• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKNOLOGI PENANGANAN BAHAN BAKU TERHADAP MUTU SOSIS IKAN PATIN (Pangasius pangasius) ERDIANSYAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TEKNOLOGI PENANGANAN BAHAN BAKU TERHADAP MUTU SOSIS IKAN PATIN (Pangasius pangasius) ERDIANSYAH"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

TEKNOLOGI PENANGANAN BAHAN BAKU

TERHADAP MUTU SOSIS IKAN PATIN

(Pangasius pangasius)

ERDIANSYAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Teknologi Penanganan Bahan Baku terhadap Mutu Sosis Ikan Patin (Pangasius pangasius) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir.

Bogor, Maret 2006

Erdiansyah NIM F 051030061

(3)

ABSTRAK

ERDIANSYAH. Teknologi Penanganan Bahan Baku terhadap Mutu Sosis Ikan

Patin (Pangasius pangasius). Dibimbing oleh MADE ASTAWAN dan JOKO

HERMANIANTO.

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh cara penanganan daging ikan patin terhadap perubahan mutu bahan baku selama penyimpanan beku serta hubungannya dengan sifat fisik dan organoleptik sosis yang dihasilkan. Daging ikan patin terlebih dahulu dibuat fillet, daging lumat, dan surimi lalu dikemas dengan plastik polypropilen kemudian disimpan di freezer pada suhu -180C selama 0, 20, 40, dan 60 hari. Pembuatan sosis dilakukan setiap hari ke-i dari lama penyimpanan bahan baku. Sosis terbaik hasil uji organoleptik digunakan untuk perlakuan pada penyimpanan pada berbagai suhu (100C, 50C, dan -50C).

Penanganan bahan baku ikan patin menjadi surimi menunjukkan nilai pH dan WHC relatif lebih tinggi pada awal penyimpanan (hari ke-0) tetapi nilai total protein terlarut lebih rendah. Selama penyimpanan surimi memperlihatkan adanya jaminan perlindungan terhadap penurunan mutu, sehingga sosis yang dihasilkan mempunyai nilai cooking loss, kekerasan, dan kekenyalan lebih baik hingga hari ke-60 penyimpanan. Hasil uji organoleptik panelis lebih menyukai sosis dari surimi yang disimpan pada hari ke-60.

Penyimpanan sosis pada suhu -5oC, 5oC, dan 10oC menyebabkan terjadinya peningkatan nilai TVB, TPC, Sineresis, dan pH. Hingga akhir pengamatan (minggu ke-4) sosis pada suhu penyimpanan -5oC dan 5oC menunjukkan mutu masih dalam batas ketentuan dibandingkan suhu 10oC .

(4)

TEKNOLOGI PENANGANAN BAHAN BAKU

TERHADAP MUTU SOSIS IKAN PATIN

(Pangasius pangasius)

ERDIANSYAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Pasca Panen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Tesis : Teknologi Penanganan Bahan Baku terhadap Mutu Sosis Ikan Patin (Pangasius pangasius)

Nama Mahasiswa : Erdiansyah NIM : F051030061

Diketahui,

Tanggal Ujian : 8 Maret 2006 Tanggal Lulus :

Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS. Ketua

Dr. Ir. Joko Hermanianto Anggota

Dr. Ir. Wayan Budiastra, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

Disetujui, Komisi Pembimbing,

Dekan Sekolah Pascasarjana Ketua Program Studi

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas kuasa-Nya jualah penulisan tesis ini dapat diselesaikan, salam serta sholawat atas nabi Muhammad SAW yang telah menuntun umat manusia ke jalan ya ng benar dan diridhoi Allaw SWT.

Ikan patin adalah salah satu jenis ikan air tawar yang sudah banyak dibudidayakan. Ukurannya yang relatif besar sehingga cocok untuk digunakan sebagai bahan baku produk olahan. Sosis adalah salah satu produk olahan ya ng banyak dikenal dan disukai, namun kebanyakan yang beredar di pasaran adalah berbahan baku sapi dan ayam. Pembuatan sosis ikan patin mempunyai peluang yang cukup luas untuk bersaing dengan produk yang sudah ada. Untuk menghasilkan sosis dengan mutu yang baik diperlukan bahan baku yang bermutu, sehingga diperlukan penanganan pascapanen yang benar untuk menjaga kualitas bahan baku.

Berdasarkan pemikiran diatas, penulis melakukan penelitian sejak bulan April hingga Nopember 2005 mengenai cara penanganan bahan baku pra-olahan dan lama penyimpanan beku terhadap mutu bahan baku serta hubungannya dengan mutu sosis. Mudah- mudahan hasil penelitian ini dapat dijadikan landasan ilmiah dan menjadi acuan, untuk memperhatikan mutu bahan baku sebelum digunakan untuk proses selanjutnya.

Untuk istriku tercinta Devi Riani dan ananda Viriyan Ilmi, ayahanda Burniat, ibunda Asmah, Ayahanda mertua (alm) Be rmawi Djakvar, ibunda mertua Bayudah Balik, ayunda yati dan adik-adik serta keluarga besar, terima kasih atas segala doa dan kasih sayangnya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak H. Alex Noerdin, SH selaku Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten Musi Banyuasin yang telah memberikan fasilitas Tugas Belajar, Ibu Ir. Suratinah Hamzah (mantan Kepala Dinas), Bapak Ir. Hanafi Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan atas izin serta restunya.

Selanjutnya terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Joko Hermanianto sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas segala saran dan bimbingan yang diberikan selama penulisan tesis ini, semoga menjadi amal yang baik di sisi Allah SWT.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman sejawat Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Musi Banyuasin serta teman- teman Program Studi Teknologi Pasca Panen khususnya angkatan 2003 (Pak Theis, Pak Hidayat, Pak Khaidir, Fahrul, Muhdarsyah, Desy, Dian, Ira, Cut, Atik, Meilan, Mbak Endang, dan Mbak Ana), angkatan 2002 ( Mbak Hani, Pak Munawar, Pak Enrico), angkatan 2004 (Pak Ismail, Adnan, Asri, Yani, Mala, Mbak Rina).

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2006 Erdiansyah

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang - Sumatera Selatan pada tanggal 8 Januari 1971, putra kedua dari tujuh bersaudara dari ayah Burniat dan ibu Asmah.

Tahun 1990 penulis lulus dari SMA Wathoniyah Islamiyah Karanganyar – Kebumen Jawa Tengah dan pada tahun yang sama diterima di Universitas Muhammadiyah Palembang. Penulis memilih jurusan Budidaya Perairan sebagai angkatan pertama pada Fakultas Pertanian dan menyelesaikan studi pada tahun 1996.

Pada tahun 1999 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Musi Banyuasin – Sumatera Selatan, sebagai staf Bagian Tata Usaha.

(8)

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL……….. DAFTAR GAMBAR………. DAFTAR LAMPIRAN……….. PENDAHULUAN ………...………. Latar Belakang ... ………. Tujuan ………. Hipotesis ………. …. TINJAUAN PUSTAKA ……….……… Struktur Daging Ikan ...……….……….. Komposisi Kimia Daging Ikan ………. Sifat Fungsional Protein ……….……….. Ikan Patin……….. Penyimpanan Beku……….. ………. Bentuk Pra-olahan………. Sosis……….. Bahan-bahan Penyusun Sosis …..………. METODE PENELITIAN …..………. Tempat dan Waktu .……….. Bahan..………... Peralatan……….. ………. Proses Pembuatan Sosis……… Tahapan Penelitian……… Pengamatan ……….. Rancangan Percobaan………... Metode Analisis……… HASIL DAN PEMBAHASAN ……….

Pengamatan Perubahan Mutu Bahan Baku Selama Penyimpanan ………. Pengamatan Perubahan Sifat Fisik Dan Organoleptik Sosis ……….. Perubahan Mutu Sosis Selama Penyimpanan ... KESIMPULAN DAN SARAN ……… Kesimpulan ……… Saran ……… DAFTAR PUSTAKA...……….. LAMPIRAN ……….. vi vii viii 1 1 2 2 3 3 5 8 10 12 12 14 15 20 20 20 20 20 24 25 25 26 33 33 38 47 61 61 61 62 68 Halaman

(9)

DAFTAR TABEL

1 Komposisi kimia rata-rata daging ikan………... 5

2 Penggolongan protein daging ikan berdasarkan kelarutan………. 6

3 Penggolongan ikan berdasarkan kandungan protein dan lemaknya …. 8

4 Sifat fungsional protein yang dibutuhkan dalam sistim pangan. ……. 9

5 Komposisi kimia ikan patin. ……… 11

6 Formulasi adonan sosis ikan patin……… 24

7 Rataan analisa mutu bahan baku fillet, lumat, dan surimi pengaruh lama penyimpanan beku………. ... 33

8 Rataan sifat fisik sosis yang dihasilkan……… 40

9 Rataan hasil uji organoleptik sosis yang dihasilkan………. 45

10 Rataan perubahan mutu sosis selama penyimpanan……… 51

11 Kandungan proksimat sosis pada awal dan akhir penyimpanan…….. 58 Halaman

(10)

