• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebijakan Publik dan Implementasi Kebijakan Publik. kegiatan tertentu. Istilah kebijakan dalam bahasa Inggris policy yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebijakan Publik dan Implementasi Kebijakan Publik. kegiatan tertentu. Istilah kebijakan dalam bahasa Inggris policy yang"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

A. Kebijakan Publik dan Implementasi Kebijakan Publik

Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy” digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Istilah kebijakan dalam bahasa Inggris policy yang dibedakan dari kata wisdom yang berarti kebijaksanaan atau kearifan. Kebijakan merupakan pernyataan umum perilaku dari pada organisasi.

Istilah kebijakan publik menurut William N. Dunn menyebutkan bahwa,

“Kebijakan Publik (Public Policy) adalah pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling bergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah” (Dunn, 2003:132)

Kebijakan publik sesuai apa yang dikemukakan oleh Dunn mengisyaratkan adanya pilihan-pilihan kolektif yang saling bergantung satu dengan yang lainnya, dimana didalamnya keputusan-keputusan untuk melakukan tindakan. Kebijakan publik yang dimaksud dibuat oleh badan atau kantor pemerintah. Suatu kebijakan apabila telah dibuat, maka harus diimplementasikan untuk dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang

(2)

memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia, serta dievaluasikan agar dapat dijadikan sebagai mekanisme pengawasan terhadap kebijakan tersebut sesuai dengan tujuan kebijakan itu sendiri.

Setiap proses dalam suatu kebijakan tentunya sangat penting karena hal tersebut sangat berkaitan dengan tercapainya suatu tujuan dari kebijakan itu sendiri. Di dalam prosesnya, setelah kebijakan publik terbentuk maka tahap selanjutnya yaitu pengimplementasian agar dapat dilihat apa saja hal-hal yang muncul bagi positif maupun negatif agar tujuan tersebut dapat tercapai, sehingga tujuan yang dicita-citakan dalam kebijakan tersebut dapat tercapai. Tujuan kebijakan sendiri tidak akan tercapai jika kebijakan tidak diimplementasikan atau dimplementasikan dengan tidak baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa implementasi sebagai bagian terpenting dari sebuah kebijakan karena menyumbang 60 persen keberhasilan dari kebijakan itu sendiri (Nugroho, 2012).

Menurut Charles O. Jones (Budi Winarno, 2008:16) istilah kebijakan (policy term) digunakan dalam praktek sehari-hari namun digunakan untuk menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda. Istilah ini sering dipertukarkan dengan tujuan (goals), program, keputusan (decisions),

standard, proposal, dan grand design. Namun demikian, meskipun kebijakan

publik mungkin kelihatannya sedikit abstrak atau mungkin dapat dipandang sebagai sesuatu yang “terjadi” terhadap seseorang. Seperti halnya yang tertulis dalam buku Budi Winarno, Robert Eyestone mengatakan bahwa “secara luas”

(3)

kebijakan publik dapat didefiniskan sebagai “hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya”. Dan karena dirasa konsep Eyestone ini terlalu luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik dapat mencakup banyak hal. Konsep mengenai kebijakan pun dikemukakan oleh pendapat ahli lainnya.

Seperti yang dijelaskan oleh Thomas R. Dye (Winarno, 2008:17) yang menyatakan bahwa:

“Kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Walaupun batasan yang diberikan oleh Dye ini dianggap agak tepat, namun batasan ini tidak cukup memberi pembedaan yang jelas antara apa yang diputuskan oleh pemerintah untuk dilakukan dan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah.” Seorang pakar ilmu politik lain, menurut Richard Rose (Winarno, 2008: 17) menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagai,

“Serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi–konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri. Definisi ini sebenarnya bersifat ambigu, namun definisi ini berguna karena kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekedar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu.”

Kebijakan publik yang terbaik adalah kebijakan yang mendorong setiap warga masyarakat untuk membangun daya saingnya masing-masing, dan bukan semakin menjerumuskan ke dalam pola ketergantungan.

(4)

Gambar 2.1 Kebijakan Publik

Sumber: Riant Nugroho, 2004:51

Pemahaman yang diperlukan sebelum memasuki tiga hal yang penting di dalam kebijakan publik, yaitu: perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Kebijakan publik hadir dengan tujuan tertentu yaitu untuk mengatur kehidupan bersama untuk mencapai tujuan (misi dan visi) bersama yang telah disepakati. Dari gambar 2.1 di atas jelas bahwa kebijakan publik adalah jalan mencapai tujuan bersama yang dicita-citakan. Dilihat penjelasan kebijakan publik menurut pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah suatu kegiatan yang dibuat oleh suatu individu atau kelompok yang nantinya diimplementasikan ke suatu lingkungan dan kegiatan tersebut memiliki suatu tujuan yang hendak dicapai.

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Hal ini

(5)

tertuang dalam Nugroho (2004:158) untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut.

