PROSIDING
Seminar Nasional
Teknologi Pengelolaan Limbah XII
Tahun 2014
Tema :
Penguasaan dan Pemanfaatan Teknologi Pengelolaan Limbah
sebagai Wujud Perlindungan Lingkungan Hidup
Diterbitkan
Oktober
2014
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN
bekerjasama dengan
BLHD Kota Tangerang Selatan
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang karena atas ijin dan karunia-Nya
maka Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah XII dapat diterbitkan. Seminar
dengan tema
”Penguasaan dan Pemanfaatan Teknologi Pengelolaan Limbah Sebagai Wujud
Perlindungan Lingkungan Hidup”,
telah dilaksanakan pada tanggal 30 September 2014 di
Gedung Graha Widya Bhakti, Kawasan PUSPIPTEK Serpong – Tangerang.
Seminar ini diselenggarakan sebagai media sosialisasi hasil penelitian di bidang
pengelolaan limbah radioaktif dan non radioaktif. Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan
Limbah XII dijadikan sebagai media tukar menukar informasi dan pengalaman, ajang diskusi
ilmiah, peningkatan kemitraan di antara peneliti dengan praktisi, penimbul dengan pengelola
limbah, mempertajam visi pembuat kebijakan dan pengambil keputusan, serta peningkatan
kesadaran kolektif terhadap pentingnya pengelolaan limbah yang handal.
Prosiding ini memuat karya tulis dari berbagai hasil penelitian mengenai pengelolaan
limbah radioaktif, industri dan lingkungan. Setelah melalui mekanisme evaluasi dan editing oleh
tim editor maka makalah-makalah dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu
kelompok
pengelolaan limbah, disposal, lingkungan dan perundang-undangan. Makalah-makalah tersebut
berasal dari para peneliti di lingkungan lembaga penelitian, perguruan tinggi dan kalangan
industri sebagai
stakeholder
kegiatan pengelolaan limbah.
Semoga penerbitan prosiding ini dapat digunakan sebagai data sekunder dalam
pengembangan penelitian di masa akan datang, serta dijadikan bahan acuan dalam pengelolaan
limbah. Akhir kata kepada semua pihak yang telah membantu, kami ucapkan terima kasih.
Serpong, 30 Oktober 2014
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif
Kepala,
ii
SUSUNAN TIM EDITOR
Ketua
:
Dr. Budi Setiawan
- BATAN
Anggota
:
1. Dr. Adiarso
-
BPPT
2. Dr. Yus Rusdian Ahmad
-
BAPETEN
3. Dr. Rahmat Salam, M.Si
-
BLHD
4. Dr. Heny Suseno, S.Si., M.Si
-
BATAN
5. Dr. Sigit Santoso
-
BATAN
6. Dr. Sjafruddin, M.Eng
-
BATAN
7. Dr. Sudaryanto, M.Eng
-
BATAN
8. Drs. Gunandjar, SU
-
BATAN
9. Ir. Aisyah, MT
-
BATAN
iii
SUSUNAN PANITIA
Pengarah
Pembina
: Prof. Dr. Djarot Sulistio Wisnubroto
- BATAN
Penanggung Jawab
: Ir. Suryantoro, M.T.
- BATAN
Penyelenggara
Ketua
: Bung Tomo, ST
- BATAN
Wakil Ketua
: Hendra Adhi Pratama,S.Si, M.Si
- BATAN
Sekretaris
: 1. Endang Nuraeni, ST
- BATAN
2. Titik Sundari, A.Md
- BATAN
Anggota
: 1. Ir. Eko Madi Parmanto
- BATAN
2. Anna Triyana, A.Md
- BATAN
3. Budiyono, ST
- BATAN
4. Mas Udi, S.ST
- BATAN
5. Nurul Efri Ekaningrum, S.ST
- BATAN
6. Sugianto, ST
- BATAN
7. Yuli Purwanto, A. Md.
- BATAN
8. Adi Wijayanto, A. Md.
- BATAN
9. Drs. Hendro
- BATAN
10. Sunardi, ST
- BATAN
11. Budi Arisanto, A.Md
- BATAN
12. Parjono, ST
- BATAN
13. Imam Sasmito
- BATAN
14. Ajrieh Setyawan, S.ST
- BATAN
15. Siti Silaturohmi
- BATAN
16. Dadang
- BATAN
Staf Pendukung
:
1. Moh. Cecep Cepi Hikmat, S.ST
- BATAN
2. Suhartono, A.Md
- BATAN
2. Ade Rustiadam, S.ST
- BATAN
3. Sariyadi
- BATAN
4. Eri Iswayanti, A.Md
- BATAN
5. Heru Sriwahyuni, S.ST
- BATAN
iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ... i
Susunan Tim Editor ... ii
Susunan Panitia ... iii
Daftar Isi ... iv
1. Devitrifikasi Gelas-Limbah Dari Abu Batubara Pada Berbagai Suhu Dan Waktu Pemanasan ... 1
Herlan Martono, Yuli Purwanto 2. Imobilisasi Limbah Cair Tingkat Tinggi Menggunakan Glass Frits Fly Ash... 8
Aisyah, Yuli Purwanto 3. Pengolahan Resin Penukar Ion Bekas Menggunakan Reagen Fenton ... 21
Mirawaty 4. Pengembangan Teknologi Pengolahan Limbah Cair Dari Industri : Imobilisasi Limbah Radioaktif Cair Tingkat Tinggi Dengan Bahan Matriks Synroc Titanat ... 26
Gunandjar, Titik Sundari, Yuli Purwanto, Sugeng Purnomo 5. Komparasi Penggunaan Eps Terimobilisasi Dalam Matriks Ca-Alginat Dengan Eps Terdispersi Dan Kemampuannya Untuk Biosorpsi Cobalt, Cesium Dan Stronsium ... 39
Endang Nuraeni 6. Pengolahan Limbah Tri Butil Fosfat (Tbp) Dengan Oksidasi Ion Perak II Dalam Sel Elektrokimia ... 45
Sutoto 7. Pengelolaan Limbah Metalografi Di Laboratorium IEBE ... 52
Ngatijo, Lilis Windaryati, Pranjono, Banawa Sri Galuh 8. Preparasi Dan Analisis Limbah Radioaktif Padat HEPA Filter Berasal Dari Pengoperasian Instalasi Nuklir Di Indonesia. ... 56
Bung Tomo, M. Nurhasyim, Miswanto, M. Ramdan 9 Pengolahan Limbah Resin Bekas Dari Pemurnian Air Reaktor Dengan Cara Sementasi... 64
Bambang Sugito 10 Perancangan Dan Pembuatan Saluran Limbah Cair Dari Tangki Penampung KHIPSB3 ke Pusat Buangan Terpadu (PBT) PTLR... 71
Dyah Sulistyani Rahayu, Marhaeni Joko Puspito 11. Analisis Laju Korosi Material Almg2 Dan Ss304 Dalam Lingkungan Air Kolam Penyimpanan Bahan Bakar Bekas (ISSF)... 78
Rahayu Kusumastuti, Geni Rina Sunaryo 12. Studi Pengolahan Limbah Yang Ditimbulkan Dari Dekontaminasi Elektropolishing Stainless Steel 304 Secara Sinergi Elektro Filtrasi dan Pertukaran Ion Dalam Resin... 86
Sutoto 13 Penyimpanan Bahan Bakar Nuklir Bekas PLTN 1000 MWe Sistem Kering Cask Storage... 92
v
14 Kajian Terhadap Persyaratan Surveilan Perawatan Sistem Pendingindan Purifikasi Air Penyimpanan Bahan Bakar Nuklir Bekas... 103
