• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H)"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

(Analisis Putusan No. 1749/Pdt.G/2018/PA.Tbn dan No. 83/Pdt.G/2019/PTA.Sby)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh : MIFTAH FALIH NIM: 11150440000064

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1442 H/2020 M

(2)

i

HASRAT LIBIDO TINGGI SEBAGAI ALASAN IZIN POLIGAMI (Analisis Putusan No. 1749/Pdt.G/2018/PA.Tbn dan No.83/Pdt.G/2019/PTA.Sby)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum (S.H.) Oleh:

Miftah Falih Nim: 11150440000064

Pembimbing: Ali Mansur, M.A.

NIP. 197605062014111002

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

ii

LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini, saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Pengutipan dalam skripsi ini telah dicantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 03 Desember 2020

(4)
(5)

iv

ABSTRAK

Miftah Falih. Nim 11150440000064. Hasrat Libido Tinggi Sebagai Alasan Izin Poligami (Studi Putusan Nomor 1749/Pdt.G/2018/PA.Tbn dan No. 83/Pdt.G/2019/PTA.Sby). Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2020 M.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam permohonan izin poligami akibat hasrat libido tinggi suami

pada Putusan Nomor 1749/Pdt.G/2018/PA.Tbn dan No.

83/Pdt.G/2019/PTA.Sby, lalu bagaimana jika hasil putusan tersebut ditinjau dari perspektif kaidah ushul fiqh, dan bagaimana perbandingan pertimbangan Hukum Majelis Hakim Tingkat Pertama dan Tingkat Banding dalam hal permohonan izin poligami.

Jenis Penelitian yang digunakan ialah jenis penelitian kualitatif yaitu jenis penelitian yang bertujuan untuk menemukan konsep dan teori, dan kepustakaan (library research) yaitu dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan perundang-undangan, serta tulisan-tulisan para sarjana yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa kesimpulan diantaranya terdapat perbedaan Pertimbangan hakim dalam permohonan izin poligami

pada Putusan Nomor 1749/Pdt.G/2018/PA.Tbn dan No.

83/Pdt.G/2019/PTA.Sby. Majelis Hakim Tingkat Pertama menyatakan dalam putusan bahwa dalam pertimbangannya, hakim menolak untuk memberikan permohonan izin poligami karena pemohon tidak memenuhi memenuhi semua persyaratan komulatif yang terdapat dalam pasal 5 UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa hakim dapat mengabulkan permohonan izin poligami jika semua syarat komulatif terpenuhi. Sedangkan Hakim Tingkat Banding dalam pertimbangan hukumnya memutuskan bahwa dengan terpenuhinya salah satu syarat alternatif maka permohonan izin poligami dapat dikabulkan tanpa melihat syarat komulatif pemohon. Dalam pertimbangan hukumnya hakim menggunakan kaidah

(6)

v

ushul fiqh yang sama yakni “Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil kemaslahatan”.

Perbedaan pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat Pertama dan Majelis Hakim Tingkat Banding hanya terletak pada perbedaan memahami syarat alternatif dan syarat komulatif permohonan izin poligami. Majelis hakim Tingkat Pertama berijtihad bahwa seseorang yang ingin berpoligami harus memenuhi salah satu syarat alternatif dan memenuhi semua syarat komulatif. Sedangakan Majelis Hakim tingkat Banding berijtihad bahwa untuk melakukan poligami cukup memenuhi salah satu syarat alternatif atau memenuhi syarat komulatif.

Kata Kunci : Poligami, Hasrat Libido Tinggi, Putusan Hakim.

Pembimbing : Ali Mansur, M.A.

(7)

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini digunakan untuk beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata dalam bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih terbatas.

a. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا tidak dilambangkan

ب B be

ت T te

ث Ts te dan es

ج J je

ح H ha dengan garis bawah

خ Kh ka dan ha د d de ذ dz de dan zet ر r er ز z zet س s es ش sy es dan ye

ص s es dengan garis bawah

ض d de dengan garis bawah

ط t te dengan garis bawah

(8)

vii

ع ‘ koma terbalik di atas hadap

kanan غ gh ge dan ha ف f ef ق q qo ك k ka ل l ef م m em ن n en و w we ه h ha ء ` apostrof ي y ya b. Vokal

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ﹷ a fathah

ﹻ i kasrah

ﹹ u dammah

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

(9)

viii ﹷ ي ai a dan i ﹷ و au a dan u c. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ا Â a dengan topi di atas

ي Î i dengan topi di atas

و Û u dengan topi di atas

d. Kata Sandang

Kata sandang, dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan lam (لا), dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf qamariyyah, misalnya:

داهتجلاا = al-ijtihâd

ةصخرلا =al-rukhsah, bukan ar-rukhsah

e. Tasydîd (Syaddah)

Dalam alih aksara, tasydîd atau syaddah dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: ةعفشلا = al-syufah, tidak ditulis asy-syuf’ah

(10)

ix f. Ta Marbûtah

Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut

dialihaksarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1 ةعيرش syarî’ah

2 ةيملاسلإا ةعيرشلا Al-syarî’ah al-islâmiyyah

3 بهاذملا ةنراقم Muqaranat al-madzâhib

g. Ketentuan Ejaan Yang Disempurnakan

Huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab. Tetapi dalam transliterasi huruf ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh: يراخبلا= al-Bukhâri, tidak ditulis Al-Bukhâri.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kata nama tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Din al-Rânîri.

(11)

x

Setiap kata, baik kata kerja (fi’il), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

No Kata Arab Alih Aksara

1 تاروظحملا حيبت ةرورضلا al-darûrah tubîhu al-mahzûrat

2 يملاسلإا داصتقلاا al-iqtisad al-islâmî

3 هقفلا لوصأ usûl al-fiqh

4 ةحابلإا ءايشلأا يف لصلأا al-asl fî al-asyyâ` al-ibâhah

5 ةلسرملا ةحلصملا al-maslahah al-mursalah

(12)

xi

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan semesta alam, Allah SWT. Sebuah kesyukuran yang mendalam atas segala nikmat, ma’unah, hidayah serta karunia Allah kepada kita semua khususnya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan Judul “Hasrat Libido Tinggi Sebagai Alasan Izin Poligami (Studi Putusan Nomor 1749/Pdt.G/2018/PA.Tbn dan No. 83/Pdt.G/2019/PTA.Sby). Shalawat serta salam tak lupa penulis curahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa ummatnya menuju jalan yang lurus dan yang diridhoi oleh Allah SWT.

Penulis amat terharu, bersyukur dan gembira sekali, karena telah menyelesaikan tugas akhir dalam jenjang pendidikan S1 ini, sehingga bisa memperoleh gelar Sarjana Hukum lulusan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis juga meminta maaf yang sebesar-besarnya apabila skripsi ini kurang berkenan bagi para pembaca, karena penulis menyadari bahwa skripsi penulis jauh dari kata kesempurnaan. Perlu diketahui bahwa selama penulis masih di bangku perkuliahan sampai pada tahap akhir ini yakni penulisan skripsi, penulis mendapatkan banyak pendidikan, arahan, bantuan, masukan, serta dukungan yang luar biasa dari para pihak, oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya khususnya kepada:

1. Kedua orang tua penulis, ayahku tercinta, dan ibuku tersayang, terima kasih atas kasih sayangmu yang tiada tara, pengertianmu yang sangat membuatku bahagia, doa-doamu tiap malam, dukunganmu yang luar biasa ketika Ananda sedang jatuh terpuruk, serta didikanmu selama ini, sehingga karena kalian berdualah Ananda terinspirasi untuk menyelesaikan skripsi ini.

(13)

xii

2. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berikut para wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.