Gambar 2.2 Kebijakan Publik

Sumber: Riant Nugroho, 2004:159

Dilihat dari rangkaian implementasi kebijakan, dari gambar di atas, dapat dilihat dengan jelas, yaitu dimulai dari program, ke proyek, dan ke kegiatan. Model tersebut mengadaptasi mekanisme yang lazim di dalam manajemen, khususnya manajemen sektor publik. Proses dari pembuatan kebijakan publik kemudian formulasi hingga implementasi perlu mengikuti kaidah karena kaidah tersebut bersifat given atau tidak dapat ditolak. Dalam Winarno (2008:144) implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah penetapan

(6)

undang-undang. Implementasi dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program. Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai suatu dampak (outcome). Implementasi dikonseptualisasikan sebagai suatu proses, atau serangkaian keputusan dan tindakan yang ditujukan agar keputusan-keputusan yang diterima oleh lembaga legislatif bisa dijalankan.

Seperti yang ditulis Winarno (2008:145) Ripley dan Franklin berpendapat bahwa implementasi adalah

“Apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Istilah implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah. Implementasi mencakup tindakan-tindakan (tanpa tindakan-tindakan) oleh berbagai actor, khususnya para birokrat, yang dimaksudkan untuk membuat program berjalan.”

Sementara itu, Grindle beserta Van Meter dan Van Horn juga memberikan pandangannya mengenai implementasi. Grindle memberikan pandangannya tentang implementasi dengan mengatakan bahwa secara umum, tugas implementasi adalah membentuk suatu kaitan (linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Kebijakan publik selalu mengandung

(7)

setidak-tidaknya tiga komponen dasar, yaitu tujuan yang luas, sasaran yang spesifik dan cara mencapai sasaran tersebut. Di dalam “cara” tersebut terkandung beberapa komponen kebijakan yang lain, yakni siapa pelaksana atau implementornya, berapa besar dan dari mana dana diperoleh, siapa kelompok sasarannya, bagaimana program dilaksanakan atau begaimana sistem manajemennya, dan bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan diukur. Dengan demikian, komponen ketiga dari suatu kebijakan, yaitu cara, merupakan komponen yang berfungsi untuk mewujudkan dua komponennya yang pertama, yakni tujuan dan sasaran khusus.

Begitu pula dengan Van Meter dan Van Horn (Wibawa, 1994:15) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta baik secara individu maupun kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana dirumuskan di dalam kebijakan. Kegiatan implementasi baru akan dilakukan setelah kebijakan memperoleh pengesahan dari legislatif dan alokasi sumber dayanya juga telah disetujui.

Yang perlu ditekankan adalah bahwa tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran ditetapkan atau diidentifikasikan oleh keputusan-keputusan kebijakan. Berdasarkan dari penjelasan mengenai implementasi diatas, penulis menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan publik adalah suatu tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok (pemerintah maupun swasta) yang dimana hal

(8)

ini diterapkan di masyarakat umum dengan harapan dapat memberikan pengaruh dan mampu mengetahui apa saja dampak dari implementasi kebijakan publik dapat mencapai tujuan yang diinginkan di lingkungan tersebut. Pengaruh yang didapat pun bisa dari luar maupun dalam yang dimana keduanya saling berpengaruh agar implementasi kebijakan publik dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.

B. Model Implementasi Kebijakan

Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat dengan maksud dan tujuan tertentu. Tujuan kebijakan sendiri tidak akan tercapai jika kebijakan tidak diimplementasikan atau dimplementasikan dengan tidak baik. Seperti yang tertuang dalam buku Winarno (2008:151) proses implementasi akan berbeda-beda tergantung pada sifat kebijakan yang dilaksanakan.

Macam-macam keputusan yang berbeda akan menunjukkan karakteristik, struktur-struktur dan hubungan-hubungan antara faktor-faktor yang memengaruhi pelaksanaan kebijakan publik sehingga proses implementasi juga akan mengalami perbedaan. Dalam implementasi terdapat berbagai model-model implementasi dan itu tergantung dari bagaimana kebijakan tersebut dilaksanakan. Pada prinsipnya terdapat dua pemilahan jenis teknik atau model implementasi kebijakan.

(9)

Seperti apa yang telah dituangkan Nugroho (2004:165) dalam bukunya, pemilahan pertama adalah implementasi kebijakan yang berpola “dari atas ke bawah” (top-bottomer) versus dari “bawah ke atas

(bottom-upper) dan pemilahan implementasi yang berpola paksa

(command-and-control) dan mekanisme pasar (economic incentive). Model “top-down”

mudahnya berupa pola yang dikerjakan oleh pemerintah untuk rakyat, di mana partisipasi lebih berbentuk mobilisasi. Sebaliknya “bottom-up” bermakna meski kebijakan dibuat oleh pemerintah, namun pelaksanaannya oleh rakyat. Terdapat interaksi pelaksanaan antara pemerintah yang sebagai pembuat kebijakan maupun implementor dengan masyarakat yang sebagai sasaran kebijakan. Terdapatnya perbedaan faktor-faktor atau variabel yang tercakup dan dapat mempengaruhi dalam proses implementasi, untuk lebih lanjutnya inilah beberapa model implementasi yang biasa digunakan:

