yang lebih dinamis dan responsif terhadap pergeseran zaman dan tuntutan kebu-tuhan akan individu-individu yang berkualitas. Pendidikan secara umum

(2)

memiliki arti yang lebih luas dari hanya sekedar institusi sekolah formal. Pendidikan lebih lanjut menyentuh batas-batas non formal. Berbagai jenis dan metode pembelajaran juga dapat terselenggara melalui lingkungan ter-dekat, yaitu keluarga, maupun lingkungan sosial yang melibatkan masya-rakat secara menyeluruh.

Salah satu institusi pendidikan yang menekankan pembentukan sifat-si-fat moral spiritual adalah pesantren. Pesantren mencoba memaknai hakikat pendidikan melalui perspektif Islam, yaitu pendidikan harus dapat berfungsi sebagai media rekonstruksi diri dan pengembangan moral terhadap Allah, diri sendiri dan alam keseluruhan. Nilai-nilai yang diajarkan di pesantren meliputi prinsip-prinsip untuk bertahan hidup dengan tetap menge-depankan nilai-nilai agama dan moral sebagai landasannya.1

Pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang me-madukan ilmu agama dengan ilmu umum sehingga suasananya lebih islami menjadikan manusia lebih tangguh dalam menghadapi arus kehidupan. Fenomena kehidupan di pondok pesantren akhir-akhir ini sangat dipenga-ruhi oleh pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan se-gala dampaknya, baik yang bernilai positif maupun negatif. Hal itu pula ya-ng telah mendoroya-ng terjadinya arus globalisasi yaya-ng meya-ngalir di pesantren sehingga membuahkan berbagai implikasi yang demikian luas di semua as-pek kehidupan santri.

Selain itu, para santri juga harus berkompetisi dengan adanya moder-nisasi, hal ini terlihat bahwa era modern memang banyak memberi kemu-dahan dalam kehidupan ini, namun bersamaan dengan itu, persaingan yang ketat, kerasnya kehidupan, ataupun “tawaran” yang menggiurkan seringkali menimbulkan kegelisahan batin dan pergolakan jiwa yang mengganggu. Kondisi ini masih ditambah oleh adanya keinginan hidup secara instan bagi sebagian orang yang berakibat pada kenekatan yang tidak masuk akal.2

Masyarakat modern yang mengagungkan rasionalitas ternyata me-nyimpan berbagai problem hidup yang sulit dipecahkan. Munculnya manusia-manusia dengan karakteristik materialisme, individualisme, dan

1

Lebih lanjut, lihat Sa'id Aqiel Siradj [et al.], Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999).

2 Selanjutnya, lihat Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual: Solusi Problem Manusia Mod-ern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).

(3)

hedonisme, justru tidak menambah kebahagiaan dan ketentraman hidup, akan tetapisebaliknya menimbulkan kegelisahan hidup.3 Apalagi, seiring

ke-majuan teknologi informasi dan transformasi pada era globalisasi tersebut, para santri dihadapkan berbagai benturan yang, konflik individu maupun sosial masyarakat, perekonomian, keluarga, budaya dan sebagainya. Tentu-nya, untuk menghadapi problem tersebut, tidak semua santri memiliki ke-mampuan dan cara yang sama dalam merespon dan menjalaninya.

Problematika umum yang terjadi di pondok pesantren diantaranya adalah konflik antar teman, konflik antara santri dengan remaja di sekitar lingkungan asrama pondok pesantren seperti perkelahian antara santri de-ngan remaja desa yang mengindikasikan adanya pengaturan emosi yang rendah pada santri dan keterampilan sosial yang rendah dan mempengaruhi konsep diri pada santri. Remaja yang masih sekolah dan tinggal di asrama banyak mendapatkan hambatan atau masalah yang biasanya muncul dalam bentuk perilaku.

Menurut catatan salah seorang konselor sekolah, Sixtus Tanje meng-indentifikasi berbagai masalah yang sering dihadapi para remaja (terutama siswa di sekolah) antara lain, perilaku bermasalah (problem behaviour) yang berdampak pada terhambatnya proses sosialisasi remaja dengan remaja lain-nya, dengan guru dan masyarakat.4 Penyesuaian diri yang salah (behaviour maladjusment) biasanya dilakukan remaja untuk mencari jalan pintas

me-nyelesaikan suatu masalah tanpa mempertimbangkan akibatnya. Perilaku melanggar peraturan, perkelahian, tidak mengikuti kegiatan pondok (mem-bolos), dan mencuri merupakan contoh ketidakmampuan mengelola emosi dan penyesuaian diri yang salah pada remaja di pesantren.

Kemandirian dan tetap survive dapat mengindikasikan daya juang santri. Seringkali santri mengalami hambatan-hambatan, seperti selalu ingin pulang, tidak kerasan di asrama, tidak mau belajar, melanggar peraturan, tidak mau mengikuti kegiatan pesantren dan lain sebagainya yang di-sebabkan oleh masih adanya kebutuhan untuk tetap tergantung pada orang

3 Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual: Solusi Problem Manusia Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 31.

