• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berbagai penelitian terkait, telah dilakukan oleh peneliti-peneliti lain.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berbagai penelitian terkait, telah dilakukan oleh peneliti-peneliti lain."

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka

Berbagai penelitian terkait, telah dilakukan oleh peneliti-peneliti lain. Berikut adalah beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan, yaitu :

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Qonita (2008) dalam Sikap Politik Kiai dan Implikasinya terhadap Pilihan Politik Santri Kaliwungu dalam Pilkada Kendal Tahun 2005. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh faktor kultural dengan pimpinan agamanya yang disebut Kiai. Fenomena Kiai tidak terlepas dari fenomena santri yang pada umumnya sama-sama memegang posisi penting dalam sebuah pesantren.

Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa, sebagai tokoh sentral, Kiai ditempatkan pada posisi puncak dalam mempengaruhi santri yang masih mengusung unsur sentimen primordial (agama) dan sistem paternalistik (kebapakan). Hal ini menyebabkan para santri mengikuti segala kehendak Kiai, termasuk dalam menentukan sikap serta pilihan politik. Sementara santri, ditempatkan pada posisi yang ideologinya diakomodir menjadi sebuah kelompok atau organisasi dan memiliki pegaruh besar dalam kehidupan bermasyarakat. Kondisi ini menyebabkan para santri dapat dengan mudah mempengaruhi pilihan politik masyarakat, khususnya masyarakat yang notabene tergolong masyarakat

(2)

religius dan tradisional. Posisi tersebut dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan dalam upaya meraih kekuasaan dengan memperoleh suara terbanyak. Sikap politik Kiai berimplikasi pada pilihan politik santri terhadap kandidat yang menjadi sasaran dalam Pilkada Kendal tahun 2005. Hal ini menjabarkan bahwa, fenomena politik santri dalam kehidupan demokratis masih sangat kuat dan dilaksanakan secara turun temurun dalam suatu pesantren.

Kedua adalah penelitian yang dilakukan Sholikin (2015) dalam Deviasi Sikap Politiki Elektoral Muhammadiyah Antara Pusat dan Daerah (Studi Kasus Sikap Politik Elit Muhammadiyah pada Pilihan Presiden 2014 dan Pilkada 2010 di Sleman dan Maros) yang melatar belakangi penelitian adalah dari segi organisator dengan melihat Muhammadiyah sebagai organisasi yang tidak terikat oleh unsur-unsur politik.

Pada level nasional, Muhammadiyah menyatakan diri sebagai organisasi netral menyangkut politik elektoral. Sementara pada level daerah, cendrung melakukan dukungan formal terhadap kandidat Muhammadiyah dalam penyelenggaraan Pilkada. Fenomena ini sangat mengancam kader dari Muhammadiyah dan mendapat teguran dari pimpinan organisasi Muhammadiyah. Dalam konteks civil society, organisasi Muhammadiyah berpengaruh dalam upaya konsolidasi demokrasi dan terpresentasi oleh pimpinan daerah Muhammadiyah. Apabila organisasi Muhammadiyah mengambil peran pada politik elektoral tanpa melihat fungsinya dari segi organisator sebagai organisasi sosial keagamaan. Maka, berimplikasi pada pilihan politik organisasi Muhammadiyah dalam proses politik elektoral yang berada pada kondisi terkekang dan sistem demokratis tidak

(3)

berjalan seutuhnya. Skripsi ini meneliti tentang bagaimana sikap netralitas organisasi Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan dalam proses politik elektoral.

Ketiga adalah penelitian yang dilakukan Sumaji (2016) dalam Sikap Politik Elit Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama di Surakarta tentang Pemilihan Presiden Secara Langsung (Sebuah Studi Komparatif). Latar belakang dalam penelitian ini mengenai faktor kepentingan elit dan pola gerakan organisasi terkait Pemilihan Presiden yang diselenggarakan melalui pemilihan langsung.

