• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM MENETAPKAN PENGUASAAN DAN PEMILIKAN LUAS TANAH PERTANIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM MENETAPKAN PENGUASAAN DAN PEMILIKAN LUAS TANAH PERTANIAN"

Copied!
188
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

KEWENANGAN PEMERINTAH

DALAM MENETAPKAN

PENGUASAAN DAN PEMILIKAN

LUAS TANAH PERTANIAN

NI NYOMAN MARIADI NIM 0990561030

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2011

(2)

KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM MENETAPKAN PENGUASAAN DAN PEMILIKAN

LUAS TANAH PERTANIAN

Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum, Porogram Pascasarjana Udayana

NI NYOMAN MARIADI NIM: 0990561030

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2011

(3)

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL, 28 Oktober 20011

Pembimbing I,

Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.,M.Hum. NIP. 19591231 198602 1 007

Pembimbing II ,

Dr. I Nyoman Suyatna, SH., MH.

NIP. 19590923 198601 1 001

Mengetahui

Ketua Program Studi

Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH.MH

NIP. 195604191983031003

Direktur

Program Pascasarjana Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K) NIP. 19590215198510200

(4)

Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal, 28 Oktober 2011

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Nomor: 0035/H14.4/HK/2011

Ketua : Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.Mhum Sekretaris : Dr. I Nyoman Suyatna, SH.MH.

Anggota : 1. Prof. Dr. Drs. Yohanes Usfunan, SH.Mhum 2. Gede Marhaendra Wija Atmaja, SH.MH.

3. I Gede Yusa, SH.MH.

(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Om Swastyastu,

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sanghyang Widhi Wasa), karena berkat karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini, yang berjudul “Kewenangan Pemerintah Dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian“, dan besar harapan penulis semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum khususnya hukum pemerintahan, yang tentunya atas dukungan, petunjuk dan bimbingan dari semua pihak.

Mengingat Tesis ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, yang disebabkan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis, maka penulis sangat berharap kepada para pembimbing agar sudi kiranya memberikan bimbingan kepada penulis dengan penuh kesabaran, sampai tesis ini dapat diterima dan bermanfaat bagi semua pihak Pada kesempatan ini, perkenankan penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. I Made Bakta, Sp.PD (KHOM), selaku Rektor Universitas Udayana, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti studi pada Program Stuti Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana. 2. Ibu Prof. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), selaku direktur Program

Pascasarjana Universitas Udayana, atas kesempatan dan dukungan yang diberikan kepada penulis dalam mengikuti studi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.

(6)

3. Bapak Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH., SU., selaku Ketua Program Studi Maguster Ilmu Hukum Universitas Udayana, atas kesempatan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis dalam mengikuti studi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH., M.Hum., selaku dosen Pembimbing I atas petunjuk, dukungan, dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak Dr. I Nyoman Suyatna, SH., MH., selaku dosen Pembimbing II atas arahan dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

6. Panitia Penguji Tesis, Bapak Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH., M.Hum., selaku Ketua, Bapak Dr. I Nyoman Suyatna, SH., MH., selaku Sekretaris, Bapak Prof. Dr. Yohanes Usfunan, SH., M..Hum., selaku Anggota, Bapak Gede Marhaendra Wija Atmaja, SH., MH., selaku Anggota, dan Bapak I Gede Yusa, SH., MH., selaku Anggota, yang telah meluangkan waktunya untuk menguji dan memberi masukan-masukan dalam penulisan tesis ini. 7. Bapak/Ibu Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas

Udayana yang telah membagi ilmunya kepada penulis selama mengikuti studi.

8. Bapak/Ibu Staf Administrasi pada Program Magister Studi Ilmu Hukum Universitas Udayana, yang dengan dedikasi dan integritasnya yang tinggi melayani penulis selama menempuh pendidikan.

(7)

9. Rekan-rekan kuliah pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, yang telah banyak membantu dalam penyelesaian penulisan tesis ini.

10. Ayahanda I Made Toya, Ibunda Ni Luh Kerni, Mertua, dan saudara-saudara tercinta, atas dukungan moral serta kasih sayangnya, dan atas doanya yang sangat besar.

11. Suami tercinta I Gede Surata, SH, Mkn, dan anak-anak tercinta (Ni Putu Aryanti Kamadeni, S.T., Kadek Vera Aryani, S. Ked., Komang Cristin Maryani, SH, I Gede Arya Wira Yuda, dan I Gede Arya Wira Sena) atas dukungan, bantuan, pengertian dan kasih sayangnya yang sangat membantu dalam penulisan tesis ini.

12. Berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu, baik perorangan maupun kelembagaan, yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kriitik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca yang budiman demi penyempurnaan tesis ini, dan semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Om Santih, Santih, Santih, Om.

Denpasar, 28 September 2011 Penulis

Ni Nyoman Mariadi

(8)

RINGKASAN

Penelitian tesis ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab terdiri dari sub-sub bab yang digunakan untuk memperjelas ruang lingkup dan permasalahan yang diteliti tentang kewenangan pemerintah dalam menetapkan penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian.

Bab I, sebagai bab pendahuluan yang memaparkan latar belakang permasalahan dan alasan melakukan penelitian yang berjudul “Kewenangan Pemerintah Dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian”, yaitu adanya ketentuan peraturan perundang-undangan yang melarang menguasai dan memiliki tanah pertanian melampaui batas maksimum. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UU 56 Prp Tahun 1960, untuk daerah yang digolongkan “daerah cukup padat” tidak diperbolehkan menguasai dan memiliki luas tanah pertanian melebihi batas maksimum 9 Ha untuk tanah kering dan 7 Ha untuk tanah basah, ini berarti boleh menguasai dan memikiki tanah pertanian seminim-minimnya. Namun disisi lain, pada Pasal 8 tidak diperbolehkan memiliki tanah pertanian dibawah batas minimum 2 Ha.

Bab II, menguraikan mengenai tinjauan umum terhadap kewenangan pemerintah di bidang pertanahan.

Bab III, merupakan hasil penelitian dari permasalahan pertama yakni apa dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas maksimum dan/atau batas minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian. Dalam pembahasannya menguraikan tentang penguasaan dan pemilikan hak atas tanah, bagaimana mekanisme pemberian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan, dan dasar hukum kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas maksimum-minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian.

Bab IV, merupakan hasil penelitian dari permasalahan kedua yakni apa konsekwensi yuridis terhadap penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang melampaui batas maksimum dan/atau dibawah batas minimum. Dalam pembahasannya menguraikan tentang pengaturan, tujuan, larangan tentang batas maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian, dan bagaimana konsekwensi yuridis terhadap penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang melampaui batas maksimum dan batas minimum.

