• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Loyalitas Merek. produk dan membedakannya dengan produk-produk lain sehingga mudah dikenali oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Loyalitas Merek. produk dan membedakannya dengan produk-produk lain sehingga mudah dikenali oleh"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

10

A. Loyalitas Merek

Brand (merek) merupakan suatu nama atau simbol yang mengidentifikasikan suatu produk dan membedakannya dengan produk-produk lain sehingga mudah dikenali oleh konsumen ketika hendak membeli suatu produk. Keberadaan merek sangat penting bagi suatu produk atau jasa dan dijadikan kriteria untuk mengevaluasi suatu produk. Menurut Kotler (2005), merek dapat memiliki enam level pengertian, yaitu atribut, manfaat, nilai, budaya, kepribadian, dan pemakai.

Menurut Griffin (2005), loyalitas konsumen didefinisikan sebagai perilaku pembelian yang tidak acak melalui beberapa unit pengambilan keputusan. Loyalitas konsumen lebih ditujukan pada suatu perilaku, yang ditampilkan dengan pembelian rutin dan didasarkan pada unit pengambilan keputusan.

Menurut Setiadi (2015), loyalitas konsumen dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu loyalitas merek (brand loyality) dan loyalitas toko (store liyality). Loyalitas merek adalah perilaku pembelian berulang yang ditampilkan konsumen terhadap suatu merek tanpa mempertimbangkan merek lain dan bersedia menunggu merek tersebut jika tidak tersedia di pasaran. Loyalitas merek juga dapat diartikan sebagai sikap menyenangi suatu merek yang ditampilkan dalam pembelian konsisten terhadap merek sepanjang waktu.

Brand loyalty (loyalitas merek) merupakan bagian dari loyalitas konsumen, dimana satu merek menjadi poin utama ketertarikan dan bukan karena produk, namun asumsi dasarnya sama (Schoneberg, 2016).

Loyalitas merek menurut Solomon (2002) adalah perilaku pembelian berulang yang tampil dalam keputusan sadar dalam membeli produk dengan merek yang sama.

(2)

Konsumen tidak hanya membeli produk dengan merek tersebut secara regular tetapi juga memiliki penilaian positif yang kuat terhadap merek tersebut. Loyalitas merek akan meningkat bila hasil dari sebuah merek melebihi ekspektasi konsumen (Khan, 2006).

Pendekatan yang bisa dipakai untuk mempelajari loyalitas merek adalah pendekatan instrumental conditioning dan pendekatan berdasarkan teori kognitif. Pendekatan instrumental conditioning adalah pendekatan yang memandang bahwa pembelian konsisten sepanjang waktu menunjukkan loyalitas merek. Perilaku pengulangan pembelian diasumsikan merefleksikan penguatan atau stimulus yang kuat. Frekuensi dan konsistensi perilaku pembelian suatu merek dijadikan sebagai pengukuran loyalitas konsumen. Menurut pendekatan berdasarkan teori kognitif, loyalitas menyatakan komitmen terhadap merek yang tidak hanya direfleksikan oleh perilaku pembelian terus-menerus. Konsumen mungkin membeli suatu merek karena harga merek tersebut murah dan ketika harga merek tersebut naik, konsumen beralih ke merek lain. Pendekatan kognitif memandang bahwa loyalitas merek merupakan fungsi dari proses psikologis (Setiadi, 2015).

a. Karakteristik loyalitas merek

Schoneberg (2016) mengasumsikan bahwa loyalitas merek dan loyalitas konsumen adalah sama. Griffin (2005) menyatakan bahwa konsumen yang loyal terhadap suatu merek memiliki beberapa karakteristik. Karakteristik tersebut adalah sebagai berikut:

1. Melakukan pembelian secara teratur.

2. Melakukan pembelian di semua lini produk atau jasa. 3. Merekomendasikan ke orang lain.

(3)