Mekanisme pemilihan langsung dalam Pemilihan Presiden menjadi suatu proses yang sarat dengan ragam kepentingan dari berbagai pihak. Elit Muhammadiyah dan Nuahdlatul Ulama (NU) dalam penelitian ini berkecimpung dalam politik praktis dan mengalami kesenjangan antara kepentingan elit Muhammadiyah dan Nuahdlatul Ulama (NU) dengan kebijakan organisasi yang tidak terjun dalam politik praktis. Arah politik dalam tubuh Muhammadiyah dan Nuahdlatul Ulama (NU) sejalan dengan laju gerakan organisasinya. Dalam hal ini, baik organisasi Muhammadiyah dan Nuahdlatul Ulama (NU) sama-sama mengusung gerakan dakwah dan jauh dari unsur politik praktis. Disisi lain, kebebasan untuk terjun dalam politik dibebaskan mengingat unsur individual oleh elit Muhammadiyah dan Nuahdlatul Ulama (NU) dalam berpolitik praktis. Ini berimbas pada ragam kemunculan sikap dalam diselenggarakannya Pemilihan Presiden. Skripsi ini bertujuan untuk mengungkapkan sikap politik elit Muhammadiyah Nuahdlatul Ulama (NU) di Surakarta tentang pemilihan langsung dalam Pemilihan Presiden.

(4)

Ketiga penelitian diatas menunjukkan adanya kesamaan dari masing-masing penelitian yaitu sama-sama mengkaji tentang sikap politik dan yang membedakannya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Qonita (2008) menegaskan bahwa peran serta pengaruh kultur menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap politik suatu organisasi. Sementara, penelitian yang dilakukan oleh Sholikin (2015) mengemukakan bahwa faktor organisator dalam melihat fungsinya mampu memberi pengaruh bagi organisasi dalam menentukan sikap politiknya. Disisi lain, penelitian Sumaji (2016) mengamati faktor kepentingan elit dan pola gerakan organisasi sebagai alasan untuk menjawab sikap politik dalam sebuah ajang perebutan kekuasaan yang menggunakan mekanisme pemilihan langsung.

Dari ketiga penelitian yang telah dilakukan tersebut, dapat dilihat bahwa penelitian tentang fenomena politik soroh terhadap sikap politik organisasi dalam Pilkada Serentak Kabupaten Karangasem tahun 2015 dengan tiga penelitian sebelumnya sama-sama mengkaji tentang sikap politik dengan dipengaruhi faktor kultur, faktor organisator, faktor kepentingan elit dan pola gerakan organisasi. Begitu pula dengan sikap politik dalam Pilkada Kabupaten Karangasem yang melibatkan soroh dan organisasi Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) agar mampu membentuk sikap politik yang dimanfaatkan kehadirannya oleh kandidat untuk mencapai kesuksesan. Bagaimana sikap politik organisasi dijalankan demi menentukan sikap politik organisasi yang sesuai dari segi organisatornya, pola gerakan organisasi dan tradisi (kultur) masing-masing, serta tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam menentukan sikap politik organisasi akan

(5)

menuai suatu bentuk perselisihan kepentingan yang berbeda-beda dari masing-masing pihak.

Bagaimana pengaruh politik yang ada, melihat eksistenti soroh dalam organisasi Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) disadari potensial sebagai salah satu faktor pendukung kesuksesan dalam Pilkada Karangasem 2015. Persaingan kandidat yang ingin meraih kesuksesan dengan memperoleh suara terbanyak mendorong masing-masing kandidat berupaya untuk menarik simpati dari masyarakat, khususnya masyarakat yang berada dalam satu garis keturunan (soroh) yang sama. Walaupun secara keseluruhan memiliki tujuan yang sama yaitu ingin meningkatkan serta mempererat tali persaudaraan antara keturunan yang sama dan mengajegkan tradisi yang telah diwariskan secara turun temurun sebagai suatu wujud bhakti kepada leluhur dalam suatu keturunan.

Melihat penelitian-penelitian yang telah dilakukan terdahulu mengenai sikap politik dalam Pemilihan Kepala Daerah maupun Pemilihan Presiden dibeberapa daerah tersebut. Penelitian mengenai fenomena politik soroh terhadap sikap politik organisasi Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) di Kabupaten Karangasem, menjadi penelitian pertama dan belum pernah dilakukan sebelumnya, sehingga penelitian ini menjadi penelitian yang berbeda dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.

