• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dan pangan. Sejak dahulu, landed house merupakan pilihan yang cukup menarik.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dan pangan. Sejak dahulu, landed house merupakan pilihan yang cukup menarik."

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebutuhan pokok manusia meliputi rumah tinggal selain tentunya, sandang dan pangan. Sejak dahulu, landed house merupakan pilihan yang cukup menarik.

Landed house merupakan rumah tradisional yang terdiri dari sebidang tanah dan

bangunan di atasnya dengan bukti kepemilikan yang sah yaitu sertipikat dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Namun masyarakat saat ini memiliki pilihan lain untuk dijadikan sebagai tempat tinggal, yaitu high rise building atau kita kenal dengan konsep apartemen. Dalam salah satu artikel yang ditulis di Kompasiana (Damayanti, 2013), menunjukan bahwa masyarakat perkotaan, salah satunya yang tinggal di Jakarta, mulai mempertimbangkan apartemen, dibandingkan dengan landed house, sebagai tempat tinggal karena letaknya yang relatif lebih dekat dengan pusat aktivitas. Salah satu faktornya adalah karena kondisi lalu lintas di Jakarta yang semakin tidak bersahabat. Faktor penyebab lain adalah karena pilihan landed house sendiri mulai menimbulkan dilema karena harga yang ditawarkan semakin tinggi namun tidak terkejar oleh kenaikan pendapatan masyarakat.

Saat ini, terutama di kota besar, masyarakat makin merasakan sulitnya mencari tempat tinggal dengan harga yang terjangkau. Tanah yang tersisa semakin sedikit sementara pertumbuhan penduduk terus berjalan. Hal tersebut menjadi salah satu tantangan Pemerintahan Daerah kota-kota besar, salah satunya di Jakarta, yaitu

(2)

2 bagaimana menyediakan tempat tinggal yang layak dan terjangkau bagi seluruh warganya.

Bisnis properti di Indonesia mengalami perkembangan sangat pesat sejak tahun 2008. Hal tersebut didorong dari pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) di tahun 2005 (www.bps.go.id) terkait laju pertumbuhan penduduk, pertambahan jumlah penduduk di daerah Jakarta, Tangerang, Bogor, dan Bekasi dapat mencapai 8.1 jiwa sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2020, atau meningkat dari 25.4 juta jiwa menjadi 32.6 juta jiwa. Dari total pertambahan tersebut, di Jakarta jumlahnya dapat meningkat 400 ribu jiwa yaitu dari 8.8 juta jiwa menjadi 9.2 juta jiwa. Sedangkan kawasan Botabek, pertambahannya jumlah penduduk dapat mencapai 7.7 juta jiwa yaitu dari 15.7 juta jiwa menjadi 23.4 juta jiwa.

Meskipun pertumbuhan bisnis properti berkembang amat pesat, namun tantangan lain yang dihadapi dari penyediaan rumah bagi masyarakat, berdasarkan beberapa sumber dan hasil observasi penulis, adalah sensitivitas sektor properti terhadap inflasi, tingkat suku bunga, dan nilai tukar rupiah (Gultom & Fachrudin, 2013). Baik secara langsung ataupun tak langsung, ketiga variabel tersebut memiliki peran dalam menggerakkan roda bisnis bidang properti. Ketiganya sangat terkait dengan harga properti dan fasilitas yang diberikan oleh institusi keuangan, terutama pihak perbankan yang membantu proses pembangunan baik dalam hal pinjaman konstruksi atau pun pembelian properti terkait. Sebagai salah satu metode

(3)

3 pembayaran yang rata-rata diberikan oleh tiap pengembang, adalah melalui pinjaman Kredit Kepemilikan Rumah (KPR).

Pertumbuhan pembangunan rumah dan apartemen saat ini didukung dengan banyaknya penawaran fasilitas pinjaman perbankan salah satu yang paling popular adalah fasilitas pinjaman KPR. KPR merupakan produk perbankan yang sudah ada sejak 10 Desember 1976 melalui Bank Tabungan Negara (BTN) yang dilakukan di Kota Semarang, Jawa Tengah (dalam http://erasaputera.blogspot.com/2012/12/ sejarah-penyaluran- kpr.html, diunduh tanggal 10 September 2014). Saat itu hanya BTN didukung oleh Pemerintah Indonesia yang ditunjuk sebagai wadah penyaluran kredit perumahan untuk rakyat. Bahkan pada waktu-waktu selanjutnya, BTN dapat menjadi sebuah bank yang kuat karena keberhasilannya dalam penyaluran KPR.