Budiyono, Sugianto, Parjono
15 Estimasi Pengolahan Limbah Radioaktif Paska Program Dekomisioning
Reaktor Triga Mark II Bandung... 114
Kuat Heriyanto, Nurokhim
16 Penyerapan Ion Logam Cu(II) Pada Limbah Cair Menggunakan Adsorben
Selulosa Dari Jerami Padi... 121
Meri Suhartini Dan Santoso Prayitno
17 Pengolahan Limbah Perak Dari Proses Elektrolisis Dengan Metode
Elektrodeposit Dan Pemurniannya Menjadi Logam Perak... 126
Dwi Luhur Ibnu Saputra, Sugeng Purnomo
18 Pengaruh Sumber Karbon Dan pH Pada Kinerja Mikroba Dalam Penanggulangan
Pencemaran Limbah Ammonia Di Lingkungan Perairan... 131
Hanies Ambarsari, Adityo Hertomo
19 Pengaruh Penambahan Nitrogen Terhadap Aktivitas Fotokatalis TiO2
Dalam Pengolahan Limbah Methylen Blue... 140
Agus Salim A, Auring R, Yustinus P, Asep Nana
20 Pengolahan Limbah Cair Model Industri Pulp Dan Kertas Menggunakan Kombinasi
Metode Koagulasi-Flokulasi-Irradiasi UV/H2O2 Dan Elektrokoagulasi... 148 Galuh Yuliani, Ratna Agustiningsih, Nur Fitriah Rachmi, Budiman Anwar
21 Studi Calon Tapak Disposal Limbah Radioaktif Operasi PLTN Di Bangka Belitung :
Pemilihan Tapak Potensial Di Bangka Barat... 158
Sucipta Dan Hendra Adhi Pratama
22 Penyiapan Komponen Desain Tata Letak Fasilitas Demonstration-Plant
of Disposal Di Kawasan Nuklir Serpong... 172
Dewi Susilowati
23 Penyiapan Konsep Desain Fasilitas Disposal Demo Limbah Radioaktif di Kawasan
Nuklir Serpong : Tata Letak, Drainase, Bahan Pengisi Dan Penutupan ... 178
Heru Sriwahyuni, Dewi Susilowati, Budi Setiawan, Hendra Adhi Pratama
24 Karakterisasi Geofisika Tapak Terpilih Untuk Disposal Limbah Radioaktif:
Penggunaan Metode Geolistrik... 188
Dadang Suganda, Sucipta, Sugeng Waluyo
25 Pengkajian Komponen Desain Penutupan Fasilitas Demonstration Plant
of Disposal Di Kawasan Nuklir Serpong... 197
Hendra Adhi Pratama
26 Penyiapan Disain Konsep Fasilitas Demo Disposal Limbah Radioaktif di Kawasan
Nuklir Serpong :Vault, Pemilihan Bahan Pengisi, Operasi dan Cover... 202
Heru Sriwahyuni, Budi Setiawan, Dewi Susilowati, Hendra Adhi Pratama
27 Pengkajian Keselamatan Fasilitas Disposal Limbah Radioaktif Di Kawasan Nuklir
Serpong (Skenario)... 208
Arimuladi S Purnomo
28 Pengkajian Unjuk Kerja Wadah Limbah Radioaktif Dalam Fasilitas Disposal
Saat Terkena Dampak Kecelakaan Dan Kebakaran... 216
vi
29 Manajemen Teknologi Pendukung Keselamatan Fasilitas Disposal
Limbah Radioaktif PLTN dan TENORM... 225
Arimuladi S Purnomo, Sucipta
30 Mekanisme Penjerapan Plutonium Pada Sedimen di Perairan Laut
Semenanjung Muria Jepara... 236
Murdahayu Makmur
31 Analisis Tritium Dalam Air Laut Menggunakan LSC Tricarb 2910TR
Melalui Proses Elektrolisis... 243
Nurokhim
32 Evaluasi Penerimaan Dosis Personil Untuk Menentukan Pembatas Dosis
di Instalasi Pengolahan Limbah Radioaktif Tahun 2014... 251
L,Kwin Pudjiastuti, Untara, M. Cecep CH.
33 Perancangan Kartu Akses Kontrol Sebagai Pemantau Tingkat Kontaminasi
Personil di Instalasi Pengolahan Limbah Radioaktif (IPLR)... 258
Adi Wijayanto, Suhartono
34 Evaluasi Dosis Eksterna Personil Yang Diterima Pekerja Radiasi
di PTBIN-BATAN Periode Tahun 2007-2012... 263
Auring Rachminisari , W. Prasuad
35 Peran Safety Climate Dalam Fostering Budaya Keselamatan... 271
W. Prasuad
36 Deteksi Dan Kuantifikasi Kerusakan Asam Deoksiribonukleat (DNA)
Akibat Paparan Radiasi Pengion Dengan Teknik Comet Assay... 284
Mukh Syaifudin, Yanti Lusiyanti Dan Wiwin Mailana
37 Hubungan Respon Dosis Aberasi Kromosom Stabil Dan Tak Stabil
Dengan Paparan Radiasi Gamma... 292
Yanti Lusiyanti Dan Sofiati Purnami
38 Pengembangan Prototip Perangkat Pemantau Radiasi Gamma, Suhu Dan Kelembaban Secara Kontinyu Pada Fasilitas Penyimpanan Limbah Radioaktif... 298
I Putu Susila, Istofa, Sukandar
39 Pembuatan Pot Ramah Lingkungan Dari Komposit Limbah Tapioka
Menggunakan Teknologi Radiasi... 305
Sudradjat Iskandar
40 Sensor Kimia Bentuk Stik N,N-Diethyl-P-Phenylenediamine (DPD)
Untuk Deteksi Kadar Klorin Dalam Air Minum ... 311
Teguh Hari Sucipto, Indra Sudrajat, Ganden Supriyanto, Ainur Roziqin, Siti Maryam, Alfinda Novi Kristanti
41 Tinjauan Sk Kepala Bapeten No. 572/K/X/2013 Tentang Penetapan Tingkat Layanan
Persetujuan Pengangkutan Zat Radioaktif Di Lingkungan BAPETEN... 317
Togap Marpaung
42 Pengaturan Lintas Batas Pengangkutan Limbah Radioaktif di Wilayah Hukum
Republik Indonesia ... 327
Nanang Triagung Edi Hermawan
43 Tinjauan Kendali Pengawasan Pengangkutan Zat Radioaktif Berdasarkan PP No.26
Tahun 2002 dan Amandemennya... 332
vii
44 Pengelolaan Zat Radioaktif Terbungkus Yang Tidak Digunakan BerdasarkanPeraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2013... 341
Suhaedi Muhammad, Nazaroh
45 Penentuan Ketebalan Dead Layer Detektor Hpge Melalui Simulasi Dan Pengukuran
Kurva Kalibrasi Efisiensi Untuk Analisis Limbah Radioaktif Pemancar Gamma... 348
Nurokhim
46 Penerapan Tingkat Klierens Untuk Limbah Radioaktif dari Produk
Generator Tc-99m Berdasarkan Perka Bapeten Nomor 16 Tahun 2012... 358
Suhaedi Muhammad, Rr.Djarwanti, Rps, Farida Tusafariah
47 Kajian Kualitas Listrik Transformator BHT03 Pada Operasi Teras Ke-85
Menggunakan Power Quality Analyzer... 364
1
DEVITRIFIKASI GELAS-LIMBAH DARI ABU BATUBARA PADA BERBAGAI
SUHU DAN WAKTU PEMANASAN
Herlan Martono, Yuli Purwanto
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif – BATAN Kawasan PUSPIPTEK, Serpong 15310
ABSTRAK