(6)

2.2. Kerangka Konseptual

Penelitian ini, membahas tentang fenomena politik soroh terhadap sikap politik organisasi Maha Gota Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) dalam Pilkada Serentak Kabupaten Karangasem tahun 2015. Untuk mengkaji permasalahan dan mempermudah dalam proses penelitian tersebut, maka akan dijabarkan beberapa kerangka konseptual dan landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Teori yang digunakan untuk meneliti permasalahan dalam penelitian ini adalah Teori Dramatugi yang dicetuskan oleh Erving Goffman, berikut adalah penjabaran dari teori ini :

2.2.1 Teori Dramatugi

Teori Dramaturgi menguraikan konsep dramatugi sebagai konsep yang bersifat penampilan teateris. Para ahli mengemukakan bahwa teori ini berada di antara tradisi interaksi dan fenomenologi (Sukidin dan Basrow, 2002:103). Teori ini dicetuskan oleh Erving Goffman, yang merupakan perluasan dari teori interaksi simbolik. Hal ini dikarenakan teori interaksi simbolik dinilai kurang melengkapi fenomena sosial yang telah berlangsung yaitu fenomena antara performance dan kenyataannya yang tidak sama. Disamping itu, teori dramaturgi dikembangkan untuk melengkapi penjelasan terkait tindakan sosial (sikap), sebab teori interaksi simbolik yang meyakini adanya simbol-simbol tertentu kurang mampu menjelaskan fenomena dramaturgi yang telah berlangsung dalam kehidupan sosial (Syam, 2010:177).

Interaksi simbolik melihat simbol sebagai objek yang digunakan sebagai pegangan suatu individu, kelompok atau organisasi untuk merepresentasikan

(7)

suatu hal. Keberadaan simbol tersebut dinilai dapat meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan kendala yang ada dan dijadikan sebagai suatu hal yang dapat memperkuat, menggolongkan serta menyatakan suatu hal.

Dari teori interaksi simbolik tersebut kemudian menginspirasi Goffman untuk mengembangkan teori dramaturgi. Tujuannya adalah untuk mempengaruhi ragam interaksi dalam suatu kehidupan sosial. Goffman menekankan bahwa saat berlangsungnya sebuah interaksi, terdapat suatu pesan yang ingin disampaikan. Dalam teori ini, kehidupan sosial diibaratkan dengan kehidupan panggung teateris dan dibagi menjadi dua bagian yaitu wilayah depan (front region) dan wilayah belakang (back region).

Wilayah depan (front region) merupakan panggung depan teateris yang befungsi untuk menunjukkan peran individu, kelompok atau organisasi dalam kehidupan politik dengan merujuk pada sifat formalnya. Goffman menguraikan bahwa panggung depan ini mengandung unsur struktural yang terlembagakan, sehingga tujuan akhir dari pertunjukkan ini adalah untuk kepentingan individu, kelompok maupun organisasi tersebut. Pada umumnya, wilayah depan merujuk pada suatu kehidupan sosial individu, kelompok, organisasi yang ditunjukkan kehadapan khalayak umum. Hal ini berarti, terdapat suatu keterbatasan peran yang ditunjukkan guna mencapai tujuan dari kesepakatan bersama.

Goffman kembali membagi wilayah depan (front region) menjadi dua bagian yaitu :

1. Wilayah pribadi (personal front) yaitu mendukung wilayah depan (front region) yang terepresentasi melalui

(8)

peralatan-peralatan yang dinilai penting dan mampu menjadi peralatan-peralatan yang dibawa oleh individu, kelompok maupun organisasi tertentu sehinga mampu untuk menjadi sarana dalam mencapai tujuan. Hal ini dapat dicontohkan melalui pakaian yang dikenakan, tutur kata, bahasa verbal maupun bahasa tubuh, intonasi dan lain-lain.