Menurut data Bank Indonesia, di tahun 2012 pertumbuhan KPR mencapai 43% dan merupakan kredit yang tumbuh lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Pertumbuhan pesat tersebut didukung dari kebutuhan masyarakat untuk memiliki rumah dan KPR bersubsidi yang diselenggarakan Pemerintah melalui Menteri Keuangan. KPR bersubsidi tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi rakyat. Pada masa tersebut, bank juga diperbolehkan untuk memberikan berbagai macam gimmick yang menarik masyarakat untuk mengajukan KPR, diantaranya adalah masa KPR yang dapat mencapai 25 tahun yang ditawarkan oleh BTN dan Bank Mutiara (dalam https://kreditgogo.com dan http://www.mutiara bank.co.id, diunduh tanggal 19 Januari 2015).

(4)

4 Pangsa pasar utama yang cocok dengan fasilitas KPR adalah kelompok masyarakat yang pada saat ini belum memiliki cukup uang tunai untuk memiliki rumah yang diinginkan namun masih dalam masa usia produktif dan memiliki pekerjaan atau usaha dengan pendapatan yang memadai. Usia produktif inilah yang akan menentukan seberapa lama jangka waktu KPR akan diberikan oleh bank. Rata-rata karakteristik tersebut dimiliki oleh masyarakat kelas menengah di Indonesia. Kelas menengah di Indonesia mencapai 150 juta dengan pendapatan Rp.55 juta sampai dengan Rp.200 juta per tahun. Sementara itu, dari seluruh populasi, mereka yang yang memiliki rumah hanya sebesar 2.3% Adapun kebutuhan rumah per tahun di Indonesia mencapai 800 ribu unit, namun hanya 400 ribu diantaranya yang dapat dipenuhi (Intana, 2013 dalam majalah SWA).

Dalam sebuah sumber (Tribun News, 2013) bahkan diprediksi kebutuhan rumah di Indonesia tahun 2014 akan mencapai 15 juta unit. Kebutuhan tersebut dapat menimbulkan masalah sosial terutama kesejahteraan penduduk apabila tidak segera dipenuhi. Tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut merupakan backlog, antara kebutuhan dan suplai tempat tinggal, akan terus meningkat setiap tahunnya apabila Pemerintah tidak menyelesaikannya segera. Apabila golongan menengah saja mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan tempat tinggalnya, terlebih bagi golongan masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah. Hal tersebut menjadi isu utama Pemerintah yang secepatnya harus diatasi.

Pemerintah sendiri sudah melaksanakan beberapa program untuk mengatasi

(5)

5 FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembangunan Perumahan) bagi kelas menengah ke bawah, tabungan perumahan untuk pegawai negeri sipil dan sejumlah program lainnya. Namun program-program tersebut masih asing dan kurang efektif bagi masyarakat luas yang mungkin tidak cukup mengetahui prosedur program tersebut serta mengaksesnya.

Fasilitas KPR merupakan salah satu program yang sudah meluas dan diketahui oleh masyarakat. Sejak awal penyalurannya hingga saat ini, KPR tetap menjadi salah satu produk bank yang sangat menguntungkan terutama bagi tiga belah pihak, yaitu developer atau pengembang, masyarakat atau dalam hal ini adalah pembeli dan tentu saja bank itu sendiri.

KPR menawarkan kepada pembeli pembiayaan rumah dengan pinjaman yang akan dibayarkan kepada pihak pengembang pada saat akad kredit selesai dilaksanakan. Kemudian, pembeli dapat mengangsur pinjaman tersebut sampai dengan batas waktu yang telah disepakati di awal perjanjian. Jangka waktu KPR cukup bervariasi dari 5 hingga 25 tahun sehingga memberikan fleksibilitas kepada pembeli untuk memiliki rumah yang layak meskipun belum memiliki dana kontan (Jeffrey, 2013 dalam https://id.she.yahoo.com)

Di lain pihak, KPR juga memberikan suntikan dana kepada pengembang berupa dana tunai di depan, dengan skema pencairan (lama) sebagai berikut :

1. Sebesar 70% dari plafond KPR dicairkan ke rekening pengembang setelah penandatanganan akad kredit antara bank dan pembeli.