Assael (dalam Setiadi, 2015) mengemukakan empat hal yang menunjukkan kecendrungan konsumen loyal terhadap suatu merek sebagai berikut:

1. Konsumen yang loyal terhadap merek cenderung lebih percaya diri terhadap pilihannya.

2. Konsumen yang loyal lebih memungkinkan merasakan tingkat resiko yang lebih tinggi dalam pembeliannya.

3. Konsumen yang loyal terhadap merek juga lebih mungkin loyal terhadap toko. 4. Kelompok konsumen yang minoritas cenderung untuk lebih loyal terhadap

merek.

b. Tahap-tahap loyalitas merek

Griffin (2005) membagi tahap loyalitas konsumen terhadap suatu merek menjadi beberapa tahap. Tahap loyalitas tersebut seperti berikut:

1. Suspect, meliputi semua orang yang mungkin akan membeli barang atau jasa, tetapi sama sekali belum mengenal perusahaan dan barang atau jasa yang ditawarkan.

2. Prospect, merupakan orang-orang yang memiliki kebutuhan akan produk atau jasa tertentu dan mempunyai kemampuan untuk membeli produk atau jasa tersebut. Meskipun belum melakukan pembelian, para prospek telah mengetahui keberadaan perusahaan dan barang atau jasa yang ditawarkan karena telah di rekomendasikan oleh seseorang.

3. Disqualified prospect, yaitu prospek yang telah mengetahui keberadaan barang atau jasa tertentu, tetapi tidak mempunyai kebutuhan akan barang atau jasa tersebut, atau tidak mempunyai kemampuan untuk membeli barang atau jasa tersebut.

(4)

5. Repeated customer, yaitu pelanggan yang telah membeli produk yang sama sebanyak dua kali atau lebih, atau membeli dua produk yang berbeda dalam kesempatan yang berbeda pula.

6. Client, yaitu orang-orang yang membeli semua barang atau jasa yang ditawarkan dan dibutuhkan. Membeli secara teratur. Hubungan dengan produk kuat dan berlangsung lama serta tidak terpengaruhi oleh produk pesaing.

7. Advocates, yaitu orang-orang yang membeli barang atau jasa yang ditawarkan dan dibutuhkan, serta melakukan pembelian secara teratur. Mendorong kenalan dan orang di sekitar agar membeli barang atau jasa perusahaan atau merekomendasikan perusahaan pada orang lain. Secara tidak langsung melakukan pemasaran dan mengundang pelanggan.

8. Mitra, merupakan bentuk hubungan yang paling kuat antara pelanggan dan perusahaan, dan berlangsung terus menerus karena kedua pihak melihatnya sebagai hubungan yang saling menguntungkan.

c. Atribut loyalitas merek

Sangadji dan Sopiah (2013) menyatakan untuk mengukur loyalitas dibutuhkan empat atribut tertentu. Keempat atribut tersebut yaitu:

a. Mengatakan hal yang positif tentang perusahaan (merek) terhadap orang lain. b. Merekomendasikan perusahaan (merek) kepada orang lain yang meminta saran. c. Mempertimbangkan bahwa perusahaan merupakan pilihan pertama ketika

melakukan pembelian jasa.

d. Melakukan lebih banyak bisnis atau pembelian dengan perusahaan dalam beberapa tahun mendatang.

Tjiptono (2005) mengemukakan enam indikator yang digunakan untuk mengukur loyalitas merek. Keenam indikator yang mengukur loyalitas merek

(5)

antara lain pembelian ulang, kebiasaan mengkonsumsi merek, rasa suka yang besar pada merek, ketepatan pada merek, keyakinan bahwa merek tertentu merek yang terbaik, perekomendasian merek kepada orang lain.

