• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN TINGKAT KEPATUHAN PASIEN PADA PENGGUNAAN OBAT ANTIDIABETES TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH

BERDASARKAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIDAKPATUHAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Chyntia Natalix Mamiek Reinhard Rohi NIM : 168114061

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

HUBUNGAN TINGKAT KEPATUHAN PASIEN PADA PENGGUNAAN OBAT ANTIDIABETES TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH

BERDASARKAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIDAKPATUHAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Chyntia Natalix Mamiek Reinhard Rohi NIM : 168114061

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)

iv

Halaman Persembahan

“Sebuah permata tidak akan dapat dipoles tanpa gesekan, demikian juga seseorang tidak akan menjadi sukses tanpa tantangan” - Chinese

Proverbs

Karya ini kupersembahkan kepada :

Tuhan Yesus, Bunda Maria, dan Para Kudus

Bapa, Mama, Tanta, Om, Adik-adikku, serta semua keluarga

(4)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PRAKARTA ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

ABSTRAK ... xi

ABSTRACT ... xii

PENDAHULUAN ... 1

METODE PENELITIAN ... 5

Desain dan Subjek Penelitian ... 5

Izin dan Etika Penelitian ... 6

Penilaian Tingkat Kepatuhan Pasien ... 6

Penilaian Kadar Glukosa Darah ... 6

Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian ... 7

Pengumpulan Data ... 8

Analisis Statistika ... 8

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 10

KESIMPULAN ... 18

SARAN ... 19

(5)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel I. Uji Reliabilitas ... 7 Tabel II. Karakteristik Responden ... 10 Tabel III. Hubungan Kepatuhan Minum Obat Antidiabetes dengan

Terkontrolnya Kadar Glukosa Darah ... 12 Tabel IV. Profil Obat pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 ... 17

(6)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Diri Pasien ... 25

Lampiran 2. Form Kuesioner Kepatuhan Pasien ... 27

Lampiran 3. Lembar Penjelasan kepada Calon Subjek Uji ... 28

Lampiran 4. Lembar Persetujuan Menjadi Subjek Penelitian ... 29

Lampiran 5. Surat Izin Penelitian dari Dinas Kesehatan... 30

Lampiran 6. Etichal Clearance ... 32

Lampiran 7. Surat Keterangan Analisis Data di Pusat Kajian CE&BU FK-KMK Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ... 33

Lampiran 8. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 34

Lampiran 9. Analisis Data ... 36

(7)

xi ABSTRAK

Laporan Survailans Terpadu Penyakit (STP) Puskesmas di DIY pada tahun 2016 menunjukkan bahwa kasus diabetes mellitus (9.473 kasus) masuk dalam urutan keempat di DIY. Pengendalian kadar gula darah merupakan hal yang penting dalam penanganan diabetes mellitus untuk mencegah komplikasi berupa kerusakan berbagai sistem tubuh terutama sistem saraf dan pembuluh darah. Pasien diabetes perlu memahami faktor-faktor yang mempengaruhi pengendalian kadar gula darah, salah satunya yaitu kepatuhan minum obat antidiabetes. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat kepatuhan penggunaan obat antidiabetes dengan kadar glukosa darah di Puskesmas Ngaglik Yogyakarta. Desain penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling dengan jumlah sampel 30 responden. Pengumpulan data menggunakan kuesioner kepatuhan pasien buatan sendiri yang telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas, dan data rekam medis pasien. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji Chi-square dengan nilai signifikan α < 0,05. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu terdapat hubungan bermakna antara tingkat kepatuhan dan kadar glukosa darah pasien di Puskesmas Ngaglik Yogyakarta (p = 0,001).

(8)

xii ABSTRACT

The Health Center Integrated Disease Survey (STP) report in DIY in 2016 shows that diabetes mellitus cases (9.473 cases) are in fourth place in DIY. Controlling blood sugar levels is important in the treatment of diabetes mellitus to prevent complications in the form of damage to various body systems, especially the nervous system and blood vessels. Diabetes patients need to understand the factors that affect controlling blood sugar levels, one of which is adherence to taking antidiabetic drugs. This study aims to determine the relationship between the level of adherence to the use of antidiabetic drugs with blood glucose levels at Ngaglik Health Center Yogyakarta. The research design used was analytic observational with cross sectional study design. Sampling was done by purposive sampling with a sample size of 30 respondents. Data collection using a self-made patient compliance questionnaire that has been tested for validity and reliability, and patient medical record data. The data obtained were analyzed using the Chi-square test with a significant value α <0,05. The results obtained were that there was a significant relationship between the level of adherence and blood glucose levels of patients at Ngaglik Health Center Yogyakarta (p = 0,001).

(9)

1 PENDAHULUAN

Diabetes adalah penyakit kronis serius yang terjadi karena pankreas tidak menghasilkan cukup insulin (hormon yang mengatur gula darah atau glukosa), atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkannya. Diabetes adalah masalah kesehatan masyarakat yang penting, menjadi salah satu dari empat penyakit tidak menular prioritas yang menjadi target tindak lanjut oleh para pemimpin dunia (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin, atau keduanya. Kriteria diagnosis diabetes mellitus yaitu HbA1C ≥ 6,5%, gula darah puasa (GDP) 126 mg/dL (7.0 mmol/L), gula darah 2 jam postprandial (GD2PP) 200 mg/dL (11.1 mmol/L), gula darah acak (GDA) 200 mg/dL (11.1 mmol/L) (American Diabetes Association, 2014).

Pada tahun 2015 jumlah diabetes di dunia sebesar 415 juta jiwa, mengalami kenaikan 4 kali lipat dari 108 juta di tahun 1980an. Pada tahun 2040 diperkirakan jumlahnya akan menjadi 642 juta (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Laporan Survailans Terpadu Penyakit (STP) Puskesmas di DIY pada tahun 2016 menunjukkan bahwa kasus baru diabetes mellitus (9.473 kasus) masuk dalam urutan keempat dari 10 besar penyakit di DIY. Kemudian pada tahun 2017 untuk Diabetes Mellitus ada 5.161 kasus baru dan masuk dalam 10 besar penyakit. Berdasar Survailans Terpadu Penyakit (STP) puskesmas tahun 2017 jumlah kasus diabetes mellitus tipe 2 sebanyak 8.321 kasus (Dinas Kesehatan DIY, 2017). Menurut WHO (2014), pada tahun 2004 diperkirakan 3,4 juta orang diseluruh dunia meninggal akibat tingginya kadar glukosa darah (Srikartika et al., 2016). Seperti kondisi di dunia, diabetes mellitus kini menjadi salah satu penyebab kematian terbesar di Indonesia. Data Sample Registration Survey tahun 2014 menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan penyebab kematian terbesar nomor 3 di Indonesia dengan persentase sebesar 6,7%, setelah stroke (21,1%) dan penyakit jantung koroner (12,9%) (Kementerian Kesehatan RI, 2016).