Bab V, adalah bagian penutup yang merupakan simpulan dan saran dari pembahasan permasalahan dalam tesis ini. Dari pembahasan permasalahan pertama diperoleh simpulan bahwa dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas maksimum dan minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian adalah UU 56 Prp Tahun 1960 dan PP 224 Tahun 1960 yang merupakan perwujudan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dalam hal ini pemerintah memandang bahwa urusan pertanahan merupakan hukum nasional sehingga tidak dapat

(9)

dilimpahkan kepada pemerintah daerah otonomi berdasarkan Pasal 13 dan 14 UU No. 32 Th. 2004. Konsekwensi yuridis jika melanggar larangan pemilikan batas maksimum dan/atau batas minimum tersebut akan dikenakan sanksi pidana, dan tanah kelebihan dari batas maksimum akan diambil oleh negara menjadi tanah obyek landreform tanpa mendapat ganti kerugian. Demikian juga terhadap peralihan hak melalui pemecahan tanah pertanian yang mengakibatkan luasnya menjadi kurang dari 2 Ha (dibawah batas minimum) maka dinyatakan batal demi hukum dan tanah jatuh pada negara tanpa hak untuk menuntut ganti rugi, kecuali dalam rangka pelaksanaan penatagunaan tanah.

(10)

ABSTRAK

Tesis ini berjudul Kewenangan Pemerintah Dalam Menetapkan Penguasaan

dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian. Permasalahan yang dibahas dari penelitian tesis ini adalah apa dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas maksimum dan/atau batas minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian?, dan apa konsekwensi yuridis terhadap penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang melampaui batas maksimum dan/atau dibawah batas minimum?

Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (penelitian doktrinal) dengan menggunakan bahan penelitian yang terdiri dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder berupa literatur terkait dengan permasalahan yang dibahas, dan bahan hukum tersier berupa kamus bahasa. Meskipun penelitian ini bersifat normatif namun tetap membutuhkan data-data di lapangan (empiris). Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan, dengan metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan historis. Selanjutnya bahan hukum yang dihimpun dianalisis secara deskriptif, interpretasi, evaluatif, sistematisasi, dan argumentatif.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dalam tulisan ini maka dapat ditemukan jawaban permasalahan yang diangkat yakni pertama dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas maksimum dan minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian adalah UU Nomor 5 Tahun 1960, UU 56 Prp Tahun 1960 dan PP 224 Tahun 1960 sebagai perwujudan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan tujuan pemerataan yang adil atas sumber penghidupan. Konsekwensi yuridis jika melanggar larangan pemilikan batas maksimum dan/atau batas minimum tersebut akan dikenakan sanksi pidana dan tanah kelebihan dari batas maksimum akan diambil oleh negara tanpa mendapat ganti kerugian, kecuali dengan izin Kepala Kantor Pertanahan dalam rangka penatagunaan tanah.

Kata Kunci: Kewenangan, Pemilikan, Tanah Pertanian.

(11)

ABSTRACT

This thesis entitled the Authority of Government in Determining the Concession and Ownership of Agriculture Land. The problem discussed in this thesis is on what basis the government’s authority in setting a maximum limit or minimum control and ownership of agricultural land, and what juridical consequences emerges on the acquisition and ownership of agricultural land that exceeds the maximum limit or below the minimum limit.

This study applied normative law research method or doctrinal study using research material that consist of primary legal material in the form of legislation, secondary legal materials in the form of literature related to the subject matter, and legal materials in the form of tertiary language dictionary. Although the research is normative, it still needs the empirical data. This study is used a literature study, the method of approach to legislation, conceptual approaches, and historical approach. Further, the legal materials collected were analyzed in descriptive, interpretative, evaluative, systematic, and argumentative ways.

Based on the result of the research conducted in this study, the answer of the problem raised can be found; first the basic authority of the government in setting maximum and minimum control and ownership of agricultural land is Law No. 5 of 1960, Act 56 Substitute Government Regulation Year 1960 and Government Regulation Number 224 of 1960 as manifestation of Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution with the goal of equitable distribution of livelihood. Juridical consequence, if it violates the ban on the ownership limit and/or minimum limits will be subject to criminal sanctions and the excess of the maximum limit of land will be taken by the state without getting compensation, except in the context of stewardship land by the permission from the Head of Land Affairs Office.

Keywords: Authority, Ownership, Agricultural Land

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM ... i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... v

UCAPAN TERIMAKASIH ... vi

RINGKASAN ... viii

ABSTRAK ... x

ABSRTACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang masalah ... 1

1.2. Rumusan masalah ... 11 1.3. Tujuan Penelitian ... 11 a. Tujuan Umum ... 12 b. Tujuan Khusus ... 12 1.4. Manfaat Penelitian ... 12 a. Manfaat Teoritis ... 12 b. Manfaat Praktis ... 12 1.5. Landasan Teoritis ... 13 xii

(13)

1.5.1. Konsep Negara Hukum ... 13

1.5.2. Teori Kewenangan ... 22

1.5.3. Teori Keadilan ... 28

1.5.4. Konsep Hukum Tanah Nasional ... 33

1.5.5. Asas Hukum Tanah Nasional ... 35

1.6. Metode Penelitian ... 38

1. 6.1. Jenis Penelitian ... 38

1. 6.2. Jenis ... 40

1. 6.3. Sumber Bahan Hukum ... 42

1. 6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 43

1. 6.5. Teknik Analisa Bahan ... 44

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEWENANGAN PEMERINTAH DI BIDANG PERTANAHAN ... 47

2.1. Kewenangan Urusan Pemerintah di Bidang Pertanahan ... 47

2.2. Sumber Wewenang Badan Pertanahan Nasional (BPN) ... 61

BAB III DASAR HUKUM KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM MENETAPKAN PENGUASAAN DAN PEMILIKAN LUAS TANAH PERTANIAN ... 75

3.1. Pengertian Tentang Penguasaan dan Pemilikan Hak Atas Tanah ... 75

3.2. Mekanisme Pemberian Kewenangan Pemerintah Di Bidang Pertanahan ... 82

(14)

3.3. Dasar Hukum Kewenangan Pemerintah Dalam Menetapkan Batas Maksimum dan Batas Minimum Penguasaan dan

Pemilikan Luas Tanah Pertanian ... 100

BAB IV KONSEKWENSI YURIDIS TERHADAP PENGUASAAN DAN PEMILIKAN LUAS TANAH PERTANIAN YANG MELAMPAUI BATAS MAKSIMUM DAN DIBAWAH MINIMUM ... 121

4.1. Pengaturan Tentang Penetapan Batas Maksimum dan Batas Minimum Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian ... 121

4.2. Tujuan Penetapan Batas Maksimum dan Batas Minimum Penguasaan dan Pemilikan Tanah Pertanian ... 127

4.3. Larangan Menguasai Tanah Pertanian Melampaui Batas Maksimum dan/atau Batas Minimum ... 133

4.4. Konsekwensi Yuridis Terhadap Penguasaan dan Pemilikan Tanah Pertanian Melampaui Batas Maksimum dan Batas Minimum ... 144

BAB V PENUTUP ... 162 5.1. Simpulan ... 162 5.2. Saran ... 163 DAFTAR PUSTAKA ... 165 LAMPIRAN xiv

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1. UU No. 5 Prp Th. 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

2. PP. No. 224 Th. 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.

3. Kepres. No. 34 Th. 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.

4. Perpres. No. 10 Th. 2004 tentang Badan Pertanahan Nasional.

5. Surat Pernyataan Pemecahan Tanah Pertanian, rencana penggunaan tanah: pertanian.

6. Surat Pernyataan Pemecahan Tanah Pertanian, rencana penggunaan tanah perumahan.

7. Surat Pernyataan Tidak Menjadi Pemegang Hak Atas Tanah Melebihi Ketentuan Batas Maksimum dan Batas Minimum Penguasaan dan Pemilikan Tanah Pertanian.