4

Sixtus Tanje adalah salah satu Konselor di SLTP St. Kristoforus II, Taman Palem Lestari, Blok A No. 18, Cengkareng, Jakarta Barat. Lihat lebih lanjut artikel Sixtus Tanje, “Masalah Remaja dan Solusinya”, Diakses tanggal 15 Mei 2014 dari www.epsikologi.Com.

(4)

lain, pemuasan kebutuhan yang belum terpenuhi, perasaan terkekang dan lain sebagainya. Dalam contoh yang telah disebutkan, santri mengalami di-lema yang sangat besar antara mengikuti kehendak orangtua atau me-ngikuti keinginannya sendiri. Jika santri tersebut meme-ngikuti kehendak orangtua, maka dari segi ekonomi (biaya sekolah) santri akan terjamin ka-rena orangtua pasti akan membantu sepenuhnya, sebaliknya jika ia tidak mengikuti kemauan orangtua bisa jadi orangtuanya tidak mau membiayai sekolahnya. Situasi yang demikian ini sering dikenal sebagai keadaan yang

ambivalensi dan dalam hal ini akan menimbulkan konflik pada diri sendiri

santri.

Konflik batin yang ada pada diri remaja akan mempengaruhi remaja dalam usahanya untuk mandiri, sehingga sering menimbulkan hambatan dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya. Bahkan dalam be-berapa kasus tidak jarang remaja menjadi frustrasi dan memendam kema-rahan yang mendalam kepada orangtuanya atau orang lain di sekitarnya. Frustrasi dan kemarahan tersebut seringkali diungkapkan dengan perilaku-perilaku yang tidak simpatik terhadap orangtua maupun orang lain dan da-pat membahayakan diri dan mempengaruhi konsep diri santri sendiri pada usia perkembangan yang masih remaja. Hal ini tentu saja akan sangat me-rugikan remaja tersebut karena akan menghambat tercapainya kedewasaan dan kematangan kehidupan psikologisnya sehingga tidak tercapai kebaha-giaan, kepuasan dalam hidupnya dan akan mempengaruhi interaksi dengan orang lain begitu pula dengan ketahanan untuk tinggal di pesantren.

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa kemampuan untuk mema-hami, mengenali, sekaligus mengelola setiap episode kehidupan yang diha-dapi akan sangat terkait dengan adanya daya tahan atau daya toleransi se-seorang terhadap masalah atau sering disebut sebagai kecerdasan adversity

(adversity quotient). Konsep ini pertama kali dikembangkan oleh Paul G.

Stoltz, yang mengemukakan bahwa adversity quotient (kecerdasan adversity) sebagai kecerdasaan yang dimiliki seseorang dalam menghadapi kesulitan, hambatan dan mampu untuk mengatasinya. Adversity quotient merupakan sikap menginternalisasi keyakinan.5 Adversity quotient juga merupakan

5 Paul G. Stoltz, Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang, Terj. T. Hermaya (Jakarta: PT Grasindo, 2000), 21.

(5)

mampuan individu untuk menggerakan tujuan hidup ke depan, dan juga sebagai pengukuran tentang bagaimana seseorang berespon terhadap ke-sulitan.

Bahwasanya, dalam menghadapi kesulitan dan hambatan ketika melak-sanakan berbagai macam tanggung jawab dan kewajiban yang berat yang diemban para santri serta untuk meraih keinginan dan cita-cita yang di-harapkan, seorang santri pun harus berikhtiar atau berusaha dalam melak-sanakan tugas yang diembanya serta dalam meraih cita-cita yang diharap-kannya. Selain itu, dalam proses ikhtiar tersebut perlu juga adanya sikap sa-bar dan tawakal. Sebab, ikhtiar saja tidak akan cukup untuk mendapatkan hasil yang ingin diraihnya, sehingga perlu dorongan bathin juga, yakni sifat sabar dan tawakal. Hakekatnya, bukanlah ikhtiar seseorang yang menentu-kan keberhasilan, melainmenentu-kan Allah SWT.-lah yang menentumenentu-kannya. Allah SWT yang menentukan kapan keberhasilan seseorang, dari situasi, kondisi, dan waktu seperti apa, keberhasilan seseorang tersebut patut diberikan oleh Allah SWT kepadanya.

Problematika umum yang terjadi di berbagai pondok pesantren di ta-nah air, juga dijumpai di Pondok Pesantren Nurul Islam Kabupaten Jem-ber. Pondok pesantren yang didirikan oleh KH. Muhyiddin Abdusshomad pada tahun 1981 ini dikenal sebagai pesantren berwawasan gender. Jumlah santri yang mondok saat ini berjumlah 628 orang. Berdasarkan fenomena tersebut, mendorong untuk mengkaji lebih jauh tentang konsep diri dan

adversity quotient dan pengaruhnya terhadap kemandirian santri. Studi kasus

ini dilakukan di kalangan santri Pondok Pesantren Nurul Islam, Jember. Kerangka Teoritik