DEVITRIFIKASI GELAS-LIMBAH DARI ABU BATUBARA PADA BERBAGAI SUHU DAN WAKTU PEMANASAN. Imobilisasi limbah cair aktivitas tinggi (LCAT) simulasi dari ekstraksi siklus I proses olah ulang dilakukan dengan gelas borosilikat. Gelas borosilikat yang digunakan dibuat dari abu batubara. Limbah cair aktivitas tinggi simulasi komposisinya ditentukan menggunakan komputer ORIGEN-2 berdasarkan jenis reaktornya PWR, fraksi bakar 50.000 MWD/MTU, pengkayaan uranium 4,50 %, panas peluruhan 38 MW/MTU, dan pendinginan selama 4 tahun. Untuk imobilisasi jenis limbah tersebut digunakan bottom ash dan fly ash hasil pembakaran batubara. Limbah cair aktivitas tinggi simulasi dengan kandungan limbah 20 % diimobilisasi dengan abu batubara pada suhu 1150 °C, selama 2,50 jam. Hasil imobilisasi gelas-limbah dipanaskan pada berbagai suhu dan waktu pemanasan didaerah kristalisasi gelas limbah. Pemanfaatan abu batubara untuk imobilisasi limbah cair aktivitas tinggi, bottom ash lebih tahan terhadap kristalisasi daripada fly ash. Untuk immobilisasi limbah cair aktivitas tinggi di Indonesia yang aktivitasnya tidak setinggi limbah aktivitas tinggi dari proses olah ulang, kedua bahan tersebut dapat digunakan. Proses sangat ekonomis dengan penggantian bahan kimia oleh abu batubara.
Kata kunci : devitrifikasi, limbah cair aktivitas tinggi, imobilisasi, gelas borosilikat, abu batubara.
ABSTRACT
DEVITRIFICATION OF WASTE-GLASS FROM COAL ASH AT VARIOUS TEMPERATURE AND TIME OF HEATING TIME. Immobilisation of simulated high level liquid waste (HLLW) from the first cycle of the reprocessing plant is conducted by borosilicate glass. Borosilicate glass is conducted made of coal ash. The composition of simulated high level liquid waste was determined by ORIGEN-2 Code, based on PWR, burn up 50,000 MWD/MTU, uranium enriched 4,50 %, decay heat 38 MW/MTU, and cooling for 4 years. For immobilization this type of waste were used bottom ash and fly ash as product of combustion of coal. Simulated HLLW are immobilizied by coal ash with waste loading 20 % at temperature 1150 °C for 2,50 hours. The immobilization product of waste-glass are heating at various temperature and time in the crystallization of waste-glass area. Application of coal ash for immobilization of high level liquid waste, bottom ash more resistance to the crystallization than fly ash. For immobilization of HLLW in Indonesia, its activity si not high as HLLW from reprocessing plant, the two materials can be used. The process is very economic with changed of chemical materials by coal ash.
Keywords : devitrification, high level liquid waste, immobilization, borosilicate glass, coal ash.
PENDAHULUAN
Imobilisasi limbah cair aktivitas tinggi (LCAT) dilakukan dengan bahan gelas, yang dikenal dengan proses vitrifikasi. Pada pengolahan secara industri, suhu pembentukan gelas limbah yang tinggi mengakibatkan korosi
melter lebih cepat sehingga umur melter lebih
pendek dan lebih banyak menghasilkan limbah radioaktif padat. Oleh karena itu dibuat gelas
-limbah yang suhu pembentukannya 1150 ͌C,
seperti yang dilakukan oleh negara-negara maju. Gelas adalah bahan amorf yang dibentuk dari pendinginan lelehan gelas menjadi gelas setelah melewati suhu transisinya (Tg)[1]. Limbah cair aktivitas tinggi banyak mengandung radionuklida hasil belah dan sedikit aktinida. Imobilisasi LCAT menggunakan proses vitrifikasi memiliki sifat ketahanan kimia dan reduksi volume gelas-limbah tinggi sehingga menguntungkan dari segi
penyimpanan[2,3]. Banyak negara maju seperti Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Jepang, Rusia, dan India telah menerapkan vitrifikasi untuk mengolah LCAT, sedangkan ada beberapa negara lain sedang dalam proses pengembangan[4].
Beberapa jenis gelas telah dikembangkan untuk vitrifikasi LCAT, namun gelas borosilikat adalah jenis gelas yang paling banyak digunakan. Hal ini karena proses pembuatan gelas borosilikat lebih mudah dan mempunyai ketahanan kimia dan kandungan limbah yang
tinggi[5]. Gelas aluminosilikat tidak
dikembangkan lagi karena kandungan limbahnya rendah sekitar 10 % berat dan suhu
pembentukannya tinggi sekitar 1350 °C,
2
pendek. Aspek keselamatan merupakan
pertimbangan utama dalam pemilihan bahan matriks untuk imobilisasi LCAT, namun aspek ekonomi juga harus dipertimbangkan. Jika hanya aspek keselamatan yang jadi pertimbangan, maka pengelolaan limbah menjadi sangat mahal. Ada 3 kendala yang dihadapi teknologi vitrifikasi yaitu biaya yang mahal, proses yang sukar, dan tuntutan ketahanan gelas-limbah hasil vitrifikasi[7]. Ketidak tahanan gelas-limbah terhadap panas menyebabkan perubahan struktur gelas dari amorf menjadi kristalin yang disebut devitrifikasi. Devitrifikasi atau kristalisasi gelas meningkatkan laju pelindihan yang berpotensi bahaya terhadap lingkungan. Adanya hambatan tersebut perlu inovasi vitrifikasi agar proses menjadi lebih ekonomis. Salah satu inovasi yang dapat diterapkan adalah mengganti glas sfrits dengan
bottom ash dan fly ash abu batubara, sehingga
diharapkan dapat menghemat biaya vitrifikasi. Limbah abu dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara dimungkinkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan gelas untuk vitrifikasi LCAT karena komposisi abu batubara yang mendekati komposisi glass frits dari bahan kimia. Bottom
ash dan fly ash merupakan material dengan
kandungan utama silika dan alumina[8]. Kandungan silika dan alumina yang tinggi akan menaikkan suhu lebur gelas-limbah. Suhu lebur proses vitrifikasi yang tinggi akan mempercepat korosi dan umur pakai melter.
membuat limbah simulasi.