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat terpisahkan dengan kehidupan manusia. Karena bagi manusia, tanah merupakan tempat untuk hidup dan sumber kehidupan. Tanah sebagai tempat berusaha merupakan faktor yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia, dalam melakukan aktivitas apapun manusia tidak bisa lepas dari tanah.

Dalam negara agraris seperti ini sebagian besar penduduknya mempunyai penghidupan atau bermatapencaharian dalam lapangan pertanian, sehingga tanah sangat berarti bagi sumber penghidupan manusia, baik sebagai tempat tinggal maupun untuk pertanian, dan sebagai tempat peristirahatan terakhir. Tanah merupakan hajat hidup orang banyak, merupakan sumber daya alam, dan kekayaan alam yang tiada bandingannya, sehingga wajib dipelihara untuk mencegah terjadinya kerusakan tanah agar lebih berdaya guna dan berhasil guna bagi kesejahteraan masyarakat.

Kemajuan pesat yang telah dicapai Bangsa Indonesia dalam bidang industri, jasa dan properti tidak sebanding dengan perkembangan dalam sektor pertanian. Salah satu penyebabnya adalah karena tanah pertanian (lahan pertanian) yang menjadi tempat gantungan hidup dan sumber penghidupan petani sebagian besar dikonversi menjadi lahan industri dan lahan perumahan yang praktis membutuhkan ketersediaan tanah yang tidak sedikit. Disamping itu masih banyak

(17)

terdapatnya kepemilikan tanah yang tidak proporsional karena sebagian besar tanah-tanah pertanian dimiliki oleh penguasa absentee yang berdomisili di kota-kota atau di tempat lain jauh dari tanah miliknya dengan cara mengupayakan multi identitas, tidak saja pemilikan tanah pertanian di luar kecamatan tetapi juga adanya pemilikan di luar kabupaten, sehingga banyak pemilik tanah yang tidak mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif tanah pertanian miliknya. Keadaan-keadaan seperti itu tidak hanya berdampak pada pemilikan tanah pertanian yang berlebih-lebihan sehingga mempersempit luas areal tanah pertanian rakyat petani, tetapi yang lebih serius lagi, yaitu antara lain dapat mendorong naiknya intensitas perpencaran tanah, mengkutubnya peralihan tanah, dan pemecahan tanah menjadi bagian yang kecil-kecil yang tidak teratur ukurannya atau luasnya, jelas keadaan ini tidak dapat mendukung dan tidak melengkapi usaha-usaha kearah yang lebih baik. Hal ini akan semakin mematikan fungsi sosial dari pada tanah, yang dapat menimbulkan konflik-konflik yuridis pertanahan dan bahkan bisa melebar pada aspek ekonomi politik. Keadaan yang mematikan fungsi sosial tanah, telah tercermin jauh sebelum dan setelah kemerdekaan.

Pada jaman penjajahan Belanda, penguasaan tanah sangat tidak mencerminkan keadilan dan pemerataan. Hal ini terbukti pada jaman itu dikenal adanya tanah-tanah partikelir atau tanah pertuanan (hak-hak pertuanan). Tuan-tuan tanah ini memiliki tanah yang sifatnya monopoli, dan Tuan-tuan-Tuan-tuan tanah mempunyai hak yang demikian besar serta banyak yang menyalahgunakan haknya, sehingga banyak menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan rakyat,

(18)

karena tidak adanya pembagian yang merata atas sumber penghidupan. Sikap tuan-tuan tanah di dalam menggunakan hak-hak dan tanahnya yang sangat merugikan masyarakat menyebabkan terhambatnya kemajuan penduduk, sehingga sudah barang tentu bertentangan dengan asas keadilan sosial yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan Negara.1

Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, mempunyai dua arti penting bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional, yaitu pertama; Bangsa Indonesia memutuskan hubungannya dengan Hukum Agraria kolonial, dan kedua; Bangsa Indonesia sekaligus menyusun Hukum Agraria Nasional.2 Pemerintah Indonesia berupaya untuk memperbaharui tata hukum agraria yang berangkat dari cita-cita hasil pembentukan Negara baru, yakni dengan harapan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Pembaharuan di bidang keagrariaan adalah sebagai perwujudan dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Jelas bahwa tanah sebagai tempat berusaha, yang merupakan bagian dari permukaan bumi harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Pada tanggal 24 september 1960 merupakan hari yang sangat bersejarah dan sangat penting dalam kehidupan hukum di Indonesia, karena pada tanggal tersebut telah ditetapkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

1

Soedharyo Soimin, 2004, Status Hak Dan Pembebasan Tanah, Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 102

2 Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Cetakan kelima,

(19)

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara 1960 Nomor 104), yang lebih dikenal dengan nama “Undang-Undang Pokok Agraria” (selanjutnya disingkat UUPA), undang-undang ini bertujuan merubah nasib warga negara Indonesia sehubungan dengan penguasaan dan kepemilikan hak atas tanah. Salah satu yang cukup penting dengan diundangkannya UUPA antara lain ialah yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan dalam reformasi pertanahan (dicanangkannya program landreform), yaitu meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah.

Sejak itu rakyat petani mempunyai kekuatan hukum untuk memperjuangkan haknya atas sumber penghidupan yakni hak atas tanah dan pembagian hasil yang adil dan merata, serta dapat mengolah tanahnya demi kemakmuran. Tapi kenyataannya, dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah masih banyak ketimpangan-ketimpangan atau kurang proporsionalnya penguasaan dan pemilikan tanah yang ada dalam masyarakat. Keadaan ini perlu diambil langkah-langkah persiapan mengantipasi keadaan tersebut dengan sebaik-baiknya, dalam hal ini perlu penerapan aturan secara optimal dalam mengatur pemilikan dan penguasaan tanah, agar benar-benar dapat bermanfaat bagi seluruh bangsa Indonesia.

Pasal 2 UUPA yang menyatakan bahwa: “Bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara…”, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat, pernyataan ini dapat berarti negara berwenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

(20)

persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut. Wewenang pada hak menguasai dari negara berarti untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Selanjutnya Pasal 7 UUPA, yang menyatakan: “Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”. Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 ini dan untuk mencapai tujuan masyarakat yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur, maka diimplementasikan dalam Pasal 17 UUPA yang mengatur tentang luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan suatu hak oleh satu keluarga atau badan hukum.