B. Parental Buying Behavior

Kotler (2005) mengemukakan bahwa perilaku membeli merupakan kebiasaan individu baik secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam memperoleh dan menggunakan barang dan jasa. Perilaku membeli remaja adalah kebiasaan remaja baik secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam memperoleh dan menggunakan barang dan jasa. Perilaku membeli remaja banyak dipengaruhi oleh keluarga (Virmani & Dash, 2016). Menurut Setiadi (2015), keluarga adalah kelompok yang terdiri dari dua atau lebih orang berhubungan melalui darah, perkawinan, atau adopsi dan tinggal bersama. Keluarga dibagi menjadi dua, yaitu keluarga inti (nuclear family) dan keluarga besar (extended family). Keluarga inti adalah kelompok langsung yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang tinggal bersama. Keluarga besar mencakupi keluarga inti ditambah keluarga lain, seperti kakek, nenek, paman dan bibi, sepupu, dan kerabat karena pernikahan.

Menurut Damiati (2017), keluarga diartikan sebagai dua orang atau lebih yang hidup bersama karena memiliki hubungan darah atau perkawinan. Keluarga merupakan salah satu panutan yang berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Damiati juga berpendapat sebagai sebuah unit rumah tangga, keluarga merupakan tempat atau media bagi para anggota keluarga untuk berinteraksi. Interaksi yang terjadi berpengaruh pada sikap dan perilaku pembelian individu.

(6)

Virmani dan Dash (2016) mengatakan pengaruh keluarga khususnya orangtua terhadap perilaku membeli remaja salah satu dapat dilihat melalui pengambilan keputusan remaja dalam membeli dan memilih suatu produk atau jasa.

Parental buying behavior adalah perilaku membeli orangtua yang dapat memengaruhi perilaku pembelian anak. Anak meniru perilaku pembelian yang biasa dilakukan orangtua (Roberts dkk, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Wiese dan Kruger (2016) menunjukkan bahwa pengaruh orangtua sebagai role models berpengaruh terhadap anak. Pada penelitian ini dikemukakan bahwa ketika orangtua memiliki sikap positif terhadap suatu merek, orangtua akan menunjukkan nilai positif terhadap merek kepada anak sehingga anak akan cenderung ikut menggunakan merek yang sama. Selain itu, proses pembelajaran terkait merek yang dialami individu sejak kecil akan terus dibawa dan diterapkan individu meskipun individu tersebut telah merantau sebagai bagian dari belajar kognitif sosial (Wiese & Kruger, 2016). Pembelajaran observasional adalah proses belajar yang dilakukan konsumen ketika mengamati tindakan dan perilaku orang lain, dan konsekuensi dari perilaku tersebut (Sangadji dan Sopiah, 2013). Anak melihat orangtua sebagai model dan mengimitasi perilaku orangtua. Menurut Bandura, model adalah apa saja yang menyampaikan informasi, seperti orang, film, televisi, pameran, gambar atau instruksi. Bandura menyebutkan ada empat proses yang memengaruhi belajar observasional, yaitu proses atensional, proses retensional, proses pembentukan perilaku, dan proses motivasional (Hergenhahn & Olson, 2014).

Sangadji dan Sopiah (2013) mengemukakan tiga ide penting yang muncul dari teori pembelajaran observasional yaitu, pertama, pembelajaran observasional memandang orang sebagai simbol yang meramalkan kemungkinan konsekuensi dari perilaku mereka dan memvariasikan perilaku tersebut; kedua, individu belajar dengan memperhatikan tindakan orang lain dan mengamati konsekuensi dari tindakan tersebut; ketiga, individu memiliki

(7)

kemampuan untuk mengatur perilaku mereka sendiri, dan melalui proses regulasi diri, individu menyediakan penghargaan dan penghukuman internal sendiri dengan prinsip pembelajaran kognitif dan pengondisian operan tertentu.