GAFTAR GAMBAR

1 Tipe daging merah dalam berbagai jenis ikan ………...… 3

2 Daging ikan dan komponen penyusunnya ………...…….. 4

3 Ikan patin (Pangasius pangasius) ………...…… 11

4 Proses pembuatan sosis ikan patin……....………...… 22

5 Proses pembuatan bahan baku..………...……... 23

6 Perubahan Total protein terlarut bahan baku selama penyimpanan beku... 34

7 Perubahan pH bahan baku selama penyimpanan beku... 37

8 Perubahan WHC bahan baku selama penyimpanan beku... 39

9 Cooking loss sosis pengaruh jenis bahan baku dan lama penyimpanan beku... 41

10 Kekerasan (obyektif) sosis pengaruh jenis bahan baku dan lama penyimpanan beku... 42

11 Kekenyalan (obyektif) sosis pengaruh jenis bahan baku dan lama penyimpanan ... 43

12 Nilai TVB Sosis Ikan Patin pada berbagai suhu penyimpanan ....…...… 52

13 Reaksi kimia degradasi histidin menjadi histamin ………...…… 53

14 Log Total Mikroba Sosis Patin pada berbagai suhu penyimpanan ... 54

. 15 pH Sosis Ikan Patin pada berbagai suhu penyimpanan ..………...… 56

16 Sineresis Sosis Ikan Patin pada berbagai suhu penyimpanan ..…...…. 57 Halaman

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil pengukuran protein terlarut bahan baku sela ma penyimpanan…… 68 2 Analisis sidik ragam pengaruh jenis bahan baku dan lama penyimpanan beku terhadap total protein terlarut bahan baku ……… 68 3 Uji Wilayah Berganda Duncan total protein terlarut bahan baku... 68 4 Hasil pengukuran pH bahan baku selama penyimpanan ………….……... . 69 5 Analisis sidik ragam pengaruh jenis bahan baku dan lama penyimpanan beku terhadap pH bahan baku ………. ... 69 6 Uji Wilayah Berganda Duncan pH bahan baku………... 69 7 Hasil pengukuran WHC bahan baku selama penyimpanan…………... . 70 8 Analisis sidik ragam pengaruh jenis bahan baku dan lama penyimpanan

beku terhadap WHC bahan baku…...………... 70 9 Uji Wilayah Berganda Duncan WHC bahan baku………... 70 10 Hasil pengukuran cooking loss sosis pengaruh jenis baha n baku dan lama

penyimpanan beku……… 71 11 Analisis sidik ragam pengaruh jenis bahan baku dan lama penyimpanan beku terhadap cooking loss sosis …….……… 71 12 Uji Wilayah Berganda Duncan cooking loss sosis……….... 71 13 Hasil pengukuran kekerasan (obyektif) sosis pengaruh jenis bahan

baku dan lama penyimpanan beku………...………. 72 14 Analisis sidik ragam pengaruh jenis bahan baku dan lama penyimpanan beku terhadap kekerasan (obyektif) sosis …..…...………... 72 15 Uji Wilayah Berganda Duncan kekerasan sosis……….… 72 16 Hasil pengukuran kekenyalan (obyektif) sosis pengaruh jenis bahan baku dan lama penyimpanan beku……….…… 73 17 Analisis sidik ragam pengaruh jenis bahan baku dan lama penyimpanan beku terhadap kekenyalan (obyektif) sosis ………..…………... 73 18 Uji Wilayah Berganda Duncan kekenyalan sosis….…………... 73

(12)

19 Hasil uji hedonik penampakan irisan sosis pengaruh jenis bahan baku

dan lama penyimpanan beku ………. 74

20 Analisis sidik ragam pengaruh jenis bahan baku dan lama penyimpanan beku terhadap penampakan irisan sosis ....……… 75 21 Uji Wilayah Berganda Duncan penampakan irisan sosis………. 75 22 Hasil uji hedonik kekerasan sosis pengaruh jenis bahan baku

dan lama penyimpanan beku ……… 76

23 Analisis sidik ragam pengaruh jenis bahan baku dan lama penyimpanan beku terhadap kekerasan sosis ………...……… 77

24 Uji Wilayah Berganda Duncan kekerasan sosis……….. 77 25 Hasil uji hedonik kekenyalan sosis pengaruh jenis bahan baku

dan lama penyimpanan beku ………... .. 78

26. Analisis sidik ragam pengaruh jenis bahan baku dan lama penyimpanan beku terhadap kekenyalan sosis …..……….. 79

27 Uji Wilayah Berganda Duncan kekenyalan sosis……….. 79

28 Hasil uji hedonik aroma sosis pengaruh jenis bahan baku

dan lama penyimpanan beku ……….. 80

29 Analisis sidik ragam pengaruh jenis bahan baku dan lama penyimpanan beku terhadap aroma sosis ...……… 81

30 Uji Wilayah Berganda Duncan aroma sosis……….. 81 31 Hasil uji hedonik juicines sosis pengaruh jenis bahan baku

dan lama penyimpanan beku ……… 82

32 Analisis sidik ragam pengaruh jenis bahan baku dan lama penyimpanan beku terhadap juicines sosis ...……… 83 33 Uji Wilayah Berganda Duncan juiciness sosis……… 83 34 Hasil uji hedonik rasa sosis pengaruh jenis bahan baku

dan lama penyimpanan beku ……….. 84 35 Analisis sidik ragam pengaruh jenis bahan baku dan lama penyimpanan beku terhadap rasa sosis ...……… 85 36 Uji Wilayah Berganda Duncan rasa sosis………... 85

(13)

37 Hasil uji hedonik penerimaan umum sosis pengaruh jenis bahan baku

dan lama penyimpana n beku ……… 86 38 Analisis sidik ragam pengaruh jenis bahan baku dan lama penyimpanan beku terhadap penerimaan umum sosis ……… 87 39 Uji Wilayah Berganda Duncan penerimaan umum sosis……… 87 40 Analisis sidik ragam nilai TVB sosis pada berbagai suhu penyimpanan.... 88 41 Uji Wilayah Berganda Duncan TVB sosis pada berbagai suhu

penyimpanan... 88 42 Analisis sidik ragam nilai TPC sosis pada berbagai suhu penyimpanan... 88 43 Uji Wilayah Berganda Duncan TPC sosis pada berbagai suhu

penyimpanan... 88 44 Analisis sidik ragam pH sosis pada berbagai suhu penyimpanan... 89 45 Uji Wilayah Berganda Duncan pH sosis pada berbagai suhu

penyimpanan... 89

46 Analisis sidik ragam sineresis sosis pada berbagai suhu penyimpanan... 89 47 Uji Wilayah Berganda Duncan sineresis sosis pada berbagai suhu

penyimpanan... 89 48 Jenis bahan baku fillet, lumat, dan surimi daging ikan patin ………… 90 49 Sosis ikan patin dari bahan baku fillet, lumat, dan surimi……… 90

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah yang perlu mendapatkan perhatian sungguh-sungguh sehubungan dengan meningkatnya jumlah penduduk adalah penyediaan protein. Ikan patin adalah salah satu sumber protein hewani yang mudah didapat dan harganya terjangkau. Menurut data statistik Departemen Kelautan dan Perikanan (2004) produksi ikan patin mencapai 23.962 ton/tahun dari total produksi budidaya ikan air tawar sebesar 346.453 ton/tahun, dengan harga jual pada tingkat konsumen Rp.8.000 sampai dengan Rp.12.000 per kilogram.

Pembuatan sosis dengan menggunakan daging ikan patin merupakan upaya penganekaragaman pengolahan ikan, sehingga diharapkan dapat diterima secara umum karena penampakan dan rasanya telah mengalami modifikasi menjadi lebih menarik dengan citarasa yang disukai. Pengolahan ikan patin menjadi sosis memiliki beberapa keuntungan antara lain memudahkan pengangkutan, memperluas areal pemasaran, memperpanjang daya simpan, menambah variasi produk perikanan menjadi produk siap saji, dan secara tidak langsung merangsang peningkatan produk hasil perikanan.

Agustini dan Swastawati (2003) menyatakan bahwa pemanfaatan hasil perikanan melalui penganekaragaman produk-produk value-added memiliki prospek yang bagus di masa mendatang dan dapat mendukung suksesnya pelaksanaan Program Ketahanan Pangan Nasional .

Untuk menghasilkan sosis dengan mutu yang baik, diperlukan bahan baku dengan kualitas yang baik, sehingga penanganan pra-olahannya perlu dilakukan untuk menjaga kualitas yang maksimal. Penyimpanan beku adalah suatu cara untuk mempertahankan kualitas dan memperpanjang daya simpan bahan baku, dengan menghambat reaksi metabolisme dan mencegah pertumbuhan mikroorganisme penyebab kerusakan. Sedangkan penanganan bentuk pra-olahan daging ikan sebelum diolah menjadi sosis adalah fillet, daging lumat, dan surimi yang bertujuan untuk mempermudah pengolahan dalam rangkaian proses produksi serta efisiensi dalam penyimpanan.

(15)

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Menguji perubahan mutu (total protein terlarut, water holding capacity, dan pH) bahan baku dalam bentuk fillet, daging lumat, dan surimi selama penyimpanan beku.

2. Menerangkan pengaruh perubahan mutu bahan baku fillet, daging lumat, dan surimi selama penyimpanan beku terhadap sifat fisik (cooking loss, kekerasan, kekenyalan) dan penerimaan konsumen terhadap sosis yang dihasilkan (organoleptik).

3. Mengukur perubahan mutu sosis (TPC, TVB, pH, sineresis, dan proksimat) selama penyimpanan pada suhu -5oC, 5oC, dan 10oC.

Hipotesis

Penyimpanan bahan baku pra-olahan (fillet, daging lumat, dan surimi) pada suhu beku dapat mempertahankan mutu daging ikan dan menghasilkan produk sosis dengan sifat fisik dan organoleptik yang disukai konsumen.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Struktur Daging Ikan

Berdasarkan warna daging, ikan dapat dibedakan atas daging putih dan daging merah. Perbedaan warna ini disebabkan oleh protein mioglobin pada daging merah (Dyer dan Dingle, 1961). Hadiwiyoto (1993) menyatakan, daging ikan warna merah mempunyai kandungan mioglobin tinggi dan diimbangi jaringan pengikat dan pembuluh darah, sedangkan daging putih mempunyai kandungan protein tinggi.

Menurut Suzuki (1981), daging merah terdapat hampir di sepanjang tubuh bagian samping di bawah kulit, sedangkan daging putih terdapat di hampir seluruh bagian tubuh ikan. Berdasarkan proporsi daging merah terdapat tiga jenis ikan, yaitu cod dengan proporsi daging merah terkecil, mackarel dengan proporsi daging merah sedang, dan frigate mackarel dengan proporsi terbanyak.

