• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. Dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA RI) Nomor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. Dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA RI) Nomor"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP KONTRAK DALAM PENGIKATAN PERJANJIAN ASURANSI SYARIAH DALAM PER - UNDANG - UNDANGAN PERASURANSIAN SYARIAH DI INDONESIA DAN PENERAPAN

PRINSIP - PRINSIP KONTRAK DALAM PENGIKATAN PERJANJIAN ASURANSI TAKAFUL

A. Tinjauan Umum Mengenai Konsep Kontrak Dalam Pengikatan Perjanjian Asuransi Syariah Dalam Per-Undang-Undangan Perasuransian Syariah Di Indonesia

Dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA RI) Nomor : 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah Usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorangan, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial menurut prinsip syariah.74

Di dalam PERMA RI tersebut, pengaturan tentang akad (kontrak) tercantum di dalam BUKU II. Dalam Kompilasi ini, yang dimaksud dengan akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu (Bab I (Ketentuan Umum) Pasal 20 angka (1) PERMA RI). Lebih lanjut mengenai pengaturan PERMA RI tersebut yang berkaitan dengan akad terdapat di dalam Bab II yaitu mengenai Asas Akad dan

74

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA RI) Nomor : 02 Tahun 2008, Tentang

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI), 2008.

(2)

yang terdapat di dalam Bab III yaitu mengenai Rukun, Syarat, Kategori, ‘Aib, Akibat, dan Penafsiran Akad.

Dalam fikih Islam lafal akad berasal dari lafal Arab Al-‘aqad yang berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq). Secara terminologi fikih, akad didefenisikan dengan : “Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul

(pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan”.

Pencantuman kalimat yang sesuai dengan kehendak syariat maksudnya adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh 2 (dua) pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain. Sedangkan pencantuman kalimat “berpengaruh pada obyek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari suatu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak yang lain (yang menyatakan qabul).75

Mustafa Ahmad az-Zarqa’ pakar fiqih Jordania asal Syiria, menyatakan bahwa tindakan (action) hukum yang dilakukan manusia terdiri atas 2 (dua) bentuk, yaitu :76

1. Tindakan (action) berupa perbuatan 2. Tindakan (action) berupa perkataan.

75

M. Hasballah Thaib, Hukum Aqad (Kontrak) Dalam Fiqih Islam Dan Praktek Di Bank Sistem

Syariah, Konsentrasi Hukum Islam, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,

Medan, 2005, halaman. 1.

76

(3)

Tindakan yang berupa perkataan pun terbagi 2 (dua) yaitu, yang bersifat akad dan yang bersifat non akad. Tindakan berupa perkataan yang bersifat akad terdiri atas 2 (dua) atau beberapa pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian. Sedangkan tindakan berupa perkataan yang tidak bersifat akad terbagi lagi kepada 2 (dua) macam, yaitu :77

a. Yang mengandung kehendak pemilik untuk menetapkan atau melimpahkan hak, membatalkannya, atau menggugurkannya, seperti wakaf, hibah, dan talak. Akad seperti ini tidak memerlukan qabul, sekalipun tindakan hukum seperti ini, menurut sebagian ulama fikih termasuk akad. Ulama hanafiyah mengatakan bahwa tindakan hukum seperti ini hanya mengingat pihak yang melakukan ijab. b. Yang tidak mengandung kehendak pihak yang menetapkan atau menggugurkan

suatu pihak, tetapi perkataannya itu memunculkan suatu tindakan hukum, seperti gugatan yang diajukan kepada hukum dan pengakuan seseorang di depan hakim. Tindakan-tindakan seperti ini berakibat timbulnya suatu ikatan secara hukum, tetapi sifatnya tidak mengikat. Oleh sebab itu, para ulama fikih menetapkan bahwa tindakan seperti itu tidak mengikat siapapun.

Berdasarkan pembagian tindakan hukum manusia di atas, menurut Mustafa az-Zarqa’, suatu tindakan hukum lebih umum dari akad. Setiap akad dikatakan sebagai tindakan hukum dari 2 (dua) atau beberapa pihak, tetapi sebaliknya setiap tindakan hukum tidak bisa disebut sebagai akad. Lebih lanjut az-Zarqa’ menyatakan bahwa dalam pandangan syara’ suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh 2 (dua) atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati. Oleh sebab itu, untuk menyatakan kehendak masing-masing harus diungkapkan dalam suatu pernyataan. Pernyataan pihak-pihak yang berakad itu disebut dengan ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan pertama yang dikemukakan

77

(4)

oleh salah satu pihak, yang mengandung keinginannya secara pasti untuk mengikatkan diri. Sedangkan qabul adalah pernyataan pihak lain setelah ijab yang menunjukkan persetujuannya untuk mengikatkan diri. Atas dasar ini, setiap pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang ingin mengikatkan diri dalam suatu akad disebut dengan mujib (pelaku ijab) dan setiap pernyataan kedua yang diungkapkan oleh pihak lain setelah ijab disebut dengan qabil (pelaku qabul) tanpa membedakan antara pihak mana yang memulai pernyataan pertama itu. Misalnya dalam akad jual beli, jika pernyataan untuk melakukan jual beli datangnya dari penjual, maka penjual disebut dengan mujib sedangkan pembeli disebut dengan

qabil. Pernyataan ijab tidak selalu datangnya dari pembeli, melainkan boleh juga dari

penjual. Apabila ijab dan qabul telah memenuhi syarat-syaratnya, sesuai dengan ketentuan syara’, maka terjadilah perikatan antara pihak-pihak yang melakukan ijab dan qabul, dan muncullah segala akibat hukum dari akad yang disepakati itu. Dalam akad jual beli, misalnya akibatnya adalah berpindahnya pemilikan barang dari penjual kepada pembeli dan penjual berhak menerima harga barang. Dalam akad ar-rahn (jaminan hutang) misalnya, pihak penerima jaminan berhak untuk menguasai barang jaminan marhun) sebagai jaminan hutang dan pihak yang menjamin barang

(al-rahin) berkewajiban melunasi hutangnya. Ijab dan qabul ini dalam istilah fikih

(5)

Unsur-unsur sahnya akad (kontrak) dalam fikih Islam, terdapat perbedaan pendapat para ulama fikih dalam menentukan rukun akad terdiri atas :

1. Pernyataan untuk mengikatkan diri (shigat al-‘aqad). 2. Pihak-pihak yang berakad (al-muta ‘aqidain).

3. Obyek akad (al-ma’qud ‘alaihi).

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad itu hanya satu, yaitu shigat

al-‘aqad (ijab dan qabul), sedangkan pihak-pihak yang berakad dan obyek akad,

menurut mereka tidak termasuk rukun akad, tetapi termasuk syarat-syarat akad, karena menurut mereka, yang dikatakan rukun itu adalah suatu esensi yang berada dalam akad itu sendiri, sedangkan pihak-pihak yang berakad dan obyek berada di luar esensi akad. Shigat al-‘aqad merupakan rukun akad yang terpenting, karena melalui pernyataan inilah diketahui maksud setiap pihak yang melakukan akad. Shigat

al-‘aqad ini diwujudkan melalui ijab dan qabul.

Dalam kaitannya dengan ijab dan qabul ini, para ulama fikih mensyaratkan : a. Tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu harus jelas, sehingga dapat

dipahami jenis akad yang dikehendaki, karena akad-akad itu sendiri berbeda dalam sasaran dan hukumnya.

b. Antara ijab dan qabul terdapat kesesuaian.

c. Pernyataan ijab dan qabul itu mengacu kepada suatu kehendak masing-masing pihak secara pasti, tidak ragu-ragu.

(6)

Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa’, suatu akad telah sempurna apabila ijab dan qabul telah memenuhi syarat. Akan tetapi, ada juga akad-akad tertentu yang baru sempurna apabila telah dilakukan serah terima obyek akad, tidak cukup hanya dengan

ijab dan qabul saja. Akad serah terima ini disebut dengan al-‘uqud al-‘ainiyyah.

