• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. penelitian terdahulu. Adapun penelitian yang mengangkat topik yang sama dan masih

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. penelitian terdahulu. Adapun penelitian yang mengangkat topik yang sama dan masih"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian ini menggunakan beberapa referensi yang diambil dari referensi hasil penelitian terdahulu. Adapun penelitian yang mengangkat topik yang sama dan masih berhubungan dengan penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut.

Penelitian pertama yang digunakan sebagai referensi dalam penelitian ini dilakukan oleh Harun (2010) dengan penelitian yang berjudul “Role Play dalam Pembelajaran Speaking di Kelas III Sekolah Dasar (Penelitian Tindakan Kelas di Kelas III Sekolah Dasar Laboratorium UPI Kampus Cibiru Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung)”. Penelitian ini mengangkat topik bermain peran sebagai salah satu teknik yang diterapkan dalam upaya meningkatkan kemampuan bicara pembelajar. Peneliti menerapkan tiga siklus dalam penelitiannya. Pada tiap siklus lanjutan peneliti memberikan materi yang menarik sesuai dengan kehidupan keseharian pembelajar. Pada tiap-tiap siklus terdapat peningkatan yang signifikan: siklus I sebesar 40,7%, siklus II 55,5%, dan siklus III sebesar 74 %. Penelitian tidak hanya dipusatkan penerapan teknik, tetapi keterampilan berbicara pembelajar juga dikaji, seperti kemampuan ekspresif dan pelafalannya. Secara umum penelitian yang dilakukan oleh Harun dan penelitian ini sama-sama mengkaji keterampilan berbicara

(2)

pembelajar dengan menggunakan teknik bermain peran di dalamnya, tetapi perbedaannya dapat dilihat dari objek penelitian. Penelitian Harun mengenai penelitian teknik bermain peran diterapkan pada pembelajar kelas III sekolah dasar yang termasuk ke dalam pengajaran pedagogi, sedangkan objek penelitian dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang termasuk ke dalam andragogi. Dilihat dari jenis penelitian, penelitian yang dilakukan oleh Harun merupakan penelitian PTK karena yang diteliti adalah peningkatan kemampuan berbicara. Sebaliknya, penelitian ini termasuk dalam action research, namun penelitian tidak difokuskan pada peningkatan kemampuan pembelajar, tetapi juga data yang dihasilkan oleh pembelajar dilihat dari unsur linguistiknya, yaitu pelafalan (fonetik) dan tindak tutur (pragmatik) serta hambatan yang dialami mahasiswa.

Penelitian yang dilakukan oleh Siska (2011) dalam Jurnal UPI yang berjudul “Penerapan Metode Bermain Peran (Role Playing) dalam Meningkatkan Keterampilan Sosial dan Keterampilan Berbicara Anak Usia Dini (Penelitian Tindakan Kelas di Kelas B Taman Kanak-kanak Al Kautsar Bandar Lampung Tahun Ajaran 2010-2011)”. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Harun, dalam penelitian ini diterapkan tiga siklus. Ketiga siklus tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan yang signifikan, pada siklus I, siklus II maupun siklus ke III dalam hal meningkatkan keterampilan sosial dan keterampilan berbicara. Dari penelitian itu diketahui bahwa jenis kelamin memengaruhi perkembangan sosial dan bahasa anak. Artinya, anak perempuan menunjukkan perkembangan yang lebih cepat

(3)

daripada anak laki-laki. Selain peningkatan yang terjadi, dalam penelitian ini ditemukan beberapa kendala, seperti media bermain peran yang sulit, orang tua yang beranggapan bahwa bermain peran bukan suatu proses pembelajaran, kurangnya pengetahuan guru dalam menerapkan metode bermain peran, serta sarana dan prasana dalam lingkungan sekolah yang kurang memadai. Secara keseluruhan penelitian yang dilakukan oleh Siska dan penelitian ini sama-sama meneliti kemampuan berbicara pembelajar dan penerapan teknik yang sama, tetapi penelitian yang dilakukan oleh Siska menambahkan unsur keterampilan sosial di dalamnya. Dilihat dari segi jenis dan objek penelitian memiliki perbedaan. Siska meneliti teknik bermain peran untuk meningkatan kemampuan pebelajar yang disebut PTK sedangkan pada penelitian ini teknik bermain peran menjadi sarana untuk mengkaji ilmu kelinguistikan di dalamnya. Sama halnya dengan objek penelitian yang dimiliki oleh Harun, penelitian yang dilakukan oleh Siska juga diterapkan kepada objek penelitian terhadap pembelajar usia dini atau PAUD yang tergolong ke dalam pengajaran pedagogi. Sebaliknya, penelitian ini diterapkan pada pembelajar dewasa (mahasiswa) yang tergolong ke dalam pengajaran andragogi.

Kajian pustaka ketiga berkaitan erat dengan pragmatik yang dilakukan oleh Budiarsa dkk.(2009) dengan judul “Bentuk, Fungsi, dan Makna Pragmatik Tuturan Pemandu Wisata di Daerah Pariwisata Badung dan Denpasar, Bali”. Dalam penelitian ini dianalisis data yang berupa dialog yang mengandung unsur-unsur pragmatik dan berlatar belakang budaya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ungkapan verbal

(4)

yang digunakan sebagian besar dalam bentuk tindak tutur langsung dan berfungsi ekspresif, sedangkan makna pragmatik dari tuturan adalah makna lokusi seperti leksikon yang membentuk tuturan tersebut. Dari tingkat kesantunan diketahui bahwa tuturan verbal pemandu wisata pada umumnya sangat santun, sedangkan dialek yang digunakan menunjukkan kedekatan hubungan antara pemandu wisata dan wisatawan dan melalui bahasa telah terjadi kontak budaya antara pemandu wisata dan wisatawan. Kesamaan penelitian yang dilakukan oleh Budiarsa dkk. dengan penelitian ini adalah sama-sama mengangkat unsur pragmatik di dalamnya. Akan tetapi, dalam penelitian ini terdapat unsur applied linguistic, yaitu proses belajar mengajar dalam proses pemerolehan data yang berupa ujaran-ujaran (tindak tutur mahasiswa) dan pelafalan (pronounciation) yang dihasilkan oleh mahasiswa Jurusan Kantor Depan PPLP MAPINDO.

2.2 Konsep

1. Keterampilan Berbicara (Speaking)

Tarigan (2008:17) mendefinisikan keterampilan berbicara sebagai kemampuan mengungkapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Hornby (2005) mendefinisikan berbicara (speaking), sebagai”to talk to somebody about something, to have a conversation with somebody”. Jadi, berbicara adalah sebuah kegiatan yang

(5)

dilakukan seseorang kepada orang lain tentang suatu hal atau kegiatan percakapan yang dilakukan seseorang kepada orang lain.

2. Keterampilan Berbahasa

Dalam berkomunikasi atau berbicara diperlukan sebuah alat yang disebut bahasa. Hornby (1974) mendefinisikan bahasa itu sendiri sebagai berikut “ language is a human and non instinctive method of communicating ideas, feeling, and desires by means of a system of sound and sound symbols”. Dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa bahasa memiliki fungsi sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan ide, perasaan, dan keinginan dalam bentuk bunyi dan simbol bunyi. Dalam penelitian ini bahasa Inggris menjadi bahasa yang diteliti karena bahasa Inggris merupakan bahasa internasional dan menjadi bahasa asing yang sering digunakan di Indonesia. Dalam pemerolehan bahasa kedua atau asing dapat dibagi menjadi dua proses pemerolehan seperti yang diutarakan oleh Klein (1986:15).