Gambar 1 Tipe daging merah dalam berbagai jenis ikan; (A) cod, (B) mackerel, dan (C) frigate mackerel (Suzuki, 1981). Badan ikan umumnya mempunyai bentuk dan ukuran yang simetris dan dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu, kepala, badan (tubuh), dan ekor. Bagian kepala adalah bagian muka yang dimulai dari ujung mulut sampai akhir insang. Bagian badan dimulai dari akhir tutup insang sampai sirip belakang, sedangkan bagian ekor dimulai dari sirip ekor sampai dengan ujung ekor. Di dalam badan ikan terdapat kerangka ikan, daging/otot dan organ-organ lainnya (Hadiwiyoto, 1993).

(17)

Gambar 2 Daging ikan dan komponen penyusunnya (Hadiwiyoto, 1993)

Menurut Hadiwiyoto (1993), daging yang terletak di bagian punggung dan perut merupakan jaringan pengikat yang terbanyak dan tersusun oleh segmen-segmen yang disebut miomer dan miomata yang tampak seperti garis-garis zigzag. Potongan melintang badan ikan akan menampakkan garis-garis konsentris miotoma sehingga jelas sekali lokasi mioseptanya. Miotoma sebenarnya adalah jaringan pengikat sedangkan miosepta adalah jaringan pengikat yang lebih besar dan tersusun oleh miotoma- miotoma. Penyusun miotoma adalah suatu bundel benang-benang daging yaitu

(18)

endomisium yang merupakan sel daging ikan. Satu sel daging tersusun oleh benang-benang halus yang disebut miofibril.

Badan ikan terdiri atas tulang dan daging/otot. Daging atau otot kebanyakan terdapat pada bagian tubuhnya dan merupakan jaringan-jaringan pengikat yang meliputi bagian punggung, perut, pangkal sirip punggung, pangkal sirip ekor, pangkal sirip belakang, pangkal sirip dada, pangkal sirip depan, dan bagian kepala (Hadiwiyoto, 1993).

deMan (1997) menambahkan, jaringan ikat otot ikan jumlahnya lebih rendah daripada dalam otot mamalia, mengakibatkan tekstur daging ikan lebih empuk jika dibandingkan dengan daging mamalia.

Komposisi Kimia Daging Ikan

Sifat kimia dari daging ikan meliputi komponen-komponen kimia penyusun daging ikan. Daging ikan merupakan bahan biologik yang secara kimiawi sebagian besar tersusun oleh unsur-unsur organik ya itu, oksigen (75%), hidrogen (10%), karbon (9.5%), dan nitrogen (2.5%). Unsur-unsur tersebut merupakan penyusun senyawa-senyawa protein, karbohidrat, lipida, vitamin, enzim dan sebagainya (Irawan, 1995). Komposisi kimia rata-rata daging ikan dapat di lihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia rata-rata daging ikan

Komponen Kimia Komposisi (%)

Air 66 – 84 Protein 16 – 22 Karbohidrat 1 – 3 Lemak 0.1 – 22 Bahan Anorganik 0.8 - 2 *Sumber : Suzuki (1981) Protein

Protein ikan merupakan bagian yang pent ing untuk dipelajari dalam dasar-dasar ilmu dan teknologi ikan terutama dari segi-segi kimianya. Hal ini disebabkan, protein ikan yang mencapai 11 – 27% merupakan komponen terbesar kedua jumlahnya setelah air (Hadiwiyoto, 1993). Berdasarkan lokasinya dalam daging, protein ikan dapat digolongkan menjadi 3 macam, yaitu, protein sarkoplasma, protein miofibril dan protein stroma (Xiong,

(19)

2000). Berdasarkan sifat kelarutan protein daging ikan deMan (1997) memilahnya menjadi tiga golongan yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Penggolongan protein daging ikan berdasarkan kelarutan N

o

Kekuatan ion pada saat pelarutan

Nama golongan lokasi

1 Sama dengan atau lebih besar dari nol

“myogen” mudah larut

Terutama sarkoplasma, cairan sel otot 2 Lebih besar dari, sekitar

0.3 “Struktur” kurang larut Terutama myofibril, unsur kontraktil

3 Tidak larut “Stroma”

Terutama

jaringan ikat, dinding sel dsb

*Sumber : deMan (1997)

Protein miofibrillar

Protein miofibril adalah protein-protein yang terdapat pada benang-bena ng daging (miofibril dan miofilamen). Yang termasuk golongan protein ini adalah tipe golongan protein globulin, misalnya myosin, aktin, dan tropomyosin (Xiong, 2000).

Suzuki (1981) menyatakan, protein miofibrillar bersifat sedikit larut dalam air pada pH netral tetapi larut dalam larutan garam kuat. Protein miofibrillar adalah protein yang membentuk miofibril, yang terdiri dari protein struktural (aktin, miosin, dan aktomiosin) dan protein regulasi (troponin, tropomiosin, dan aktinin). Protein miofibrillar merupakan bagian terbesar dari protein ikan yaitu sekitar 66 – 77% dari total protein ikan, dan bila dibandingkan dengan daging mamalia dan unggas daging ikan mengandung protein miofibril yang terbanyak. Miofibril sangat berperan dalam penggumpalan dan pembentukan gel pada daging ikan yang diolah.

Protein sarkoplasma

Suzuki (1981) menyatakan, protein sarkoplasma mengandung protein yang dapat larut dalam air, disebut miogen. Kandungan protein sarkoplasma dalam daging ikan tergantung pada jenis ikan, biasanya terdapat dalam jumlah sekitar 10% dari total protein ikan. Hadiwiyoto (1993), menyatakan

(20)

bahwa protein yang tergolong protein sarkoplasma adalah protein albumin, mioalbumin, mioprotein.

Sarkoplasma mengandung bermacam- macam protein yang larut dalam air (miogen). Pada pembuatan surimi, protein sarkoplasma harus dihilangkan dulu karena dapat menghambat pembentukan gel.

Protein stroma

Protein stroma (jaringan pengikat) kebanyakan terdapat dalam miosepta dan endomisium, tetapi ada juga yang terdapat pada sarkolemma atau bagian tubuh yang lain tetapi jumlahnya tidak banyak sekitar 6% dari seluruh protein ikan.

Kolagen adalah salah satu jenis protein jaringan pengikat yang dominan baik dalam jumlahnya maupun peranannya, struktur kolagen menyerupai benang-benang jala. Kolagen tidak larut dalam air maupun larutan garam tetapi larut dalam larutan alkali dan jika dipanaskan maka strukturnya akan berubah menjadi peptida-peptida dengan berat moekul yang lebih rendah.(Hadiwiyoto, 1993).

Lemak

Winarno (1993), menyatakan bahwa berdasarkan kandungan lemaknya, ikan terbagi menjadi 3 golongan yaitu, ikan dengan kandungan lemak rendah (kurang dari 2%) seperti kerang, cod, lobster, bawal, gabus; ikan dengan kandungan lemak medium (2 – 5%) seperti rajungan, oyster, udang, ikan mas, lemuru, salmon; dan ikan dengan kandungan lemak tinggi (5 – 20%) seperti herring, mackarel, salmon, tuna, sepat, tawas, nila.

Menurut Junianto (2003), Kandungan lemak daging merah ikan lebih tinggi dibandingkan daging putih ikan. Namun kandungan protein daging merah ikan lebih rendah dibandingkan daging putih ikan. Berdasarkan kandungan lemak dan protein, ikan digolongkan seperti Tabel 3.

Kandungan lemak ikan bermacam- macam tergantung pada jenis ikan, umur, jumlah daging merah, dan kondisi makanan (Suzuki, 1981). Irawan (1995) menambahkan bahwa kandungan lemak erat kaitannya dengan

(21)

kandungan protein dan kandungan air. Pada ikan yang kandungan lemaknya rendah, umumnya mengandung protein dalam jumlah yang cukup besar.

Tabel 3 Penggolongan ikan berdasarkan kandungan protein dan lemak Tipe Prot (%) Lemak (%) Jenis Ikan A. Protein tinggi, lemak rendah 15 – 20 < 5 Cod B. Protein tinggi, lemak sedang 15 – 20 5 – 15 Salmon C. Protein rendah, lemak tinggi < 5 > 15 Trout D.Protein sangat tinggi, lemak rendah > 20 < 5 Tuna E. Protein rendah, lemak rendah < 15 < 5 Oyster

*Sumber : Junianto (2003)

Air

Air adalah komponen terbesar penyusun daging ikan sebesar 66 – 84% dan menurut Suzuki (1981), kadar air pada daging ikan mempunyai hubungan yang berlawanan dengan kadar lemak. Makin tinggi kadar air maka makin rendah kadar lemaknya.

Ilyas (1983) mengatakan bahwa air dalam jaringan daging ikan diikat sangat erat oleh senyawa koloidal dan kimiawi sehingga ia tidak mudah bebas oleh tekanan berat. Kekuatan penahan air pada daging ikan segar adalah maksimum, sedangkan pada ikan yang mulai membusuk kekuatan itu jauh berkurang sehingga cairan itu mudah bebas.

Karbohidrat

Karbohidrat dalam daging ikan merupakan polisakarida, yaitu glikogen yang terdapat dalam sarkoplasma di antara miofibril- miofibril. Glikogen dalam daging sifatnya tidak stabil, mudah berubah menjadi asam laktat melalui proses glikolisis sehingga menyebabkan pH daging ikan turun dengan cepat.

(22)

Sifat Fungsional Protein.