4. Dr. Hj. Mesraini, S.H., M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Ahmad Chairul Hadi, M.A., selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum, atas jasa-jasa beliau berdualah yang membuat penulis bersemangat untuk menjadi mahasiswa yang unggul dan bermanfaat, selalu mendukung penulis di tengah-tengah

kesibukannya serta memotivasi penulis untuk secepatnya

memyelesaikan penyusunan skripsi ini.

5. Dr. H. Muchtar Ali, M.Hum., selaku Dosen Penasehat Akademik yang tak kenal lelah membimbing penulis serta mendampingi penulis dengan penuh keikhlasan dan kesabaran sampai pada tahap semester akhir di Fakultas Syariah dan Hukum tercinta ini, yang telah memberikan masukan, kritikan, dan saran-saran yang bermanfaat kepada penulis demi kesempurnaan skripsi ini.

6. Ali Mansur, M.A., selaku Dosen Pembimbing Skripsi penulis, yang selalu membimbing penulis dengan penuh kesabaran di tengah kesibukan yang beliau hadapi, memberikan arahan serta masukan yang sangat positif untuk perumusan dan penyusunan skripsi ini, sehingga merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi penulis karena telah dibimbing oleh orang hebat seperti beliau.

7. Kepada Keluarga Besar Ikatan Remaja Masjid Ar-Rahman yang selalu menyemangati penulis dan mengingatkan penulis untuk menjadi pribadi yang lebih baik kedepannya khususnya dukungan untuk pembuatan skripsi ini.

(14)

xiii

8. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah mendidik penulis dan memberikan keilmuannya sehingga skripsi ini dapat tuntas.

9. Keluarga Besar Purworejo yang sangat penulis cintai dan penulis banggakan.

10. Serta Sahabat-Sahabat terbaik, khususnya Ahmad Said Fandi, Mizhfaar Alawiy, Luthfi Abdul Latif, Ichsan dan sahabat-sahabat penulis lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang semuanya telah mendukung serta memberikan semangat kepada penulis.

Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT membalas jasa-jasa mereka, kebaikan mereka, dan melindungi mereka baik di dunia maupun di akhirat kelak, Amiin! Semoga skripsi ini membawa berkah dan banyak manfaat bagi para pembaca walaupun masih banyak kekurangan dan belum sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Wallahu a’lam bi al-Showab.

Jakarta, 3 Desember 2020

(15)

xiv

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING...i

LEMBAR PERNYATAAN………..………..ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN……….……….. iii

ABSTRAK………….………..iv PEDOMAN TRANSLITERASI………..……….vi KATA PENGANTAR………..………..xi DAFTAR ISI…………..………xiv BAB I PENDAHULUAN………...1 A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 10

D. Metode Penelitian... 10

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II POLIGAMI MENURUT FIQH DAN HUKUM DI INDONESIA ... 13

A. Poligami Menurut fiqh ... 13

1. Pengertian Poligami ... 13

2. Dasar Hukum Poligami ... 15

3. Syarat Poligami ... 19

4. Hak dan Kewajiban Suami Isteri ... 20

B. Poligami Menurut Hukum Positif ... 24

1. Pengertian ... 24

2. Dasar hukum Poligami ... 26

(16)

xv

4. Hak dan Kewajiban Suami Isteri ... 32

C. Tinjauan Umum Tentang Kebutuhan Biologis Laki-Laki dan Perempuan ... 33

1. Pengertian Kebutuhan Biologis ... 33

2. Pengertian Perilaku Seksual ... 33

3. Bentuk-bentuk Penyimpangan Seksual……….34

D. Konsep Maslahah Mursalah.………...34

1. Pengertian Maslahah Mursalah…..………...34

2. Dasar Hukum Maslahah Mursalah……….………..35

3. Kedudukan Maslahah Mursalah………...37

E. Studi Review Terdahulu………...37

BAB III STUDI PUTUSAN NOMOR 1749/Pdt.G/2018/PA.Tbn dan No. 83/Pdt.G/2019/PTA.Sby ... 45

A. Deskripsi Putusan Nomor 1749/Pdt.G/2018/PA.Tbn ... 45

1. Duduk Perkara ... 45

2. Pertimbangan Hukum ... 52

3. Amar Putusan ... 61

B. Deskripsi Putusan Nomor 83/Pdt.G/2019/PTA.Sby ... 61

1. Duduk Perkara ... 61

2. Pertimbangan Hukum ... 62

3. Amar Putusan ... 72

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP HASRAT LIBIDO TINGGI SEBAGAI ALASAN IZIN POLIGAMI……….74

A. Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Hasrat Libido Tinggi Sebagai Alasan Izin Poligam………...75

(17)

xvi

BAB V PENUTUP ... 94

A. Kesimpulan ... 94

B. Saran ... 96

(18)

1

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pada prinsipnya dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menganut asas monogami seperti yang terdapat dalam pasal 3 yang menyatakan, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, namun dalam bagian yang lain dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan.klausul kebolehan poligami di dalam UU Perkawinan hanyalah pengecualian dan untuk itu pasal-pasalnya mencantumkan alasan-alasan

yang membolehkan tersebut.1

Poligami memang bukan isu baru dalam wacana dan perdebatan Islam. Namun, karena aturan-aturannya yang terus berkembang di beberapa negara, termasuk di Indonesia, dan karena perbedaan cara pandang dari para Ulama dan Ahli Hukum terkait dengan hukumnya, isu poligami jadi menarik dan penting untuk didiskusikan.

Poligami merupakan salah satu bentuk pernikahan yang diatur dalam hukum Islam. Mengacu dalam hukum Islam (fiqh), poligami merupakan bentuk pernikahan yang diperbolehkan. Mayoritas Ulama memperbolehkan pernikahan poligami, dan pandangan kebolehan pernikahan poligami ini didasarkan pada ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa seorang muslim laki-laki boleh melakukan pernikahan dengan satu, dua, tiga, dan empat wanita yang baik, seperti tercantum dalam ayat ke empat Surat An-Nissa ayat 4.

Ayat tersebut dipahami sebagai sebuah aturan kebolehan pernikahan poligami, meskipun aturan ayat tersebut dilatari oleh praktik pernikahan yang dilakukan laki-laki dengan motivasi penguasaan harta anak dan atau perempuan yatim. Tidak menghendaki adanya pernikahan dengan motivasi

(19)

tersebut, Allah menurunkan ayat tersebut untuk menghalangi praktik tersebut. Namun, ayat tersebut kemudian dipahami sebagai sebuah dasar pembolehan praktik pernikahan poligami secara umum. Meskipun beberapa kalangan menafsirkan kebolehan dengan penekanan pada kalimat berikutnya yang menyinggung tentang keadailan yang harus dipenuhi suami, mayoritas Ulama menganggap keharusan berlaku adil tersebut tidak terlalu penting mengingat keadilan merupakan hal yang sangat abstrak. Para ulama Sunni – Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan Hanafiyah, menegaskan bahwa dalam poligami tidak disyaratkan keadilan hati dan cinta. Syafi’iyah bahkan menyebutkan, keadilan dalam masalah nafkah juga

tidak ditekankan.2

Cinta bukanlah satu-satunya dasar yang dapat melanggengkan harmonisnya perkawinan. Sebagaimana informasi dari berbagai rubrik konsultasi seks oleh Boyke dan lembaga konseling perkawinan menyebutkan bahwa keluhan yang sering dialami oleh pasangan suami istri adalah seputar masalah ketidakpuasan dalam hal seksual. Menekankan bahwa taraf 3 kenikmatan dan kepuasan dalam kehidupan seks dapat dijadikan barometer hubungan pasangan suami istri. Ketidakpuasan seks bisa disebabkan karena banyak hal diantaranya yaitu pengetahuan yang kurang tentang seks, adanya gangguan seks, konflik, kecemasan, ketakutan, tersinggung, harapan yang mulukmuluk terhadap pasangan, kegagalan mencapai orgasme, kurang percaya diri, kebosanan dan ketidakserasian

dalam seks.3

Selain itu, ada sebagian orang yang mempunyai makna nafsu atau keinginan untuk melakukan hubungan seksual yang berlebihan atau dikenal

dengan istilah hiperseksual.4

2 Asep Saepudin Jahar, Hukum Keluarga, Pidana, & Bisnis (Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group, 2013) h. 29-30