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
- Furnace suhu maksimum 1200 0C
- Furnace suhu maksimum 1700 0C
- Neraca analitic
- X-Ray Defraction
- Peralatan gelas
Metode
Penentuan Komposisi Limbah
Komposisi LCAT dari bahan bakar bekas
PWR, burn up 45.000 MWD/MTU, pengkayaan
uranium 4,50 %, panas peluruhan 38 MW/MTU dan pendinginan selama 4 tahun ditentukan dengan ORIGEN-2. Unsur-unsur Tc diganti Mn dan aktinida (U, Np, Pu, Am, Cm) diganti Ce.
Penentuan Komposisi Gelas-Limbah
Komposisi fly ash dan bottom ash hasil pembentukan batubara ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia gelas borosilikat, fly ash, dan bottom ash.
Komposisi Gelas borosilikat
(% berat)
bottom ash ditunjukkan pada Tabel 1.
- Berat bahan limbah yang komposisinya
seperti pada Tabel 2, digunakan untuk
membuat komposisi gelas-limbah seperti pada Tabel 3 dan Tabel 4.
- Komposisi gelas (fly ash) dan gelas (bottom
ash) masing-masing ditambahkan B2O3,
3
dimasukkan dalam komposisi gelas limbahyaitu tanpa SrO, Y2O3, Zr02, MoO3, Tc2O7, RuO2, ZrO, Sb2O3, La2O3, Pr6O11, Nd2O3, Pm2O3, Sm2O3, Eu2O3, Gd2O3.
- Fly ash-limbah dengan kandungan limbah
20 % dan bottom ash-limbah dengan
kandungan limbah 20 %.
- Campuran bahan-bahan tersebut dicampur
dan digerus sehingga homogen dalam
crucibel porselin.
- Campuran fly ash-limbah dan bottom ash -limbah masing-masing dilebur pada suhu
1150 °C selama 2,50 jam, kemudian
didinginkan sampai suhu kamar, sehingga terbentuk gelas-limbah.
Tabel 2. Komposisi LCAT bahan bakar bekas PWR, fraksi bakar 45.000 MWD/MTU, pengkayaan U 4,50 %, daya spesifik 38 MW/MTU, pendinginan 4 tahun[2].
Oksida % berat Oksida % berat
Pembuatan diagram Time Temperature
Transformasion (TTT)
− Gelas-limbah hasil proses vitrifikasi di atas
dipecah menjadi bagian-bagian kecil kemudian digerus sampai menjadi serbuk dalam crucibel porselin. Serbuk gelas-limbah dianalisis menggunakan difraktometer sinar-X. Pola difraksi sinar-X amorf menunjukkan struktur gelas.
− Bagian-bagian kecil gelas-limbah yang lain
dipanaskan pada berbagai suhu dan waktu,
kemudian digerus dalam crucible porselin
sampai menjadi serbuk halus. Serbuk halus dianalisis menggunakan difraktometer sinar-X. Dari pola difraksi dapat dilihat terjadi kristal atau tidak.
− Dari hasil diatas dapat dibuat diagram TTT.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada pembuatan gelas – limbah secara simulasi, unsur-unsur aktinida (U, Np, Pu, Am,
dan Cm) disubstitusi dengan Ce. Komposisi
gelas-limbah dengan bahan gelas dari fly ash
dengan komposisi seperti pada Tabel 3 dan dari
bottom ash dengan komposisi seperti pada Tabel
4, masing-masing dengan penambahan B2O3. Bahan gelas-limbah dengan bahan gelas
dari fly ash dan bottom ash masing-masing
dipanaskan pada 1150 °C selama 2,50 jam,
sehingga terbentuk gelas-limbah. Penentuan suhu tersebut agar pada penerapan dalam skala industri, monofrax - K3 suhunya masih sama atau
dibawah 900 °C, sehingga laju korosi bahan
tersebut masih kecil. Pada suhu 1150 °C laju
korosi monofrax K-3 sekitar 0,022 mm/hari,
sehingga melter dengan bahan ini dapat tahan
selama 5 tahun[1].
4
suhu peleburan gelas-limbah seperti Na2O dan
B2O3. Kadar maksimum Na2O adalah 10 %,
karena jika lebih besar dari 10 % akan terbentuk
fase pemisah yang berwarna kuning yang disebut
yellow phase[1].
Tabel 3. Komposisi gelas (fly ash dengan penambahan B2O3 )-limbah LCAT bahan bakar bekas PWR, fraksi bakar 45.000 MWD/MTU, pengkayaan U 4,50 %, daya spesifik 38 MW/MTU,
pendinginan 4 tahun dengan kandungan limbah 19,37 % berat[2].
Oksida % berat Oksida % berat
b. Komposisi limbah LCAT
Tabel 4. Komposisi gelas (bottom ash)-limbah LCAT bahan bakar bekas PWR, fraksib bakar 45.000
MWD/MTU, pengkayaan U 4,50 %, daya spesifik 38 MW/MTU, pendinginan 4 tahun dengan kandungan limbah 19,37 % berat[2].
Oksida % berat Oksida % berat
a. Komposisi gelas (bottom ash)
5
Pada Tabel 3 dan Tabel 4 komposisipembentukan gelas berbeda karena dari fly ash
dan bottom ash jumlah Na2O dalam bahan
pembentuk gelas dan limbah dibuat 10 % berat untuk menurunkan suhu lebur gelas-limbah dan
untuk menghindari agar tidak terjadi pemisahan
fase kuning (yelow phase)[1]. Dengan jumlah
oksida pembentuk gelas yang sama (80,63 %), maka komposisi oksida limbah berbeda karena kadar Na2O dalam limbah berbeda.
Intensitas (kcps)
Gambar 1. Pola difraksi amorf bahan gelas dari bottom ash
Gelas-limbah dengan bahan gelas dari bottom
ash dianalisis dengan difraktometer sinar-X
menunjukkan pola difraksi untuk bahan amorf, seperti pada Gambar 1. Demikian pula
gelas-limbah dengan bahan gelas dari fly ash yang
dipanaskan pada 800 °C selama 2 jam
menunjukkan pola difraksi seperti pada Gambar 2.