1. Model Implementasi Kebijakan Menurut Van Meter dan Van Horn Pada model implementasi yang dimiliki oleh Van Meter dan Van Horn memperlihatkan hubungan antar berbagai faktor yang mempengaruhi hasil atau kinerja suatu kebijakan. Model ini tidak hanya menentukan hubungan-hubungan antara variabel-variabel bebas dan variabel terkait mengenai kepentingan-kepentingan, tetapi juga menjelaskan hubungan-hubungan antara variabel-variabel bebas. Variabel-variabel tersebut dijelaskan oleh sebagai berikut (Winarno, 2008:155-173):

(10)

a. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan

Tingkat keberhasilan suatu kebijakan terlihat dari indicator-indikator implementasi karena identifikasi indicator kinerja merupakan tahap yang paling krusial dalam analisis implementasi kebijakan. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan digunakan untuk menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh. Dalam melakukan implementasi, tujuan dan sasaran suatu program yang akan dilaksanakan harus diidentifikasi dan diukur karena implementasi tidak dapat berhasil atau mengalami kegagalan bila tujuan-tujuan tidak dipertimbangkan.

b. Sumber-sumber kebijakan

Keberhasilan implementasi kebijakan ditunjang melalui berbagai sumber. Sumber-sumber ini mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif. Tidak hanya dilihat dari sumber dana saja, sumber daya alam dan sumber daya manusia juga berperan penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Dilihat dari kasusnya, baik besar maupun kecilnya suatu sumber dana akan menjadi faktor yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan.

c. Komunikasi antara organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksana

Melihat kembali di variabel sebelumnya menyatakan bahwa sumber daya manusia juga berperan penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Baik dari pembuat kebijakan maupun pelaksana kebijakan harus memahami dengan baik kriteria ukuran dasar dan tujuannya. Tidak hanya

(11)

memahami itu saja, perlu dijalinnya komunikasi yang baik agar proses implementasi dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.

Hubungan yang baik antar organisasi maupun antar pemerintah juga memperlancar implementasi kebijakan. Nasihat, saran maupun bantuan secara teknis yang diberikan membantu dalam menginterpretasikan peraturan-peraturan dan garis-garis pedoman pemerintah yang berguna dalam melaksanakan kebijakan serta sanksi baik positif maupun negatif dapat diberikan jika ada sesuatu hal yang dirasa ridak sesuai pada tujuan awal. Diharapkan dengan adanya komunikasi maka semuanya dapat berjalan sesuai dengan rencana agar tujuan yang diinginkan dapat dicapai.

d. Karakteristik badan-badan pelaksana

Pemeran dalam pelaksana implementasi kebijakan tentunya memiliki karakteristik sendiri, baik pemerintah maupun swasta. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik-karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dengan menjalankan kebijakan. Beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan:

(12)

1) Kompetensi dan ukuran staf suatu badan;

2) Tingkat pengawasan hierarkis terhadap keputusan-keputusan sub-unit dan proses-proses dalam badan-badan pelaksana;

3) Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara anggota-anggota legislatif dan eksekutif);

4) Vitalitas suatu organisasi;

5) Tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka”, yang didefinisikan sebagai jaringan kerja komunikasi horizontal dan vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar organisasi;

6) Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan “pembuat keputusan” atau “pelaksana keputusan”.

e. Kondisi-kondisi ekonomi, sosial, dan politik

Kondisi lingkungan tempat kebijakan dilaksanakan sangat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan publik. Walaupun dampak dari faktor ini tidak terlalu besar namun mungkin saja mempunyai efek yang mendalam terhadap pencapaian badan-badan pelaksana.

f. Kecenderungan pelaksana (implementors)

Implementasi kebijakan yang berhasil harus diikuti oleh kesadaran terhadap kebijakan tersebut secara menyeluruh. Kegagalan suatu implementasi kebijakan sering diakibatkan oleh ketidaktaatan para pelaksana terhadap kebijakan. Dalam hal ini keadaan ketidaksesuaian kognitif, individu

(13)

mungkin akan berusaha menyeimbangkan pesan yang tidak menyenangkan dengan persepsinya tentang apa yang seharusnya merupakan keputusan kebijakan dan kecenderungan-kecenderungan pelaksana akan memengaruhi kinerja kebijakan.

Gambar 2.3

Model Implementasi Kebijakan Publik Menurut Van Meter dan Van Horn

Sumber: Budi Winarno, 2008:157

Dilihat dari keenam variabel diatas dapat diketahui bahwa Van Meter dan Van Horn menjelaskan dan menganalisa proses implementasi kebijakan dan karena itu, mengusulkan penjelasan-penjelasan bagi pencapaian-pencapaian dan kegagalan-kegagalan program. Implementasi juga dapat

Kinerja Kondisi-kondisi sosial, ekonomi, dan politik Kecenderungan pelaksana Karakteristik-karakteristik dari badan-badan pelaksana Ukuran-ukuran Dasar dan

tujuan-tujuan Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan

pelaksanaan Kebijaksanaan

(14)

menyadarkan para pembentuk kebijakan kepada variabel-variabel yang dapat dimanipulasi untuk memperbaiki pemberian pelayanan-pelayanan publik.

