• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Orangutan adalah kera besar, oleh karena itu memiliki ciri-ciri khas dasar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Orangutan adalah kera besar, oleh karena itu memiliki ciri-ciri khas dasar"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Ekologi Orangutan

Orangutan adalah kera besar, oleh karena itu memiliki ciri-ciri khas dasar yang sama dengan saudara-saudara mereka dari Afrika. Pada saat ini, orangutan, kera besar satu-satunya yang masih ada di Asia, hanya dapat ditemukan di pedalaman hutan-hutan Kalimantan dan Sumatera. Menurut anggapan beberapa ahli taksonom, ada satu spesies dengan dua sub-spesies orangutan, satu pada tiap pulau atau dua spesies, yaitu spesies Sumatera (Pongo abelii) dan spesies Kalimantan (Pongo pygmaeus). Nama lokal berbeda-beda. Ironisnya nama “Orangutan” jarang sekali disebut oleh penduduk di sekitar habitat alami orangutan. Di Sumatera, lazim digunakan julukan “Mawas”. Di Kalimantan,

berbagai nama digunakan, termasuk “Maias” atau “Kahiyu” (Rijksen dan Meijaard, 1999 dalam Schaik, 2006).

Nama orangutan berasal dari bahasa Melayu, yaitu “orang” dan “hutan”, yang dapat diartikan sebagai orang yang berasal dari hutan. Selain itu juga dalam berbagai bahasa Orangutan dikenal juga dengan nama Mawas (Sumatera Utara) dan Maweh (Aceh). Orangutan merupakan satu-satunya jenis kera besar yang keberadaannya hanya ditemui di Asia Tenggara atau tepatnya di Indonesia dan Malaysia. Sedangkan jenis kera besar lainnya, yaitu gorila (Pan gorilla), simpanse (Pan troglodytes), dan bonobo (Pan paniscus) berada di benua Afrika (Galdikas, 1978).

(2)

Anatomi Orangutan

Orangutan sumatera (Pongo abelii) memiliki penampilan rambut yang lebih terang jika dibandingkan dengan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), warna rambut coklat kekuningan, tebal atau panjang (Supriatna dan Edy, 2000), dan jika dilihat dari mikroskop berambut membulat, mempunyai kolom pigmen gelap yang halus dan sering patah di bagian tengahnya, biasanya jelas di dekat ujungnya dan kadang berujung hitam di bagian luarnya (Meijaard et al., 2001). Pada bagian wajah orangutan sumatera (Pongo abelii) terkadang memiliki rambut putih, rambut orangutan sumatera lebih lembut dan lemas dibandingkan dengan

rambut orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang kasar dan jarang-jarang (Galdikas, 1978).

Anak orangutan yang baru lahir memiliki kulit wajah dan tubuh yang berwarna pucat dengan rambut coklat yang sangat muda dan setelah dewasa warnanya akan berubah sesuai dengan perkembangan umurnya. Ukuran tubuh orangutan jantan 2 kali lebih besar daripada betina (Supriatna dan Edy, 2000). Berat badan betina orangutan sumatera (Pongo abelii) maupun orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) rata-rata 37 kg, sedangkan untuk berat badan jantan orangutan sumatera (Pongo abelii) rata-rata 66 kg dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) rata-rata 73 kg (Galdikas, 1978). Menurut Supriatna dan Edy (2000), pada jantan mempunyai kantung suara yang berfungsi mengeluarkan seruan panjang (longcall). Seruan panjang ialah suara orangutan yang dikeluarkan dan dapat terdengar dari jarak-jarak jauh yang berfungsi untuk merangsang perilaku seks pada betina yang artinya seruan panjang memiliki peranan penting dalam reproduksi dan untuk seruan panjang orangutan kalimantan

(3)

(Pongo pygmaeus) terdengar hingga sejauh lebih dari 2 Km serta terdengar memukau dan menakutkan (Galdikas, 1978).

Klasifikasi Orangutan

Menurut Jones et al., (2004), primata diklasifikasikan berdasarkan tiga tingkatan taksonomi yaitu :

1. Secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan secara terang-terangan.

2. Secara ilmiah populasi yang tidak memiliki nama yang terdapat di daerah tersebut dengan bukti terpercaya yang taksonominya dikenali secara terpisah kemungkinan benar.