(10)

2

Penyakit diabetes yang tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan hiperglikemia yang dari waktu ke waktu dapat mengakibatkan komplikasi berupa kerusakan berbagai sistem tubuh terutama sistem saraf dan pembuluh darah. Penyakit DM merupakan salah satu faktor resiko terjadinya penyakit jantung, stroke, neuropati, retinopati, dan gagal ginjal. Seorang penderita DM memiliki resiko kematian dua kali lebih cepat dibandingkan dengan bukan penderita DM (Irfan dan Israfil, 2019). Resiko komplikasi kardiovaskular pada pasien DM tipe 2 akan mudah terjadi pada pasien yang memiliki kadar gula darah yang tinggi, tekanan darah yang tinggi, kolesterol darah yang tinggi, merokok, usia >40 tahun (Irfan dan Israfil, 2019). Kementerian Kesehatan RI (2018) menyatakan bahwa gula darah yang tidak terkontrol mengakibatkan tambahan 2,2 juta kematian, dengan meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular dan lainnya.

Terapi farmakologis bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat) dapat membantu mengontrol kadar glukosa darah. Terapi farmakologis terdiri dari obat antihiperglikemia oral yaitu golongan sulfonilurea, meglitinida, biguanid, thiazolidinediones, α-glucosidase inhibitors, dipeptidyl peptidase-IV inhibitors. Insulin diperlukan pada keadaan: HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik; Penurunan berat badan yang cepat; Hiperglikemia berat yang disertai ketosis; Krisis hiperglikemia; Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal; Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke); Kehamilan dengan diabetes mellitus gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan; Gangguan fungsi ginjal atau hati yang yang berat; Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO; Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi. Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun fixed dose combination, harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua obat antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral (Soelistijo et al., 2015).

(11)

3

Pengendalian kadar gula darah merupakan hal yang penting dalam penanganan diabetes mellitus. Pasien diabetes perlu memahami faktor-faktor yang berpengaruh dalam mengendalikan kadar gula darah, yaitu diet, aktivitas fisik, kepatuhan minum obat, dan pengetahuan. Keberhasilan pengelolaan DM untuk mencegah komplikasi dapat dicapai salah satunya melalui kepatuhan dalam terapi farmakologi (Nanda, Wiryanto dan Triyono, 2018). Kepatuhan adalah sebuah aksi yang dilakukan oleh pasien untuk mengambil obat ataupun pengulangan resep obat tepat waktu. Sementara itu, medication compliance adalah aksi yang dilakukan pasien untuk mengonsumsi obat sesuai jadwal minumnya ataupun sesuai yang diresepkan oleh dokter (Fauzi dan Nishaa, 2018).

Beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalankan terapinya, yaitu faktor pasien, faktor penyakit, faktor regimen terapi, dan faktor interaksi dengan tenaga kesehatan. Faktor pasien, meliputi faktor keterbatasan dari fungsional tubuh pasien. Dengan bertambahnya umur, fungsi fisiologis mengalami penurunan akibat degeneratif (penuaan). Pasien mendapatkan obat dengan etiketnya beserta penjelasan penggunaan obatnya. Beberapa pasien mengganti aturan pakai obat. Berbagai macam alasan diantaranya adalah rasa takut jika terus-menerus mengkonsumsi obat dapat berdampak buruk bagi tubuh diantaranya pada ginjal dan hati. Alasan lain yaitu timbulnya efek yang mengganggu namun tidak dikonsultasikan kepada dokter sehingga pasien berharap ketika minum lebih sedikit, efek tersebut tidak muncul lagi (Rosyida, Priyandani, Sulistyarini, dan Nita, 2015).

Selain faktor keterbatasan dari fungsional tubuh pasien, sosial ekonomi pasien juga berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan pasien. Sebagian besar penduduk lansia (sekitar 90%) masih memegang peranan penting di dalam lingkungan rumah tangga berstatus kepala rumah tangga yang mempunyai tanggung jawab besar dalam hal psikologis dan ekonomi. Pasien datang ke puskesmas ketika benar-benar merasa sakit karena alasan finansial. Rumah pasien cukup jauh dari puskesmas sehingga menbutuhkan biaya untuk dapat datang ke puskesmas. Faktor penyakit adalah faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien. Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang membutuhkan terapi jangka panjang

(12)

4

yang dapat menyebabkan ketidakpatuhan pasien (Rosyida, Priyandani, Sulistyarini, dan Nita, 2015).

Faktor ketiga adalah faktor regimen terapi. Jumlah obat yang diterima pasien juga berpengaruh terhadap tingkat kepatuhannya, bahwa pasien yang mendapatkan terapi obat kombinasi cenderung tidak patuh. Regimentasi dari obat yang diberikan kepada pasien berbeda-beda tergantung keadaaan pasien itu sendiri (Rosyida, Priyandani, Sulistyarini, dan Nita, 2015). Interaksi antara tenaga kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan kepatuhan pasien. Tidak seorang pun dapat mematuhi instruksi jika salah paham tentang instruksi yang diberikan padanya. Namun kadang-kadang hal ini bisa juga disebabkan oleh kegagalan tenaga kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah medis dan memberikan banyak instruksi yang harus diingat oleh pasien. Dukungan dari tenaga kesehatan merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan (Niven, 2012).

Berdasarkan penelusuran pustaka yang dilakukan peneliti, belum dilakukannya penelitian tentang ―Hubungan Tingkat Kepatuhan Pasien pada Penggunaan Obat Antidiabetes Terhadap Kadar Glukosa Darah di Puskesmas Yogyakarta‖. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan tingkat kepatuhan penggunaan obat dengan kadar glukosa darah di Puskesmas Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat kepatuhan penggunaan obat antidiabetes pada pasien diabetes mellitus tipe 2 terhadap kadar glukosa darah di Puskesmas Ngaglik Yogyakarta.

(13)

5 METODE PENELITIAN

Desain dan Subjek Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan rancangan penelitian cross sectional yaitu peneliti hanya melakukan observasi dan pengukuran variabel pada satu saat tertentu saja, setiap subjek hanya dikenai satu kali pengukuran, tanpa dilakukan tindak lanjut atau pengulangan penelitian (Risnasari, 2014). Pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yang merupakan metode penetapan sampel berdasarkan kriteria tertentu (Sangadji dan Sopiah, 2010). Teknik purposive sampling digunakan untuk pemilihan pasien diabetes mellitus yang didasarkan pada kriteria inklusi. Subjek dalam penelitian ini adalah pasien diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Ngaglik Yogyakarta.

Kriteria inklusi penelitian ini antara lain pasien yang telah didiagnosa menderita diabetes mellitus tipe 2 yang berobat di Puskesmas Ngaglik Yogyakarta, pasien yang bersedia menjadi subyek penelitian untuk mengisi kuesioner yang dirancang sendiri dengan menandatangani informed consent, dan mendapat obat antidiabetes oral. Kriteria eksklusi penelitian ini yaitu pasien wanita hamil.

Hasil perhitungan besar sampel minimal pada penelitian ini sebanyak 7 responden yang dibuat menjadi dua kelompok, sehingga besar sampel minimal yang dibutuhkan pada penelitian ini yaitu 14 responden. Hasil perhitungan ini menggunakan rumus besar sampel untuk desain penelitian analitik observasional

Cross Sectional dengan nilai Z1- α /2 yaitu 5% (1,96), nilai Z1-β yaitu 20% (0,84), nilai P0 (proporsi derajat kadar glukosa darah tinggi dengan status tidak patuh) yaitu 0,71 dan nilai Pa (proporsi derajat kadar glukosa darah tinggi dengan status patuh) yaitu 0,23 (Irmawati dan Nurhaedah, 2017).