“A second language can be acquired in a variety of ways, at any age, for different purposes, and to varying degrees. Accordingly, we may distinguish different types of second language learning. Traditionally, a fundamental distinction has been made between tutored (guided) and untutored (spontaneous) language learning.”

Dari kutipan di atas Klein berpendapat bahwa dalam proses pemerolehan bahasa kedua dapat terjadi dalam berbagai cara, usia, dan tujuan apa pun. Secara tradisional proses pemerolehan bahasa dapat muncul karena dua jenis pembelajaran, baik diajarkan secara langsung, yaitu adanya keterlibatan pendidik maupun secara alami atau spontan karena faktor lingkungan.

(6)

3. Teknik

Menurut Anthony (1963), “A technique is implementational that which actually take place in the classroom. It is particular tricks, stratagem, or contrivance, used to accomplish an immediate objective. Technique must be consistent with a method, and therefore in harmony with an approach as well.”

Jadi, dapat dikatakan bahwa teknik adalah pelaksanaan pembelajaran yang terjadi di dalam kelas yang dapat berupa trik, siasat, atau penemuan yang digunakan untuk mencapai tujuan dari pembelajaran. Teknik juga harus konsisten dengan metode dan selaras dengan pendekatan.

4. Bermain Peran

Bermain peran merupakan salah satu teknik pembelajaran yang digunakan dalam

proses belajar mengajar khususnya pada keterampilan bercakap-cakap. Berikut adalah beberapa definisi mengenai teknik bermain peran. Menurut Hadfield (1986), bermain peran adalah sejenis permainan gerak yang di dalamnya ada tujuan, aturan, dan sekaligus melibatkan unsur senang. Dalam bermain peran pembelajar diperlakukan sebagai subjek pembelajaran, secara aktif melakukan paktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris) bersama teman-temannya pada situasi tertentu (Muslich, 2010:247).

Menurut Cross (1991:282), teknik bermain peran termasuk dalam drama activities. Cross membagi drama activities menjadi empat, yaitu sebagai berikut.

1) Role adoption, yaitu istilah untuk menggambarkan jenis kegiatan drama di mana hanya satu pembelajar dari kelompok pasangan mengambil identitas baru, mengubah praktik dan eksploitasi teks ke dalam kinerja nyata. Peran

(7)

adopsi juga bisa didasarkan pada karakter dalam suatu bagian membaca dalam buku teks. Salah satu dari setiap pasangan menjadi karakter utama dari teks dan pasangan bebas untuk mengajukan pertanyaan kepada tokoh tersebut.

2) Prescribed role play, yaitu kegiatan dalam bentuk drama karena kegiatan ini lebih difokuskan pada situasi fungsional dengan serangkaian tugas yang harus diselesaikan dalam situasi tertentu. Biasanya siswa diajarkan ekspresi yang diperlukan dan telah dirumuskan sebelumnya dan kosa kata yang terkait. Jenis bermain peran ini menawarkan latihan kepada pembelajar untuk di kemudian hari, komunikasi dengan melibatkan pembelajar dalam situasi simulasi, memaksa mereka untuk memenuhi kebutuhan dan mengekspresikan makna dengan menggunakan sumber linguistik yang terbatas. Penerapan bermain peran ini biasanya menggunakan media yang disebut talk cards. Pembelajar menggunakan kartu tersebut sebagai dasar topik dalam berkomunikasi.

3) Free role play; pada teknik ini para pembelajar merancang adegan mereka sendiri. Keuntungan dari penerapan jenis permainan peran ini adalah pembelajar yang kurang kemampuannya dapat membatasi diri pada kemampuan mereka. Sebaliknya, pembelajar yang memiliki kemampuan lebih ada kebebasan untuk berkreasi dan pengambilan risiko. Pada

(8)

penerapan teknik ini digunakan beberapa teks yang berisi petunjuk yang bisa dijadikan topik dalam percakapan.

4) Free role play from a text, Selain menggunakan teks ada teknik free role play tanpa menggunakan teks. Pada permainan peran jenis ini tidak ada

persiapan waktu sebelumnya, baik bagi pembelajar maupun pengajar. Beberapa orang ditunjuk untuk maju ke depan kelas menjadi orang-orang yang digambarkan dalam sebuah insiden dalam sehari- hari.

2.3 Kerangka Teori

2.3.1 Pemerolehan Bahasa Kedua

Arifuddin (2010: 114) mengemukakan dua pemerolehan bahasa yang dialami manusia yaitu pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa pertama atau bahasa ibu adalah bahasa yang diperoleh pertama kali dan pemerolehan bahasa kedua adalah kajian tentang bagaimana pembelajar mempelajari sebuah bahasa lain setelah dia memperoleh bahasa ibunya. Proses pemerolehan bahasa dapat terjadi dalam berbagai cara, usia, dan tujuan apa pun. Terdapat dua jenis proses pembelajaran bahasa kedua yaitu pemerolehan secara langsung atau spontan dan pemerolehan bahasa dengan cara dipandu (guided learning). Pemerolehan secara spontan atau langsung menunjukan pemerolehan

(9)

yang sistematis. Berbeda dengan pembelajaran dengan spontan dalam guided language learning, setiap pemerolehan bahasa 'dipandu' oleh beberapa faktor, seperti

misalnya ruang lingkup dan jenis data linguistik yang tersedia untuk pelajar. Proses ini dapat kita jumpai di sekolah dimana dalam proses pembelajaran bahasa kedua ini akan mengacu kepada sistematik bahasa kedua, dan tentunya dalam proses ini metode „belajar sendiri‟ sudah termasuk didalamnya (Klein, 1986:15).

Hynes (2007:30) mengemukakan beberapa tahapan pemerolehan bahasa kedua sebagai berikut:

1) Pre-production (Silent Period)

Pre-production atau Silent Period ini dapat berlangsung selama 10 jam

hingga enam bulan. Pada tahap ini, seseorang yang baru mengenal bahasa Inggris dapat memberikan respon terhadap gambar-gambar atau hal-hal visual lainnya dengan menggunakan beberapa cara seperti menunjuk, melakukan sesuatu kegiatan, menggunakan isyarat-isyarat (menggeleng dan mengangguk).

2) Early Production

Tahap Early Production ini dapat berlangsung selama enam bulan berikutnya setelah tahap Silent Period. Frasa-frasa satu atau dua kata mulai bisa diungkapkan dan pemahaman materi-materi baru dapat ditunjukkan dengan memberikan jawaban-jawaban singkat untuk pertanyaan-pertanyaan yes/no, either/or, atau pertanyaan-pertanyaan yang menggunakan who/what/where.

(10)

3) Speech Emergence

Tahap Speech Emergence dapat berlangsung hingga satu tahun berikutnya. Kemampuan berdialog dan bertanya serta menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana diperoleh pada tahap ini. Kalimat-kalimat yang lebih panjang dapat diproduksi meskipun masih terdapat kekurangan seperti grammatical errors dalam berkomunikasi.

4) Intermediate Proficiency

Tahap Intermediate Proficiency dapat berlangsung sekitar setahun setelah tahap speech emergence. Salah satu ciri yang mulai tampak pada tahap ini adalah produksi kalimat-kalimat yang lebih kompleks. Seseorang dapat menyatakan pendapat, mengajukan pertanyaan untuk klarifikasi, berbagi pendapat atau bertukar pikiran, dan berbicara lebih lama dalam bahasa Inggris.

5) Advanced Fluency

Pada tahap Advanced Fluency, seseorang yang melewati proses akuisisi bahasa Inggris sebagai bahasa kedua dapat dikatakan mahir yang ditandai dengan kemampuan berbicara bahasa Inggris menggunakan tata bahasa dan kosa kata yang dapat dibandingkan atau hampir sama dengan seorang penutur asli.