Protein adalah salah satu komponen penyusun bahan pangan yang mempunyai peranan sangat besar dalam menentukan mutu produk pangan. Protein mampu berinteraksi dengan senyawa-senyawa lain sehingga berpengaruh pada aplikasi proses, mutu dan penerimaan produk. Sifat-sifat seperti inilah yang disebut sifat fungsional protein seperti: water binding, kelarutan, viscositas, pembentukan gel, flavour binding dan aktivitas permukaan (Kinsella, et al. 1979). Zayas (1997) menambahkan, sifat fungsional protein adalah sifat fisiko-kimia protein yang mempengaruhi tingkah laku di dalam sistim bahan pangan selama persiapan, pengolahan, penyimpanan dan konsumsi yang berperan pada mutu dan sensorik sistem bahan pangan tersebut.

Menurut Cheftel et al. (1985) sifat fungsional protein dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian utama yaitu:

1. Sifat fungsional protein yang berhubungan dengan reaksi protein dalam air, misalnya: penyerapan air, penahanan air, dan viskositas.

2. Sifat fungsional protein yang berhubungan dengan reaksi protein dengan protein atau protein dengan lemak, misalnya: pembentukan gel, adonan dan tekstur.

3. Sifat fungsional yang berhubungan dengan sifat permukaan protein, misalnya: emulsifikasi dan daya buih.

Masing- masing sifat fungsional tersebut tidak berdiri sendiri, namun saling berkaitan satu dengan lainnya. Keberadaan sifat-sifat tersebut selanjutnya akan memberikan karakteristik tersendiri dalam suatu sistim pangan (Tabel 4).

(23)

Tabel 4 Sifat fungsional protein yang dibutuhkan dalam sistim pangan.

Sifat Fungsional Bentuk aktivitas Sistim Pangan

Kelarutan Pelarut protein, bergantung pada pH

Minuman Daya serap/ikat air Pengikatan hidrogen

HOH

Daging, sosis, roti, kue Pembentukan gel Pembentukan matrik

protein

Daging, keju, dadih Daya lekat Pengikatan bahan oleh

protein

Daging, sosis, pasta Elastisitas Ikatan hidrofobik pada

gluten, ikatan sulfida pada gel

Daging, roti

Emulsifikasi Pembentukan dan stabilitas emulsi lemak

Sosis, sup, bologna Daya serap lemak Pengikatan lemak bebas Sosis daging

*Sumber : Kinsella (1979)

Sifat kelarutan protein sangat dipengaruhi oleh pH, suhu, dan pelarut yang digunakan. Pengaruh pH didasarkan pada adanya perbedaan muatan antara asam-asam amino yang menyusun protein. Pada pH tertentu perbedaan muatan tersebut dapat mencapai nol (net charge=0) atau terjadinya kesetimbangan yang dikenal sebagai titik isoelektrik. Pada pH tersebut protein memiliki daya tarik menarik yang paling kuat antara sesamanya dan mulai terurai. Pada pH di atas dan di bawah titik isoelektrik dan lebih besarnya muatan negatif pada pH diatas titik isoelektrik. Perubahan muatan ini menyebabkan menurunnya daya tarik menarik antara molekul protein, sehingga molekul protein lebih mudah terurai dan kelarutan protein akan semakin meningkat (Lehninger, 1982).

Ikan Patin (Pangasius pangasius)

Famili Pangasidae adalah ikan berkumis air tawar yang terdapat di seluruh Asia Selatan dan Asia Tenggara. Mempunyai ciri kulit halus, memiliki dua pasang sungut yang relatif pendek, jari-jari sirip punggung dan sirip dada sempurna dengan tujuh jari-jari bercabang, sebuah sirip lemak berpangkal sempit, sirip dubur panjang dan bersambung dengan sirip ekor. Sirip ekor bercagak dalam dengan mulut yang agak mengarah kedepan.

(24)

Hidup diperairan berarus lambat dan aktif di malam hari, memakan detritus dan invertebrate lainnya dari dasar sungai (Whitten, 1996). Susanto dan Amri (1996) menyatakan ikan patin memiliki badan memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan (Gambar 3). Panjang tubuhnya bisa mencapai 120 cm, suatu ukuran yang cukup besar untuk ukuran ikan air tawar domestik. Kepala relatif kecil dengan mulut terletak diujung kepala agak sebelah bawah. Hal ini merupakan ciri khas golongan cat fish. Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba.

Gambar 3 Ikan patin (Pangasius pangasius)

Klasifikasi dan identifikasi ikan patin menurut Saanin (1984) sebagai berikut :

Phyllum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi Sub ordo : Siluroidae Famili : Pangasidae Genus : Pangasius

Spesies : Pangasius pangasius

Komposisi kimia ikan patin per 100 gr daging ikan dapat dilihat pada Tabel 5. Jika dilihat dari komposisi kandungan protein 16.1 % dan lemak

(25)

5.7 %, ikan patin termasuk golongan ikan yang berprotein tinggi dan berlemak sedang.

Tabel 5 Komposisi kimia ikan patin.

Komposisi Kimia % bb Air Protein Lemak Abu 75.7 16.1 5.7 1.0 *Sumber : BPMHP (1998) Penyimpanan Beku

Kerusakan bahan-bahan bio logik seperti hasil- hasil perikanan terutama disebabkan oleh terjadinya otolisa dan karena pertumbuhan mikroba. Pada kondisi suhu tertentu aktifitasnya menjadi optimum dan pada konsisi lain aktifitasnya menurun. Penggunaan suhu rendah dapat digunakan untuk mempertahankan kesegaran serta mempertahankan sifat-sifat asli dari ikan (Hadiwiyoto, 1993). Masa simpan dari daging ikan berbeda-beda tergantung dari jenis ikan, komposisi daging ikan, iklim, lingkungan hidup (habitat) dan perlakuan yang diberikan terhadap ikan setelah ditangkap (Potter, 1973).

Selama penyimpanan beku, protein akan mengalami denaturasi dimana akan terjadi perubahan protein ikan ke arah menjauhi sifat-sifat alami protein (Ilyas, 1983). Perubahan protein otot akan mempengaruhi jumlah drip, yaitu (1) besarnya cairan yang keluar dari daging, dan (2) faktor yang berhubungan dengan daya ikat air oleh protein daging (Soeparno, 1994). Denaturasi protein selama penyimpanan beku menghasilkan agregasi yang disebabkan karena meningkatnya ikatan silang (cross- linking) miosin di dalam intermolekul (Yoon dan Lee, 1990).

(26)

Bentuk Pra-olahan

Bentuk pra-olahan bahan baku daging ikan yang sering digunakan dalam proses pengolahan biasanya berupa fillet, daging lumat dan surimi. Selain mempermudah dalam proses pengolahan menjadi bentuk produk lainnya, juga lebih efisien dalam penyimpanan terutama penyimpanan beku dibandingkan menyimpan ikan secara utuh.

Fillet

Fillet dibuat dengan menyayat tubuh ikan patin sejajar dengan tulang punggung, dimulai dari bagian ekor hingga ke bagian kepala, isi perut, sirip maupun tulang. Selanjutnya lembaran daging tersebut disayat sedemikian rupa untuk menghilangkan bagian kulitnya (Afrianto, 1995). Menurut Ilyas (1983), terdapat beberapa tipe fillet, yaitu fillet berkulit (skin-on fillet), fillet tidak berkulit (skinless fillet), fillet tunggal (single fillet) yakni lempengan daging ikan yang disayat memanjang tulang belakang, kuduk biasanya dipotong, dan fillet kupu-kupu (butterfly fillet) yakni dua fillet tunggal seekor ikan yang dihubungkan sesamanya oleh bagian yang tidak dipotong. Hasil fillet biasanya didapat dari 30 sampai 35% berat ikan.

Daging lumat

Daging lumat didapat dengan melakukan penggilingan terhadap daging ikan yang telah difillet yang bertujuan menghaluskan atau melembutkan daging hingga mempermudah proses selanjutnya. Selain memperkecil ukuran menurut Acton (1972), protein daging lebih mudah terekstrak jika dalam ukuran kecil. Forrest et al. (1975) menambahkan, penggilingan bertujuan untuk memecah dan meningkatkan keseragaman ukuran serabut otot dan jaringan ikat sehingga distribusinya merata dan yang terbentuk lebih stabil.

Surimi

Surimi merupakan produk olahan yang terbuat dari daging ikan lumat yang telah diekstrak dengan air dan diberi bahan anti denaturasi, lalu

(27)

dibekukan. Biasanya surimi digunakan sebagai bahan baku pembuatan kamaboko, sosis, dan ham ikan (Suzuki, 1981).

Muchtadi (1988) menyatakan, ada dua tipe yang biasa dibuat, yaitu surimi yang dibuat tanpa penambahan garam (mu-en surimi) dan surimi yang dibuat dengan penambahan garam (ka-en surimi).

Dalam pembuatan surimi, ada empat prinsip tahapan dalam proses yang dilakukan, yaitu pencucian daging ikan, penggilingan, pengemasan dan pembekuan. Pencucian daging ikan dilakukan tiga sampai lima kali. Biasanya air pencuci terakhir mengandung NaCl sebanyak 0.01 sampai 0.3 persen untuk memudahkan pembuangan air, karena umumnya pencucian yang berulang- ulang akan meningkatkan sifat hidrofilik daging ikan (Suzuki, 1981). Banyaknya air yang digunakan biasanya berkisar antara lima sampai sepuluh kali dari berat ikan (Fardiaz, 1985).

Menurut Suzuki (1981), air yang digunakan untuk pencucian adalah air dingin dengan suhu 5 – 100C. Pencucian dengan air kran (suhu kamar) dapat merusak tekstur dan mempercepat degradasi lemak, sedangkan pencucian dengan air laut dapat meningkatkan kehilangan protein (Grantham, 1981).

Penambahan sukrosa dan sorbitol sudah dapat mencegah terjadinya denaturasi protein. Pemberian polifosfat dapat berfungsi mengurangi drip, mengurangi penyusutan pemasakan, dan menstabilkan emulsi. Menurut Suzuki (1981), untuk membuat ka-en surimi komposisi krioprotektan yang digunakan sebesar 5 persen sukrosa, 5 persen sorbitol, dan 2.5 persen garam.