Konsep Diri (X1): Menilai Diri Sendiri

Menurut Brehm dan Kassin, konsep diri dianggap sebagai komponen kognitif dari diri sosial secara keseluruhan, yang memberikan penjelasan tentang bagaimana individu memahami perilaku, emosi, dan motivasinya sendiri. Secara lebih rinci Brehm dan Kassin mengatakan bahwa konsep diri merupakan jumlah keseluruhan dari keyakinan individu tentang dirinya sendiri. 6 Pendapat senada diberikan oleh Gecas bahwa konsep diri lebih

6

(6)

pat diartikan sebagai persepsi individu terhadap diri sendiri, yang meliputi fisik, spiritual, maupun moral.7

Sementara Acocella & Calhoun mengatakan bahwa konsep diri adalah pandangan kita tentang diri sendiri, yang meliputi dimensi pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan mengenai diri sendiri, dan penilaian ten-tang diri sendiri.8 Menurut Brooks, konsep diri di sini dimengerti sebagai

pandangan atau persepsi individu terhadap dirinya, baik bersifat fisik, sosial, maupun psikologis, dimana pandangan ini diperolehnya dari pengalaman-nya berinteraksi dengan orang lain yang mempupengalaman-nyai arti penting dalam hidupnya.9

Konsep diri ini bukan merupakan faktor bawaan, tetapi faktor yang di-pelajari dan dibentuk melalui pengalaman individu berhubungan dengan orang lain. Karena itu, Partosuwido menambahkan bahwa konsep diri ada-lah cara bagaimana individu menilai diri sendiri, bagaimana penerimaannya terhadap diri sendiri sebagaimana yang dirasakan, diyakini dan dilakukan, baik ditinjau dari segi fisik, moral, keluarga, personal dan sosial.10

Konsep diri mempunyai arti yang lebih mendalam dari sekedar gam-baran deskriptif. Konsep diri adalah aspek yang penting dari fungsi-fungsi manusia karena sebenarnya manusia sangat memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan dirinya, termasuk siapakah dirinya, seberapa baik me-reka merasa tentang dirinya, seberapa efektif fungsi-fungsi meme-reka atau se-berapa besar impresi yang mereka buat terhadap orang lain.11 Batasan

pe-ngertian konsep diri dalam Kamus Psikologi adalah keseluruhan yang dirasa dan diyakini benar oleh seorang individu mengenai dirinya sendiri.12

Company, 1989), 39.

7 Lebih lanjut, baca Stan L. Albrecht, Bruce A Chadwick, Cardell K Jacobson, Social Psychology, Second Edition (New Jersey: Prentice Hall Inc., 1987).

8

Joan Ross Acocella & James Calhoun, Psychology Of Adjustment Human Relation-ship, 3th Edition (New York: McGraw-Hill, 1990), 91.

9

Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002). 10

S.R. Partosuwido, ”Penyesuaian Diri Mahasiswa Dalam Kaitanya dengan Konsep Diri, Pusat Kendali dan Status Perguruan Tinggi”, Tesis (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 1992), 70.

11

Kartika, ”Profil Perkawinan Perempuan Indonesia”, Jurnal Perempuan, Vol. 31, No. 22: 57-67 (2002).

12 Kartini Kartono, Patologi Sosial 2: Kenakalan Remaja (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1987).

(7)

Berzonsky menyatakan bahwa konsep diri yang merupakan gabungan dari aspek-aspek fisik, psikis, sosial, dan moral tersebut adalah gambaran mengenai diri seseorang, baik persepsi terhadap diri nyatanya maupun pe-nilaian berdasarkan harapannya.13 Dari uraian tersebut dapat disimpulkan

bahwa konsep diri adalah pandangan atau penilaian individu terhadap diri-nya sendiri, baik yang bersifat fisik, sosial, maupun psikologis, yang didapat dari hasil interaksinya dengan orang lain.

Sedangkan, aspek-aspek konsep diri seperti yang dijelaskan Berzonsky meliputi: 14 a) aspek fisik (physical self) yaitu penilaian individu terhadap

se-gala sesuatu yang dimiliki individu seperti tubuh, pakaian, benda miliknya, dan sebagainya, b) aspek sosial (social self) meliputi bagaimana peranan so-sial yang dimainkan oleh individu dan sejauh mana penilaian individu ter-hadap perfomannya, c) aspek moral (moral self) meliputi nilai- nilai dan prinsip-prinsip yang memberi arti dan arah bagi kehidupan individu, dan d) aspek psikis (psychological self) meliputi pikiran, perasaan, dan sikap-sikap individu terhadap dirinya sendiri.