Dalam penelitian ini bahasa Inggris menjadi salah satu bahasa yang dikaji penggunaannya dan juga menjadi salah satu bahasa asing di Indonesia. Pemerolehan

(11)

bahasa kedua atau bahasa asing dalam penelitian ini dilaksanakan dalam proses guided learning atau pemerolehan di dalam kelas. Penggunnaan teori pemerolehan

bahasa dalam penelitian ini bertujuan untuk memeberikan gambaran bagi peneliti mengenai pemerolehan bahasa kedua atau asing serta mengetahui pengelompokan kemampuan pembelajar dalam penerapan teknik bermain peran.

2.3.2 Keterampilan Berbicara

Salah satu keterampilan berbahasa yang dikaji dalam penelitian ini adalah keterampilan berbicara menggunakan bahasa Inggris. Menurut Iskandarwassid dan Sunendar (2009:239), keterampilan berbicara memiliki kaitan yang erat dengan keterampilan menyimak. Seorang pembicara mengasosiasikan makna, mengatur interaksi; siapa harus mengatakan apa, kepada siapa, kapan, dan tentang apa. Dalam konteks komunikasi pembicara berlaku sebagai pengirim (sender), sedangkan penerima (receiver) adalah penerima warta (message) yang merupakan objek dari komunikasi. Kemudian, balikan (feedback) akan muncul setelah warta diterima dan merupakan reaksi dari penerima pesan. Keterampilan berbicara merujuk pada prinsip stimulus-respons, yang hakikatnya merupakan keterampilan memproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan, dan keinginan pada orang lain. Berikut adalah beberapa tujuan dari keterampilan berbicara yang mencakup pencapaian sejumlah hal.

(12)

1) Kemudahan Berbicara

Peserta didik harus mendapatkan kesempatan yang besar untuk berlatih berbicara sampai mereka mengembangkan keterampilan ini secara wajar, lancar, dan menyenangkan, baik dalam kelompok kecil maupun di hadapan pendengar umum yang lebih besar jumlahnya.

2) Kejelasan

Dalam hal ini peserta didik berbicara dengan tepat dan jelas, baik artikulasi maupun diksi kalimat-kalimatnya dan gagasan yang diucapkan harus tersusun dengan baik.

3) Bertanggung Jawab

Latihan berbicara yang bagus menekankan pembicara untuk bertanggung jawab agar berbicara dengan tepat dan dapat dipikirkan dengan sungguh-sungguh mengenai apa yang menjadi topik pembicaraan, tujuan pembicaraan, siapa yang diajak bicara, dan bagaimana situasi pembicaraan serta momentumnya.

4) Membentuk Pendengaran yang Kritis

Selain berbicara yang baik, latihan ini sekaligus mengembangkan keterampilan menyimak secara tepat dan kritis. Peserta didik perlu belajar untuk mengevaluasi kata-kata, niat, dan tujuan pembicara.

(13)

5) Membentuk Kebiasaan

Kebiasaan berbicara tidak dapat dicapai tanpa kebiasaan berinteraksi dalam bahasa yang dipelajari, bahkan dalam bahasa ibu. Faktor ini demikian penting dalam membentuk kebiasaan berbicara dalam perilaku seseoramg.

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan keterampilan berbicara adalah kemampuan mahasiswa Jurusan Kantor Depan PPLP MAPINDO di dalam mengungkapkan kehendak, kebutuhan perasaan, dan keinginan pada orang lain serta mampu mengasosiasikan makna, mengatur interaksi kepada siapa berbicara, mengatakan apa (tata bahasa), kapan, dan tentang apa (topik pembicaraan) dan di mana pembicaraan itu berlangsung. Hal ini dimaksudkan agar proses aktivitas berbicara berjalan dengan baik.

2.3.3 Faktor-Faktor Penunjang Keefektifan Berbicara

Seorang pembicara yang baik hendaknya mampu mengekspresikan keinginan ataupun pemikirannya dengan baik, baik dari segi linguistik atau kebahasaan maupun segi nonkebahasaan. Arsjad dan Mukti (1988:17) mengemukakan beberapa faktor penunjuang keefektifan berbicara yang dibagi menjadi faktor verbal dan faktor nonverbal sebagai berikut.

1) Faktor Verbal

(a) Ketepatan ucapan

Seorang pembicara harus membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi bahasa secara tepat. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang kurang tepat dapat

(14)

mengalihkan perhatian pendengar. Hal ini akan mengganggu keefektifan berbicara. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang kurang tepat atau cacat akan menimbulakan kebosanan, kurang menyenangkan, kurang menarik, atau setidaknya dapat mengalihkan perhatian pendengar. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa dianggap cacat apabila menyimpang terlalu jauh dari ragam bahasa lisan biasa sehingga terlalu menarik perhatian, mengganggu komunikasi atau pemakainya (pembicara) dianggap aneh.

(b) Penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi

Kesesuaian tekanan, nada, sendi, dan durasi merupakan daya tarik tersendiri dalam berbicara, bahkan terkadang merupakan faktor penentu. Walaupun masalah yang dibicarakan kurang menarik, dengan penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai akan menyebabkan masalahnya menjadi menarik. Sebaliknya, jika penyampaiannya datar saja, hampir dapat dipastikan akan menimbulkan kejemuan dan keefektifan tentu berkurang. Penempatan tekanan pada kata atau suku kata yang kurang sesuai akan mengakibatkan kejanggalan.

(c) Pilihan kata (diksi)

Pilihan kata hendaknya jelas, tepat, dan bervariasi. Dalam setiap pembicaraan pemilihan kata-kata populer tentu akan lebih efektif daripada kata-kata yang muluk-muluk. Kata-kata yang belum dikenal memang

(15)

mengakibatkan rasa ingin tahu, tetapi akan menghambat kelancaran komunikasi.

(d) Ketepatan sasaran pembicaraan

Ketepatan sasaran menyangkut penggunaan kalimat. Pembicara yang menggunakan kalimat efektif akan memudahkan pendengar menangkap pembicaraannya. Seorang pembicara harus mampu menyusun kalimat efektif, kalimat yang mengenai sasaran sehingga mampu menimbulkan pengaruh, meninggalkan kesan, atau menimbulkan akibat.

2) Faktor Nonverbal

(a) Sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku

Pembicaraan yang tidak tenang, lesu, dan kaku tentu akan memberikan kesan pertama yang kurang menarik. Dari sikap yang wajar saja sebenarnya pembicara sudah dapat menunjukkan otoritas dan integritas dirinya. Sikap ini sangat banyak ditentukan oleh situasi, tempat, dan penguasaan materi. Sikap ini memerlukan latihan dan jika sudah terbiasa, rasa gugup saat tampil akan hilang dan akan timbul rasa tenang dan wajar.

(b) Pandangan harus diarahkan kepada lawan bicara

Pandangan berbicara hendaknya diarahkan kepada semua pendengar. Pandangan yang hanya tertuju pada satu arah akan menyebabkan pendengar merasa kurang diperhatikan. Banyak pembicara ketika berbicara tidak memerhatikan pendengar, tetapi melihat ke atas, ke samping, atau menunduk.

(16)

Akibatnya, perhatian pendengar berkurang. Hendaknya diusahakan supaya pendengar merasa terlibat dan diperhatikan.

(c) Kesediaan menghargai pendapat orang lain

Dalam menyampaikan isi pembicaraan, seorang pembicara hendaknya memiliki sikap terbuka, dalam arti dapat menerima pendapat orang lain, bersedia menerima kritik, bersedia mengubah pendapatnya kalau memang keliru. Namun, tidak berarti si pembicara begitu saja mengikuti pendapat orang lain dan mengubah pendapatnya. Ia juga harus mampu mempertahankan pendapatnya dan menyakinkan orang lain. Tentu saja pendapat itu harus mengandung argumantasi yang kuat, yang diyakini kebenarannya.