Penelitian ini menganalisis hubungan tingkat kepatuhan minum obat antidiabetes dengan kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah dianggap terkontrol apabila HbA1C < 7%, kadar glukosa darah puasa (GDP) nilainya 80-130 mg/dL (4,4-7,2 mmol/L), gula darah 2 jam postprandial (GD2PP) nilainya <180 mg/dL (10,0 mmol/L) (American Diabetes Association, 2019), dan gula

(14)

6

darah sewaktu (GDS) nilainya < 180 mg/dL (10 mmol/L) (International Diabetes Federation, 2014).

Izin dan Etika Penelitian

Penelitian ini telah mendapatkan izin dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman Yogyakarta dengan nomor : 256/II/2020 untuk melakukan kegiatan penelitian di Puskesmas Ngaglik Yogyakarta dan mendapatkan ethical clearance dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dengan nomor : KE/FK0475/EC/2020. .

Penilaian Tingkat Kepatuhan Pasien

Kuesioner kepatuhan pasien minum obat yang dibuat sendiri terdiri dari 15 pertanyaan. Setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas, sisa jumlah pertanyaan kuesioner kepatuhan pasien sebanyak 13 pertanyaan yang terdiri dari tiga bagian yaitu faktor pasien dengan pertanyaan nomor 1-4, faktor regimen terapi dengan pertanyaan nomor 5-8, dan faktor interaksi antara pasien dengan tenaga kesehatan/keluarga dengan pertanyaan nomor 9-13. Penilaian tingkat kepatuhan dilakukan dengan menilai jawaban responden pada kuesioner dengan beberapa pertanyaan terbuka dan mengelompokkan tingkat kepatuhan pasien menjadi dua kategori yaitu patuh dan tidak patuh. Dikategorikan patuh jika skor persentase yang diperoleh yaitu ≥ 50% dan dikategorikan tidak patuh jika skor persentase yang diperoleh yaitu < 50%. Penentuan skor tersebut diperoleh dari perhitungan rumus umum interval yaitu angka tertinggi dalam skor jawaban (100%) dikurangi angka terendah dalam skor jawaban (0%) dibagi banyaknya kategori dan didapatkan data untuk menentukan kategori tingkat kepatuhan responden yaitu kategori patuh dan kategori tidak patuh.

Penilaian Kadar Glukosa Darah

Penilaian kadar glukosa darah yang didapatkan dari data rekam medis pasien setelah melakukan tes laboratorium kadar glukosa darah di Puskesmas Ngaglik Yogyakarta. Kadar glukosa darah dikategorikan menjadi dua yaitu kadar glukosa darah normal dan kadar glukosa darah tinggi. Kadar glukosa darah dikatakan normal berdasarkan American Diabetes Association (2019), jika HbA1C < 7%, kadar glukosa darah puasa nilainya 80-130 mg/dL (4,4-7,2

(15)

7

mmol/L), gula darah 2 jam postprandial (GD2PP) nilainya <180 mg/dL (10,0 mmol/L), dan gula darah sewaktu (GDS) dikatakan normal berdasarkan International Diabetes Federation (2014) jika < 180 mg/dL (10 mmol/L). Sedangkan dikatakan tinggi berdasarkan American Diabetes Association (2019), jika HbA1C > 7%, kadar glukosa darah puasa nilainya >130 mg/dL (7,2 mmol/L) dan gula darah 2 jam postprandial (GD2PP) nilainya >180 mg/dL (10,0 mmol/L), gula darah sewaktu (GDS) dikatakan normal berdasarkan International Diabetes Federation (2014) jika > 180 mg/dL (10 mmol/L). Data glukosa darah yang telah didapatkan, dikategorikan menjadi kategori glukosa darah normal dan glukosa darah tinggi.

Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner kepatuhan pasien. Kuesioner kepatuhan pasien disusun sendiri berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dan terdiri dari 13 pertanyaan yang menggambarkan kepatuhan pasien dalam minum obat antidiabetes. Sebelum penelitian, kuesioner yang digunakan dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Untuk menguji validitas, dapat digunakan pendapat para ahli. Para ahli diminta pendapatnya tentang instrumen yang telah disusun. Para ahli akan memberikan komentar terhadap kisi-kisi dan butir instrumen yang telah dibuat baik dari segi teori yang digunakan maupun keterbacaannya. Jumlah ahli untuk pengujian instrumen penelitian skripsi minimal 1 orang (Sugiyono, 2018). Pengujian dilakukan pada responden yang berjumlah sekitar 30 orang yang diambil dari populasi yang akan diteliti. Suatu pernyataan dikatakan valid jika mempunyai koefisien korelasi terkoreksi minimal 0,3 (Sugiyono, 2018). Untuk mengetahui nilai reliabilitas dari instrumen penelitian digunakan Cronbach Alpha. Nilai

Cronbach Alpha bisa diterima apabila semua pernyataan reliabel (minimal 0,3)

(Dahlan, 2014).

Tabel I. Uji Reliabilitas Nilai Cronbach's Alpha Item Soal

(16)

8

Pengujian validitas dan reliabilitas kuesioner dilaksanakan dengan membagikan kuesioner kepada 30 responden yang memenuhi kriteria inklusi, kemudian jawaban-jawaban pada kuesioner yang telah diisi diuji menggunakan bantuan SPSS. Uji validitas kuesioner dilihat dari nilai koefisien korelasi terkoreksi (r) setiap butir pertanyaan. Hasil uji validitas dari 15 pertanyaan yang dibuat sendiri, diperoleh hasil akhir ada 13 pertanyaan yang dinyatakan valid dengan nilai koefisien korelasi ( r ) lebih dari 0,3. Kemudian kuesioner dilakukan uji reliabilitas menngunakan Cronbach alpha. Hasil yang diperoleh yaitu nilai

Cronbach Alpha yaitu sebesar 0,803 artinya kuesinoner yang dibuat sudah

reliabel.

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara memberikan penjelasan kepada responden mengenai penelitian yang dilakukan dan mengenai pertanyaan yang ada di dalam kuesioner yang sudah diuji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu. Diperoleh data profil tingkat kepatuhan pasien yang diperoleh dari kuesioner yang telah dijawab dengan lengkap oleh pasien diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Ngaglik Yogyakarta yang sudah menandatangani Informed consent dengan berpedoman pada kuesioner yang sudah disiapkan dan diperoleh juga kadar glukosa darah dari data rekam medis yang didapatkan dari hasil pemeriksaan laboratorium.

Analisis Statistika

Data yang sudah didapatkan dikelompokkan secara statistik dengan program komputer dan dianalisis menggunakan program SPSS di pusat kajian CE&BU Universitas Gadjah Mada. Pada penelitian ini menggunakan variabel kategorik ordinal karena variabel yang digunakan mempunyai dua kategori. Lalu dianalisis menggunakan uji komparatif Chi-square antara tingkat kepatuhan dan kadar glukosa darah (Dahlan, 2014).