Akad seperti ini ada 5 (lima) macam, yaitu : 1) al-hibah, 2) al-‘ariyah (pinjam meminjam), 3) al-wadhi’ah, 4) al-qiradh (perserikatan dalam modal dan disebut juga dengan al-mudharabah), dan 5) ar-rahn (jaminan hutang). Untuk akad-akad seperti ini, menurut para ulama fikih, disyaratkan bahwa barang itu harus diserahkan kepada pihak yang berhak dan dikuasainya dengan sepenuhnya. Semata-mata ijab dan qabul dalam kelima macam akad di atas belum menimbulkan akibat hukum apapun.78

Syarat-syarat umum suatu akad (kontrak) dalam fikih Islam, para ulama fikih menetapkan beberapa syarat umum yang harus dipenuhi oleh suatu akad. Disamping itu, setiap akad juga memiliki syarat khusus. Akad jual beli memiliki syarat-syarat tersendiri, sedangkan akad al-wadhi‘ah, al-hibah, dan al-ijarah (sewa-menyewa) demikian juga. Adapun syarat-syarat umum suatu akad itu adalah :79

1. Pihak-pihak yang melakukan akad itu telah cakap bertindak hukum (mukallaf) atau obyek akad itu merupakan milik orang yang tidak atau belum cakap bertindak hukum, maka harus dilakukan oleh walinya. Oleh sebab itu, suatu akad yang dilakukan orang gila dan anak kecil yang belum mumayiz secara langsung, hukumnya tidak sah. Tetapi jika dilakukan oleh orang tua mereka, dan sifat akad yang dilakukan wali ini memberi manfaat bagi orang-orang yang diampunya, maka akad itu hukumnya sah.

2. Obyek akad itu diakui oleh syara’. Untuk obyek akad ini disyaratkan pula : a) berbentuk harta, b) dimiliki oleh seseorang, dan c) bernilai harta menurut harta dalam Islam, maka akadnya tidak sah, seperti khamar (minuman keras). Disamping itu, jumhur ulama fikih selain ulama Hanafiyah, menyatakan bahwa barang najis seperti anjing, bulu dari babi, bangkai dan darah tidak bisa dijadikan obyek akad, karena najis tidak bernilai harta dalam syara’.

3. Akad itu dilarang oleh nash (ayat atau hadis) syara’. Atas dasar ini, seorang wali (pengelola anak kecil) tidak boleh menghibahkan harta anak kecil itu. Alasannya adalah melakukan suatu akad yang sifatnya menolong semata (tanpa imbalan) terhadap harta anak kecil tidak dibolehkan syara’. Oleh sebab itu, apabila wali menghibahkan harta anak kecil yang berada di bawah pengampuannya. Maka akad itu batal menurut syara’.

78

Ibid., halaman. 7.

79

(7)

4. Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus yang terkait dengan akad itu. Artinya, disamping memenuhi syarat-syarat umum yang harus dipenuhi suatu akad, akad itu juga harus memenuhi syarat-syarat khususnya. Misalnya, dalam jual beli, disamping syarat-syarat umum suatu akad terpenuhi, juga harus terpenuhi syarat-syarat khusus yang berlaku dalam akad jual beli tersebut.

5. Akad itu bermanfaat. Oleh sebab itu, jika seseorang melakukan suatu akad dan imbalan yang diambil salah seorang yang berakad merupakan kewajiban baginya, maka akad itu batal. Misalnya, seorang yang melakukan kejahatan melakukan akad dengan orang lain bahwa ia akan menghentikan kejahatannya jika ia diberi sejumlah uang (ganti rugi). Dalam kasus seperti ini, sekalipun kehendak kedua belah pihak itu bersifat akad, tetapi akad seperti ini tidak akan mengandung manfaat sama sekali dan dinyatakan batal oleh syara’. Alasannya adalah obyek akad itu merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan salah satu pihak yang berakad.

6. Pernyataan ijab tetap utuh dan sahih sampai terjadinya qabul. Apabila ijab tidak utuh dan sahih lagi ketika qabul. Apabila ijab tidak utuh dan sahih lagi ketika qabul di ucapkan, maka akad itu tidak sah. Hal ini banyak di jumpai dalam suatu akad yang dilangsungkan melalui tulisan.

7. Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis, yaitu suatu keadaan yang menggambarkan proses suatu transaksi. Oleh sebab itu, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa’, majelis itu bisa berbentuk tempat dilangsungkannya akad dan bisa juga berbentuk keadaan selama proses berlangsungnya akad, sekalipun tidak pada satu tempat.

8. Tujuan akad itu harus jelas dan diakui syara’. Tujuan akad ini terkait erat dengan berbagai bentuk akad yang dilakukan.

Jenis-jenis akad (kontrak) dalam fikih Islam, para ulama fikih mengemukakan bahwa akad itu bisa dibagi jika dilihat dari berbagai segi. Apabila dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’, maka akad terbagi 2 (dua), yaitu :80

1. Akad sahih, yaitu akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad sahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat bagi pihak-pihak yang berakad. Akad yang sahih ini dibagi lagi oleh ulama Hanafiyah menjadi dua macam, yaitu :

a. akad yang nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya, dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.

b. akad mawquf, yaitu akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan

80

(8)

melaksanakan akad itu, seperti akad yang dilakukan oleh anak kecil yang telah mumayyiz. Dalam kasus seperti ini akad itu baru sah secara sempurna dan memiliki akibat hukum apabila jual beli itu diizinkan oleh wali anak kecil itu. Contoh lain dari akad mawquf ini adalah yang disebut dalam fikih dengan

‘aqad al-fudhuli.

2. Akad yang tidak sah, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Kemudian ulama Hanafiyah membagi akad yang tidak sahih ini kepada dua macam, yaitu akad yang bathil dan akad yang

fasad. Suatu akad dikatakan bathil apabila akad itu tidak memenuhi salah satu

rukunnya atau ada larangan langsung dari syara’, sedangkan akad fasad, menurut mereka adalah suatu akad yang pada dasarnya disyariatkan, tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas. Akan tetapi, jumhur ulama fikih menyatakan bahwa akad yang bathil dan akad yang fasad mengandung esensi yang sama, yaitu tidak sah dan akad itu tidak mengakibatkan hukum apapun.

Berakhirnya suatu akad (kontrak) dalam fikih Islam, menurut para ulama fikih menyatakan bahwa suatu akad dapat berakhir apabila :81

1. Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang waktu. 2. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak

mengikat.

3. Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad bisa dianggap berakhir jika : a. jual beli itu fasad, seperti terdapat unsur-unsur tipuan salah satu rukunnya atau

syaratnya tidak terpenuhi.

b. berlakunya syarat, khiyar aib atau khiyar rukyah.

c. akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak. d. tercapainya tujuan akad itu secara sempurna.

4. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia. Dalam hubungan ini, para ulama fikih menyatakan bahwa tidak semua akad otomatis berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yag melangsungkan akad, diantaranya adalah akad sewa-menyewa, ar-rahn, al-kafalah, asy-syirkah, al-wakalah, dan al-muzara’ah. Akad juga akan berakhir tergantung pada persetujuan orang lain apabila tidak mendapat persetujuan dari pemilik modal.

Suatu akad dipandang berakhir apabila tercapai tujuannya. Dalam akad jual beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah milik kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik penjual. Dalam akad gadai dan

81

(9)

pertanggungan (kafalah), akad dipandang telah berakhir apabila utang telah dibayar. Kecuali telah tercapai tujuannya, akad dipandang telah berakhir juga apabila terjadi

fasakh atau telah berakhir waktunya. Fasakh terjadi dengan sebab-sebab sebagai

berikut :82

a. Di fasakh karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara’, seperti yang disebutkan dalam akad rusak. Misalnya, jual beli barang yang tidak memenuhi syarat kejelasan.

b. Dengan sebab adanya khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat atau majelis.

c. Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa menyesal atas akad yang baru saja dilakukan. Fasakh dengan cara ini disebut

iqalah. Dalam hubungan ini hadis Nabi riwayat Abu Daud mengajarkan bahwa

barang siapa mengabulkan permintaan pembatalan orang yang menyesal atas akad jual beli yang dilakukan, Allah akan menghilangkan kesukarannya pada hari Kiamat kelak.

d. Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak terpenuhi oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Misalnya, dalam khiyar pembayaran (khiyar

naqd) penjual mengatakan bahwa ia menjual barangnya kepada pembeli, dengan

tempo seminggu harganya tidak dibayar, akad jual beli menjadi batal. Apabila pembeli dalam waktu yang ditentukan itu membayar, akad berlangsung. Akan tetapi apabila ia tidak membayar, akad menjadi rusak (batal).

e. Karena habis waktunya, seperti dalam akad sewa-menyewa berjangka waktu tertentu dan tidak dapat diperpanjang.

