• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PRINSIP BUSINESS JUDGMENT RULE DI DALAM PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PADA PERSEROAN TERBATAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PRINSIP BUSINESS JUDGMENT RULE DI DALAM PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PADA PERSEROAN TERBATAS"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PRINSIP BUSINESS JUDGMENT RULE DI DALAM

PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PADA PERSEROAN TERBATAS

A. Organ-organ Perseroan Terbatas

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUPT, Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang serta peraturan pelaksanaannya.

Dari ketentuan Pasal 1 angka 1 tersebut, dapat disimpulkan bahwa perseroan merupakan subjek hukum sehingga dapat dibebani hak dan kewajiban seperti halnya manusia pada umumnya. Perseroan Terbatas sebagai subjek hukum dapat melakukan hubungan hukum, memiliki kekayaan, dapat dituntut dan menuntut di hadapan pengadilan atas nama dirinya sendiri. Namun, Perseroan Terbatas sebagai badan hukum tidak memiliki daya pikir, kehendak, dan kesadaran sendiri. Hal inilah yang membedakannya dengan subjek hukum manusia. Oleh karena itu dalam bertindak, perseroan membutuhkan perantara natural person. Natural person tersebut nantinya akan menjadi pengurus badan hukum dan segala perbuatan ditujukan bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk dan atas nama serta tanggung jawab badan hukum.

(2)

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UUPT, perseroan mempunyai 3 (tiga) organ yang terdiri atas: 1) RUPS, 38 2) Direksi, dan 3) Dewan Komisaris

1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

Sejak pemegang saham tidak memiliki kekuasaan untuk mengelola bisnis dan urusan korporasi, tidaklah mengherankan bahwa hubungan antara pemegang saham dengan korporasi berbeda dengan hubungan seorang direktur atau pejabat senior dengan korporasi. Dapat dikatakan bahwa pemegang saham tidak mempunyai kewajiban apapun terhadap korporasi maupun pemegang saham lainnya. Pemegang saham biasanya hanya dapat bertindak untuk kepentingan diri mereka sendiri, namun mereka memiliki kewajiban terhadap perusahaan atau sesama pemegang saham dalam keadaan tertentu. Pemegang saham mengendalikan, khususnya, dalam hal kewajibannya terhadap kreditur, pemegang surat berharga senior dan pemegang saham minoritas ketika mereka akan melakukan transaksi atas nama perusahaan kepada pihak ketiga.56

Suatu perseroan diatur oleh UUPT dan juga Anggaran Dasar (AD) perseroan. Di dalam UUPT dan AD tersebut diatur dan ditegaskan mengenai hak bagi setiap

56

Robert W. Hamilton, The Law of Corporations in A Nutshell, (St. Paul: West Group, 2000, Fifth Edition), hal 445

(3)

pemegang saham untuk menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Ketetuan mengenai RUPS ini secara lebih rinci dituangkan di dalam Bab VI UUPT yang terdiri dari Pasal 75 sampai dengan Pasal 91. Di dalam aturan itu ditegaskan bahwa pengadaan RUPS ini paling tidak dilakukan satu kali dalam satu tahun.

RUPS merupakan Organ Perseroan yang tidak dapat dipisahkan dari perseroan. Hal ini dikarenakan melalui RUPS tersebutlah para pemegang saham sebagai pemilik (eigenaar, owner) Perseroan dapat melakukan pengawasan terhadap kepengurusan yang dilakukan direksi maupun terhadap kekayaan serta kebijakan kepengurusan yang dijalankan manajemen perseroan. Hal ini dapat dilihat di dalam Pasal 1 angka 4 UUPT yang berbunyi:

Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.

Jadi secara umum, kewenangan apa saja yang tidak diberikan kepada direksi dan/atau Dewan Komisaris, menjadi kewenangan RUPS. Kewenangan itu dapat berupa kewenangan untuk menyetujui atau menolak antara lain konsolidasi, merger, akuisisi, kepailitan dan pembubaran perusahaan, serta pengangkatan dan pemberhentian anggota komisaris dan direksi.57 Oleh karena itu, dapat dikatakan RUPS merupakan organ tertinggi di dalam perseroan. Namun, hal itu tidak persis demikian, karena pada dasarnya ketiga organ perseroan itu sejajar dan berdampingan sesuai dengan pemisahan kewenangan (separation of power) yang diatur dalam

57

(4)

undang-undang dan anggaran dasar. Dengan demikian tidak dapat dikatakan RUPS lebih tinggi dari direksi dan Dewan Komisaris. Masing-masing mempunyai posisi dan kewenangan sesuai dengan fungsi dan tanggung jawab yang mereka miliki.58

Menurut Pasal 3 UUPT, Pemegang Saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki. Namun ketentuan itu tidak berlaku apabila:

a. persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;

b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi;

c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau

d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Pemegang Saham hanya bertanggung jawab sebesar nilai saham yang diambilnya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya. Ini berarti Pemegang Saham Perseroan Terbatas tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan

58

(5)

tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya.

2. Dewan Komisaris

Keberadaan, kedudukan, tugas dan kewenangan Dewan Komisaris, diatur pada Bab VII, Bagian Kedua UUPT yang berjudul Dewan Komisaris yang terdiri atas Pasal 108 sampai Pasal 121 UUPT. Namun secara spesifik ditegaskan pada Pasal 1 angka 6 UUPT, yang berbunyi:

Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada direksi.

Tugas dan fungsi Dewan Komisaris diatur pada Pasal 108 ayat (1) dan ayat (2), yang berbunyi:

(1) Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan, dan memberi nasihat kepada direksi.

(2) Pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.

Dari ketentuan Pasal 108 ayat (1) dan ayat (2) tersebut, maka yang menjadi tugas dari Dewan Komisaris yaitu melakukan pengawasan dan memberi nasihat.

Dalam melakukan pengawasan, Yahya Harahap59 menyatakan yang menjadi tugas utama ‘pengawasan’nya yaitu terhadap:

1) Kebijaksanaan pengurusan perseroan yang dilakukan direksi, dan

59

(6)

2) Jalannya pengurusan pada umumnya.

Sedangkan dalam tugas umum yang kedua yaitu ‘memberi nasihat’ kepada direksi. UUPT tidak menjelaskan rincian tugas tersebut, dan pula tidak dijelaskan mengenai nasihat apa saja yang dapat diberikan.

Segala bentuk tugas pengawasan dan pemberian nasihat yang dilakukan oleh dewan komisaris terhadap pelaksanaan jalannya pengurusan yang dilakukan direksi atas perseroan menurut Pasal 108 ayat (2) UUPT tersebut hanya semata-mata “untuk kepentingan perseroan. Tujuan ini harus disadari dan menjadi motivasi dewan komisaris dalam melakukan tugas pengawasan dan pemberian nasihat. Apabila menyimpang dari ketentuan ini, maka pengawasan yang dilakukan dewan komisaris dianggap dilaksanakan dengan itikad tidak baik dan tidak penuh tanggung jawab.