Adversity Quotient (X2): Motivasi Untuk Sukses

Adversity Quotient (AQ) dikembangkan pertama kali oleh Paul G. Stoltz. seorang konsultan yang sangat terkenal dalam topik-topik kepemim-pinan di dunia kerja dan dunia pendidikan berbasis skill, Ia menganggap bahwa IQ dan EQ tidaklah cukup dalam meramalkan kesuksesan se-seorang. Karena ada faktor lain berupa motivasi dan dorongan dari dalam, serta sikap pantang menyerah. Faktor itu disebut Adversity Quotient. Stoltz membagi tiga tipe manusia yang diibaratkan sedang dalam perjalanan men-daki gunung yaitu quitter, camper, dan climber. Pertama, Quittters (mereka yang berhenti). Orang-orang jenis ini berhenti ditengah proses pendakian, gampang putus asa, menyerah. Kedua, Campers (perkemahan). Tidak men-capai puncak, sudah puas dengan yang telah dimen-capai. Ketiga, Climbers (pen-daki). Mereka yang selalu optimistik, melihat peluang-peluang, melihat ce-lah, melihat senoktah harapan di balik keputusasaan, selalu bergairah untuk maju.15

13

M.D Berzonsky, Adolescent Development (New York: MacMilan Publishing Co Inc., 1981).

14 Ibid. 15

(8)

Menurut Chaplin dalam kamus psikologi, intelligence atau quotient berarti cerdas, pandai.16 Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia, kata “ad-versity” diartikan dengan kesengsaraan dan kemalangan.17 Secara ringkas

Stoltz mendefinisikan Adversity Quotient sebagai kecerdasaan yang dimiliki seseorang dalam menghadapi kesulitan, hambatan dan mampu untuk me-ngatasinnya.18 Adversity Quotient merupakan sikap menginternalisasi

ke-yakinan. Adversity Quotient juga merupakan kemampuan individu untuk menggerakan tujuan hidup kedepan, dan juga sebagai pengukuran tentang bagaimana seseorang berespon terhadap kesulitan.

Senada dengan pendapat diatas, Rafy Sapuri mengungkapkan bahwa

Adversity quotient (AQ) dapat disebut dengan kecerdasan adversitas, atau

kecerdasan mengubah kesulitan, tantangan dan hambatan menjadi sebuah peluang yang besar. Adversity quotient adalah pengetahuan baru untuk me-mahami dan meningkatkan kesuksesan.19 Adversity quotient adalah tolak

ukur untuk mengetahui kadar respons terhadap kesulitan dan merupakan peralatan praktis untuk memperbaiki respons-respons terhadap kesulitan.

Menurut Stoltz, kecerdasan adversity mempunyai tiga bentuk. Pertama, AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. AQ berlandaskan pada riset yang berbobot dan penting, yang menawarkan suatu gabungan yang praktis dan baru, yang merumuskan kembali apa yang diperlukan untuk mencapai ke-suksesan.20 Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon

ter-hadap kesulitan. Selama ini pola-pola bawah sadar ini sebetulnya sudah di-miliki. Saat ini untuk pertama kalinya pola-pola tersebut diukur, dipahami, dan diubah.

ESQ: Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan Rukun Islam (Jakarta: Arga Wijaya Persada, 2001), 90.

16 James P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 65. 17

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1976), 12.

18

Paul G. Stoltz, Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang, Terj. T. Hermaya (Jakarta: PT Grasindo, 2000).

19

Sapuri Rafy, Psikologi Islam: Tuntunan Jiwa Manusia Modern (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 40.

20 Paul G. Stoltz, Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang, Terj. T. Hermaya (Jakarta: PT Grasindo, 2000).

(9)

Ketiga, AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan, yang akan ber-akibat memperbaiki efektivitas pribadi dan profesional seseorang secara ke-seluruhan. Agar kesuksesan menjadi nyata, maka Stoltz berpendapat bahwa modifikasi dari ketiga unsur tersebut yaitu, pengetahuan baru, tolok ukur, dan peralatan yang praktis merupakan sebuah kesatuan yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen dasar dalam meraih sukses.

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa adversity quotient (AQ) adalah kecerdasan individu dalam berfikir,mengontrol, mengelola, dan mengambil tindakan dalam meghadapi kesulitan, hambatan atau tanta-ngan hidup, serta mengubah kesulitan maupun hambatan tersebut menjadi peluang untuk meraih kesuksesan.

Adapun aspek-aspek adversity quotient menurut Stoltz mencakup be-berapa komponen yang kemudian disingkat menjadi CO2RE, antara lain:21 Pertama, Control (kendali) yaitu kemampuan seseorang dalam

mengen-dalikan dan mengelola sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan di masa mendatang. Kendali diri ini akan berdampak pada tindakan selan-jutnya atau respon yang dilakukan individu bersangkutan, tentang harapan dan idealitas individu untuk tetap berusaha keras mewujudkan keingi-nannya walau sesulit apapun keadaannya sekarang. Kedua, Origin (asal-usul) dan ownership (pengakuan), yaitu sejauh mana seseorang memper-masalahkan dirinya ketika mendapati bahwa kesalahan tersebut berasal dari dirinya, atau sejauh mana seseorang mempermasalahkan orang lain atau lingkungan yang menjadi sumber kesulitan atau kegagalan seseorang. Rasa bersalah yang tepat akan menggugah seseorang untuk bertindak sedangkan rasa bersalah yang terlampau besar akan menciptakan kelumpuhan. Poin ini merupakan pembukaan dari poin ownership. Ownership mengungkap sejauh mana seseorang mengakui akibat-akibat kesulitan dan kesediaan seseorang untuk bertanggung jawab atas kesalahan atau kegagalan tersebut.