2. Setting merupakan situasi fisik dan bersifat nyata yang harus ada dalam pertunjukkan dari individu, kelompok maupun organisasi. Setting diwujudkan melalui tokoh, figur atau orang-orang yang berpengaruh dalam upaya mencapai suatu tjuan.

Wilayah belakang (back region) dalam teori dramaturgi merupakan panggung belakang teateris yang berfungsi untuk menunjukkan kesiapan individu, kelompok atau organisasi dalam merepresentasikan suatu pesan dalam kehidupan politik. Wilayah belakang ini cendrung menunjukkan unsur yang bersifat bebas (informal), sehingga membebaskan diri dari suatu peran sosial namun tidak terlepas dari identitas asli. Wilayah belakang juga dipengaruhi oleh dorongan dari perasaan emosional serta identitas sosial dalam merepresentasikan suatu pesan dalam kehidupan politik tersebut.

Pilkada Karangasem dan organisasi Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) jika dilihat dari penjelasan diatas memiliki keterkaitan mengenai kelangsungan Pilkada Serentak Kabupaten Karangasem tahun 2015 sebagai panggung teateris dalam mempertunjukkan perannya sebagai suatu organisasi. Organisasi Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) sebagai wadah warga

(9)

Pasek, dalam hal ini dilihat sebagai organisasi berbasis kekerabatan yang memfatwakan dirinya sebagai organisasi non-politik. Pada fenomenanya warga Pasek dengan mengatasnamakan soroh tersebut mendukung kandidat dengan latar belakang keturunan (trah) yang sama. Lebih jauh, keberadaan soroh turut dimanfaatkan oleh kandidat untuk menunjukkan identitasnya kehadapan khalayak umum. Tujuannnya adalah untuk menarik simpati warga Pasek sehingga mampu memperoleh dukungan serta suara dalam Pilkada. Hal inipun terwujud dengan adanya respon emosional warga yang berlatar belakang soroh Pasek yang melontarkan dukungan kepada kandidat yang juga merupakan keturunan soroh Pasek dan menjadi penjabaran dari pesan yan ingin disampaikan pada panggung wilayah depan.

Fenomena serupa ditentukan dalam Pilkada Serentak Kabupaten Karangasem tahun 2015 yang diperankan oleh organisasi Maha Gotra Pasek Sanak Sapt Rsi (MGPSSR). Peran formal MGPSSR sebagai organisasi ngayah dan memiliki keterikatan untuk menjalin hubungan kekerabatan antar keturunan terebut juga terlihat mempersiapkan diri untuk mendukung kandidat pilihannya. Organisasi Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) dalam Pilkada Serentak Kabupaten Karangasem tahun 2015 inilah yang pada akhirnya memiliki peran dan fungsi yang nantinya mampu mengisi ruang-ruang yang ada pada masing-masing wilayah baik wilayah dalam teori ini, baik wilayah depan (front region) yaitu wilayah pribadi dan setting maupun wilayah belakang (back region) dari teori dramaturgi cetusan Erving Goffman tersebut..

(10)

2.2.2 Sikap Politik

Secara umum, sikap politik lebih dikenal dengan istilah Political Attitude. Gerber, Huber, Doherty dan Downling dalam penelitiannya Personality and Political Attitudes: Relationships across Issue Domains and Political Contexts (Vol. 104, Feb, 2010) menegaskan sikap politik sebagai kecendrungan suatu psikologis yang harus dilihat sebagai karakteristik adaptasi dari hasil sifat disposisional.

Christense (2003:12) menyebutkan bahwa sikap politik diperiksa dan dianalisis mencakup tentang organisasi. Dalam organisasi terdapat kekhasan sosial yang menjadi perhatian dalam pembentukan sikap organisasi dari organisasi tersebut. Kekhasan sosial yang dimaksud dalam hal ini adalah faktor ikatan sosial dan dalam menetukan sikap politik organisasi, mereka lebih mengutamakan ikatan sosial karena faktor ini menyangkut solidaritas dan loyalitas anggota dari suatu organisasi yang memiliki kesamaan ikatan sosial.