Intensitas (kcps)
Gambar 2. Pola difraksi kristal gelas fly-ash limbah yang dipanaskan pada 800 0C selama 2 jam
Dari hasil analisis dengan defraktometer sinar -x, gelas (fly ash)- limbah dan gelas (bottom ash )-limbah dapat dibuat diagram TTT yang ditunjukkan pada Gambar 3 dan Gambar 4. Pada suhu diatas 900 °C tidak terjadi kristalisasi gelas
karena gerakan atom-atomnya sangat cepat sehingga atom-atom sukar untuk mengatur diri membentuk kristal. Kristalisasi dapat terjadi pada
suhu rendah yaitu 600 °C tetapi dalam jangka
6
Gambar 3. Difraktometer sinar-X gelas limbah dengan bahan gelas dari fly ash
7
Kadar Al2O3 yang tinggi dalam bottom ash
menyebabkan titik lebur gelas-limbah yang
tinggi. Penambahan B2O3 dalam bottom ash
dapat menurunkan titik lebur gelas-limbah.
Titik lebur (melting point) adalah suhu dimana viskositas gelas-limbah adalah 100 poise dan ini terjadi pada suhu 1150 °C. Terjadinya kristalisasi harus dihindari karena karena akan menaikkan laju pelindihan radionuklida gelas-limbah ke lingkungan. Untuk menghindari kristalisasi digunakan sistem pendingin sampai temperatur di bawah Tg (titik transformasi) [9].
KESIMPULAN
Kristalisasi fly ash-limbah dan bottom ash-limbah terjadi antara suhu 700 - 900 °C. Kristalisasi gelas-limbah harus dihindari karena menaikkan laju pelindihan gelas-limbah. Oleh karena itu pada penyimpanan sementara gelas-limbah digunakan sistem pendingin. Di atas
suhu 900 °C, kristalisasi tidak terjadi karena
gerakan atom-atomnya sangat cepat.
DAFTAR PUSTAKA
[1]. MARTONO, H, "Treatment of High Level
Liquid Waste and Characterization of Waste Glass", PNC, Japan, 1988.
[2]. KAVOURAS, et al, "Microstructural
Changes of Processed Vitrified Solid Waste
Products", Journal Of The European
Ceramic Society, No. 23, pp 1305 - 1311,
2002.
[3]. MORGAN et al, "Interaction of Simulated High Level Waste (HLW) Calcine With Alkali Borosilicate Glass". Presented at 105th Annual Meeting of The American Ceramic Society", Nashville, Tennessee, Australian Nuclear Science and Technology Organization, 2002.
[4]. PETITJEAN, et al, "Development Of
Vitrification Process and Glass Formulation For Nuclear Waste Conditioning"' France WM'02 Conference, Frence, pp. 1-4, 2002.
[5]. DONALD, I.W, et al, "Review The
Immobilization of High Level Radioactive Wastes Using Ceramics and Glasses",
Journal Of Materials Science, No. 32, pp.
5851 - 5887, 1997.
[6]. MARTONO, H, "Melter Pemanas Induksi
dan Joule Untuk Vitrifikasi Limbah Cair Aktivitas Tinggi Dengan Gelas Borosilikat", Seminar Nasional VI SDM Teknologi Nuklir, Yogyakarta, 2010.
[7]. Pacific Nortwest National Laboratory
(PNNL), "High-Level Waste Melter Study
Report", Pacific Nortwest National
Laboratory, Richland, Washington, 2001.
[8]. PUSPITASARI, Y, et al, "Sintesis Dan
Karakterisasi Geopolimer Berdasarkan Variasi Rasio Mol SiO2/Al2O3 Dari Abu
Layang PLTU Suralaya", Prosiding Kimia
FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya, 2010.
[9]. MOSER, C.M, "Borosilicate and Alumino
8
IMOBILISASI LIMBAH CAIR TINGKAT TINGGI
MENGGUNAKAN
GLASS FRITS FLY ASH
Aisyah, Yuli Purwanto
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif – BATAN Kawasan PUSPIPTEK, Serpong 15310
ABSTRAK
IMOBILISASI LIMBAH CAIR TINGKAT TINGGI MENGGUNAKAN GLASS FRITS FLY ASH.
Limbah cair tingkat tinggi (LCTT) adalah limbah yang ditimbulkan dari proses olah ulang bahan bakar nuklir bekas. Limbah ini banyak mengandung hasil belah dan sedikit aktinida. Limbah ini diimobilisasi menggunakan gelas borosilikat. Faktor penting yang mempengaruhi karakteristik gelas limbah antara lain komposisi kandungan limbah dan glass frits. Fly ash merupakan abu batubara yang memiliki kandungan antara lain SiO2, Al2O3, CaO dan Fe2O3 yang mirip dengan komposisi glass frits untuk imobilisasi LCTT, sehingga dapat digunakan sebagai glass frits pada imobilisasi LCTT. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pemanfaatan fly ash sebagai glass frits pada imobilisasi LCTT. Dipelajari beberapa gelas limbah seperti gelas limbah A, B,C yang memiliki kandungan limbah 23,21; 36,75; 50,133 % berat dan gelas limbah D yang menggunakan glass frits fly ash saja tanpa penambahan oksida SiO2. Sebagai standar digunakan gelas limbah milik JAEA. Karakteristik gelas limbah yang dipelajari adalah densitas, laju pelindihan dan devitrifikasi. Semakin tinggi kandungan limbah maka densitas dan laju pelindihan semakin tinggi. Densitas tertinggi adalah pada gelas limbah C yang memiliki kandungan limbah paling tinggi, sedangkan laju pelindihan tertinggi adalah pada gelas limbah D yang merupakan gelas limbah dengan dengan glass fritsfly ash tanpa penambahan SiO2. Devitrifikasi gelas limbah terjadi pada gelas limbah A pada pemanasan 700 0C dalam waktu 5 jam dengan terbentuknya kristal yang didominasi oleh SiO2. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa fly ash dapat dimanfaatkan sebagai glass frits untuk imobilisasi dengan penambahan SiO2 agar diperoleh karakteristik gelas limbah yang memenuhi persyaratan.
Kata kunci: Limbah cair tingkat tinggi, imobilisasi, glass frits, fly ash
ABSTRACT
IMMOBILIZATION OF HIGH- LEVEL WASTE USING FLY ASH GLASS FRITS. High level liquid
waste (HLLW) is a waste generated from reprocessing of spent nuclear fuel . This waste contains many fission products and a few actinides. The waste is immobilized with borosilicate glass. The important factors influencing the characteristics of the waste-glass among others are waste content and glass frits composition. Fly ash is the ash generated from coal firing. The ash composed of SiO2, Al2O3, CaO and Fe2O3, which is similar to that of glass frits. It
was assumed that fly ash is possible to be used as substitute for glass frits. The aims of this research was to study the utilization of fly ash for HLLW immobilization. Some waste-glass were studied, namely waste-glasses A, B, C that contain waste loading of 23.21; 36.75 and 50.133 wt% respectively, and waste-glass D that was immoblized whith fly ash without addition of SiO2 oxide. A standard glass from JAEA was used as reference. The characteristics to be
observed were density. leaching rate and devitrification. The higher the density and waste loading of the waste-glass ,made the the leaching rate higher. The waste-glass with the highest density was the waste-glass C, while the highest leaching rate was the waste-glass D. Devitrification occured on the waste glass A under 700 0C 5 hours heating. The
devitrification was identified by the formation of crystal dominated by SiO2. It was concluded that the fly ash can be
used as glass frits on immobilization of HLLW with addition of SiO2 for improvement of waste-glass characteristics, in
order to meet the requirement.