Sebagai tindak lanjut dari ketentuan-ketentuan pasal tersebut diatas, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian pada tanggal 29 Desember 1960 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1960. Undang-undang ini pada dasarnya bertujuan untuk mengatur batas maksimum dan/atau batas minimum tanah pertanian yang boleh dikuasai dan dimiliki sesuai dengan keadaan daerah, luas daerah, dan jumlah penduduk daerah yang bersangkutan. Perpu Nomor 56 Tahun 1960 inilah yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 56 Prp tahun 1960 (LN. 1960 No. 174), penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara (TLN.) Nomor 5117 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 (selanjutnya disingkat UU 56 Prp Th. 1960), undang-undang ini dikenal

(21)

merupakan induk pelaksanaan landreform di Indonesia. Undang-Undang ini mengatur tiga masalah yang pokok yaitu sebagai berikut:3

1. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian 2. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk

melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang sangat kecil

3. Pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan. Dalam daftar penggolongan daerah sesuai dengan Keputusan Mentri Agraria No. Sk. 978/Ka/1960 tentang Penegasan Luas Maksimum Tanah Pertanian. (T.L.N. NO. 2143), menetapkan penggolongan daerah dari yang tidak padat sampai pada daerah yang padat (kurang padat, cukup padat, dan sangat padat). Dan untuk Daerah Tingkat I Bali digolongkan sebagai Daerah yang “cukup padat”. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) angka 2 huruf b UU 56 Prp Th. 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian menyebutkan bahwa penguasaan dan pemilikan tanah pertanian pada daerah yang cukup padat ditetapkan, yaitu: setiap orang dapat memiliki hak atas tanah dengan luas maksimum untuk tanah kering adalah 9 Ha dan/atau tanah sawah maksimum 7,5 Ha, sedangkan dalam Pasal 8 menyatakan bahwa “Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki tanah-pertanian minimum 2 (dua) hektar”.

Ketentuan-ketentuan yang ada dalam kedua pasal tersebut nampak adanya konflik norma dalam pengaturannya, karena sebagaimana diatur dalam Pasal 1

3Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria, Hukum Tanah Indonesia, 1995,

(22)

ayat (2) menentukan batas maksimum, ini berarti luas tanah yang seminim-minimnya boleh dimiliki (artinya batas maksimum yang dimaksud itu telah ditentukan seluas 9 Ha untuk tanah kering dan atau 7,5 Ha untuk tanah sawah). Menurut kajian peneliti, ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) dapat diartikan bahwa penguasaan dan pemilikan tanah pertanian dibawah batas maksimum diperbolehkan, namun jika dikaitkan dengan ketentuan dalam Pasal 8 dapat diartikan bahwa penguasaan dan pemilikan tanah dibawah maksimum tidak diperbolehkan. Ini berarti ada kontradiksi antara kedua pasal tersebut, yaitu di satu pasal menentukan diperbolehkan menguasai dan memiliki tanah pertanian dibawah batas maksimum, sedangkan di pasal lain menentukan tidak diperbolehkan menguasai dan memiliki tanah dibawah batas maksimum.

Ditetapkannya peraturan tentang pembatasan maksimum penguasaan dan pemilikan tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 17 UUPA, dapat disebut dengan “larangan latifundia” yang berarti adanya larangan terhadap pemilikan dan penguasaan tanah yang sangat luas sehingga ada batas maksimum seseorang boleh mempunyai tanah terutama tanah pertanian (ceiling atas kepemilikan tanah).4 Ceiling adalah batas maksimum dan minimum pemilikan tanah pertanian yang boleh dimiliki sehingga setiap kelebihan harus diserahkan kepada Pemerintah untuk dibagikan kepada petani tidak bertanah atau petani gurem.

Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, pada intinya adalah memuat tentang batas maksimum dan/atau batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian.

4 A.P. Parlindungan, 1998, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria, Mandar

(23)

Mengenai batas maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian merupakan ranah “bidang pertanahan” Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ditegaskan bahwa salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota adalah bidang pertanahan, namun kenyataannya yang menyangkut bidang hukum tanah dan kebijakan di bidang pertanahan masih tetap dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat melalui instansi vertikal di daerah, jelas dalam hal ini bertentangan dengan undang-undang otonomi daerah.

Oleh karena adanya konflik norma tersebut di atas dan adanya dissinkronisasi antara dasar hukum yang dipergunakan untuk mengatur kewenangan pemerintah (pemerintah dan pemerintah daerah) dalam bidang pertanahan maka peneliti tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai “Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian”

Penelitian tentang Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian ini secara umum adalah membahas mengenai bidang agraria atau bidang pertanahan. Dalam penelitian ini, peneliti telah memperbandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang juga membahas tentang pertanahan. Adapun penelitian tesis yang mirip dengan penelitian ini antara lain :

1. Penelitian tesis dari Zulkarnain, Program Studi Ilmu Hukum, Bidang Hukum Administrasi Negara, Program Pasca Sarjana Universitas

(24)

Sumatera Utara, judul tesis Pelaksanaan Redistribusi Obyek Landreform Berdasarkan Keputusan Menteri Agraria Nomor SK. 24/HGU/65 Di Kabupaten Langkat. Penelitian tesis ini mengkaji bidang pertanahan yang menyoroti tentang pemerataan ekonomi yang berkeadilan dimana tanah merupakan masalah yang kompleks karena menyangkut kehidupan manusia. Penelitian ini menganalisis ketidakselarasan dalam masyarakat tentang penguasaan ekonomi yang miskin dengan penguasaan ekonomi nasional.5

2. Penelitian tesis dari Herry Iswanto, judul tesis “Penetapan Luas Minimum Pemilikan Tanah Pertanian Bagi Para Petani di Kabupaten Daerah Tingkat II Magelang”. Dalam penelitian ini meninjau tentang bagaimana usaha-usaha yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Tingkat II Magelang dalam menunjang tercapainya pelaksanaan penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 56 Pro Tahun 1960, dan meninjau bagaimana hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya.6

3. Penelitian tesis dari Ariska Dewi, Program Pasca Sarjana Magister kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2008, dengan judul: Peran Kantor Pertanahan Dalam Mengatasi Kepemilikan Tanah “Absentee/Guntai”di Kabupaten Banyumas. Penelitian ini mengkaji

5 Zulkarnain, 2006, Pelaksanaan Redistribusi Obyek Landreform Berdasarkan Keputusan

Menteri Agraria Nomor SK. 24/HGU/65 Di Kabupaten Langkat,

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/.5098

6 Herry Iswanto, Penetapan Luas Minimum Pemilikan Tanah Pertanian Bagi Para Petani

(25)

tentang Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penguasaan tanah secara tidak merata dan tidak berkeadilan di Kabupaten Banyumas. 7 4. Penelitian tesis dari Nurhayati, SH., Progrtam Paasca Sarjana, Program

Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, tahun 2006, dengan judul tesis “Pelaksanaan Redistribusi Tanah Obyek Landreform di Kecamatan Semarang Barat Kota Semarang”. Penelitian tesis ini mengkaji tentang redistribusi tanah yang menjadi obyek landreform. Dalam penelitian ini menganalisis permasalahan tentang bagamanakah pelaksanaan redistribusi tanah di Kecamatan Semarang Barat dan bagaimanakah kondisinya dewasa ini?, adakah hambatan-hambatan yang terjadi, dan bagaimana penyelesaiaanya.8

5. Penelitian tesis dari Ira Sumaya, Program Pasca Sarjana, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, tahun 2007-2008, dengan judul tesis “Analisis Hukum Landreform Sebagai Upaya Meningkatkan Ekonomi Masyarakat”. Penelitian ini menganalisis permasalahan tentang: - Bagamana kebijakan hukum landreform dalam upaya meningkatkan

ekonomi masyarakat, dan bagaimana pelaksanaan redistribusi tanah obyek landreform di kota Medan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat, serta apa hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya.9

7Ariska Dewi, Peran Kantor Pertanahan Dalam Mengatasi Kepemilikan Tanah “Absentee/Guntai”di Kabupaten Banyumas, http//eprints.undip.ac.id/16527/1

8 Nurhayati, Pelaksanaan Redistribusi Tanah Obyek Landreform di Kecamatan Semarang Barat

Kota Semarang, http//eprints.undip.ac.id/15762/1

9 Ira Sumaya, Analisis Hukum Landreform Sebagai Upaya Meningkatkan Ekonomi

Masyarakat, http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/5144

(26)

Walaupun ke-5 penelitian tersebut di atas merupakan ranah penelitian dalam bidang pertanahan, namun kajiannya tidak sama dengan penelitian dalam tulisan ini yang berjudul “Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian”, karena dalam penelitian ini, baik mengenai latar belakang, rumusan masalah yang dikaji, maupun pembahasannya tidak sama dengan ke 5 penelitian tersebut di atas. Hal ini membuktikan bahwa tulisan dalam penelitian tesis ini tidak merupakan plagiasi terhadap tulisan penelitian-penelitian terdahulu.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka dapat diidentifikasi pokok permasalahan yang akan diteliti lebih lanjut yaitu sebagai berikut:

1. Apa dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan Luas tanah pertanian?

2. Apa konsekwensi yuridis terhadap penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang melampaui batas maksimum dan/atau dibawah batas minimum?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini dapat penulis bedakan menjadi dua, yaitu tujuan penelitian yang bersifat umum dan tujuan penelitian yang bersifat khusus, sebagai berikut:

(27)

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya Hukum Pemerintahan dan hukum pertanahan, yaitu mengenai kewenangan pemerintah dalam bidang pertanahan khususnya tentang penetapan luas tanah pertanian.

2. Tujuan Khusus

2.1.Untuk mengetahui dan menganalisis hubungannya dengan permasalahan pertama dalam rumusan masalah, yaitu mengenai dasar kewenangan pemerintah dalam menentukan batas maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian.

2.2. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana konsekwensi yuridis terhadap penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang melampaui batas maksimum dan /atau dibawah batas minimum.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil Penelitian ini nantinya sangat diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan bidang Hukum Pemerintahan pada khususnya. Dan Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan terkait dengan kedua permasalahan yang akan diteliti.

(28)

2.1. Bagi masyarakat, dapat memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya bidang hukum pemerintahan dan dalam bidang hukum pertanahan, serta dapat dipakai sebagai acuan dalam menentukan hak dan kewajiban, serta akibat hukum terhadap penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang melampaui batas maksimum dan/atau dibawah batas minimum.

2.2. Bagi instansi pertanahan, dapat dipakai sebagai pedoman dan sebagai bahan evaluasi dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, dapat lebih memperjelas apa yang menjadi dasar ketentuan-ketentuan mengenai penetapan batas maksimum dan minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian.

2.3. Bagi peneliti, disamping untuk kepentingan penyelesaian studi juga untuk menambah pengetahuan serta wawasan di bidang pemerintahan dan bidang hukum pertanahan.

1.5. Landasan Teoritis

Dalam penelitian ini akan digunakan teori-teori, konsep-konsep, maupun pandangan- pandangan para pakar yang berpengaruh sebagai landasan pemikiran penelitian. Pandangan-pandangan teoritis dimaksud dijastifikasi dengan peraturan perundang-undangan dan instrumen-instrumen hukum pertanahan.

1.5.1. Konsep Negara Hukum

Untuk memahami masalah penerapan prinsip-prinsip pembaruan agraria dalam sistem hukum tanah nasional, maka diperlukan pemahaman tentang konsep negara hukum, karena konsep negara hukum menjungjung tinggi adanya sistem

(29)

hukum yang menjamin kepastian hukum. Berdasarkan teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M Friedman “a legal system in actual is a complex in wich structure, substance and culture interact”10, terdiri dari 3 komponen, yaitu substansi hukum (legal substance), struktur hukum ( legal structure), dan budaya hukum (legal culture). Konsep negara hukum juga menjungjung tinggi perlindungan hak-hak rakyat, termasuk hak-hak rakyat atas sumber daya agraria, dengan tujuan terwujudnya masyarakat adil dan makmur.

Negara dikatakan sebagai suatu Negara Hukum dapat dilakukan melalui penelusuran pandangan ilmiah para ahli. Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl, bahwa yang memberikan unsur-unsur atau ciri-ciri dari suatu Negara Hukum adalah sebagai berikut:

1. Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia; 2. Adanya pembagian kekuasaan;

3. Pemerintahan berdasarkan Peraturan; dan 4. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara.11

A.V. Dicey mengemukakan unsur-unsur rule of law adalah sebagai berikut:12 1. Supremasi absolut atau predominasi dari aturan-aturan hukum untuk

menentang dan meniadakan kesewenang-wenangan, dan kewenangan bebas yang begitu luas dari pemerintah;

10

Lawrence M Friedman, 1975, The Legal Sistem, A Social Science Perspective, Rusell Sage Foundation, New York, h. 4

11 Oemar Seno Adji, 1966, Prasara dalam Indonesia Negara Hukum, Simposium

UI Jakarta, h. 24

12 Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah

studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Peradaban, Jakarta, h. 75

(30)

2. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court ini berarti tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama.

3. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekwensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan, singkatnya prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan parlemen sedemikian diperluas sehingga membatasi posisi crown dan pejabat-pejabatnya.

Menurut C.F. Strong merumuskan bahwa arti konstitusi dapat disederhanakan rumusannya yaitu “a frame of political society, organised through and by law, that is to say on in which law has establish permanent institutions with recognised functions and definited rights”13, sebagai kerangka negara yang diorganisir dengan dan melalui undang-undang.