Sejalan dengan tugas yang harus dilaksanakan oleh komisaris, maka terdapat pula tanggung jawab yang diembannya. Tanggung jawab komisaris, dapat dilihat dari isi Pasal 14 ayat (1) Undang-undang No. 40 Tahun 2007, antara lain menyatakan anggota Dewan Komisaris bertanggung jawab secara tanggung renteng dengan semua anggota direksi, apabila perseroan melakukan perbuatan hukum pada masa perseroan belum memperoleh status badan hukum. Selanjutnya Pasal 69 ayat (3) menyatakan bahwa anggota Dewan Komisaris yang menandatangani laporan keuangan yang ternyata tidak benar dan/atau menyesatkan, bertanggung jawab secara tanggung renteng dengan anggota Dewan Direksi yang menandatangani juga laporan keuangan tersebut.

(7)

Berkenaan dengan tugas-tugas Komisaris, Pasal 114 ayat (1) menyatakan Dewan Komisaris bertanggung jawab atas pengawasan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1). Ayat (2) menentukan setiap anggota Dewan Komisaris wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada direksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 108 ayat (1) untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Ayat (3) menyatakan, bahwa setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Ayat (4) menyebutkan, bahwa dalam hal Dewan Komisaris terdiri atas 2 (dua) anggota Dewan Komisaris atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Dewan Komisaris. Namun demikian menurut ayat (5), anggota Dewan Komisaris tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:

a. telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;

b. tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan direksi yang mengakibatkan kerugian; dan

c. telah memberikan nasihat kepada direksi untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

(8)

3. Direksi

Menurut Pasal 1 angka 5 UUPT,

Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

Dari ketentuan pasal ini dapat dilihat bahwa direksi-lah yang melakukan kepengurusan perseroan sehari-hari.

Keberadaan direksi di dalam suatu organ perseroan merupakan suatu keharusan dengan kata lain perseroan wajib memiliki direksi. Hal ini dikarenakan perseroan merupakan artificial person yang tidak dapat berbuat apa-apa tanpa adanya bantuan anggota direksi sebagai natural person.60

Dewan direksi (boards of directors) dapat terdiri dari satu atau beberapa orang direktur. Apabila direksi lebih dari satu orang direktur, maka salah satunya menjadi Direktur Utama atau Presiden Direktur dan yang lainnya menjadi direktur atau wakil direktur.61

Seorang direktur harus mengetahui dan memberikan arahan terhadap pengaturan operasional perusahaan, keuangan dan program strategis, dan harus memiliki pengetahuan umum mengenai sumber tenaga kerja serta cara berbisnis.

60

Ridwan Khairandy, Op. Cit., hal 203 61

Pasal 92 ayat (3) UUPT menentukan bahwa direksi perseroan terdiri atas 1 (satu) orang anggota direksi atau lebih.

(9)

Sebuah Direktur harus melakukan hal ini dan semua tugas mereka dengan itikad baik dan dengan tingkat kepedulian yang biasa digunakan orang bijaksana dalam posisi yang sama dan dalam kondisi yang sama.62

1. Tugas Direksi

Seorang direksi wajib menjalankan fungsi pengurusan perusahaan dengan itikad baik, dan dengan cara yang cukup meyakinkan untuk kepentingan korporasi dan dengan kehati-hatian selayaknya seseorang yang penuh dengan kehati-hatian (the

ordinarily prudent person) biasanya gunakan dalam posisi yang sama dan dalam

kondisi yang sama.63

Secara umum, tugas direksi dapat dibagi menjadi dua kategori: duty of care dan

duty of loyalty. Duty of loyalty yang dimaksud dalam prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) yaitu sebagai tugas 'fair dealing'. Sedangkan duty of care

berkaitan dengan kualitas pengambilan keputusan oleh direktur, pemegang saham pengendali, dan pejabat senior sementara duty of loyalty melibatkan penilaian terhadap kepantasan transaksi tertentu.64

Di Amerika Serikat, tugas perawatan (duty of care) mensyaratkan direktur untuk menginformasikan semua informasi material yang tersedia sebelum membuat keputusan bisnis dan bertindak dengan itikad baik untuk membuat keputusan yang

62

Lihat Alexander Loos, (ed.), Director’s Liability: A Worldwide Review, (Netherland: Kluwer Law International, 2006), hal 98. Lihat juga Detlev F. Vagts, Basic Corporation Law, (Westbury: The Foundation Press, 1989), hal 211

63

Detlev F. Vagts, Basic Corporation Law, (Westbury: The Foundation Press, 1989), hal 211 64

(10)

bijaksana, penuh pertimbangan dan informasi. Good faith atau itikad baik berarti bahwa direktur harus bertindak dan mengambil keputusan demi kepentingan terbaik korporasi.65

Sedangkan duty of loyalty mensyaratkan bahwa direksi harus bertindak untuk kepentingan korporasi, bukan kepentingan mereka sendiri maupun untuk kepentingan pihak ketiga. Jika seorang direktur memiliki kepentingan pribadi dalam masalah ini, harus diungkapkan sepenuhnya dan direksi tidak boleh ikut dalam pemungutan suara pada atau berpartisipasi dalam diskusi tentang masalah ini.66

P.P.S. Gogna67, mengkategorikan tugas direksi menjadi beberapa kategori sebagai berikut:

1) Duty of good faith: Ini merupakan tugas penting dari direksi untuk bertindak

dengan itikad baik. Tugas ini mengharuskan direktur harus bertindak jujur dan untuk kepentingan perusahaan dan pemegang saham. Bahkan, semua cara harus diarahkan mereka untuk keuntungan perusahaan, bukannya melakukan kesepakatan rahasia yang menghasilkan keuntungan pribadi dengan perusahaan. Jika direksi melakukan sesuatu untuk keuntungannya sendiri, dia harus bertanggung jawab untuk itu. Contohnya, ketika seorang direksi diinstruksikan untuk membeli sejumlah property untuk perusahaan, dan dia membeli benda yang sama untuk dirinya sendiri dan kemudian menjualnya ke perusahaan

65

Alexander Loos, ed., Op. Cit., hal 99 66

Ibid. 67

Lihat, P.P.S. Gogna, A Textbook of Company Law, (New Delhi: S. Chand & Company Ltd, 2007), hal 263

(11)

dengan mengambil keuntungan, dia wajib menjelaskan keuntungan yang diperolehnya dari tindakan itu.

Namun, perlu dicatat, direktur hanya dimintakan pertanggungjawabannya dalam hal terjadinya keuntungan pribadi tersebut pada saat dia mendapatkan keuntungan itu dengan menggunakan posisinya sebagai direktur perusahaan. Jika, seorang direktur melakukan tindakan itu, namun tidak dalam menggunakan posisinya sebagai direktur, maka dia tidak akan dimintakan pertanggungjawabannya atas keuntungan yang didapatnya dari penjualan kembali properti tersebut.

2) Duty of reasonable care: ini merupakan tugas penting lainnya bagi direktur.