Uji dilakukan dengan taraf kepercayaan 95% (α = 0,05) yang artinya, apabila diperoleh nilai p < 0,05 maka terdapat hubungan antara tingkat kepatuhan pasien dengan kadar glukosa darah. Jika, nilai p > 0,05 maka terdapat hubungan tidak bermakna antara tingkat kepatuhan pasien dengan kadar glukosa darah pada

(17)

9

pasien di Puskesmas Ngaglik Yogyakarta. Sedangkan nilai odds ratio digunakan untuk melihat kekuatan hubungan antara tingkat kepatuhan pasien dan kadar glukosa darah. Untuk data yang memenuhi syarat yaitu nilai dalam sel <5 tidak lebih dari 20%, sedangkan untuk data yang tidak memenuhi syarat digunakan uji

(18)

10 HASIL DAN PEMBAHASAN

Tujuan penelitian ini yaitu untuk melihat gambaran kepatuhan pasien minum obat antidiabetes di Puskesmas Ngaglik Yogyakarta. Jumlah total responden yang mengikuti penelitian ini adalah sebanyak 30 orang yang memenuhi kriteria inklusi dengan karakteristik yang bervariasi. Karakteristik responden ditunjukkan pada tabel berikut :

Tabel II. Karakteristik Responden

Karakteristik n = 30 (%) Jenis kelamin Perempuan Laki-laki 21 (70) 9 (30) Usia ≤50 tahun >50 tahun 7 (23,3) 23 (76,6) Pendidikan Tidak sekolah SD SMP SMA Perguruan tinggi 4 (13,3) 3 (10) 9 (30) 12 (40) 2 (6,6) Pekerjaan PNS/TNI/POLRI Karyawan Swasta Wiraswasta Petani Pensiunan IRT Lainnya 2 (6,6) 1 (3,3) 4 (13,3) 5 (16,6) 5 (16,6) 12 (40) 1 (3,3) Jumlah Obat yang dikonsumsi

1 obat 2 obat 13 (43,3) 17 (56,6) Kepatuhan Patuh Tidak patuh 18 (60) 12 (40)

Profil karakteristik pasien diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Ngaglik Yogyakarta tersaji dalam Tabel II. Dari hasil penelitian diperoleh data demografi responden yaitu responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 21 responden

(19)

11

(70%) dan berjenis kelamin laki-laki sebanyak 9 responden (30%). Hal ini bisa disebabkan oleh proporsi sampel yang tidak seimbang, dapat ditinjau dari pasien diabetes mellitus yang datang ke Puskesmas untuk melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah dan menerima obat lebih banyak dijumpai pasien perempuan dibandingkan laki-laki. Berdasarkan penelitian Nanda, Wiryanto dan Triyono (2018), perempuan memiliki resiko lebih tinggi mengalami diabetes mellitus dibandingkan laki-laki. Hal tersebut disebabkan karena faktor gaya hidup, kurang aktifitas fisik, dan faktor stress (Nanda, Wiryanto dan Triyono, 2018). Pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan usia ≤ 50 tahun lebih banyak yaitu 7 responden (23,3%) dibandingkan dengan usia > 50 tahun yaitu 23 responden (76,6%). Pada usia tua, resiko mengalami diabetes mellitus akan meningkat karena tubuh telah mengalami penurunan fungsi tubuh secara fisiologis. Fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena terjadi penurunan sekresi atau resistensi insulin sehingga kemampuan fungsi tubuh terhadap pengendalian glukosa darah yang tinggi kurang optimal (Rosyida, Priyandani, Sulistyarini, dan Nita, 2015).

Pada penelitian ini, jenis pekerjaan yang paling banyak yaitu ibu rumah tangga (IRT) yaitu 12 responden (40%). Hal ini bisa disebabkan proporsi sampel yang tidak seimbang, dapat ditinjau dari pasien diabetes mellitus yang datang ke Puskesmas untuk melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah dan menerima obat lebih banyak dijumpai pasien perempuan yang berstatus sudah berkeluarga, sehingga pasien yang bekerja sebagai ibu rumah tangga lebih banyak ditemukan pada penelitian ini dibandingkan pekerjaan yang lain. Berdasarkan penelitian yang diakukan oleh Putri dan Sudhana (2013) menyatakan bahwa bagi seorang ibu rumah tangga yang tidak bekerja, pekerjaan rumah tangga menjadi fokus utama karena sebagian besar waktu dihabiskan di dalam rumah. Pekerjaan rumah merupakan pekerjaan yang monoton karena melakukan pekerjaan yang sama setiap hari dan sebagian besar dilakukan didalam rumah. Keadaan ini dapat memicu terjadinya stress pada seorang ibu rumah tangga (Putri dan Sudhana, 2013). Stress akan menyebabkan peningkatan hormon epinefrin yang dapat menyebabkan mobilisasi glukosa, asam lemak, dan asam laktat. Hormon epinefrin adalah hormon antagonis insulin sehingga menghambat kerja insulin dan dapat

(20)

12

mempengaruhi kadar glukosa darah seseorang (Nanda, Wiryanto dan Triyono, 2018). Pendidikan terakhir responden yang paling banyak yaitu SMA sebanyak 12 responden (40%). Pendidikan tinggi yaitu bila responden berpendidikan antara tamat SMA sampai tamat perguruan tinggi (Setyorogo dan Trisnawati, 2013). Tingkat pendidikan yang lebih tinggi menunjukkan kepatuhan terapi yang lebih baik, karena semakin tinggi pendidikan yang diperoleh maka akan semakin mudah orang tersebut mendapat informasi, dan semakin banyak informasi yang diperoleh maka akan semakin banyak pula pengetahuan yang didapat (Nanda, Wiryanto dan Triyono, 2018).

Pada pengobatan diabetes mellitus tipe 2, responden yang menggunakan kombinasi antidiabetes oral lebih banyak yaitu sebanyak 17 responden (56,6%) dibandingkan dengan monoterapi yaitu sebanyak 13 responden (43,3%). Hal ini dapat terjadi karena pengobatan diabetes mellitus bersifat perorangan, apabila terapi tunggal belum mencapai target maka diberikan terapi kombinasi 2 obat. Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun fixed

dose combination, harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja

yang berbeda (Soelistijo et al., 2015). Pada penelitian ini pasien yang patuh minum obat sebanyak 18 (60%) responden dan pasien yang tidak patuh sebanyak 12 (40%) responden. Sebagian pasien diabetes mellitus sudah patuh minum obat antidiabetes sesuai dengan yang dianjurkan dokter atau tenaga kesehatan. Keberhasilan suatu pengobatan ditentukan juga oleh kepatuhan dalam menjalankan terapi. Begitupula dengan pengobatan farmakologis, hasil tidak akan diperoleh secara optimal jika penderita tidak patuh dalam minum obat sesuai anjuran dari tenaga kesehatan (Agustine, Ronel dan Welem, 2018).