Teori yang dikemukakan Rotter terkait proses pembelajaran sosial menggunakan empat konsep atau variabel untuk meramalkan perilaku individu, yaitu potensi perilaku, pengharapan, nilai penguatan, dan situasi psikologis.

a. Potensi perilaku, berkaitan pada perilaku yang muncul pada situasi yang spesifik. Pada situasi tertentu, seseorang dapat memunculkan beberapa perilaku. Setiap perilaku yang mungkin muncul terdapat potensi perilaku. Individu cenderung melakukan tindakan yang memiliki potensi perilaku yang paling besar.

b. Pengharapan, kemungkinan subjektif yang mengarah pada hasil tertentu atau imbalan. Jika seseorang memiliki ekpektasi yang tinggi maka individu akan semakin percaya bahwa hasil tertentu akan muncul. Jika hasil yang muncul cukup diharapkan, individu akan melakukan tindakan yang paling sesuai agar hasil itu muncul. Agar memiliki ekspektasi yang tinggi seorang individu haru memiliki kemampuan untuk melakukan suatu tindakan secara efektif dan tindakan tersebut akan menghasilkan imbalan.

c. Nilai penguatan, individu akan melakukan tindakan yang memiliki nilai penguatan paling besar yang menuju pada hasil yang diinginkan. Hasil yang diinginkan biasanya penerimaan, cinta atau penolakan.

d. Situasi psikologis, mengarah pada setiap pengalaman individu adalah unik. Individu yang berbeda dapat memiliki interpretasi yang berbeda pada situasi psikologis yang sama.

(8)

a. Peran anggota keluarga dalam pembelian keluarga

Setiadi (2015) mengungkapkan dalam pengambilan keputusan konsumsi keluarga melibatkan setidaknya lima peran. Lima peran tersebut dapat didefinisikan sebagai berikut,

a. Gatekeeper, inisiator pemikiran keluarga mengenai pembelian produk dan pengumpulan informasi untuk membantu pengambilan keputusan.

b. Influencer, individu yang opininya dicari sehubungan dengan kriteria yang harus digunakan oleh keluarga dalam pembelian dan produk atau merek yang mana yang paling cocok dengan kriteria evaluasi.

c. Decider, orang dengan wewenang dan/atau kekuasaan keuangan dalam memilih bagaimana uang keluarga akan dibelanjakan dan produk atau merek mana yang akan dipilih.

d. Buyer, orang yang bertindak sebagai agen pembelian, yang mengunjungi toko, menghubungi penyuplai, menulis cek, dan membawa produk ke rumah.

e. User, orang yang menggunakan produk.

b. Faktor yang memengaruhi keefektifan pemodelan

Menurut Setiadi (2015), mengamati seorang model dalam berperilaku dapat meningkatkan kemungkinan pengamat untuk melakukan perilaku tersebut. Faktor-faktor yang memengaruhi keefektifan pemodelan dibagi tiga antara lain:

a. Karakteristik model dan perilaku yang dimodelkan b. Karakteristik pengamat

(9)

C. Brand Experience

Menurut Brakus, Schmitt, & Zarantonello (2009), brand experience adalah stimulus yang berkaitan dengan suatu merek yang dibentuk berdasarkan penilaian subjektif dan respon internal konsumen. Brand experience merupakan respon internal konsumen yang bersifat subjektif (sensasi, perasaan dan kognitif) dan respon perilaku yang muncul karena stimulus yang merupakan bagian dari desain dan identitas merek, packaging, komunikasi, dan lingkungan. Brakus dkk. juga mengatakan hubungan antara brand experience dan loyalitas konsumen berkaitan dengan kepuasan konsumen.

Dimensi yang dapat digunakan untuk mengukur brand experience antara lain: sensoris, adalah hal-hal yang berhubungan dengan panca indra; afeksi/afektif, hal-hal yang berkaitan dengan perasaan, memengaruhi perasaan dan emosi; intelektual, hal-hal yang berkaitan dengan kesadaran atau totalitas pengertian, terutama menyangkut pemikiran dan pemahaman; perilaku, tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan; dan sosial, hal-hal yang berkaitan dengan orang disekitar atau lingkungan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://www.kbbi.web.id).