Pengertian kata khiyar dalam bahasa Arab berarti pilihan. Pembahasan

al-khiyar dikemukakan para ulama fikih dalam permasalahan yang menyangkut

transaksi dalam bidang perdata khususnya transaksi ekonomi, sebagai salah satu hak bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi (akad) ketika terjadi beberapa persoalan dalam transaksi dimaksud.

82

(10)

Secara terminologis para ulama fikih mendefenisikan al-khiyar dengan : “Hak

pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi”.

Hak khiyar ditetapkan syari’at Islam bagi orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Status khiyar, menurut ulama fikih adalah disyari’atkan atau dibolehkan karena suatu keperluan yang mendesak dalam mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi. Khiyar itu sendiri boleh bersumber dari kedua belah pihak yang berakad, seperti khiyar asy-syarth dan khiyar at-ta’yin, dan ada pula

khiyar yang bersumber dari syara’, seperti khiyar al-‘aib (cacat), khiyar ar-ru’yah

dan khiyar al-majlis.

Cacat pada akad (kontrak) dalam fikih Islam adalah hal-hal yang merusak terjadinya akad karena tidak terpenuhinya unsur sukarela antara pihak-pihak yang bersangkutan. Hal-hal yang dipandang merusak terjadinya akad adalah : paksaan,

kekeliruan, penipuan atau pemalsuan, dan tipu muslihat.

Konsep asuransi syariah didasarkan pada Alqur’an Surat Al-Ma’idah (5) ayat 2, yang artinya :

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.

(11)

Berdasarkan konsep tersebut, kemudian Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) memberikan pengertian tentang asuransi syariah. Dalam Pasal 1 ayat (1) Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001, menetapkan bahwa :

“Asuransi syariah (ta’min, takaful atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui dana investasi dalam bentuk aset atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah”.83

Akad yang sesuai dengan syariah adalah yang tidak mengandung gharar (ketidakpastian atau penipuan), maysir (perjudian), riba (bunga uang), zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat. Dapat disimpulkan bahwa asuransi syariah dilaksanakan oleh seseorang atau lebih untuk memperkuat ikatan solidaritas dan tanggung jawab sosial bagi kaum muslimin melalui mekanisme saling tolong-menolong untuk menciptakan keharmonisan dan stabilitas dalam kehidupan sosial masyarakat. Mekanisme itu dibenarkan, bahkan dianjurkan oleh ahli hukum Islam berdasarkan teori mashlahat mursalah-nya yang besar bagi kesejahteraan umat manusia.

Teori hukum mashlahat mursalah dimaksud, dapat diungkapkan sebagai contoh, misalnya tanggung jawab sosial kelompok warga masyarakat yang kaya terhadap kelompok warga masyarakat yang miskin atau kurang beruntung melalui

83

(12)

zakat, infak, sedekah, wakaf, dan semacamnya, saling menanggung dalam hal bisnis dan perniagaan seperti asuransi syariah. Asuransi syariah (at-takaful, at-tadhamun,

dan at-ta’min) merupakan 2 (dua) pihak yang melakukan interaksi sosial, yaitu pihak

penolong dan pihak yang ditolong. Interaksi dimaksud, penting untuk dilakukan karena setiap individu berada dalam lindungan atau jaminan masyarakat itu. Fungsi dari pemerintah adalah penjamin warga negaranya serta membantu dalam kebajikan.84 Dalam konteks kehidupan warga masyarakat yang saling memberikan pertolongan dan perlindungan maka akan terwujud kehidupan masyarakat yang stabil dan damai sebagai realisasi dari dorongan setiap warga masyarakat untuk berbuat kebajikan yang didasari oleh nilai keimanan kepada Tuhannya.85

Muhammad Syakir Sula menegaskan bahwa konsep asuransi syariah adalah suatu konsep dimana terjadi saling memikul risiko di antara sesama peserta sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas risiko yang muncul. Saling pikul risiko ini dilakukan atas dasar saling menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru’ atau dana kebajikan (derma) yang tujuannya untuk menanggung risiko. Dalam sistem operasional, asuransi syariah telah terhindar dari hal-hal yang diharamkan oleh para ulama, yaitu gharar, maisir, dan

riba.86

84

Muhammad Abu Zahra, Fi Al-Mujtama’ Al-Islamiy, (Kairo : Dar Al-‘Arabiy, tth), halaman. 4.

85

Abdul Nasir Ulwan, At-Takaful Al-Ijtima’ fi Al-Islamiy, (Kairo : Dar As-Salam,tth), halaman. 15.

86

Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah Konsep dan Sistem Operasional, Penerbit Gema Insan, Jakarta, 2004, halaman. 293.

(13)

Konsep kontrak dalam pengikatan perjanjian asuransi syariah dalam per-Undang-Undangan Perasuransian Syariah di Indonesia.

1. Kontrak Baku (Standard Contract)

Di dalam dunia bisnis tertentu, misalnya perdagangan dan perbankan, terdapat kecenderungan untuk menggunakan apa yang dinamakan kontrak baku, berupa kontrak yang sebelumnya oleh pihak tertentu (perusahaan) telah menentukan secara sepihak sebagian isinya dengan maksud untuk digunakan secara berulang-ulang dengan berbagai pihak/konsumen perusahaan tersebut.

Dalam kontrak standar tersebut sebagian besar isinya sudah ditetapkan oleh pihak perusahaan yang tidak membuka kemungkinan untuk dinegosiasikan lagi, dan sebagian lagi sengaja dikosongkan untuk memberikan kesempatan negosiasi dengan pihak konsumen, yang baru diisi setelah diperoleh kesepakatan.

Menurut sejarah, pada awal abad 19 di mana terjadi Revolusi Industri, telah membuat perjanjian atau kontrak baku muncul. Pada awalnya, timbulnya produksi massal dari pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan tidak menimbulkan perubahan apa-apa. Tetapi, standarisasi dari produksi ternyata membawa desakan yang kuat untuk pembakuan dari perjanjian-perjanjian. Biasanya perumusan kontrak atau perjanjian tertulis membutuhkan keterampilan redaksional hukum yang hanya dimiliki oleh ahli hukum atau pakar hukum yang tentunya membutuhkan biaya yang mahal. Atas dasar itu maka banyak orang menggunakan perjanjian yang sejenis yang pernah dibuat dan digunakan dan kemudian dibuat secara massal. Perjanjian baku dibuat karena tidak memerlukan waktu yang lama untuk melakukan negosiasi. Jadi

(14)

kontrak baru muncul dengan latar belakang sosial, ekonomi dan praktis. Kontrak baku telah digunakan secara meluas dalam dunia bisnis sejak lebih dari delapan puluh tahun lamanya. Adanya kontrak baku karena dunia bisinis memang membutuhkannya. Oleh karena itu kontrak baku diterima oleh masyarakat.

2. Pengaturan Kontrak Baru Secara Syariah

Perjanjian standar dinamakan juga perjanjian adhesi. Di dalam perpustakan dikatakan bahwa latar belakang tumbuhnya perjanjian standar ini adalah karena keadaan sosial ekonomi. Perusahaan besar swasta dan perusahaan-perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingannya menciptakan syarat-syarat tertentu, secara sepihak untuk diajukan kepada

contractpartner-nya. Pihak lawannya (wederpartif) yang pada umumnya mempunyai

kedudukan ekonomi lemah, baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya lalu hanya menerima apa yang sudah di perjanjikan.

Perjanjian ini mengandung kelemahan karena syarat-syarat yang ditentukan secara sepihak dan pihak lainnya terpaksa menerima keadaan itu karena posisinya yang lemah. Kelemahan perjanjian standar ini juga disinyalir oleh beberapa ahli seperti :87

(a). Pitlo, mengemukakan perjanjian standar ini adalah suatu “dwangcontract” karena kebebasan pihak-pihak yang dijamin oleh Pasal 1338 KUHPerdata sudah dilanggar. Pihak yang lemah terpaksa menerima hal ini sebab mereka tidak mampu berbuat lain.

87

(15)

(b). Sluyter, terhadap perbuatan dimana kreditur secara sepihak menentukan isi perjanjian standard, menurut Sluyter, secara materil melahirkan “legio

particuliere wetgevers” (pembentuk Undang-Undang swasta).

(c). Stein, mengemukakan pula bahwa dasar berlakunya perjanjian standar ini adalah “de fictie van will off vertrouwen”. Jadi, kebebasan kehendak yang sungguh-sungguh tidak ada pada pihak-pihak, khususnya debitur.