Sosis

Sosis atau “sausage” berasal dari bahasa latin “salsus” yang berarti digarami atau secara harfiah adalah daging yang disiapkan melalui penggaraman (Kramlich, 1971). Menurut Price dan Schweigert (1987) sosis merupakan makanan yang terbuat dari daging yang dihaluskan, digiling, dibumbui lalu dibungkus dengan casing berbentuk simetris dan mempunyai rasa yang khas. Pada umumnya sosis dibuat dari daging sapi, daging ayam

(28)

dan daging babi. Ketiga jenis bahan mentah ini mendominasi pasaran sosis di Indonesia (Haq et al. 1994).

Schmidt (1988) menyatakan bahwa di Jerman dan banyak negara lainnya, dikembangkan suatu sistem pengklasifikasian sosis didasarkan pada perlakuan temperatur dari bahan baku dan produk akhir ada tiga jenis sosis: raw sausage /rohwurst (sosis tanpa perlakuan pemasakan), bruhwurst (dimasak setelah diformulasi) dan koehwurst (dimasak sebelum diformulasi).

Soeparno (1992) membagi sosis menjadi beberapa jenis, sosis segar dibuat dari daging segar, tidak dikuring (tidak dilakukan penggaraman), dicacah, dilumatkan atau digiling, diberi garam dan bumbu-bumbu, dimasukkan dan dipadatkan di dalam selongsong serta harus dimasak sebelum dimakan. Sosis masak dibuat dari daging segar, bisa dikuring atau tidak, dimasukkan dan dipadatkan dalam selongsong, tidak diasap dan setelah dibuat harus segera dimakan. Sosis spesialis daging masak adalah produk daging khusus yang dikuring atau tidak dikuring, dimasak dan jarang diasap, sering dibuat dalam bentuk batangan atau daging loaf serta biasa dijual dalam bentuk irisan-irisan yang dipak atau dibungkus yang dapat dikonsumsi dalam keadaan dingin. Sosis kering dan agak kering dibuat dari daging yang dikuring dan dikeringkan udara, dapat diasap sebelum pengeringan serta dapat dikonsumsi dalam keadaan dingin atau setelah masak.

Taylor (2002) menyatakan bahwa sosis ikan dibuat menyerupai pembuatan sosis yang terbuat dari daging. Pada dasarnya pencampuran daging ikan ,yang didapat dari lembaran fillet ikan, ditambahkan bumbu dan bahan-bahan aditif ke dalam casingnya.

Bahan-bahan penyusun sosis ikan

Bahan baku sosis terdiri dari daging ikan patin, es batu, garam, lemak, bahan pengikat (isolat protein kedelai), bahan pengisi (tepung tapioka), bumbu-bumbu, nitrit, dan selongsong (casing).

(29)

Daging ikan patin

Bahan baku dalam pembuatan sosis adalah daging ikan yang telah dipisahkan atau dibersihkan dari kepala, kotoran, sirip, tulang, serta dilakukan pencucian. Daging ikan yang digunakan biasanya berbentuk lempengan atau lembaran yang biasa disebut fillet, daging lumat, dan surimi.

Daging ikan adalah bahan komponen utama dalam pembuatan sosis, sehingga peranannya akan sangat menentukan produk sosis yang dihasilkan. Protein daging ikan yang larut dalam larutan garam lebih berperan pembentukan emulsi dibandingkan dengan protein larut dalam air murni.

Es batu

Air merupakan salah satu komponen dalam pembuatan sosis, dengan kandungan diperkirakan 45 – 55% dari berat total, tergantung jumlah cairan yang ditambahkan dan macam daging (Soeparno, 1994). Penambahan air pada produk berfungsi 1) untuk meningkatkan keempukan dan jus daging, 2) menggantikan sebagian air yang hilang selama proses seperti pemanasan, 3) melarutkan protein yang mudah larut dalam air, 4) membentuk larutan garam yang diperlukan untuk melarutkan protein yang larut dalam larutan garam, 5) melayani fase kontinyu dari emulsi daging, 6) menjaga temperatur selama proses penggilingan. Air biasanya ditambahkan ke dalam adonan sosis dalam bentuk serpihan es atau air es untuk membentuk adonan yang baik dan mempertahankan selama proses penggilingan (Forrest et al., 1975).

Garam

Garam merupakan faktor kritis yang harus diperhatikan, tanpa penambahan garam tidak akan terbentuk emulsi sosis dan biasanya sosis mengandung garam 1- 5% atau 3 % (Kramlich, 1971). Garam dalam pembuatan sosis mempunyai fungsi 1) mengektraksi protein myofibril dari serabut daging selama penggilingan, 2) membentuk tekstur produk, 3) memberi cita rasa asin pada produk dan 4) sebagai antimikroba (Nakai dan Modler, 2000). Menurut Romans et al. (1994), garam berfungsi unt uk

(30)

memberikan flavor, mengawetkan dan terutama untuk melarutkan protein myosin sebagai emulsifier utama dan mempertinggi daya ikat air partikel .

Nitrit

Fungsi utama nitrit dalam pembuatan sosis adalah untuk memperbaiki warna daging. Perbaikan warna daging dicapai ketika pigmen otot (myoglobin) berikatan dengan natrium oksida (NO) yang berasal dari nitrit membentuk NO-myoglobin, sehingga terbentuk warna daging yang khas. Reaksinya dipengaruhi oleh temperatur. Selain itu nitrit berfungsi pula sebagai penambah cita rasa, mencegah pertumbuhan bakteri dan sebagai anti oksidan. Untuk sosis masak dianjurkan penggunaanya sebanyak 3 – 50 ppm (Ockerman, 1983). Dirjen POM Depkes mensyaratkan penambahan nitrit dalam bahan makanan maksimum sebanyak 170 ppm dan nitrit tersisa pada produk akhir adalah 200 ppm (Winarno, 1997).

Lemak

Penambahan lemak dalam pembuatan sosis bertujuan untuk membentuk sosis yang kompak, empuk dan kelezatan sosis, lemak hewani ataupun minyak nabati dapat ditambahkan dalam pembuatan sosis. Perbedaan utama minyak nabati dan lemak hewani adalah pada kandungan sterolnya, dimana minyak nabati mengandung sitosterol, sedangkan lemak hewani mengandung kolesterol. Minyak nabati lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh (oleat, linoleat) daripada lemak hewani (Ketaren, 1986).

Jumlah penambahan lemak dalam pembuatan sosis dibatasi untuk mempertahankan tekstur selama pengolahan dan penanganannya, lemak yang ditambahkan tidak boleh lebih dari 30% bobot daging (Romans et al. 1994). Dari hasil penelitian uji organoleptik Hapsari (2002), ternyata penggunaan kadar minyak nabati (10%, 15%, 20%) pada sosis ikan patin berpengaruh nyata terhadap warna dan rasa sosis tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap tekstur dan aroma. Sosis patin terbaik menurut penilaian panelis adalah sosis patin dengan kadar minyak 15%.

(31)

Phosphat

Penambahan polyphosphat pada gel ikan mentah bertujuan untuk memperbaiki kekenyalan pada produk akhir. Konsentrasi polyphosphat sebesar 0.2% sampai 0.5% dari berat daging ikan cukup efektif dalam memberikan efek terhadap tekstur sosis ikan (Amano, 1965). Polyphosphat, jika ditambahkan pada produk sosis akan meningkatkan daya ikat air dan daya ikat lemak dari gel yang terbentuk (Schmidt, 1988)

Bahan pengikat (isolat protein kedelai) dan bahan pengisi (tepung tapioka) Maksud penambahan bahan pengikat dan bahan pengisi dalam pembuatan sosis menurut Kramlich (1971) dan Forrest et al. (1975) adalah 1) untuk meningkatkan stabilitas emulsi, 2) Meningkatkan daya ikat air, 3) meningkatkan flavor, 4) mengurangi pengerutan selama pemasakan, 5) meningkatkan karakteristik irisan produk dan, 6) mengurangi biaya produksi.

Bahan pengikat dan bahan pengisi dibedakan berdasarkan kandungan protein dan karbohidrat yang dikandungnya. Bahan pengikat mengandung protein yang lebih tinggi, dapat meningkatkan emulsifikasi lemak dibandingkan dengan bahan pengisi, dan bahan pengisi umumnya terdiri dari karbohidrat saja serta mempunyai pengaruh kecil terhadap emulsifikasi. Pada produk komersial, penambahan bahan pengikat dan bahan pengisi tidak boleh lebih dari 3,5% bobot emulsi sesuai dengan standar oleh Meat Inspection Division of The USDA (Kramlich, 1971).

Selanjutnya Kramlich (1971) menambahkan bahan pengikat dapat diklasifikasikan menurut asalnya yaitu dari hewan serta tumbuhan. Produk-produk susu seperti susu bubuk tanpa lemak, susu bubuk tanpa lemak tapi kalsiumnya dikurangi, sodium caseinat, tepung darah, berasal dari hewan. Tepung Kedelai dan tepung isolat protein kedelai berasal dari tumbuh-tumbuhan.

Isolat protein kedelai merupakan fraksi protein utama dari kedelai. Salah satu penggunaan isolat protein kedelai adalah pada produk emulsi daging. Kegunaannya sebagai komplemen protein daging tidak hanya

(32)

karena kemampuannya sebagai pengikat dan penstabil adonan, tetapi juga karena flavor dan kandungan gizinya (Wilcke, 1979). Dari hasil penelitian Rompis (1998) diketahui bahwa perlakuan kombinasi isolat protein kedelai dan susu skim menghasilkan sosis sapi yang secara umum diterima konsumen, didukung oleh sifat fisik dan kimia.