(d) Gerak- gerik dan mimik yang tepat.

Gerak- gerik dan mimik yang tepat dapat pula menunjang keefektifan berbicara. Hal-hal penting selain mendapatkan tekanan, biasanya juga sering dibantu dengan gerak tangan atau mimik. Hal ini dapat menghidupkan komunikasi, artinya tidak kaku. Akan tetapi, gerak gerik yang berlebihan akan mengganggu keefektifan berbicara. Mungkin perhatian pendengar akan terarah pada gerak gerik dan mimik yang berlebihan ini sehingga pesan kurang dipahami.

(17)

(e) Kenyaringan suara

Tingkat kenyaringan ini tentunya disesuaikan dengan situasi, tempat, dan jumlah pendengar. Yang perlu diperhatikan adalah tidak berteriak, kenyaringan suara diatur supaya dapat didengar oleh pendengar dengan jelas. (f) Kelancaran

Seorang pembicara yang lancar berbicara akan memudahkan pendengar menangkap isi pembicaraannya.

(g) Relevansi atau penalaran

Setiap gagasan yang disampaikan harus diutarakan secara logis. Gagasan yang berbelit-belit membuat para pendengar menjadi bingung sehingga tidak mengerti tentang isi pembicaraan.

(h) Penguasaan topik

Pembicaraan formal selalu menuntut persiapan. Tujuannya tidak lain supaya topik yang dipilih betul-betul dikuasai. Penguasaan topik yang baik akan menumbuhkan keberanian dan kelancaran. Penguasaan topik ini sangat penting, bahkan merupakan faktor utama dalam berbicara.

Dalam penelitian ini teori mengenai keefektifan berbicara digunakan sebagai acuan penilaian kemampuan berbicara pembelajar dalam penerapan teknik bermain peran.

(18)

2.3.4 Hambatan Keterampilan Berbicara

Kemampuan atau keterampilan berbicara seseorang tentunya berbeda-beda dan setiap orang memiliki kendala dalam proses pemerolehan bahasa khususnya dalam hal keterampilan berbicara. Rusmiati (2002:30) menyebutkan beberapa hal yang menjadi faktor penghambat dalam keterampilan berbicara, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

1) Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor penghambat yang muncul dari dalam diri pembicara, yang dapat dipaparkan sebagai berikut:

a. Ketidaksempurnaan alat ucap

Ketidaksempurnaan alat ucap merupakan salah satu hambatan dalam proses berbicara. Ketidaksempurnaan ini dapat berupa bawaan lahir ataupun akibat dari sebuah kejadian. ketidaksempurnaan alat ucap ini dapat memengaruhi kegiatan berbicara, seperti kesalahan penafsiran atau ketidakpahaman pendengar.

b. Penguasaan komponen kebahasaan

Hambatan dalam komponen kebahasaan meliputi lafal dan intonasi, pilihan kata, struktur bahasa, dan gaya bahasa.

c. Penguasaan komponen isi

Hambatan dalam komponen isi meliputi hubungan isi dengan topik, struktur isi, kualitas isi, dan kuantitas isi. Penguasaan komponen isi tidak akan menjadi sebuah hambatan bagi pembicara jika pembicara dapat menguasai komponen isi

(19)

dengan baik dan mempersiapkan bahan pembicaraan dengan matang serta didukung dengan pengetahuan yang luas.

d. Kelelahan dan kesehatan, baik fisik maupun mental

Kelelahan dan kesehatan, baik fisik maupun mental, menjadi salah satu faktor hambatan selain penguasaan kebahasaan dan komponen isi karena jika seorang pembicara memiliki kesehatan fisik yang tidak stabil maka proses berbicara pun akan menjadi terganggu.

2) Faktor Eksternal

Faktor eksternal merupakan hambatan yang berasal dari luar pembicara. Hambatan-hambatan tersebut meliputi suara atau bunyi, kondisi ruangan, media, dan pengetahuan pendengar.

Faktor-faktor hambatan keterampilan berbicara di atas dipakai untuk mengetahui hambatan apa saja yang dihadapi pembelajar ketika berbicara dalam penerapan teknik bermain peran.

2.3.5 Fonetik

Selama berkomunikasi salah satu aspek penting yang harus diperhatikan adalah pelafalan. Pelafalan yang tepat diperlukan untuk menghindari kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Salah satu ilmu yang mempelajari pelafalan atau bunyi ujaran adalah fonetik. Muslich (2011:1) menyebutkan bahwa kajian mendalam tentang bunyi-bunyi ujar diselidiki oleh cabang linguistik yang disebut fonologi. Dalam fonologi terdapat dua cabang kajian, yaitu fonetik dan fonemik. Menurut Muslich, fonetik adalah

(20)

bunyi-bunyi ujar dipandang sebagai media bahasa semata, tak ubahnya seperti benda atau zat. Dengan demikian, bunyi-bunyi dianggap sebagai bahan mentah, bagaikan batu, pasir, semen sebagai bahan mentah bangunan rumah. Ladefoged (1975:25) memberikan definisi fonetik sebagai berikut: “Phonetic is concerned with describing the speech sounds that occur in the languages of the world”. Jadi, fonetik merupakan

kajian yang terfokus pada penggambaran bunyi bahasa yang terdapat dalam bahasa-bahasa di seluruh dunia. Dalam proses pelafalan bahasa-bahasa terdapat beberapa hal yang memengaruhi pelafalan tersebut, yaitu sebagai berikut.

1) Tempat artikulasi

Dalam proses pembentukan bunyi terdapat unsur artikulasi yang memengaruhi pembentukan bunyi tersebut, baik yang berupa segmen vokal maupun segmen konsonan. Dalam proses pembentukan bunyi tempat artikulasi ditandai dengan aliran udara yang bergerak dari satu artikulasi rendah menuju ke tempat artikulasi yang lebih tinggi (Ladefoged, 1975:5).

Ladefoged (1975:6) mengemukakan beberapa tempat artikulasi, yaitu sebagai berikut.

(a) Bilabial

(Terbentuk dari kedua bibir). Bunyi yang dihasilkan terjadi akibat terkatupnya kedua bibir untuk bunyi pertama yang dihasilkan dalam setiap kata seperti kata “pie, buy, my” ,dll.

(21)

(b) Labiodental

(Bibir bawah dan gigi atas depan). Bunyi terjadi akibat naiknya bibir bagian bawah hingga hampir menyentuh gigi atas depan, seperti bunyi konsonan pertama pada kata “five, vie”, dll.

(c) Dental

(Ujung lidah dan gigi atas depan). Berikut adalah beberapa contoh kata yang termasuk ke dalam kategori dental seperti bunyi konsonan pertama pada kata “thigh, thy.” Beberapa orang (mayoritas pembicara dari bahasa Inggris Amerika) memiliki ujung lidah yang menonjol antara bagian atas dan bawah gigi depan, sedangkan pembicara lainnya (pembicara bahasa Inggris British) memiliki ujung lidah yang dekat di belakang gigi depan bagian bawah. Kedua jenis suara tersebut adalah normal dalam bahasa Inggris dan sama-sama disebut dental. (d) Alveolar

(Ujung lidah dan daerah rongga gigi). Ada dua kemungkinan yang terdapat dalam bahasa Inggris yang memiliki sistem pengucapan yang hampir sama antara alveolar dan dental. Berikut adalah beberapa contoh bunyi konsonan pertama pada kata-kata yang termasuk kedalam kelompok alveolar” tie, die, nigh, sigh, zeal, lie”. Kata-kata tersebut diucapkan dengan posisi ujung lidah menyentuh daerah rongga gigi. Sedangkan konsonan pertama pada kata-kata seperti ”ten dan tenth” merupakan dental dalam proses pengucapannya posisi lidah menyentuh gigi bagian atas.