3. Secara ilmiah nama spesies dan subspesies yang dikenali belum pasti dan memerlukan investigasi lebih lanjut.

Berdasarkan tingkatan tersebut, orangutan Sumatera diklasifikasikan menjadi: Kelas : Mammalia

Bangsa : Primata Anak bangsa : Anthropoidea Famili : Hominoidea Subfamili : Pongidae Genus : Pongo Jenis : Pongo abelii.

Distribusi Orangutan Menurut Sebaran Geografis dan Variasi Kepadatan Orangutan dapat hidup pada berbagai tipe hutan, mulai dari hutan dipterocarpus perbukitan dan dataran rendah, daerah aliran sungai, hutan rawa air

(4)

tawar, rawa gambut, tanah kering di atas rawa bakau dan nipah, sampai ke hutan pegunungan. Di Borneo, orangutan dapat ditemukan pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut (dpl), sedangkan kerabatnya di Sumatera dilaporkan dapat mencapai hutan pegunungan pada 1.000 mdpl (Caldecott dan Lera, 2005).

Kepadatan orangutan, baik di Sumatera maupun di Kalimantan, menurun drastis dengan bertambahnya ketinggian dari atas permukaan laut. Meskipun ada laporan yang menyatakan individu jantan soliter sumatera dapat ditemukan sampai ketinggian 1.500 mdpl, sebagian besar populasi orangutan dijumpai jauh di bawah ketinggian itu, yaitu di hutan rawa dan dataran rendah. Sayangnya, tipe-tipe hutan itulah yang menjadi target utama pembangunan industri kehutanan dan pertanian, sehingga tidak mengherankan jika konflik antara manusia dan orangutan juga paling sering terjadi disana (Singleton dan Schaik, 2001).

Distribusi orangutan lebih ditentukan oleh faktor ketersediaan pakan yang disukai daripada faktor iklim. Orangutan termasuk satwa frugivora (pemakan buah), walaupun primata itu juga mengkonsumsi daun, liana, kulit kayu, serangga, dan terkadang memakan tanah dan vertebrata kecil. Hingga saat ini tercatat lebih dari 1.000 spesies tumbuhan, jamur dan hewan kecil yang menjadi pakan orangutan (Grundman et al., 2009).

Kepadatan orangutan di Sumatera dan Kalimantan bervariasi sesuai dengan ketersediaan pakan. Densitas paling tinggi terdapat di daerah dataran banjir (flood-plain) dan hutan rawa gambut. Di Borneo terdapat 4 lokasi yang memiliki densitas rata-rata 2,9 ± 0,5 individu per km2. Sementara itu, di Sumatera terdapat 3 lokasi dengan densitas rata-rata 6,2 ± 1,4 individu per km2. Daerah alluvial merupakan daerah dengan densitas tertinggi kedua, dengan 6 lokasi di

(5)

Borneo yang memiliki rata-rata densitas 2,3 ± 0,8 individu per km2, dan 3 lokasi di Sumatera dengan rata-rata densitas 3,9 ± 1,4 individu per km2. Di hutan perbukitan, orangutan ditemukan dalam densitas yang jauh lebih rendah dibandingkan kedua tipe hutan yang telah disebutkan sebelumnya (di Borneo rata-rata densitas 0,6 ± 0,4 individu per km2 dan di Sumatera rata-rata 1,6 ± 0,5 individu per km2) (Singleton, 2000).

Perilaku Orangutan

Orangutan pada umumnya bersifat individu atau soliter dan pada saat tertentu dapat hidup berdampingan dengan individu yang lain, seperti saat reproduksi dan induk betina dengan anak yang belum mandiri. Orangutan bersifat arboreal yaitu menghabiskan hidupnya di pepohonan dengan bergelantungan dari dahan satu ke dahan lain dengan menggerakkan anggota tubuhnya dan orangutan selalu membuat sarang untuk tidur menjelang malam (Supriatna dan Edy, 2000).