3 Idah Niswati, Hubungan Loving, Kepuasan Seksual dan Religiusitas Dengan

Keharmonisan Perkawinan, (Jurnal Psibernetika Vol. 4 No. 2 Oktober 2011) h.2&3

4 Ahmad Ramli. K. St, Pamoentjak, Kamus Kedokteran, (Jakarta: Djambatan,

(20)

Adapun penyebab seseorang menjadi hiperseksual dikarenakan adanya faktor fisik dan psikologis.Secara fisik biasanya lantaran adanya gangguan pada metabolisme dalam tubuh atau terjadi gangguan pada bagian saraf. Sedangkan secara psikologis, karena adanya rasa trauma atau pola

pikir yang berubah.5

Prof. Dr.dr Wimpie Pangkahila, Sp.And dalam hal ini juga menjelaskan beberapa penyebab yang diduga menjadi penyebab seseorang menjadi hiperseksual di antaranya, yaitu :

a. Abnormalitas otak, penyakit atau kondisi medis tertentu kemungkinan dapat menimbulkan kerusakan pada bagian otak yang mempengaruhi perilaku seksual. Penyakit seperti multiple selerosis, epilepsi, dan demensia juga berkaitan dengan hiperseksual. Selain itu pengobatan penyakit parkinson dengan dopamine diduga dapat memicu perilaku hiperseksual.

b. Androgen Hormon seks ini secara alami terdapat pada lelaki dan perempuan. Walaupun androgen juga memiliki peran yang sangat penting dalam memicu hasrat atau dorongan seks, belum jelas apakah hormon ini berkaitan langsung dengan hiperseksual.

c. Perubahan sirkuit otak , beberapa ahli membuat teori bahwa hiperseksual adalah sebuah jenis kecanduan yang seiring waktu menimbulkan perubahan pada sirkuit syaraf otak. Sirkuit ini merupakan jaringan syaraf yang menjadi sarana komunikasi antara satu sel dengan sel lain dalam otak. Perubahan ini dapat menimbulkan reaksi psikologis menyenangkan saat terlibat dalam perilaku seks dan

reaksi tidak menyenangkan ketika perilaku itu berhenti.6

Dari penelitian para ahli, penderita hiperseksualual memang memiliki gangguan kejiwaan yang disebabkan kurangnya kasih sayang dari

5 Marzuki Umar Sa’adah, Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas

,(Yogyakarta: UII Press, 2001), h.110.

6 Marzuki Umar Sa’adah, Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas ,(Yogyakarta: UII

(21)

kedua orang tua, kurang mendapat perhatian atau ditelantarkan keluarga, sehingga ingin mendapat perhatian yang lebih dan ini diungkapkan dalam seks. Jadi semua kenikmatannya seakan-akan harus dibayar dengan seks. Menurut dr.Boyke karena masa lalu mereka yang kurang baik ada yang

disiksa oleh ayah atau ibu tirinya misalnya.7

Namun apabila salah satu pasangan baik suami atau istri merasa tidak menikmati maka aktifitas atau hubungan biologis tersebut dapat menjadi sesuatu yang dihindari bahkan hingga dibenci. Terutama jika ada tuntutan yang berlebihan dan dengan cara-cara yang tidak wajar dan atau berlebihan dalam pemenuhannya. Hal ini tentunya akan menimbulkan suatu masalah, karena salah satu pihak ada yang merasa tersakiti. Menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warahmah tidak tercapai apabila tidak bisa diselesaikan dengan baik.

Izin poligami karena istri tidak mampu melayani hubungan seks suami yang hiperseksual dijadikan suatu alasan atau jalan untuk menempuh poligami. Padahal alasan tersebut tidak sesuai dengan syarat yang tertulis dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tetapi majelis hakim menganalogikan ketidakmampuan istri melayani hubungan biologis suami sama dengan istri tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagai istri. Sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam

putusan No. 1749/Pdt.G/2018/PA Tbn & PUTUSAN

No.83/Pdt.G/2019/PTA.Sby bahwa selama masa perkawinan Pemohon dan Termohon telah dikaruniai anak. Namun seiring dengan berjalannya waktu Termohon merasa tidak dapat memenuhi kebutuhan biologis Pemohon yang hiperseksual, pemohon meminta berhubungan badan dengan termohon setiap hari. Dari kasus ini, terlihat betapa perempuan tidak punya daya tawar terhadap keinginan suaminya untuk menikah lagi. Ironisnya, kemampuan

7 Marzuki Umar Sa’adah, Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas (Yogyakarta: UII

(22)

laki-laki untuk berlaku adil semata dilihat dari aspek materialnya.

Sementara kondisi psikologis istrinya tidak diperhatikan.8

Dalam Pasal 33 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana suami-istri wajib saling mencintai, saling menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan bathin yang satu kepada yang lain merupakan hal yang semu. Pada dasarnya poligami lebih banyak membawa resiko/madarat dari pada manfaatnya. Karena manusia itu fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watakwatak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan berkeluarga, baik konflik antara suami dengan isteri-isteri dan anak-anak isterinya, maupun konflik antara isteri beserta anak-anaknya masing-masing.

Islam memandang poligami lebih banyak membawa

resiko/madharat daripada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bias menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan isteri-isteri dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak-anaknya masing-masing.

Karena itu hukum sebab dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisasi sifat/watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis, berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati/dengki, dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa

8 Netti, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Izin Poligami Karena

Hypersex (Studi Putusan Nomor 0256/Pdt.G/2016/PA.Mna), (Jurnal Qiyas, Vol.5, No. 1, April 2020) h.30

(23)

mengganggu ketenangan keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga. Karena itu, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya istri ternyata mandul, sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah satu dari tiga human investment yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia, yakni bahwa amalnya tidak tertutup berkah adanya keturunan yang shaleh yang selalu berdo’a untuknya. Maka dalam keadaan isteri mandul dan suami tidak mandul berdasarkan keterangan medis hasil laboratoris, suami diizinkan berpoligami dengan syarat ia benar-benar mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam pemberian nafkah lahir dan giliran waktu tinggalnya.

Jika suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak mereka, maka ia haram melakukan poligami. Bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak isterinya hanya tiga orang, maka ia haram menikahi istri untuk yang keempatnya. Bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak isterinya dua orang, maka ia haram menikahi isteri untuk yang

ketiganya, dan begitu seterusnya.9

Tidak adanya perhatian yang sungguh-sungguh terhadap ajaran Islam merupakan suatu alasan yang digunakan oleh mereka yang ingin membatasi poligami dan melarang seorang lelaki untuk menikah lagi dengan perempuan lain, kecuali setelah pengadilan atau instansi lainnya meneliti tentang kemampuan hartanya dan kondisinya serta memberikan izin kepadanya untuk berpoligami. Hal ini dikarenakan kehidupan rumah

tangga memerlukan biaya yang cukup besar.10

Al-Qur’an menyatakan bahwa seorang lelaki dapat menikahi perempuan maksimal sebanyak empat. Hal inii di jelaskan dalam QS. An-Nisa (4):3 yaitu:

9 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2010) h.130-132 10 Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat (Jakarta: Rajagrafindo Persada,

(24)

ٰىَنْثَم ِءاَسِ نلا َنِم ْمُكَل َباَط اَم اوُحِكْناَف

اوُلِدْعَت الاَأ ْمُتْف ِخ ْنِإَف ۖ َعاَب ُر َو َث َلاُث َو

ةَد ِحا َوَف

Artinya : “Nikahilah olehmu wanita-wanita yang kamu sukai dua, tiga atau empat. Jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, nikahilah satu saja”

Jika ditelusuri lebih dalam, latar belakang historis diturunkannya ayat tersebut adalah berkenaan dengan harta anak yatim. Mereka yang mengurusi harta anak yatim diingatkan oleh Allah, jika ingin mengawini anak asuhnya yang yatim maka hendaknya iktikad yang baik serta adil. Hal ini terutama berkaitan dengan masalah pemberian mahar dan hak-hak lainnya terhadap

perempuan yang dikawininya.11

Dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 55 sampai dengan Pasal 59 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa suami yang akan beristeri lebih dari seorang wajib mengajukan permohonan di Pengadilan tempat tinggalnya. Pengadilan yang di maksud yakni hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :

1. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.

2. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

3. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Kemudian pasal 5 ayat (1) di jelaskan bahwa untuk dapat mengajukan permohonan izin poligami ke Pengadilan harus memenuhi syarat sebagai berikut :

1. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.

2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

11 Nasaruddin Umar, Menimbang Dalil Poligami (Jakarta: Departemen Agama,

(25)

3. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

Dari uraian diatas hal ini banyak menimbulkan berbagai macam pertanyaan, apa yang melatar belakangi Hakim tingkat pertama dan Hakim tingkat kedua itu berbeda dalam mengadili perkara tersebut, penulis merasa tertarik dengan masalah ini untuk dijadikan judul Skripsi yaitu HASRAT LIBIDO TINGGI SEBAGAI ALASAN IZIN POLIGAMI (ANALISIS

PUTUSAN (No.1749/Pdt.G/2018/PA Tbn & PUTUSAN

No.83/Pdt.G/2019/PTA.Sby).

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang permasalahan yang di uraikan tersebut dapat diidentifikasi berbagai macam permasalahan, yaitu:

a. Apa dasar pertimbangan hukum oleh hakim tingkat pertama yang tidak menyetujui Izin Poligami dalam putusan Nomor 1749/Pdt.G/2018/PA Tbn.?

b. Apakah dasar hukum yang digunakan dalam perkara Pengadilan Agama Tuban dalam putusan Nomor 1749/Pdt.G/2018/PA Tbn sudah sesuai dengan undang-undang yang berlaku?

c. Bagaimana ketentuan Poligami dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif yang berlaku di Indonesia?

d. Bagaimana ijtihad hukum yang digunakan oleh Hakim Pengadilan Agama Tuban dalam putusan Nomor 1749/Pdt.G/2018/PA Tbn.? e. Apa dasar pertimbangan hakim tingkat banding yang membatalkan

putusan hakim tingkat pertama dalam Izin Poligami dalam putusan Nomor 83/Pdt.G/2019/PTA.Sby?

f. Apa dasar hukum tingkat banding yang membatalkan putusan hakim tingkat pertama dalam Izin Poligami dalam putusan Nomor 83/Pdt.G/2019/PTA.Sby?

(26)

2. Pembatasan Masalah

Karena banyaknya permasalahan yang teridentifikasi dalam tema ini, maka Penulis membatasi hanya membahas bagaimana putusan Hakim tingkat pertama yang menolak dan Hakim tingkat kedua yang mengabulkan Izin Poligami dalam perkara Nomor 1749/Pdt.G/2018/PA Tbn dan Nomor 83/Pdt.G/2019/PTA.Sby.

3. Perumusan Masalah

Permasalahan dalam skripsi ini dapat dirumuskan seperti yang tercantum dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang tentang perkawinan istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal tersebut merupakan salah satu syarat yang harus terpenuhi apabila seorang suami ingin Poligami. Tetapi dalam hal ini tidak ada penjelasan atau alasan yang signifikan dengan pasal 4 ayat (2) Undang-Undang tentang perkawinan. Seperti karena istri tidak sanggup melayani kebutuhan biologis/hubungan sex setiap hari yang diinginkan oleh sang suami.

Untuk memudahkan pembahasan dalam skripsi ini, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

a. Apa pertimbangan Hukum Majelis Hakim pada putusan Nomor 1749/Pdt.G/2018/PA Tbn dan Nomor 83/Pdt.G/2019/PTA.Sby tentang Hasrat Libido Tinggi Sebagai Alasan Izin Poligami?

b. Mengapa ada perbedaan putusan Majelis Hakim pada kedua putusan tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui pertimbangan Hukum Majelis Hakim pada

(27)

83/Pdt.G/2019/PTA.Sby tentang Hasrat Libido Tinggi Sebagai Alasan Izin Poligami.

b. Untuk mengetahui perbedaan putusan Majelis Hakim pada kedua putusan tersebut.

2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu: a. Memberikan sumbangan pemikiran dan ilmu pengetahuan dalam

perkembangan ilmu hukum perkawinan pada umumnya dan ilmu tentang Poligami.

b. Menjadi rujukan bagi akademisi tentang bagaimana analisa secara mendalam mengenai Izin Poligami.

c. Selanjutnya menjadi bahan tambahan terhadap mahasiswa yang akan melakukan penelitian berkaitan dengan Poligami.

D. Metode Penelitian

Dalam membahas penelitian ini, diperlukan suatu penelitian untuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dibahas dan gambaran dari masalah tersebut secara jelas, tepat dan akurat. Ada beberapa metode yang penulis gunakan, antara lain:

1. Pendekatan Penelitian

Di dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan normatif atau biasa dikenal dengan penelitian hukum doktrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Menurut Peter Mahmud Marzuki, segala penelitian yang berkaitan dengan hukum (legal research) adalah normative.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan perundang-undangan, serta

(28)

tulisan-tulisan para sarjana yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti.

3. Sumber Data

a. Data Primer yaitu data yang berkaitan langsung dengan Izin Poligami yaitu putusan Nomor 1749/Pdt.G/2018/PA Tbn. Dan No.83/Pdt.G/2019/PTA.Sby.

b. Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, buku-buku, jurnal, artikel, dan tulisan lain yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok dalam bahasan dalam penelitian ini. Oleh karena itu pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan dengan segera, dan salah satu

ciri dari data sekunder tidak terbatas oleh waktu maupun tempat.12

4. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan Studi Kepustakaan Penelusuran Informasi dan data yang diperlukan dalam beberapa sumber. Penyusunan dengan menggunakan studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mempelajari serta menganalisis literatur atau buku-buku dan sumber lainnya yang berkaitan dengan tema penelitian.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian skripsi ini terdiri dari 5 (lima) Bab, dimana masing-masing bab berisikan pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut:

Bab Pertama, untuk memenuhi prosedur penelitian ilmiah dalam bentuk laporan dan berisikan Pendahuluan yang berhubungan erat dengan permasalahan yang dimulai dengan menjelaskan: Latar belakang masalah, Identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

12Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, Universitas

(29)

Bab Kedua, kajian kepustakaan yang dibahas dalam bab ini adalah memberikan gambaran umum hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan Poligami dalam hal teoritis menurut fiqh dan Hukum di Indonesia.

Bab Ketiga, pada bagian ini memaparkan deskripsi ringkasan dan pertimbangan hukum oleh hakim dalam putusan Hakim Tingkat Pertama dan Tingkat Banding, tentang Izin Poligami dalam Putusan (No. 1749/Pdt.G/2018PA Tbn. Dan No.83/Pdt.G/2019/PTA.Sby).

Bab Keempat, merupakan bab inti yaitu bahasan utama dalam skripsi ini, yaitu analisis pertimbangan Hukum oleh Hakim Tingkat Pertama dan Tingkat Banding, dalam hal Izin Poligami Putusan (No. 1749/Pdt.G/2018PA Tbn. Dan No.83/Pdt.G/2019/PTA.Sby).