Schmitt (1999) berpendapat bahwa idealnya, sebuah perusahaan yang ingin menerapkan experiential marketing mampu memberikan experience yang integral, yaitu menyampaikan kelima elemen experience melalui Experience Provider yang terdiri dari:

a. Komunikasi, meliputi iklan, komunikasi perusahaan baik internal maupun eksternal, dan public relation.

b. Identitas dan tanda baik visual maupun verbal, meliputi nama, logo, warna, dan lain-lain.

(10)

d. Co-branding, meliputi even pemasaran, sponsorship, aliansi dan rekanan kerja, lisensi, penempatan produk dalam film, dan sebagainya.

e. Lingkungan spasial, termasuk desain kantor, baik interior maupun eksterior, outlet penjualan, ekshibisi penjualan, dan lain-lain.

f. Web sites.

g. Orang, meliputi penjual, representasi perusahaan, customer service, operator call centre.

Menurut Schmitt (1999) ada beberapa cara untuk membentuk dan mengelola Brand Experience. Cara tersebut antara lain:

a. Experience don’t just happen; they need to be planned. Seorang pemasar harus kreatif, memanfaatkan kejutan, intrik, dan bahkan provokasi dalam proses perencanaan.

b. Think about the customer experience first. Seorang pemasar menentukan karakteristik-karakteristik fungsional dari sebuah produk dan manfaat dari merek yang ada.

c. Be obsessive about the details of the experience. Konsep pemuasan kebutuhan konsumen tradisional melewatkan unsur-unsur sensoris, perasaan hangat yang dirasakan konsumen, serta “cuci otak” konsumen, yang meliputi pemuasan seluruh tubuh dan seluruh pikiran konsumen. Schmitt menyebutkan Exultate Jubilate, yang berarti kepuasan yang amat sangat.

d. Find the “duck” for your brand. Maknanya, seorang pemasar diharapkan mampu memberikan suatu karakter yang memberikan kesan yang mendalam, yang akan terus-menerus membangkitkan kenangan, sehingga konsumen menjadi loyal. Karakter ini adalah suatu elemen kecil yang sangat mengesankan, membingkai, dan merangkum keseluruhan experience yang dirasakan konsumen.

(11)

e. Think consumption situation, not product.

f. Strive for “holistic experiences”. Holistic adalah sebuah perasaan yang luar biasa, menyentuh hati, menantang intelegensi, relevan dengan gaya hidup konsumen, dan memberikan hubungan yang mendalam antar konsumen.

g. Profile and track experiential impact with the Experiential Grid.

h. Use methodologies eclectically. Metode penelitian dalam pemasaran dapat berbentuk kuantitatif maupun kualitatif, verbal maupun visual, dan di dalam maupun di luar laboratorium. Pemasar dalam meneliti harus eksploratif dan kreatif, serta menomorsekiankan tentang reliabilitas, validitas, dan kecanggihan metodologinya.

i. Consider how the experiences changes. Pemasar terutama harus memikirkan hal ini ketika perusahaan memutuskan untuk memperluas merek kedalam kategori baru. j. Add dynamism and “dionysianism” to your company and brand. Kebanyakan

organisasi dan perusahaan pemilik merek terlalu takut, terlalu perlahan, dan terlalu birokratis. Untuk itulah dionysianism perlu diterapkan. Dionysianism adalah kedinamisan, gairah, dan kreativitas.

D. Remaja Rantauan

Menurut WHO (1974), remaja merupakan suatu masa dimana individu berkembang mulai dari menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya hingga mencapai kematangan seksual; individu mengalami transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dalam perkembangan psikologis dan pola identifikasinya; terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi ke arah yang lebih konkret.