2. Model Implementasi Kebijakan Menurut Edwards

George C. Edwards merupakan salah satu dari para ahli yang mengemukakan model-model implementasi. Implementasi kebijakan menurut Edwards adalah krusial bagi public administration dan public policy. Implementasi kebijakan adalah salah satu tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Kebijakan dikatakan mengalami kegagalan apabila kebijakan tersebut tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah, dan walaupun suatu kebijakan telah direncanakan dengan sebaik mungkin akan mengalami kegagalan juga jika kebijakan kurang diimplementasikan dengan baik oleh pelaksana kebijakan (Winarno, 2008:174-203).

Diketahui ada empat faktor dalam model implementasi menurut Edwards, hal ini dapat berpengaruh dalam proses implementasi.

a. Komunikasi

Interaksi yang baik antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan baik pemerintah maupun organisasi tentunya menjadi salah satu faktor yang penting dalam implementasi kebijakan. Tidak hanya komunikasi yang baik melainkan implementor yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa

(15)

yang harus mereka lakukan. Terkadang ditemui hambatan-hambatan ddalam pelaksanaan kebijakan hal ini bisa dipengaruhi oleh petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang membuat implementor kebingungan tentang apa yang harus mereka lakukan. Ada tiga hal yang menyangkut dalam proses komunikasi kebijakan adalah:

1) Transmisi

Sebelum pemerintah mengimplementasi suatu keputusan, pembuat kebijakan diharapkan sadar akan keputusan yang telah dibuat dan telah mengeluarkan surat perintah untuk pelaksanaannya. Pro dan kontra pun tidak dapat terelakkan. Pertentangan pendapat antara para pelaksana dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan pun menjadi salah satunya. Adanya hierarkis birokrasi membuat tingkat efektivitas komunikasi kebijakan yang dijalankan juga sedikit mengalami hambatan. Dikarenakan adanya hambatan dalam komunikasi mengakibatkan para pelaksana kebijakan mengabaikan persyaratan suatu kebijakan.

2) Kejelasan

Ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampaikan berkenaan dengan implementasi kebijakan yang akan mendorong terjadinya interpretasi yang salah bahkan mungkin bertentangan dengan makna pesan awal. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya ketidakjelasan komunikasi kebijakan adalah kompleksitas kebijakan publik, keinginan untuk tidak mengganggu kelompok-kelompok masayarakat, kurangnya consensus mengenai tujuan-tujuan

(16)

kebijakan, masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan, dan sifat pembentukan kebijakan pengadilan.

3) Konsistensi

Keefektifan implementasi kebijakan dilihat dari perintah-perintah yang jelas dan konsisten. Perintah-perintah implementasi kebijakan yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana mengambil kelonggaran dalam penafsiran dan dalam mengimplementasikan kebijakan. Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat konsistensi menyangkut: kerumitan kebijakan publik, masalah-masalah yang mengawali program baru dan akibat banyaknya ketidakjelasan tujuan.

b. Sumber-sumber

Dalam pengimplementasikan kebijakan perlu adanya sumber-sumber yang memengaruhi tingkat keefektifan implementasi tersebut. Sumber-sumber tersebut meliputi:

1) Staf

Diperlukannya staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka. Tingkat kualitas dari SDM tentunya menjadi faktor penting karena merekalah yang menjadi pelaksana kebijakan. Peningkatan kualitas SDM, motivasi, dan diadakannya pelatihan bagi pelaksana kebijakan tentunya perlu agar pelaksana kebijakan dapat

(17)

melakukannya dengan benar sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan lebih yang mereka miliki terkait implementasi kebijakan tersebut.

2) Informasi

Terdapat dua bentuk informasi, yang pertama adalah informasi mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan dan yang kedua adalah data tentang ketaatan personil-personil lain terhadap peraturan-peraturan pemerintah. Kurangnya pengetahuan tentang bagaimana mengimplementasikan kebijakan mempunyai beberapa konsekuensi secara langsung, yang pertama adalah beberapa tanggung jawab secara sungguh-sungguh tidak akan dapat dipenuhi tepat pada waktunya dan yang kedua adalah ketidakefisienan.

3) Wewenang

Wewenang ini akan berbeda-beda dari satu program ke program yang lain serta mempunyai banyak bentuk yang berbeda-beda. Tetap harus ada yang namanya wewenang formal namun hal tersebut tetap terbatas, jika tidak nantinya wewenang ini akan dapat disalah gunakan.

