• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETENTUAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DI INDONESIA DAN PAKISTAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KETENTUAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DI INDONESIA DAN PAKISTAN"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

KETENTUAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DI INDONESIA DAN PAKISTAN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi salah satu syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

WENNY ATRIANTI NIM. 11160440000038

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)

iii

(4)

iv

(5)

v ABSTRAK

Wenny Atrianti, NIM 11160440000038, KETENTUAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DI INDONESIA DAN PAKISTAN, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2021 M.

Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan perbandingan mengenai ketentuan perkawinan di bawah umur, dalam perbandingan antara Fikih Hanafi, Fikih Syafi‟i, Hukum Keluarga Indonesia, dan Hukum Keluarga Pakistan. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif dan komparatif. Metode penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dengan sumber pokok primer dari peraturan perundang-undangan perkawinan di Indonesia dan Pakistan dan sumber primer dari kitab-kitab fikih.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbandingan hukum keluarga Pakistan dan Indonesia dalam mengatur perkawinan di bawah umur memiliki undang-undang tersendiri yakni UU No. 16 tahun 2019 tentang perkawinan dan Child Marriage Restraint Act 1929 yang diamandemen oleh MFLO 1961. Kedua UU tersebut memiliki keunggulannya masing-masing. Adapun Indonesia memiliki keunggulan dalam hal pemberian dispensasi nikah bila ada yang melakukan perkawinan disaat usianya masih terbilang muda. Sedangkan keunggulan yang dimiliki oleh Pakistan yaitu memberikan sanksi bagi yang melakukan perkawinan di bawah umur berupa sanksi penjara serta sanksi denda. Peraturan perundang-undangan kedua negara tersebut masih dipengaruhi oleh Fikih Mazhab yang mereka anut yaitu Fikih Hanafi dan Fikih Syafi‟I walaupun pengaruh kedua Fikih Mazhab tersebut tidak secara mutlak diterapkan dalam peraturannya. Kemudian, perbandingan ketentuan perkawinan di bawah umur antara hukum positif Pakistan dan Indonesia memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan tersebut dapat dilihat dari segi pencatatan nikahnya yang menganjurkan kepada pasangan yang telah melakukan perkawinan agar perkawinannya dicatatkan dikantor yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan perbedaan dari masing-masing negara dapat dilihat dari segi usia menikah, penerapan dispensasi nikah, dan sanksi pelanggaran.

Kata kunci : Perkawinan Di Bawah Umur, Indonesia, Pakistan. Pembimbing : Dr. H. Muchtar Ali, M.Hum.

(6)

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing (terutama Arab) ke dalam bahasa Latin. Pedoman ini digunakan untuk beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata dalam bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih terbatas.

a. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا tidak dilambangkan

ب b be

خ t te

ث ts te dan es

ج J Je

ح h ha dengan garis bawah

خ kh ka dengan ha د d de ر dz de dan zet س r er ص z zet ط s es ش sy es dan ye

ص s es dengan garis bawah

(7)

vii

ط ṯ te dengan garis bawah

ظ ẕ zet dengan garis bawah

ع „ koma terbalik di atas

hadap kanan ؽ gh ge dan ha ف f ef ق q qo ك k ka ل l el و m em ٌ n en ٔ w we ِ h ha ء ` Apostrop ي y ya b. Vokal

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ﹷ a Fathah

ﹻ i Kasrah

(8)

viii

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي ﹷ ai a dan i

ٔ ﹷ au a dan u

c. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ا ﹷ â a dengan topi di atas

ي ﹻ î i dengan topi di atas

ٔ ﹹ û u dengan topi di atas

d. Kata Sandang

Kata sandang, dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan lam () dialihakarakan menjadi menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf qamariyyah, misalnya:

دآتج لاا = al-ijtihâd

حصخ شنا = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah

e. Tasydid (Syaddah)

Dalam alih aksara, tasydîd atau syaddah dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi Syaddah. Tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:

(9)

ix

حؼفشنا = al-syuf‟ah, tidak ditulis asy-syuf‟ah

f. Ta Marbû ṯah

Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbû ṯah tersebut dialihaksarankan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbû ṯah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1 حؼٌشش syarî‟ah

2 حٍيلاسلاا حؼٌ ششنا al- syarî‟ah al-islâmiyyah

3 ةْ ازًنا حَساقي muqâranat al-madzâhib

g. Huruf Kapital

Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Misalnya, يساخثنا = al-Bukhârî, tidak ditulis Al-Bukhâri.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juda dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kata nama tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin Raniri, tidak ditulis Nûr Din al-Rânîrî.

(10)

x

h. Cara Penulisan Kata

Setiap kata baik kata kerja (fi‟il), kata benda (ism) atau huruf (hurf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan diatas:

No Kata Arab Alih Aksara

1 خاسٕظحًنا حٍثت جسٔشضنا al- darûrah tubihu al-mahzûrât

2 ًيلاسلاا داصتقلاا al-iqtisâd al-islâmî

3 ّقفنلا ٕصأ usûl al-fikih

4 ححاتلاا ءاٍشلأا ًف مصلأا al- „asl fi al-asyyâ‟ al-ibâhah

(11)

xi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhânahu wa Ta‟âlâ yang telah memberikan banyak karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad Sallallahu „Alaihi wa Sallam yang telah membawa umat dari zaman kegelapan menuju zaman yang penuh dengan cahaya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, baik berupa dukungan moril dan dukungan materiel. Oleh karena itu, penulis secara khusus menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Ibu Dr. Mesraini, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Bapak Ahmad Chairul Hadi, M.A., selaku Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga. Atas dukungan, arahan, serta bantuan kepada penulis, hingga akhirnya penulis mampu menyelesaikan jenjang perkuliahan strata satu ini dengan baik;

3. Bapak Dr. Muchtar Ali, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Atas bimbingan, saran, dan dukungan beliau, penulis terbantu dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik;

4. Bapak Dr. Moh. Ali Wafa,SH.,S.Ag.,M.Ag., selaku Dosen Penasihat Akademik yang selalu memberikan semangat serta masukan kepada penulis selama proses kegiatan akademik di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

5. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah mendidik dan membagikan ilmunya kepada penulis selama menempuh pendidikan ini;

(12)

xii

6. Pimpinan dan seluruh karyawan Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan;

7. Kedua orang tua penulis, Ibu dan Bapak. Terima kasih atas semua yang telah Ibu dan Bapak berikan dalam kehidupan penulis. Atas doa dan dukungan Ibu dan Ayah selama ini, penulis selalu mendapatkan kemudahan dan kelancaran terutama dalam mengerjakan penulisan skripsi ini;

8. Adik tersayang, Ica, Riyan, dan Zafran yang selalu memberikan penulis semangat;

9. Keluarga Besar Hukum Keluarga 2016 yang selalu memberikan warna kehidupan penulis selama berada di kampus tercinta;

10. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam Hukum Keluarga, rekan-rekan pengurus HMPS Hukum Keluarga periode 2018, serta Lembaga Islamic Astronomy Student Council (IASC) 2019. Terima kasih telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk senantiasa beraktualisasi selama penulis berada di kampus;

11. Keluarga Besar Hukum Keluarga Kelas B yang selalu membersamai sedari awal semester satu. Terima kasih atas waktu dan kebersamaan yang telah kita lalui bersama dalam segala keadaan semasa kuliah. Semoga silahturrahmi akan terus berjalan.

12. Serta Sahabat-Sahabat terbaik, Desi, Thifa, Rahmi, Alfa, Nina, dan sahabat-sahabat penulis lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan. Terima kasih telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini dengan memberikan motivasi, semangat serta membantu penulis dalam mencari referensi skripsi ini.