(6)

6 2. Sebesar 20% dari plafond KPR dicairkan pada saat penandatanganan Akta Jual Beli (AJB). Penandatanganan AJB biasanya menandakan bahwa konstruksi rumah sudah hampir selesai 100% dan proses legalitas (seperti pemecahan sertipikat, proses balik nama dari pengembang kepada pembeli, serta IMB) akan segera selesai diproses.

3. Sebesar 10% dari plafond kredit dicairkan saat seluruh urusan pengembang dan pembeli, baik terkait konstruksi dan dokumen legalitas selesai dan terjadi serah terima sertipikat kepada pembeli. Hal ini biasanya dituangkan dalam Berita Acara Serah Terima (BAST) yang ditandatangani kedua belah pihak (pengembang dan pembeli).

Dana tunai dari KPR ini dapat digunakan untuk mengakselerasi pembangunan sehingga akan menghemat biaya operasional dan mempercepat proses pembangunan. Adapun simulasi singkat perbandingan antara KPR dengan non-KPR diilustrasikan di bawah ini.

Contoh : 1 unit rumah dijual dengan harga Rp.1,000,000,000 dengan biaya konstruksi (hard cost) sebesar Rp.500 Juta. Maka perbandingan percepatan pembangunan dengan menggunakan 2 metode pembayaran (KPR dan Tunai Bertahap) adalah sebagai berikut :

(7)

7 Tabel 1.1. Perbandingan Akselerasi Pembangunan dengan Metode Pembayaran KPR vs Tunai Bertahap

Tipe Pembayaran Bulan 1-3 Bulan 4-6 Bulan 7-9 Bulan 10-12

KPR

(Cair I : 70% dari harga jual)

Rp.700 Juta Dapat langsung digunakan seluruhnya untuk penyelesaian pembangunan Rp.300 Juta

Installment 12 bulan Rp.250 Juta Rp.250 Juta Rp.250 Juta Rp.250 Juta

Tabel 1.1 menjelaskan bahwa dengan bantuan fasilitas KPR, pengembang dapat menggunakannya untuk fokus dalam penyelesaian konstruksi unit rumah dalam waktu yang optimal. Dengan demikian, dalam proses pembangunan, resiko kenaikan harga-harga material dapat dikurangi dan biaya operasional (yang bersifat tetap) dapat diturunkan karena semakin cepatnya penyelesaian konstruksi.

Adapun keuntungan dari pihak pembeli adalah mereka memiliki kesempatan untuk mendapatkan tempat tinggal layak dengan harga yang terjangkau serta keringanan karena pembayaran dilakukan dalam bentuk cicilan. Secara tidak langsung, KPR juga membantu Pemerintah dalam mengatasi masalah kependudukan terkait kurangnya suplai tempat tinggal yang layak bagi masyarakat dengan memberikan salah satu cara untuk mempermudah masyarakat mendapatkan tempat tinggal.

Seiring dengan perkembangan berbagai sektor industri dan majunya kondisi ekonomi di Indonesia, terjadi berbagai perubahan kondisi yang menuntut adanya

(8)

8 penyesuaian dalam aturan main atau peraturan yang telah dikeluarkan pihak berwenang. Khususnya dalam bidang properti, terjadi penyalahgunaan atau penyimpangan yang dilakukan oleh pihak pengembang maupun pembeli. Salah satu contoh adanya penyimpangan yang dilakukan pengembang adalah kasus pailitnya PT.Mitra Safir Sejahtera pada saat membangun perumahan susun sederhana di Kemanggisan. Perusahaan ini dinyatakan pailit karena tidak kunjung mendapatkan investor. Padahal proyek pembangunan telah mencapai 60% dengan jumlah pembeli mencapai 520 atas unit-unit yang sudah setengahnya lebih dipasarkan. Atas keputusan pailit tersebut, pembeli hanya mendapat penggantian rugi sebesar 15% dari total asset yang disita yaitu Rp.125 Milyar (http://properti.kompas.com dan http://news.okezone.com diunduh tanggal 15 Mei 2014).