Bab Kelima, merupakan bab akhir dalam penelitian ini, terdiri dari penutup yang berisi kesimpulan dan saran yang bersifat membangun bagi penyempurnaan bab ini.

(30)

BAB II

POLIGAMI MENURUT FIQH DAN PERATURAN DI INDONESIA

A. Poligami Menurut Fiqh 1. Pengertian Poligami

Pada dasarnya asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Hal ini sudah jelas dalam surat An-Nisa’ ayat (3), kendati Allah SWT memberi peluang untuk beristri sampai empat orang, tetapi peluang itu dibarengi oleh syarat-syarat yang sebenarnya cukup berat untuk ditunaikan kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Allah SWT membarengi kebolehan berpoligami dengan ungkapan “jika kamu takut atau cemas tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah satu perempuan saja”. Firman Allah SWT surat An-Nisa’ ayat (3) tersebut selalu dipahami sebagai dasar kebolehan berpoligami. Dalam ayat tersebut untuk kebolehan berpoligami hanya dipersyaratkan

dapat berlaku adil.13

Dalam bahasa Arab, poligami disebut Ta’addud al Zawjat Asal perkataan Ta’addada berarti bilangan, manakala perkataan al Zawjat diambil dari perkataan al zawjat yang berarti Istri. Dua perkataan tersebut apabila digabungkan membawa arti istri yang banyak atau berbilang Maka dengan demikian, poligami dapat dimaksudkan sebagai menikahi perempuan lebih dari pada seorang yaitu lawan dari perkataan monogami yang berarti menikah dengan seorang wanita saja dan merupakan berlawanan dengan perkataan poliandri yaitu bersuami dengan lebih dari

seorang dalam satu masa.14

Para ilmuwan dan akademisi masih memperbincangkan poligami untuk mencari hokum dan syarat-syarat poligami yang sesuai dengan

13 Reza Fitra Ardhian dkk, “Poligami Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif

Indonesia Serta Urgensi Pemberian Izin Poligami di Pengadilan Agama,” Privat Law Volume III, Nomor 2 (2015) h.101

14 Iim Fahimah, “Poligami Dalam Perspektif Ushul Al-Fiqh,” MIZANI: Wacana

Hukum, Ekonomi dan Keagamaan, Volume 4, No. 2, (2017) h.100

(31)

konteks pada zaman sekarang ini. Pada surat An-Nisa ayat 3 sudah jelas Islam mempunyai referensi yang kuat mengenai poligami. Islam memiliki peran penting dalam menentukan tujuan bagi seseorang yang ingin poligami. Tujuan yang benar merupakan kunci kesuksesan yang paling mendasar diterimanya amal perbuatan seseorang. Hal ini dijelaskan dalam hadis Rasulullah SAW:

َخْلا ِنْب َرَمُع ْنَع

هللا ىلص ِهاللا َلوُس َر ُتْعِمَس : َلاَق هنع هللا يضر ِبااط

ْنَمَف ، ى َوَن اَم ٍئ ِرْما ِ لُكِل اَمانِإ َو ِتاايِ نلاِب ُلاَمْعَلأا اَمانإ : ُلوُقَي ملسو هيلع

ْنَم َو ، ِهِلوُس َر َو ِهاللا ىَلإ ُهُت َرْجِهَف ، ِهِلوُس َر َو ِهاللا ىَلإ ُهُت َرْجِه ْتَناَك

ْتَناَك

ِهْيَلإ َرَجاَه اَم ىَلإ ُهُت َرْجِهَف ، اَهُج او َزَتَي ٍةَأ َرْما ْوَأ اَهُبي ِصُي اَيْنُد ىَلإ ُهُت َرْجِه

Artinya : Dari Umar bin Khaththab ra, ia berkata; Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda; Amal itu hanyalah dengan niat, dan bagi setiap orang (balasan) sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa berhijrah (dengan niat) kepada Allah dan Rasul nya, maka (ia mendapatkan balasan) hijrahnya kepada Allah dan Rasul nya, dan barangsiapa berhijrah (dengan niat) kepada (keuntungan) dunia yang akan diperolehnya, atau wanita yang akan dinikahinya, maka (ia mendapatkan balasan) hijrahnya

kepada apa yang ia hijrah kepadanya.15

Islam memposisikan pernikahan merupakan amal perbuatan yang penting dan mulia dalam kehidupan manusia dan sebagai sebuah amal perbuatan yang baik. Setiap orang yang memasuki mahligai perkawinan atau pernikahan mendapat pahala dari Allah SWT. Pernikahan bukan perbuatan yang sifatnya duniawi saja, akan tetapi ia juga merupakan sebuah langkah untuk memperbaiki individu dan juga masyarakat. Orang yang melaksanakan pernikahan dengan tujuan untuk memperbaiki individu dan

15 Muḥammad bin Ismā’il, Ṣaḥīḥ Bukhārī, juz VIII (Software Maktabah

(32)

masyarakat akan mendapat ganjaran yang luar biasa dari Allah Swt. Perkawinan dapat meminimalisir perbuatan tercela, seperti keinginan untuk berzina di luar nikah, sedangkan bagi manusia yang sudah menikah dapat menentramkan jiwa, dan dipandang oleh masyarakat secara umum bahwa ia sudah sempurna dan terpelihara dari perbuatan mungkar. Allah SWT berfirman Dalam surat Al-Furqan (25): 74 :

َنيِقاتُمْلِل اَنْلَعْجٱ َو ٍنُيْعَأ َة ارُق اَنِتٰاي ِ رُذ َو اَن ِج َٰو ْزَأ ْنِم اَنَل ْبَه اَناب َر َنوُلوُقَي َنيِذالٱ َو

ا ماَمِإ

Artinya: Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.

Ayat di atas maksudnya adalah memberi motivasi kepada orang yang telah berkeluarga untuk mendapatkan keturunan yang baik dan sejahtera di dunia dan di akhirat, serta senantiasa menjadi pemimpin keluarga yang

bertanggungjawab. 16

2. Dasar Hukum Poligami

Berikut pemaparan poligami dari beberapa tokoh, yaitu :

Mahmud Syaltut beranggapan bahwa Hukum poligami adalah mubah, maka pada dasarnya poligami adalah masalah keadilan, dan tidak terjadinya

penganiayaan terhadap istri.17 Namun jika dikhawatirkan penganiayaan dan

itu menimbulkan dosa maka sebaiknya beristri satu saja. Bagi mereka yang dapat berlaku adil, Islam membolehkan poligami sampai empat orang istri. Yaitu adil dalam melayani istri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal, pakaian, giliran dan hal-hal yang bersifat lahiriyyah. Jika tidak dapat berbuat

16 Riyandi. S, “Syarat Adanya Persetujuan Istri Untuk Berpoligami (Analisis

Ushul Fikih Syafi‘iyyah Terhadap Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974),” Jurnal Ilmiah Islam Futura, Volume 15, Nomor 1 (2015) h.112-114

17 Mahmud Syaltut, Islam Akidah dan Syari’ah, Cet. Ke-III, (Mesir: Dar alQolam, 1966),

(33)

adil, maka hanya cukup satu istri saja (monogami). Sudah di jelaskan dalam Al-Qur’an jika tidak dapat berlaku adil maka kawinilah seorang saja, hal tersebut tertera dalam Q.S An-Nisa (4): 3 :

َثَٰلُث َو ٰىَنْثَم ِءٓاَسِ نلٱ َنِ م مُكَل َباَط اَم ۟اوُحِكنٱَف ٰىَمَٰتَيْلٱ ىِف ۟اوُطِسْقُت الاَأ ْمُتْف ِخ ْنِإ َو