Tabel III. Hubungan Kepatuhan Minum Obat Antidiabetes dengan Terkontrolnya Kadar Glukosa Darah

Tingkat Kepatuhan Kadar Glukosa Darah p-value OR (95%Cl) Normal Tinggi Faktor Pasien (Pertanyaan 1-4) Patuh Tidak Patuh 16 (72,7%) 1 (12,5%) 6 (27,3%) 7 (87,5%) 0,009 18,667 (1,879-185,399) Faktor Regimen Terapi

(21)

13 (Pertanyaan 5-8) Patuh Tidak Patuh 16 (69,6%) 1 (14,3%) 7 (30,4%) 6 (85,7%) 0,025 13,714 (1,381-136,212) Faktor interaksi pasien

dengan tenaga kesehatan/keluarga (Pertanyaan 9-13) Patuh Tidak Patuh 15 (68,2%) 2 (25,0%) 7 (31,8%) 6 (75,0%) 0,049 6,429 (1,026-40,261) Total (Pertanyaan 1-13) Patuh Tidak Patuh 15(50%) 2(6,7%) 3 (10%) 10(33,3%) 0,001 25,000 (3,522-177,477)

*Uji Chi Square; +Uji Fisher; nilai p<0,05 artinya ada hubungan antara tingkat kepatuhan minum

obat dengan kadar glukosa darah.

Berdasarkan Tabel III hasil penelitian ditinjau dari faktor-faktor yang dapat membuat pasien tidak patuh minum obat sehingga mempengaruhi kadar gukosa darah pasien diabetes mellitus tipe 2. Faktor yang pertama yaitu faktor pasien, diperoleh pasien patuh dengan kadar glukosa darah normal sebanyak 16 (72,7%) responden, sedangkan pasien tidak patuh dengan kadar glukosa darah tinggi sebanyak 7 (87,5%) responden. Hasil analisis dengan uji Chi Square berdasarkan faktor pasien, diperoleh nilai p-value = 0,009 (p < 0,05) yang artinya ada hubungan antara tingkat kepatuhan minum obat dengan kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Ngaglik Yogyakarta. Analisis besar resiko didapatkan nilai OR berdasarkan faktor pasien yaitu sebesar 18,667 dengan Cl 95% (1,879-185,399) yang berarti pasien diabetes mellitus tipe 2 yang patuh minum obat memiliki kadar gula darah normal 18,667 kali di banding yang tidak patuh. Faktor yang kedua yaitu faktor regimen terapi, diperoleh pasien patuh dengan kadar glukosa darah normal sebanyak 16 (69,6%) responden, sedangkan pasien tidak patuh dengan kadar glukosa darah tinggi sebanyak 6 (85,7%) responden. Hasil analisis dengan uji Chi Square berdasarkan faktor regimen terapi, diperoleh nilai p-value = 0,025 (p < 0,05) yang artinya ada hubungan antara tingkat kepatuhan minum obat dengan kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Ngaglik Yogyakarta. Analisis besar resiko didapatkan nilai OR berdasarkan faktor regimen terapi yaitu sebesar 13,714

(22)

14

dengan Cl 95% (1,381-136,212) yang berarti pasien diabetes mellitus tipe 2 yang patuh minum obat memiliki kadar gula darah normal 13,714 kali di banding yang tidak patuh. Faktor yang ketiga yaitu faktor interaksi antara pasien dengan tenaga kesehatan/keluarga, diperoleh pasien patuh dengan kadar glukosa darah normal sebanyak 15 (68,2%) responden, sedangkan pasien tidak patuh dengan kadar glukosa darah tinggi sebanyak 6 (75,0%) responden. Hasil analisis dengan uji Chi

Square berdasarkan faktor interaksi antara pasien dengan tenaga kesehatan/keluarga, diperoleh nilai p-value = 0,049 (p < 0,05) yang artinya ada hubungan antara tingkat kepatuhan minum obat dengan kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Ngaglik Yogyakarta. Analisis besar resiko didapatkan nilai OR berdasarkan faktor interaksi antara pasien dengan tenaga kesehatan/keluarga yaitu sebesar 6,429 dengan Cl 95% (1,026-40,261) yang berarti pasien diabetes mellitus tipe 2 yang patuh minum obat memiliki kadar gula darah normal 6,429 kali di banding yang tidak patuh. Berdasarkan hasil uji hubungan pada pernyataan kuesioner terkait faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat, diperoleh pasien patuh dengan kadar glukosa darah normal sebanyak 15 responden (50%), sedangkan pasien tidak patuh dengan kadar glukosa darah tinggi sebanyak 10 responden (33,3%). Berdasarkan analisis dengan uji Chi Square diperoleh nilai

p-value = 0,001 (p < 0,005) yang artinya ada hubungan antara tingkat kepatuhan

minum obat dengan kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Ngaglik Yogyakarta. Analisis besar resiko didapatka nilai OR sebesar 25 dengan Cl 95% (3,522-177,477) yang berarti pasien diabetes mellitus tipe 2 yang patuh minum obat memiliki kadar gula darah normal 25 kali di banding yang tidak patuh. Nilai odds ratio tersebut menunjukkan bahwa semakin patuh pasien dalam minum obat antidiabetes oral maka glukosa darahnya akan semakin terkontrol, namun jika pasien tidak patuh dalam minum obat antidiabetes oral maka glukosa darahnya menjadi tidak terkontrol. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Salistyaningsih, Puspita, dan Nugroho (2011) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pasien yang patuh

(23)

15

dan tidak patuh dalam minum obat dengan kadar glukosa darah pasien diabetes mellitus tipe 2.

Kuesioner kepatuhan pasien dibuat dalam beberapa faktor yang dapat membuat pasien diabetes mellitus tipe 2 tidak patuh dalam menjalankan terapinya yaitu terdiri dari faktor pasien, faktor regimen terapi, dan faktor interaksi dengan tenaga kesehatan atau keluarga (Rosyida, Priyandani, Sulistyarini, dan Nita, 2015). Faktor pertama yang dapat mempengaruhi kepatuhan minum obat yaitu faktor pasien. Faktor pasien terdiri dari gangguan memori, masalah psikologis dan keyakinan pribadi (Rasdianah, Martodiharjo, Andayani, dan Hakim, 2016). Dengan bertambahnya umur fungsi fisiologis mengalami penurunan akibat degeneratif (penuaan), sehingga mengakibatkan pasien sering lupa. Selain itu keyakinan dari pasien juga dapat mempengaruhi kepatuhan, pasien dapat merasa takut jika terus-menerus mengkonsumsi obat dapat berdampak buruk bagi tubuh diantaranya pada ginjal dan hati (Rosyida, Priyandani, Sulistyarini, dan Nita, 2015). Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang membutuhkan terapi jangka panjang yang dapat menyebabkan ketidakpatuhan pasien (Rosyida, Priyandani, Sulistyarini, dan Nita, 2015). Pada umumnya semakin lama orang menderita penyakit maka akan menjadi faktor pemicu seseorang menjadi bosan terhadap pengobatan, sehingga menurunkan kepatuhan dalam menjalani terapi (Anggraini dan Puspasari, 2019). Faktor kedua yang dapat mempengaruhi kepatuhan minum obat yaitu rejimen pengobatan, lama pengobatan, multi terapi, dan efek samping obat (Rosyida, Priyandani, Sulistyarini, dan Nita, 2015). Pasien yang menerima lebih banyak obat cenderung memiliki ketaatan yang buruk (Marcum and Gellad, 2012). Jumlah obat (tunggal dan kombinasi) yang digunakan dapat mempengaruhi kepatuhan pasien, namun secara praktis pasien yang mendapat obat tunggal lebih taat daripada pasien yang mendapat terapi kombinasi (Rosyida, Priyandani, Sulistyarini, dan Nita, 2015).