Berdasarkan Basalamah (2006), aktivitas harian dari orangutan berdasarkan pencatatan data untuk aktivitas harian yang dijadikan sebagai Point Sampel dilakukan sesuai dengan batasan yang telah ditentukan, yaitu :

1. Makan (feeding) : meliputi seluruh waktu yang digunakan untuk memilih, memegang, mengambil dan sebelum memasukkan makanan ke mulut.

2. Istirahat (resting) : meliputi seluruh waktu yang digunakan individu orangutan dengan relatif tidak melakukan kegiatan dalam periode waktu tertentu baik di dalam maupun di luar sarang seperti merebahkan diri, duduk, berdiri maupun menggantung.

(6)

3. Bergerak pindah (moving) : meliputi seluruh waktu yang digunakan individu target dalam melakukan gerak berpindah dari satu cabang pohon ke cabang lainnya ataupun dari satu tempat ke tempat lain.

4. Sosial (social) : meliputi seluruh waktu yang digunakan individu target dalam melakukan kontak dengan individu lain. Beberapa kategori yang dimasukkan ke dalam aktivitas sosial antara lain : pengusiran (agonistik), bermain (playing), mengutui (grooming) dan reproduksi.

5. Bersarang (nesting) : meliputi seluruh waktu yang digunakan individu target dalam membuat sarang, yaitu mematahkan daun/dahan, membawa dan menyusun daun/dahan sampai menjadi bentuk sarang.

Suatu wilayah dapat digunakan oleh beberapa orangutan dengan bermacam-macam pola jelajah. Hal ini diinterpretasikan oleh beberapa pengamat dalam terminologi tiga kelas sosial yang dihubungkan dalam perilaku jelajah : penetap, pendatang, dan pengembara. Data dari orangutan yang ada di kawasan Ketambe, yang merupakan salah satu habitat asli orangutan, jumlah persentase orangutan sebagai penetap adalah diatas 60% dari populasi, 30% adalah pendatang dan 10% adalah pengembara. Perilaku jelajah mungkin dapat dijelaskan dalam terminologi yang sangat luas dari daerah jelajah, salah satunya adalah yang digunakan terus-menerus daripada yang lainnya, tergantung pada perbedaan sosial dan faktor ekologi/lingkungan. Perbedaan antara populasi orangutan dalam perilaku jelajah mungkin dikendalikan oleh sumber daya alam (Caldecott dan Miles, 2005).

Jumlah individu satwa liar yang dapat hidup di suatu tempat ditentukan oleh kemampuan daya dukung habitat. Untuk orangutan, daya dukung habitat

(7)

ditentukan oleh produktivitas tumbuhan yang menghasilkan makanan pada waktu tepat dan sebagai tempat peristirahatan yang aman (Meijaard et al., 2001). Produktivitas tumbuhan yang menghasilkan buah yang bersifat musiman juga berpengaruh terhadap perilaku makan serta perilaku jelajah dari orangutan.

Ancaman Kelestarian Orangutan

Pembukaan kawasan hutan merupakan ancaman terbesar terhadap lingkungan karena mempengaruhi fungsi ekosistem yang mendukung kehidupan di dalamnya. Selama periode tahun 1980-1990, hutan Indonesia telah berkurang akibat konversi menjadi lahan pertanian, perkebunan, permukiman, kebakaran hutan serta praktek pengusahaan hutan yang tidak berkelanjutan. Pengembangan otonomi daerah dan penerapan desentralisasi pengelolaan hutan pada tahun 1998 juga dipandang oleh banyak pihak sebagai penyebab peningkatan laju deforestasi di Indonesia (Dephut, 2009).

Pembangunan perkebunan dan izin usaha pemanfaatan kayu yang dikeluarkan pemerintah daerah turut berdampak terhadap upaya konservasi orangutan. Semenjak desentralisasi diimplementasikan sepenuhnya pada tahun 2001, sebagian tanggung jawab pengelolaan kawasan hutan diserahkan kepada pemerintah daerah. Pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) 100 hektar yang terjadi pada tahun 2001-2002 dengan pola tebang habis menyebabkan pengelolaan hutan semakin sulit. Sementara itu perencanaan tata guna lahan seringkali tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dan konservasi sumberdaya alam (Dephut, 2009).