Lebih lanjut, Christensen dan Laegreid (1998) dalam Christense (2003:13) menyebutkan set kedua dalam sikap politik meliputi “sikap tradisi”. Faktor pendekatan tradisional (sikap tradisi) lebih menekankan pada aspek-aspek yang berhubungan dengan kepercayaan dan norma-norma yang berlaku sebagai tradisi. Tradisi yang dimaksud dalam hal ini adalah kepercayaan masyarakat Bali terhadap leluhur berdasarkan pada satu garis keturunan yang sama (soroh) dan bersifat kebapakan (patrilineal). Hal senada diungkapkan oleh Qonita (2008) yang menyimpulkan sistem klasik atau tradisional dalam santri sangat mempercayai Kiai dan menuruti kehendaknya secara turun temurun. Hal ini menandakan bahwa

(11)

pendekatan tradisional (tradisi) mempengaruhi suatu kelompok dalam menentukan suatu hal, termasuk dalam menetukan sikap politik.

Keterkaitan penjelasan diatas dengan penelitian ini mengenai organisasi Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) yang merupakan suatu organisasi dengan kekhasan sosialnya yaitu soroh. Pada umunya, organisasi MGPSSR dan soroh saling berkaitan dan terikat oleh hukum kawitan (hukum kepada leluhur) dalam mewujudkan bhakti kepada Ida Bhatara Kawitan (leluhur), maka antar keturunan yang berada dalam satu garis keturunan (trah) wajib hukumnya untuk menjaga hubungan kekerabatannya agar tetap ajeg. Fenomena ini dilihat sebagai suatu tradisi, yang hingga kini masih dipercayai dan sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam organisasi MGPSSR dalam menjaga hubungan kekerabatan antar satu keturunan yang berada dalamsatu garis keturunan (trah) yang sama. Sikap tradisi masyarakat Bali ini, tak terkecuali berkenaan dengan kehidupan politik masyarakat di Kabupaten Karangasem khususnya dalam Pilkada Serentak Kabupaten Karangasem tahun 2015.

2.2.3 Keterkaitan Soroh, Organisasi Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi dan Politik

Leo Howe (2006:118) mengatakan bahwa di Bali, istilah soroh digunakan untuk menunjukan adanya perbedaan antar kelompok masyarakat. Perbedaan antar kelompok masyarakat tersebut terbentuk berdasarkan pada garis keturunan

(12)

yang bersifat kebapakan (patrileneal). Soroh pada intinya merupakan kelompok kekerabatan umat Hindu di Bali yang merujuk pada garis keturunan (klan).

Dalam tesis yang ditulis oleh Pitana (1997) dengan judul In Search of Difference mempertimbangkan tentang konsep kelompok asal merupakan konsep yang tepat untuk memahami ikatan masyarakat di Bali. Geertz dan Geertz (1977:62) mengemukakan kelompok kekerabatan yang terikat oleh unsur kekeluargaan dan keturunan tersebut terorganisir sepenuhnya oleh kelompok. Hal tersebut diperkuat oleh Pitana (1997) yang menyatakan bahwa dalam menyelaraskan sikap dari seluruh warga dalam satu kelompok, masyarakat Bali mengupayakannya dengan menjunjung tinggi nilai solidaritas dalam kelompok tersebut.

Dalam penelitiannya, Pitana mengatakan bahwa keturunan soroh Pasek yang tergabung dalam organisasi Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) memiliki pengaruh besar dalam mempengaruhi semetonnya. Eksistensi soroh sebagai ikatan sosial dalam masyarakat Bali, dewasa ini berperan penting dalam mempengaruhi aktivitas sosial politik termasuk dalam proses pembentukan sikap politik organisasi.

Keterkaitan penjelasan diatas dengan penelitian ini adalah mengenai soroh yang keberadaanya dilihat sebagai suatu kekhasan sosial dalam masyarakat umat Hindu dan merupakan pegangan serta identitas asli dari suatu keturunan. MGPSSR dalam mewadahi semeton soroh Pasek selain digunakan untuk menggerakkan masa juga memliki nilai ikat sehingga dalam dunia politik, keberadaannya menjadi salah satu faktor penting untuk meraih kesuksesan.