Faktor interaksi pasien dengan tenaga kesehatan juga dapat mempengaruhi kepatuhan terapi pasien. Interaksi yang baik antara pasien dengan tenaga kesehatan akan membuat pasien merasa yakin bahwa terapi yang dijalaninya dapat berhasil. Seseorang dengan keyakinan yang baik akan keberhasilan terapi

(24)

16

yang dijalani, maka akan meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani terapi yang dilakukan (Ilmah dan Rochmah, 2015). Dalam menjalankan perilaku kepatuhan, prioritas dokter dan pasien harus sejalan, jika dokter dan pasien mempunyai prioritas dan keyakinan, dan harapan medis yang berbeda maka kepatuhan pasien akan rendah. Secara umum, pasien yang merasa menerima penghiburan, perhatian, dan pertolongan yang dibutuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih mudah mematuhi nasehat medis, daripada pasien yang kurang mendapat dukungan sosial (Safitri, 2013). Kurangnya informasi dari tenaga kesehatan dapat menyebabkan pasien tidak mengetahui bahaya menghentikan obat. Selain itu, kurangnya informasi mengenai obat, terutama jika obat yang digunakan tidak memberikan efek langsung atau membutuhkan waktu yang cukup lama, dapat mengakibatkan pasien merasa bahwa obat yang digunakan tidak bermanfaat. Dukungan keluarga juga dapat mempengaruhi kepatuhan pasien (Srikartika, Cahya, dan Hardiati, 2016). Keluarga memiliki peranan penting dalam memberikan motivasi. Jika tidak adanya dukungan keluarga baik secara psikologis maupun finansial, kondisi demografis yang sulit menyebabkan pasien sulit untuk mendapatkan obat dan pada akhirnya pengobatannya tidak rutin dan membuat penderita tidak patuh minum obat(Agustine, Ronel dan Welem, 2018).

Berdasarkan hasil penelitian Srikartika, Cahya, dan Hardiati (2016) menyatakan bahwa alasan pasien tidak patuh karena pasien memiliki aktivitas yang padat sehingga pasien tidak memiliki waktu untuk memeriksakan diri ke Rumah Sakit yang mengakibatkan pasien terlambat menebus obat. Kesibukan juga mengakibatkan pasien lupa minum obat. Selain itu, pasien mengaku tidak patuh minum obat dikarenakan lupa membawa obat ketika bepergian. Beberapa pasien mengaku menghentikan obat bila merasa sehat, atau sengaja tidak minum obat karena merasa obatnya tidak berefek atau membuatnya membaik. Kurangnya informasi dari tenaga kesehatan menyebabkan pasien tidak mengetahui bahaya jika pasien tidak patuh minum obat. Selain itu, kurangnya informasi mengenai obat, terutama jika obat yang digunakan tidak memberikan efek langsung atau membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menunjukkan efek, dapat

(25)

17

mengakibatkan pasien merasa bahwa obat yang digunakan tidak memberikan manfaat apapun. Beberapa pasien juga beralasan tidak minum obat dikarenakan merasa efek samping obat atau takut pada efek samping dari obat yang diminum setiap hari. Selain itu, ada yang beralasan tidak minum obat karena tidak paham cara penggunaan obat dan mengaku kesulitan minum obat karena obat yang diminum banyak (Srikartika, Cahya, dan Hardiati 2016). Penelitian yang dilakukan oleh Nanda, Wiryanto, dan Triyono (2018) menyatakan bahwa alasan pasien tidak patuh minum obat yaitu pasien merasa terganggu dengan adanya kewajiban untuk minum obat karena merasa bosan dengan kewajiban rutin tersebut, alasan lainnya yaitu pasien sengaja tidak minum obat karena sudah merasa sehat, dan ada juga pasien yang takut obat-obatan tersebut dapat merusak ginjal sehingga pasien lebih beralih kepada pengobatan tradisional (Nanda, Wiryanto dan Triyono, 2018). Alasan lain adalah lupa karena ketiduran, tidak ada yang mengingatkan, serta sulit membedakan apakah sudah meminum obat atau belum. Untuk meningkatkan kemampuan pasien dalam mengikuti aturan pengobatan, semua hambatan kepatuhan perlu dipertimbangkan. Faktor yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan kepatuhan pengobatan adalah kontrol pasien secara pribadi, interaksi pasien dengan petugas kesehatan, serta interaksi pasien dengan sistem pelayanan kesehatan (Rasdianah, Martodiharjo, Andayani, dan Hakim, 2016).

Tabel IV. Profil Obat pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Jenis Obat Patuh Tidak

Patuh n = 30 (%) p-value OR Metformin 10 3 13 (43,3) 0,201 3,750 (0,754-18,641) Metformin + Glimepirid 8 9 17 (56,6)

*Uji Chi Square pada pasien diabetes mellitus tipe 2, nilai p>0,005 artinya tidak ada hubungan antara jumlah obat DM yang diterima dengan kepatuhan pasien.

Obat yang paling sering diresepkan adalah kombinasi golongan biguanida yaitu metformin dan golongan sufonilurea yaitu glimepirid sebanyak 56,6%. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Rosyida, Priyandi, Sulistarini, Nita (2015) yang mengatakan bahwa pemberian terapi kombinasi golongan biguanida dan sulfonilurea lebih banyak dari pada pemberian terapi tunggal.

(26)

18

Pemberian terapi kombinasi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 disebabkan karena kadar glukosa darah pasien belum mencapai sasaran (Soelistijo et al., 2015). Lini pertama pengobatan diabetes adalah golongan biguanida (metformin) (American Diabetes Association, 2019). Pasien yang menerima lebih banyak obat cenderung memiliki ketaatan yang buruk (Marcum and Gellad, 2012). Hasil analisis dengan uji Chi Square, diperoleh nilai p-value = 0,201 (p > 0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara jumlah obat DM yang diterima dengan tingkat kepatuhan minum obat. Analisis besar resiko didapatkan nilai OR yaitu sebesar 3,750 dengan Cl 95% (0,754-18,641) artinya pasien diabetes mellitus tipe 2 yang menerima terapi tunggal lebih patuh minum obat 3,750 kali di banding yang menerima terapi kombinasi. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Srikartika, Cahya, dan Hardiati (2016) yang menyatakan bahwa jumlah obat DM yang diterima pasien tidak berpengaruh terhadap kepatuhan responden dalam minum obat dengan nilai p-value = 0,064 (p > 0,05). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Najiha, Utaminingrum, dan Wibowo (2017) menyatakan bahwa pasien yang mendapatkan terapi tunggal tidak selalu lebih patuh dari pasien yang mendapatkan terapi kombinasi, karena responden merasa bosan harus mengkonsumsi obat setiap hari secara terus menerus dalam jangka waktu panjang serta takut efek samping obat. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Xu, Yang, Lin, Shen, Wang, dan Zhan (2018) menunjukkan bahwa penyesuaian dosis tidak tepat dan pemberian obat tambahan tidak tepat waktu, hal ini mungkin karena kurangnya pengalaman klinis dari dokter atau karena kekhawatiran mengenai hipoglikemia sehingga menyebabkan glukosa darah tetap tidak terkontrol pada pasien dengan penggunaan terapi tunggal dalam jangka waktu lama walaupun telah dilakukan penyesuaian dosis.