Sedangkan bahan pengisi pada dasarnya ditambahkan dalam pembuatan sosis terdiri dari tepung-tepungan yang mempunyai kandungan pati tinggi, namun rendah protein. Walaupun demikian bahan pengisi tersebut mempunyai kemampuan mengikat sejumlah besar air tetapi rendah kapasitas emulsifikasinya . Maksimum penambahan bahan pengisi dalam pembuatan sosis 3.5% dari berat produk akhir dan bila melebihi dari batas harus mencantumkan kata imitasi pada label (Forrest et al., 1975).

Tepung tapioka adalah tepung yang diperoleh dari ubi kayu atau singkong segar, setelah melalui beberapa proses seperti pemarutan, pengendapan tepung dan pengeringan. Selain itu dimungkinkan digunakan dalam industri makanan karena memiliki daya penahan air yang tinggi dan tidak mengganggu citarasa makanan. Tapioka sering digunakan dalam pembuatan sosis karena disamping harganya yang murah juga memberikan citarasa netral serta warna terang pada produk sosis (Redley, 1976).

Bumbu-bumbu

Menurut Rust (1987), bumbu adalah suatu substansi tumbuhan aromatik yang dikeringkan. Tumbuhan aromatik yang dikeringkan diaplikasikan pada semua produk tanaman kering termasuk bumbu asli, herba, biji-bijian aromatik dan buah-buahan yang dikeringkan. Bumbu asli seperti jahe, biji pala, lada, bawang putih dan lain- lain digunakan dalam bentuk bubuk.

Bumbu-bumbu yang ditambahkan dalam adonan sosis adalah pala, merica, bawang putih dan jahe. Bumbu-bumbu dan bahan penyedap ditambahkan untuk meningkatkan flavor. Beberapa bumbu bersifat antioksidan sehingga dapat menghambat terjadinya ketengikan (Soeparno, 1994).

(33)

Selongsong (casing)

Selongsong sosis (casing) dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu selongsong sosis alami dan selongsong sosis buatan (sintetik). Fungsi utama dari selongsong sosis yaitu disamping untuk membentuk produk dan menjaga stabilitas produk juga berfungsi sebagai pelindung dari kerusakan secara fisik maupun kimiawi seperti kekeringan, mikrobiologis dan oksidasi. Disamping itu selongsong sosis juga mempunyai fungsi keindahan atau seni, baik dari segi warna, bentuk, ukuran, dan lain- lain yang berfungsi sebagai media reklame (Soeparno, 1994).

Sedangkan Kramlich (1971) dan Bacus (1984) menyatakan, selongsong buatan terdiri dari empat kelompok yaitu 1) sellulosa, 2) kolagen yang dapat dimakan, 3) kolagen yang tidak dapat dimakan, 4) plastik. Selongsong buatan mempunyai kekuatan yang lebih besar daripada selongsong alami.

(34)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pilot Plant, Laboratorium Gizi Masyarakat (Pusat Studi Pangan dan Gizi), Bagian Kimia dan Biokimia Pangan, Bagian Mikrobiologi pangan, dan Bagian Rekayasa Proses Pangan (Departemen Teknologi Pangan dan Gizi). Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April 2005 sampai dengan Nopember 2005.

Bahan

Bahan ikan patin yang digunakan diperoleh dari Superindo Plaza Jembatan Merah Bogor yang diangkut dalam keadaan hidup menggunakan kantong plastik. Selain itu sebagai bahan untuk pembuatan formulasi digunakan bahan seperti lemak (minyak nabati), bumbu-bumbu (bawang putih, merica, jahe dan gula), es batu, isolat protein kedele, garam dan selongsong sosis atau casing.

Peralatan

Alat yang digunakan di dalam penelitian ini adalah alat penggiling daging (grinder), pencacah daging (cutter), stuffer, filler, freezer (case

freezer), cooker, timbangan.

Proses Pembuatan Sosis

Pembuatan sosis ikan patin meliputi: penyiangan, pencucian, filleting, penggilingan, pengadonan bersama bahan pengisi dan bumbu-bumbu, pemasukan ke dalam selongsong, perebusan, pendinginan (Gambar 4).

(35)

Dalam proses pembuatan sosis, ikan yang digunakan terlebih dahulu disiangi kepala, ekor, sirip, jeroan, dan kulit. Selanjutnya ikan difillet dan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian bahan baku pertama dibiarkan dalam bentuk fillet, bagian kedua dihaluskan dengan grinder menjadi daging

lumat, bagian ketiga diolah menjadi surimi lalu disimpan dalam freezer

suhu -180C. Proses pembuatan bahan baku dapat dilihat pada Gambar 5. Masing- masing bahan baku disimpan pada suhu beku terlebih dahulu sebanyak 0.5 kg/kemasan dengan kemasan plastik jenis Polypropilene dengan ketebalan 0.8 mm yang kemudian dilakukan pemakuman. Bahan baku yang telah dikemas tersebut langsung dimasukkan ke dalam freezer selama 0, 20, 40 dan 60 hari. Penyimpanan beku yang dilakukan adalah tipe pembekuan lambat.

Sebelum dibuat sosis, masing- masing jenis bahan baku dilelehkan (thawing) dengan cara menyimpannya dalam lemari es bersuhu 50C selama semalam. Selanjutnya bahan baku (kecuali fillet terlebih dahulu dilakukan penggilingan) dimasukkan ke dalam cutter untuk pengadukan lalu ditambahkan garam poekel sebanyak 2% dan es batu 10% kemudian ditambahkan isolat protein kedelai 3% dan minyak nabati 15%. Selanjutnya pemberian bumbu 2% dan terakhir tepung tapioka 6%, untuk mempertahankan suhu tetap rendah selama pengadonan dilakukan pemberian es batu masing- masing 5% secara bersama dengan bumbu dan tepung tapioka.

Pasta daging ikan yang terbentuk dimasukkan ke dalam casing dengan menggunakan stuffer. Selanjutnya sosis diikat sepanjang 10 cm dan dimasak selama 15 menit pada suhu 800C tanpa pengasapan.

(36)

Gambar 4 Proses pembuatan sosis ikan patin

Penyiangan dan Pencucian (Kepala, ekor, sirip, kulit dan jeroan dibuang, kemudian dicuci)

Bahan baku Fillet, daging lumat & surimi

dikemas plastik jenis PP 0.8 mm & dilakukan pemakuman.

Pengadonan I, T -4 s/d 4 0C, 10 menit (ditambah es 10%, garam poekel, isolate protein,

minyak nabati)

Pengadonan II, T 8 0C, 5 menit (ditambah es 5%, dan bumbu)

Pengadonan III, T 12 0C, 5 menit (bahan pengisi dan ditambah es 5%)

Casing

Direbus 800C selama 15 menit

Sosis dikemas

Penyimpanan dingin suhu -5oC, 5oC, dan 10oC selama: 0, 1, 2, 3, dan 4 minggu Ikan patin

disimpan pada freezer suhu -180C selama: 0, 20, 40 dan 60 hari Thawing

selama satu malam

(37)

Gambar 5 Proses pembuatan bahan baku

Penyiangan

Kepala, ekor, sirip, kulit dan jeroan dibuang

Pemiletan

Pencucian dengan air dingin (100C), dua kali

Pencucian dengan air dingin (100C) ditambah garam 0.3 %, satu kali

Penyaringan / Penirisan air

Pengadukan

Pengemasan dalam kemasan plastik vakum

Penyimpanan pada suhu -180C Ikan patin

Penggilingan dengan menggunakan penggiling daging

• Sukrosa 4% • Sorbitol 4% • Polifosfat 0.2% Fillet Surimi D.lumat

(38)

Formulasi sosis ikan patin yang merupakan modifikasi dari penelitian Rompis (1998), yaitu:

Tabel 6 Formulasi pembuatan sosis

NO BAHAN JUMLAH (g) Persentase 1 Daging ikan/surimi 1000 52 2 Es 200 20 3 Garam poekel 30 2 4 Bumbu 30 2 5 Minyak nabati 150 15 6 Isolat Protein 30 3 7 Tepung tapioka 60 6 8 STTP 0.3 *Sumber : Rompis (1998). Tahapan Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu

(1) Tahap pertama, pengamatan hubungan lama penyimpanan beku dan jenis bahan baku terhadap perubahan mutu bahan baku daging ikan patin. Perlakuan meliputi, A) Lama penyimpanan beku -180C : 0 hari, 20 hari, 40 hari, dan 60 hari; B) Bentuk pra-olahan : fillet, lumat, dan surimi. Perlakuan diulang sebanyak 2 ulangan.

(2) Tahap kedua, pengamatan pengaruh penggunaan bahan baku (tahap pertama) terhadap sifat fisik dan penerimaan konsumen terhadap sosis yang dihasilkan.

(3) Tahap ketiga, pengamatan pengaruh berbagai suhu penyimpanan terhadap mutu sosis patin, dengan tiga perlakuan yaitu suhu -5oC, 5oC, dan 10oC. Pada tahap ini sosis ikan patin yang digunakan adalah hasil terbaik dari uji organoleptik penelitian tahap kedua.

(39)

Pengamatan

Pengamatan parameter yang dilakukan pada tahap pertama (mutu bahan baku) meliputi:

• Total protein terlarut;

• Water Holding Capacity; dan

• pH.

Pada penelitian tahap kedua (sosis) :

• Cooking loss;

• Kekerasan;

• Kekenyalan;dan

• Organoleptik (penampakan irisan, kekerasan, kekenyalan, aroma, juiciness, rasa, dan penerimaan umum).

Pengamatan tahap ketiga (sosis) meliputi:

• Total Plate Count;

• Total Volatile Bases;

• pH;

• Sineresis; dan

• Proksimat (kadar air, lemak, protein, karbohidrat, dan abu).