4) Fasilitas

Fasilitas fisik menjadi salah satu sumber penting dalam implementasi. Seorang pelaksana memiliki staf yang memadai, memahami apa yang harus dilakukan, mempunyai informasi-informasi, bahkan mempunyai wewenang untuk melakukan tugasnya, tapi tanpa bangunan sebagai kantor untuk

(18)

melakukan koordinasi, tanpa perlengkapan, tanpa perbekalan, maka besar kemungkinan implementasi yang direncanakan tidak akan berhasil.

c. Kecenderungan-kecenderungan

Beberapa kebijakan dapat digolongkan ke dalam “zona ketidakacuhan” para administrator. Kebijakan-kebijakan yang masuk ke dalam “zona ketidakacuhan” ini mungkin bertentangan dengan pandangan-pandangan kebijakan substantif para pelaksana atau kepentingan-kepentingan pribadi atau organisasi mereka, maka dari itu di sinilah kecenderungan-kecenderungan menimbulkan hambatan-hambatan terhadap implementasi. Apabila implementor memiliki kecenderungan yang bersifat positif maka implementor tersebut dapat melaksanakan kebijakan sesuai dengan tujuan awal. Namun apabila memiliki kecenderungan yang bersifat negatif maka implementor berjalan tidak sesuai dengan tujuan awal kebijakan dibentuk. d. Struktur birokrasi

Birokrasi merupakan salah satu badan pemerintah yang secara keseluruhan sering menjadi pelaksana kebijakan. Pada dasarnya, para pelaksana kebijakan mungkin mengetahui apa yang dilakukan dan mempunyai keinginan serta sumber-sumber untuk melakukannya. Tetapi dalam pelaksanaannya para pelaksana masih terhambat oleh struktur-struktur organisasi dimana mereka melakukan tugasnya sebagai implementor. Ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yaitu prosedur kerja beserta ukuran-ukuran

(19)

dasar yang sering disebut sebagai Standard Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi.

Prosedur kerja (SOP) merupakan aspek dasar dari suatu organisasi. Prosedur-prosedur biasa ini dalam menanggulangi keadaan-keadaan umum digunakan dalam organisasi-organisasi publik dan swasta. SOP juga menyeragamkan tindakan-tindakan dari para pejabat dalam organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas dan dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan pertauran-peraturan. Tanggung jawab suatu bidang kebijakan tersebar di antara beberapa organisasi yang sering kali menimbulkan desentralisasi kekuasaan secara radikal guna mencapai tujuan-tujuan kebijakan. Konsekuensi yang paling buruk dari fragmentasi birokrasi adalah usaha untuk menghambat koordinasi. Semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, semakin berkurang kemungkinan untuk berhasil.

Gambar 2.4

Model Implementasi Menurut George C. Edwards

Sumber: Budi Winarno, 2008:208

Struktur Komunikas Implementas i Disposisi

(20)

Sumber-3. Model Implementasi Menurut Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier Berbeda dengan Edwards, Van Meter dan Van Horn, dijelaskan dalam Wibawa (1994:25-27) Sabatier dan Mazmanian memiliki pemikiran bahwa suatu implementasi akan efektif apabila birokrasi pelaksananya mematuhi apa yang telah digariskan oleh peraturan (petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis). Melihat dari hasil pemikiran tersebut maka tujuan dan sasaran program harus jelas dan konsisten. Menurut Mazmanian dan Sabatier, pada tahap implementasi para pejabat pelaksana dan kelompok sasaran harus mematuhi program. Tanpa kepatuhan mereka, tujuan kebijakan tidak akan tercapai. Model implementasi menurut Mazmanian dan Sabatier dikenal dengan model Kerangka Analisis Implementasi (A Framework for Implementation Analysis). Mazmanian dan Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel (Nugroho, 2004:169-170):

a. Variabel independen, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman obyek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.

b. Variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hierarkis di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan keterbukaan kepada pihak luar. Dan variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses

(21)

implementasi yang berkenaan dengan indicator kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan risorsis dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmen & kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.

c. Variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan, yaitu pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan obyek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah kepada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.

(22)

Gambar 2.5

Model Implementasi Mazmanian dan Sabatier

Sumber: Riant Nugroho (2004:170)

Tujuan kebijakan pada prinsipnya adalah melakukan intervensi. Oleh karena itu, implementasi kebijakan sebenarnya adalah tindakan (action) intervensi itu sendiri. Mazmanian dan Sabatier (1983) memberikan gambaran

Kemampuan kebijakan untuk menstruktrkan proses implementai: 1. kejelasan dan konsistensi tujuan 2. dipergunakannya teori kausal 3. ketepatan alokasi sumber dana 4. keterpaduan hierarchies diantara

lembaga pelaksana

5. aturan pelaksana dari lembaga pelaksana

6. perekrutan pejabat pelaksana.

Variabel diluar kebijakan:

a) kondisi sosio ekonomi dan teknologi b) dukungan publik

c) sikap dan risorsis konstituen d) dukungan pejabat yang lebih tinggi

e) komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.