(d). Eggens mengatakan pula bahwa kebebasan kehendak di dalam perjanjian merupakan tuntutan kesusilaan.

Hal-hal di atas menunjukkan bahwa perjanjian standar bertentangan, baik dengan asas-asas hukum perjanjian (Pasal 1320 jo Pasal 1338 KUHPerdata) maupun kesusilaan. Akan tetapi, di dalam praktek perjanjian ini tumbuh karena keadaan menghendakinya dan harus diterima sebagai suatu kenyataan. Yang dimaksud dengan kontrak / perjanjian standar atau perjanjian baku di sini adalah kontrak - kontrak yang telah dibuat secara baku (form standard), atau dicetak dalam jumlah yang banyak dengan blanko untuk beberapa bagian yang menjadi objek transaksi, seperti besarnya nilai transaksi, jenis dan jumlah barang yang ditransaksikan dan sebagainya. Sehingga, dengan kontrak standar ini, lembaga pembiayaan yang mengeluarkannya tidak membuka kesempatan kepada pihak lain untuk melakukan negosiasi mengenai apa yang akan disepakati untuk dituangkan dalam kontrak.

Setiap orang mempunyai kebebasan untuk melakukan perjanjian dengan siapa pun. Perjanjian antara satu pihak dengan pihak lain tersebut bersifat privat, artinya hanya mengikat kedua belah pihak. Karena itu pihak lain tidak mempunyai hak untuk

(16)

ikut campur dalam perjanjian tersebut, tidak juga negara (dalam bentuk Undang-Undang). Negara hanya bisa melakukan intervensi dalam hubungan privat/perdata apabila salah satu pihak yang melakukan hubungan perdata berada dalam posisi yang lemah.

Negara mempunyai tugas untuk melindungi pihak yang lemah tersebut agar mempunyai posisi yang kuat. Misalnya, bahwa perjanjian itu harus memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, bahwa materi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan per-Undang-Undangan, ketertiban dan kesusilaan dan bahwa perjanjian tidak boleh timbul akibat dari adanya paksaan, kekhilafan ataupun penipuan.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, mengatakan bahwa “pihak yang kuat (pengusaha/bank) mengalahkan pihak yang lemah (masyarakat/nasabah), oleh karena itu masyarakat menerimanya dengan keterpaksaan”.88

Prinsip kebebasan berkontrak dalam hukum positif kita diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.”89 Sementara

batasan-batasan yang diberikan oleh pembentuk Undang-Undang tercantum dalam Pasal 1338 ayat 3, 1320, 1321 dan 1337 KUHPerdata.

Pada dasarnya, Hukum Perserikatan Islam juga menganut asas kebebasan berkontrak yaitu suatu perikatan atau perjanjian akan sah dan mengikat kedua belah

88

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Penerbit Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2001, halaman. 75.

89

(17)

pihak apabila ada kesepakatan (antaradhin) yang terwujud dalam 2 (dua) pilar yaitu

ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan). Namun demikian tentunya sangat berbeda

dalam hal-hal prinsip dalam rangka pembatasan asas kebebasan berkontrak tersebut. Karena pembatasan yang diberikan dalam asas kebebasan berkontrak dalam KUHPerdata adalah buatan manusia berupa Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum, sementara pembatasan yang ada dalam konsep syariah adalah firman Allah dalam Al-Qur’an dan juga pernyataan dan perilaku Nabi Muhammad dalam Al-Hadis. Dengan demikian tentu saja ada perbedaan yang sangat esensial dalam pembatasan-pembatasan yang diberikan oleh kedua konsep tersebut .

Misalnya dalam konsep syariah sebuah perjanjian atau kontrak tidak boleh memuat 5 (lima) hal berikut :

1. Membuat dan menjual barang najis.

2. Membuat barang-barang yang tidak bermanfaat dalam Islam. 3. Mengandung gharar (ketidakpastian).

4. Mengandung riba (bunga uang). 5. Mengandung maisir (perjudian).

Lima materi pembatasan tersebut bisa dijadikan penjelasan bagi konsep kausa yang halal sebagai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata yang kini dipakai dalam perjanjian kontrak baku dalam dunia perbankan dan perasuransian. Konsep syariah juga menganut asas kebebasan berkontrak namun dengan pembatasan-pembatasan yang lebih spesifik.

(18)

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam suatu pembuatan atau perancangan kontrak menurut fikih Islam. Hal tersebut antara lain, yaitu mengenai :90

a. Bahasa dalam kontrak.

b. Kontrak standar / perjanjian baku. c. Saksi-saksi.

d. Peraturan dan per-Undang-Undangan yang terkait. e. Penyelesaian sengketa.

3. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.91

a. Ketentuan Umum

1. Mengenai istilah asuransi syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah

“usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariat Islam”.

2. Akad yang sesuai dengan syariah adalah yang tidak mengandung gharar (ketidakpastian atau penipuan), maisir (perjudian), riba (unsur bunga uang),

zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram, dan maksiat.

90

M. Hasballah Thaib, Op. cit., halaman. 138.

91

Dikutip dari tulisan Administrator (pemimpin di bidang pelaksanaan peraturan, prosedur, dan kebijakan) melalui internet www.yahoo.com., Saturday, 25 Juli 2009.

(19)

3. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.

4. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan untuk tujuan komersial semata.

5. Premi adalah kewajiban peserta asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

6. Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

b. Ketentuan Mengenai Akad atau Kontrak dalam asuransi

1. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad

tijarah dan atau akad tabarru’.

2. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah, sedangkan akad tabarru’ adalah hibah.

3. Dalam akad sekurang-kurangnya harus disebutkan : a. hak dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi. b. cara dan waktu pembayaran premi.

c. jenis akad tijarah dan atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.

c. Ketentuan Mengenai Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah

1. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola), dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis).

(20)

2. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.

d. Ketentuan Dalam Akad Tijarah dan Tabarru’

1. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru’ bila pihak yang tertahan haknya dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.

2. Jenis akad tabarru’ tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah. e. Ketentuan Mengenai Jenis Asuransi dan Akadnya

1. Dipandang dari segi jenis, asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa.

2. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut, adalah mudharabah dan hibah.

f. Ketentuan Mengenai Premi

1. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan akad tabarru’.

2. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan rujukan, misalnya, tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam penghitungannya.

3. Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil investasinya dibagihasilkan kepada peserta.

(21)

g. Ketentuan Mengenai Klaim

1. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian. 2. Klaim dapat berbeda dalam jumlah sesuai dengan premi yang dibayarkan. 3. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan

kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.

4. Klaim atas akad tabarru’ merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.

h. Ketentuan Mengenai Investasi

1. Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul.

2. Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah. i. Ketentuan Mengenai Reasuransi

Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip syariah.

j. Ketentuan Mengenai Pengelolaan

1. Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah.

2. Perusahaan asuransi syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).

3. Perusahaan asuransi syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana akad tabarru’ (hibah).

(22)

k. Ketentuan Tambahan

1. Implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS).

2. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

3. Fatwa berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

4. Surat Keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tentang Susunan Pengurus Dewan Syariah Nasional MUI No : Kep-98/MUI/III/2001, Tentang Kedudukan Dan Fungsi DSN-MUI.92

Asuransi syariah mempunyai Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan asuransi syariah. Dewan Pengawas Syariah (DPS) berkewajiban mengawasi jalannya sistem operasional asuransi syariah sehari-hari agar selalu berjalan sesuai dengan prinsip syariah. Artinya, menghindari adanya penyimpangan secara hukum Islam yang dapat merugikan orang lain.

92

Surat Keputusan (SK) Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Susunan

Pengurus Dewan Syariah Nasional MUI No : Kep-98/MUI/III/2001., tentang Kedudukan dan Fungsi DSN-MUI.

(23)

Adapun Keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Susunan Pengurus DSN-MUI No:Kep-98/MUI/III/2001, tentang Kedudukan dan Fungsi DSN-MUI, yaitu sebagai berikut :

a. Pengertian Dewan Pengawas Syariah (DPS)

1. Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah badan yang ada di lembaga keuangan syariah dan bertugas mengawasi pelaksanaan keputusan Dewan Syariah Nasional (DSN) di lembaga keuangan syariah tersebut.