Seorang direktur harus menjalankan fungsinya dengan reasonable care. Dengan demikian, direktur harus menjalankan tugasnya dengan due diligence dan kehati-hatian. Standar kehati-hatian, skill dan diligence yang diharapkan dari seorang direktur sama dengan yang diharapkan dari orang biasa yang menjalankan hal tersebut. Namun, standar itu bervariasi, tergantung pada (a) jenis usaha perusahaan, (b) kinerja perusahaan yang dibagi kepada direksi dan pejabat lain di perusahaan, dan (c) kebiasaan umum dan praktek bisnis.

Jika direktur gagal menjalankan due care dan skill dalam tugas-tugasnya, mereka ada dianggap lalai. Namun mereka tidak diharapkan menjalankan tugasnya melebihi kemampuan mereka sendiri, cukup sesuai dengan kemampuan dan pengalamannya saja. Mereka juga tidak dapat diminta pertanggungjawabannya terhadap errors of judgment.

(12)

Hukum mensyaratkan seorang direktur harus bertindak secara jujur dan tidak ceroboh. Dengan demikian, sepanjang seorang direktur jujur dan penuh kehati-hatian, dia tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban dikarenakan dia bodoh dan kurang dalam penilaian (ignorant and lacking in judgment).

3) Duty to attend the board meeting: setiap direktur harus menghadiri rapat dewan.

Namun, perlu dicatat bahwa seorang direktur tidak terikat untuk harus menghadiri semua rapat dewan, walaupun dia memiliki kewajiban untuk menghadirinya, dalam hal, dia cukup mampu melakukannya. Namun jika tanpa izin dari dewan, dia tidak menghadiri pertemuan tiga kali berturut-turut atau tidak menghadiri semua pertemuan berturut-turut selama tiga bulan, mana yang terlama, maka jabatannya akan dianggap kosong sejak tanggal pertama kali direktur itu tidak menghadiri pertemuan.

Dalam hal ketidakhadirannya dikarenakan ketidaksengajaan seperti direktur sakit atau sesuatu yang diluar dari kendalinya, maka jabatannya tidak dianggap kosong karena alasan ini. Dengan demikian, seorang direktur diwajibkan untuk menghadiri rapat apabila ingin menghindari situasi ini.

4) Duty not to delegate: direktur ditunjuk oleh pemegang saham dikarenakan

kemampuan, kompetensi dan integritas mereka. Ditambah lagi, pemegang saham memercayai mereka. Oleh karena itu direktur dalam menjalankan tugas mereka harus secara langsung dan tidak diwakilkan kepada orang lain.

Namun, peraturan ini tidak bersifat kaku. Direktur boleh mewakilkan fungsi mereka kepada orang lain dalam kasus-kasus berikut ini:

(13)

(a) Mereka dapat mendelegasikan fungsi mereka sejauh yang diizinkan peraturan perusahaan atau anggaran dasar perusahaan.

(b) Mereka juga dapat mendelegasikan tugas-tugas tertentu, dengan mempertimbangkan urgensi bisnis, dan dapat dialihkan kepada pejabat lainnya.

Kasus pendelegasian tersebut diizinkan sejauh terdapat distribusi kerja yang wajar antara semua direktur dengan pejabat lainnya di dalam perusahaan.

5) Duty to disclose interest: terkadang, seorang direktur bersangkutan atau

termasuk dalam perjanjian atau peraturan yang dibuat dan ditandatangani atas nama perusahaan. Di sejumlah kasus, merupakan tugas direktur untuk mengungkapkan keterkaitan ini di dalam pertemuan dewan direksi. Hal ini penting untuk menghindari terjadinya konflik antara kepentingan pribadi direktur dan kewajibannya terhadap perusahaan. Sejumlah permasalahan muncul ketika seorang direktur secara pribadi tertarik untuk melakukan transaksi dengan perusahaan. Dalam hal kepentingan pribadi, direktur cenderung untuk lebih memilih kepentingan pribadinya. Dengan demikian, agar direktur dapat menjalankan tugasnya dengan tepat, merupakan hal yang penting bahwa dia harus tertarik atau mengungkapkan ketertarikannya kepada perusahaan.

Direksi harus menjalankan fungsi perusahaan, harus melaksanakan hal-hal tersebut di atas. Namun, dalam menjalankan tugasnya, direksi terkadang melakukan

(14)

beberapa pelanggaran. Janet Dine68, melalui bukunya yang berjudul Company Law, memberikan kategori-kategori perilaku yang telah diidentifikasi sebagai kasus yang paling sering menyebabkan direksi akan melanggar tugas pokok yaitu:

1. penyalahgunaan aset perusahaan;

2. menempatkan diri ke dalam situasi yang mengakibatkan konflik tanggung jawab dan konflik kepentingan; dan

3. menggunakan kekuasaan yang diberikan untuk suatu tujuan untuk mencapai yang lain;

4. menyebabkan perusahaan untuk bertindak ultra vires.

2. Tanggung jawab Pribadi

Direksi sebagai pengurus perseroan, memiliki kewajiban untuk melaksanakan amanah yang diberikan perseroan (fiduciary duties). Dengan adanya kewajiban tersebut, direksi wajib melaksanakan pengurusan perseroan dengan sebaik-baiknya. Pengurusan itu dilaksanakan semata-mata untuk kepentingan perseroan saja, tidak boleh untuk kepentingan pribadi. Selain itu, direksi juga wajib menjalankan pengurusan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan kecermatan (duty of care)69.

Merupakan hal yang wajar bagi direksi untuk bertanggung jawab atas kelalaian dalam adanya penipuan atau kepentingan pribadi. Aturan hukum yang ada sangat jelas menunjukkan bahwa seorang direksi diharapkan untuk menjalankan perusahaan

68

Janet Dine, Company Law, (London: The Macmillan Press Ltd., 1991), hal 183 69

Munir Fuady di dalam bukunya yang berjudul Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law & Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal 51, menyatakan bahwa duty of care direksi, antara lain:

1) Direktur mempunyai kewajiban untuk pengelolaan perusahaan dengan itikad baik (good faith), dimana direktur tersebut harus melakukan upaya yang terbaik dalam pengelolaan perusahaan sesuai dengan kehati-hatian (care) sebagaimana orang biasa yang harus berhati-hati,

2) Kewajiban atas standar kehati-hatian ditentukan oleh kewajiban seorang direktur sesuai dengan penyelidikan yang rasional.

(15)

dengan kehati-hatian (due care) selayaknya seorang pengemudi yang harus berhati-hati pada saat mengemudikan mobilnya.70

Apabila anggota direksi menyalahgunakan kedudukannya sebagai pemegang amanah perseroan atau apabila bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya yang mengakibatkan kerugian, maka setiap anggota direksi bertanggung jawab secara pribadi. Sehubungan dengan hal ini, Pasal 97 ayat (3) UUPT menentukan bahwa setiap anggota direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugas dalam mengurus perseroan.71 Sedangkan apabila anggota direksi terdiri dari 2 orang atau lebih, menurut Pasal 97 ayat (4) UUPT, tanggung jawab secara pribadi tersebut berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota direksi.