Dari lubuk hati terdalam, penulis berharap semoga Allah Subhânahu wa Ta‟âlâ membalas semua kebaikan mereka dan melindungi mereka di dunia dan

(13)

xiii

di akhirat kelak. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Jakarta, 18 April 2021

(14)

xiv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PERNYATAAN... iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iv

ABSTRAK ... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vi

KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah ... 10

1. Identifikasi Masalah ... 10

2. Pembatasan Masalah ... 11

3. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

1. Tujuan Penelitian ... 11

2. Manfaat Penelitian ... 12

D. Kajian Studi Terdahulu... 12

E. Metode Penelitian ... 14

1. Jenis Penelitian ... 14

2. Pendekatan Penelitian ... 15

3. Teknik Pengumpulan Data ... 16

4. Sumber Data ... 16

a. Data Primer ... 16

b. Data Sekunder ... 17

5. Metode Analisi Data ... 17

(15)

xv

BAB II PERKAWINAN DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM

ISLAM ... 19

A. Pengertian Perkawinan Di Bawah Umur ... 19

B. Sejarah Perkawinan Di Bawah Umur Dalam Islam ... 22

C. Hukum Perkawinan Di Bawah Umur ... 27

D. Dampak dari Perkawinan Di Bawah Umur ... 32

E. Faktor Terjadinya Perkawinan Di Bawah Umur ... 35

BAB III PERKAWINAN DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM KELUARGA NEGARA INDONESIA DAN PAKISTAN ... 38

A. Pakistan ... 38

1. Sejarah Hukum Keluarga Pakistan... 38

a. Profil Singkat ... 38

b. Sebelum Kemerdekaan... 39

c. Setelah Kemerdekaan ... 40

2. Ketentuan Perkawinan Di Bawah Umur Dalam Hukum Keluarga Pakistan ... 43

a. Sebelum Kemerdekaan... 43

b. Setelah Kemerdekaan ... 44

B. Indonesia ... 54

1. Sejarah Hukum Keluarga Indonesia... 54

a. Masa Kerajaan ... 54

b. Masa Penjajahan... 56

c. Masa Kemerdekaan ... 58

2. Ketentuan Perkawinan Di Bawah Umur Dalam Hukum Keluarga Indonesia ... 62

a. Masa Kerajaan ... 62

b. Masa Penjajahan... 64

(16)

xvi

BAB IV PERBANDINGAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR

INDONESIA DAN PAKISTAN ... 70

A. Perbandingan Ketentuan Perkawinan Di Bawah Umur Antara Hukum Islam dengan Hukum Positif Pakistan dan Indonesia ... 70

1. Perkawinan Di Bawah Umur Indonesia ... 70

2. Perkawinan Di Bawah Umur Pakistan ... 76

B. Perbandingan Ketentuan Perkawinan Di Bawah Umur Antara Hukum Keluarga Pakistan dan Indonesia ... 83

BAB V PENUTUP ... 92

A. Kesimpulan ... 92

B. Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 94

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan timbulnya hak dan kewajiban timbal balik antara suami dan istri.1 Perkawinan merupakan suatu ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan hukum baik hukum islam maupun hukum positif (negara).

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal 1 menyatakan bahwa, “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.2 Perkawinan ini sebagai jalan bagi laki-laki atau wanita untuk mewujudkan suatu keluarga atau rumah tangga, hal tersebut merupakan salah satu ibadah dalam agama islam dan merupakan suatu yang sakral yang mana diharapkan dapat terjadi sekali seumur hidup. Dan ini merupakan fitrah dan kebutuhan makhluk hidup demi kelangsungan hidupnya. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 2 dan Pasal 3 menjelaskan bahwa, “perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholizhan untuk mematuhi perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.3

1 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat Dan

Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 39.

2

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1. 2 Januari 1974, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 No. 1. Jakarta.

3 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2 dan Pasal 3. Cetakan ketiga, Juni 2006, Pustaka

(18)

Sejak diundangkan hukum negara yang mengatur masalah perkawinan yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan, salah satu syaratnya adalah bahwa para pihak yang melakukan perkawinan telah matang jiwa dan raganya dan harus dalam keadaan sadar atau dalam keadaan tidak dipaksakan. Oleh karena UU Perkawinan mengatur mengenai batas umur minimal untuk melangsungkan pernikahan.4 Tetapi bila perkawinan tersebut terjadi di bawah batas umur yang ditentukan oleh UU maka perkawinan tersebut disebut dengan perkawinan di bawah umur. Namun, dalam Hukum Islam sendiri tidak ada ketentuan atau penjelasan yang spesifik mengenai perkawinan di bawah umur, sebab dalam islam tidak ditetapkan secara khusus dalam usia berapa seseorang diperbolehkan untuk menikah.5 Hanya saja dalam Al-Qur‟an disebutkan, seseorang boleh melangsungkan perkawinan disesuaikan dengan keadaan kedewasaannya, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta‟ala dalam Surah An-Nisa‟ ayat 6:

اًفاَرْسِإ اَهوُلُكَْتَ َلَو ْمَُلَاَوْمَأ ْمِهْيَلِإ اوُعَ فْداَف اًدْشُر ْمُهْ نِم ْمُتْسَنَآ ْنِإَف َحاَكِّنلا اوُغَلَ ب اَذِإ ّتََح ىَماَتَ يْلا اوُلَ تْ باَو

}٦{… اوُرَ بْكَي

Artinya: “Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka

dewasa…”6

4 Made Adriawan Restu Ningrat, ”Perkawinan Anak Dibawah Umur Ditinjau Dari Sudut

Pandang Hukum Adat”, Jurnal Lex Privatium, Vol. VI, No. 8, Oktober 2018, h. 79.

5

Abdi Koro, Perlindungan Anak Dibawah Umur: Dalam Perkawinan Usia Muda Dan

Perkawinan Siri, (Bandung: PT. Alumni, 2012), h. 73

6 Departemen Kementerian Agama RI, “Quran Kemenang, Qs. An-Nisa‟ : 5-6”. 20

(19)

3

Berdasarkan ayat di atas Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa, para wali diperintahkan untuk melakukan ujian terhadap anak-anak yatim sampai mereka cukup umur untuk nikah. Cukup umur menurut Mujahid dalam ayat ini ialah mencapai usia baligh. Adapun seseorang yang mencapai usia baligh menurut jumhur ulama yaitu ditandai dengan mengeluarkan air mani, ketika dia mimpi dalam tidurnya melihat sesuatu atau mengalami sesuatu yang membuatnya mengeluarkan air mani. Sedangkan menurut ulama fikih, jika anak yatim tersebut sudah mencapai usia yang membuat dirinya berlaku layak dalam agama dan hartanya maka para walinya tidak diperkenankan untuk memakannya tanpa ada keperluan yang mendesak dan memberlanjakan harta tersebut secara tergesa-gesa.7 Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa usia bagi seseorang untuk nikah berdasarkan Tafsir Ibnu Katsir adalah mencapai usia baligh dan dewasa.

Sedangkan menurut Abdi Koro menjelaskan bahwa, umur wanita / anak perempuan yang boleh kawin yaitu berakal sehat dan dianggap dewasa. Jelas umur wanita yang boleh melangsungkan perkawinan, jika dia telah mencapai kedewasaan dengan maksud seorang wanita telah dapat mengurus harta bendanya dan dapat menetapkan pilihannya terhadap calon suaminya sendiri. Pria atau wanita yang belum dewasa tidak dapat menentukan pendapatnya dalam persoalan perkawinan. Jadi pada prinsipnya agama islam itu membenarkan perkawinan dilakukan hanya oleh orang dewasa, dan anak-anak di bawah umur tidak dapat melakukan suatu ikatan.8 Namun tidak ada ketentuan spesifik berapa usia anak di bawah umur sehingga menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama.

Walaupun begitu, para ulama berpendapat bahwa membolehkan pekawinan anak-anak yang dilaksanakan ketika anak masih berusia kanak-kanak seperti

7

Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir Juz 4: Ali Imran

92 s.d. An-Nisa 23, ( Bandung: Sinar Baru Algensindo,2000 ), h. 450- 461.