Keywords : High-level liquid waste , immobilization , glass frits , fly ash
PENDAHULUAN
Dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1997 tentang ketenaganukliran ditetapkan bahwa klasifikasi limbah radioaktif dibagi atas 3 jenis, yaitu Limbah tingkat rendah (Low Level Waste),
limbah tingkat sedang (Intermediate Level
Waste) dan limbah tingkat tinggi (High Level
Waste) [1]. Pada sistem daur bahan bakar terbuka
9
akan mengalami proses olah ulang. Proses olahulang bahan bakar bekas bertujuan untuk mengambil sisa uranium yang tidak terbakar dan plutonium yang terbentuk selama proses pembakaran bahan bakar nuklir. Dalam proses
olah ulang inilah akan ditimbulkan Limbah Cair Tingkat Tinggi (LCTT) dengan proses pengeloaan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1[2-4].
Gambar 1. Pengelolaan LCTT [2-4].
Pada Gambar 1 tampak bahan bakar setelah keluar dari reaktor dapat mengalami pendinginan (peluruhan) selama 6 bulan dalam kolam penyimpanan. Setelah pendinginan, bahan bakar dilarutkan kedalam larutan asam nitrat
(HNO₃) dan hasil pelarutan diekstraksi untuk
memisahkan aktinida yaitu uranium (U), plutonium (Pu) dari hasil belah lainnya. Proses ini disebut ekstraks siklus pertama. Dari hasil proses ekstraksi ini akan diperoleh larutan yang banyak mengandung hasil belah dan sedikit
aktinida, larutan ini yang disebut LCTT. Limbah cair tingkat tinggi ini memerlukan pendinginan sekitar 4 tahun sebelum dilakukan imobilisasi dengan gelas borosilikat menjadi gelas-limbah. Proses imobilisasi LCTT dengan gelas disebut vitrfikasi. Lelehan gelas-limbah dimasukkan ke dalam canister pada suhu 1100 ⁰C. Canister
10
Saat ini Indonesia memilih daur terbuka, sehingga terdapat LTT yang berupa bahan bakar bekas. Namun demikian dalam beberapa kegiatannya Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan juga PT Industri Nuklir Indonesia (PT. INUKI ) menimbulkan limbah radioaktif yang komposisinya mirip dengan LCTT dari proses olah ulang bahan bakar bekas, seperti limbah dari pengujian bahan bakar paska iradiasi ataupun limbah dari produksi radioisotop Mo-99 [7,8]. Oleh karena itu diperlukan penguasaan teknologi pengelolaan LTT baik yang berupa bahan bakar bekas maupun LCTT yang berasal dari proses olah ulang bahan bakar bekas.
Limbah cair tingkat tinggi disamping memiliki panas radiasi yang cukup tinggi, juga mengandung aktinida yang berumur paro
panjang. Oleh karena itu LCTT memerlukan
pengelolaan dengan tingkat keselamatan yang cukup tinggi termasuk dalam hal pemilihan bahan matriks untuk imobilisasi beserta teknologi imobilisasinya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih bahan matriks untuk imobilisasi LCTT adalah proses pembuatan yang mudah, praktis, kandungan
limbah (waste loading) yang ekonomis, serta
hasil imobilisasi memiliki karakteristik yang baik seperti ketahanan kimia yaitu laju pelindihan yang rendah, sifat fisika yang sesuai, kestabilan terhadap radiasi, kestabilan terhadap panas yaitu tidak mudah terjadi devitrifikasi dan keutuhan fisik (phisycal integrity) [9].
Terdapat beberapa bahan matrik untuk
imobilisasi LCTT seperti gelas, synrock dan
vitromet. Berdasarkan pertimbangan teknik
pembuatan, stabilitas dalam jangka panjang, besarnya kandungan limbah, serta berdasarkan
standar International Atomic Energy Agency
(IAEA) dan pengalaman beberapa negara maju
seperti Perancis, Jepang, Inggris maka
pengolahan LCTT dilakukan melalui imobilisasi dengan gelas borosilikat [10,11].
Banyak faktor yang mempengaruhi karakteristik gelas limbah dalam proses vitrifikasi seperti komposisi limbah, komposisi
bahan glass frits maupun kondisi operasi
vitrifikasi dimana masing-masing unsur memiliki peran dalam karakteristik gelas limbah yang dihasilkan. Umumnya gelas borosilikat
dengan kandungan SiO2 di atas 40%
mempunyai kualitas yang memenuhi syarat hasil vitrifikasi.
Fly ash atau abu layang merupakan
limbah abu dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(PLTU) yang berbahan bakar batubara. Fly ash
memiliki komposisi kimia yang mirip dengan
glass frits seperti SiO2, Al2O3, CaO maupun
Fe2O3 sehingga fly ash memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai glass frits pada imobilisasi LCTT dengan gelas borosilikat [11].
Sesuai dengan kandungan limbahnya
maka komposisi glass frits memiliki peran
yang penting dalam menghasilkan karakteristik gelas limbah yang sesuai dengan standar. Perubahan komposisi glass frits akan menghasilkan karakteristik gelas limbah yang berbeda. Unsur Si maupun Al merupakan
salah satu komponen penting dalam glass frits
yang merupakan unsur pembentuk kerangka gelas yang jumlahnya dapat mempengaruhi
karakteristik gelas limbah. Jadi semakin
tinggi kadar Si dalam glass frits maka akan
dihasilkan gelas limbah dengan kualitas yang semakin baik, namun suhu pelelehan gelas limbah s emakin tinggi.
Pada penelitian sebelumnya telah dipelajari beberapa topik tentang imobilisasi LCTT menggunakan menggunakan gelas borosilikat antara lain persyaratan gelas limbah untuk vitrifikasi, perbandingan gelas keramik dan gelas borosilikat, pengaruh perlakuan panas terhadap devitrifikasi gelas limbah, pengaruh radiasi dan radionuklida hasil belah terhadap sifat fisika dan kimia gelas-limbah, perubahan komposisi bahan pembentuk gelas pada karakteristik gelas limbah [9,11-15]. Terdapat beberapa karakteristik gelas limbah yang perlu dipelajari seperti densitas, koefisien muai panjang, hantaran panas, viskositas, laju pelindihan, titik pelunakan, hantaran listrik, panas jenis, dan kekuatan mekanik.