Ketiga, Reach (jangkauan), yaitu sejauh mana kesulitan ini akan

me-rambah kehidupan seseorang menunjukkan bagaimana suatu masalah mengganggu aktivitas lainnya, sekalipun tidak berhubungan dengan

21 Paul G. Stoltz, Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang, Terj. T. Hermaya (Jakarta: PT Grasindo, 2000).

(10)

lah yang sedang dihadapi. Adversity quotient yang rendah pada individu akan membuat kesulitan merembes ke segi-segi lain dari kehidupan se-seorang. Keempat, Endurance (daya tahan), yaitu aspek ketahanan individu. Sejauh mana kecepatan dan ketepatan seseorang dalam memecahkan masa-lah. Sehingga pada aspek ini dapat dilihat berapa lama kesulitan akan ber-langsung dan berapa lama penyebab kesulitan itu akan berber-langsung. Hal ini berkaitan dengan pandangan individu terhadap kepermanenan dan ketem-poreran kesulitan yang berlangsung. Efek dari aspek ini adalah pada hara-pan tentang baik atau buruknya keadaan masa dehara-pan. Makin tinggi daya ta-han seseorang, makin mampu menghadapi berbagai kesukaran yang di-hadapinya.

Kemandirian (Y) Santri: Kemampuan Mengambil Keputusan

Steinberg menyatakan bahwa kemandirian merupakan kemampuan individu untuk bertingkah laku secara seorang diri serta kemandirian remaja ditunjukkan dengan bertingkah laku sesuai dengan keinginannya, mengambil keputusan sendiri dan mampu mempertanggungjawabkan ting-kah lakunya sendiri.22

Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara kumulatif selama perkembangan dimana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan sehing-ga pada akhirnya akan mampu berpikir dan bertindak sendiri. Seseorang dengan kemandiriannya dapat memilih jalan hidupnya untuk dapat ber-kembang dengan lebih mantap. Seseorang untuk dapat mandiri membu-tuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga serta ling-kungan di sekitarnya agar dapat mencapai otonomi atas diri sendiri.23

Pada saat ini peran orang tua dan respon dari lingkungan sangat perlukan bagi anak sebagai penguat untuk setiap perilaku yang telah di-lakukannya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Reber bahwa ke-mandirian merupakan suatu sikap otonomi dimana seseorang secara relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain. Seorang

22

Laurence Steinberg, Adolescence, 6th Edition (New York: McGraw-Hill, Inc., 2001). 23 Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan: Perkembangan Peserta Didik (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 17.

(11)

remaja dengan otonomi tersebut diharapkan akan lebih bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri.24

Adapun aspek kemandirian, menurut Steinberg, meliputi tiga aspek, yaitu:25 a) Kemandirian emosi merupakan perubahan kedekatan hubungan

emosional antar individu, seperti hubungan emosional individu dengan te-man atau dengan orang tua. Sejauh te-mana remaja mampu melakukan de-idealized terhadap orang tua, memandang orang tua sebagai orang dewasa umumnya, tergantung kepada kemampuannya sendiri tanpa mengharapkan bantuan emosional orang lain dan sejauh mana remaja mampu melakukan individualisasi di dalam hubungannya dengan orang tua. b) Kemandirian perilaku merupakan kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan tanpa tergantung pada orang lain dan melakukannya secara tanggung ja-wab. Remaja yang memiliki kemandirian perilaku bebas dari pengaruh pi-hak lain dalam menentukan pilihan dan keputusan. Tetapi bukan berarti mereka tidak perlu pendapat orang lain. c) Kemandirian nilai merupakan kemampuan memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan salah, ten-tang apa yang penting dan apa yang tidak penting. Remaja mampu menim-bang berbagai kemungkinan dalam bidang nilai misalnya, remaja mem-pertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada saat meng-ambil keputusan yang bernilai moral.

Gambaran Konsep Diri (X1), Adversity Quotient (X2), dan Kemandirian (Y) Santri

Hasil analisis data deskriptif untuk variabel konsep diri (X1) dapat di-jelaskan bahwa Variabel Konsep Diri (X1) memiliki rentang X > 32 untuk kategori tinggi, 16  X  32 untuk kategori sedang, X < 16 untuk kategori rendah. Berdasarkan kategorisasi memperlihatkan bahwa variabel konsep diri (X1) obyek penelitian adalah 4,76% untuk kategori tinggi,

84,13% untuk kategori sedang dan 11,11% untuk kategori rendah. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa secara umum Konsep Diri pada responden penelitian termasuk kategori sedang.

24

Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan: Perkembangan Peserta Didik (Bandung: Pustaka Setia, 2006).