(22)

(e) Retrofleks

(Ujung lidah dan bagian belakang daerah rongga gigi). Banyak pembicara bahasa Inggris tidak menggunakan bunyi retrofleks. Akan tetapi, dalam beberapa kata terdapat unsur bunyi retrofleks seperti bunyi konsonan pertama dalam kata “rye, row, ray”. Pembicara yang melafalkan huruf “r” pada akhir sebuah kata juga memiliki bunyi retrofleks, yaitu posisi lidah meninggi dalam kata-kata “ire, hour, air”

(f) Palato Alveolar

(Pisau lidah dan bagian belakang rongga gigi) Berikut beberapa contoh kata-kata yang konsonan pertama berbunyi atau termasuk ke dalam palate alveolar “shy, she, show”. Selama mengucapkan konsonan pada kata-kata tersebut, posisi ujung lidah bisa turun ke belakang gigi depan bagian bawah, atau naik dekat dengan rongga gigi. Akan tetapi, pisau lidah selalu dekat menuju bagian belakang dari rongga gigi.

(g) Palatal

(Bagian depan lidah dan langit-langit keras). Bunyi ini terdapat pada konsonan pertama pada kata “you”. Ketika kita mengucapkan konsonan pada kata tersebut, dapat dirasakan bahwa posisi bagian depan lidah terangkat menuju langit-langit keras atau hard palate.

(23)

(h) Velar

(Bagian belakang lidah dan langit-langit lembut) Konsonan yang memiliki tempat artikulasi terjauh dalam bahasa Inggris terdapat dalam akhir kata pada kata-kata berikut ”hack, hag, hang”. Keseluruhan bunyi tersebut memosisikan bagian belakang lidah yang terangkat sehingga menyentuh bagian bagian belakang langit-langit yang lunak atau velum.

2) Fonetik dalam Bahasa Inggris

Simbol-simbol konsonan beserta posisi artikulasi dan cara pengucapan artikulasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1 di bawah ini.

Tabel 2.1 Fonetik

Sumber: Ladefoged (1975:37)

Pada Tabel 2.1 di atas tempat artikulasi terlihat pada bagian atas bagan yang dimulai dari artikulasi yang paling depan (bilabial) hingga suara-suara yang diproduksi oleh

Bilabial labio

dental Dental alveolar

palato

alveolar palatal velar Nasal (stop) m n ŋ Stop p b t d k g Fricative f v θ ð s z ʃ ʒ (central) Approximant (w) ɹ j w Lateral (approximant) l

(24)

bagian belakang mulut (velar). Cara artikulasi terlihat pada bagian vertikal dalam tabel, sedangkan bersuara atau tidak bersuaranya simbol-simbol tersebut terlihat pada peletakannya. Simbol yang bersuara terletak di sebelah kiri dan simbol yang tidak bersuara terletak di sebelah kanan.

Jika dilihat pada Tabel 2.1 di atas, simbol [w] ditempatkan pada dua tempat. Hal ini disebabkan oleh simbol tersebut diartikulasikan dengan membuka kedua celah bibir yang sempit yang membuatnya menjadi bilabial dan naiknya bagian belakang lidah menuju langit-langit lunak, yang akan membuatnya menjadi velar. Konsonan [h] juga tidak terdapat pada bagan di atas. [h] berperan sebagai konsonan dalam bahasa Inggris. Akan tetapi, jika ditinjau dari sudut pandang pengucapan atau artikulasi, [h] termasuk ke dalam kategori tidak bersuara atau voiceless dari keseluruhan bunyi. Simbol [h] tidak memiliki tempat yang tepat dalam artikulasi dan cara pengucapannya pun sama dengan pengucapan vokal (Ladefoged, 1975:37).

Penggunaan konsonan dalam kata-kata bahasa Inggris dapat dilihat pada Tabel 2.2 di bawah ini.

(25)

Tabel 2.2

Symbols for transcribing English consonants. (alternative symbols that may be found in other books are given in parentheses)

p pie eea t tie tea k kye key b by bee d dye d ɡ guy m my me ram

n nigh knee ran

ŋ rang

f fie fee

v vie v

θ thigh

ð thy thee

s sigh sea listen

z z mizzen

ʃ (š) shy she mission

ʒ (ž) vision l lie lee w why we ɹ (r) rye J (y) ye h high he

Note also the following

tʃ (c ) chi(me) chea(p)

d ʒ ( j) ji(ve) g

Sumber: Ladefoged (1975:27)

Di atas telah dipaparkan beberapa simbol konsonan. Pada Tabel 2.3 berikut dipaparkan simbol-simbol bahasa Inggris yang termasuk ke dalam vokal atau vowel sebagai berikut.

(26)

Tabel 2.3

Simbol-simbol Vokal

Front central back

High i u Mid high I ʊ e ɜ o Mid Mid low ɛ ɔ ʌ Low æ ɒ a ɑ Sumber :Ladefoged (1975:38)

Secara umum tingkatan dari simbol-simbol vokal dapat dilihat dari Tabel 2.3 di atas yang menunjukkan kualitas tingkatan dari simbol vokal. Misalnya, [i] digunakan untuk vokal tinggi depan, [u] untuk vokal tinggi belakang, [I] untuk vokal tengah depan yang lebih rendah.

“The transcription of the contrasting vowels in English is more difficult than the transcription in consonants for two reason. First, dialect of English differ more in their use of vowels that in their use of consonant. Second, authorities differ widely in their views of what constitutes an appropriate description of vowels.” (Ladefoged, 1975:29)

Dari ujaran di atas Ladefoged berpendapat bahwa trankripsi untuk vokal dalam bahasa Inggris lebih sulit yang disebabkan oleh dua alasan. Pertama, dialek-dialek dalam bahasa Inggris lebih banyak perbedaannya dalam hal penggunaan vokal

(27)

daripada konsonan. Kedua, para otoritas lebih membedakan pandangan mereka tentang apa yang merupakan deskripsi yang tepat bagi vokal. Penggunaan simbol-simbol vokal di atas dapat dilihat pada Tabel 2.4 di bawah ini.

Tabel 2.4

Symbols for transcribing contrasting vowels in English. Column 1 applies to many speakers of American English, colomn 2 to most speaker of British English

1 2 3

I i heed he bead heat keyed

I I hid bid hit kid

eI eI hayed hay bayed hate cade

ɛ ɛ head bed

æ æ had bad hat cad

ɑɹ ɑ hard bard heart card

ɑ ɒ hod bod hot cod

ɔ ɔ hawed haw bawd cawed

ʊ ʊ hood could

oʊ əʊ hoed hoe bode code

U u who‟d who booed hoot cooed

ʌ ʌ hudd bud hut cud

ɜ ɜ herd her bird hurt curd

aI aI hide high bide hight

aʊ aʊ how bowed cowed

ɔI ɔI (a)hoy boyd

Iɹ Iə Here beard

eɹ ɛə Hair bared cared

aIɹ aə hired Hire

Note also

Ju ju hued hue bude cued

Sumber: Ladefoged (1975:29)

Pengguaan teori fonetik dalam penelitian ini berfungsi sebagai kerangka teori dalam menganalisis data dan untuk mengkaji lebih dalam penguasaan bahasa Inggris

(28)

oleh pembelajar di PPLP MAPINDO khususnya dari segi pelafalan (pronounciation) yang dihasilkan dalam penerapan teknik bermain peran. Peneliti menggunakan teori fonetik bahasa Inggris yang dimaksudkan untuk mengetahui kesulitan atau kendala yang dialami pembelajar dalam hal pelafalan dalam penerapan teknik bermain peran selama proses belajar mengajar. Dengan menggunakan teori fonetik ini, peneliti mencoba membantu pembelajar untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan pelafalan bahasa Inggris yang dihasilkan dalam berkomunikasi.