2. Dewan Pengawas Syariah (DPS) diangkat dan diberhentikan di Lembaga Keuangan Syariah melalui RUPS setelah mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional (DSN).

b. Fungsi Dewan Pengawas Syariah (DPS) yaitu :

1. Melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah yang berada di bawah pengawasannya.

2. Berkewajiban mengajukan unsur-unsur pengembangan Keuangan Lembaga Syariah kepada pemimpin lembaga yang bersangkutan dan dari Dewan Syariah Nasional (DSN).

3. Melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada Dewan Syariah Nasional (DSN) sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam satu tahun anggaran.

4. Dewan Pengawas Syariah (DPS) merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan-pembahasan Dewan Syariah Nasional (DSN).

(24)

c. Peran Dewan Pengawas Syariah (DPS)

1. Peran utama para ulama dalam Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah mengawasi jalannya Lembaga Keuangan Syariah sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah.

2. Dewan Pengawas Syariah (DPS) harus membuat pernyataan secara berkala (biasanya tiap tahun) bahwa Lembaga Keuangan Syariah yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah.

3. Tugas lain Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari Lembaga Keuangan Syariah yang diawasinya. 4. Dewan Pengawas Syariah (DPS) bersama Komisaris dan Direksi, bertugas

untuk terus-menerus mengawasi dan menjaga penerapan nilai-nilai Islam dalam setiap aktifitas yang dikerjakan Lembaga Keuangan Syariah.

5. Dewan Pengawas Syariah (DPS) juga bertugas untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang Lembaga Keuangan Syariah, melalui media-media yang sudah berjalan dan berlaku di masyarakat, seperti khutbah, majelis ta’lim, pengajian-pengajian, maupun melalui dialog rutin dengan para tokoh agama dan tokoh masyarakat.

(25)

Konsep kontrak dalam pengikatan perjanjian menurut KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Perjanjian standar dinamakan juga perjanjian adhesi. Bahwa latar belakang tumbuhnya perjanjian standar ini adalah karena keadaan sosial ekonomi. Perusahaan besar semi pemerintah dan perusahaan-perusahaan pemerintah mengadakan kerja sama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingannya menciptakan syarat-syarat tertentu secara sepihak untuk diajukan kepada contractpartner-nya. Pihak lawannya

(wederpartif) yang pada umumnya mempunyai kedudukan ekonomi lemah, baik

karena porsinya maupun karena ketidaktahuannya lalu hanya menerima apa yang diberikan. Perjanjian ini mengandung kelemahan karena syarat-syarat yang ditentukan secara sepihak dan pihak lainnya terpaksa menerima keadaan itu karena posisinya yang lemah.

Hal-hal di atas menunjukkan bahwa perjanjian standar bertentangan, baik dengan asas-asas hukum perjanjian (Pasal 1320 jo Pasal 1338 KUHPerdata) maupun kesusilaan. Akan tetapi, di dalam praktek perjanjian ini tumbuh karena keadaan menghendakinya dan harus diterima sebagai suatu kenyataan. Yang dimaksud dengan kontrak / perjanjian baku di sini adalah kontrak-kontrak yang telah dibuat secara baku

(form standar), atau dicetak dalam jumlah yang banyak dengan blanko untuk

beberapa bagian yang menjadi objek transaksi, seperti besarnya nilai transaksi, seperti besarnya nilai transaksi, jenis dan jumlah barang yang ditransaksikan dan sebagainya. Sehingga, dengan kontrak standar ini, lembaga pembiayaan yang mengeluarkannya

(26)

tidak membuka kesempatan kepada pihak lain untuk melakukan negosiasi mengenai apa yang akan disepakati untuk dituangkan kedalam kontrak.

Di dalam hukum perjanjian dikenal adanya asas kebebasan berkontrak yaitu setiap orang diberi kebebasan untuk mengadakan perjanjian yang mengikat di antara para pihak pembuat perjanjian sepanjang tidak melanggar batasan yang ditentukan dan berdasarkan kehendak para pihak yang membuat perjanjian maka dapat diadakan pengecualian terhadap Pasal- Pasal dari hukum perjanjian yang terdapat dalam KUHPerdata. Asas kebebasan berkontrak sangat erat hubungannya dengan asas konsensualisme. Asas konsensualisme mempunyai arti yaitu bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian tersebut.

Perjanjian dan perikatan sudah dilahirkan pada saat tercapainya konsensus. Pada detik tersebut perjanjian sudah sah dan mengikat. Hal ini penting sekali demi kepastian hukum. Asas konsensualisme merupakan puncak peningkatan martabat manusia yang didasarkan pada adanya kepercayaan pada perkataannya yang dapat meletakkan martabat manusia pada tingkat yang setinggi-tingginya. Asas konsensualisme bertujuan untuk tercapainya kepastian hukum, asas konsensualitas dalam hukum perikatan merupakan asas yang universal dan erat hubunganya dengan asas kebebasan berkontrak seperti yang tercantum dalam KUHPerdata dalam Buku III.

(27)

Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan pada debitur dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditur dalam perjanjian dalam menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian.

Dalam melakukan suatu perjanjian, kedua belah pihak harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan. Pernyataan dapat dengan tegas atau secara diam-diam. Kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian yang sah. Konsep kontrak dalam pengikatan perjanjian yang terdapat dalam hukum perdata harus memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang berbunyi : Untuk sahnya suatu persetujuan-persetujuan diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

Keempat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan kedalam :

a. Dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian yaitu unsur subjektif yang mencakup adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

(28)

b. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian yaitu unsur objektif yang mencakup suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.

Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subjektif, maupun batal demi hukum dalam hal tidak terpenuhinya unsur objektif.

Berikut ini adalah uraian lebih lanjut mengenai keempat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata.

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Yang dimaksud dengan persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seia sekata, kecocokan antara kemauan atau kehendak para pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat. Pokok perjanjian itu berupa objek perjanjian dan syarat-syarat perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua pihak atau lebih dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan dan siapa yang harus melaksanakan hal-hal tersebut, maka salah satu pihak atau lebih dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak.

(29)

Jelas bahwa tanpa adanya kesepakatan tersebut, maka tidak pernah ada perjanjian yang tentunya tidak melahirkan perikatan. Dengan demikian berarti tanpa adanya kesepakatan, tidak ada perikatan yang akan menerbitkan kewajiban kepada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian yang akan dibentuk. Bahwa pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan maupun penipuan. Sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1321 KUHPerdata yang berbunyi : “Tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan

jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.

Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela para pihak, tidak ada paksaan sama sekali dari pihak manapun. Dalam pengertian persetujuan kehendak itu akan menjadi tidak bebas, yakni apabila adanya suatu paksaan, kekhilafan dan penipuan. Apabila salah satu dari ketiga tersebut terjadi, maka perjanjian itu dapat dimintakan pembatalan.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat subjektif kedua terbentuknya suatu perjanjian yang sah di antara para pihak. Dalam Pasal 1329 KUHPerdata dikatakan bahwa : “Setiap orang adalah berwenang (bevoegd) untuk

membuat perikatan, jika oleh Undang-Undang tidak dinyatakan cakap”. Apabila

seseorang tidak cakap dalam melakukan tindakan maka dia tidak dapat membuat perjanjian.

(30)

Pasal 1330 KUHPerdata memberikan limitasi orang-orang mana saja yang dianggap tidak cakap bertindak dalam hukum, dengan menyatakan bahwa : “Tidak

cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah : a.) anak yang belum dewasa ; b) Orang yang ditaruh dibawah pengampuan ; c) Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan.

3. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, dan merupakan prestasi yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian dan merupakan objek perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas, ditentukan jenisnya dan jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan.

Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya adalah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada objek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini, maka perjanjian itu batal demi hukum (void, nietig).

4. Suatu sebab yang halal (causa)

Kata “causa” berasal dari bahasa latin artinya “sebab”. Sebab adalah suatu hal yang menyebabkan orang membuat perjanjian atau yang mendorong orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan causa yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu menurut “Abdulkadir Muhammad”, bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab

(31)

dalam arti “isi perjanjian”, yang menggambarkan tujuan yang akan di capai oleh pihak-pihak.93

Undang-Undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, yang diperhatikan atau yang di awasi oleh Undang-Undang ialah “isi perjanjian itu”, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang oleh Undang-Undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak. Menurut Undang-Undang, causa atau sebab itu tidak halal apabila tidak dilarang oleh Undang-Undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1337 KUHPerdata). Perjanjian yang berisi causa atau sebab yang halal diperbolehkan, sebaliknya perjanjian yang berisi causa atau sebab yang tidak halal tidak diperbolehkan.