(12)

Santrock (2017) mengemukakan bahwa masa remaja awal berlangsung di masa sekolah menengah pertama atau sekolah menengah akhir. Pada masa remaja awal, terjadi perubahan pubertal terbesar, sedangkan masa remaja akhir terjadi pada pertengahan dasawarsa kedua dari kehidupan. Masa kini, minat karir, pacaran, dan eksplorasi identitas lebih menonjol daripada saat di masa remaja awal.

Menurut Erikson (dalam Santrock, 2007) masa remaja adalah masa dimana individu menghadapi tugas perkembangan identitas vs kebingungan identitas. Di masa ini, individu dihadapkan pada tantangan untuk menemukan jati diri. Remaja dihadapkan pada peran-peran baru dan status orang dewasa – pekerjaan dan romantika. Remaja yang diberikan kebebasan untuk mencoba berbagai macam peran dengan batasan tertentu akan mengembangan identitas yang positif dan sebaliknya.

Menurut Sarwono (2015), dalam proses penyesuaian diri dari kanak-kanak ke dewasa, individu mengalami tiga tahap perkembangan remaja, yaitu:

a. Remaja awal (12-15 tahun)

Pada tahap ini, individu mengalami perubahan pada tubuhnya disertai dorongan yang menyertainya. Individu dapat mengembangkan pikiran-pikiran baru, tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebih disertai kurangnya kendali terhadap ego membuat individu yang telah memasuki tahap ini sulit dimengerti oleh orang dewasa.

b. Remaja madya (15-18 tahun)

Individu yang memasuki tahap ini sangat membutuhkan banyak teman dan merasa senang bila disukai oleh teman-temannya. Hal ini kemudian dapat menimbulkan kecenderungan narsistik dengan menyukai teman-teman yang punya sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Individu akan merasa kesulitan untuk memilih antara peka atau tidak

(13)

peduli, rama-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis dan idealis atau materialis dalam suatu situasi.

c. Remaja akhir (18-22 tahun)

Tahap ini merupakan masa dimana remaja akan memasuki masa dewasa yang ditandai dengan lima hal, yaitu:

a) Semakin mantapnya minat terhadap fungsi-fungsi intelek.

b) Mencari kesempatan untuk bersatu dengan banyak orang dan memperoleh pengalaman baru.

c) Identitas seksual yang tidak akan berubah lagi saat terbentuk.

d) Keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain menggantikan egosentrisme yang dianut pada tahap sebelumnya.

e) Diri pribadi dan masyarakat umum dipisahkan oleh “dinding” yang tumbuh selama tahap remaja akhir berlangsung.

Masa remaja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah masa antara usia 12 – 18 tahun dalam proses pertumbuhan seorang individu sesudah meninggalkan masa anak-anak menjelang masa dewasa, tetapi belum mencapai kematangan jiwa.

Rantau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah daerah (negeri) di luar daerah (negeri) sendiri atau daerah (negeri) di luar kampung halaman. Merantau menurut KBBI adalah pergi ke negeri lain (untuk mencari penghidupan, ilmu, dan sebagianya), sedangkan anak rantau menurut KBBI adalah orang yang mencari penghidupan di negara atau daerah lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://www.kbbi.web.id). Merantau menurut Naim (2013) adalah meninggalkan kampung halaman dengan kemauan sendiri, dalam jangka waktu yang lama, dengan tujuan tertentu, baik untuk menuntut ilmu atau mencari pengalaman tetapi suatu saat akan kembali pulang ke kampung halaman.

(14)

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa remaja rantauan merupakan individu yang berusia 12 – 22 tahun yang pergi ke daerah (negeri) lain untuk mencari penghidupan, ilmu, dan sebagainya.