Kasus tersebut merupakan contoh ekstrim dari penyalahgunaan kepercayaan pembeli terhadap pengembang. Proyek yang belum “jelas” sudah ditawarkan kepada pembeli baik dengan metode pembelian tunai, angsuran, dan KPR. Ketika bank yang seharusnya menjadi sebuah lembaga yang bersifat prudent (hati-hati) juga “tertipu” oleh pengembang semacam ini. Maka sebagai pihak yang berwenang, BI merasa perlu turun tangan. Selain daripada kasus tersebut, terdapat contoh lain dimana pengembang, terutama skala kecil dan menengah, yang tidak dapat memenuhi kewajibannya atau proyeknya tidak sesuai dengan yang dipasarkan kepada pembeli. Dana yang telah mereka terima, yang berasal langsung dari pembeli atau pun melalui pencairan KPR, tidak langsung digunakan untuk kepentingan proyek atau konstruksi. Beberapa pengembang bahkan menggunakannya untuk membeli tanah lain untuk

(9)

9 dibangun proyek lain dalam bidang properti. Kewajiban yang menggulung-gulung tersebut, membuat dana yang sudah diterima digunakan untuk alokasi lain dan proyek utama justru terbengkalai.

Sebagai pihak pengembang, sesungguhnya wajar jika melihat adanya kesempatan lain untuk berinvestasi dalam pembelian tanah, baik untuk pengembangan maupun untuk pengamanan lahan yang biasanya dibeli karena perhitungan harga tanah yang dianggap semakin cepat akan semakin murah dan menguntungkan. Tindakan tersebut bisa jadi merupakan bagian dari strategi korporasi dalam melakukan ekspansi usaha. Manajemen biasanya melakukan pembelian tanah di depan dengan dasar pemikiran bahwa harga tanah akan semakin naik setiap tahunnya. Sehingga semakin cepat pengembang memiliki sebidang tanah maka biaya yang dibutuhkan untuk pengembangannya akan lebih murah. Namun ketika pengembang sudah terlalu banyak berinvestasi sementara proyek utama belum terselesaikan, sedangkan dana sudah terpakai, timeline pembangunan sekaligus arus kas menjadi tidak sesuai dengan rencana awal sehingga pembeli menjadi pihak utama yang dirugikan.

Adapun dari sisi pembeli, banyak kalangan yang memanfaatkan KPR menjadi media untuk membeli properti dalam jumlah banyak dan ditujukan sebagai alat investasi. Tujuan investasi dalam bisnis properti merupakan suatu hal yang wajar. Namun yang terjadi dalam beberapa kasus adalah perusahaan besar menjadi investor yang merusak harga pasar. Pada saat penjualan pertama, investor membeli dalam jumlah yang tidak wajar. Salah satunya adalah kasus di salah satu komplek apartemen

(10)

10 daerah Jakarta Barat dimana 2 menara apartemen tersebut dibeli oleh satu pihak. Kemudian investor menjualnya kembali dengan keuntungan mencapai 20% bahkan sebelum konstruksi fisik bangunan benar-benar dilaksanakan. Hal ini semata-mata dilakukan untuk mendapatkan keuntungan di depan bukan karena adanya kebutuhan akan tempat tinggal. Praktik tersebut tentu merugikan para pembeli yang benar-benar membutuhkan tempat tinggal dimana harga yang mereka beli menjadi lebih mahal dari yang seharusnya.

Pemerintah kemudian menjadi khawatir akan adanya bubbling harga properti jika kejadian-kejadian di atas tidak segera ditangani sehingga dampak yang paling buruk adalah terjadinya krisis subprime mortgage seperti di Amerika. Krisis

subprime mortgage di Amerika. Krisis tersebut terjadi karena banyaknya kredit

perumahan yang diberikan kepada konsumen dengan kelayakan kredit yang rendah. Kredit tersebut diberikan kepada debitur dengan tingkat suku bunga yang tinggi (karena resiko yang juga dinilai tinggi) kemudian diasuransikan dalam berbagai surat utang yang dinilai bagus. Praktik semacam itu kemudian menjadi berkembang pesat sampai akhirnya kemampuan bayar debitur tidak lagi mumpuni sehingga terjadilah krisis yang bersifat global karena instrument ekonomi yang telah terlalu berkembang dan kompleks.