۟۟

اوُلوُعَت الاَأ ٰٓىَنْدَأ َكِلَٰذ ۚ ْمُكُن َٰمْيَأ ْتَكَلَم اَم ْوَأ ةَد ِح َٰوَف ۟اوُلِدْعَت الاَأ ْمُتْف ِخ ْنِإَف ۖ َعَٰب ُر َو

Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

a. Muhammad Ali Al-Shabuni dalam Kitabnya Tafsir ayat Al Ahkam, membedakan status hukum poligami, sebagai berikut; (fankihuu maa thaaba lakum) hukumnya wajib (boleh; tidak mengikat). Ulama jumhur sepakat bahwa amr dalam ayat tersebut ibahah seperti makana amr dalam firman Allah lainnya (wa kuluu wasyrabuu) dan ayat (kuluu min thayyibaatii maa razaqnaakum), sementara ulama’ Dhahiriyah berpendapat nikah tersebut wajib, kami berpegang kepada Dhahir ayat karena sesungguhnya amr itu wajib. Lebih lanjut ia menjelaskan ayat 4 surat An-Nisa’: (fankihuu maa thaaba lakum min al-nisaa’i matsa wa tsulaasa wa ruba’..) makna kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, kata ini adalah perintah yang boleh dilakukun oleh seorang laki-laki menikahi wanita yang disenangi. Kata maa diatas sama artinya

dengan kata man.18

b. Menurut Ali Al-Sayis, dijelaskan bahwa (matsna wa tsulaasa wa rubaa’a) merupakan hal dari kata thaba yang merupakan kalimat hitungan yang menunjukkan jumlah yang disebut itu. Misalnya lafadz matsna menunjukkan kepada dua-dua, wa tsulaasa menunjukkan kepada

18 Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam, jilid ke-1, (Bairut: Dar al-Fikr, tt.),

(34)

tiga-tiga, wa rubaa’a menunjukkan kepada empat-empat. Sedangkan penafsiran huruf waw dalam kata wa tsulasa wa rubaa’a menempati huruf au yang berarti atau. Hal itu berfungsi menambah yaitu dan. Begitu juga bilangan matsna, tsulaasa, rubaa’a yang dimaksud disini artinya dua, tiga, empat. Dengan demikian, batas maksimal poligami adalah

empat orang.19

c. Menurut Quraish Shihab, “Jika kami takut tidak akan berbuat adil terhadap perempuan yatim dan kamu percaya diri akan berlaku adil terhadap perempuan-perempuan selain yang yatim itu, maka kawinilah apa yang kamu sayangi sesuai selera kamu dan halal bagi perempuan-perempuan yang lain itu. Kalau perlu kamu dapat menggabung dua, tiga, empat, tetapi jangan lebih, kalau kamu takut tidak akan dapat berlaku adil dalam hal harta dan perlakuan lahiriyah, bukan dalam hal cinta bila menghimpun lebih dari seorang istri, maka kawini seorang saja, atau kawinilah budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu, yakni menikahi selain anak yatim yang mengakibatkan ketidak adilan, dan mencukupkan satu orang istri adalah lebih dekat tidak berbuat aniaya, yakni lebih mengantarkan kamu kepada keadilan atau kepada tidak

memiliki banyak anak yang harus kamu tanggung biaya hidup mereka.20

d. Al-Juzairi dalam Kitabnya al-Fiqh ‘ala Madzahid al-Arba’ah, mengungkapkan tentang status poligami, pokok poligami pada dasarnya terletak pada persoalan “adil”. Jika takut mengatakan adil, maka cukup menikah dengan satu istri, sebaliknya jika mampu menegakkan adil, maka dibolehkan beristri lebih dari satu. Oleh karena itu, syarat adil

19 Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam,

(Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009), h. 84-85.

20 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, cet. Ke-I, jilid ke-II, (Ciputat: Lentera Hati,

(35)

adalah wajib. Meskipun dalam hal tertentu, menegakkan adil dalam hal

beristri lebih dari satu bisa hukumnya mandub (sunnah).21

Berkait dengan masalah ini, Rasyid Ridha mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Masyfuk Zuhdi, bahwa Islam memandang poligami lebih banyak resiko/mudharat daripada manfaat karena manusia itu menurut fitrahnya (hukan nature) memunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa membawa sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan istri-istri maupun konflik antara istriistri terhadap anak-anaknya masing-masing, oleh karena itu, usul hukum perkawinan dalam Islam adalah monogamy sebab dengan monogamy akan memudahkan menetralisasi sifat/watak cemburu, iri hati

dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang harmonis.22

e. Menurut Zamaksyari, poligami menurut syari’ah Islam adalah merupakan rukhsah (kelonggaran) ketika darurat, sama halnya rukhsah bagi musafir dan orang sakit yang dibolehkan buka puasa pada bulan ramadhan ketika dalam perjalanan. Muhammad Abduh beranggapan bahwa haram berpoligami, bagi seseorang yang khawatir tidak bisa berbuat adil. Karena pada dasarnya, poligami tidaklam mendatangkan

manfaat, bahkan poligami hanyalah mencari kesenangan.23

Menurut pemaparan para ulama diatas, poligami masih menjadi hal

yang menarik untuk diperdebatkan karena adanya pro & kontra. Bagi seorang laki-laki (suami) yang ingin poligami hendaknya untuk mempertimbangkan berbagai macam hal agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkam ketika sudah berpoligami.

21 Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, h.

82-83.

22 Abdul Rahman Ghazali, Fikh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h.130 23 Agus Hermanto, “Islam, Poligami dan Perlindungan Kaum Perempuan,”

(36)

3. Syarat Poligami

Syariat Islam memperbolehkan poligami dengan batasan sampai empat orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka, baik dalam urusan pangan, pakaian, serta lainya yang bersifat kebendaan tanpa membedakan antara istri yang kaya dengan istri yang miskin,yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang rendah dari golongan bawah. Bila suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak-hak mereka, maka ia diharamkan berpoligami. Bila yang sanggup dipenuhinya hanya tiga maka baginya haram baginya menikahi dengan empat orang. Jika ia hanya sanggup memenuhi hak dua orang istri maka haram baginya menikahi tiga orang. Begitu juga kalau ia khawatir berbuat zalim dengan mengawini dua orang perempuan maka baginya

haram melakukan poligami.24

Menurut Yusuf Qardhawi, adil dalam tataran praktis merupakan kepercayaan pada dirinya, bahwa dia mampu berbuat adil diantara istri-istrinya dalam masalah makan, minum, pakaian, tempat tinggal, bermalam, dan nafkah. Jika tidak yakin akan kemampuan dirinya untuk menunaikan hak-hak tersebut secara adil dan imbang, maka haram

baginya menikah lebih dari seorang25.

Tentang kesulitan dalam memenuhi tuntutan keadilan dalam perkawinan poligami itu dijelaskan pada Q.S An-Nisa (4): 129 :

ِلْيَمْلا الُك اوُليِمَت َلاَف ۖ ْمُتْص َرَح ْوَل َو ِءاَسِ نلا َنْيَب اوُلِدْعَت ْنَأ اوُعيِطَتْسَت ْنَل َو

ُت ْنِإ َو ۚ ِةَقالَعُمْلاَك اَهو ُرَذَتَف

ا مي ِح َر ا روُفَغ َناَك َهاللا انِإَف اوُقاتَت َو اوُحِلْص

Artinya : “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan

24 Tihami,Sohari Sahrani , Fikih Munakahat :Kajian Fikih Nikah Lengkap,

(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 362

25 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Terj. Abu Sa’id Al-Falahi

(37)

perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Selanjutnya Muhammad Baqir Al-Habsyi berpendapat, barang siapa mengamati firman Allah di atas, niscaya akan berkesimpulan bahwa dibolehkannya seorang laki-laki mengawini lebih dari satu orang istri merupakan hal yang amat sangat dipersempit, sebagai suatu perbuatan darurat yang tidak dibenarkan melakukannya kecuali orang yang sangat memerlukannya, dengan syarat ia benar-benar yakin akan mampu

menegakkan keadilan dan terhindar dari perbuatan aniaya.26

Islam telah menentukan syarat untuk poligami agar terpercayanya seorang muslim terhadap dirinya, bahwa sang suami sanggup berlaku adil terhadap semua istrinya baik tentang soal makannya, minumnya, pakaiannya, rumahnya, tempat tidurnya maupun nafkahnya. Adil di sini bukanlah berarti hanya adil terhadap para istri saja, akan tetapi mengandung makna berlaku adil secara mutlak.