Karakteristik gelas limbah yang dipelajari dalam penelitian ini adalah densitas, laju pelindihan dan devitrifikasi gelas limbah terkait dengan adanya perubahan kandungan limbah dan glass frits. Penentuan karakteristik densitas gelas limbah diperlukan dalam
perancangan melter, canister, beban
11
penyimpanan gelas limbah. Karakteristik lajupelindihan merupakan karakteristik gelas limbah yang menunjukkan kekuatan gelas limbah dalam mengungkung radionuklida yang ada didalamnya. Seperti diketahui bahwa tujuan akhir pengelolaan limbah adalah menjaga agar
radionuklida terikat cukup kuat dalam monolith
bahan matriks dalam jangka waktu yang sangat lama, sehingga potensi radionuklida terlindih ke lingkungan bisa diminimalkan.
Sebagai acuan adalah gelas limbah
standar milik Japan Atomic Energy Agency
(JAEA) Jepang [6]. Komposisi LCTT ditentukan
dengan program ORIGEN 2. Pembuatan gelas
limbah simulasi dilakukan dengan cara
melelehkan campuran glass frits dan limbah
dalam berbagai komposisi pada suhu 1150 0C.
Karakterisasi gelas limbah yang dilakukan adalah densitas, laju pelindihan dan devitrifikasi.
Densitas dilakukan secara Archimides, laju
pelindihan dilakukan dengan alat soklet dan devitrifikasi dilakukan dengan Difraktometer Sinar X (XRD) sedangkan struktur mikro
dilakukan dengan Scanning Electrone
Microscope (SEM) beserta Energy
Dispersive-X-Ray Spectroscopy (EDS). Karakteristik gelas
limbah yang diteliti akan dibandingkan dengan karakteristik gelas limbah standar. .
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pemanfaatan fly ash sebagai glass
frits dalam imobilisasi LCTT sehingga dapat
diperoleh gelas limbah dengan karakteristik yang tidak hanya memenuhi standar namun juga ekonomis dan secara teknis dapat divitrifikasi dengan baik. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bidang Teknologi Pengolahan Limbah Radioaktif Dekontaminasi dan Dekomisioning di Pusat Teknologi Limbah Radioaktif, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Kawasan Puspiptek Serpong pada Tahun 2013.
Walaupun saat ini Indonesia belum melakukan proses olah ulang, namun topik penelitian ini menjadi penting sebagai acuan dalam mengelola LCTT yang ditimbulkan dari kegiatan produksi radioisotop maupun pengujian bahan bakar paska iradiasi dimana limbah yang ditimbulkan memiliki komposisi yang mirip dengan LCTT yang ditimbulkan dari proses olah ulang bahan bakar nuklir bekas.
TATA KERJA
Bahan dan Peralatan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Fly ash dari PLTU Suralaya, oksida – oksida SiO2, B2O3, Na2O, CaO,Al2O3, Fe2O3, NiO, Cr2O3, SrO, Cs2O, BaO, La2O3 dan CeO2 buatan Merck dengan kemurnian yang tinggi.
Dalam penelitian ini digunakan beberapa peralatan seperti timbangan analitis,
tungku pemanas (Muffle Furnace), cawan
alumina untuk pembuatan gelas limbah, X-Ray
Fluorecent (XRF), Scanning Electrone
Microscope (SEM) dan Energy
Dispersive-X-Ray Spectroscopy (EDS) untuk pengamatan
struktur mikro gelas limbah, Difratometer Sinar
X (XRD) untuk pengukuran pola difraksi sinar
X dan software ORIGEN 2 untuk menentukan
komposisi LCTT.
Metode
1. Penentuan Komposisi Fly Ash
Abu batu bara jenis fly ash diambil dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
Suralaya, Banten. Komposisi kimia fly ash
ditentukan dengan XRF di Pusat Sains & Teknologi Nuklir Terapan (PSTNT) Bandung.
2. Penentuan Komposisi Limbah Cair Tingkat
Tinggi
Komposisi LCTT ditentukan dengan
menggunakan software ORIGEN 2
12
3. Penentuan Komposisi Gelas-Limbah
Glass frits (bahan pembentuk gelas)
yang utama adalah fly ash dengan
penambahan oksida SiO2 dan B2O3.
Komposisi gelas limbah ditentukan berdasarkan variasi kandungan limbah yaitu gelas A, B, dan C, masing-masing dengan kandungan limbah 23,21; 36,747; dan 50,133 %berat serta gelas D merupakan gelas limbah
dengan glass frits murni fly ash tanpa
penambahan oksida SiO2 lagi. Komposisi
gelas limbah A,B,C dan D ditunjukkan pada Tabel 1. Sebagai standar digunakan gelas limbah milik JAEA Jepang dengan komposisi
dan karakteristik seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2 dan 3.
4. Pembuatan Gelas Limbah
Pembuatan gelas-limbah dilakukan
dengan memanaskan campuran oksida
seperti pada Tabel 1 pada suhu 1150 0C
selama 2,5 jam. Pemanasan dilakukan dalam tungku pemanas menggunakan wadah dari crusible alumina. Selanjutnya dilakukan pendinginan sampai suhu kamar sehingga terbentuk gelas limbah [9,15,17].
Tabel 1. Komposisi Gelas Limbah A,B,C dan D
13
Tabel 3. Karakteristik Gelas Limbah Standar [6]5. Penentuan Densitas Gelas Limbah
Densitas gelas limbah ditentukan secara
Archimides dengan cara menimbang
potongan gelas limbah di udara dan dalam keadaan tercelup dalam air pada suhu kamar. Densitas gelas limbah dihitung dengan persamaan [15,18,19]:
ρ = (Waρw - Ww ρa)/(Wa – Ww) …… (1)
dimana ρ adalah densitas gelas limbah (g cm -3) , ρ
w adalah densitas air (g cm-3), ρa adalah densitas udara (g cm-3), W
a adalah berat gelas limbah di udara (g) dan Ww adalah berat gelas limbah di air (g). Sebagai standar dalam pengukuran densitas digunakan aluminium.
6. Penentuan Laju Pelindihan Gelas Limbah
Laju pelindihan gelas limbah dilakukan
menurut Japan Industrial Standart (JIS),
yaitu laju pelindihan dipercepat dalam medium air. Contoh gelas-limbah dihaluskan dan dimasukkan dalam basket dan dipasang pada sokhlet untuk direfluks dengan air suling
pada suhu 100 0C selama 24 jam. Laju
pelindihan gelas-limbah dengan cara Soxhlet
pada suhu 100 ºC dan 1 atm selama 24 jam ini sama dengan laju pelindihan gelas limbah pada suhu kamar selama 1 tahun. Laju pelindihan dihitung berdasarkan berat contoh yang hilang dengan persamaan [20,21]:
L
=
W
S
.
t
...(2)dengan L: laju pelindihan (g cm-2 hari-1), S: luas permukaan contoh (cm2), W: berat gelas limbah yang terlindih (g), t: waktu pelindihan (hari).
7. Penentuan Amorf dan Devitrifikasi Gelas
Limbah
Penentuan struktur amorf dan kristalin pada devitrifikasi gelas limbah ditentukan dengan XRD. Terjadinya devitrifikasi secara kualitatif ditentukan terhadap gelas limbah A dengan cara memanaskan gelas limbah A
pada suhu 700 0C selama 5 jam. Dari pola
difraksi dapat ditentukan apakah bahan
berada pada struktur amorf atau telah
terbentuk kristal. Struktur kristal ditandai dengan munculnya puncak-puncak pada pola diftaksi XRD sedangkan pola difraksi struktur amorf menunjukkan tidak adanya puncak-puncak [14,18].