(13)

2.2.4 Posisi Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) dengan demokrasi

Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) dalam demokrasi dilihat sebagai organisasi non pemerintah (NGO), berada dalam sektor sukarela (volutary) dan tidak berorientasi terhadap politik. NGO berkaitan dengan konsep civil society, yang dalam hal ini mencakup institusi-institusi non pemerintahan dan diwujudkan melalui organisasi. Hal ini diperkuat oleh Suharko dalam penelitiannya NGO’s Goverment and Promotion of Democratic Governence in the Post-New Order Indonesia (Agu, 2003) yang menekankan NGO pada umumnya tidak termasuk dalam bagian partai politik dan dibentuk oleh individu maupun kelompok masyarakat yang khususnya berbasis organisasi keagamaan dan mengambil bentuk hukum organisasi.

NGO berperan sebagai petunjuk mengenai asal usul atau orientasi suatu organisasi. Organisasi yang dimaksud dalam hal ini bercorak keagamaan, kekerabatan, sosial, kepercayaan, kesamaan dan bukan merupakan bagian dari suprasturuktur politik. NGO tidak memiliki kewenangan untuk terjun dalam urusan politik, seperti yang tertera dalam pasal 7 Undang-Udang No.17 Tahun 2013 yakni “Ormas menjalankan bidang kegiatan sesuai dengan AD/ART yang dimiliki dimana bidang kegiatan tersebut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) baik sifat, tujuan dan fungsi Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6”.

Hal tersebut berarti, peran NGO lebih mengarah sebagai bagain dari infrastruktur politik, yang lebih dikenal dengan sebutan the socio political sphere.

(14)

Berbeda dengan the goverment political sphere yang dilihat sebagai suprasturktur yaitu turun terjun dalam aktivitas politik. Faktor ini mengemukakan suasana kehidupan politik di tingkat masyarakat dan fungsinya sebagai pengawas terhadap jalannya aktivitas politik. Hal senada dinyatakan oleh Diamond (1999) dalam Suharko (2003:209) yang mengasumsikan NGO memiliki peran penting dalam konsolidasi demokrasi melalui pengawasan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, pencegahan rezim otoriter, dorongan kepada warga untuk meningkatkan partisipasi serta pengawasan atas negara, pendidikan kewarganegaraan, dimensi fundamental sehingga memberdayakan warga dalam mengejar kebutuhan kolektif dan mempertahankan nilai-nilai kepentingan.

Keterkaitan penjelasan tersebut dengan penelitian ini mengenai posisi NGO dalam demokrasi yang diwakili oleh organisasi MGPSSR (Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi) dan melihat the sosio political sphere sebagai suasana kehidupan yang tidak berpolitik serta melihat the govermenet politicas sphere sebagai suasana kehidupan yang berpolitik. Hal ini sangat mempengaruhi bagaimana organisasi tersebut menentukan sikap politik organisasinya yang pada umumnya merupakan organisasi berbasis kekerabatan dan terbebas dari unsur-unsur politik (the socio political sphere) namun warga Pasek dalam Pilkada Karangasem tahun 2015 mencermikan dirinya terjun dalam dunia politik dengan melontarkan dukungannya kepada salah satu kandidat. Hal ini mengarah pada sikap politik organisasi Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi yang merupakan paguyuban dari semeton soroh Pasek ini.

(15)

2.3 Kerangka Alur Berfikir

Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian

Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR di Kab. Karangasem) Front Region : 1. Personal Front 2. Setting

(Tidak berpolitik praktis)

Back Region (Berpolitik praktis) Pilkada Soroh (Soroh Pasek) Politik Soroh Modal Dukungan

(16)

Hasil bagan penulisan diatas dimulai dari soroh yakni soroh Pasek yang merupakan ikatan sosial dalam paguyuban masyarakat umat Hindu di Bali yang merujuk pada satu garis keturunan yang sama (soroh Pasek). Keberadaan soroh Pasek ditengah masyarakat mengalami perkembangan serta pengaruh yang besar, disamping masyarakatnya yang memang menjadikan soroh sebagai suatu pegangan dan pedoman dalam menjaga hubungan kekerabatan antar semetonnya.