8 Abdi Koro, Perlindungan Anak Dibawah Umur: Dalam Perkawinan Usia Muda Dan

(20)

Imam Maliki, Syafi‟i, Hambali dan Hanafi dikarenakan mereka tidak mensyaratkan mumayyiz (kedewasaan calon pengantin). Bagi mereka aqil dan baligh saja sudah cukup karena nabi sendiri menikahi Aisyah dalam usia muda. Tetapi ada dua cara untuk untuk menentukan kanak-kanak tersebut sudah baligh atau sebaliknya yaitu baligh secara tabi‟I dan baligh dengan umur.9

Penentuan baligh secara tabi‟I yaitu penentuan berdasarkan tanda-tanda fisikal, jika kanak-kanak perempuan telah mencapai tahap baligh ditandai dengan datangnya haid dan kanak-kanak laki-laki ditandai dengan keluarnya air mani. Sedangkan penentuan baligh dengan umur ditentukan jika tahap-tahap fisikal tidak muncul pada tubuh badan kanak-kanak tersebut. Maka dari itu, fuqaha memberikan pendapatnya dalam tahap umur terhadap kanak-kanak, menurut Imam Hanafi, Syafi‟I dan Hambali menentukan seseorang dianggap baligh apabila berusia lima belas tahun, serta menurut Imam Maliki seseorang dianggap baligh apabila berusia tujuh belas tahun.10

Untuk itu jika ditinjau dari segi Hukum Positif di Indonesia, dimana pada Pasal 47 ayat (1) dalam UU No. 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa “anak adalah yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”.11 Sedangkan, dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 menyatakan bahwa “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dikategorikan sebagai masih anak-anak, juga termasuk anak yang masih dalam kandungan”.12 Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya

9 Zanariah Noor, “Perkawinan Kanak-Kanak dan Tahap Minimal Umur Perkawinan

Dalam Undang-Undang keluarga Islam”, Jurnal Syari‟ah, Vol. 21, No. 2, 2013, h. 166.s

10 Zanariah Noor, “Perkawinan Kanak-Kanak dan Tahap Minimal Umur Perkawinan

Dalam Undang-Undang keluarga Islam”, … , h. 167.

11

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 47 ayat (1). 2 Januari 1974, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 No. 1. Jakarta.

12 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1. 22 Oktober

(21)

5

melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.13 Dalam kategori tersebut jika seseorang melakukan perkawinan maka disebut dengan perkawinan anak di bawah umur.

Perkawinan usia muda sebenarnya tidak dikenal dalam Kamus Bahasa Indonesia, yang lebih populer adalah perkawinan di bawah umur, namun dalam Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) berulangkali menyebut sebagai perkawinan usia muda.14

Perkawinan di bawah umur adalah praktik perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang salah satu atau keduanya berusia masih muda dalam pandangan kekinian. Namun demikian, perkawinan di bawah umur merupakan peristiwa yang dianggap wajar oleh sebagian masyarakat tetapi pada prinsipnya perkawinan di bawah umur banyak membawa mudarat dan tidak sedikit berakhir dengan perceraian.15 Perkawinan di bawah umur dapat dibagi menjadi dua yaitu pertama, perkawinan anak dibawah umur dengan orang dewasa. kedua, perkawinan sesama anak di bawah umur.16 Praktik perkawinan ini dipandang perlu memperoleh perhatian dan pengaturan yang jelas karena terkait dengan batas usia minimal perkawinan.17

Di Indonesia, rencana awal penetapan batas usia minimal kawin bagi para pasangan tertera pada Pasal 7 ayat (1) Rancangan Undang-Undang Perkawinan Tahun 1973. Dalam RUU tersebut dinyatakan batas minimal usia kawin adalah

13 Abdi Koro, Perlindungan Anak Dibawah Umur: Dalam Perkawinan Usia Muda Dan

Perkawinan Siri, … , h. 63.

14

Abdi Koro, Perlindungan Anak Dibawah Umur: Dalam Perkawinan Usia Muda Dan

Perkawinan Siri, … , h. 72.

15 Mardi Chandra, Aspek Perlindungan Anak Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group,

2018), h. 3

16

Mardi Chandra, Aspek Perlindungan Anak Indonesia, …, h. 4.

17 Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati, dan Jaenal Aripin, Hukum Keluarga, Pidana,

Dan Bisnis: Kajian Perundang-Undangan Indonesia, Fikih Dan Hukum Internasional, (Jakarta:

(22)

21 tahun bagi laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan. Namun demikian, karena RUU ini menuai perdebatan yang rawan dengan konflik, akhirnya pembahasan mengenai hal ini ditunda. Gejolak dan potensi konflik berakhir setelah diresmikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Standar usia minimal kawin sebagaimana tercantum pada Pasal 7 ayat (1), pada akhirnya diturunkan dari 21 tahun menjadi 19 tahun bagi laki-laki. Negara menetapkan peraturan perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun dalam peraturan terbaru terkait Perkawinan dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 dalam pasal 7 ayat (1) menjelaskan bahwa “perkawinan diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 19 tahun”.18 Batasan ini maksudnya untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan. Dari adanya batasan usia ini dapat ditafsirkan bahwa Undang-Undang Perkawinan tidak menghendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Meskipun demikian, perkawinan di bawah umur dapat dilegalkan serta sah secara hukum melalui lembaga dispensasi nikah dengan mengajukannya ke Pengadilan Agama.19 Tetapi, dispensasi nikah ini tidak serta merta diberikan begitu saja harus ada unsur darurat agar dispensasi nikah bisa diberikan.20 Sehingga bagi mereka yang mendapatkan izin dari pengadilan dapat melangsungkan pernikahan dan dapat dicatatkan pernikahan tersebut di Kantor Urusan Agama (KUA).

18

Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 7 ayat (1). 15 Oktober 2019, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 No. 186. Jakarta.

19 Mardi Chandra, Aspek Perlindungan Anak Indonesia, … , h. 4. 20

“Dispensasi Perkawinan Tetap Dimungkinkan, Begini Syaratnya Menurut UU

Perkawinan Yang Baru”. 24 Oktober 2019. Diakses dari

https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5db127b0b52f3/dispensasi-perkawinan-tetap-dimungkinkan--begini-syaratnya-menurut-uu-perkawinan-yang-baru/

(23)

7

Untuk dispensasi nikah ini diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang No.16 Tahun 2019 tentang Perkawinan pasal 7 ayat 2 menyatakan bahwa “dispensasi perkawinan dapat diberikan atas alasan sangat mendesak”.21 Alasan mendesak itu tidak bisa sekedar klaim, harus ada bukti-bukti pendukung yang cukup berupa surat keterangan yang membukti-buktikan bahwa usia mempelai masih di bawah ketentuan undang-undang dan surat keterangan dari tenaga kesehatan yang mendukung pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut sangat mendesak untuk dilaksanakan, serta termasuk keterangan saksi.22 Perkawinan di bawah umur bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi di negara lain juga sering terjadi, salah satunya Negara Pakistan. Walaupun prevalensi perkawinan anak sudah menurun dalam beberapa dekade terakhir tetapi, tradisi mendorong ribuan anak perempuan masuk dalam ikatan pernikahan tersebut.23 Rata-rata perkawinan terjadi di negara tersebut diperkirakan setidaknya 21% wanita menikah di bawah usia 18 tahun dan 3% menikah di bawah usia 15 tahun.24 Sedangkan, 3% pria menikah di bawah usia 18 tahun.25

Sehingga, Negara Pakistan mengeluarkan kebijakan dalam mengatur pembatasan usia perkawinan serta melarang terjadinya perkawinan dibawah umur. Pakistan memiliki undang-undang tersendiri yang berhubungan dengan batasan usia minimum perkawinan yang disebut dengan Child Marriage Restraint Act 1929 atau UU No. 19 Tahun 1929 tentang Pencegahan Pernikahan

21 Undang-Undang No. 16 Tahun 2019, Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, Pasal 7 ayat (2). 15 Oktober 2019, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 No. 186. Jakarta.

22 “Dispensasi Perkawinan Tetap Dimungkinkan, Begini Syaratnya Menurut UU

Perkawinan Yang Baru”. 24 Oktober 2019. Diakses dari

https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5db127b0b52f3/dispensasi-perkawinan-tetap-dimungkinkan--begini-syaratnya-menurut-uu-perkawinan-yang-baru/

23 “VOA NEWS, Nilai Anak Perempuan: Pernikahan Anak di Seluruh Dunia, Pakistan”.

diakses dari https://projects.voanews.com/child-marriage/indonesian/region/pakistan.html.

24

“Pakistan: Child Marriage Around The World. Girls Not Brides”. 2018. Diakses dari https://www.girlsnotbrides.org/child-marriage/pakistan/

25 “UNICEF: Child Marriage Database”. 2019. Diakses dari

(24)

Anak sebagaimana diamandemen oleh Ordonansi No. 8 Tahun 1961 atau

Muslim Family Law Ordinance of 1961 (MFLO).26 Selain dari dua peraturan

tersebut, dalam Hukum Pidana Pakistan juga membahas terkait dengan perkawinan di bawah umur sehingga dengan dikeluarkannya Undang-Undang tersebut, masyarakat negara Pakistan tidak bisa melakukan atau melaksanakan perkawinan tersebut.