25

(12)

Hal ini disebabkan karena obyek dalam penelitian ini yaitu santri Pon-dok Pesantern Nurul Islam Jember umumnya masih labil dalam memahami tentang konsep dirinya terkait dengan bagaimana santri menilai diri sendiri, bagaimana penerimaannya terhadap diri sendiri sebagaimana yang dirasa-kan, diyakini dan dilakudirasa-kan, baik ditinjau dari segi fisik, moral, keluarga, personal dan sosial.

Sedangkan hasil analisis data deskriptif untuk variabel adversity quotient (X2) dapat dijelaskan bahwa variabel adversity quotient (X2) memiliki rentang X > 32 untuk kategori tinggi, 16  X 32 untuk kategori sedang, X < 16 untuk kategori rendah. Berdasarkan kategorisasi memperlihatkan bahwa adversity quotient (X2) obyek penelitian adalah 3,97% untuk kategori

tinggi, 89,68% untuk kategori sedang dan 6,35% untuk kategori rendah. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa secara umum adversity quotient pada responden penelitian termasuk kategori sedang.

Hal ini disebabkan karena obyek dalam penelitian ini yaitu santri Pon-dok Pesantern Nurul Islam Jember umumnya masih remaja. Masa remaja merupakan salah satu periode perkembangan yang dialami oleh setiap indi-vidu, sebagai masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa ini memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode per-kembangan yang lain. Ciri yang menonjol pada masa ini adalah individu mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang amat pesat, baik fisik, emosional dan sosial. Demikian pula dalam hal daya juang (adversity

quotient) pada diri santri.

Sementara hasil analisis data deskriptif untuk variabel kemandirian san-tri (Y) dapat dijelaskan bahwa variabel kemandirian sansan-tri (Y) memiliki ren-tang X > 24 untuk kategori tinggi, 12  X  24 untuk kategori sedang, X < 12 untuk kategori rendah. Berdasarkan kategorisasi memperlihatkan bahwa Kemandirian Santri (Y) obyek penelitian adalah 7,94% untuk kate-gori tinggi, 85,71% untuk katekate-gori sedang dan 6,35% untuk katekate-gori ren-dah. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa secara umum Kemandirian Santri (Y) dalam penelitian ini termasuk kategori sedang.

Hal ini disebabkan karena obyek dalam penelitian ini yaitu santri Pon-dok Pesantern Nurul Islam Jember pada umumnya masih tergantung kepa-da orang tua. Segala kebutuhan yang diperlukan hampir semuanya

(13)

disiap-kan oleh orang tua. Pihak pesantren tetap berusaha menanamdisiap-kan sikap ke-mandirian pada santri, terutama dalam hal bertingkah laku sesuai dengan keinginannya, mengambil keputusan sendiri tanpa tergantung pada orang lain dan mampu mempertanggungjawabkan tingkah lakunya sendiri. Kemandirian Santri: Melihat Pengaruh Konsep Diri dan Adversity Quotient

Pada bagian ini, uraian diorientasikan untuk melihat pengaruh Konsep Diri (X1) dan Adversity Quotient (X2) terhadap Kemandirian Santri (Y). Dari hasil pengolahan data dengan menggunakan software SPSS 17.0 sebagaimana yang tersaji pada Tabel 3.9 terlihat bahwa nilai signifikansi Fhit

(Pvalue) = 0,000 atau lebih besar dari α = 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa Variabel Konsep Diri (X1) dan Adversity Quotient (X2) secara ber-sama-sama (simultan) berpengaruh terhadap Kemandirian Santri (Y).

Selanjutnya dari hasil pengolahan data untuk mengukur seberapa besar kemampuan Variabel Konsep Diri (X1) dan Adversity Quotient (X2)

mem-berikan pengaruh terhadap variabel Kemandirian Santri (Y), diperoleh nilai R Square = 0,706. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh Variabel Konsep Diri (X1) dan Adversity Quotient (X2) terhadap variabel

Keman-dirian Santri (Y) adalah sebesar 0,706 atau 70,6%.

Hasil analisis yang diperoleh senada dengan penjelasan dari KH. Muhyiddin Abdusshomad selaku Pengasuh Pondok Pesantern Nurul Islam Jember yang menyatakan bahwa konsep diri santri sebagai pandangan atau persepsi santri terhadap dirinya dan adversity quotient yang merupakan ke-mampuan santri dalam merespon kesulitan yang dialaminya sangat mem-pengaruhi santri. untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan sehingga pada akhirnya akan mampu berpikir dan ber-tindak sendiri.26

Sedangkan, untuk melihat pengaruh Konsep Diri (X1) terhadap Ke-mandirian Santri (Y), maka dilakukan analisis terhadap variabel X1 terhadap variabel Y. Dari hasil pengolahan data dengan menggunakan software SPSS 17.0 sebagaimana yang tersaji pada Tabel 3.8, terlihat bahwa Nilai Pvalue

untuk variabel Konsep Diri (X1) = 0,000 yang berarti signifikan pada α =

26

(14)

0,05, maka untuk hipotesis kedua dinyatakan H0 ditolak, sehingga dapat di-simpulkan bahwa variabel Konsep Diri (X1) berpengaruh negatif secara

parsial terhadap variabel Kemandirian Santri (Y).