E. Peran Parental Buying Behavior dan Brand Experience terhadap Loyalitas Merek pada Remaja Rantauan

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tiga variabel, yang terbagi menjadi variabel bebas dan variabel tergantung. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah parental buying behavior dan brand experience, sedangkan variabel tergantung dalam penelitian ini adalah loyalitas merek. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran parental buying behavior dan brand experience terhadap loyalitas merek pada remaja rantauan. Berikut dipaparkan bagaimana gambaran dinamika keterkaitan antar variabel sehingga dapat diasumsikan bahwa parental buying behavior dan brand experience memiliki peran terhadap loyalitas merek pada remaja rantauan.

Parental buying behavior adalah perilaku membeli orangtua yang dapat memengaruhi perilaku pembelian anak. Anak meniru perilaku pembelian yang biasa dilakukan orangtua (Roberts dkk, 2004). Wiese dan Kruger (2016) menyatakankan bahwa pengaruh orangtua sebagai role models berpengaruh terhadap anak dan dapat dijelaskan dengan teori kognitif sosial yang berdasarkan pada perilaku yang diobservasi dari orangtua. Wiese dan Kruger (2016) juga mengemukakan bahwa ketika orangtua memiliki sikap positif terhadap suatu merek, orangtua akan menunjukkan nilai positif terhadap merek kepada anak sehingga anak akan cenderung ikut menggunakan merek yang sama. Selain itu Wiese dan Kruger (2016) juga mengemukakan bahwa proses pembelajaran terkait merek yang dialami individu sejak kecil akan terus dibawa dan diterapkan individu meskipun individu tersebut telah merantau. Bentuk proses pembelajaran yang dilakukan

(15)

individu terhadap perilaku pembelian yang ditampilkan orangtua dapat dilihat saat individu memilih menggunakan produk dengan merek yang sama dengan orangtua tanpa mempertimbangkan merek lain, merasa nyaman menggunakan merek yang sama dengan yang digunakan orangtua, dan memiliki motivasi tinggi untuk menggunakan merek produk yang sama dengan orangtua.

Peran parental buying behavior dipengaruhi oleh tingkat kemandirian yang dimiliki individu. Individu yang merantau cenderung memiliki tingkat kemandirian yang tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Jannah (2016) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kemandirian pada remaja yang merantau dan yang tidak merantau, dimana tingkat kemandirian remaja yang merantau lebih tinggi daripada tingkat kemandirian remaja yang tidak merantau. Karakteristik remaja yang merantau dalam penelitian Jannah (2016) adalah remaja akhir yang tinggal berpisah dengan orangtua atau ngekos. Apabila individu tinggal berpisah dan semakin jauh dari orangtua maka tingkat kemandirian yang dimiliki individu akan semakin tinggi, sehingga dapat menyebabkan pengaruh parental buying behavior pada individu semakin rendah dan dapat memengaruhi loyalitas merek yang dimiliki individu. Sebaliknya, jika tingkat kemandirian individu rendah maka semakin tinggi pengaruh parental buying behavior terhadap individu dan semakin tinggi loyalitas merek yang dimiliki individu tersebut. Individu dengan pengaruh parental buying behavior yang tinggi akan memiliki persepsi yang baik terhadap merek produk yang digunakan orangtua dan memiliki motivasi untuk menggunakan produk dengan merek yang sama. Hal ini akan mendorong individu tersebut untuk terus menggunakan produk dengan merek yang sama. Penggunaaan produk dengan merek yang sama secara berulang-ulang akan mendorong sikap loyal individu terhadap suatu merek.