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian tahap pertama dan tahap kedua adalah RAL (Rancangan Acak Lengkap) faktorial. Model Linear percobaannya (Hanafiah, 2004) adalah:

Yijk =

µ

+

a

i +

ßj

+ (

)ij +

eijk

Dimana :

Yijk = Respon percobaan karena pengaruh perlakuan faktor A (lama

penyimpanan beku) taraf ke- i, faktor B (bentuk pra-olahan) taraf ke-j pada ulangan ke-k

µ

= Pengaruh rata-rata

a

i = Pengaruh faktor A (lama penyimpanan beku) taraf ke- i

(40)

ßj

= Pengaruh faktor B (bentuk pra-olahan) taraf ke-j (1,2,3) (

)ij = Pengaruh interaksi faktor A (lama penyimpanan beku) taraf

ke-i dan pengaruh faktor B (bentuk pra-olahan) taraf ke-j

eijk

= Pengaruh galat pada ulangan ke-k pengaruh Ai , Bj dan (AB)ij

Sedangkan rancangan percobaan untuk tahap ketiga adalah RAL tunggal dengan tiga perlakuan dan dua ulangan. Model Linear percobaannya (Hanafiah, 2004) adalah:

Y =

µ

+

t

+

e

Dimana :

Y = Respon percobaan karena pengaruh perlakuan (berbagai suhu

penyimpanan) µ = Pengaruh rata-rata

t

= Pengaruh faktor perlakuan (berbagai suhu penyimpanan)

e

= Pengaruh galat

Metode Analisis I. Analisis sifat fisik.

Daya mengikat air / water holding capacity (Hamm, 1972)

Dengan menggunakan metode pengepresan dari Hamm (1972) yaitu dengan menggunakan alat carver press yang membebani 0,3 gram sample daging pada suatu kertas saring (filter) diantara dua plat dengan beban tekan sebesar 35 kg setiap cm selama 5 menit, daerah yang tertutup sample daging telah menjadi rata dan luas daerah sekitarnya ditandai dan diukur. Daerah basah diperoleh dengan mengurangkan daerah yang tertutup daging dari total (basah + daging) dan luas daerah yang tertutup daging dengan menggunakan planimeter, sedangkan kertas saring (filter) yang digunakan adalah Whatman-1 No. 40. Bobot air bebas (air daging yang terlepas karena proses penekanan) dihitung dengan rumus sebagai berikut:

(41)

Luas lingkaran air bebas =Luas lingkaran luar – luas lingkaran dalam

Tekstur (Texture Analyzer)

Pengukuran kekerasan dan kekenyalan obyektif

Pengukuran tekstur meliputi kekerasan dan kekenyalan dengan menggunakan Texture Analyzer TA-XT2i (Rosenthal, 1999). Untuk pengukuran kekerasan sampel diletakkan di bawah probe yang berbentuk pisau dengan kecepatan 1 mm/detik dan jarak 30 mm. Sedangkan untuk pengukuran kekenyalan probe yang digunakan berbentuk tumpul, sampel ditekan sebanyak 25% selama 60 detik. Beban maksimum yang digunakan adalah 25 kg. Pengaturan Texture Analyzer TA-XT2i adalah sebagai berikut:

TA setting Kekerasan Kekenyalan Pre test speed 1.5 mm/s 1 mm/s Test speed 1.5 mm/s 1 mm/s Post test speed 10 mm/s 10 mm/s Rupture test dist 1 mm 1 %

Distance 30 mm 25 %

Force 100 gr 100 gr

Time 5 sec 60 sec

Susut masak (Cooking loss)

Pengukuran susut masak dilakukan yaitu masing- masing kombinasi sosis sebelum dimasak ditimbang terlebih dahulu dan setelah matang kombinasi tersebut ditimbang kembali, kehilangan

Jumlah air bebas (mg) = Luas lingkaran air bebas (cm2) – 8.0 0.0948

DMA/WHC = Jumlah air sampel (mg) – Jumlah air bebas (mg) Jumlah air sampel (mg)

Jumlah air sampel (mg) = % kadar air (bb) x berat sampel = ... gr x 1000

(42)

yang terjadi menunjukan banyaknya air dan lemak yang hilang selama pemasakan.

Dimana :

a = Bobot contoh sebelum dimasak (gram) b = Bobot contoh sesudah dimasak (gram)

Sineresis

Pengukuran sineresis dilakukan pada sosis yang disimpan, dengan cara menimbang berat sosis sebelum disimpan dan setelah penyimpanan yang telah ditentukan sosis ditimbang kembali. Selisih penimbangan menunjukan jumlah air yang keluar dari produk selama penyimpanan.

.

Dimana :

a = Bobot contoh sebelum disimpan (gram) b = Bobot contoh sesudah disimpan (gram)

II. Analisis kimia

Analisis proksimat (AOAC, 1984)

a. Kadar air

Sampel sosis seberat 3 gr dimasukkan ke dalam cawan logam yang telah diketahui beratnya. Kemudian cawan berisi sample dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105o C selama 4 – 6 jam hingga berat cawan dan sample konstan. Setelah itu dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang beratnya, lalu dihitung persentase kadar air sample.

Kadar air dihitung sebagai berik ut : Susut masak = a - b x 100 % a Sineresis = a b a− x 100%

(43)

b. Kadar Abu

Sampel sosis seberat 5 gram dimasukkan ke dalam cawan

porselin (slica disc) yang telah diketahui beratnya (a) , kemudian dimasukkan ke dalam tanur listrik dengan temperature 400 – 600o C selama 24 jam. Setelah itu dikeluarkan dari tanur dan dimasukkan ke dalam desikator untuk didinginkan, lalu ditimbang (b)

Selanjutnya kadar abu dapat dihitung dengan rumus :

c. Kadar lemak

Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam selongsong pengekstrak, kemudian dimasukkan ke dalam labu soxhlet dan diekstraksi dengan menggunakan petroleum eter selama 6 jam. Minyak atau lemak yang tertampung dalam labu. Kemudian labu tersebut dipanaskan di dalam oven 105o C selama 1 jam dan ditimbang. Persentase kadar lemak dihitung dengan rumus berikut :

d. Kadar protein

Pengukuran kadar protein dilakukan dengan menggunakan metode mikro-Kjeldahl dengan cara kerja yaitu, sample yang digunakan sebanyak 0.2 gram dimasukkan kedalam labu Kjeldahl 100 ml lalu ditambahkan 2 gr K2SO4, 40 mg HgO dan 2.5 ml H2SO4.

Selama 30 menit dilakukan destruksi sampai diperoleh cairan hijau Bobot sampel awal – Bobot sampel akhir

Kadar air (%) = --- x 100 % Bobot sampel awal

Bobot sampel setelah diabukan

Kadar abu (%) = --- x 100 % Bobot sampel awal

Bobot labu akhir – Bobot labu awal

Kadar lemak (%) = --- x 100 % Bobot sample

(44)

jernih. Di destilasi setelah dingin ditambahkan air destilata sebanyak 35 ml dan NaOH pekat sebanyak 10 ml sampai berwarna coklat kehitaman lalu ditampung ke dalam Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml H3PO3, kemudian dititrasi dengan HC l 0.02 N menggunakan

indikator. Untuk larutan blanko dilakukan dengan cara yang sama tetapi tanpa menggunakan sample.

Kadar Nitrogen dihitung dengan rumus :

Selanjutnya kadar protein dihitung sebagai berikut :

e. Kadar karbohidrat

Untuk menentukan kadar karbohirat dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Analisa total protein terlarut

Sampel daging giling halus seberat 10 g ditambahkan 30 ml larutan NaCl 2% (berdasarkan berat total) lalu disimpan pada temperatur 40C selama satu malam, setelah itu disentrifugasi lalu disaring dan filtrat yang diperoleh diambil untuk diukur total nitrogen yang larut dengan menggunakan metode Kjedahl. Hasil yang diperoleh dinyatakan sebagai total protein terlarut.

Derajat keasaman (pH)

pH sosis diukur dengan menggunakan sample seberat 25 gram ditambahkan 50 ml air destilata kemudian diblender sampai homogen,

(HCl – blanko) x N HCL x 14.007

Nitrogen (%) = --- x 100 % mg sample

Kadar protein (%) = 6.25 x % Nitrogen

Kadar karbohidrat (%) = 100% - % air - % lemak - % protein - % abu

(45)

suspensi dimasukkan kedalam gelas piala dan diukur pH nya dengan menggunakan pH meter.

Analisa total volatile basa (TVB)

Sampel sebanyak 25 gr ditambah 75 ml larutan 7% TCA kemudian diblender selama 1 menit dan disaring dengan kertas saring sehingga filtrat yang diperoleh berwarna jernih. Larutan asam borat 1 ml dimasukkan ke dalam inner chamber cawan conway. Dengan memakai pipet ukuran 1 ml yang lain filtrat dimasukkan ke dalam outer chamber yang berlawanan sehingga kedua macam larutan di dalam out chamber belum tercampur. Ditambah 1 ml larutan K2CO3

jenuh ke dalam outer chamber, setelah itu cawan conway segera ditutup. Untuk blanko filtrat contoh diganti dengan larutan 5% TCA dan dikerjakan seperti prosedur di atas. Kemudian disimpan pada suhu kamar selama semalam. Setelah selesai inkubasi, larutan asam borat dalam inner chamber cawan conway. Blanko dititrasi dengan larutan N/70 HCL, dengan memakai magnetik stirrer hingga berubah menjadi merah muda (pink). Selanjutnya dititrasi berturut-turut larutan asam borat pada cawan conway contoh sampai diperoleh warna merah muda. TVB dihitung sebagai mg N% dengan rumus sebagai berikut:

III. Analisis Mikrobiologi

Analisis TPC (Fardiaz, 1989).