4. Hak dan Kewajiban Suami Istri

Apabila akad nikah telah berlangsung dan memenuhi syarat rukunnya, maka menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian akad tersebut menimbulkan juga hak serta kewajibannya selaku suami istri dalam keluarga, yang meliputi : hak suami istri secara bersama, hak suami atas

istri, dan istri atas suami.27

a. Hak Bersama Suami Istri :

1) Suami dan Istri dihalalkan mengadakan hubungan seksual. Perbuatan ini merupakan kebutuhan suami istri yang dihalalkan secara timbal balik. Suami istri halal melakukan apa saja terhadap istrinya, demikian pula bagi istri terhadap suaminya. Mengadakan

26 Muhammad Baqir Al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al-Quran, As Sunnah

dan Pendapat Para Ulama, (Bandung, Mizan, 2002), h . 100

27 Tihami,Sohari Sahrani , Fikih Munakahat :Kajian Fikih Nikah Lengkap,

(38)

kenikmatan hubungan merupakan hak bagi suami istri yang dilakukan secara bersamaan.

2) Haram melakukan pernikahan, artinya baik suami maupun istri tidak boleh melakukan pernikahan dengan saudaranya masing-masing.

3) Dengan adanya ikatan pernikahan, kedua belah pihak saling mewarisi apabila salah seorang di antara keduanya telah meninggal meskipun belum bersetubuh.

4) Anak mempunyai nasab jelas.

5) Kedua pihak wajib bertingkah laku dengan baik sehingga dapat melahirkan kemesraan dalam kedamaian hidup. Al-Qur’an menyatakan tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa Hal ini dijelaskan dalam Q.S An-Nisa (4): 19 :

انُهوُلُضْعَت َلا َو ۖ ا ه ْرَك َءٓاَسِ نلٱ ۟اوُث ِرَت نَأ ْمُكَل ُّل ِحَي َلا ۟اوُنَماَء َنيِذالٱ اَهُّيَأَٰٓي

انُهو ُرِشاَع َو ۚ ٍةَنِ يَبُّم ٍةَش ِحَٰفِب َنيِتْأَي نَأ ٓ الاِإ ان ُهوُمُتْيَتاَء ٓاَم ِضْعَبِب ۟اوُبَهْذَتِل

ا رْيَخ ِهيِف ُهاللٱ َلَعْجَي َو أًـْيَش ۟اوُهَرْكَت نَأ ٰٓىَسَعَف انُهوُمُتْه ِرَك نِإَف ۚ ِفوُرْعَمْلٱِب

ا

ريِثَك

Artinya: “wahai orang-orang yang beriman tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaulah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan

kebaikan yang banyak padanya”.28

b. Kewajiban Suami Istri

28 Hasbi As-Shiddieqi, Al-Quran dan Terjemahannya:Proyek Pengadaan Kitab

(39)

1) Suami memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

2) Suami istri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir batin.

3) Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmai, rohani, maupun kecerdasannya, serta pendidikan agamanya.

4) Suami istri wajib memelihara kehormatannya.

5) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing

dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama.29

c. Hak dan Kewajiban Suami terhadap istri 1) Hak Suami Atas Istri

a) Ditaati dalam hal-hal yang tidak maksiat. b) Istri menjaga dirinya sendiri dan harta suami.

c) Menjauhkan diri dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suami.

d) Tidak bermuka masam dihadapan suami.

e) Tidak menunjukkan keadaan yang tidak disenangi suami.30

2) Kewajiban Suami Terhadap Istri

Kewajiban suami terhadap istri mencakup kewajiban materi berupa kebendaan dan kewajiban nonmateri yang bukan berupa kebendaan.Sesuai penghasilannya, suami mempunyai kewajiban terhadap istri yaitu antara lain :

a) Memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal.

b) Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.

29 Tihami,Sohari Sahrani , Fikih Munakahat :Kajian Fikih Nikah Lengkap,

(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h.157.

30 Samsul Munir Amin dan Haryanto Al-Fandi, Kenapa Harus Stres, terapi Stres

(40)

c) Biaya pendidikan bagi anak.

d) Dua kewajiban paling awal diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin, yaitu istri mematuhi suami, khususnya ketika suami ingin menggaulinya. Disamping itu nafkah bisa gugur

apabila istri Nushuz.31

3) Kewajiban Istri Terhadap Suami

Kewajiban istri terhadap suaminya yang merupakan hak suami dari istrinya tidak ada yang berbentuk materi secara langsung.Yang ada adalah kewajiban dalam bentuk non materi.

Kewajiban bersifat non materi tersebut adalah :32

a) Menggauli suami secara layak sesuai dengan kodratnya. Hal ini dapat dipahami dari ayat yang menuntut suami menggauili istrinya dengan baik yang dikutip diatas, karena perintah untuk menggauli itu itu berlaku untuk timbal balik. b) Memberikan rasa tenang dalam rumah tangga untuk

suaminya dan memberikan rasa cinta dan kasih sayang kepada suaminya dalam batas-batas yang berada dalam kemampuannya. Hal ini sejalan dengan bunyi surat al-Ru>m ayat (21), karena ayat itu ditujukan kepada masing-masing suami istri.

c) Taat dan patuh kepada suaminya selama suaminya tidak menyuruhnya untuk melakukan perbuatan maksiat.

d) Menjaga dirinya dan menjaga harta suaminya bila suaminya sedang tidak berada di rumah kewajiban ini dapat dilihat dari isyarat firman Allah dalam Q.S An-Nisa ayat (34).

e) Menjauhkan dirinya dari segala sesuatu perbuatan yang tidak disenangi oleh suaminya.

31 Tihami,Sohari Sahrani , Fikih Munakahat :Kajian Fikih Nikah Lengkap,

(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h.159

32 Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia: antara fiqh

(41)

f) Menjauhkan dirinya dari memperlihatkan muka yang tidak

enak dipandang dan suara yang tidak enak didengar.33

B. Poligami Menurut Hukum Positif 1. Pengertian

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani. Secara etimologis, poligami merupakan derivasi dari kata apolus yang berarti banyak, dan gamos yang berarti istri atau pasangan. Jadi poligami bias dikatakan sebagai mempunyai istri lebih darim satu orang secara bersamaan. Adapun secara terminologis, poligami dapat dipahami sebagai suatu

keadaan dimana seorang suami memiliki istri lebih dari satu orang.34

Pengertian poligami menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak disebutkan secara jelas tetapi pada intinya poligami adalah seorang suami yang beristri lebih dari seorang. Poligami menjadi masalah yang cukup kontroversial, menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Bagi mendukung adanya poligami berdasarkan kaidah ketentuan agama. Sedangkan pihak yang kontra memandang poligami

sebagai tindakan sewenang-wenang dan merupakan bentuk

pengunggulan kaum laki-laki.