TAHAPAN DALAM PROSES IMPLEMENTASI Pemahaman kebijakan dari lembaga pelaksana Kepatuhan objek Revisi atas kebijakan Penerimaan atas hasil nyata tersebut Hasil nyata

Mudah tidaknya masalah dikendalikan:

1. Teori dan teknis pelaksanaan 2. Keragaman objek

(23)

bagaimana melakukan intervensi atau implementasi kebijakan dalam langkah berurutan sebagai berikut (Nugroho, 2004:161-163):

Gambar 2.6

Implementasi Kebijakan menurut Mazmanian dan Sabatier (1983)

Sumber: Riant Nugroho, 2004:162

C. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)

Instalasi Pengolahan Air Limbah yang sering disebut sebagai IPAL merupakan sistem pengolahan limbah yang menggunakan sistem perpipaan. IPAL ini dilaksanakan guna mengolah limbah cair yang ada di suatu kawasan. Hal ini guna untuk mengurangi tingkat pencemaran yang semakin meningkat terhadap air tanah dan mengurangi jumlah sumur yang mulai tersebar bakteri

(24)

E. Coli karena sistem pengolahan limbah yang tidak benar. Seperti yang dipaparkan oleh Permadi dalam Jurnalnya, IPAL adalah upaya terakhir dalam sistem pengelolaan limbah setelah sebelumnya dilakukan optimasi proses produksi dan pengurangan serta pemanfaatan limbah. Pengolahan air limbah dimaksudkan untuk menurunkan tingkat cemaran yang terdapat dalam air limbah sehingga aman untuk dibuang ke lingkungan.

Limbah cair yang dikeluarkan dari setiap kegiatan atau produksi memiliki karakteristik yang berbeda. Hal ini disebabkan karena bahan baku, teknologi proses dan peralatan yang digunakan juga berbeda. Namun untuk produk yang sama ada kemiripan dalam hal karakteristik limbah cair yang dihasilkan. Karakteristik utama limbah cair didasarkan pada jumlah atau volume limbah dan kandungan bahan pencemarnya yang terdiri dari unsure fisik, biologi, kimia dan radioaktif. Karakteristik ini menjadi dasar untuk menentukan proses dan alat yang digunakan untuk mengolah air limbah (Permadi, 2011:174-175, Vol. 10 No. 2).

Menurut Sugiharto (Effendi, 2003) limbah cair adalah cairan yang berasal dari sisa kegiata proses dan usaha lainnya yang tidak dimanfaatkan kembali. Usaha untuk mengatasi pencemaran pada dasarnya terdiri dari pengolahan limbah dan mendaur ulang limbah. Sebelum dibuang ke badan perairan, limbah harus diolah terlebih dahulu. Tujuan utama pengolahan limbah adalah untuk menghilangkan atau mengurangi sifat bahaya limbah, terutama untuk mengurangi penyebaran penyakit yang disebabkan oleh

(25)

organisme patogen di dalam limbah, sehingga air buangan (effluent) tersebut tidak membahayakan kesehatan manusia. Tujuan lain adalah untuk mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan.

Program IPAL diatur dalam Perda Kota Surakarta no. 3 Tahun 1999 tentang pengelolaan limbah cair. Kota Surakarta sebagai kota yang memiliki Sungai Bengawan Solo yang dimana airnya mengalir melewati kota-kota besar terdapat permasalahan yakni tercemarnya air bersih karena buangan air limbah yang tidak diolah ke Bengawan Solo. Perihal ini merusak kualitas air tanah dan mencemari air yang hingga saat ini masyarakat kota Surakarta menggunakannya sebagai kehidupan sehari-hari. Dengan tercemarnya air bersih ini membuat kota Surakarta menjadi kota yang darurat air bersih. Maka dengan adanya kebijakan ini sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan di kota Surakarta terkait pencemaran air yang diakibatkan oleh buangan air limbah yang tidak diolah langsung dibuang begitu saja ke Bengawan Solo.

Limbah cair adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang berasal dari rumah tangga, perkantoran, tempat-tempat umum dan industri baik yang bersifat cair atau yang banyak mengandung air, tidak termasuk limbah industri yang mengandung bahan berbahaya dan beracun. Terdapat unit-unit pengolahan air limbah untuk menampung dan mengolah limbah cair yang masuk tiap harinya. Dalam Perda Kota Surakarta no. 3 tahun 1999 tentang

(26)

pengelolaan limbah cair di Bab VI pasal 5, unit pengolahan limbah cair mempunyai fungsi:

1. Pelaksanaan penyusunan rumusan kebijakan teknis, perencanaan, desain, konstruksi, operasi dan pemeliharaan sarana sanitasi setempat dan terpusat; 2. Pelaksanaan pemeliharaan, pengoperasian dan pengelolaan sarana dan

prasarana air limbah;

3. Pelaksanaan penggalangan dan pembinaan partisipasi masyarakat meliputi perencanaan, konstruksi, penggunaan dan pemeliharaan sarana sanitasi;

4. Pelaksanaan pengawasan dan pemantauan kualitas air permukaan dan air bawah tanah dalam batas wilayah daerah;

5. Pelaksanaan pembinaan, pengawasan dan pengendalian kepada para pengembang untuk menjamin kesesuaian fasilitas sanitasi yang disediakan untuk semua pembangunan bangunan baru;

6. Pelaksanaan pembinaan, pengawasan dan pengendalian dengan sektor industri penghasil limbah bahan berbahaya dan beracun agar pembuangan limbah cair sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

7. Pelaksanaan koordinasi serta kerja sama dengan Dinas atau Instansi / lembaga lain guna kelancaran tugas.

Usaha untuk mengendalikan beban limbah yang masuk ke perairan atau badan air akibat adanya kegiatan produksi dapat dikendalikan melalui pencegahan dan penanggulanan pencemaran air. Untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air, pengelolaan air limbah sebaiknya

(27)

diselenggarakan secara terpadu dengan pendekatan ekosistem dan meningkatkan kualitas lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan lingkungan.