(8)

Status Konservasi

Orangutan (Pongo abelii) merupakan kera besar endemik Pulau Sumatera yang terancam punah karena hutan yang menjadi habitatnya telah rusak dan hilang oleh penebangan liar, konversi lahan dan kebakaran. Selain itu penurunan populasi tersebut juga disebabkan oleh tingginya perburuan orangutan. Kondisi ini menyebabkan orangutan berada diambang kepunahan, serta menjadi langka dan akhirnya dilindungi. Di tingkat nasional orangutan dilindungi keberadaannya oleh UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Peraturan Pemerintah (PP) No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Flora dan Fauna Indonesia. Di tingkat internasional orangutan adalah satwa yang termasuk dalam kategori genting (Endangered Species) IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) dan tidak dapat diperdagangkan karena berada dalam daftar Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Spesies). Keadaan orangutan yang terancam punah tersebut tidak dapat dibiarkan. Oleh karena itu, perlu adanya tindakan untuk pelestarian orangutan. Tindakan pelestarian orangutan yaitu konservasi (Meijaard et al., 2001).

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Dalam undang-undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya, yang dimaksud dengan konservasi sumberdaya hayati adalah : pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.

(9)

Secara umum, konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Secara khusus, konservasi orangutan adalah segala bentuk pengelolaan orangutan yang dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan populasi dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas hidup orangutan dan nilainya (UU No.5 Tahun 1990).

Konservasi In-Situ

Konservasi in-situ merupakan kegiatan pelestarian orangutan di habitat aslinya. Strategi bertujuan agar semua pemangku kepentingan bekerjasama memantau pengelolaan konservasi orangutan dan habitatnya. Pemantapan kawasan, pengembangan koridor, realokasi Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) menjadi areal konservasi merupakan beberapa aktivitas yang bisa dilakukan untuk penyelamatan orangutan di habitatnya. Perlindungan habitat menjadi dasar utama bagi pengelolaan konservasi in-situ orangutan. Salah satu penyebab hilangnya habitat orangutan adalah perencanaan tata ruang yang kurang baik (Dephut, 2009).

Program konservasi orangutan membutuhkan kawasan hutan yang ada saat ini tetap sebagai kawasan hutan dan tidak dikonversi untuk penggunaan lain. Ini akan sangat membantu mengurangi tekanan kepada orangutan yang populasinya sudah sangat terancam punah (orangutan sumatera) dan terancam punah (orangutan kalimantan). Alokasi hutan sebagai habitat bisa dilakukan pada tingkat tata ruang kabupaten, propinsi maupun di tingkat nasional. Pemangku kepentingan dalam penyusunan tata ruang di tingkat kabupaten dan propinsi

(10)

seharusnya mengalokasikan ruang untuk habitat orangutan. Habitat orangutan

djumpai di kawasan konservasi, hutan produksi, hutan lindung dan juga di kawasan budidaya non kehutanan (Dephut, 2009).

Penelitian menunjukkan bahwa 75% dari orangutan liar dijumpai di luar kawasan konservasi, kebanyakan di kawasan hutan produksi yang dikelola oleh HPH/ (Hutan Tanaman Industri) HTI dan hutan lindung. Orangutan akan bisa bertahan hidup di areal kerja HPH yang dikelola dengan baik, tetapi tidak begitu banyak yang dapat bertahan pada daerah hutan tanaman. Disamping itu, habitat orangutan juga banyak yang berada pada kawasan budidaya non kehutanan (KBNK) dimana kawasan ini relatif lebih mudah untuk dikonversi ke penggunaan lain, seperti perkebunan, pemukiman dan lainnya. Oleh karena itu, dunia usaha juga harus dilibatkan dalam upaya pengelolaan konservasi orangutan sehingga dampak akibat pembangunan baik di sektor kehutanan maupun di luar kehutanan terhadap orangutan dapat diminimalisir (Meijaard et., 2001)..