Soroh Pasek memiliki paguyuban yang dikenal dengan sebutan MGPSSR (Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi). Terlihat bahwa fungsi MGPSSR di Kabupaten Karangasem adalah sebagai organisasi berbasis kekerabatan, tidak memiliki kepentingan dalam segala urusan dalam berpolitik praktis. Disamping memang organisasi ini memiliki keterikatan yang erat dalam menjalin hubungan kekerabatan secara lahir dan batin oleh semetonnya.

Eksistensi soroh Pasek sebagai pedoman masyarakat dalam menjalin hubungan kekerabatan dan MGPSSR sebagai organisasi tertua yang mengayomi jumlah semeton terbanyak serta diakui keberadaanya menjadi alasan soroh Pasek dalam paguyuban MGPSSR menjadi salah satu faktor penting dalam mencapai kesuksesan. Hal ini disadari potensial oleh kelompok kepentingan demi memenangkan ajang pemilihan tingkat lokal dengan memperoleh suara terbanyak dari semeton Pasek tersebut.

Pengaruh soroh nampak terlihat dalam Pilkada Karagasem yang kian berbau politik praktis. Didukung dengan respon emosional warga Pasek yang melontarkan dukungan kepada kandidat. Hal ini mengarah pada sikap politik

(17)

organisasi MGPSSR yang secara formal memiliki fungsi untuk ngayah dan tidak terlibat oleh segala urusan politik namun memiliki kewajiban untuk menjaga hubungan kekerabatan. Disamping itu, MGPSSR terlihat berpolitik praktis didukung oleh peran ketua MGPSSR itu sendiri yang terlihat aktif dalam aktifitas politik salah satu kandidat.

Iklim politik soroh dalam fenomena politik tingkat lokal tersebut, menjadi ajang perebutan kekuasaan yang menyoroti soroh turut berperan dan dijadikan simbol antar kandidat yang memiliki kesamaan latar belakang. Hal ini terlihat seperti soroh merupakan sebuah pegangan dalam perebutan kekuasaan tersebut. Tujuannya adalah memanfaatkan keberadaan soroh sebagai modal dan menjadi jalan bagi kandidat untuk meraih kemenangan melalui dukungan terbanyak.

Fenomena tersebut menarik perhatian penulis untuk mengetahui beberapa hal terkait politik soroh dalam Pilkada tersebut. Adapun hal yang ingin diketahui penulis adalah bagaimana fenomena politik soroh terhadap sikap politik organisasi MGPSSR dalam Pilkada Serentak Kabupaten Karangasem tahun 2015.

Referensi

Dokumen terkait

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Tri Tunggal Maha Kudus, Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus karena atas berkat, hikmat dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 merupakan riset kedua yang mengumpulkan data dasar dan indikator kesehatan setelah tahun 2007 yang merepresentasikan gambaran

Taman Nasional Way Kambas memiliki satu spektrum ekosistem yang besar, di dalamnya dapat ditemukan formasi-formasi hutan seperti hutan bakau, hutan pantai, vegetasi riparian,

No Judul Jenis Karya Penyelenggara/ Penerbit/Jurnal Tanggal/ Tahun Ketua/ Anggota Tim Sumber Dana Keterangan 1 NA NA NA NA NA NA NA GL. KEGIATAN

Semakin jauh jarak pelanggan dari sentral, maka akan semakin kecil nilai SNR (Signal to Noise Ratio) yang dihasilkan. Hal ini membuktikan bahwa jarak berbanding

1) Para migran cenderung memilih tempat tinggal terdekat dengan daerah tujuan.. 2) Faktor yang paling dominan yang mempengaruhi seseorang untuk bermigrasi adalah

dalam rangkaian acara yang digelar hingga 12 Februari ini juga terdapat prosesi pengangkatan jabatan yang dilakukan langsung oleh Dirut Sumber Daya Manusia

(1) Laporan Kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) disampaikan kepada atasan masing-masing secara berjenjang dan sesuai dengan format dan jadwal yang telah