Di Negara Pakistan, mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Kehidupan beragamanya diwarnai dengan perbedaan aliran mazhab yaitu mayoritas masyarakat Pakistan menganut aliran Mazhab Hanafi sedangkan mazhab-mazhab lainnya seperti Mazhab Syafi`I dan Hambali dianut oleh kalangan masyarakat minoritas.27 Kalangan masyarakat yang beragama Islam menjadikan Islam sebagai jalan hidup (way of life) yang mereka anut secara mendalam. Agama Islam dianggap sebagai pandangan hidup mereka, sementara tradisi dan budaya tidak berpengaruh terhadap karakteristik Islam secara esensial.28 Negara Pakistan adalah salah satu negara yang menjadikan Mazhab Hanafi sebagai pegangan dalam permasalahan hukum khususnya dalam pembentukan UU terkait Hukum Keluarga Islam.29 Salah satunya dalam pembahasan terkait batasan usia minimum perkawinan yang diatur dalam UU No. 19 Tahun 1929 tentang larangan pernikahan anak atau Child Marriage of Restraint Act 1929.

Menurut Child Marriage Restraint Act 1929 pasal 2 huruf (b) mendefinisikan bahwa “perkawinan dibawah umur adalah perkawinan yang salah satu pihak yang melakukan perkawinan baik laki-laki atau perempuan

26

M. Atho Mudzar, “Hukum Keluarga Di Pakistan (Antara Islamisasi Dan Tekanan Adat), Jurnal Al-„Adalah, Vol.XII, No.1 Juni 2014, h. 14.

27 Moh. Khusen, Pembaharuan Hukum Keluarga di Negara Muslim, (Yogyakarta: STAIN

Salatiga Press, 2012), h. 52.

28 Moh. Khusen, Pembaharuan Hukum Keluarga di Negara Muslim, … , h. 53.

29 Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, (New Delhi: Tripati, 1972), h. 251.

(25)

9

adalah anak”.30 Serta menurut peraturan ini yang terdapat pada pasal 2 huruf (a)

juga mendefinisikan bahwa “anak adalah seseorang yang jika pihak pria berada di bawah usia 18 tahun dan pihak wanita berada di bawah usia 16 tahun”.31

Sehingga dari definisi tersebut dapat dilihat jika seseorang yang ingin melakukan perkawinan di Negara Pakistan minimal harus berada di usia jika laki-laki berada di usia 18 tahun dan perempuan berada di usia 16 tahun. Bagi seseorang yang melanggar peraturan tersebut Negara Pakistan memberlakukan sebuah sanksi bagi yang terlibat perkawinan di bawah umur tersebut. Pakistan sendiri tidak memberikan sedikit toleransi terhadap perkawinan di bawah umur ini, sehingga Negara Pakistan tidak mengenal yang namanya dispensasi nikah karena dalam peraturannya telah dijelaskan bahwa seseorang yang meresmikan perkawinan tersebut akan mendapatkan sanksi juga. Seperti yang dijelaskan dalam Child Marriage restraint Act 1929 pada Pasal 4 sampai dengan Pasal 12 bahwa “bagi laki-laki dewasa yang menikahi anak kecil, yang meresmikan pernikahan anak, serta yang terlibat dalam pernikahan anak tersebut akan

diberikan sanksi”.32

Disini dapat dilihat perbedaannya, bahwa Negara Indonesia menetapkan usia minimum perkawinan pria dan wanita 19 tahun. Jika terjadi pernikahan di bawah usia minimum yang telah ditentukan oleh UU maka Indonesia memberikan dipensasi nikah dengan alasan mendesak tanpa memberlakukan sebuah sanksi bagi yang terlibat dalam perkawinan di bawah umur tersebut, sedangkan Negara Pakistan menetapkan usia minimum perkawinan pria 18 tahun dan wanita 16 tahun tetapi dengan adanya sanksi bagi pihak yang terlibat sehingga Pakistan

30 Child Marriage Restraint Act 1929, Pasal 2 huruf (b). 1 April 1930, Imperal Legislative Council Of India Tahun 1929 No. 19. India.

31 Child Marriage Restraint Act 1929, Pasal 2 huruf (a). 1 April 1930, Imperal Legislative Council Of India Tahun 1929 No. 19. India.

32 Child Marriage Restraint Act 1929, Pasal 4 s/d Pasal 12. 1 April 1930, Imperal

(26)

tidak mengenal yang namanya dispensasi nikah dan pengadilan di Pakistan tidak akan memberikan izin sedikit pun terkait perkawinan di bawah umur ini. Namun faktanya di Negara Pakistan dan Negara Indonesia sendiri masih banyak masyarakat yang melakukan perkawinan di bawah umur dengan berbagai alasan dan kebiasaan lama yang oleh leluhur yang masih kental dipegang oleh masyarakatnya.33

Maka dari itu, untuk mengetahui lebih jauh bagaimanakah ketentuan perkawinan di bawah umur dalam sistem hukum keluarga di Pakistan, maka penulis akan mengkaji hal tersebut dalam bentuk skripsi berjudul “Ketentuan

Perkawinan Di Bawah Umur di Indonesia dan Pakistan”. B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

a. Bagaimana ketentuan perkawinan di bawah umur menurut Hukum Keluarga di Negara Pakistan dan Indonesia

b. Bagaimana persamaan ketentuan perkawinan di bawah umur dalam Hukum Keluarga Pakistan dan Indonesia

c. Bagaimana perbedaan ketentuan perkawinan di bawah umur dalam Hukum Keluarga Pakistan dan Indonesia

d. Bagaimana ketentuan perkawinan di bawah umur menurut Hukum Islam

e. Bagaimana akibat hukum jika terjadi perkawinan di bawah umur dalam Hukum Islam

f. Apakah Fikih Mazhab mempengaruhi pembentukan Hukum Keluarga di Negara Pakistan dan Indonesia

33

Abdi Koro, Perlindungan Anak Dibawah Umur: Dalam Perkawinan Usia Muda Dan

(27)

11

g. Apakah perkawinan dibawah umur di Negara Pakistan dan Indonesia bisa dicatatkan secara sah berdasarkan hukum yang berlaku

2. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi agar pembahasan ini lebih jelas dan terarah sesuai yang diharapkan. Di sini penulis hanya akan terfokus pada perkawinan di bawah umur Negara Pakistan dan Indonesia baik dari segi Hukum Positif maupun Hukum Islam.

3. Perumusan Masalah

Permasalahan dalam skripsi ini akan dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana Hukum Keluarga di Pakistan dan Hukum Keluarga di Indonesia mengatur perkawinan di bawah umur? ”

Berdasarkan rumusan masalah yang telah penulis kemukakan diatas maka penulis menyajikannya melalui beberapa pertanyaan penelitian sebagaimana dibawah ini:

a. Bagaimana Hukum Keluarga Indonesia dan Hukum Keluarga Pakistan mengatur tentang ketentuan perkawinan di bawah umur? b. Bagaimana Hukum Islam mengatur tentang ketentuan perkawinan di

bawah umur?

c. Seberapa jauh Fikih Mazhab mempengaruhi pembentukan hukum keluarga Indonesia dan Pakistan yang mengatur tentang ketentuan perkawinan di bawah umur?

d. Bagaimana persamaan dan perbedaan ketentuan perkawinan di bawah umur dalam Hukum Keluarga Pakistan dan Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

(28)

1. Untuk mengetahui bagaimana ketentuan perkawinan di bawah umur dalam hukum keluarga Pakistan dan Indonesia;

2. Untuk mengetahui bagaimana perkawinan di bawah umur yang ditinjau dari hukum islam;

3. Untuk mengetahui bagaimana persamaan dan perbedaan ketentuan perkawinan di bawah umur dalam hukum keluarga Pakistan dan Indonesia;

4. Untuk mengetahui seberapa jauh fikih mazhab mempengaruhi pembentukan hukum keluarga Indonesia dan Pakistan yang mengatur tentang perkawinan di bawah umur;

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini diantaranya:

1. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi dalam penelitian yang berhubungan dengan perkawinan di bawah umur serta dapat memberikan kontribusi dalam menambah wawasan keilmuan bagi akademisi dalam mencari kajian tentang Hukum Keluarga di Pakistan, khususnya mengenai ketentuan perkawinan di bawah umur.