Dalam perumusan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945), Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Negara Kesatuan Indonesia adalah sebuah negara yang dalam menyelenggarakan pemerintahan adalah berdasarkan atas prinsip-prinsip hukum untuk membatasi kekuasaan pemerintah, ini berarti bahwa kekuasaan Negara dibatasi oleh hukum (rechtsstaat), bukan didasarkan

13 C.F.Strong, 1996, Modern Political Constitution, The Englis Language Book Society

(31)

atas kekuasaan belaka (machtsstaat) yang secara jelas ditentukan dalam Batang Tubuh UUD NRI 1945. Dengan demikian dalam penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan sistem pemerintahan yang oleh K.C. Wheare dinyatakan , “first of all it is used to describe the whole system of government of a country, the collection of rule are partly lega, in the sense that courts of law ill recognized as law but which are not less effective in regulating the government than the rules of law strictly so called”14 yang artinya pertama, dalam arti luas bahwa sistem pemerintahan dari suatu negara adalah merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya, kedua yaitu dalam arti sempit merupakan sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu negara yang dimuat dalam suatu dokumen atau beberapa dokumen terkait satu sama lain.

Secara konseptual istilah negara hukum di Indonesia dipadankan dengan dua istilah dalam bahasa asing, yaitu:15

a. Rechtsstaat (Belanda), digunakan untuk menunjuk tipe negara hukum yang diterapkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law system.

b. Rule of law (Inggris), menunjuk tipe negara hukum dari negara Anglo Saxon atau negara-negara yang menganut common law system.

Konsep negara hukum di Indonesia disamakan begitu saja dengan konsep rechtstaat dan konsep the rule of law, hal ini dapat dimaklumi karena bangsa indonesia mengenal istilah negara hukum melalui konsep rechtsstaat yang pernah

14 K.C. Wheare, 1975, Modern Constitutions, London Oxpord University Press, h. 1 15 I Dewa Gede Atmadja, 2010,Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia

(32)

diberlakukan Belanda pada masa kedudukannya di Indonesia, pada perkembangan selanjutnya terutama sejak perjuangan menumbangkan apa yang dalam periodisasi politik disebut perjuangan menumbangkan orde lama negara hukum begitu saja diganti dengan the rule of law.16 Indonesia tidak seyogyanya tidak begitu saja mengalihkan konsep the rule of law atau konsep rechtstaat sebagai jiwa dan isi dari negara hukum Indonesia, karena pada dasarnya Indonesia telah memiliki konsep negara hukumnya sendiri yaitu konsep “Negara Hukum Pancasila”.

Menurut Philipus M. Hadjon, dengan merujuk bahwa asas utama Hukum Konstitusi atau Hukum Tata Negara Indonesia adalah asas negara hukum dan asas demokrasi serta dasar negara Pancasila, oleh karena itu dari sudut pandang yuridisme Pancasila maka secara ideal bahwa Negara Hukum Indonesia adalah “Negara Hukum Pancasila”.17

Lebih rinci disebutkan bahwa unsur-unsur Negara Hukum Pancasila adalah sebagai berikut:

a. keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan nasional;

b. hubungan yang fungsional dan proporsional antara kekuasaan negara; c. prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan

merupakan sarana terakhir;

d. keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Muhammad Tahir Azhari mengemukakan bahwa ciri-ciri Konsep Negara Hukum Pancasila adalah merupakan hubungan yang sangat erat antara agama dan

16 Philipus M. Hadjon, Op. Cit., h. 66-67 17 I Dewa Gede Atmadja,Op. Cit., h. 162

(33)

negara bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa–kebebasan beragama–ateisme tidak dibenarkan dan komonisme dilarang, asas kekeluargaan dan kerukunan diutamakan.18 Unsur-unsur utama Negara Hukum Pancasila, meliputi: Pancasila, sistem konstitusi, persamaan, dan peradilan bebas.19

Pernyataan tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, ini berarti membawa konsekwensi apapun yang dilakukan oleh pemerintah (Negara) harus berdasarkan hukum, yang dalam hal ini adalah aturan-aturan yang dibentuk dan diberlakukan. Sejalan dengan pendapat Hugo Grotius (de Groot) pakar hukum alam, bahwa jika negara akan membentuk hukum maka isi hukum itu haruslah ditujukan untuk mencapai apa yang menjadi tujuan negara.20 Dalam konteks negara Indonesia, maka tujuan hukum harus berorientasi pada tujuan negara. Mengenai landasan filosofi dari negara Hukum Indonesia adalah Pancasila.21 Penegasan ini menunjukkan komitmen lebih tegas dari bangsa dan Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila untuk memberikan kedaulatan hukum dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat di wilayah Negara Republik Indonesia. Negara Hukum menentukan alat-alat perlengkapannya yang bertindak menurut dan terikat kepada peraturan-peraturan

18 Ibid, h. 163

19Muhammad Tahir Azhari, 2003, Negara Hukum Suatu Studi tentang

Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Prenada Media, Jakarta, h. 102

20 Ida Nurlinda, 2009, Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria, Perspektih Hukum, PT

Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 11

21 Padmo Wahjono, 1983, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum Pancasila,

(34)

yang ditentukan terlebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan-peraturan itu.22

Disamping itu, suatu negara agar dapat dikatakan sebagai negara hukum maka perlu diketahui elemen-elemen atau unsur-unsurnya yang tertuang di dalam Undang Undang Dasar beserta peraturan pelaksananya, dan yang terpenting dalam praktek sudah dilaksanakan atau belum.23

Mencermati bunyi Alenia ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajikan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka (untuk mencapai tujuan negara tersebut) disusunlah Kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu UUD Negara Republik Indinesia yang terbentuk dalam suatu sususan Negara Republik yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Pancasila”.

Dari pernyataan tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa sebenarnya konsep negara hukum Indonesia merupakan perpaduan tiga unsur yaitu Pancasila, hukum nasional, dan tujuan negara. Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh. Pancasila merupakan dasar pembentukan hukum nasional. Hukum nasional disusun sebagai sarana untuk mencapai tujuan negara. Tidak ada artinya hukum nasional disusun apabila tidak mampu mengantarkan bangsa

22

Simposium Universitas Indonesia Jakarta, 1966, Indonesia Negara Hukum, Seruling Masa PT, Jakarta, h. 159

23 Joeniarto,1968, Negara Hukum, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta,

(35)

Indonesia dalam mencapai kehidupan yang sejahtera dan bahagia dalam naungan ridha Illahi.24

Unsur-unsur negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila menurut Sri Soemantri Martosoewignjo adalah sebagai berikut:25

a. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga negara;

b. Adanya pembagian kekuasaan negara;

c. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya pemerintah harus selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis;

d. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya merdeka.

Konsep negara kesejahteraan menurut Bagir Manan adalah negara atau pemerintah yang tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat tetapi juga sebagai pemikul utama tanggung jawab dalam mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum, dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.26 Sejalan dengan pendapat tersebut, maka unsur-unsur

24 Sudjito bin Atmoredjo, Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila, dalam Kongres

Pancasila kerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI dan Gadjah Mada, Balai Senat UGM, Yogyakarta, 30, 31, dan 1 Juni 2009.