Nilai koefisien regresi untuk variabel Konsep Diri (X1) seperti terlihat pada Tabel 3.8 adalah 0,493. Hasil ini menunjukkan bahwa setiap pening-katan satu unit variabel Konsep Diri (X1), maka variabel Kemandirian San-tri (Y) mengalami peningkatan sebesar 0,493 kali. Hasil analisis data ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pemahaman terhadap konsep diri san-tri, maka tingkat kemandiriannya juga akan semakin besar.

Hasil analisis yang diperoleh sesuai dengan penjelasan dari KH. Muhyiddin Abdusshomad selaku Pengasuh Pondok Pesantern Nurul Islam Jember yang menyatakan bahwa konsep diri santri sebagai pandangan atau persepsi santri terhadap dirinya, baik bersifat fisik, sosial, maupun psiko-logis, dimana pandangan ini diperolehnya dari pengalamannya berinteraksi dengan orang lain yang mempunyai arti penting dalam hidupnya terutama dalam hal kemandirian santri itu sendiri.27

Adapun, untuk melihat pengaruh Adversity Quotient (X2) terhadap Kemandirian Santri (Y), maka dilakukan analisis terhadap variabel X2

ter-hadap variabel Y. Dari hasil pengolahan data dengan menggunakan soft-ware SPSS 17.0 sebagaimana yang tersaji pada Tabel 4.7, terlihat bahwa Nilai Pvalue untuk variabel Adversity Quotient (X2) = 0,013 yang berarti

signifikan pada α = 0,05, maka untuk hipotesis kedua dinyatakan H0 di-tolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel Adversity Quotient (X2)

berpengaruh negatif secara parsial terhadap variabel Kemandirian Santri (Y).

Nilai koefisien regresi untuk variabel Adversity Quotient (X2) seperti

terlihat pada Tabel 3.8 adalah 0,184. Hasil ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan satu unit variabel Adversity Quotient (X2), maka variabel

Ke-mandirian Santri (Y) mengalami peningkatan sebesar 0,184 kali. Hasil analisis data ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai adversity quotient santri, maka tingkat kemandiriannya juga akan semakin besar.

Hasil analisis yang diperoleh juga didukung oleh penjelasan dari Hodaifah, juga selaku Pengasuh Pondok Pesantern Nurul Islam Jember

27

(15)

yang menjelaskan bahwa adversity quotient sebagai kecerdasaan yang di-miliki santri dalam menghadapi kesulitan, hambatan dan mampu untuk mengatasinya sangat membantu santri dalam meningkatkan kemandirian santri.28 Hal tersebut membuat santri akan terus belajar untuk bersikap

mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan, baik dalam ling-kungan pondok pesantren, maupun dalam lingling-kungan masyarakat luas. Pa-da akhirnya santri akan mampu berpikir Pa-dan bertinPa-dak sendiri. Dengan ke-mandiriannya, santri dapat memilih jalan hidupnya untuk dapat ber-kembang dengan lebih mantap. Untuk dapat mandiri, santri membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan di se-kitarnya agar dapat mencapai otonomi atas diri sendiri.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut. Pertama, dari hasil analisis data dapat dijelaskan bahwa variabel konsep diri (X1) memiliki rentang X > 32 untuk kategori

tinggi, 16  X  32 untuk kategori sedang, X < 16 untuk kategori rendah. Berdasarkan kategorisasi memperlihatkan bahwa variabel konsep diri (X1) obyek penelitian adalah untuk kategori tinggi sebesar 4,76%, untuk kategori sedang sebesar 84,13% dan untuk kategori rendah sebesar 11,11%. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa secara umum konsep diri pada responden penelitian termasuk kategori sedang. Kedua, hasil analisis data dapat dijelaskan bahwa variabel adversity quotient (X2) memiliki

rentang X > 32 untuk kategori tinggi, 16  X 32 untuk kategori sedang, X < 16 untuk kategori rendah. Berdasarkan kategorisasi memperlihatkan bahwa adversity quotient (X2) obyek penelitian adalah untuk kategori tinggi sebesar 3,97%, untuk kategori sedang sebesar 89,68% dan untuk kategori rendah sebesar 6,35%. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa secara umum

adversity quotient pada responden penelitian termasuk kategori sedang. Ketiga, hasil analisis data dapat dijelaskan bahwa variabel kemandirian santri

(Y) memiliki rentang X > 24 untuk kategori tinggi, 12  X  24 untuk kategori sedang, X < 12 untuk kategori rendah. Berdasarkan kategorisasi memperlihatkan bahwa kemandirian santri (Y) obyek penelitian adalah

28

(16)

untuk kategori tinggi sebesar 7,94%, untuk kategori sedang sebesar 85,71% dan untuk kategori rendah sebesar 6,35%. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa secara umum kemandirian santri (Y) dalam penelitian ini termasuk kategori sedang.