Perjanjian yang bercausa tidak halal (dilarang Undang-Undang) misalnya jual beli narkotika, ganja, membunuh orang. Perjanjian yang bercausa tidak halal (bertentangan dengan ketertiban umum) misalnya jual beli manusia sebagai budak, mengacaukan ajaran agama tertentu. Perjanjian yang bercausa tidak halal (bertentangan dengan kesusilaan) misalnya membocorkan rahasia perusahaan dan memberikan kenikmatan seksual tanpa nikah sah.

Akibat hukum perjanjian yang berisi causa yang tidak halal, maka perjanjian itu batal demi hukum. Dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di muka Hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian.

93

(32)

Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa causa atau sebab, ia dianggap tidak pernah ada (Pasal 1335 KUHPerdata).

Dengan demikian berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut Undang-Undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Dalam perjanjian konsensuil, jika suatu perjanjian yang dibuat tersebut tidak memenuhi salah satu atau lebih persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka perjanjian tersebut tidak sah yang berarti perjanjian terancam batal. Hal ini mengakibatkan nutilitas atau kebatalan menjadi perlu untuk diketahui oleh tiap-tiap yang mengadakan perjanjian, oleh karena masing-masing perjanjian memiliki karakteristik dan cirinya tersendiri, maka nutilitas atau kebatalan dari suatu perjanjian memiliki karakteristik dan cirinya sendiri.

Berdasarkan pada alasan kebatalan, nutilitas dibedakan dalam perjanjian yaitu dapat dibatalkan dan perjanjian yang batal demi hukum. Perjanjian yang dapat dibatalkan jika perjanjian tersebut dalam pelaksanaannya akan merugikan pihak-pihak tertentu. Pihak-pihak-pihak ini tidak hanya pihak-pihak dalam perjanjian tersebut tetapi meliputi juga setiap individu yang merupakan pihak ketiga di luar para pihak yang mengadakan perjanjian, dan perjanjian yang batal demi hukum jika syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya adalah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan

(33)

perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada objek perjanjian. Akibat tidak terpenuhi syarat ini, maka perjanjian itu batal demi hukum, dan akibat perjanjian yang berisi causa yang tidak halal, maka perjanjian itu batal demi hukum.

B. Tinjauan Umum Mengenai Penerapan Prinsip-Prinsip Kontrak Dalam Pengikatan Perjanjian Asuransi Takaful

Sebagai suatu perjanjian, Asuransi Takaful juga dikuasai oleh ketentuan mengenai persyaratan sahnya suatu perjanjian. Dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan sebagai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian ialah :94

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

Jika syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal (syarat objektif) tidak dipenuhi, maka perjanjian asuransi batal demi hukum (nietig, null and void), yang berarti perjanjian tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada hak yang bisa dituntut dan kewajiban yang harus dipenuhi.95 Sedangkan apabila syarat-syarat sepakat dan kecakapan (syarat subjektif) tidak dipenuhi, maka perjanjian itu dapat

94

Kitab Undang - Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Pasal 1320.

95

Munir Fuady, Hukum Kontrak, (Dari Sudut Pndang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya, Bandung, 2001, halaman. 34.

(34)

dibatalkan (vernietigbaar, voidable). Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang belum dewasa, dibawah pengampuan, pihak yang merasa dipaksa atau ditipu sewaktu membuat perjanjian.96

Asuransi Takaful sebagai asuransi Islam juga harus memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Secara umum yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian menurut Chairuman Pasaribu adalah :97

1. Tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya, maksudnya bahwa perjanjian yang diadakan oleh para pihak itu bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang melawan hukum syariah, sebab perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum syariah adalah tidak sah dan dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak untuk menempati atau melaksanakan perjanjian tersebut, atau dengan kata lain apabila isi perjanjian itu merupakan perbuatan yang melawan hukum (hukum syariah), maka perjanjian diadakan dengan sendirinya batal demi hukum.

2. Harus sama ridha dan ada pilihan, maksudnya perjanjian yang diadakan oleh para pihak haruslah didasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak, yaitu masing-masing pihak ridha / rela akan isi perjanjian tersebut, atau dengan perkataan lain harus merupakan kehendak bebas masing-masing pihak.

3. Harus jelas dan gamblang (dapat dimengerti), maksudnya apa yang diperjanjikan oleh para pihak harus terang tentang apa yang menjadi isi perjanjian, sehingga tidak mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman di antara para pihak tentang apa yang telah mereka perjanjikan di kemudian hari.

Dengan demikian pada saat pelaksanaan / penerapan perjanjian masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian atau yang mengikatkan diri dalam perjanjian haruslah mempunyai interpretasi yang sama tentang apa yang telah mereka perjanjikan, baik terhadap isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh perjanjian itu.

96

Ibid, halaman. 35.

97

Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1994, halaman. 2 – 3.

(35)

Dalam penerapan prinsip-prinsip kontrak dalam pengikatan perjanjian asuransi takaful menggunakan klausula penerapan akad wakalah bil ujrah dan tabarru’ yang terdapat di dalam suatu perjanjian, adapun isi yang terdapat dalam klausula penerapan akad wakalah bil ujrah dan tabarru’ adalah dengan ini dicatat dan disetujui bahwa sesuai dengan pengelolaan risiko berdasarkan prinsip Takaful (Asuransi Syariah) dengan Akad Wakalah Bil Ujrah dan Tabarru’, terdapat beberapa penyesuaian istilah, persyaratan dan defenisi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam polis ini.

Akad yang diberlakukan dalam Polis Takaful Indonesia Asuransi Syariah adalah :98

Yang bertanda-tangan dibawah ini selanjutnya disebut Pengelola Takaful, yang bertindak untuk dan atas nama Kumpulan Peserta Takaful yang dikelolanya, akan membayarkan ganti rugi kepada Peserta sebagaimana disebutkan dalam Ikhtisar Polis atas dasar permohonan keikutsertaan Takaful dengan Akad Wakalah Bil Ujrah secara tertulis yang dilengkapi dengan keterangan tertulis lainnya yang diberikan oleh Peserta dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Polis ini dan dengan syarat Peserta telah membayar kontribusi sebagaimana disebutkan dalam Ikhtisar Polis kepada Pengelola Takaful dan tunduk pada syarat-syarat dan pengecualian-pengecualian yang terkandung di dalamnya dan atau ketentuan-ketentuan yang ditambahkan padanya, terhadap kerugian, kerusakan dan atau biaya atas obyek Takaful sebagaimana disebutkan dalam Ikhtisar Polis dan tanggung jawab hukum yang disebabkan oleh risiko yang dijamin dan ditegaskan dalam syarat serta ketentuan yang tercetak, dilekatkan dan atau dicantumkan pada Polis ini.

98

Takaful Indonesia Asuransi Syariah, mengenai Akad yang diberlakukan dalam Polis, dalam Klausula Penerapan Akad Wakalah Bil Ujrah dan Tabarru’.

(36)

Ketentuan Akad Wakalah Bil Ujrah yang terdapat dalam Takaful Indonesia Asuransi Syariah adalah :99

1. Wakalah bil ujrah adalah akad pemberian kuasa dari Peserta kepada Perusahaan Asuransi (Takaful) untuk mengelola dana peserta dan/atau melakukan kegiatan lain dengan imbalan pemberian ujrah (fee).

2. Pengelola Takaful menerima akad Wakalah bil ujrah dari Peserta sebagaimana tercantum dalam Ikhtisar Polis.

3. Dalam akad Wakalah bil ujrah ini, kontribusi yang dibayarkan oleh Peserta memiliki komposisi dana tabarru’ dan ujrah yang besarnya sebagaimana tercantum dalam Ikhtisar Polis.

4. Pengelola Takaful menerima wewenang penuh dari Peserta untuk melakukan kegiatan Pengelolaan atas risiko dan dana tabarru’.

5. Dalam hal terjadi defisit dana tabarru’, maka Takaful memberikan Qardh Al-Hasan.

6. Apabila pada akhir periode polis terdapat hasil positif yang diperoleh dari surplus dana tabarru’ ditambah hasil investasi dana tabarru’ dikurangi cadangan teknis akan dialokasikan kepada Peserta sebagai Pengembalian Surplus Tabarru’ dan Pengelola Takaful dengan proporsi sebagaimana tercantum pada Ikhtisar Polis dengan ketentuan :

a. Peserta tidak pernah menerima pembayaran klaim atau tidak sedang mengajukan klaim.

b. Peserta tidak membatalkan polis. Adapun ketentuan perhitungan Pengembalian Surplus Tabarru’ untuk Peserta diatur dalam klausula Pengembalian Surplus Tabarru’.