Program pengolahan air limbah dengan IPAL disini khusunya di daerah kawasan Semanggi menjadi sorotan yang penting bagi masyarakat kota Surakarta khususnya yang berada di daerah Semanggi. Dikarenakan IPAL Semanggi ini berfungsi untuk mengolah limbah-limbah rumah tangga yang kemudian masuk dan diolah di unit-unit pengolahan IPAL Semanggi dan nantinya akan bisa dibuang dengan aman ke Bengawan Solo tanpa mencemari. Sehingga kedepannya pengolahan air limbah dengan IPAL Semanggi dapat dikaji agar implementasinya dapat dioptimalisasikan.

Dasar Hukum Pengolahan Limbah adalah:

a) Surat Perintah Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surakarta Nomor: 800 / 646 Tanggal: 10 Juni 1998.

b) Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor: 3 Tahun 1999 Tanggal: 27 Mei 1999 tentang Pengelolaan Limbah Cair.

c) Keputusan DPRD Kota Surakarta Nomor: 29/DPRD/XI/2002 Tanggal: 29 Nopember 2002 Tentang: Persetujuan Penetapan Tarip Pengelolaan Limbah dan Golongan Pelanggan.

d) Keputusan Walikota Surakarta Nomor: 15 Tahun 2002 Tanggal 29 Nopember 2002 Tentang: Penetapan Tarip Pengelolaan Limbah dan Golongan Pelanggan.

(28)

e) Keputusan DPRD Kota Surakarta Nomor: 10/DPRD/VI/2004 Tentang Persetujuan Perubahan Atas Keputusan Walikota Surakarta Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Penetapan Tarif Pengelolaan Limbah dan Golongan pelanggan Limbah.

f) Keputusan Walikota Surakarta Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Keputusan Walikota Surakarta Nomor: 15 Tahun 2002 Tentang Penetapan Tarif Pengelolaan Limbah dan Golongan Pelanggan.

g) Peraturan Walikota Surakarta Nomor: 16 A Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Lumpur Tinja, diundangkan tanggal 14 Agustus 2014.

D. Implementasi Instalasi Pengolahan Air Limbah di Semanggi Kota Surakarta

Implementasi dari sistem pengolahan air limbah dengan sistem perpipaan ini guna mengatasi permasalahan yang ada di masyakarat terkait perilaku masyarakat yang membuang limbah rumah tangga ke Bengawan Solo tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu dan hal ini mencemari air yang ada di Bengawan Solo. Dengan adanya Instalasi Pengolahan Air Limbah Kota Surakarta, peneliti ini melihat proses implementasi pengolahan air limbah dengan sistem tertutup yang ada di IPAL Semanggi. Untuk mengidentifikasikan tahapan-tahapan implementasi peneliti mengadopsi dari beberapa model yaitu Van Meter dan Van Horn, George C. Edwards, Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier. Dengan mengkombinasi berbagai teori dari

(29)

pendapat para ahli diharapkan mampu saling melengkapi guna menjawab permasalahan yang ada di dalam masyarakat.

1. Sumber daya (diadopsi dari Van Meter dan Van Horn, George C. Edwards) Yang termasuk dalam sumber daya disini yaitu pihak-pihak pelaksana kebijakan yang artinya tim-tim yang menangani pengelolaan air limbah rumah tangga di IPAL Semanggi, data maupun informasi seakurat dan serelevan mungkin yang terkait dengan proses pelaksanaan pengolahan air limbah di IPAL Semanggi, serta unit-unit pengolahan yang berada di IPAL Semanggi yang digunakan untuk mengolah air limbah rumah tangga.

2. Komunikasi (diadopsi dari Van Meter dan Van Horn, George C. Edwards) Terpenuhinya tim-tim dalam pelaksanaannya tidaklah lengkap tanpa adanya komunikasi yang baik antar tim-tim pelaksana. Dibutuhkannya komunikasi yang terjalin dengan baik karena disetiap proses pelaksanaan pengolahan air limbah setiap tim harus mampu memberikan informasi dengan baik ke antar tim agar pelaksanaan pengolahan air limbah di IPAL Semanggi ini dapat berjalan dengan lancar. Dengan adanya komunikasi yang baik, diharapkan semakin minimnya terjadi kesalahan dan kendala dalam hal pelaksanaan.

3. Struktur Birokrasi (diadopsi dari George C. Edwards)

Struktur birokrasi dalam penelitian ini lebih ditekankan kepada

Standar Operating System (SOP). Dalam melakukan pengolahan air limbah

(30)

pelaksanaannya. Setiap orang memiliki peran penting dan tanggunga jawab dalam melaksanakan setiap prosedur yang telah dibuat. Kompetensi yang dimiliki setiap staf berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan.