Untuk membebankan pertanggungjawaban terhadap direktur atau pengurus korporasi, maka harus dibuktikan adanya pelanggaran terhadap kekuasaan kewajiban kewenangan yang dimilikinya. Pengurus korporasi dalam hal ini harus dapat dibuktikan telah melanggar good faith72 yang dipercayakan padanya dalam menjalan

70

Detlev F. Vagts, Op. Cit., hal 209 71

Ridwan Khairandy, Op. Cit., hal 222 72

Di Indonesia, tindakan yang bagaimana yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang beritikad baik masih belum jelas. Namun, secara implisit, pada Pasal 92 ayat (1) UUPT, yang menyebutkan bahwa direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.

Yahya Harahap menyatakan di dalam bukunya berjudul Hukum Perseroan Terbatas (hal 374-376) bahwa makna itikad baik dalam konteks pelaksanaan pengurusan perseroan oleh anggota direksi dalam praktik dan doktrin hukum memiliki jangkauan luas, antara lain sebagai berikut:

1) Wajib dipercaya (fiduciary duty)

Setiap anggota direksi “wajib dipercaya” dalam melaksanakan tanggung jawab pengurusan perseroan. Itu berarti bahwa, setiap anggota direksi selamanya “dapat dipercaya” (must always

bonafide) serta selamanya harus “jujur” (must always be honested)

(16)

korporasi atau perusahaan, sebagaimana diatur dalam prinsip fiduciary duty. dihubungkan dengan identification theory dalam wacana common law, kesalahan yang dilakukan oleh anggota direksi atau pejabat korporasi lainnya hanya dapat dibebankan pada korporasi jika memenuhi syarat:

i) tindakan yang dilakukan oleh mereka berada dalam batas tugas atau instruksi yang diberikan pada mereka,

ii) bukan merupakan penipuan yang dilakukan terhadap perusahaan,

iii) dimaksudkan untuk menghasilkan atau mendatangkan keuntungan bagi korporasi.

Apabila anggota direksi dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan pengurusan itu, tujuannya tidak wajar, tindakan pengurusan demikian dikategorikan sebagai pengurusan yang dilakukan dengan itikad buruk.

Dalam rangka pengurusan perseroan dengan tujuan yang wajar, termasuk kewajiban memperhatikan kepentingan karyawan, seperti halnya memperhatikan kepentingan pemegang saham.

3) Wajib untuk menaati peraturan perundang-undangan (statutory duty)

Ini berarti bahwa patuh dan taat terhadap hukum dalam arti luas dan terhadap peraturan perundang-undangan dan Anggaran Dasar perseroan dalam arti sempit.

4) Wajib loyal terhadap perusahaan (loyalty duty)

Makna loyalty duty sama dengan good faith duty, yaitu loyal dan terpercaya mengurus perseroan, dan oleh karena itu, hubungan yang paling utama antara anggota direksi dan perseroan yaitu kepercayaan (trust) berdasar loyalitas.

5) Wajib menghindari benturan kepentingan (avoid conflict of interest)

Ruang lingkup kewajiban anggota direksi menghindari benturan kepentingan dalam melaksanakan pengurusan perseroan, meliputi: a) kewajiban untuk tidak mempergunakan uang dan kekayaan (money and property) perseroan untuk kepentingan pribadinya, b) mempergunakan informasi perseroan untuk kepentingan pribadi, c) tidak mempergunakan posisi untuk memperoleh keuntungan pribadi, d) tidak menaham atau mengambil sebagian dari keuntungan perusahaan untuk kepentingan pribadi, e) dilarang melakukan transaksi dengan perseroan, f) larang bersaing dengan perseroan.

Sedangkan di dalam Black’s Law Dictionary, good faith diartikan sebagai

A state of mind consisting in (1) honesty in belief or purpose, (2) faithfulness to one’s duty or obligation, (3) observance of reasonable commercial standards of fair dealing in a given trade or business, or (4) absence of intent to defraud or to seek unconscionable advantage.

(17)

Dengan kata lain, jika salah satu syarat ini tidak dipenuhi, maka kesalahan tersebut tidak dapat dipikul oleh korporasi, namun harus dipikul secara pribadi oleh organ korporasi yang melakukan tindakan tersebut.73

Direksi sebagai orang yang bertugas untuk memberikan arahan dan mengelola perusahaan, memiliki tanggung jawab untuk tidak menjalankan perusahaan dengan cara yang berbahaya dan melanggar hukum. Ketika direksi dan pejabat perusahaan dengan sengaja membawa perusaaan ke arah tindak pidana, maka mereka tidak dapat melepaskan diri dari pertanggungjawaban pidana. Ketika mereka membuat atau menganjurkan etos atau budaya yang konduktif atau toleran terhadap sesuatu yang melanggar hukum, atau dengan sengaja menutup mata terhadap kegiatan-kegitan yang tidak jelas hukumnya, maka mereka harus dimintakan pertanggungjawabannya.74

Namun, direktur juga memperoleh perlindungan terhadap tanggung jawab yang diembannya. Terdapat perlindungan khusus yang diberikan kepada direksi dalam hal dia telah melakukan itikad baik sehubungan dengan kelalaian, kesalahan, pelanggaran kewajiban atau pelanggaran kepercayaan. Berikut merupakan hal-hal yang dapat meringankan direktur dari tanggung jawabnya secara keseluruhan ataupun sebagian, yaitu:75

73

Rahmat Setiabudi Sokonagoro, Pertanggungjawaban Pidana (Corporate Crime Liability) PT.

Lapindo Brantas dalam Tindak Pidana Lingkungan (Studi Kasus Semburan Lumpur Banjar Panji I Sidoarjo), http://www.sokonagoro.com/12-pertanggungjawaban-pidana-corporate-crime-liability.html, diakses tanggal 26 Mei 2011

74

James Gobert, Maurice Punch, Rethinking Corporate Crime, (London: LexisNexis Butterworths Tolley, 2003), hal 268

75

(18)

1) direktur itu bertindak secara jujur, 2) direktur itu bertindak secara wajar,

3) direktur itu, dengan mempertimbangkan semua keadaan, cukup tepat untuk dimaafkan.

Hal tersebut di atas dapat dilihat dari Pasal 97 ayat (5) yang menyatakan bahwa apabila anggota direksi dapat membuktikan hal-hal tersebut di bawah ini, maka anggota direksi tidak harus bertanggung jawab secara pribadi terhadap kerugian ataupun tindak pidana yang terjadi. Isi dari Pasal 97 ayat (5) UUPT tersebut yaitu:

1) kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

2) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;

3) tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun ttidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

4) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

B. Prinsip Fiduciary Duty bagi Direksi dalam Menjalankan Pengurusan Perseroan Terbatas

Perseroan terbatas sebagai suatu badan hukum dalam melakukan perbuatan hukumnya harus melalui pengurusnya, karena tanpa adanya pengurus, badan hukum itu tidak akan dapat berfungsi. Ketergantungan antara badan hukum dan pengurus menjadi sebab mengapa antara badan hukum dan pengurus lahir hubungan fidusia (fiduciary duties). Pengurus harus selalu menjadi pihak yang dipercaya dalam bertindak dan menggunakan wewenangnya hanya untuk kepentingan perseroan semata.