2. Bagi masyarakat pada umumnya, penelitian ini dapat memberikan pemahaman dan pengetahuan mengenai perkawinan di bawah umur, khususnya di Indonesia dan Pakistan.

D. Kajian Studi Terdahulu

Dalam melakukan kajian terdahulu, penulis menemukan beberapa judul karya ilmiah yang berkaitan dengan judul yang penulis bahas yaitu:

1. Tulisan dalam Jurnal Al-„Adalah yang berjudul “Hukum Keluarga Di Pakistan (Antara Islamisasi dan Tekanan Adat)” yang ditulis oleh M. Atho Mudzar. Tulisan ini menjelaskan bagaimana islamisasi hukum keluarga dilakukan di Pakistan yang meliputi batas usia nikah, warisan,

(29)

13

pencatatan perkawinan, mahar, perceraian, poligami dan nafkah istri setelah dikeluarkannya Muslim Family Law Ordinance (MFLO) 1961.34 2. Tulisan dalam Jurnal Ilmiah Syariah yang berjudul “Batasan Usia

Perkawinan Dalam Hukum Keluarga Islam (Perbandingan Antar Negara Muslim:Turki, Pakistan, Maroko dan Indonesia)” yang tulis oleh Yulia Fatma. Tulisan ini menjelaskan mengenai batas usia nikah dalam perkawinan dengan melakukan perbandingan dibeberapa negara muslim seperti Pakistan, Turki, Indonesia dan Maroko berdasarkan undang-undang pernikahan yang berlaku dimasing-masing negara.35

3. Tulisan dalam Jurnal Ilmiah Mizani yang berjudul “Syariah dan Politik Hukum Keluarga di Pakistan” yang ditulis oleh Rohmadi. Tulisan ini menjelaskan bagaimana sejarah terbentuknya hukum keluarga di Pakistan dari awal berdirinya Negara Pakistan sampai terbentuknya Undang-Undang mengenai perkawinan Pakistan serta melakukan pembaharuan hukum untuk menjawab tantangan modernisasi dalam bidang hukum keluarga.36

4. Tulisan dalam jurnal Al-Ahwal yang berjudul “Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Negara-Negara Muslim” yang ditulis oleh Sri Wahyuni. Tulisan ini menjelaskan tentang perubahan hukum islam di negara-negara muslim terutama dalam bidang hukum keluarga terkait dengan konsep, metode dan model pembaharuannya serta aspek pembaharuan yang dilakukan.37

34 M. Atho Mudzar, “Hukum Keluarga Di Pakistan (Antara Islamisasi Dan Tekanan Adat),

Jurnal Al-„Adalah, Vol.XII, No.1 Juni 2014.

35

Yulia Fatma, “Batasan Usia Perkawinan Dalam Hukum Keluarga Islam (Perbandingan

Antar Negara Muslim: Turki, Pakistan, Maroko, Dan Indonesia), Jurnal Ilmiah Syariah, Vol. 18,

No.2, Juli-Desember 2019.

36

Rohmadi, “Syariah Dan Politik Hukum Keluarga Di Negara Pakistan”, Jurnal Ilmiah Mizani, Vol. 1, No. 2, 2014.

37 Sri Wahyuni, “Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Di Negara-Negara Muslim”, Jurnal

(30)

5. Skripsi berjudul “Akibat Hukum Perkawinan di Bawah Umur Menurut UU No. 1 Tahun 1974” yang ditulis oleh Reny Melinda. Skripsi ini menjelaskan tentang akibat hukum, dan faktor-faktor terjadinya perkawinan di bawah umur serta bagaimana solusi untuk mencegah agar perkawinan di bawah umur tidak terjadi.38

Oleh karena itu, penelitian yang akan penulis lakukan berbeda dengan penelitian-penelitian tersebut. Penulis mengambil peraturan hukum keluarga di negara Pakistan untuk dikaji, kemudian membahas mengenai ketentuan perkawinan di bawah umur serta penerapan aturannya di masyarakat. Selain itu penulis melakukan perbandingan ketentuan perkawinan di bawah umur tersebut dengan yang berlaku di Indonesia dan Fikih Mazhab.

E. Metode Penelitian

Penelitian adalah sebuah proses kegiatan yang bertujuan untuk mengetahui sesuatu secara teliti, kritis dalam mencari fakta-fakta dari sebuah masalah dengan menggunakan langkah-langkah tertentu.39 Dalam membahas masalah penelitian ini, maka diperlukan suatu metode untuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas.

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan beberapa metode dalam penulisan skripsi ini, sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat

38

Reny Melinda, “Akibat Hukum Perkawinan Di Bawah Umur Menurut UU No.1 Tahun

1974”, (Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2017).

39 Muhammad Mulyadi, “Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif Serta Pemikiran Dasar

(31)

15

diamati.40 Adapun penelitian kualitatif ini digunakan oleh peneliti untuk mencari makna, pemahaman, pengertian tentang suatu fenomena, kejadian, maupun kehidupan manusia dengan terlibat langsung atau tidak langsung terhadap yang diteliti.41 Penelitian skripsi ini dilakukan dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan bahan yang diperoleh, sehingga mendapatkan suatu kesimpulan. Tujuan dari metode penelitian kualitatif ini digunakan untuk mengambarkan secara mendalam ketentuan perkawinan di bawah umur antara Hukum Positif Indonesia dan Pakistan serta ketentuan perkawinan di bawah umur dalam hukum islam.

2. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan yuridis-normatif dan komparatif. Pendekatan yuridis-normatif yaitu pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Oleh karena itu, pendekatan ini dikenal dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini. Menurut soerjono soekanto, pendakatan yuridis normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.42

Sedangkan, pendekatan komparatif yaitu membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain atau hukum dari suatu waktu tertentu

40 Syamsir Salam dan Jaenal Aripin, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: UIN Jakarta

Press, 2006), h. 30.

41

A. Muri Yusuf, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan Penelitian Gabungan, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 328.

42 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan

(32)

dengan waktu yang lain atau membandingkan suatu putusan yang satu dengan putusan pengadilan yang lain dengan masalah yang sama.43 Dalam skripsi ini, penulis membandingkan ketentuan hukum di Pakistan dengan di Indonesia mengenai perkawinan di bawah umur.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi kepustakaan, yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.44 Berdasarkan hal tersebut, maka pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang berkaitan dengan perkawinan di bawah umur yang diatur di Pakistan dan di Indonesia serta hukum islam.

4. Sumber Data

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder.

a. Sumber Data Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan huku yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi dan risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.45 Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah undang-undang hukum perlindungan anak Negara Pakistan yaitu Child Marriage of Restraint Act 1929,

43

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan

Singkat), … , h. 13.

44

Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 3.

45 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, cetakan ketiga belas, (Jakarta:

(33)

17

Undang No.16 tahun 2019, Undang-Undang No. 23 tahun 2002 dan Kompilasi Hukum Islam.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Dan artikel serta sumber lain yang dianggap perlu untuk bahan penelitian. Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku, kamus-kamus hukum maupun jurnal-jurnal yang berkaitan dengan penelitian penulis.

5. Metode Analisis Data

Analisi data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi, catatan lapangan, dokumen, foto, dan material lainnya untuk meningkatkan pemahaman tentang data yang telah dikumpulkan sehingga dapat disajikan dan diinformasikan kepada orang lain.46 Adapun metode analisis data yang penulis gunakan adalah metode deskriptif-analitis, metode ini penulis gunakan dengan cara menganalisis data yang diteliti dengan memaparkan data-data tersebut, kemudian diperoleh kesimpulan. Penulis juga menggunakan metode berpikir deduktif yaitu analisis yang berangkat dari pengetahuan yang bersifat umum untuk mendapatkan kesimpulan khusus, dalam penelitian ini yaitu Undang-Undang No. 16 tahun 2019, Undang-Undang No.23 Tahun 2002, Child Marriage of Restraint Act 1929, Kompilasi Hukum Islam, Fikih atau buku-buku serta literatur perkawinan di bawah umur Negara Pakistan dan Indonesia yang bersifat umum dan mengambil kesimpulan yang bersifat khusus.