Seperti halnya di Indonesia, dalam proses mendapatkan kredit, termasuk KPR, seorang nasabah harus dinilai dari beberapa aspek. Secara umum, peraturan Know

(11)

11 1. Character : dapat diketahui dari hasil catatan BI dalam sistem BI

Checking apakah orang tersebut suka berhutang, disiplin dalam

membayarkan seluruh kewajibannya, berbisnis dengan etika yang baik atau tidak, kebiasaan hidup, latar belakang keluarga dan lain sebagainya. 2. Capacity : kondisi kekayaan yang dimiliki oleh suatu entitas atau

nasabah perorangan. Untuk Perusahaan, hal ini bisa dilihat dari neraca, laporan laba-rugi, struktur permodalan, atau dari rasio keuntungan yang diperoleh. Sedangkan untuk nasabah perorangan dapat dilihat dari total pendapatan yang diperoleh, jumlah hutang eksisting yang dimiliki, dan kemampuan umum nasabah untuk terus menghasilkan pendapatan. Dari penilaian di atas maka Bank dapat memutuskan apakah calon nasabah layak diberi pembiayaan atau tidak.

3. Capital : lebih relevan untuk nasabah perusahaan karena menyangkut modal perusahaan dalam menjalankan suatu bisnis. Besarnya modal yang ditanamkan, bagi Bank, menggambarkan besarnya komitmen para pengurus dan pemegang saham untuk menjalankan bisnis tersebut secara benar dan hati-hati karena menyangkut reputasi dan nama baik.

4. Collateral : jaminan yang mungkin bisa disita apabila ternyata calon

nasabah benar-benar tidak dapat memenuhi kewajibannya. Merupakan sumber terakhir pembayaran jika arus kas nasabah atau debitur tidak memenuhi untuk membayar kewajibannya.

(12)

12

5. Condition : pembiayaan yang diberikan juga perlu mempertimbangkan

kondisi ekonomi yang dikaitkan dengan prospek usaha calon nasabah. Ada suatu usaha yang sangat tergantung dari kondisi perekonomian, oleh karena itu perlu mengaitkan kondisi ekonomi dengan usaha calon nasabah. Proses seleksi debitur melalui kategori di atas masih dilakukan dengan cukup baik oleh bank-bank di Indonesia. Namun untuk mencegah adanya faktor lain yang digunakan oleh debitur, Pemerintah mengeluarkan beberapa perubahan yang tertuang dalam peraturan baru menyangkut KPR. Adapun perubahan dalam peraturan tersebut diambil dari artikel Rahayu, 2013 dalam http://bisnis.news.viva.co.id adalah sebagai berikut :

1. Loan to Value (LTV) atau Finance to Value (FTV)

LTV dan FTV menunjukkan porsi pembiayaan yang dapat diterima oleh bank. Misalkan harga rumah seharga Rp.1.000.000.000 , maka maksimal nilai pinjaman yang dapat disetujui oleh bank adalah Rp.700.000.000 atau 70% dari harga beli. Bank Indonesia terhitung sejak hari ini, Senin 30 September 2013, resmi memberlakukan aturan pembatasan besaran kredit (loan to

value/LTV) di perbankan konvensional dan financing to value (FTV) bagi

perbankan syariah untuk kredit pemilikan properti (KPR) dan kredit konsumsi beragun properti. Aturan baru itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) BI No. 15/40/DKMP tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit atau

(13)

13 Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti dan Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor. Direktur Eksekutif Bank Indonesia, Difi A Johansyah, mengatakan bahwa dengan terbitnya aturan baru itu, secara resmi BI mencabut SE sebelumnya No. 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 dan SE BI No.14/33/DPbS tanggal 27 November 2012.

Dalam aturan baru ini juga disebutkan, untuk pembiayaan di perbankan konvensional, kredit rumah pertama tipe 70 m ke atas akan dikenakan LTV maksimal 70% atau uang muka (DP) sebesar 30% dari harga jual, rumah kedua 60% (uang muka 40 %), rumah ketiga dan seterusnya 50 persen (uang muka 50%). Ketentuan serupa juga berlaku untuk Kredit Pemilikan Rumah Susun (KPRS) tipe 70 m2 ke atas.