25 Sri Sumantri Martosoewignjo, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia,

Alumni, Bandung, h. 11

26 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1996, Mewujudkan Kedaulatan Rakyat Melalui

(36)

minimal yang harus dimiliki oleh negara hukum berdasarkan pandangan Bagir Manan, adalah sebagai berikut:27

a. Semua tindakan harus berdasarkan atas hukum;

b. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya; c. Adanya kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa

terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas); d. Adanya pembagian kekuasaan.

Berdasarkan ciri-ciri atau unsur-unsur Negara Hukum yang diuraikan diatas, maka dalam hubungannya dengan penelitian ini terdapat dua unsur yang bertalian erat dengan masalah penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria yang dapat mensejahterakan masyarakat sejalan dengan tujuan negara Indonesia, yaitu:

a. Unsur semua tindakan stakeholders, terutama pemerintah, harus berdasarkan hukum (unsur kepastian hukum).

Setiap tindakan penyelenggaraan negara serta warga negara harus dilakukan berdasarkan dan di dalam koridor hukum, maka konsekwensinya hukum harus dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dengan kata lain setiap orang warga negara Indonesia harus patuh dan tunduk pada norma hukum yang berlaku.

b. Unsur adanya pengakuan terhadap jaminan atas pelaksanaan hak-hak dasar (asasi) manusia dan masyarakat termasuk ke dalamnya masyarakat hukum adat, untuk memperoleh akses yang adil atas sumber daya agraria, terutama yang ada disekitar wilayahnya.

Terkait dengan hal tersebut diatas, mengingat struktur penghidupan penduduk yang bertumpu pada sektor pertanian, dan dapat dikatakan bahwa tanah-tanah pertanian merupakan “soko guru” perekonomian rakyat dan negara, maka

27 Bagir Manan, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Pusat Studi

(37)

merupakan suatu kewajiban bagi setiap penyelenggara Negara untuk menegakkan keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum.28

Penambahan rumusan mengenai pengakuan penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (selanjutnya disingkat HAM) ke dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukan semata-mata karena kehendak untuk mengakomodasi perkembangan pandangan mengenai HAM yang makin menganggap penting HAM sebagai isu global, melainkan karena hal itu merupakan salah satu syarat dari negara hukum. Dengan demikian HAM secara konstitutif telah diakui sejak berdirinya negara.

1.5.2. Teori Kewenangan

Teori ini peneliti kemukakan dengan maksud untuk membahas dan menganalisis tentang kewenangan pemerintah dalam menetapkan luas batas maksimum dan minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian, dalam hal ini untuk menganalisis “apa dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas maksimum dan/atau batas minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian?. Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda “bevoegdheid” ( yang berarti wewenang atau berkuasa).

Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam

28 H. Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam

(38)

peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara dalam menjalankan fungsinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.29

Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan disetiap negara hukum. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu suatu kemampuan untuk melakukan suatu tindakan-tindakan hukum tertentu.

Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Hassan Shadhily menerjemahkan wewenang (authority) sebagai hak atau kekuasaan memberikan perintah atau bertindak untuk mempengaruhi tindakan orang lain, agar sesuatu dilakukan sesuai dengan yang diinginkan.30 Lebih lanjut Hassan Shadhily memperjelas terjemahan authority dengan memberikan suatu pengertian tentang “pemberian wewenang (delegation of authority)”. Delegation of authority ialah proses penyerahan wewenang dari seorang pimpinan (manager) kepada bawahannya (subordinates) yang disertai timbulnya tanggung

29 SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di

Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 154.

30 Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus

(39)

jawab untuk melakukan tugas tertentu.31 Proses delegation of authority dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai berikut :

1. Menentukan tugas bawahan tersebut 2. Penyerahan wewenang itu sendiri

3. Timbulnya kewajiban melakukan tugas yang sudah ditentukan.

I Dewa Gede Atmadja, dalam penafsiran konstitusi, menguraikan sebagai berikut :

“Menurut sistem ketatanegaraan Indonesia dibedakan antara wewenang otoritatif dan wewenang persuasif. Wewenang otoritatif ditentukan secara konstitusional, sedangkan wewenang persuasif sebaliknya bukan merupakan wewenang konstitusional secara eksplisit”.32

Wewenang otoritatif untuk menafsirkan konstitusi berada ditangan MPR, karena MPR merupakan badan pembentuk UUD. Sebaliknya wewenang persuasif penafsiran konstitusi dari segi sumber dan kekuatan mengikatnya secara yuridis dilakukan oleh :

1. Pembentukan undang-undang; disebut penafsiran otentik

2. Hakim atau kekuasaan yudisial; disebut penafsiran Yurisprudensi 3. Ahli hukum; disebut penafsiran doktrinal

31 Ibid, h. 172

32 I Dewa Gede Atmadja, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum: Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekwen, Pidato Pengenalan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana 10 April 1996, h. 2

(40)

Penjelasan tentang konsep wewenang, dapat juga didekati melalui telaah sumber wewenang dan konsep pembenaran tindakan kekuasaan pemerintahan. Teori sumber wewenang tersebut meliputi atribusi, delegasi, dan mandat.33

Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang dalam kaitannya dengan kewenangan sebagai berikut :

“Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaa yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik”.34

Indroharto mengemukakan, bahwa wewenang diperoleh secara atribusi, delegasi, dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut :

Wewenang yang diperoleh secara “atribusi”, yaitu pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah yang baru”. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.35

33 Ibid

34 Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta

h. 29

35 Indroharto, 1993, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Harapan, Jakarta , h. 90

(41)

Hal tersebut sejalan dengan pendapat beberapa sarjana lainnya yang mengemukakan atribusi itu sebagai penciptaan kewenangan (baru) oleh pembentuk wet (wetgever) yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang dibentuk baru untuk itu.

Tanpa membedakan secara teknis mengenai istilah wewenang dan kewenangan, Indroharto berpendapat dalam arti yuridis : pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. 36

Atribusi (attributie), delegasi (delegatie), dan mandat (mandaat), oleh H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dirumuskan sebagai berikut :

a. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegdheid door een weigever aan een bestuursorgaan;

b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander;

c. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander. 37

Stroink dan Steenbeek sebagaimana dikutip oleh Ridwan, mengemukakan pandangan yang berbeda, sebagai berikut :

“Bahwa hanya ada dua cara untuk memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain; jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi). Mengenai mandat, tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang atau pelimbahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan

36 Ibid, h. 68

37 H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, 1988, Hoofdstukken van Administratief Recht,

(42)

wewenang apapun (dalam arti yuridis formal), yang ada hanyalah hubungan internal”.38

Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa:

“Setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari “pelimpahan”.39

Kewenangan pemerintah yang dilakukan dalam hal menetapkan penguasaan dan pemlikan luas tanah pertanian merupakan kewenangan yang diperoleh secara atribusi yang secara normatif diatur di dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum.40 Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum, komponen dasar hukum ialah bahwa wewenang itu harus ditunjuk dasar hukumnya, dan komponen konformitas hukum mengandung adanya standard wewenang yaitu standard hukum (semua jenis wewenang) serta standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu).