7. Semua Obyek pertanggungan (Manfaat Takaful) yang berlaku dalam Takaful ini harus sesuai dengan Prinsip Syariah Islam. Pengelola Takaful akan mengembalikan kontribusi sejak awal Manfaat Takaful secara proporsional dengan obyek Manfaat Takaful yang diperkenankan diterima di Takaful. Apabila terdapat Obyek Manfaat Takaful yang tidak sesuai dengan Prinsip Syariah yang secara sengaja disembunyikan oleh Peserta pada saat penutupan atau diketahui oleh Peserta pada periode Manfaat Takaful dan tidak disampaikan kepada Pengelola Takaful, maka Pengelola Takaful tidak wajib untuk membayar klaim terhadap obyek Manfaat Takaful tersebut.

99

Takaful Indonesia Asuransi Syariah, mengenai Ketentuan Akad Wakalah Bil Ujrah, dalam Klausula Penerapan Akad Wakalah Bil Ujrah dan Tabarru’.

(37)

Ahmad Azhar Basyir, mengemukakan bahwa : Dalam asuransi takaful, bukan perusahaan yang memungut premi, melainkan para pesertalah yang memungut iuran, sehingga pesertalah sebenarnya yang saling menjamin, sedangkan pihak perusahaan hanyalah sebagai pemegang amanah untuk mengelola iuran yang mereka kumpulkan, dan selanjutnya memberikan santunan kepada peserta yang mengalami musibah.100

Perjanjian (akad) yang digunakan dalam asuransi takaful pada dasarnya merupakan suatu konsep investasi. Umumnya menggunakan konsep akad

mudharabah, yaitu akad kerja sama usaha antara pemilik modal (shahibul mal)

dengan pelaksana proyek (mudharib), dengan keuntungan akan dibagi antara kedua pihak sesuai dengan perjanjian atau kesepakatan yang dibuat oleh kedua pihak atau lebih, namun di Indonesia ada yang menggunakan konsep akad lainnya (seperti Akad

Al-Musytarakah (masing-masing pihak akan memberikan kontribusi berdasarkan

kesepakatan, misalnya : kalau ada keuntungan atau kerugian masing-masing pihak mendapat margin dan menanggung risiko), Akad Wadhi’ah (deposit), Akad

Al-Muzara’ah (akad yang dilakukan antara pemilik lahan dan penggarap untuk

melaksanakan sesuatu aktivitas pertanian), Akad-akad jual beli (sale and purchase), Akad Ijarah (akad untuk pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah atau sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan), dan Jasa

(Al-Wakalah, Al-Kafalah (Guaranty), Al-Hawalah, Ar-Rahn (Mortgage), Qardh Hasan (Benevolent Loan) dalam hubungan antara perusahaan asuransi takaful dengan

para pesertanya.

100

Op. cit., halaman. 94, dikutip dari Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Riba, Utang

(38)

Secara rinci konsep perjanjian yang terdapat pada masing-masing perusahaan adalah sebagai berikut :

1. Takaful Keluarga

Perusahaan takaful dan peserta mengikatkan diri dalam perjanjian

al-mudharabah dengan hak dan kewajiban yang sesuai dengan perjanjian.

2. Takaful Umum

Perusahaan takaful dan peserta mengikatkan diri dalam perjanjian

al-mudharabah dengan hak dan kewajiban yang sesuai dengan perjanjian. Peserta

takaful umum bisa perorangan, perusahaan, atau yayasan atau lembaga berbadan hukum lainnya.

Konsep al-mudharabah yang diterapkan pada asuransi Islam mempunyai 3 (tiga) unsur, yaitu sebagai berikut :101

a. Dalam perjanjian antara peserta dengan perusahaan asuransi, perusahaan diamanahkan untuk menginvestasikan dan mengusahakan pembiayaan ke dalam proyek-proyek dalam bentuk musytarakah, mudharabah, murabahah, dan

wadhi’ah yang dihalalkan syara’.

b. Dalam perjanjian antara peserta dengan perusahaan asuransi berbentuk perkongsian untuk bersama-sama menanggung resiko usaha dengan prinsip bagi hasil yang porsinya masing-masing telah disepakati.

c. Dalam perjanjian antara peserta dengan perusahaan asuransi telah ditetapkan bahwa sebelum bagian keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha dan investasi, terlebih dahulu diselesaikan klaim manfaat takaful dari para peserta yang mengalami musibah.

101

Wirdyaningsih, dkk., Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Diterbitkan atas Kerja Sama Penerbit Kencana Prenada Media dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, halaman. 210.

(39)

Dalam asuransi takaful dikenal beberapa prinsip sebagai landasan operasionalnya, yaitu antara lain :

1. Prinsip saling bertanggung jawab

Para peserta saling bertanggung jawab antara mereka sendiri. Dalam hal ini, perjanjian asuransi (pertanggungan) bukanlah antara pihak penanggung (perusahaan asuransi) dengan pihak tertanggung (peserta asuransi). Tetapi para tertanggung sendirilah yang saling berjanji untuk menanggung di antara mereka. Konsekuensinya, dalam asuransi takaful, bukan perusahaan yang memungut premi melainkan peserta mengumpulkan iuran, sehingga pesertalah yang saling menjamin. Prinsip ini sejalan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim : “Setiap orang dari kamu

adalah pemikul tanggung jawab dan setiap kamu bertanggung jawab terhadap orang-orang di bawah tanggung jawab kamu”.

2. Prinsip saling bekerja sama dan saling membantu

Salah satu keutamaan dalam ajaran Islam adalah umat Islam harus saling membantu sesamanya dalam kebajikan. Hal dimaksud merupakan gambaran dari sifat ketakwaan kepada Allah SWT. Cerminan ketakwaan itu, di antaranya :102

a. Menggunakan harta kekayaan dengan benar, misalnya untuk kebajikan sosial. b. Menepati janji.

c. Sabar ketika mengalami bencana (musibah).

102

(40)

Ciri-ciri ketakwaan dimaksud, tercantum di dalam Alquran di antaranya, dalam surat Al-Maidah ayat 2 disebutkan : “Tolong-menolonglah kamu dalam

kebajikan, dan janganlah tolong-menolong dalam kebatilan (perkara atau dosa-dosa yang menimbulkan kesusahan)”.

3. Prinsip saling melindungi diri dari berbagai kesusahan

Saling melindungi dari berbagai kesusahan dalam ajaran Islam dapat ditemukan dasar hukum di dalam QS. Quraisy (106) ayat 4 menyatakan :

“Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan dari ketakutan”, dan yang ada di dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat

(41)

Dalam bidang hukum perikatan Islam terdapat prinsip-prinsip yang mencakup khusus perikatan. Prinsip-prinsip dalam perikatan menurut hukum Islam antara lain : 1. Prinsip Kebebasan Berkontrak (Al-Hurriyah)

Suatu kontrak dalam hukum Islam harus dilandasi adanya kebebasan berkehendak dan kesukarelaan dari masing-masing pihak yang mengadakan transaksi (QS. (4) ayat 29). Syariat Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk melakukan akad sesuai dengan yang diinginkannya, sebaliknya apabila ada unsur pemaksaan atau pemasungan kebebasan akan menyebabkan legalitas kontrak yang dihasilkan batal atau tidak sah (QS. (2) ayat 256, dan QS. (5) ayat 1).

Prinsip ini menggambarkan prinsip dasar bidang mu’amalah yaitu kebolehan (mubah) yang mengandung arti bahwa hukum Islam memberi kesempatan luas perkembangan bentuk dan macam mu’amalah baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat. Banyak bidang-bidang usaha yang telah diisyaratkan dalam Al-Qur’an, misalnya :

1. Pertanian (thariq al-zira’ah) dalam (QS. Abbasa ayat 23-24, dan peternakan, seperti pada ayat 143 dari surat Al-An’am).

2. Industri (thariq shina’ah), baik industri pakaian (QS. Al-‘Araf ayat 26), industri besi (QS. Al-Hadiid ayat 25) ataupun industri bangunan (QS. An-Nahl ayat 44).