2.3.6 Pragmatik

Kridalaksana (2008) memberikan dua pengertian tentang pragmatik, yaitu (1) syarat-syarat yang mengakibatkan serasi atau tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi, (2) aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan pada makna ujaran. Dalam pragmatik terdapat beberapa teori yang dipakai untuk menganalisis tindak tutur sebagai berikut:

2.3.6.1 Teori Etnografi Berbicara

Salah satu kerangka teori yang dipakai di dalam penelitian ini adalah teori etnografi berbicara yang mengemukakan adanya unsur-unsur dalam setiap terjadinya hubungan berbahasa (Dell Hymes, 1972). Unsur-unsur yang membangun situasi wicara ini disebut sebagai etnography of speaking yang berjumlah delapan buah yang disingkat dalam suatu akronim, yaitu SPEAKING. Kedelapan unsur tersebut adalah sebagai berikut.

(29)

1. S : Setting and Scene (tempat dan waktu) 2. P : Participant (peserta pembicaraan)

3. E : End (hasil pembicaraan), akibat atau tujuan pembicaraan yang diharapkan.

4. A : Act Sequence (amanat), adalah bentuk dan isi yang tertuang dalam bentuk kata-kata dan pokok pembicaraan.

5. K : Key (cara), yaitu usaha yang dilakukan dalam menyertai pembicaraan.

6. I : Instrumentalistis (sarana) adalah variasi dan cara pemakaian bahasa yang dilakukan pada saat peristiwa itu dilakukan.

7. N : Norms (norma)

8. G : Genres (jenis) adalah kategori bentuk percakapan yang dipakai dalam suatu peristiwa bicara..

Dalam penelitian ini unsur-unsur yang terdapat dalam teori Dell Hymes digunakan untuk menilai kemampuan keterampilan berbicara pembelajar.

2.3.6.2 Tindak tutur

Tindak tutur yang diujarkan oleh objek penelitian diteliti dengan teori yang dikemukakan oleh Searle (1969). Beliau mengemukakan bahwa setidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi

(30)

1. Tindak Lokusi

Tindak lukosi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Berikut adalah contoh tindak lokusi.

a. Ikan paus adalah binatang menyusui. b. Jari tangan jumlahnya lima.

Bila diamati, kedua kalimat di atas diutarakan oleh penutur yang bertujuan untuk memberikan informasi tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk memengaruhi lawan tuturnya. Lebih jauh, tindak lokusi adalah tindak tutur yang relatif paling mudah diidentifikasikan karena pengindentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tututran yang tercakup dalam situasi tutur, seperti penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, dan tujuan tuturan.

2. Tindak Ilokusi

Sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga digunakan untuk melakukan sesuatu. Bila hal ini terjadi, tindak tutur yang terbentuk adalah tindak ilukosi. Berikut adalah contoh tindak ilukosi.

a. Saya tidak dapat datang. b. Ujian sudah dekat.

Kalimat pertama diutarakan oleh seseorang kepada temannya yang baru saja merayakan ulang tahun. Tuturan itu tidak hanya berfungsi untuk menyatakan

(31)

sesuatu tetapi untuk melakukan sesuatu, yakni meminta maaf. Kalimat kedua bila diucapkan oleh seorang guru kepada muridnya, akan berfungsi untuk memberikan peringatan agar lawan tuturnya (murid) mempersiapkan diri. Dari apa yang terurai di atas jelaslah bahwa tindak ilukosi sangat sukar diidentifikasi karena terlebih dahulu harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur, kapan, dan di mana tindak tutur itu terjadi.

3. Tindak Perlokusi

Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang sering kali mempunyai daya pengaruh (perlucotionary force) atau efek bagi yang mendengarkannya. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk memengaruhi lawan tutur disebut dengan tindak perlokusi. Berikut adalah contoh tindak perlokusi.

a. Rumahnya jauh.

b. Kemarin saya sangat sibuk.

Kedua kalimat di atas mengandung unsur tindak lokusi. Akan tetapi, bila kalimat (a) diutarakan oleh seseorang kepada ketua perkumpulan, maka ilukosinya adalah secara tidak langsung menginformasikan bahwa orang yang dibicarakan tidak dapat terlalu aktif di dalam organisasinya. Adapun efek perlokusi yang diharapkan agar ketua tidak terlalu banyak memberikan tugas kepadanya. Kalimat kedua diutarakan oleh seseorang yang tidak dapat

(32)

menghadiri undangan rapat kepada orang yang mengundangnya. Kalimat ini merupakan tindak ilukosi untuk meminta maaf dan perlokusi (efek) yang diharapkan adalah orang yang mengundang dapat memakluminya.

Selain mengemukakan tiga jenis tindakan yang dilakukan oleh penutur seperti uraian di atas, Wijana dan Rohmadi (2011:27) membagi tindak tutur ke dalam beberapa jenis, yaitu seperti dibawah ini:

1. Tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung

Secara formal, berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif). Secara konvensional, kalimat berita digunakan untuk memberikan suatu informasi, kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan, atau permohonan. Tindak tutur yang terbentuk dari kalimat berita, tanya dan perintah dikategorikan sebagai tindak tutur langsung. Berikut adalah contoh kalimat tindak tutur langsung.

(a) Sidin memiliki lima ekor kucing. (b) Di manakah letak Pulau Bali? (c) Ambilkan baju saya!

Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung biasanya tidak dapat dijawab secara langsung, tetapi harus segera dilaksanakan maksud yang

(33)

terimplikasi di dalamnya. Berikut adalah contoh jenis tindak tutur tidak langsung.

(a) Saya kemarin tidak dapat hadir. (b) Jam berapa sekarang?

(c) + Saya kemarin tidak dapat hadir.

- Sudah tahu. Kemarin kamu tidak kelihatan. (d) + Jam berapa sekarang?

- Jam 12 malam, Bu

(e) + Saya kemarin tidak dapat hadir - Ya tidak apa-apa

(f) + Jam berapa sekarang?

- Ya Bu, sekarang saya pamit

Tuturan a dan b yang secara tidak langsung digunakan untuk memohon maaf dan menyuruh seorang tamu meninggalkan tempat pondokan mahasiswa putri tidak dapat dijawab secara langsung, tetapi dengan pemberian maklum atau maaf, dan tindakan untuk segera meningalkan pondokan. Oleh karena itu, c, d terasa janggal karena jawaban yang diberikan berupa jawaban langsung tanpa ada maksud lain dan jawaban hanya didasarkan pada konteks pertanyaan yang sebenarnya. Sedangkan e dan f terasa lazim untuk mereaksi a dan b dalam konteks tersebut. Uraian di atas dapat digambarkan dalam Tabel 2.5 sebagai berikut.

(34)

Tabel 2.5 Tindak Tutur

Modus Tindak Tutur

Langsung Tidak langsung

Berita memberitakan menyuruh

Tanya bertanya menyuruh

Perintah memerintah -

Sumber : Wijana dan Rohmadi (2011:30)

2. Tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, yang jika diinterseksikan dengan tindak tutur langsung dan tidak langsung, akan didapatkan tindak tutur berikut.

a. Tindak tutur langsung literal (direct literal speech)

Tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya.

Contoh:

(1) Orang itu sangat pandai. (2) Buka mulutmu!