4. Kondisi ekonomi, sosial politik, dan teknologi (diadopsi dari Van Meter dan Van Horn, Mazmanian dan Sabatier)

Melihat situasi dan kondisi lingkungan tempat dimana akan dilakukan pemasangan sistem pengolahan air limbah tentunya sangat penting. Kondisi geografis tiap wilayah berbeda-beda maka diperlukannya perhatian khusus ketika hendak melakukan pemasangan pipa. Untuk menyempurnakan agar kendala dari sisi geografis dapat terselesaikan diperlukannya alat, metode, atau teknologi yang berguna untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dengan memiliki sistem dan teknologi pengolahan yang bagus maka diharapkan air limbah dapat diolah dengan baik.

Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi IPAL Semanggi ditunjukkan ke dalam sumber daya, komunikasi, standart operating system, dan kondisi ekonomi, sosial-politik, dan teknologi. Di dalam faktor-faktor tersebut, hasil dari tiap tahap implementasi dianalisis. Kualitas dari tiap-tiap personil dianalisis dalam sumber daya, hubungan yang baik antar personal dianalisis dalam komunikasi, pengoperasian dan pemeliharaan unit pengolahan sesuai dengan prosedur pengoperasian, dan kondisi geografis dianalisis dalam kondisi eko, sos-pol, dan teknologi.

(31)

Gambar 2.7

KERANGKA BERFIKIR

Sistem Pengolahan Air Limbah dengan Sistem Perpipaan/Tertutup (Off-Site

sanitation) di Instalasi Pengolahan Air

Limbah di Semanggi kota Surakarta Ditemukan masalah tercemarnya air bersih akibat buangan air limbah rumah tangga yang tidak diolah dengan baik dan

benar ke sungai dan tidak ada saluran jaringan pengolahan limbah

Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor: 3 Tahun 1999 Tanggal: 27

Mei 1999 tentang Pengelolaan Limbah Cair

Implementasi IPAL Semanggi: 1. Pembentukan tim survei

dan penentuan lokasi 2. Sosialisasi 3. Pemasangan 4. Unit-unit pengolahan 5. Peninjauan Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi: 1. Sumber Daya 2. Komunikasi 3. Standart Operating Procedures 4. Kondisi Ekonomi, Sosial-Politik, dan Teknologi

(32)

Melihat kerangka berfikir tersebut, permasalahan yang tengah terjadi di dalam masyarakat yaitu perilaku masyarakat yang membuang limbah rumah tangga ke Bengawan Solo tanpa adanya pengolahan terlebih dahulu yang membuat Bengawan Solo tercemar. Maka dari itu, PDAM mengatasinya dengan membuatkan sistem pengolahan air limbah yang salah satunya dilakukan dengan sistem terpusat atau sistem tertutup (perpipaan) yang berada di Instalasi Pengolahan Air Limbah Rumah Tangga di Semanggi Kota Surakarta. Melihat Perda Kota Surakarta no. 3 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Cair maka dalam penelitian ini peneliti ingin melihat proses implementasi pengolahan air limbah di IPAL Semanggi dengan lima tahapan implementasi yaitu survei dan penentuan lokasi, sosialisasi, pemasangan, pengolahan, dan peninjauan. Melihat dari proses implementasi IPAL semanggi, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi diantaranya sumber daya, komunikasi,

standart operating system, dan kondisi ekonomi, sosial-politik, dan teknologi. Hal ini

untuk melihat sejauh mana proses implementasi Perda Kota Surakarta Nomor: 3 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Cair terkait pelaksanaannya di IPAL Semanggi.

Gambar

Gambar 2.1  Kebijakan Publik
Gambar 2.2  Kebijakan Publik

Referensi

Dokumen terkait

(1) Perusahaan Industri yang telah memperoleh IUI apabila melakukan perubahan sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 ayat (1) kecuali modal dan kekayaan bersih (netto)

Selain membandingkan nilai F hitung n F tabel, dengan membandingkan nilai Sig dengan nilai α yaitu Sig < α 5% (0,001 < 0,05) maka Ho ditolak dan Ha

Rumah produksi khusus atau disebut dengan rumah produksi saja merupakan perusahaan yang mengkhususkan diri untuk memproduksi satu jenis program saja.. Misalnya rumah produksi

Sesudah telur menetas, larva membuat lubang di dalam buah sehingga mempermudah masuknya bakteri dan cendawan (Siwi et.al., 2006). Lalat buah hidup secara

The following algorithm is the algorithm of the modified Fletcher-Reeves conjugate gradient method in which its step length is chosen by the Armijo-type line

2.5 Pembebanan Jembatan Rangka Baja Canai Dingin Pejalan Kaki Beban merupakan gaya luar yang bekerja pada suatu struktur.. Umumnya penentuan besarnya beban yang bekerja pada

Pada gambar tersebut kondisi pembu- atan pelet membran rapat LSCF ditunjukkan dengan angka xyz, di mana x menunjukkan tekanan yang diberikan saat mencetak membran, y adalah suhu