46 A. Muri Yusuf, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan Penelitian Gabungan,

(34)

F. Sistematika Penelitian

Penulisan penelitian skripsi ini terdiri dari 5 bab, yang masing-masing bab saling berkaitan, masing-masing bab tersebut adalah:

Bab Pertama, pendahuluan, bab ini berisi latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian terdahulu, metode penelitian dan sistematika penelitian.

Bab Kedua, berisi tentang penjelasan mengenai perkawinan di bawah umur menurut Hukum Islam dengan sub pembahasan yaitu pengertian perkawinan di bawah umur, sejarah perkawinan di bawah umur, hukum perkawinan di bawah umur, dampak dari perkawinan di bawah umur, serta faktor terjadinya perkawinan di bawah umur.

Bab Ketiga, berisi tentang penjelasan mengenai ketentuan perkawinan di bawah umur Negara Pakistan dan Indonesia.

Bab keempat, dalam bab ini penulis akan menjelaskan mengenai perbandingan perkawinan di bawah umur berdasarkan Hukum Positif Pakistan, Hukum Positif Indonesia, Hukum Islam dan disertakan dengan analisis penulis.

Bab kelima, penutup. Bab ini berisi kesimpulan hasil analisis penulis mengenai perbandingan perkawinan di bawah umur Negara Pakistan dan Indonesia serta Hukum Islam. Pada bagian ini juga dicantumkan rekomendasi atau saran-saran agar penelitian dievaluasi dan dapat dikembangkan lagi dari aspek lain.

(35)

19 BAB II

PERKAWINAN DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian Perkawinan Di Bawah Umur

Perkawinan atau pernikahan secara bahasa sama dengan kata nikah (حاكَ) atau zawaj (جأص).47 Kata nikah (حاكَ) berasal dari bahasa arab (اًحاَكَِ - حِكٌَُْ - َحَكََ) yang secara etimologi berarti جٔضتنا (menikah) dan طلاتخلإا (bercampur).48 Dalam bahasa arab, lafaz nikah berarti “bergabung” (ىض), ”hubungan kelamin” (ءطٕنا ), dan juga “akad” (ذقػ).49

Terdapat beberapa makna tentang nikah berdasarkan pendapat ulama-ulama Fikih, namun pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang signifikan kecuali pada redaksinya saja. dalam pengertian lain, secara etimologi pengertian nikah adalah 1. Ulama Hanafiyah mengartikan nikah adalah:

م ديفي دقع حاكنلا

ادصق ةعتلما كل

Nikah adalah akad yang memfaidahkan memiliki, bersenang-senang dengan

sengaja.50

2. Ulama Syafi‟iyyah menyebutkan bahwa nikah sebagai:

م نمضتي دقع حاكنلا

كل

لا

أ جيوزت وأ حاكنإ ظفلب ءطو

عم و

ن

امه

Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha‟

dengan lafaz nikah atau tazwij atau yang satu makna dengan keduanya.51

47

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat Dan

Undang-Undang Perkawinan, … , h. 35.

48

Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), h. 1461.

49 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat Dan

Undang-Undang Perkawinan, … , h. 36.

50 Syaikh Abdurrahman Juzairi, Fikih Empat Mazhab Jilid 5, (Jakarta: Pustaka

(36)

3. Ulama Malikiyyah menyebutkan bahwa nikah adalah

كنلا

ىلع دقع حا

با ذذلتلا ةعتم درمج

د

ةيم

ةنيبب اهتميق بجوم يرغ

Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk memperbolehkan watha‟, bersenag-senang dan menikmati apa yang ada

pada diri seorang wanit.52

4. Ulama Hanabilah menyebutkan bahwa nikah adalah

نإ ظفلب دقع حاكنلا

ا ةعفنم ىلع جيوزت وأ حاك

لا

متس

ا

ع

Nikah adalah akad dengan mempergunakan lafaz nikah atau tazwij guna

mendapatkan manfaat bersenang-senang.53

Dalam kompilasi Hukum Islam, pernikahan dinyatakan dalam pasal 2, yaitu “akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk mentaati perintah allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. 54

Perkawinan merupakan salah satu aspek terpenting dalan kehidupan manusia, bahkan menjadi kebutuhan dasar bagi setiap manusia normal. Tanpa perkawinan, kehidupan seseorang akan menjadi tidak sempurna dan lebih dari itu, menyalahi fitrahnya sebagai manusia. Allah SWT telah menciptakan makhluk-Nya dengan berpasang-pasangan. Berhubung dengan hal itu Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan bahwa perkawinan merupakan sunahnya, karena itu mereka melaksanakan perkawinan berarti telah mengikuti Sunnah Nabi SAW.55 Sehingga Agama Islam mengisyaratkan kepada umat manusia untuk melakukan perkawinan sebagai satu-satunya bentuk hidup secara

51 Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab Jilid 5, … , 52

Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab Jilid 5, … , h. 6.

53

Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab Jilid 5, … , h. 8.

54

Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2, … ,

55 Mardi Candra, Aspek Perlindungan Anak Indonesia (Analisis Tentang Perkawinan Di

(37)

21

berpasangan yang dibenarkan dan dianjurkan untuk dikembangkan dalam pembentukan keluarga.56

Dalam pembentuk keluarga, perkawinan dilakukan dengan serius dan banyak pertimbangan yang matang serta kesiapan mental, psikis, maupun psikologis sehingga mampu bertanggung jawab ketika dihadapkan dengan masalah keluarga, karena pada dasarnya kedewasaan jiwa suatu hal yang paling penting untuk membentuk sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah sesuai dengan tujuan perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 3.57

Mengenai perkawinan di bawah umur, hukum islam tidak menjelaskan secara spesifik penjelasan tentang perkawinan di bawah umur, sebab dalam islam tidak ditentukan secara khusus dalam usia berapa seseorang dapat melakukan perkawinan.58 Tidak adanya ketentuan agama mengenai batas umur maksimal dan minimal dalam melakukan perkawinan, diasumsikan memberi kelonggaran untuk mengaturnya.59 Sehingga Hukum Islam menyatakan bahwa seseorang yang ingin melaksanakan perkawinan disesuaikan dengan keadaan kedewasaannya seperti yang dijelaskan dalam Al-Quran surah An-Nisa‟ : 6.60 Dan Al-Quran juga mengisyaratkan bahwa bagi orang yang akan melaksanakan perkawinan haruslah yang siap dan mampu, sebagaimana dalam Firman Allah SWT dalam surat An-Nuur ayat 32:

56

Hasan Bastomi, “Pernikahan Dini Dan Dampaknya (Tinjauan Batas Umur Perkawinan

Menurut Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Indonesia)”, (Jurnal Yudisia, Vol. 7, No. 2,

Desember 2016), h. 354.

57

Khairillah, Ibnu Jazari, dan Ach. Faisol, “Pernikahan Di Bawah Umur Dalam Prespektif

Hukum Islam dan Hukum Perdata (Studi Kasus Masyarakat Sasak Desa Labuan Tereng Lombok Barat)”, (Jurnal Hikmatina, Vol. 1, No. 2, 2019), h. 132.

58 Abdi Koro, Perlindungan Anak Dibawah Umur: Dalam Perkawinan Usia Muda Dan

Perkawinan Siri, … , h. 73.

59

Hasan Bastomi, “Pernikahan Dini Dan Dampaknya (Tinjauan Batas Umur Perkawinan

Menurut Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Di Indonesia)”, … , h. 361.