Konservasi Ex-Situ

Jumlah orangutan yang berada di kebun binatang atau taman margasatwa dan taman safari di Indonesia pada tahun 2006 sebanyak 203 individu (Laporan Seksi Lembaga Konservasi, 2007). Standar operasional minimum untuk kebun binatang (Zoo Minimum Operating Standards) di Indonesia telah ada dan menjadi keharusan bagi anggota PKBSI (Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia) untuk ditaati. Tetapi proses monitoring dan evaluasi terhadap kebun binatang belum berjalan baik menyebabkan banyak anak orangutan yang dilahirkan disana tidak mencapai usia dewasa. Kebun binatang dan taman safari di Indonesia diharapkan bisa lebih berperan dalam konservasi orangutan, dengan lebih

(11)

meningkatkan program pendidikan dan penyadartahuan masyarakat dan tidak berorientasi bisnis semata. Selain itu, praktik pemeliharaan (husbandry) di seluruh kebun binatang yang ada di Indonesia perlu ditingkatkan dan dievaluasi secara teratur oleh PKBSI dengan melibatkan para ahli untuk menjamin kualitas pelaporan dan transparansi (Dephut, 2009).

Laporan dari International Studbook of Orangutan in World Zoos (2002) mencatat 379 orangutan borneo, 298 orangutan sumatera, 174 orangutan hybrid dan 18 orangutan yang tidak diketahui atau tidak jelas asal-usulnya dipelihara di berbagai kebun binatang seluruh dunia. Perlu dicatat bahwa jumlah itu hanya berasal dari kebun binatang yang memenuhi permintaan data dari pemegang studbook yang ditunjuk, sehingga ada sejumlah orangutan lainnya tidak tercatat dan diketahui pasti jumlahnya. Selain membuat kebijakan yang mengatur pengelolaan populasi orangutan di kebun binatang dan taman safari, pemerintah juga sebaiknya mengembangkan sistem pendataan nasional yang diperlukan untuk memantau keberadaan populasi orangutan di berbagai kebun binatang dan taman safari di Indonesia.

Strategi Mengembangkan Konservasi Ex-Situ Sebagai Bagian Dari Dukungan Konservasi In-Situ Orangutan

Konservasi Ex-Situ yang dilakukan di kebun binatang, taman safari selain bermanfaat bagi pelestarian orangutan juga harus bisa menjadi sarana pendidikan dan peningkatan kepedulian masyarakat akan perlindungan orangutan di Indonesia. Kebun binatang dan lembaga konservasi lainnya harus dikelola dengan baik dan profesional sehingga dapat berperan maksimal untuk pendidikan konservasi. Beberapa hal yang harus dilakukan adalah meningkatkan pembinaan,

(12)

monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan orangutan di kebun binatang, khususnya menyangkut pemeliharaan dan kesehatan satwa (Dephut, 2009).

Menurut Dephut (2009), apabila terjadi penyelundupan orangutan dari Indonesia ke negara lain, menurut peraturan CITES, orangutan tersebut harus dikembalikan ke Indonesia sebagai negara asalnya dan biaya repatriasi (pengembalian orangutan) menjadi tanggungan negara Indonesia. Ini terasa agak memberatkan negara pemilik orangutan yang diselundupkan, karena harus juga menanggung biaya untuk rehabilitasi hingga pelepasliaran. Oleh karena itu perlu ada kerjasama internasional untuk pengembalian orangutan ke negara asalnya, termasuk kerjasama dalam hal penegakan hukum untuk perdagangan ilegal satwa liar, termasuk orangutan, misalnya melalui mekanisme ASEAN WEN (Wildlife Enforcement Network). Sementara itu, pengembalian orangutan ke habitatnya harus memenuhi persyaratan yang disusun oleh IUCN. Pengembalian orangutan ke habitat asli memerlukan kehati-hatian sehingga tidak terjadi pencemaran genetik, kesehatan dan perilaku. Proses pelepasliaran juga memerlukan pengelolaan habitat dan bahkan adanya restorasi habitat.