Sedangkan, hasil analisis data terlihat bahwa nilai signifikansi Fhit (Pvalue) = 0,000 atau lebih besar dari α = 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa Variabel Konsep Diri (X1) dan Adversity Quotient (X2) secara bersama-sama (simultan) berpengaruh terhadap Kemandirian Santri (Y). Sementara, hasil analisis data terlihat bahwa Nilai Pvalue untuk variabel konsep diri (X1) = 0,000 yang berarti signifikan pada α = 0,05, maka

untuk hipotesis kedua dinyatakan H0 ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel konsep diri (X1) berpengaruh secara parsial terhadap

variabel Kemandirian Santri (Y). Untuk hasil analisis data terlihat bahwa Nilai Pvalue untuk variabel adversity quotient (X2) = 0,013 yang berarti

signifikan pada α = 0,05, maka untuk hipotesis kedua dinyatakan H0 ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel adversity quotient (X2) berpengaruh secara parsial terhadap variabel kemandirian santri (Y).

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Acocella, Joan Ross & James Calhoun, Psychology Of Adjustment Human

Relationship, 3th ed. (New York: McGraw-Hill, 1990).

Agustian, Ary Ginanjar, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan

Spiritual ESQ: Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan Rukun Islam (Jakarta: Arga Wijaya Persada, 2001).

Albrecht, Stan L. , Bruce A Chadwick, Cardell K Jacobson, Social

Psychology, Second Edition (New Jersey: Prentice Hall Inc., 1987).

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi V (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002).

Berzonsky, M.D., Adolescent Development (New York: MacMilan Publishing Co Inc., 1981).

Brehm, Sharon S. and Saul M. Kassin, Sosial Psychology (Boston: Hough-ton Mifflin Company, 1989).

Chaplin, James P., Kamus Lengkap Psikologi (Jakarta: Rajawali Pers, 2009). Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 1976).

Fatimah, Enung, Psikologi Perkembangan: Perkembangan Peserta Didik (Bandung: Pustaka Setia, 2006).

Hodaifah, Urgensi Moderatisme dalam Pendidikan Islam (Surabaya: Pustaka Radja, 2014).

http://puanamalhayati. or.id/archives/1051. Puan Amal Hayati, Pondok Pesantren Nurul Islam (NURIS) Jember.

Kartika, Sri, ”Profil Perkawinan Perempuan Indonesia”, Jurnal Perempuan, Vol. 31, No. 22: 57-67 (2002).

Kartono, Kartini, Patologi Sosial 2: Kenakalan Remaja (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1987).

Partosuwido, S.R., ”Penyesuaian Diri Mahasiswa Dalam Kaitanya dengan Konsep Diri, Pusat Kendali dan Status Perguruan Tinggi”, Tesis (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 1992).

(18)

Rafy, Sapuri, Psikologi Islam: Tuntunan Jiwa Manusia Modern (Jakarta: Rajawali Pers, 2009).

Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002).

Rochaety E., R. Tresnati, H. A. M. Latief. Metodologi Penelitian Bisnis

Dengan Aplikasi SPSS (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2007).

Siradj, Sa'id Aqiel [et al.], Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan

dan Transformasi Pesantren (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999).

Steinberg, Laurence, Adolescence, 6th Edition (New York: McGraw-Hill,

Inc., 2001).

Stoltz, Paul G., Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang, Terj. T. Hermaya (Jakarta: PT Grasindo, 2000).

Syukur, Amin, Tasawuf Kontekstual: Solusi Problem Manusia Modern (Yog-yakarta: Pustaka Pelajar, 2003).

Referensi

Dokumen terkait

Dari data pada Tabel 1, tampak bahwa sebagian besar mahasiswa memiliki konsepsi yang tidak ilmiah pada sebagian besar konsep- konsep yang berhubungan dengan struktur atom,

Kegiatan-kegiatan dimaksudkan untuk digunakan dengan kelompok kecil dari anak-anak yang memiliki masalah berbahasa dengan menggunakan prosedur ini, memilih kegiatan

Strategi ini menimbulkan kendurnya pengendalian oleh perusahaan induk (kantor pusat), dan sistem informasi memudahkan desentralisasi dalam pengambilan keputusan strategis

Bab kedua, merupakan tinjauan umum terkait dengan strategi pengusaha tahu untuk menghadapi persaingan antar pengusaha, meliputi: pengertian strategi, persaingan,

Sehubungan dengan akan dilaksanakannya klarifikasi dan negosiasi dan dengan berakhirnya masa sanggah, untuk itu kami mengundang Direktur Utama / Pimpinan Perusahaan

Lampiran : Undangan Klar ifikasi dan Ver ifikasi Data Kualifikasi Nomor : 05.b/ DKP.17/ POKJA.V/ VI/ 2015. Tanggal : 8

Menyampaikan Surat Lamaran unfuk mengikuti proses seleksi Kelompk Ke[a Unit Layanan Pengadaan Kabupati:n Bengkulu Selatan Tahun Anggaran 2017 yang dilampid Cuniculum

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kualitas pelayanan kesehatan poliklinik adalah tingkat baik buruknya pelayanan kesehatan yang diberikan oleh petugas rumah