(3) Jam berapa sekarang?

b. Tindak tutur tidak langsung literal

Tindak tutur tidak langsung literal (indirect speech act) adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan penutur.

(35)

Contoh:

(1) Lantainya kotor (adanya unsur memerintah membersihkan lantai).

(2) Di mana handuknya? (adanya unsur memerintah untuk mengambilkan handuk).

c. Tindak tutur langsung tidak literal

Tindak tutur langsung tidak literal (direct nonliteral speech) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Maksud memerintah diungkapkan dengan kalimat perintah dan maksud menginformasikan dengan kalimat berita.

Contoh:

(1) Suaramu bagus, kok (sebenarnya tidak bagus).

(2) Kalau makan biar kelihatan sopan, buka saja mulutmu! d. Tindak tutur tidak langsung tidak literal

Tidak tutur tidak langsung tidak literal (indirect nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang diutarakan.

(36)

Contoh:

(1) Lantainya bersih sekali.

(Seseorang menyuruh pembantu menyapu lantai yang kotor dan mengutarakan kalimat tersebut dengan nada tertentu.)

Dalam penelitian ini tindak tutur digunakan untuk mengetahui tindak tutur mana yang paling sering digunakan oleh mahasiswa dalam berkomunikasi.

2.3.6.3 Prinsip kerja sama menurut Grice

Dalam berkomunikasi terdapat proses interaksi antara penutur dan mitra tutur sehingga terwujud suatu komunikasi yang baik dan lancar. Kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur diperlukan dalam berkomunikasi. Salah satu prinsip pragmatik yang mengangkat hubungan kerja sama antara peserta tutur adalah prinsip kerja sama yang dikemukakan oleh Grice (1975). Beliau mengemukakan mengenai prinsip-prinsip percakapan. Prinsip tersebut dibagi menjadi empat maksim sebagai berikut.

1. Maksim Kuantitas

Berikanlah jumlah informasi yang tepat, yaitu sebagai berikut. a. Sumbangan informasi Anda harus seinformatif yang dibutuhkan b. Sumbangan informasi Anda jangan melebihi yang dibutuhkan 2. Maksim Kualitas

(37)

a. Jangan mengatakan sesuatu yang Anda yakini bahwa itu tidak benar b. Jangan mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang

menyakinkan. 3. Maksim Hubungan

Usahakan agar perkataan Anda ada relevansinya

4. Maksim Cara: usahakan agar mudah dimengerti, yaitu sebagai berikut. a. Hindarilah pernyataan-pernyataan yang samar

b. Hindarilah ketaksaan

c. Usahakan agar ringkas (hindarilah pertanyaan-pertanyaan yang panjang dan lebar dan bertele-tele)

d. Usahakan agar Anda berbicara teratur

Dalam penelitian ini prinsip kerja sama Grice digunakan untuk mengetahui maksim yang digunakan dan penerapan prinsip ini oleh mahasiswa dalam berkomunikasi selama penerapan teknik bermain peran. Dengan demikian, diketahui kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara tindak tutur mahasiswa dalam berkomunikasi selama penerapan teknik ini.

2.3.6.4 Perinsip kesantunan menurut Leech

Selain Grice ahli bahasa lain yang mengemukakan maksim atau kaidah kebahasaan adalah Leech (1993) yang terkenal dengan maksim kesantunannya. Maksim kesantunan menganjurkan para peserta tutur untuk berkomunikasi dengan sopan dan menghindari ujaran-ujaran yang tidak sopan. Prinsip kesantunan Leech

(38)

menitikberatkan suatu tuturan atas dasar biaya dan keuntungan, persetujuan, pujian, dan simpati. Dalam prinsip ini Leech mengemukakan untuk mengurangi penggunaan tuturan yang kurang sopan selama bertindak tutur. Leech memaparkan pembagian maksim kesantunan menjadi enam bagian sebagai berikut.

1. Maksim Kebijaksanaan ( Tact Maxim) a. Kurangi kerugian orang lain b. Tambahi keuntungan orang lain

Hendaknya para penutur berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan orang lain dalam kegiatan bertutur. Penutur yang berpegang pada maksim kebijaksanaan ini dapat dikatakan sebagai orang yang santun. Maksim ini dapat dilihat dalam contoh berikut.

Tuan Rumah: “Silakan makan saja dulu Nak!”

Tadi kami sudah mendahului

Tamu: “Wah saya jadi tidak enak Bu” Informasi indeksal:

Dituturkan oleh seorang ibu kepada seorang anak muda yang sedang bertamu di rumah ibu tersebut. Pada saat itu, dia harus berada di rumah ibu tersebut sampai malam karena hujan sangat deras dan tidak segera reda.

(39)

2. Maksim Kedermawanan (Generousity Maxim)

Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Contoh berikut dapat memperjelas maksim kedermawanan.

Anak kos A : “Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak,kok yang kotor.”

Anak kos B : “Tidak usah, mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga, kok.” Informasi indeksal:

Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antara anak kos pada sebuah rumah kos di kota Yogyakarta. Anak yang satu berhubungan erat dengan anak yang satunya.

3. Maksim Penghargaan ( Approbation Maxim)

Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling membenci, atau saling merendahkan pihak lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian,

(40)

karena tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang lain. Berikut adalah contoh maksim penghargaan.

Dosen A : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas business English.”

Dosen B : “ Oya, tadi aku mendengar bahasa Inggrismu jelas sekali dari sini.” Informasi indeksal:

Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen di dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi.

4. Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim)

Dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, kesederhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang. Berikut adalah contoh maksim kesederhanaan.

Ibu A : “ Nanti ibu yang memberikan sambutannya ya dalam rapat dasa wisma!”

Ibu B : “Waduh,…..nanti grogi aku.” Informasi indeksal:

(41)

Dituturkan oleh seorang ibu anggota Dasa Wisma kepada temannya sesama anggota perkumpulan tersebut ketika mereka bersama-sama berangkat ke tempat pertemuan.

5. Maksim Pemufakatan (Agreement Maxim)

Maksim kemufakatan sering kali disebut dengan maksim kecocokan. Di dalam maksim ini ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dapat dikatakan bersikap santun. Dalam masyarakat tutur Jawa, orang tidak diperbolehkan memenggal, bahkan membantah secara langsung apa yang dituturkan oleh pihak lain. Hal demikian tampak sangat jelas terutama dalam hal umur, jabatan, dan status sosial penutur berbeda dengan si mitra tutur. Pada jaman kerajaan di Jawa zaman dahulu, orang yang berjenis kelamin wanita tidak diperkenankan menentang sesuatu yang dikatakan dan diperintahkan sang pria. Kalau kita mencermati orang bertutur pada zaman sekarang ini, sering kali didapatkan bahwa dalam memerhatikan dan menanggapi penutur, si mitra tutur menggunakan anggukan tanda setuju dan beberapa hal lain yang sifatnya paralinguistik kinesik untuk menyatakan maksud tertentu. Contoh tuturan berikut dapat memperjelas maksim ini.

(42)

Guru A : “Ruangannya gelap ya, Bu” Guru B : “ He..eh! saklarnya mana ya? Informasi indeksal:

Dituturkan oleh seorang guru kepada rekannya yang juga seorang guru pada saat mereka diruang guru.

6. Maksim Simpati (Sympathy Maxim)

Dalam maksim simpati, para peserta tutur diharapkan dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dan pihak yang lain. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur dianggap sebagai tindakan tidak santun. Rasa simpati terhadap pihak lain sering ditunjukkan dengan senyuman, anggukan, gandengan tangan, dan sebagainya. Berikut adalah contoh maksim simpati.