Sampel sebanyak 10 gr disiapkan secara aseptik, lalu ditambah pengencer 90 ml dan dihancurkan dengan stomacher selama 2 menit sehingga diperoleh pengenceran 1 : 10. Kemudian dibuat pengenceran berturut-turut 1:100, 1:1000, 1:10 000, dan 1:100 000. Pada setiap pengenceran dilakukan pengocokan untuk memisahkan sel-sel mikroba yang bergabung menjadi satu. Pemupukan dengan metode tuang

TVB (mg/100 g) = ) ( 100 14 ) ( g sampel berat x x N x blanko ml asam ml

(46)

dilakukan dengan mengamb il sampel hasil pengenceran (1:100 hingga 1:100 000) sebanyak 1 ml dipipet ke dalam setiap cawan petri. Setelah itu ke dalam setiap cawan petri dimasukkan agar cair steril (nutrient agar) sebanyak 12 – 15 ml. Setelah penuangan, cawan petri segera ditutup kemudian cawan digerakkan diatas meja secara hati- hati untuk menyebarkan sel mikroba secara merata, yaitu dengan gerakan melingkar atau gerakan seperti angka delapan. Setelah agar memadat, cawan tersebut diinkubasi ke dalam inkubator dengan posisi terbalik pada suhu 30 -320C selama 2-3 hari. Jumlah koloni yang tumbuh dihitung sebagai Total count pergram contoh.

IV. Uji organoleptik (Soekarto dan Hubeis, 1993)

Uji organoleptik merupakan penilaian terhadap mutu produk berdasarkan panca indera manusia mela lui sensorik. Penilaian dengan indera banyak digunakan untuk penilaian mutu suatu produk terutama produk hasil pertanian dan makanan. Salah satu cara penilaian organoleptik terhadap suatu produk adalah dengan menggunakan uji hedonik. Uji hedonic merupakan penilaian panelis tentang suka atau tidak suka, dapat menerima atau tidak dapat menerima terhadap suatu produk yang sedang diuji. Kriteria yang biasa digunakan dalam penilaian organoleptik terdiri dari penampakan irisan, kekerasan, kekenyalan, aroma, juiciness, rasa, dan penerimaan umum.

Pada penelitian ini sosis ikan patin yang telah siap akan dinilai oleh panelis setengah terlatih sebanyak 30 orang untuk menunjukan tingkat kesukaan terhadap rasa, tekstur (kekenyalan dan kekerasan), aroma, juicines, penampakan irisan, penerimaan umum terhadap sosis. Skala hedonic atau uji kesukaan yang digunakan berkisar antara 1 sampai 5, meliputi: tidak suka, agak tidak suka, biasa/netral, suka, dan sangat suka.

(47)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan Mutu Bahan Baku Selama Penyimpanan

Pengamatan perubahan mutu bahan baku fillet, daging lumat dan surimi selama penyimpanan beku (-18oC) meliputi total protein terlarut, derajat keasaman (pH), dan water holding capasity (WHC). Resume data dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Mutu bahan baku fillet, daging lumat, dan surimi selama penyimpanan beku

Lama Penyimpanan (hari) -180C Parameter Bahan Baku 0 20 40 60 Total protein terlarut (%) Fillet Lumat Surimi 26.13 d 30.39 e 10.84 a 25.23 cd 24.73 cd 10.79 a 22.71 bcd 24.21 cd 9.85 a 22.55 bc 19.92 b 9.40 a pH Fillet Lumat Surimi 6.60 a 6.72 a 7.02 b 6.99 b 7.02 b 7.05 b 7.23 cde 7.25 de 7.09 bc 7.25 de 7.33 e 7.10 bcd WHC (%) Fillet Lumat Surimi 99.50 efg 99.11 cde 99.83 g 99.30 def 99.20 de 99.79 fg 98.85 cd 98.61 c 99.34 defg 97.28 b 96.30 a 99.24 def Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada

masing-masing parameter berarti tidak berbeda nyata

Total Protein Terlarut

Kelarutan protein juga dapat digunakan sebaga i salah satu faktor yang dapat menentukan kualitas produk daging ikan. Berdasarkan sifat kelarutannya dalam air, protein daging ikan dapat dipilah menjadi tiga golongan yaitu sarkoplasma (mudah larut), myofibril (kurang larut), dan jaringan ikat tidak larut (deMan 1997). Suzuki (1981) menambahkan bahwa protein miofibrillar bersifat sedikit larut dalam air pada pH netral tetapi larut dalam larutan garam kuat, protein sarkoplasma mengandung protein yang dapat larut dalam air, disebut miogen.

(48)

Hasil penelitian yang dilakukan terhadap besarnya persentase kelarutan protein berkisar antara 9.40 – 30.39%. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 2) menunjukan interaksi perlakuan jenis bahan baku dan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap persentase total protein terlarut bahan baku. Dengan uji wilayah berganda Duncan menunjukan perlakuan lama penyimpanan 0 hari daging lumat berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (Lampiran 3).

Selama penyimpanan beku semua jenis bahan baku cenderung mengalami penurunanan nilai kelarutan protein (Gambar 6). Hal ini menunjukkan telah terjadi denaturasi protein sejalan dengan lama waktu penyimpanan. deMan (1997) menyatakan bahwa selama penyimpanan beku, aktomiosin akan menjadi kurang larut seiring dengan lama waktu penyimpanan. Hadiwiyoto (1993), menambahkan bahwa pembekuan akan menyebabkan terbentuknya kristal es sehingga terjadi pengurangan air pada jaringan daging dan meningkatkan tegangan ionisasi. Selanjutnya keadaan ini menyebabkan terjadinya interaksi antara protein-protein miofibrilar menjadi protein komplek yang bersifat tidak larut.

0 20 40 60

Lama Penyimpanan (hari) 0 10 20 30 Protein terlarut (%) A A A A ] ] ] ] Z Z Z Z

Gambar 6 Perubahan total protein terlarut bahan baku selama penyimpanan beku.

Bahan baku

? fillet

¦ lumat

(49)

Penelitian ini memperlihatkan bahwa perlakuan bahan baku surimi dengan lama penyimpanan 60 hari menghasilkan persentase kelarutan protein terendah (9.40%), sedangkan yang tertinggi terdapat pada bahan baku daging lumat pada penyimpanan 0 hari (28.90%).

Tingginya kelarutan protein bahan baku daging lumat dikarenakan proses penggilingan yang dilakukan untuk menghaluskan atau melembutkan menyebabkan daging ikan menjadi lebih luas permukaannya sehingga lebih mudah terekstrak. Acton (1972) menyatakan protein daging lebih mudah terekstrak jika daging dalam ukuran kecil.

Rendahnya persentase kelarutan protein surimi dibandingkan bahan baku lainnya, dikarenakan pada proses pembuatan surimi dilakukan pencucian terhadap daging lumat yang berulang- ulang dengan air dingin sehingga menyebabkan sebagian protein juga ikut tercuci. Fardiaz (1985) menyatakan bahwa selama pencucian daging ikan dibersihkan dari darah, pigmen, lemak, lendir dan protein yang larut air. Menurut Muchtadi (1987), sarkoplasma mengandung bermacam- macam protein yang larut dalam air (miogen). Pada pembuatan surimi, protein sarkoplasma harus dihilangkan dulu karena dapat menghambat pembentukan gel. Shimizu & Nishioka (1974) mengatakan, walaupun kandungan gizinya tidak lebih rendah dibandingkan protein miofibril, protein sarkoplasma biasanya akan dibuang pada tahap pencucian surimi. Hal ini disebabkan pada waktu pemanasan, protein ini akan terkoagulasi dan menempel pada protein miofibril. Shimizu et al. (1954), ekstraksi maksimum miosin daging ikan akan meningkatkan kekerasan dan kekenyalan produk.

Derajat Keasaman (pH)

pH dapat digunakan sebagai salah satu parameter dalam menentukan kesegaran daging ikan yang akan digunakan dalam pembuatan produk pangan. Menurut Hadiwiyoto (1993), ikan segar mempunyai pH sekitar 6.8–7. Penurunan dan kenaikan pH banyak dikaitkan dengan keadaan fisiologik daging ikan, komposisi senyawa-senyawa garam yang ada pada daging ikan, dan aktifitas enzim.

Gambar

Gambar 1  Tipe daging merah dalam berbagai jenis ikan;  (A) cod,   (B) mackerel, dan (C) frigate mackerel (Suzuki, 1981)
Gambar 2   Daging ikan dan komponen penyusunnya  (Hadiwiyoto,  1993)
Tabel 1.  Komposisi kimia rata-rata daging ikan
Tabel 2. Penggolongan protein daging ikan berdasarkan kelarutan  N
+7

Referensi

Dokumen terkait

1) Seksi Sarana dan Prasarana Usaha Pertanian;.. 3) Seksi Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Bidang Perikanan, terdiri dari :h. 1) Seksi Bina

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode mana yang lebih menguntungkan antara Economic Value Added dengan Return On Assets terhadap kinerja perusahaan

Layanan pendidikan yang diperoleh penduduk pedesaan belum optimal menjadi wahana bagi peningkatan produktivitasnya karena kurang memperhatikan kondisi internal,

Kesimpulan yang dapat di ambil dari pelaksanaan program KK dampingan selama 5 minggu di lingkungan asri, kelurahan gilimanuk kecamatan melaya kabupaten jembrana, keluarga

Hasil penelitian untuk skripsi Istihanah Rahayu (2013) yang menerapkan media Audio Visual pada mata pelajaran Bahasa Indonesia dapat meningkatkan keterampilan menyimak

The total project cost includes the construction cost (for building and site work), plus amounts for architect's fees, furniture and equipment, communications, contingency,

Dengan komposisi penjualan bijih nikel dan bauksit sekitar sepertiga dari pendapatan Perseroan, manajemen telah mengantisipasi hal ini dengan memiliki rencana yang

Penelitian Peningkatan Hasil Belajar Matematika pada Materi Pecahan dan Operasinya dengan Menggunakan Pendekatan Matematika Realistik (MR) pada Siswa Kelas IV SD Negeri Geneng