(19)

Hubungan antara direksi dan perseroan selain didasarkan pada hubungan kerja, direksi juga memiliki hubungan fidusia dengan perseroan. Sehingga direksi memiliki kedudukan fidusia (fiduciary position) di dalam perseroan.76 Hal ini sesuai dengan ketentuan di Pasal 97 ayat (2) UUPT yang menyebutkan bahwa setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan.

Kata fidusia (fiduciary) berasal dari bahasa Latin. Kata yang dikenal sebagai

fiduciaries ini bermakna kepercayaan dan keyakinan. Menurut Stephen W Mayson

dan Derek French77, seorang fidusia yaitu “seseorang yang telah berkomitmen untuk bertindak untuk atau atas nama orang lain dalam keadaan tertentu yang menyebabkan hubungan kepercayaan dan keyakinan” atau “seseorang yang setuju, untuk berbuat, atau untuk bertindak, atas nama, atau atas kepentingan orang lain dalam menjalankan kekuasaan atau kebijakan yang akan mempengaruhi kepentingan orang lain tersebut baik dalam arti hukum maupun praktis”.

Sedangkan Munir Fuady78 berpendapat bahwa seseorang yang memiliki tugas fidusia (fiduciary duty) yaitu seseorang yang apabila ia memiliki kapasitas fidusia (fiduciary capacity) dan jika bisnis yang ditransaksikannya, harta benda atau kekayaan yang dikuasainya bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan orang lain. Orang yang memberinya kewenangan tersebut, memiliki

76

Ridwan Khairandy, Op. Cit., hal 204 77

Stephen W. Mayson, Derek French, Company Law, (London: Blackstone Press Ltd, 2001), hal 496

78

Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law – Eksistensinya dalam Hukum

(20)

kepercayaan yang besar kepadanya. Namun, secara teknis79 istilah ini dimaknai sebagai “memegang sesuatu dalam kepercayaan atau seseorang yang memegang sesuatu dalam kepercayaan untuk kepentingan orang”.

Fiduciary duty akan tercipta jika ada fiduciary relationship. Konsep ini

menyatakan bahwa fiduciary relationship terjadi ketika terdapat dua pihak dimana salah satu pihak (beneficiary) mempunyai kewajiban untuk bertindak atau memberikan nasehat demi dan untuk kepentingan pihak kedua (fiduciary) mengenai persoalan-persoalan tertentu yang ada di dalam ruang lingkup hubungan tersebut. Bentuk fiduciary relationship yang paling umum antara lain trustee – beneficiary,

agent – principal, corporate director/officer – corporation, dan partnership.

Walaupun demikian, pengadilan menegaskan bahwa bentuk fiduciary relationship tidak hanya semata-mata itu saja.80

Pemegang amanah (fiduciary) memiliki tugas untuk melindungi orang yang memberikan amanah kepada mereka. Tugas-tugas ini diberikan untuk mencegah para

fiduciary dari tindakan yang merugikan orang-orang yang memberikan amanah

kepada mereka dan untuk mencegah mereka menyalahgunakan keyakinan dan kepercayaan yang diberikan kepada mereka. 81

Di dalam Perseroan Terbatas, yang menjalankan tugas fiduciary ini adalah direksi, sebagai pengurus suatu perseroan. Dengan adanya fiduciary duty ini, maka

79

Andrew D. Shaffer, Corporate Fiduciary – Insolvent: the Fiduciary Relationship Your

Corporate Law Professor (Should Have) Warned You About, (8 American Bankruptcy Institute Law

Review, 2000), hal 483 80

Ridwan Khairandy, Op. Cit., hal 206 81

(21)

pemegang saham dan perusahaan mendapatkan perlindungan. Hal dikarenakan direksi dapat melakukan apa saja terhadap perusahaan, sedangkan pemegang saham dan perusahaan tidak dapat sepenuhnya melindungi dirinya sendiri dari tindakan direksi yang merugikan, dimana direksi bertindak atas nama perusahaan dan pemegang saham. Sehingga, untuk menghindari adanya penyalahgunaan aset-aset perusahaan dan wewenang oleh direksi maka direksi dibebankan dengan adanya

fiduciary duty.

Lebih lanjut, Black’s Law Dictionary82, mengartikan fiduciary duty sebagai:

A duty to act with the highest degree of honesty and loyalty toward another person and in the best interest of the other person (such as the duty that one partner owes to another).

Dari defenisi di atas dapat dikatakan bahwa hubungan fiduciary timbul ketika satu pihak berbuat sesuatu bagi kepentingan pihak lain dengan mengesampingkan kepentingan pribadinya sendiri. Fiduciary duty direksi ini mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut:83

1) Direksi dalam melakukan tugasnya tidak boleh melakukannya untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan pihak ketiga, tanpa persetujuan dan atau sepengetahuan perseroan.

2) Direksi tidak boleh memanfaatkan kedudukannya sebagai pengurus untuk memperoleh keuntungan, baik untuk dirinya sendiri maupun pihak ketiga, kecuali atas persetujuan perseroan.

3) Direksi tidak boleh menggunakan atau menyalahgunakan aset perseroan untuk kepentingannya sendiri dan atau pihak ketiga.

Pada umumnya, fiduciary duty direksi dibagi menjadi dua komponen utama yaitu duty of care dan duty of loyalty. Duty of care pada dasarnya merupakan

82

Bryan A. Garner, Op. Cit., hal 523 83

(22)

kewajiban direksi untuk tidak bertindak lalai, menerapkan ketelitian tingkat tinggi dalam mengumpulkan informasi yang digunakan dalam membuat keputusan bisnis, dan menjalankan manajemen bisnisnya dengan kepedulian dan kehati-hatian yang masuk akal. Sedangkan duty of loyalty mencakup kewajiban direksi untuk tidak menempatkan kepentingan pribadinya di atas kepentingan perusahaan dalam melakukan transaksi dimana transaksi tersebut dapat menguntungkan direksi dengan menggunakan biaya-biaya yang ditanggung oleh perusahaan atau corporate

opportunity. Duty of loyalty ini dapat pula dipahami sebagai kewajiban untuk

bertindak tanpa rasa egois atau kewajiban beneficiary untuk mengutamakan kepentingan fiduciary-nya.84

Ketentuan mengenai fiduciary duty ini di dalam UUPT, diatur di dalam Pasal 97 ayat (1) yang berbunyi:

“(1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).”

dan Pasal 98 ayat (1) yang berbunyi:

“(1) Direksi mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.”