Kemudian untuk kredit rumah pertama tipe 22-70 m tidak dikenakan LTV, tetapi rumah kedua dikenakan LTV 70%, rumah ketiga dan selebihnya 60%.

Sedangkan, untuk KPRS tipe 21 m2 dan rumah toko (ruko) atau rumah kantor (rukan), untuk kepemilikan pertama tidak dikenakan LTV. Namun, di kepemilikan kedua baru dikenakan LTV maksimal 70%, kepemilikan ketiga dan seterusnya dikenakan LTV sebesar 60%.

(14)

14 2. Ketentuan Pencairan KPR

Permasalahan lain yang juga dihadapi pengembang di Indonesia adalah Peraturan Pemerintah terkait dengan LTV dan ketentuan pengajuan KPR. Menurut aturan Bank Indonesia terbaru, LTV mengharuskan pembeli rumah kedua membayar uang muka (Down Payment) yang lebih besar sehingga porsi pembiayaan KPR lebih kecil. Sedangkan ketentuan pengajuan KPR yang terbaru melarang pembiayaan perumahan inden untuk rumah kedua, ketiga, dan seterusnya. Adapun untuk rumah pertama masih diperbolehkan namun tetap mengikuti progress pembangunan di lapangan. Dapat dimengerti bahwa kedua aturan ini dibuat untuk melindungi konsumen dan mengurangi investor yang hanya mengambil keuntungan dari pembelian properti. Hal ini juga dilakukan untuk menekan harga rumah sehingga tetap terjangkau.

Peraturan-peraturan di atas tentu bermaksud baik terlebih bila kita melihat kembali beberapa kasus yang terjadi dan merugikan salah satu pihak, yaitu pembeli. Apabila hal tersebut terus dibiarkan, tanpa usaha dari Pemerintah untuk memberikan koridor yang harus diikuti, maka akan berpotensi menimbulkan efek viral sehingga kondisi bisnis secara umum akan terganggu. Selain itu dengan tidak dibatasinya beberapa aturan main, masyarakat akan semakin tidak mampu mengejar kenaik harga properti yang tidak seimbang dengan kenaikan pendapatan. Namun koridor yang diberikan juga seharusnya tidak terlalu sempit dan kaku sehingga usaha Pemerintah dalam mengatasi backlog justru akan semakin jauh dari berhasil. (http://beritadaerah.co.id yang diunduh tanggal 20 Mei 2014).

(15)

15 Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan suatu peraturan tentu merupakan suatu “game-changer” untuk para pengembang dan pembeli. Perubahan tersebut menimbulkan banyak permasalahan dan pertanyaan baru terutama bagi pengembang yang telah mendasarkan arus kas serta skema bisnis mereka berdasarkan aturan KPR yang lama. Aturan baru ini mendapat reaksi negatif dari para pengembang terutama dari pengembang kelas kecil dan menengah. Selama ini dana mereka banyak didukung dari pembiayaan KPR dan uang muka pembeli. Kredit konstruksi dari perbankan sendiri terbatas terkait dengan masalah jaminan dan resiko yang dinilai tinggi. Sehingga penyalurannya pun terus dilakukan secara selektif. Contohnya adalah Bank Mandiri yang sudah menunjukkan komitmennya mengenai penyaluran kredit konstruksi yang lebih tinggi namun tetap mengacu kepada penilaian resiko yang telah ditentukan oleh Bank Indonesia (http://www.jpnn.com diunduh pada tanggal 15 Mei 2014).

Bagi para pengembang, aturan baru BI mengenai KPR membatasi gerak mereka untuk dapat berinvestasi di lahan lain dalam waktu yang berdekatan. Aturan tersebut juga berarti membatasi akselerasi pembangunan di lapangan. Dengan modal yang sama, pengembang tidak lagi bisa mengandalkan tambahan dana dari pihak perbankan dalam skema KPR sehingga kemajuan pembangunan akan sesuai dengan dana tunai yang saat itu diterima (modal dan pembeli lain dengan skema cicilan). Hal ini tentunya akan membuat pengembang harus menyuntikkan modal lebih besar atau meminta kredit konstruksi kepada bank.