Karyamahasiswa A : “ Mas, aku akan ujian tesis minggu depan.” Karyamahasiswa B : “ Wah, Proficiat ya! Kapan pesta?”

Informasi indeksal:

Dituturkan oleh seorang karyamahasiswa kepada karyamahasiswa yang lain pada saat mereka berada di ruang perpustakaan kampus.

Leech (1993) memaparkan beberapa skala sebagai parameter untuk menentukan tingkat kesantunan sebuah tuturan. Skala kesantunan Leech adalah sebagai berikut.

(43)

1. Skala kerugian atau keuntungan (cost-benefit scale), menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan itu merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian pula sebaliknya.

2. Skala pilihan (optionally scale), menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, dianggap semakin santunlah tuturan itu, dan begitu pula sebaliknya.

3. Skala ketidaklangsungan (indirectness scale), menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu, begitu pula sebaliknya.

4. Skala keotoritasan (authority scale), menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dan mitra tutur, tuturan itu cenderung menjadi semakin santun, begitu pula sebaliknya.

5. Skala jarak sosial (social distance scale), menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungannya bahwa semakin dekat jarak peringkat

(44)

sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya. Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur.

Dalam penelitian ini prinsip kesantunan Leech digunakan untuk mengetahui maksim kesantunan yang digunakan oleh mahasiswa serta penerapan kesantunan pada tuturan yang dihasilkan mahasiswa dalam berkomunikasi selama penerapan tehnik bermain peran. Secara keseluruhan, penggunaan prinsip kerja sama Grice dan kesantunan Leech digunakan dalam penelitian ini bertujuan sebagai tolak ukur relevansi dan kesantunan dalam tuturan yang dihasilkan mahasiswa selama penerapan teknik bermain peran berlangsung

2.4 Model Penelitian

(45)

Bagan 2.1 Model Penelitian

Bagan 2.1 di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

Objek penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah mahasiswa jenjang Diploma 1 Jurusan Kantor Depan PPLP MAPINDO. Mahasiswa Jurusan Kantor

Mahasiswa Jurusan Kantor Depan PPLP MAPINDO PEMBELAJARAN BERBICARA BAHASA INGGRIS 1. PELAFALAN (FONETIK) 2. PRAGMATIK

3. HAMBATAN MAHASISWA DALAM PEMBELAJARAN BERBICARA PADA PENERAPAN TEKNIK ROLE PLAY

PEMEROLEHAN BAHASA ASING

PROSES BELAJAR MENGAJAR Penerapan

(pendekatan, metode, teknik (role play)

1. Teknik role play Cross (1991) 2. Teori fonetik Ladefoged (1975)

3. Teori pragmatic Dell Hymes (1972), Searle (1969), Wijana dan Rohmadi (2011), prinsip kerja sama Grice (1975), serta prinsip kesantunan Leech (1983)

(46)

Depan dipilih karena mereka akan sering menggunakan salah satu kemampuan berbahasa, yaitu kemampuan berbicara. Mereka akan terjun langsung berinteraksi dengan tamu dalam dunia kerja khususnya perhotelan setelah mengenyam pendidikan teori selama satu semester dan praktik kerja industri pada semester berikutnya. Sebagai salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh para pembelajar, keterampilan berbicara merupakan salah satu proses pemerolehan bahasa. Dalam penelitian ini bahasa yang diteliti adalah bahasa Inggris yang termasuk sebagai bahasa asing di Indonesia dan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama yang memiliki fungsi sebagai jembatan penghubung dalam pemerolehan bahasa asing (bahasa Inggris). Dalam proses pemerolehan bahasa dapat dibagi menjadi dua proses, yaitu pemerolehan bahasa pertama (bahasa ibu) dan bahasa kedua atau bahasa asing. Pemerolehan bahasa Inggris sebagai bahasa asing menjadi salah satu aspek yang diulas dalam penelitian ini.

Dalam penelitian ini proses pemerolehan bahasa asing didapatkan dari proses belajar mengajar (guided learning) yang dilakukan di dalam kelas dengan mata kuliah, yaitu BIP untuk kantor depan. Pelaksanaannya dua kali seminggu dan dalam tiap pertemuan memiliki waktu seratus lima puluh menit. Dalam proses belajar mengajar, terdapat beberapa penerapan yang dilakukan oleh peneliti, seperti penerapan pendekatan, penerapan metode, dan penerapan teknik. Adapun pendekatan yang digunakan dalam proses belajar mengajar adalah pendekatan komunikatif. Pendekatan ini digunakan karena dapat mengeksplor kemampuan mahasiswa

(47)

khususnya dalam keterampilan berbicara. Pendekatan ini lebih memusatkan pada aktivitas pembelajar atau student center learning. Kemudian metode yang digunakan adalah metode kooperatif. Metode kooperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengonstruksi konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri (Suyatno, 2009:51). Teknik yang diterapkan dalam proses belajar mengajar adalah teknik bermain peran khususnya pada kemampuan lisan. Menurut Hadfield (1986), teknik bermain peran, yaitu teknik sejenis permainan gerak yang di dalamnya ada tujuan, aturan, dan sekaligus melibatkan unsur senang. Jadi, dengan penerapan teknik bermain peran akan tercipta suasana yang menyenangkan di dalam kelas sehingga diharapkan para siswa akan mampu memahami materi ajar yang diberikan oleh guru dengan mudah serta dapat mengeksplorasi kemampuan mereka khususnya dalam keterampilan berbicara. Dari proses belajar mengajar tersebut, diperoleh data yang dikaji seperti bagaimana pelafalan (pronounciation) yang dihasilkan oleh pembelajar dalam bentuk ujaran bahasa Inggris yang dalam linguistik termasuk ke dalam aspek fonetik. Kemudian bagaimana tindak tutur (pragmatik) yang dihasilkan oleh pembelajar dalam penerapan teknik bermain peran seperti bentuk kalimat ujaran serta makna pragmatik yang dihasilkan dan maksim-maksim yang dipakai sesuai dengan kerangka teori yang digunakan. Dari penerapan teknik bermain peran ini dikaji faktor-faktor apa saja yang memengaruhi dalam proses pemerolehan bahasa asing (hambatan) yang dihadapi oleh pembelajar dalam penerapan teknik ini.

(48)

Gambar

Tabel 2.5  Tindak Tutur

Referensi

Dokumen terkait

¾ Keragaman perlakuan disebabkan karena perlakuan

4. Kembali dan berkarya di daerah afirmasi asal setelah selesai studi bagi penerima program beasiswa daerah afirmasi. Mendahulukan kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan

Dengan terbatasnya alat produksi proses pembuatan Bakso Aci juga berdampak pada tidak terpenuhinya target produksi Bakso Aci (Nursalim et al., 2019). Dari uraian diatas maka

pelanggan; (7)Fungsi pengiriman; (8)Fungsi dalam penyerahan barang atas dasar surat pesanan penjualan yang diterima dari fungsi penjualan; (9)Fungsi penagihan; (10)Fungsi

apakah citra Kereta Api Prambanan Ekspres dimata Komunitas Pramekers Joglo sudah sesuai dengan citra yang diharapkan perusahaan mengenai Kereta Api Prambanan Ekspres

Simulasi kasus bertujuan untuk melakukan pengujian terhadap snort dalam mendeteksi penyusup atau serangan yang melakukan tindak kejahatan pada web server target

Oleh karena itu Paket Wisata (Tour Package) ialah suatu program perjalanan wisata yang telah disusun dan ramu oleh penyelenggara secara tetap, dengan kondisi, harga,

Sedangkan pada penelitian yang sedang penulis lakukan lebih menyoroti perawatan serta prosedur perawatan dan dampak-dampak yang terjadi jika pelaksanaan Saturday