C. Doktrin Ultra Vires bagi Direksi dalam Menjalankan Pengurusan Perseroan Terbatas

Ultra vires berasal dari bahasa Latin yang berarti di luar atau melebihi

kekuasaan (outside the power), yakni di luar kekuasaan yang diijinkan oleh hukum

84 Ibid.

(23)

terhadap badan hukum. Terminologi ultra vires dipakai khususnya terhadap tindakan perseroan yang melebihi kekuasaannya sebagaimana diberikan oleh anggaran dasarnya atau peraturan yang melandasi pembentukan perseroan tersebut.85

Menurut Sutan Remy Sjahdeini86, sesuatu yang dikatakan ultra vires, contohnya kontrak, yaitu suatu kontrak yang dibuat oleh perseroan, namun tidak dalam rangka maksud dan tujuan perseroan (beyond the objects of the company), maka kontrak itu dinyatakan sebagai “ultra vires the company”, dan kontrak itu dianggap void (tidak sah atau batal demi hukum). Sebenarnya direksi hanya berhak dan berwenang untuk bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan dalam batas-batas yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan anggaran dasarnya.87 Namun, apabila anggota direksi yang melakukan perbuatan tersebut dan mengakibatkan perseroan mengalami kerugian, maka perseroan dapat meminta pertanggungjawaban direksi tersebut terhadap kerugian yang diakibatkannya.

Fred B.G. Tumbuan88 menyatakan bahwa suatu perbuatan hukum dipandang berada di luar maksud dan tujuan perseroan (ultra vires), manakala memenuhi salah satu kriteria:

1) Perbuatan hukum yang bersangkutan secara tegas dilarang oleh anggaran dasar;

85

Munir Fuady, Op. Cit., hal 110 86

Sutan Remy Sjahdeini, Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 14, Juli 2001, hal 102

87

Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan Terbatas, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2003), hal 23

88

Fred B.G. Tumbuan, Perseroan Terbatas dan Organ-Organnya (Sebuah Sketsa), Makalah di Kursus Penyegaran Ikatan Notaries Indonesia, Surabaya, 1988, hal 4

(24)

2) Dengan memperhatikan keadaan-keadaan khusus, perbuatan hukum yang bersangkutan tidak dapat dikatakan akan menunjang kegiatan-kegiatan yang disebut dalam anggaran dasar;

3) Dengan memperhatikan keadaan-keadaan khusus, perbuatan hukum yang bersangkutan tidak dapat diartikan sebagai menunjang kepentingan perseroan terbatas.

Ketentuan mengenai ultra vires ini diatur di dalam UUPT, melalui Pasal 97 ayat (3), yang berbunyi:

“(3) Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).”

Dan juga Pasal 114 ayat (3) UUPT, yang berbunyi:

“Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).”

D. Prinsip Derivative Action dalam UUPT

Apabila terjadi pelanggaran fiduciary duties, ultra vires maupun kesalahan lain yang dilakukan oleh anggota direksi, dan hal tersebut mengakibatkan perseroan menderita kerugian, maka pemegang saham perseroan yang bersangkutan memiliki hak untuk mengajukan gugatan derivatif (derivative action atau derivative suit) terhadap anggota direksi tersebut.

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 61 ayat (1) UUPT, yang menyebutkan: “Setiap pemengang saham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan ke Pengadilan Negeri apabila dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris.”

(25)

Selain itu, prinsip ini juga diatur di dalam Pasal 97 ayat (6) UUPT, yang berbunyi: “Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota direksi yang karena kesalahan atau kelalainnnya menimbulkan kerugian pada perseroan. Dari pasal-pasal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gugatan derivatif merupakan suatu gugatan berdasarkan hak utama (primary right) dari perseroan yang dilaksanakan oleh pemegang saham atas nama perseroan. Gugatan tersebut dilakukan karena adanya kegagalan dalam perseroan. Dengan perkataan lain, gugatan derivatif merupakan suatu gugatan yang dilakukan oleh pemegang saham untuk dan atas nama perseroan.89

Penggunaan kata derivatif (turunan) dalam istilah ini dikarenakan gugatan tersebut diajukan oleh pemegang saham untuk dan atas nama perseroan. Gugatan tersebut sebenarnya diturunkan dari gugatan yang seharusnya dilakukan oleh perseroan.90

Dari pengertian gugatan derivatif, dapat ditarik beberapa unsur yang terkandung di dalam gugatan derivatif, yaitu:91

1) Adanya gugatan;

2) Gugatan itu diajukan ke pengadilan;

3) Gugatan tersebut diajukan oleh pemegang saham perseroan yang bersangkutan;

4) Pemegang saham mengajukan gugtan untuk dan atas nama direksi perseroan;

5) Pihak yang digugat selain pihak perseroan, biasanya direksi perseroan;

89

Steven H. Giffis, Law Dictionary, (New York: Barron’s Educational Series, Inc., 1984), hal 90

Munir Fuady, Op. Cit., hal 75 91

(26)

6) Penyebab dilakukannya gugatan karena adanya kegagalan dalam perseroan atau kejadian yang merugikan perseroan yang bersangkutan; dan 7) Karena diajukan untuk dan atas nama perseroan, maka segala

hasil gugatan menjadi milik perseroan walaupun pihak yang mengajukan gugatan yaitu pemegang saham.

Karena pemegang saham sebagai penggugat tidak mewakili dirinya sendiri, tetapi untuk dan atas nama perseroan dalam mengajukan gugatan, maka ada beberapa karakteristik khusus suatu gugatan derivatif, yaitu:92

1. Sebelum dilakukan gugatan, sejauh mungkin dimintakan (demand) yang berwenang (direksi) untuk melakukan gugatan untuk dan atas nama perseroan sesuai ketentuan dalam anggaran dasarnya.

2. Pihak pemegang saham yang lain sejauh mungkin dimintakan juga berpartisipasi dalam gugatan derivatif, mengingat gugatan tersebut juga untuk kepentingannya.

3. Harus diperhatikan juga kepentingan stake holder yang lain, seperti pemegang saham yang lain, pihak pekerja, dan kreditor. Karena itu, bukan hanya pemegang saham penggugat yang harus didengar oleh pengadilan. Mislanya, dalam adanya penyelesaian di pengadilan, apabila penyelesaian tersebut cukup layak dan diterima oleh banyak pihak, pengadilan sepatutnya harus mengabulkan penyelesaian tersebut, meskipun pihak pemegang saham penggugat menolak.

4. Tindakan penolakan gugatan derivatif berdasarkan alasan ne bis in idem tidak boleh merugikan kepentingan pihak stake holder yang lain.

5. Harus dibatasi bahkan dilarang penerimaan manfaat oleh pemegang saham yang ikut terlibat dalam tindakan merugikan perseroan terhadap mana gugatan derivatif diajukan, yakni manfaat dari ganti rugi yang diberikan terhadap gugatan derivatif tersebut,

6. Seluruh manfaat yang diperoleh dari gugatan derivatif menjadi milik perseroan. 7. Sebagai konsekuensinya, maka seluruh biaya yang diperlukan dalam gugatan

derivatif mesti ditanggung oleh pihak perseroan.