Kelemahan pada penelitian ini yaitu adanya faktor lain yang menjadi penentu keberhasilan terapi antara lain ketepatan pemilihan obat (rasionalitas obat) serta terapi non farmakologi yang harus ditaati oleh pasien seperti aktivitas fisik dan pola makan. Faktor-faktor selain kepatuhan minum obat, tidak diamati dalam penelitian ini. Sehingga terdapat pasien yang patuh tetapi kadar glukosa darah masih tidak terkontrol. Selain itu, penelitian ini tidak mengukur HbA1C

(27)

19

sebagai parameter outcome klinik yang lebih mencerminkan terkendalinya glukosa darah seseorang dalam tiga bulan terakhir jika dibandingkan GDS/GDP. KESIMPULAN

Terdapat hubungan antara tingkat kepatuhan minum obat dengan kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Ngaglik Yogyakarta dengan p value = 0,001 (p<0,005). Pasien diabetes mellitus tipe 2 yang patuh minum obat mempunyai kemungkinan untuk mempunyai kadar glukosa darah normal sebesar 25 kali dibandingkan dengan pasien diabetes mellitus tipe 2 yang tidak patuh minum obat.

SARAN

Perlu dilakukan penelitian selanjutnya tentang ―Hubungan Tingkat Kepatuhan Pasien pada Penggunaan Obat Antidiabetes Terhadap Kadar Glukosa Darah‖, sehingga dapat mengetahui kepatuhan pasien diabetes dalam minum obat antidiabetes. Saran kepada penelitian selanjutnya juga, yaitu pertanyaan pada kuesioner harus dibuat lebih spesifik, yaitu pertanyaan tidak ditinjau dari pengobatan tetapi dibuat juga pertanyaan mengenai pola hidup sehat dari penderita diabetes mellitus karena pencapaian kadar glukosa darah normal didukung dengan pengobatan dan gaya hidup yang sehat.

(28)

20

DAFTAR PUSTAKA

Agustine, U., Ronel, L. dan Welem, R. 2018. Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan Minum Obat pada Penderita Diabetes Melitus yang Berobat di Balai Pengobatan Yayasan Pelayanan Kasih A dan A Rahmat Waingapu.

Jurnal Kesehatan Primer. 3(2). 116–123.

American Diabetes Association. 2014. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. 37(S1). 81–90.

American Diabetes Association. 2019. Standards of Medical Care in Diabetes— 2019. Clinical Diabetes Journals. 42(S1). 1–24.

Anggraini, T. D. dan Puspasari, N., 2019. Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat Antidiabetik Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Apotek Sehat Kabupaten Boyolali. Indonesian Journal On Medical Science. 6(2). 1–8. Bulu, A., Wahyuni, T. D., Sutriningsih, A., 2019. Hubungan Tingkat Kepatuhan

Minum Obat dengan Kadar Glukosa Darah pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe II. Nursing News. 4(1).

Dahlan, S., 2014. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan.

Dinas Kesehatan DIY, 2017. Profil Kesehatan Provinsi Di Yogyakarta Tahun 2017. Profil Kesehatan Provinsi Yogyakarta. 38–39.

Ilmah, F. dan Rochmah, T. N., 2015. Kepatuhan Pasien Rawat Inap Diet Diabetes Mellitus Berdasarkan Teori Kepatuhan Niven. Jurnal Administrasi

Kesehatan Indonesia. 3(1).

International Diabetes Federation, 2014. Global Guideline for Type 2 Diabetes.

Diabetes Research and Clinica Practice. 104. 1–52.

Irfan dan Israfil, 2019. Faktor Risiko Kejadian Komplikasi Kardiovaskuler pada Pasien Diabetes Melitus ( DM ) Tipe 2. JPPNI. 4(3).

Irmawati dan Nurhaedah, 2017. Metodologi Peneitian.

Kementerian Kesehatan RI, 2014. Situasi dan Analisis Lanjut Usia.

Kementerian Kesehatan RI, 2016. Menkes : Mari Kita Cegah Diabetes dengan Cerdik. 1–2.

Kementerian Kesehatan RI, 2018. Hari Diabetes Sedunia Tahun 2018.

Marcum, Z. A. and Gellad, W. F., 2012. Medication Adherence to Multidrug Regimens. CGM. 28(2). 287–300.

(29)

21

Najiha, M. R., Utaminingrum, W., Wibowo, M. I. N. A., 2017. Peran

Homepharmacycare Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe II Prolanis

Terhadap Tingkat Kepatuhan dan Keberhasilan Terapi di BP Sentra Medika Lebaksiu Tegal. Journal of Tropical Pharmacy and Chemistry. 4(2). 2407-6090.

Nanda, O. D., Wiryanto, R. B. dan Triyono, E. A., 2018. Hubungan Kepatuhan Minum Obat Anti Diabetik dengan Regulasi Kadar Gula Darah pada Pasien Perempuan Diabetes Mellitus. Almerta Nutr. 340–348.

Niven, Neil., 2012. Psikologi Kesehatan: Pengantar Untuk Perawat &

Profesional Kesehatan Lain.

Putri, K. A. K. dan Sudhana, H., 2013. Perbedaan Tingkat Stres Pada Ibu Rumah Tangga yang Menggunakan dan Tidak Menggunakan Pembantu Rumah Tangga. Jurnal Psikologi Udayana. 1(1). 94–105.

Rahmawati, F., Natosba, J., dan Jaji, 2016. Skrining Diabetes Mellitus Gestasional dan Faktor Resiko yang Mempengaruhinya. Jurnal Keperawatan

Sriwijaya. 3(2).

Rasdianah, N., Martodiharjo, S., Andayani, T. M., dan Hakim, L., 2016. Gambaran Kepatuhan Pengobatan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Farmasi Klinik

Indonesia. 5(4). 249–257.

Risnasari, N., 2014. Hubungan Tingkat Kepatuhan Diet Pasien Diabetes Mellitus dengan Munculnya Komplikasi di Puskesmas Pesantren II Kota Kediri.

Efektor. 1(25).

Rosyida, L., Priyandani, Y., Sulistyarini, A., Nita, Y., 2015. Kepatuhan Pasien pada Penggunaan Obat Antidiabetes dengan Metode Pil-Count dan MMAS-8 di Puskesmas Kedurus Surabaya. Jurnal Farmasi Komunitas. 2(2). 39–44.

Pascal, I. G., Ofoedu, J. N., Uchenna, N. P., Nkwa, A. A., Uchamma, G. U. E., 2012. Blood Glucose Control and Medication Adherence Among Adult Type 2 Diabetic Nigerian Attending A Primary Care Clinic in Under-Resourced Environment of Eastern Nigeria. N Am J Med Sci. 4(7). 310-315.

Pelle, C., Pondaag, L. dan Bataha, Y., 2016. Hubungan Pengetahuan Penggunaan Insulin Dengan Hipoglikemia Pada Pasien Diabetes Melitus Di Poli Penyakit Dalam RSU GMIM Pancaran Kasih Manado. Jurnal

Keperawatan UNSRAT. 4(2). 114461.