Dianutnya asas monogami dalam ketentuan pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan mencerminkan pengutamaan diterapkannya asas monogami dalam setiap perkawinan. Namun, dalam hal kondisi tertentu dan darurat, dimungkinkan adanya poligami dengan dasar alasan ketat dan persyaratan yang sangat berat. Hal tersebut juga dimaksudkan untuk menghargai pandangan sebagian masyarakat muslim yang membolehkan

poligami dengan syarat harus mampu berlaku adil.35

33 Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia: antara fiqh

munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta : Kencana, 2006) 162-163.

34 A. Rodli Makmun dan Evi Muafiah, “Poligami dalam penafsiran Muhammad

Syahrur,” (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009) h. 15

35 Edi Darmawijaya, “Poligami Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif (Tinjauan

(42)

Menurut Nur Rasyidah Rahmawati dalam bukunya wacana poligami di Indonesia bahwa : Dicantumkan ketentuan yang membolehkan adanya poligami dalam pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan bukan dimaksudkan sebagai bentuk pelecehan, diskriminasi, dan pengunggulan kaum laki-laki. Praktik dalam masyarakat tentang poligami sering menampakkan kesewenang-wenangan suami terhadap istri tidak dapat digunakan untuk menggeneralisasi bahwa poligami pasti diskriminatif,

wujud penindasan kaum suami terhadap istri.36

Dengan demikian, dari aspek ketentuan hukumnya, ketentuan Undang-Undang Perkawinan tersebut sudah cukup baik dalam arti secara tegas ditentukan bahwa pada asasnya dianut monogami. Selain itu, penerapan poligami dimungkinkan jika para pihak menyetujui dan tidak lain ditujukan untuk mengatasi suatu masalah yang tidak dapat diselesaikan. Poligami sendiri mempunyai arti suatu sistem perkawinan antara satu orang pria dengan lebih seorang isrti.

Pada dasarnya dalam Undang-Undang Perkawinan No.1/1974 menganut adanya asas monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan tegas dalam pasal 3 ayat 1 yaitu : Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

Akan tetapi asas monogami dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus sama sekali sistem poligami. Ketentuan adanya asas monogami ini bukan hanya bersifat limitatif saja, karena dalam pasal 3 ayat 2 UU Perkawinan disebutkan dimana pengadilan dapat memberikan izin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh para

36 Nur Rosyidah Rahmawati, Wacana Poligami di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2005),

(43)

pihak yang bersangkutan. Untuk mendapatkan izin poligami dari Pengadilan harus memenuhi syarat-syarat tertentu disertai dengan alasan yang dibenarkan. Tentang hal ini lebih lanjut diatur dalam pasal 5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9/1975 juga harus mengindahkan ketentuan khusus yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10/1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi adalah:

a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap ister-istri dan anak-anak mereka.

Untuk kasus poligami ketentuan jumlah istri dalam waktu yang bersamaan terbatas hanya sampai 4 orang. Adapun syarat utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya, akan tetapi jika suami tidak bisa memenuhi maka suami dilarang beristri lebih dari satu, disamping itu si suami harus terlebih dahulu mendapat izin dari Pengadilan Agama, jika tanpa izin dari Pengadilan Agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai

kekuatan hukum.37

2. Dasar Hukum Poligami

Didalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 menyatakan bahwa “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

37 Edi Darmawijaya, “Poligami Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif

(Tinjauan Hukum Keluarga Turki, Tunisia dan Indonesia),” Jurnal, Volume 1, Nomor 1 (2015) h.35-36

(44)

menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah. Izin beristri lebih dari seorang (istilah yang umum digunakan adalah izin poligami), dalam penjelasan pasal 49 alinea kedua sebagaimana di atas dinyatakan termasuk dalam lingkup pengertian perkawinan, dan tentunya menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama sepanjang subjek hukumnya adalah orang-orang Islam dan perkawinan yang dilakukan menurut syariat Islam. Atas dasar kewenangan yang diberikan undangundang sebagaimana uraian diatas, Pengadilan Agama secara absolut berwenang memeriksa dan memutus perkara permohonan izin poligami yang diajukan kepadanya. Adapun yang menjadi alasan-alasan dan syarat-syarat berpoligami yang ditentukan oleh undang-undang dapat ditemukan dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu : Pasal 4 ayat (2) – Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri2

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5 ayat (1) – Untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Adanya persetujuan dari istri / istri-istri;

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

(45)

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri

dan anak-anak mereka.38

Terdapat persamaan tentang ketentuan berpoligami dalam hukum Islam dan UU NO.1 tahun 1974. Dalam Hukum Islam poligami itu diperbolehkan dengan ketentuan mendapat izin dari istri, mampu menafkahi lahir dan batin serta berlaku adil terhadap istri-istrinya. Kemudian, didalam UU NO. 1 tahun 1974 memperbolehkan jika ingin berpoligami yaitu dengan syarat istri memberikan persetujuan baik secara lisan maupun tertulis pada pihak Pengadilan. Selain itu juga mampu untuk berlaku adil dalam memberikan nafkah lahir maupun batin, terhadap keluarga seperti yang tertera dalam UU NO. 1 tahun1974 pasal 41. Dalam UU NO. 1 tahun 1974 pasal 41 poin b disebutkan bahwa suami tidak dapat berpoligami jika tidak ada persetujuan dari istri baik secara lisan maupun tertulis yang harus diucapkan di Pengadilan, dan jika ada suami yang berpoligami tanpa adanya persetujuan istri maka perkawinannya dianggap tidak sah secara

Hukum.39

3. Syarat dan Prosedur Poligami a. Syarat Poligami

Banyak kritikan mengenai poligami dalam Islam. Syarat adanya persetujuan dari istri tentang poligami terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Syarat ini justru memberatkan bagi laki-laki (suami) yang ingin melakukan poligami. Akibat dari itu banyak laki-laki yang berpoligami secara diam-diam tanpa mendapatkan

38 Reza Fitra Ardhian dkk, “Poligami Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif

Indonesia Serta Urgensi Pemberian Izin Poligami di Pengadilan Agama,” Privat Law Volume III, Nomor 2 (2015) h.102-103

39 Wulaning Tyas Warni dkk, “Perkawinan Poligami Menurut Hukum Islam dan

Perundang-Undangan di Indonesia (Studi Kasus Pelaku Poligami di Desa Paningkiran dan Desa Sepat Kec. Sumberjaya Kab. Majalengka),” Diponegoro Law Journal Volume 7, Nomor 4, (2018) h.432-434

Referensi

Dokumen terkait

Dari penjelasan tersebut dapat peneliti pahami bahwa pengelompokan yang dilakukan dengan tidak memperhatikan karakteristik yang terdapat pada individu akan

Objek penelitian ini adalah aplikasi untuk mendiagnosa penyakit sistem saraf pusat pada manusia berbasis android menggunakan metode forward chaining. Sistem ini

Sebagai seorang religius sejati Ibn Miskawaih meyakini bahwa manusia itu pada dasarnya diciptakan Tuhan dalam dua unsur yaitu unsur jasad dan jiwa jasad manusia akan hancur

Harga grosir jenis beras IR di PIBC naik disebabkan meningkatnya permintaan di wilayah Jabodetabek dan tingginya permintaan dari para pedagang antar pulau sedangkan kenaikan harga

Sapi betina yang sedang bunting akan membutuhkan zat pakan yang lebih tinggi, sementara pada saat kemarau kebutuhan nutrisi yang tinggi tersebut tidak sepenuhnya bisa

Dapat dilihat dari grafik bahwa pengguna Internet akan berjumlah kurang lebih 200 juta pada tahun 2000. Diperkirakan lebih dari 90 juta orang dari 200 juta pengguna

Hasil dari observasi dan identifikasi larva lalat yang diletakkan pada 3 letak geografis di Bali dapat ditemukan 3 genus larva lalat yaitu genus Lucilia dan Calliphora dari