E. Prinsip Business Judgment Rule dalam UUPT

Saat ini di dunia hukum perusahaan terdapat suatu prinsip yang disebut dengan prinsip business judgement rule, yaitu suatu prinsip yang menetapkan bahwa direksi

92 Ibid.

(27)

suatu perusahaan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan apabila tindakan direksi tersebut didasari itikad baik dan sifat hati-hati. Dengan prinsip ini, direksi mendapatkan perlindungan sehingga tidak perlu memperoleh justifikasi dari pemegang saham atau pengadilan atas keputusan mereka dalam pengelolaan perusahaan. Penerapan prinsip ini bertujuan untuk mencapai keadilan, khususnya bagi para direktur sebuah perusahaan terbatas dalam melakukan suatu keputusan bisnis.

Direksi sebagai pengurus perseroan, secara berkala membuat keputusan yang kompleks berdasarkan informasi parsial, tidak lengkap, atau tidak akurat. Pasti selalu ada kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diharapkan sesudahnya, walaupun keputusan itu pada awalnya dapat diterima. Evaluasi keputusan substantif setelah fakta terungkap harus mempertimbangkan kewajaran dari proses yang dilakukan oleh direksi dalam mengambil keputusan, bukannya dengan menilai hasil akhir atau akibat dari pengambilan keputusan tersebut.93

Keputusan yang diambil oleh direktur tersebut haruslah merupakan sebuah keputusan yang beritikad baik yang bersifat rasional. Untuk menjadi rasional harus memenuhi persyaratan minimal. Keputusan yang tidak rasional menunjukkan itikad buruk. Tindakan yang gegabah tidak akan menghasilkan sesuatu yang rasional.94

Namun, terdapat beberapa pernyataan tentang business judgment rule yang menambahkan kualifikasi lebih lanjut mengenai keputusan direksi yang bagaimana

93

Robert W. Hamilton, Op. Cit., hal 449 94

(28)

yang tidak akan dilindungi prinsip ini. Robert W. Hamilton95, menyatakan bahwa keputusan yang bersifat conflict of interest atau self-dealing transaction tidak akan dilindungi. Hal ini dikarenakan direksi telah melakukan mismanagement atau

misjudgment terhadap keputusan yang diambilnya dan keputusan itu ditujukan untuk

kepentingan pribadi.

Beberapa tolak ukur untuk memutuskan apakah suatu kerugian tidak disebabkan oleh keputusan bisnis (business judgment) yang tidak tepat sehingga dapat menghindar dari pelanggaran prinsip duty of care yaitu: pertama, memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi tersebut benar. Kedua, tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskan dengan itikad baik. Ketiga, memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan. Sehingga, apabila terbukti bahwa tindakan atau keputusan yang diambil oleh direktur untuk memberlakukan suatu kebijakan korporasi yang didasarkan atas business judgment yang tepat dalam rangka meraih keuntungan sebanyak-banyaknya bagi korporasi, maka apabila ternyata tindakan yang diambil tersebut menimbulkan kerugian yang melahirkan pertanggungjawaban pidana, tidak dapat dibebankan pada pribadi pengurus (direksi atau pejabat korporasi lainnya), tetapi dibebankan pada korporasi.

95

(29)

Pertanggungjawaban oleh pengurus hanya dimungkinkan apabila terbukti terjadi pelanggaran duty of care96 dan duty of loyalty.97

Pendapat tersebut juga dapat dilihat di dalam pengertian business judgment rule yang terdapat di dalam Black’s Law Dictionary98 yaitu:

96

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, di dalam Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab Direksi &

Komisaris BUMN Persero, http://sremys.com/artikel/Tugas,Wewenang,%20Dan%20Tanggung %20Jawab%20Direksi%20&%20Komisaris%20BUMN%20Persero.pdf, diakses tanggal 27 Mei 2011, di AS, untuk menentukan apakah duty of care telah dilaksanakan oleh direksi ditentukan berdasarkan tolok ukur bahwa: “They must exercise that degree of skill, diligence, and care that a reasonably

prudent person would exercise in similar circumstances”.

Berkenaan dengan berlakunya duty of care, maka:

1. Anggota Direksi (juga Dewan Komisaris) tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan atas beban biaya perseroan apabila tidak memberikan sama sekali atau memberikan sangat kecil manfaat kepada perseroan bila dibandingkan dengan manfaat pribadi yang diperoleh oleh anggota direksi yang bersangkutan. Namun demikian hal itu dapat dikecualikan apabila dilakukan atas beban biaya representasi jabatan dari anggota direksi yang bersangkutan berdasarkan keputusan RUPS.

2. Anggota direksi (juga Dewan Komisaris) tidak boleh menjadi pesaing bagi perseroan yang dipimpinnya, misalnya dengan mengambil sendiri kesempatan bisnis yang seyogianya disalurkan kepada dan dilakukan oleh perseroan yang dipimpinnya tetapi kesempatan bisnis itu disalurkan kepada perseroan lain yang di dalamnya terdapat kepentingan pribadi anggota direksi itu.

3. Anggota direksi (juga Dewan Komisaris) harus menolak untuk mengambil keputusan mengenai sesuatu hal yang diketahuinya atau sepatutnya diketahui akan dapat mengakibatkan perseroan melanggar ketentuan perundang- undangan yang berlaku sehingga perseroan terancam dikenai sanksi oleh otoritas yang berwenang, misalnya dicabut izin usahanya atau dibekukan kegiatan usahanya, atau digugat oleh pihak lain.

4. Anggota direksi (juga Dewan Komisaris) dengan sengaja atau karena kelalaiannya telah tidak melakukan atau telah tidak cukup melakukan upaya atau tindakan yang perlu diambil untuk mencegah timbulnya kerugian bagi perseroan.

5. Anggota direksi (juga Dewan Komisaris) dengan sengaja atau kelalaiannya telah tidak melakukan atau telah tidak cukup melakukan upaya atau tindakan yang perlu diambil untuk meningkatkan keuntungan perseroan.

6. Anggota direksi (juga Dewan Komisaris) tidak mengambil tindakan apa pun ketika diketahui telah terjadi keputusan / perbuatan yang dapat diduga merupakan pelanggaran hukum (perdata maupun pidana) yang dapat merugikan atau membahayakan perseroan; Harus dicermati

bahwa korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana.

Pelanggaran terhadap duty of care terjadi antara lain dikarenakan anggota direksi: 1. tidak aktif menjalankan tugasnya; atau

2. bertingkah laku sangat sembrono (grossly negligent behavior); atau 3. melakukan kelalaian ringan (simple negligent).

97

Rahmat Setiabudi Sokonagoro, Loc. Cit. 98

(30)

“The presumption that in making business decisions not involving direct self-interest or self-dealing, corporate directors act on an informed basis, in good faith, and in the honest belief that their actions are in the corporation’s best interest. The rule shields directors and officers from liability for unprofitable or harmful corporate transactions if the transactions were made in good faith, with due care, and within the directors’ or officers’ authority.”