(30)

22

Tangga yang Menggunakan dan Tidak Menggunakan Pembantu Rumah Tangga. Jurnal Psikologi Udayana. 1(1). 94–105.

Rasdianah, N., Martodiharjo, T., Andayani, T. M., Hakim, L., 2016. Gambaran Kepatuhan Pengobatan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia. 5(4). 249– 257.

Rosyida, L., Priyandani, Y., Sulistyarini, A., Nita, Y., 2015. Kepatuhan Pasien pada Penggunaan Obat Antidiabetes dengan Metode Pil-Count dan MMAS-8 di Puskesmas Kedurus Surabaya. Jurnal Farmasi Komunitas. 2(2). 39–44.

Safitri, I. N., 2013. Kepatuhan Penderita Diabetes Mellitus Tipe II Ditinjau dari Locus of Control. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan. 01(02). 273–290. Salistyaningsih, W., Puspitawati, T. dan Nugroho, D. K., 2011. Hubungan Tingkat

Kepatuhan Minum Obat Hipoglikemik Oral dengan Kadar Glukosa darah pada Pasien diabetes Mellitus Tipe 2. Berita Kedokteran Masyarakat. 27(4).

Sangadji E. M. dan Sopiah M.M., 2010. Metodologi Penelitian – Pendekatan Praktis dalam Penelitian. C.V ANDI OFFSET. 186,188.

Setyorogo, S. dan Trisnawati, S., 2013. Faktor Resiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe II Di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012.

Jurnal Ilmiah Kesehatan. 5(1). 6–11.

Soelistijo, S. A., Novida, H., Rudijanto, A., Soewondo, P., Suastika, K., Manaf, A., Sanusi, H., Lindarto, D., Shahab, A., Pramono, B., Langi, Y. A., Purnamasari, D., Soetedjo, N. N., Saraswati, M. R., Dwipayana, M. P., Yuwono, A., Sasiarini, L., Sugiarto, Sucipto, K. W., Zufry, H., 2015. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.

Srikartika, V. M., Cahya, A. D., Hardiati, R. S. W., 2016. Analisis Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Penggunaan Obat Pasien Diabetes Melitus Tipe 2. 6(3).

Sugiyono, 2018. Metode Penelitian Evaluasi.

Viviandhari, D. dan Wulandari, N., 2017. Edukasi pada Pengawas Minum Obat dan Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 untuk Meningkatkan Kepatuhan Minum Obat. Media Farmasi. 14(2). 162–176.

Xu, Y., Yang, Z., Lin, H., Shen, P., Wang, H., Zhan, S., 2018. Long-Term Patterns of Antidiabetic Medication Use in Patients with Type 2 Diabetes.

(31)

23

Zamma, M. S. dan Sainudin, 2019. Hubungan Kepatuhan Pengobatan dengan Kadar Gula Darah Sewaktu pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe II. JNJ. 1(1).

(32)

24

(33)

25 Lampiran 1. Data Diri Pasien

KUESIONER A. DATA DIRI PASIEN

Nama : Jenis Kelamin : Laki – laki Perempuan Usia :………Tahun Pendidikan Terakhir :

Tidak sekolah SMA

SD Perguruan Tinggi SMP Pekerjaan : Pelajar/Mahasiswa PNS/TNI/POLRI Karyawan Swasta Wiraswasta/Pedagang Petani Nelayan Lainnya ……….. Penghasilan Perbulan : ≥ Rp1.701.000,00 < Rp1.701.000,00

Jenis Asuransi yang Dimiliki :………

Lama Menderita Diabetes :……….. Bulan ……….Tahun Distribusi Jumlah dan Jenis Antidiabetes yang Digunakan :

(34)

26 Jenis obat yang dikonsumsi : ………… Jumlah dosis yang dikonsumsi :………….

(35)

27

(36)

28

(37)

29

(38)

30

(39)
(40)

32 Lampiran 6. Etichal Clearance

(41)

33

Lampiran 7. Surat Keterangan Analisis Data di Pusat Kajian CE&BU FK-KMK Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

(42)

34 Lampiran 8. Uji Validitas dan Reliabilitas

(43)
(44)

36 Lampiran 9. Analisis Data

(45)
(46)

38 Lampiran 10. Pengambilan Data

(47)

39

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi dengan judul ―Hubungan Tingkat Kepatuhan Pasien pada Penggunaan Obat Antidiabetes Terhadap Kadar Glukosa Darah Berdasarkan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan‖ bernama lengkap Chyntia Natalix Mamiek Reinhard Rohi, lahir di Aimere Nusa Tenggara Timur, 2 Desember 1997, merupakan anak pertama dari pasangan Riswan Reinhard Rohi dan Vincentia Philipa Bhoko serta kakak dari Ghoan Reinhard Rohi, Yulius Sandy Reinhard Rohi, dan Abriano Reinhard Rohi. Penulis menempuh pendidikan formal di TK Ade Irma Suryani Aimere (2002-2004), SD Inpres Aimere (2004-2010), SMP Khatolik Kartini Mataloko (2010-2013), SMA Khatolik Syuradikara Ende (2013-2016). Penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Fakultas Farmasi Sanata Dharma pada tahun 2016. Selama masa perkuliahan, penulis juga terlibat dalam beberapa kegiatan kepanitiaan yang diadakan oleh Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta yaitu menjadi anggota divisi dana dan usaha dalam kegiatan Faction3 (2018), menjadi anggota divisi perlengkapan dalam kegiatan Pelepasan Wisuda II (2018), mengikuti dua kali kegiatan Bakti Sosial Walubi di Borobudur Yogyakarta, dan pernah menjadi asisten dosen praktikum Pharmaceutical Care 3.

Gambar

Tabel I.    Uji Reliabilitas ......................................................................................
Tabel I. Uji Reliabilitas  Nilai Cronbach's Alpha  Item Soal
Tabel II. Karakteristik Responden
Tabel III. Hubungan Kepatuhan Minum Obat Antidiabetes dengan  Terkontrolnya Kadar Glukosa Darah
+2

Referensi

Dokumen terkait

(1) Wajib retribusi dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau Pejabat/Kepala SKPD atau Pejabat yang ditunjuk atas Surat Keterangan Retribusi Pemakaian Kekayaan

2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan udem sekunder: volume

penelitian. Objek dalam penelitian ini adalah bahan ajar Kajian Puisi berbasis prezi presentation. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: lembar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PENGEMBANGAN INSTRUMEN PENELITIAN TENTANG PENGGUNAAN INTERNET DAN MEDIA SOSIAL UNTUK PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK INDIVIDU (NON JEJARING) DI

Ruang lingkup dalam pengelolaan arsip dinamis aktif dan inaktif Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Pesisir Selatan mencakup ketentuan umum,

Peresepan obat generik dan peresepan antibiotika tidak dapat dipastikan telah rasional atau belum karena adanya faktor bias yang mempengaruhi dan analisis kesesuaian

Selain itu, cemaran bakteri dapat terjadi karena adanya pencemaran dari air, udara, faktor kelembaban saat penyimpanan, penyimpanan serbuk jamu jahe merah pada etalase toko obat

Instrumen penelitian yang digunakan adalah alat tulis dan form yang digunakan pada saat pengambilan data dari rekam medis pasien yang memuat umur, jenis kelamin,