Dalam kaitannya dengan wewenang sesuai dengan konteks penelitian ini, standard wewenang yang dimaksud adalah kewenangan pemerintah di bidang

38 Ridwan, HR., 2003, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, UII Pres, h. 74-75 39 Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan

Pemerintahan yang Bersih, Pidato Penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h. 7

40 Philipus M. Hadjon, , Penataan Hukum Administrasi,Tahun 1997/1998, Tentang

(43)

pertanahan, khususnya dalam menetapkan penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian.

1.5.3. Teori Keadilan

Teori ini dimaksudkan untuk membahas dan menganalisis guna melengkapi kebutuhan pembahasan mengenai dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian. Secara lebih luas, apakah telah memberikan manfaat bagi masyarakat maupun memberikan kesejahteraan yang berkeadilan seperti yang dikehendaki oleh UUD 1945.

Keadilan adalah merupakan tujuan hukum yang hendak dicapai, guna memperoleh kesebandingan didalam masyarakat, disamping itu juga untuk kepastian hukum. Masalah keadilan (kesebandingan) merupakan masalah yang rumit, persoalan mana dapat dijumpai hampir pada setiap masyarakat, termasuk Indonesia.41

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Membicarakan hukum adalah membicarakan hubungan antarmanusia. Membicarakan hubungan antarmanusia adalah membicarakan keadilan. Adanya keadilan maka dapat tercapainya tujuan hukum, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.

Aristoteles, menyatakan bahwa kata “adil” mengandung lebih dari satu arti. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu yang

(44)

semestinya. Dalam hal ini ditunjukkan bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tidak menghiraukan hukum juga dapat dikatakan “tidak adil”, karena semua hal yang didasarkan pada hukum dapat dianggap sebagai “adil”.42 Keadilan adalah merupakan suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak dan apa yang bukan hak. Lebih lanjut dikatakan bahwa agar terdapat suatu keadilan, maka orang harus memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang wajar, dan keadilan itu sendiri merupakan keutamaan moral. Ditinjau dari isinya, Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan yaitu Justitia distribitiva (keadilan distributif) dan justitia commutativa (keadilan komutativ).

Terkait dengan keadilan maka Jeremy Bentham memunculkan teori kebahagiaan (utility) yang bersifat individualistis. Hukum harus mewujudkan kebahagiaan bagi individu, dan harus cocok untuk kepentingan masyarakat. Pada dasarnya hukum harus berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia. Itu sebabnya teori keadilan dan utility merupakan perwujudan hukum yang harus diimplementasikan.43

Membicarakan hukum tidak cukup hanya sampai wujudnya sebagai suatu bangunan yang formal, tetapi perlu juga melihatnya sebagai ekspresi dari cita-cita keadilkan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa unsur keadilan merupakan unsur yang rumit dan abstrak dalam hukum, karena pada keadilanlah hukum itu

42

Aristoteles dalam Darji Darmodiharjo, 2006 , Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 156

43 Suhariningsih, 2009, Tanah Terlantar, Asas dan Pembaharuan konsep Menuju

(45)

bermuara. Mengingat abstraknya unsur-unsur keadilan tersebut, maka berbagai pakar mengemukakan keadilan itu dengan perumusan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing.

Filsuf Hukum Alam Thomas Aquinas, membedakan keadilan atas dua kelompok yaitu:44

1. Keadilan Umum (justitia generalis), adalah keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. Keadilan ini juga disebut dengan keadilan legal.

2. Keadilan Khusus, adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus ini dapat dibedakan lagi, yaitu:

a. Keadilkan distributif (justitia distributiva); directs the distribution of goods and honours to each according to his place in the community, adalah keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum, yakni apabila setiap orang mendapatkan hak atau jatahnya secara proporsiobal.

b. Keadilan komutatif (justitia commutativa), adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi.

c. Keadilan vindikatif (justitia vindicativa), adalah keadilan dalam menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seseorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya.

44

(46)

Dalam mengoperasionalkan konsep pembaruan agraria sebagaimana diatur dalam TAP MPR Nomor IX/MPR/2001, diperlukan prinsip-prinsip yang menjadi landasan dan arahan yang mendasari pelaksanaannya. Prinsip-prinsip itu seyogyanya bersifat holistik, komprehensip, dan mampu menampung hal-hal pokok yang menjadi tujuan pembaruan agraria, salah satu yang menjadi prinsip-prinsip dasar pembaruan agraria tersebut menurut Maria S.W. Sumardjono adalah :

“Keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria (keadilan gender, keadilan dalam satu generasi dan antar generasi, serta pengakuan kepemilikan masyarakat adat terhadap sumber-sumber agraria yang menjadi ruang hidupnya)”.45

Berdasarkan uraian teori keadilan diatas, Nampaknya keadilan ditinjau dari hakekat dan isinya tidak dapat dipisahkan dalam menganalisis apakah kehendak Pemerintah dalam menetapkan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian adalah untuk memberikan keadilan yang merata serta manfaat bagi masyarakat. Keduanya saling melengkapi agar mendapatkan pemahaman yang utuh kemudian dapat diwujudkan dalam tindakan nyata khususnya dalam hal menerapkan penetapan tentang penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian.

Dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan , penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria; keadilan dalam memberikan ganti kerugian

45 Maria S.W. Sumardjono, 2001, Puspita Serangkum: Aneka Masalah Hukum Agraria,

Referensi

Dokumen terkait

Efisiensi (efficiency) – Indikator kinerja ini mengukur efisiensi sumber daya dan layanan (biaya layanan, waktu yang diperlukan untuk pengunduhan bahan perpustakaan elektronik,

Proses verifikasi dilakukan dengan menggunakan variabel dan parameter yang memberikan nilai R 2 yang tertinggi dalam tahap kalibrasi untuk masing – masing

Untuk perhitungan cadangan tidak lepas dari metode yang akan digunakan".. adapun metode perhitungan cadangan dapat dikategorikan menjadi

Hasil percobaan selama dua musim tanam secara konsisten menunjukkan bahwa VUTB Fatmawati memiliki sifat berbeda dengan IR64: (a) malai lebih panjang (28,7 cm) dibanding

Dari tabel 3 terlihat bahwa kemampuan melek statistis (statistical literacy) guru untuk materi statistika deskriptif (penyajian data, ukuran letak, ukuran

Melalui kegiatan pengamatan terhadap kondisi lingkungan sekitar, siswa dapat mengidentifikasi kondisi lingkungan halaman Sekolah dengan benar.. Melalui kegiatan pengamatan

2  Stat‐29PP  Entin Hartini   Analisis  ketidakpastian  input  pada  perhitungan  tegangan  dan  ketahanan  fatik  pada pipa . 3  Stat‐52PP  Gatot Riwi 

Berikut adalah resep yang digunakan beserta proses pembuatan colourful steamed cake menggunakan tepung terigu dan tepung jagung... Didihkan air dalam dandang, siapkan 20