(16)

16 Sedangkan untuk pihak pembeli, dengan dinaikkannya porsi uang muka seiring dengan KPR yang dimiliki, membuat kesempatan berinvestasi lebih kecil dan harus menggunakan modal sendiri. Namun bagi mereka yang benar-benar membutuhkan tempat tinggal pun harus menunggu lebih lama sampai dengan pembangunan selesai apabila pengembang mengandalkan uang tunai yang didapat dari pencairan KPR. Perhitungan masa konstruksi yang lebih lama juga akan mempengaruhi pengembang untuk menaikkan harga rumah sebagai kompensasi biaya operasional.

Deskripsi perubahan kondisi yang terjadi sebagai dampak adanya perubahan peraturan KPR, merupakan fenomena yang menarik untuk dianalisis lebih dalam. Dari paparan yang telah dijelaskan di atas, terlihat bahwa tujuan Pemerintah, dalam hal ini Bank Indonesia, dalam mengendalikan dan mengawasi bisnis properti, sebenarnya adalah baik. Namun di sisi lain, langkah tersebut menempatkan pengembang, terutama kelas menengah, ke dalam posisi yang kurang menguntungkan dibandingkan sebelumnya.

Sebagai salah satu pekerja di bidang pengembang dengan kelas menengah, yaitu PT DM, dampak tersebut telah dirasakan sejak mulai dikeluarkannya Peraturan BI terbaru. Meskipun hingga saat ini perusahaan masih berjalan, tidak dipungkiri aturan baru tersebut merupakan game changer. Oleh karena itu melalui penelitian ini penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut perubahan apa saja yang harus dihadapi oleh pengembang dan strategi apa yang harus diterapkan sehingga PT DM dapat tetap berjalan optimal.

(17)

17 PT DM merupakan perusahaan yang awalnya didirikan oleh sepasang suami istri dengan berbagai proyek rumah-rumah kluster di daerah Jakarta Selatan. Pada tahun 2012, Perusahaan menjual sebagian sahamnya kepada pemilik baru dengan tujuan ekspansi bisnis ke ranah high-rise building yaitu apartemen dan trade centre.

Pangsa pasar proyek yang dikerjakan perusahaan DM adalah kelas menengah ke atas (middle up) dimana sebagian pembeli menggunakan fasilitas KPR dari berbagai bank swasta. Dengan aturan lama, PT DM dapat menggunakan modal yang ada untuk mengerjakan dua sampai tiga proyek dalam waktu yang berdekatan. Hal ini dikarenakan jumlah rumah yang dibangun pun relatif sedikit yaitu hanya 3-8 rumah. Dengan adanya KPR, dana tunai yang diterima dapat langsung digunakan untuk akselerasi konstruksi dan pada saat yang bersamaan juga untuk pembelian tanah di tempat lain.

Semenjak diterbitkannya aturan KPR baru tersebut di akhir tahun 2013, bertepatan pada saat PT DM akan melakukan ekspansi, tentu menjadi sebuah perubahan yang signifikan dan mempengaruhi skema bisnis awal PT DM. Di dalam kajian ini juga akan dideskripsikan beberapa langkah yang dapat dilakukan perusahaan konstruksi untuk mengatasi kesulitan yang berpotensi timbul akibat adanya perubahan aturan KPR tersebut.

Dengan adanya perubahan peraturan tersebut, tentunya PT DM perlu melakukan perubahan strategi sehingga konstruksi proyek yang ada maupun yang akan datang tetap dapat berjalan dengan optimal. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa timeframe konstruksi maupun strategi cash flow dan pemasaran merupakan

(18)

18 hal-hal yang sangat penting bagi sebuah perusahaan pengembang untuk dapat menjalankan bisnisnya dengan baik dan kompetitif dengan para kompetitornya.

Sehingga akan dibahas perubahan strategi apa saja yang dapat dilakukan oleh PT DM dalam menghadapi adanya perubahan aturan BI tersebut. Di dalam kajian ini juga akan dibahas sedikit mengenai sudut pandang beberapa pembeli dan pihak bank mengenai dampak dari perubahan Peraturan BI mengenai KPR tersebut.