3. Perdagangan (thariq tijarah) seperti dalam (QS. Al-Quraisy ayat 1-4, dan QS. An-Nisa ayat 29).

4. Industri kelautan, seperti tersirat dalam (QS. An-Nahl ayat 14). 5. Jasa, yang tersirat dalam (QS. Yusuf ayat 55).

(42)

Namun kebebasan berkontrak tersebut memiliki limitasi terhadap hal-hal yang sudah jelas dilarang dalam syariat. Tujuan dari limitasi tersebut adalah untuk menjaga agar tidak terjadi penganiayaan antara sesama manusia melalui kontrak yang dibuatnya. Limitasi tersebut antara lain larangan bertransaksi secara ribawi (QS. (2) ayat 275-279, QS. (3) ayat 130 dan QS. (30) ayat 39, larangan perjudian atau untung-untungan (QS. (5) ayat 93) dan larangan gharar (ketidakpastian risiko,

spekulasi atau bahaya yang dapat menyesatkan pihak lain, yang disini juga termasuk

larangan ijon (mukhabarah) atau menjual barang yang tidak dapat diserahkan karena belum dikuasai) dalam melakukan transaksi (QS. (4) ayat 29-30, QS. (6) ayat 151-152, dan QS. (83) ayat 1-3 dan juga yang terdapat di dalam Hadis Nabi). Di samping itu, terdapat pula larangan-larangan yang menyangkut teknis dalam bertransaksi, seperti larangan monopoli, larangan menimbun barang untuk menaikkan harga, larangan menaikkan penawaran untuk mengelabui pembeli lain bukan untuk sungguh-sungguh membeli, larangan perampasan atau akad yang mengandung penipuan dan merampas milik orang lain tanpa izin (QS. (6) ayat 152, QS. (5) ayat 38, dan QS. (5) ayat 99). Demikian pula dilarang melakukan eksploitasi dan unfair

dealings serta masih banyak lagi ketentuan dalam perdagangan yang diatur secara

jelas-jelas dilarang pelaksanaannya.

2. Prinsip konsesualisme (Al-Ridha’iyyah)

Prinsip ini menekankan adanya kesempatan yang sama bagi para pihak untuk menyatakan keinginannya (willsverklaaring) dalam mengadakan transaksi. Dalam hukum Islam, suatu akad baru lahir setelah dilaksanakan ijab dan kabul. Ijab adalah

(43)

pernyataan kehendak penawaran (offer), sedangkan kabul adalah pernyataan kehendak penerimaan (acceptance).

Dalam hal ini diperlukan kejelasan pernyataan kehendak (clarity of the offer

and acceptance) dan harus adanya kesesuaian antara penawaran dan penerimaan

(confirmity between an offer and acceptance). Selain itu harus adanya komunikasi antara para pihak yang bertransaksi dan di sini juga diperlukan adanya kerelaan kedua pihak (concent) mengenai hal-hal yang diakadkan (QS. (4) ayat 29). Mengenai kerelaan (concent) ini, harus terwujud dengan adanya kebebasan berkehendak dari masing-masing pihak yang bersangkutan dalam transaksi tersebut. Pada prinsip konsesualisme ini, kebebasan berkehendak dari para pihak harus selalu diperhatikan.

Pelanggaran terhadap kebebasan itu berakibat tidak dapat dibenarkannya akad tersebut. Misalnya, seseorang dipaksa menjual rumah kediamannya, padahal ia masih ingin memilikinya dan tidak ada hal yang mengharuskan ia menjual dengan kekuatan hukum. Jual beli yang terjadi dengan cara paksaan tersebut dipandang tidak sah.103 Contoh lain, dalam kasus jual beli dimana seseorang membeli sesuatu barang, yang pada akhirnya merasa tertipu karena barang yang dibelinya itu ternyata palsu. Jual beli yang mengandung unsur tipuan itu memberi hak kepada pembelinya untuk membatalkannya. Contoh lain lagi adalah, anak-anak di bawah umur 7 tahun tidak sah melakukan perjanjian jual beli karena belum cukup mempunyai

103

(44)

pertimbangan pikiran yang mencerminkan kerelaannya. Dengan kata lain, kebebasan kehendak anak-anak di bawah umur 7 tahun menurut hukum belum bernilai.104

3. Prinsip Persamaan Hukum (Al-Musawah)

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak membeda-bedakan walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain (QS. (49) ayat 13). Asas ini berpangkal dari kesetaraan kedudukan dari pihak yang bertransaksi. Apabila ada kondisi yang menimbulkan ketidakseimbangan atau ketidaksetaraan, maka Undang-Undang dapat mengatur batasan hak dan kewajiban dan meluruskan kedudukan para pihak melalui pengaturan klausula dalam kontrak. Dalam hukum Islam, apabila salah satu pihak memiliki kelemahan (safih) maka boleh diwakilkan oleh pengampunya (QS. (4) ayat 5) atau orang yang ahli atau memiliki kemampuan dalam pemahaman permasalahan, seperti notaris atau akuntan (QS. (2) ayat 282).

4. Prinsip Keadilan (Al-Adalah)

Perkataan adil adalah termasuk kata yang paling banyak disebut dalam Al-Qur’an, adil adalah salah satu sifat Tuhan, dan Al-Qur’an menekankan agar manusia menjadikannya ideologi moral (QS. (7) ayat 29, QS. (16) ayat 90, dan QS. (42) ayat 15). Pada pelaksanaannya, asas ini menuntut para pihak yang berkontrak untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya (QS. (3) ayat 17,

104

(45)

QS. (2) ayat 177, QS. (23) ayat 8, dan QS. (5) ayat 1).105 Asas keadilan ini juga berarti bahwa segala bentuk transaksi yang mengandung unsur penindasan tidak dibenarkan. Misalnya, dalam utang-piutang dengan tanggungan barang.

Untuk jumlah utang yang jauh lebih kecil dari pada harga barang tanggungannya diadakan ketentuan jika dalam waktu tertentu utang tidak dibayar, barang tanggungan menjadi lebur, menjadi milik yang berpiutang. Contoh lain misalnya, berjual beli barang jauh di bawah harga pantas karena penjualnya amat memerlukan uang untuk menutupi kebutuhan hidupnya yang primer. Demikian pula sebaliknya, menjual barang jauh di atas harga yang semestinya karena pembelinya amat memerlukan barang itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang primer. Kesemua transaksi ini bertentangan dengan asas keadilan (al-adalah).

5. Prinsip Kejujuran dan Kebenaran (Ash-Shidq)

Kejujuran adalah suatu nilai etika mendasar dalam Islam. Islam adalah nama lain dari kebenaran (QS. (3) ayat 95). Allah berbicara benar dan memerintahkan semua umat muslim untuk jujur dalam segala urusan dan perkataan (QS. (33) ayat 70). Islam dengan tegas melarang kebohongan dan penipuan dalam bentuk apapun. Nilai kebenaran ini memberikan pengaruh pada pihak-pihak yang melakukan perjanjian untuk tidak berdusta, menipu dan melakukan pemalsuan. Pada saat prinsip ini tidak dijalankan, maka akan merusak legalitas akad yang dibuat. Dimana pihak

105

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Penerbit Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2001, halaman. 250.

Referensi

Dokumen terkait

Thypus Abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran  pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu dan terdapat

Selanjutnya, persepsi petani responden melakukan usahatani perkebunan kelapa sawit karena keperluan sarana produksi seperti pupuk dan insektisida yang mudah diperoleh

Hasil penelitian menujukkan bahwa koefisien heterosis kambing Boerawajantan (6,19 ± 1,98 %) lebih tinggi daripada kambing Saburai jantan(2,35 ± 1,55 %) yang berarti

Investasi surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dapat dilakukan dengan cara pembelian saham dan/atau pembelian surat utang oleh Pemerintah

Terkait dengan fenomena adanya kemiripan alur dan tema dalam beberapa novel, penelitian ini akan melihat sejauh mana keterkaitan cerita dalam novel Senja, Hujan, dan

Sejalan dengan upaya pengembangan pemanfaatan tradkom dalam pelayanan kesehatan diIndonesia, marak pula timbulnya iklan yankestradkom di media masa seperti media kaca,

Analisis data dalam penelitian kualitatif adalah proses mencari dan mengatur secara sistematis transkrip wawancara, catatan lapangan, dan bahan- bahan yang lain yang telah

Sebagai seorang pengajar, para volunteer ini seperti sudah paham betul situasi pendidikan di Desa ini, karakteristik anak-anaknya, cara mereka harus memberikan