Menurut Dephut (2009), rehabilitasi berarti menyiapkan/mendidik individu (dalam hal ini orangutan) untuk bisa hidup mandiri di lingkungan sosialnya yang “normal” (diantara sesama jenisnya dan di habitat alaminya). Salah satu masalah yang dihadapi kegiatan rehabilitasi orangutan adalah kesulitan mencari lokasi/area untuk pelepasliaran bagi orangutan yang sudah direhabilitasi. Disamping itu, pusat rehabilitasi juga menjumpai berbagai kesulitan lain, seperti : 1. Kesulitan untuk memperoleh izin menggunakan kawasan hutan yang

(13)

2. Kesulitan memperoleh jaminan keselamatan/keamanan orangutan yang dilepasliarkan serta.

3. Kesulitan mendapatkan fasilitas (areal/kawasan) yang berfungsi sebagai kawasan khusus untuk mendukung kehidupan orangutan.

Kebun binatang atau taman satwa dan akuaria merupakan tempat melakukan perawatan, pemeliharaan dan perkembangbiakan berbagai jenis satwa liar darat, udara maupun perairan dalam rangka mendukung upaya konservasi ex-situ dan sebagai sarana pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sarana rekreasi dan pariwisata yang sehat (PKBSI, 2004).

Kondisi Umum Kebun Binatang

KBM dan THPS merupakan salah satu lembaga konservasi yang berada di Sumatera Utara, yang bergerak dibidang pemanfaatan fauna dengan menjaga keberlangsungan spesies yang berada di kebun binatang. THPS terletak di tengah-tengah Kota Pematang Siantar. THPS merupakan kebun binatang tertua di Sumatera Utara, termasuk di Indonesia.

THPS juga termasuk dalam kebun binatang yang memenuhi standar PKBSI (Persatuan kebun Binatang Seluruh Indonesia). THPS sampai sekarang menjunjung tinggi nilai konservasi dan menjadi ikon penting dalam pariwisata di Sumatera Utara, khususnya di Kota Madya Siantar. KBM awalnya terletak di Kampung Baru, Medan, namun setelah pengelolaannya di bawah Perusahaan Daerah (PD), pembangunan Kota Medan pindah lokasi ke Medan Tuntungan, Medan. KBM mempunyai luas areal baru mencapai 30 hektar yang dihuni 78 spesies dengan jumlah ± 182 ekor satwa.

(14)

Sejarah Pendirian KMB dan THPS

KBM awalnya terletak di tengah kota Medan yang mempunyai areal 3,5 hektar dan diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1968 oleh Gubernur Kepala Daerah Sumatera (Bapak Marah Halim Harahap), KBM berstatus Yayasan dibawah pemerintah daerah yang dibentuk pada tahun 1961 dengan SK (Surat Keputusan) Walikotamadya Medan nomor: 812 tanggal 2 September 1961 dengan Akte Notaris Rusli nomor: 86 tanggal 9 September 1961 yang kemudian diperbaharui lagi dengan Akte Notaris Rusli nomor: 117 tanggal 28 Juni 1967.

KBM yang kini pengelolaannya dibawah unit Perusahaan Daerah (PD) Pembangunan Kota Medan mengalami perubahan signifikan, sejak 23 Maret 2005 pindah ke Lokasi di Jl. Bunga Rampai IV, Simalingkar B, Medan Tuntungan, Medan. Luas areal baru mencapai 30 hektar yang dihuni 78 spesies dengan jumlah ± 182 ekor satwa (PKBSI, 2007).

THPS berdiri tahun 1936 atau resmi dibuka untuk umum tanggal 27 November 1936, dengan luas lahan 4,5 hektar. Didirikan oleh Dr. Coonrad (berkebangsaan Belanda), yang sekaligus menjadi pimpinan pertama dan merupakan taman hewan ke empat tertua di Indonesia setelah Surabaya, Bukit Tinggi dan Bandung. Pada bulan Juni 1956 berdiri Museum Zoological yang didirikan oleh Prof. Dr. F. J. Nainggolan dan diresmikan oleh Ibu Rahmi Hatta (Istri Wakil Presiden RI, Drs. M. Hatta). Pada Tanggal 1 September 1996, THPS yang sebelumnya dikelola oleh PEMDA (Pemerintah Daerah) Pematang Siantar, diambil alih pengelolaannya oleh Bapak DR. H. Rahmat Shah, dengan kontrak selama 30 tahun. Hal ini dikarenakan karena THPS tidak lagi memenuhi harapan

(15)

masyarakat, seperti kondisi hewan yang sedikit dan tidak terawat juga sudah sangat memprihatinkan keadaannya (PKBSI, 2007).