1.2. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka ada dua pertanyaan yang akan diajukan di dalam thesis ini, yaitu :

1. Bagaimana dampak ketentuan terbaru Bank Indonesia mengenai KPR terhadap proses penyelesaian proyek pembangunan PT DM, baik yang telah berjalan maupun yang akan datang?

2. Strategi apa yang dapat digunakan oleh PT DM dalam menghadapai dampak perubahan yang dirasakan dari ketentutan terbaru Bank Indonesia mengenai KPR?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji lebih dalam aturan Bank Indonesia mengenai KPR yang terbaru berdampak bagi pengembang, terutama pengembang kelas menengah yaitu PT DM (studi kasus). PT DM banyak menjalankan bisnis pembangunan proyek townhouse dan apartemen. Dari penelitian ini dapat ditunjukan

(19)

19 efek dari aturan tersebut terhadap strategi bisnis PT DM terutama terkait dengan permodalan, operasional, pemasaran, dan lain sebagainya.

Di lain pihak penelitian ini juga dapat membantu pengembang lain untuk mencari solusi dan menerapkan manajemen strategi untuk tetap menjalankan bisnis dengan optimal. Sedikit terkait dengan pembeli, pengembang juga harus memberikan edukasi dan sosialisasi bahwa adanya perubahan aturan KPR dari BI akan mengubah beberapa hal seperti misalnya uang minta yang diminta akan lebih besar, jangka waktu untuk metode pembayaran tunai bertahap akan lebih pendek, dan lain sebagainya.

Secara akademis, penelitian ini dapat mendorong perkembangan dari berbagai strategi bisnis properti yang sudah ada serta untuk dilakukannya kajian atau penelitian selanjutnya dalam hal strategi bisnis dalam ruang lingkup yang lebih besar.

1.4. Kontribusi dan Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada PT DM mengenai perubahan seperti apa yang dapat dilakukan terkait dengan adanya perubahan peraturan BI tersebut. Perubahan yang dilakukan dapat terkait strategi permodalan, strategi pemasaran dan tentunya strategi manajemen secara keseluruhan untuk dapat terus berkembang di dalam bisnis yang dijalankan.

Penelitian ini juga dapat memberikan gambaran sejauh mana perubahan aturan KPR BI mengenai sasaran terutama dari sudut pandang perusahaan pengembang kelas menengah seperti PT DM.

Gambar

Tabel  1.1  menjelaskan  bahwa  dengan  bantuan  fasilitas  KPR,  pengembang  dapat menggunakannya untuk fokus dalam penyelesaian konstruksi unit rumah dalam  waktu yang optimal

Referensi

Dokumen terkait

2) Lingkungan sekolah yang bersih dan terawat dapat mendukung proses pembelajaran di sekolah, sehingga penting untuk dijaga. 3) Terlihat kejenuhan siswa dalam belajar

Periode kompetisi gulma E.crus-galli nyata menurunkan jumlah anakan, jumlah daun, indeks luas daun, bobot kering akar dan tajuk, anakan produktif, biji isi, produksi gabah

Beberapa metode pengolahan limbah ca ir tekstil telah banyak dikembangkan.Beberapa metode yang bisa digunakan adalah kombinasi adsorpsi dengan nanofiltras i (NF)

Objek yang diamati dalam penelitian ini adalah kegiatan pemanenan kayu yang dilakukan secara konvensional dan dengan teknik NTH pada kegiatan :1. Perencanaan

Pembuatan Minuman Fungsional Teh Daun Senduduk (Melastoma malabathricum L.) Bercita Rasa Sari Buah Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia).. Fakultas

 Responden di Kalimantan cenderung untuk berubah opini menjadi setuju pencabutan subsidi BBM setelah menerima informasi terkait daripada responden di Jawa & Bali (21,3%).

Hasil penelitian berdasarkan faktor kesediaan benih menunjukan bahwa apabila benih yang ada di penangkar habis biasanya para petani yang menggunakan benih bersertifikat lebih

Kemudian kebutuhan - kebutuhan yang dicari oleh tiap - tiap individu menjadi menarik karena berawal dari dorongan motif untuk mencapai kepuasan yang