60

Abdi Koro, Perlindungan Anak Dibawah Umur: Dalam Perkawinan Usia Muda Dan

(38)

ىُِِْٓغ ٌ َءۤا َشَق ف ا ْٕ َ ْٕ كٌَّ ٌِْا ْْۗى كِٕىۤاَيِا َٔ ْى كِداَثِػ ٍِْي ٍٍَْ ِحِهّٰصنا َٔ ْى كُِْي ى ٰياٌََ ْلاا إ حِكََْا َٔ

}٢٣{ ٌىٍِْهَػ ٌغِسا َٔ ّٰاللّٰ َٔ ْۗ ِّهْضَف ٍِْي ّٰاللّٰ

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberinya)

lagi Maha Mengetahui”.61

Dalam hukum islam usia dewasa dikenal dengan istilah baligh. Usia dewasa atau baligh ditentukan dengan tanda yang bersifat jasmani yaitu tanda-tanda baligh secara umum antara lain, mengeluarkan air mani bagi laki-laki dan haid bagi perempuan. Jika tanda-tanda baligh secara umum ini tidak muncul atau keterlambatan pada perkembangan jasmaninya maka periode balighnya sesuai dengan usia yang lazim seseorang mengeluarkan tanda-tanda baligh.62 Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batasan usia baligh seseorang, menurut ulama Syafi‟iyyah dan Hanabilah mengatakan usia baligh bagi seseorang lima belas tahun, dan ulama Hanafiyyah usia baligh bagi seseorang adalah 17 tahun bagi perempuan dan 18 tahun bagi laki-laki. Sedangkan menurut ulama Malikiyyah usia baligh bagi seseorang yaitu tujuh belas tahun.63

B. Sejarah Perkawinan Di Bawah Umur Dalam Islam

Sejarah telah mencatat, bahwa Aisyah dinikahi oleh Baginda Nabi SAW dalam usia sangat muda. Begitu pula perkawinan di bawah umur merupakan hal yang lumrah di kalangan para sahabatnya. Rasulullah SAW menikah dengan Aisyah pada bulan Syawal tahun kesebelas dari Nubuwah, satu tahun setelah

61

Departemen Kementerian Agama RI, “Quran Kemenang, Qs. An-Nur : 32”. 23 Desember 2020. Diakses dari https://quran.kemenag.go.id/sura/24

62

Hasan Bastomi, “Pernikahan Dini Dan Dampaknya (Tinjauan Batas Umur Perkawinan

Menurut Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Di Indonesia)”, … , h. 362.

63

Zanariah Noor, “Perkawinan Kanak-Kanak dan Tahap Minimal Umur Perkawinan

(39)

23

menikah dengan Saudah, atau dua tahun lima bulan sebelum hijrah. Beliau menikahi Aisyah ketika dia masih berusia enam tahun, dan beliau gauli dalam usia sembilan tahun, tepatnya tujuh bulan setelah berhijrah ke Madinah. Aisyah adalah seorang gadis dan beliau tidak menikahi seorang gadis kecuali Aisyah.64 Seperti yang telah dijelaskan dalam hadis riwayat Bukhari yaitu

َلاَق ، َةَكْيَلُم ِبَِا ُنْبا َلاَق

بَع ُنْبا

ا

ِحِكْنَ ي َْلَ َةَشِئ اَعِل ٍس

صلى الله عليه وسلم ُِّبِ نلا

ْكِب

ِكَرْ يَغ اًر

“Ibnu Abi Mulaikah berkata: “ Ibnu Abbas berkata kepada Aisyah: “ Nabi SAW tidaklah kawin dengan seorang gadis selain engkau”. (HR. Bukhari no.

4831).65

Pada awalnya Aisyah adalah satu-satunya istri Rasulullah yang dinikahi dalam keadaan masih gadis. Ia merupakan istri ketiga Rasulullah. Sebelumnya, istri pertama Rasulullah Khadijah wafat, Rasulullah menikahi Saudah binti Zam‟ah seorang janda berusia 30 tahun, sebelum akhirnya mempersunting Aisyah. Aisyah merupakan seorang putri dari pasangan Abu Bakar al-Siddiq dan Ummu Ruman. Jika kita telusuri hingga keatas, maka nasab Aisyah bertemu Rasulullah yaitu pada Murrah bin Ka‟ab. Dalam struktur masyarakat Quraish, Ummahatul Mukminin ini adalah Bani Taim.66

Aisyah mendapatkan julukan yaitu Humaira (pipinya yang merona). Ia adalah seorang perempuan yang memiliki sifat yang sangat baik, berkulit putih, berparas elok, bermata besar, berambut keriting, dan bertubuh langsing serta tentunya memiliki pipi yang merona dan kemerah-merahan sesuai dengan julukan beliau.67

64 Mardi Candra, Aspek Perlindungan Anak Indonesia (Analisis Tentang Perkawinan Di

Bawah Umur), … , h. 15.

65 Achmad Sunarto dkk, Terjemahan Shahih Bukhari 7, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1993),

h.12.

66 “Alasan Rasulullah Menikahi Aisyah”. 9 April 2018. Diakses dari

https://islam.nu.or.id/post/read/88535/alasan-rasulullah-menikahi-aisyah

(40)

Ketika Aisyah dinikahi oleh Rasulullah ada banyak versi terkait usia Aisyah. Ada yang menyebut usia Aisyah adalah 6 atau 7 tahun ketika dinikahi dan 9 atau 10 tahun saat diajak Rasulullah untuk tinggal satu rumah. Berdasarkan HR. Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Aisyah ra. sebagai berikut:68

اَْلْا ِنَِب ِفِ اَنْلَزَ نَ ف َةَنيِدَمْلا اَنْمِدَقَ ف ، َينِنِس ِّتِس ُتْنِب َنََأَو صلى الله عليه وسلم ِبِ نلا ِنَِج وَزَ ت

ِثِر

ٍجَرْزَخ ِنْب

يِعَمَو ٍةَحوُجْرُأ يِفَل ِّنِّإَو َناَموُر ُّمُأ يِّمُأ ِنِْتَ تَأَف ، ًةَمْيَُجُ َفََوَ ف يِرَعَش َق رَمَتَ ف ُتْكِعُوَ ف ،

ِنِْتَفَ قْوَأ تََّح يِدَيِب ْتَذَخَأَف ، ِبِ ُديِرُت اَم يِرْدَأ َلا اَهُ تْ يَ تَأَف ِبِ ْتَخَرَصَف ، ِلِ ُبِحاَوَص

َلَع

ٍءاَم ْنِم اًئْ يَش ْتَذَخَأ ُثُ ، يِسَفَ ن ُضْعَ ب َنَكَس تََّح ، ُجَهْ نَلأ ِّنِّإَو ، ِرا دلا ِبَبا ى

، ِتْيَ بْلا ِفِ ِراَصْنَلأا َنِم ٌةَوْسِن اَذِإَف ، َرا دلا ِنِْتَلَخْدَأ ُثُ ، يِسْأَرَو يِهْجَو ِهِب ْتَحَسَمَف

َ بْلاَو ِْيرَْلْا ىَلَع : َنْلُقَ ف

، ِنّْأَش ْنِم َنْحَلْصَأَف نِهْيَلِإ ِنِْتَمَلْسَأَف . ٍرِئاَط ِْيرَخ ىَلَعَو ، ِةَكَر

ِعْسِت ُتْنِب ٍذِئَمْوَ ي َنََأَو ، ِهْيَلِإ ِنِْتَمَلْسَأَف ، ىًحُض صلى الله عليه وسلم ِ للَّا ُلوُسَر لاِإ ِنِْعُرَ ي ْمَلَ ف

اورر َينِنِس

مقر ،يراخبلا

4983

،ملسمو

مقر

2311

)

“Aku dinikahi oleh Nabi SAW saat aku berusia 6 tahun. Lalu kami datang ke Madinah dan kami tinggal di Bani Harist bin Khazraj. Lalu aku menderita sakit sehingga rambutku rontok kemudian banyak lagi. Lalu ibuku, Ummu Ruman mendatangiku saat aku berada di ayunan bersama teman-temanku. Lalu dia memanggilku maka aku mendatanginya, aku tidak tahu apa yang dia inginkan. Maka dia mengajakku hingga aku tiba di depan pintu sebuah rumah. Aku

68 “Kajian Tentang Usia Aisyah ra. Saat Dinikahi Nabi SAW”. 23 April 2015. Diakses dari

https://islamqa.info/id/answers/124483/kajian-tentang-usia-aisyah-rhadiallahu-anha-saat-dinikahi-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam

(41)

25

sempat merasa khawatir, namun akhirnya jiwaku tenang. Kemudian ibuku

mengambilkan sedikit air dan mengusapkannya ke wajah dan

kepalalu.kemudian dia mengajakku masuk ke rumah tersebut. ternyata di dalamnya terdapat beberapa orang wanita kaum Anshar. Mereka berkata, “selamat dan barokah, selamat dengan kebaikan.” Lalu ibuku menyerahkanku kepada mereka dan kemudian mereka mulai merapihkan aku. Tidak ada yang mengagetkan aku kecuali kedatangan Rasulullah SAW pada waktu Dhuha. Kemudian ibuku menyerahkan aku kepadanya dan ketika itu aku berusia 9 tahun”. (HR. Bukhari, no. 3894, Muslim, no. 1422)