Business judgment rule menghapuskan tanggung jawab direksi dan pejabat

lainnya yang jujur. Untuk dapat memanfaatkan peraturan dan perlindungan ini, merupakan hal yang penting bahwasanya keputusan yang diambil dan telah dibuat dengan kehati-hatian dan kewajaran, sesuai dengan persyaratan yang tepat, diawasi dengan baik, dan bahwa direktur atau pejabat tersebut melakukan dengan proses yang wajar dalam pengambilan keputusan. Tidak ada conflict of interest.99

Dalam hal ini perlu diingat bahwa business judgment rule terdiri dari ‘keputusan’, ‘pertimbangan’, dan ‘perbuatan’. Apabila tidak melakukan apa-apa atau melakukan lebih, maka tidak akan dilindungi oleh business judgment rule. Namun, sebuah keputusan untuk tidak melakukan apa-apa jelas akan dilindungi oleh prinsip ini, dalam hal direksi telah memenuhi standar peraturan dalam membuat keputusan.100

Jika direktur atau pejabat gagal menggunakan standar dasar dan keputusan yang mereka ambil mengakibatkan dampak ataupun kerugian terhadap perusahaan, maka mereka harus bertanggung jawab secara pribadi terhadap perusahaan. Contohnya seperti: Tom melempar buku ke Fred, Fred menepis buku tersebut dengan tangannya, dan mengenai Mary. Penyebab kecelakaan Mary merupakan lembaran buku dari

99

Kenneth S. Ferber, Op. Cit.,hal 79 100

(31)

Tom. Kita menerapkan prinsip “namun jika”. Namun jika pada saat Tom melempar buku ke Fred, dan Fred tidak menepis buku itu, maka Mary tidak akan kena. Oleh karena itu, penyebab kecelakaan Mary adalah lemparan buku Tom kepada Fred. Maka, Tom lah yang harus bertanggung jawab kepada Mary.101

Dalam hukum perusahaan, standard of review dan standard of conduct sama.

Standards of review diterapkan pengadilan untuk menetapkan apakah ada

pertanggungjawaban dan/atau apakah ada grant injuctive relief. Standards of conduct merupakan bagaimana seseorang harus bertindak. Seorang agen dalam melakukan transaksi harus sesuai dengan prinsip keadilannya. Seorang perwakilan harus melakukan transaksi secara adil sesuai dengan aturan. Itulah yang dimaksud dengan

standard of conduct. Seorang direktur dan/atau pejabat lainnya memiliki kewajiban

kepada perusahaan untuk menjalankan fungsinya dengan itikad baik, dengan cara yang dapat dipercaya untuk kepentingan perusahaan, dan dengan penuh kehati-hatian selayaknya seseorang yang bijaksana dalam menjalankan tugasnya dengan penuh kehati-hatian yang wajar. Standar kehati-hatian ini menghasilkan kewajiban untuk menginformasikan, memantau, membuat keputusan yang masuk akal dan penuh kehati-hatian, dan menerapkan proses yang rasional untuk membuat keputusan.102

Business judgment rule mendorong direksi untuk lebih berani mengambil risiko

daripada terlalu berhati-hati, sehingga perseroan tidak jalan. Prinsip ini

101

Kenneth S. Ferber, Op. Cit., hal 79 102

(32)

mencerminkan asumsi bahwa pengadilan tidak dapat membuat keputusan yang lebih baik dalam bidang bisnis daripada direksi.103

Singkatnya, alasan utama diberlakukannya prinsip business judgment rule yaitu sebagai berikut: 104

2) orang-orang melakukan kesalahan, dan hal tersebut dapat diasumsikan bahwa jabatan direksi pun tidak terlepas dari kesalahan;

3) direksi membutuhkan diskresi yang luas dalam menetapkan kebijakan dan membuat keputusan;

4) pengadilan harus dijauhkan dari kegiatan direksi dikarenakan mereka tidak terlalu ahli dalam hal tersebut; dan

5) semua pihak harus diyakinkan bahwa direktur, bukan pemegang saham, akan membuat kebijakan dan dapat mempertanggungjawabkannya kepada seluruh investor saat ini maupun investor yang akan datang.

Business Judgment Rule merupakan prinsip yang dibuat oleh pengadilan, bukan

oleh undang-undang, oleh karena itu pengadilan mengatur bagaimana penerapannya.105 Prinsip business judgment rule mengalami perkembangannya sebagai yurisprudensi dalam prinsip common law di Amerika dimulai dengan keputusan Lousianna Supreme Court, dalam kasus Percy V Millaudon pada tahun 1829.106

Indonesia pun telah mengadopsi prinsip business judgement rule ini. Hal ini dapat dilihat dari isi Pasal 97 ayat (5) yang berbunyi:

103

Ridwan Khairandy, Op. Cit., hal 235 104

Janelyn P. Ng, The Business Judgment Rule: Checking The Autocracy in The Boardroom,

University of Santo Tomas Faculty of Civil Law, (Filipina: UST Law Review, 2008), hal 154

105

Association of Corporate Counsel, Internal Investigations, (Washington: Feb 2007), hal 10, di dalam tulisannya disebutkan, “The Business Judgment Rule is a doctrine created by courts, not by

statutes, and thus the courts govern its application.”

106

Lihat Dennis J. Block, Nancy R. Barton dan Stephen A. Radin, The Business Judgment Rule

Fiduciary Duties of Corporate Directors, (New Jersey: Prentice Hall Law & Business, Third Edition,

(33)

“(5) Anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:

a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalainnya;

b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;

c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian;

d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Business judgment rule merupakan senjata paling ampuh bagi direktur di suatu

perusahaan untuk keluar dari jerat hukum, baik pidana maupun perdata. Hal itu tentunya dengan pembuktian yang sebenar-benarnya menunjukkan bahwa memang kebijakan yang diambil direktur itu telah memenuhi unsur-unsur kebijakan yang dilindungi prinsip business judgment rule.

Namun, di dalam prinsip business judgment rule tidak ada perlindungan bagi direktur yang dinilai “bertindak bodoh atau tidak bijaksana”. Seorang direktur wajib menginformasikan semua keputusan yang dibuatnya, sehubungan dengan tugasnya sebagai seorang fiducia terhadap perusahaan dan pemegang saham. Seorang direktur harus jeli dalam menafsirkan suatu informasi. Direktur harus memprosesnya dengan informatif dan penuh dengan perundingan dalam persetujuan untuk menentukan suatu perjanjian.107

107

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Hal-hal tersebut mendasari penulis untuk membuat sebuah aplikasi combine bernama combine image yang dapat mudah digunakan oleh penggunanya sekaligus memilih bahasa pemrograman

[r]

Pada penulisan ilmiah ini penulis membuat website pengiklanan jual beli mobil, Website ini ditujukan untuk memudahkan pengunjung website dalam mendapatkan informasi tentang produk

[r]

Tujuan obyektif yang ingin dicapai dalam tugas akhir ini adalah merancang dan membuat sebuah aplikasi RFID sebagai penunjang sistem keamanan parkir berbasis

kemandirian belajar dalam kategori cukup. Pada siklus I kemandirian belajar siswa dalam kategori rendah sebanyak 1 orang, kemandirian belajar dalam kategori cukup sebanyak 6 orang

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONEKSI, REPRESENTASI DAN SELF-EFFICACY MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGAN STRATEGI FORMULATE-SHARE- LISTEN-CREATE