Menurut Brakus dkk. (2009), brand experience adalah stimulus yang berkaitan dengan suatu merek yang dibentuk berdasarkan penilaian subjektif dan respon internal

(16)

konsumen. Brand experience merupakan respon internal konsumen yang bersifat subjektif (sensasi, perasaan, dan kognitif) dan respon perilaku yang muncul karena stimulus yang merupakan bagian dari desain dan identitas merek, packaging, komunikasi, dan lingkungan. Individu akan merasa puas pada suatu merek jika enam dimensi brand experience terpenuhi. Individu yang merasa puas terhadap suatu merek akan terus menggunakan produk dengan merek yang sama. Penggunaan produk dengan merek yang sama akan menimbulkan sikap loyal individu terhadap merek tersebut. Semakin tinggi brand experience yang dmiliki konsumen terhadap suatu merek, maka semakin loyal konsumen terhadap merek tersebut. Individu dengan brand experience yang tinggi akan memiliki impresi yang kuat terhadap suatu merek, perasaan sentimental terhadap suatu merek dan kepuasan yang tinggi terhadap suatu merek sehingga menjadi loyal terhadap merek tersebut.

Berdasarkan pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa parental buying behavior dan brand experience berperan terhadap loyalitas merek remaja. Diagram peran parental buying behavior dan brand experience terhadap loyalitas merek dapat dilihat pada gambar 2.1.

F. Hipotesis Penelitian

1. Hipotesis Mayor

Ho: Parental buying behavior dan brand experience tidak berperan terhadap loyalitas merek remaja rantauan di Indonesia.

Ha: Parental buying behavior dan brand experience berperan terhadap loyalitas merek remaja rantauan di Indonesia.

(17)

2. Hipotesis Minor

a. Ho: Parental buying behavior tidak berperan terhadap loyalitas merek remaja rantauan di Indonesia.

Ha: Parental buying behavior berperan terhadap loyalitas merek remaja rantauan di Indonesia.

b. Ho: Brand experience tidak berperan terhadap loyalitas merek remaja rantauan di Indonesia.

Ha: Brand experience berperan terhadap loyalitas merek remaja rantauan di Indonesia.

(18)

a. Potensi Perilaku b. Pengharapan c. Nilai Penguatan d. Situasi Psikologis

Parental Buying

Behavior

Brand Experience

a. Sensoris b. Afektif c. Behavioral d. Intelektual

Loyalitas Merek

a. Pembelian Ulang

b. Kebiasaan Mengkonsumsi Merek c. Rasa Suka Yang Besar Pada Merek d. Keyakinan Bahwa Merek Tertentu

Lebih Baik

e. Perekomendasian Merek Kepada Orang Lain

Gambar 2.1 Diagram Peran Parental Buying Behavior dan Brand Experience terhadap Loyalitas Merek pada Remaja Rantauan

Gambar

Gambar 2.1 Diagram Peran Parental Buying Behavior dan Brand Experience terhadap Loyalitas  Merek pada Remaja Rantauan

Referensi

Dokumen terkait

produk barang atau jasa pada media komunikasi (Allen, 2007:40-42) pada film Filosofi Kopi 2 digunakan untuk mengukur tingkat brand awareness yakni kemampuan sebuah merek

Di perangkat yang dibuat pada penelitian ini terdapat pompa air motor dc yang digunakan untuk proses mengairi lahan pertanian dan 2 Little box yang berisi sensor kelembaban

Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan menggunakan rancangan penelitian cross sectional , yang bertujuan untuk mengetahui hubungan keberadaan jentik

Kajian ini dijalankan dengan rangkuman beberapa kaedah seperti cerapan data di lapangan, pemprosesan imej satelit yang meliputi pra-pemprosesan imej, pengkelasan imej dan

Skripsi ini berjudul “ Pengaruh Implementasi Program Pemusatan Pengelolaan Fungsi Administrasi (PPFA) dalam Pengendalian Intern Kas Pada PT.PLN (Persero) Area

Hasil uji F pengaruh Keselamatan Kerja dan Kepuasan Kerja Karyawan secara bersama-sama yang signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan diperoleh nilai signifikansi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik fermentasi padat memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah polong berisi, jumlah bintil akar

Meningkatkan dan mengembangkan diri dalam bidang ilmu kesehatan masyarakat sesuai dengan bakat dan minatnya dalam pencegahan terjadinya gangguan masalah mental emosional