Pendapat lain yang didasarkan pada riwayat Abdurrahman bin Abu Abi Zannad dan Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan bahwa usia Aisyah ketika berumah tangga adalah 19 atau 20 tahun. Berdasarkan hadis riwayat A‟masy, dari Ibrahim, dari Aswad, dari Aisyah, dia berkata,69

يهو اهنع تامو ، عست تنب يهو ابه نِبو ، تس تنب يهو صلى الله عليه وسلم الله لوسر اهجوزت

مقر ،ملسم اور ر ةرشع ناثم تنب

2311

)

“Rasulullah SAW menikahinya saat dia berusia 6 tahun dan mengaulinya saat dia berusia 9 tahun. Beliau meninggal saat Aisyah berusia 18 tahun”. (HR. Muslim , no. 1422)

Ketika Rasulullah menikahi Aisyah, Rasulullah memberikan mahar sebesar 12 uqiyyah atau 400 Dirham. Sebelum utusan Rasulullah datang menanyakan kepada Abu Bakar, sahabat Muth‟im bin Adiy juga pernah menanyakan kepada Abu Bakar bahwa ia akan menikahkan Aisyah dengan anaknya yaitu Jubair.70

69

“Kajian Tentang Usia Aisyah ra. Saat Dinikahi Nabi SAW”, … ,

70

(42)

Alasan Rasulullah menikahi Aisyah, padahal Rasulullah telah menikah dengan Saudah binti Zam‟ah. Berdasarkan sebuah riwayat, Aisyah pernah mengungkapkan bahwa alasan Rasulullah menikahinya adalah “karena mimpi”. Suatu ketika, Rasulullah bermimpi didatangi oleh malaikat yang mengatakan bahwa perempuan yang dibalut kain sutra adalah istrinya, perempuan yang dibalut kain sutra tersebut adalah Aisyah yang dibawa oleh malaikat. Mimpi Rasulullah ini berulang-ulang hingga tiga kali. “jika mimpi ini dari Allah tentu Dia akan mengabulkannya” kata Rasulullah merespons ucapan malaikat. Dan akhirnya Allah mengabulkannya. Seperti yang dijelaskan dalam hadis riwayat Bukhari sebagai berikut:

ِفَ َكُلِمَْيَ ٌلُجَراَذِا ِْينَ ت رَم ِماَنَمْل ِفَ ِكُتْ يِرُأ صلى الله عليه وسلم ِالله ا ُلوُسَر لاق ْتَلاَق َةَشِئاَع ْنَع

ٍةَقَرَس

ْنِم اَذه ْنُكَي ْنِا :ُلْوُ قَاَف ، ِتْنَا َىِه اَذِاَف اَهُفِشْكَاَف َكُتَأَرْما ِ ِذَه :ُلْوُقَ يَ ف ِرْيِرَح

ِالله اِدْنِع

ِهِضُْيُ

“Dari Aisyah ra. katanya: “Rasulullah SAW bersabda: Saya diperlihatkan kepadamu di dalam tidur sebanyak dua kali, yakni ketika ada dua orang lelaki yang membawamu di dalam kain sutra curian, lalu lelaki itu berkata: “ini adalah istrimu, maka saya membukanya”. Tiba-tiba dia tadi adalah kamu. Lantas saya berkata: “jika ini dari sisi Allah, maka Allah akan

mewujudkannya”.(H.R Bukhari no 4833)71

Sebelumnya, Abu Bakar keberatan ketika Khaulah, utusan Rasulullah datang untuk melamar Aisyah karena Muth‟im sudah datang terlebih dahulu. Namun, setelah Abu Bakar mengetahui bahwa keluarga dari Muth‟im memiliki sifat yang buruk, akhirnya Abu Bakar tidak mengizinkan anak laki-laki Muth‟im

(43)

27

untuk menikahi anaknya Aisyah. Sehingga mengizinkan Rasulullah menikahi anaknya.

Dikarenakan sejarah perkawinan Nabi dengan Aisyah dan mayoritas fuqaha dari empat mazhab menfatwakan tentang kebolehan mengawini seseorang tanpa ada ketentuan batas minimal disinyalir kuat menjadi penjelasan sekaligus bertanggung jawab atas fenomena berurat-akarnya tradisi perkawinan di bawah umur di negeri-negeri yang mayoritas muslim. Dimana perkawinan Nabi SAW dengan Aisyah RA. yang masih “kanak-kanak” itu dijadikan sebagai model oleh sebagian pemeluk islam, dengan dalih meneladani perkawinan Nabi SAW dengan putri Abu Bakar itu.72 Adapun perkawinan historis Nabi SAW dengan Aisyah RA itu diposisikan sebagai suatu eksepsi (pengecualian) dan kekhususan yang mengusung tujuan dan hikmah tertentu dalam agama.73 Perkawinan tersebut bukan semata-mata karena nafsu melainkan karena petunjuk dan perintah dari Allah.

C. Hukum Perkawinan Di Bawah Umur

Tentang hukum melakukan perkawinan, beberapa fuqaha berpendapat bahwa kawin itu wajib bagi sebagian orang, sunnah untuk sebagian yang lain, dan mubah untuk yang lain, pendapat ini didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan.74 Adapun penjelasan tentang hukum pernikahan menurut pendapat para mazhab yaitu

1. Mazhab Asy-syafi‟i mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah, disamping adanya sunnah, wajib, haram dan yang makruh. Dengan demikian, seseorang boleh menikah dengan maksud untuk menikmati hubungan suami

72 Yusuf Hanafi, “Kontroversi Usia Kawin Aisyah RA Dan Kaitannya Dengan Legalitas

Perkawinan Anak Di Bawah Umur”, (Jurnal Hukum Islam, Vol. 15, No. 2, Desember 2016), h.

298.

73 Yusuf Hanafi, “Kontroversi Usia Kawin Aisyah RA Dan Kaitannya Dengan Legalitas

Perkawinan Anak Di Bawah Umur”, … , h. 312.

74

Gambar

Tabel 4.1: Perbandingan Mengenai Ketentuan Perkawinan Di  Bawah Umur dalam Fikih Syafi’i dengan Hukum Positif Indonesia  NO  Perihal  Hukum Positif Indonesia  Fikih Syafi‟i
Tabel 4.2: Perbandingan Ketentuan Mengenai Perkawinan Di  Bawah Umur Dalam Fikih Hanafi Dengan Hukum Positif Pakistan  NO  Perihal  Hukum Positif Pakistan  Fikih Hanafi
Tabel  4.3:  Perbandingan  Ketentuan  Mengenai  Perkawinan  Di  Bawah Umur Dalam Hukum Islam Dengan Indonesia dan Pakistan
Tabel 4.4: Perbandingan Ketentuan Perkawinan Di Bawah Umur  Antara Hukum Positif Indonesia Dengan Pakistan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan keseluruhan dari penelitian yang telah dilakukan, efektifitas iklan Motor Vespa Melalui Instagram di Kabupaten Bandung dengan menggunakan metode EPIC Model termasuk

Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut Uji in vitro menunjukkan adanya zona bening yang berarti esktrak bunga rosella

Adapun pendapatan rumah tangga secara rata-rata adalah Rp.397,906.54/kapita/bulan.Beberapa model penguatan kelembagaan yang dapat dikembangkan berdasarkan potensi dan

Mengingat Lamongan sendiri tidak luput dari tindak kasus pidana korupsi baik dari kalangan bawah sampai pejabat tinggi sekalipun dengan judul “Analisis Peran Guru

Indikator secara kualitatif meliputi; proses pembelajaran dengan model Problem based learning dikatakan berhasil jika sebagian siswa menunjukkan keaktifan di kelas,

Adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menjadi pedoman bagi setiap instansi dalam hal ini penyidik di kepolisian, penuntut umum di

Program bimbingan keterampilan sendiri adalah kemampuan mengerjakan sesuatu dengan baik dan dilakukan dengan cara memanfaatkan pengalaman dan pelatihan (Depdiknas,

Tujuan penelitian ini ialah menganalisis galur BC 3 F 2 padi gogo yang membawa lokus gen Alt and Pup1 secara molekuler (analisis foreground dan background) dan