Izin yang dimiliki

Menurut PKBSI (2007) THPS sebagai lembaga konservasi harus memiliki izin-izin seperti Surat Perjanjian dan SK (Surat Keputusan) Menteri agar dapat berjalan dengan baik. Berikut merupakan izin yang dimiliki THPS:

1. Surat Perjanjian Kerjasama, Nomor : 556-2101/WK-Tahun 1996, Nomor: 05/YR/VI/1996 tentang penggunausahaan THPS, antara Drs. H. Abu Hanifah, Walikotamadya Kepala daerah Tingkat II Pematang Siantar dengan DR. H. Rahmat Shah, Presiden Direktur PT. UNITWIN INDONESIA MEDAN.

2. Keputusan Menteri Kehutanan, Nomor: SK.84/Menhut-II/2007, pemberian izin sebagai Lembaga Konservasi dalam bentuk Taman satwa kepada PT. UNITWIN INDONESIA di kotamadya Pematang Siantar, Provinsi Sumatera Utara.

3. Terdaftar sebagai anggota PKBSI (Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia).

4. Terdaftar sebagai anggota SEAZA (South-East Asian Zoos Association)

Menurut PKBSI (2007) kegiatan konservasi yang dilakukan membuahkan hasil, dapat dilihat dari beberapa hewan yang ditangkarkan. Hewan-hewan tersebut berasal dari tempat yang berbeda-beda, dan dapat disesuaikan dengan habitat asli dengan taman hewan.Walaupun dalam proses penyesuaian habitat, pihak taman hewan banyak menghadapi rintangan. THPS sejak dulu lebih fokus pada penangkaran Harimau Sumatera. Hasil penangkaran harimau sumatera

(16)

samapai saat ini berjumlah 12 ekor. Hewan yang sudah berhasil ditangkarkan dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini:

Tabel 1. Nama Hewan Hasil Tangkaran di Taman Hewan Pematang Siantar

No. Nama Jenis Nama Latin Jumlah

1. Harimau Panthera tigris 12 ekor

2. Singa Afrika Panthera leo 8 ekor

3. Rusa Cervus timorendis 18 ekor

4. Kijang Mas Muntiacus munyjak 3 ekor

5. Sitatungga Tragelhapus spekei 4 ekor

6. Binturung Actictis binturong 3 ekor

7. Babi rusa Babyrousa babyrussa 3 ekor

8. Musang Cynogale sp 6 ekor

9. 10. 11. 12. Beruang Madu Merak Landak Raya Cangak abu Helarctos malayanus Paro muticus Hystrix brachyuran Ardea purpurea 5 ekor 13 ekor 3 ekor 3 ekor

13. Kalong Besar Pteropus edulis 5 ekor

Referensi

Dokumen terkait

Pada dasarnya seluruh patahan yang berkembang di kawasan semenanjung Muria dapat diklasifikasikan sebagai patahan aktif karena berumur muda menurut sekala waktu geologi yaitu

Pasal 4 menjelaskan bahwa tanah yang dapat menjadi objek program adalah tanah yang dimiliki oleh para petani sawah beririgasi dan petani lahan kering yang diusahakan untuk

Untuk menetukan NQ1 menggunakn gambar diatas, yaitu dengan menentukan DS sesuai analisis lalu tarik keatas sampai tegak lurus dengan kapasitas yang akan digunakan

Konservasi sumber mata air Blok Utara Lereng Pegunungan Dieng Kabupaten Batang sebagai upaya Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. Lokasi: Kabupaten Batang, Jawa

Penelitian untuk pengembangan CMI untuk peningkatan kualiatas proses dan administrasi praktikum IPA secara terpadu berbasis laboratorium ini memberikan suatu kontribusi

b. Meneruskan edaran/pemberitahuan tentang kegiatan hibah kompetitif kepada dosen-dosen di lingkungan Program Studi Ekonomi Pembangunan.. Borang Akreditasi Program Studi

Dan solusi yang akan diberikan selama kegiatan pengabdian melalui Program Kemitraan Masyarakat secara rinci adalah merancang model gambar dan peralatan permesinan untuk pengerjaan