8. Pengamatan Struktur Mikro Gelas Limbah Dengan SEM dan EDS
Gelas limbah A yang telah mengalami
pemanasan pada suhu 700 0C selama 5 jam
ditumbuk halus dan kemudian dilakukan analisis struktur mikro menggunakan SEM di Pusat Sains & Teknologi Bahan Maju (PSTBM) Serpong. Analisis EDS dilakukan secara spot (titik) analisis terhadap posisi kristal yang muncul pada permukaan struktur mikro tersebut. Analisis EDS akan memberikan informasi tentang jenis kristal yang terbentuk.
HASIL DAN PEMBAHASAN
14
Tabel 4. Komposisi Kimia Fly Ash
Pada Tabel 4 tampak bahwa komposisi fly
ash didominasi oleh SiO2, Al2O3 dan Fe2O3. Unsur yang penting dalam glass frits adalah SiO2 dan Al2O3, oleh karena itu fly ash ini dapat dimanfaatkan sebagai glass frits pada imobilisasi LCTT menggunakan gelas borosilikat. Untuk memperoleh kualitas gelas limbah yang memenuhi standar maka salah satunya adalah
dengan mengatur kandungan SiO2 dalam
komposisi glass frits. Kandungan SiO2 dalam
glass frits minimal adalah 40 %berat, oleh
karena itu diperlukan penambahan SiO2 lagi dari oksida kimia.
Hasil analisisi LCTT menggunakan
software ORIGEN 2 berdasarkan atas jenis
reaktor PWR, fraksi bakar 45000 MWD/MTU, pengkayaan uranium awal 4,5 %, daya spesifik 38 MW/MTU dan lama pendinginan sebelum proses vitrifikasi 4 tahun ditunjukkan pada Tabel 5.
Pada Tabel 5 terlihat bahwa kandungan limbah didominasi oleh radionuklida hasil belah yang merupakan radionuklida pemancar gamma. Oleh karena itu adanya radiasi gamma yang cukup besar yang dipancarkan oleh radionuklida hasil belah dalam gelas-limbah dapat mengakibatkan suhu gelas limbah yang tinggi ( >
500 0C). Suhu yang tinggi dan waktu yang
cukup lama dapat mengakibatkan timbulnya devitrifikasi [14]. Adanya devitrifikasi akan mengakibatkan ketahanan kimianya menurun, karenanya laju pelindihannya meningkat.
15
Hasil pengukuran densitas terhadap jenis gelas limbah yang diteliti yaitu jenis gelas limbah A, B, C, D ditunjukkan pada Gambar 2.Gambar 2. Pengaruh Jenis Gelas-Limbah Terhadap Densitas Gelas-Limbah
Pada Gambar 2 tampak bahwa dengan bertambahnya kandungan limbah (gelas-limbah A,B,C) maka densitas semakin besar. Sedangkan untuk gelas-limbah D maka densitas menurun. Pada pembuatan gelas limbah, oksida limbah dan
glass frits memiliki perbandingan yang tertentu,
sehingga penambahan kandungan limbah akan
diikuti dengan penurunan glass frits. Adanya
penambahan kandungan limbah berarti prosentase oksida dari unsur-unsur yang lebih besar massanya meningkat sedangkan prosentase unsur glass frits yang lebih rendah massanya menurun. Bertambahnya prosentase unsur yang lebih besar massanya akan menaikkan densitasnya (gelas limbah A, B, C). Jika dibandingkan dengan densitas gelas limbah standar (Std) yaitu 2,74 g/cm3 dengan densitas gelas limbah B dan C yaitu gelas limbah dengan kandungan limbah antara 36,74-50,133 %berat yang memiliki densitas berkisar antara 2,78 dan
g/cm3, maka densitas gelas limbah standar
nampak lebih kecil. Hal ini karena kandungan limbah pada gelas limbah standar lebih kecil yaitu 28,84 %berat dari pada kandungan limbah pada gelas limbah B dan C, sedangkan gelas limbah A memiliki densitas yang lebih kecil dari gelas limbah standar. Hal ini sejalan dengan kandungan limbah pada gelas limbah A sedikit lebih kecil dari kandungan limbah gelas standar. Kandungan limbah yang semakin tinggi akan menghasilkan densitas gelas limbah yang lebih tinggi pula. Berarti gelas limbah akan semakin padat dan kuat. Namun demikian gelas limbah dengan kandungan limbah yang terlalu besar
akan menurunkan ketahanan kimia gelas limbah yaitu laju pelindihan akan meningkat dan ini tidak diinginkan. Untuk gelas limbah D yaitu gelas limbah dengan glass frit hanya dari fly ash
tanpa penambahan SiO2 lagi memiliki densitas
yang tidak signifikan berbeda dengan gelas limbah standar. Kandungan limbah pada gelas D adalah 23,21 %berat sedikit lebih rendah dari gelas limbah standar yaitu 28,84 % berat. Dengan demikian fly ash secara parsial atau total dapat digunakan sebagai glas frits dalam imobilisasi LCTT dengan gelas borosilikat karena menghasilkan karakteristik densitas gelas-limbah yang sesuai dengan gelas gelas-limbah standar.
Jika dibandingkan dengan penggunaan fly ash
sebagai glass frits secara parsial dan total maka karakteristik densitas yang dihasilkan sama-sama memenuhi standar, namun dari segi ekonomis maka penggunakan fly ash secara total sebagai
glass frits akan lebih ekonomis karena tanpa
penambahan glass frits dari oksida kimia lainnya yang harganya lebih mahal dari fly ash.
Seperti diketahui bahwa data densitas ini sangat penting untuk diketahui guna perancangan
melter, canister serta strategi penyusunan
canister yang berisi gelas limbah dalam storage
16
menerima beban tumpuk yang lebih besar. Namun demikian kandungan limbah yang semakin besar akan menurunkan jumlah oksida pembentuk gelas, salah satunya yaitu menurunkan jumlah SiO2. Seperti diketahui SiO2
merupakan salah satu unsur dalam glass frits
yang cukup dominan yang membentuk struktur kerangka gelas yang kuat. Jumlah SiO2 yang menurun dapat mengakibatkan menurunnya karakteristik gelas limbah karena kerangka
SiO2 tidak cukup menampung radionuklida
dalam limbah. Hal ini dapat meningkatkan laju pelindihan. Oleh karena itu untuk mendapatkan karakteristik gelas limbah yang baik maka jumlah kandungan limbah dibatasi yaitu 20-25 %berat. Kandungan limbah yang lebih tinggi lagi akan lebih meningkatkan laju pelindihan dan ini harus dihindari
Pengaruh laju pelindihan terhadap jenis gelas limbah ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Pengaruh Jenis Gelas-Limbah Terhadap Laju Pelindihan Gelas-Limbah
Pada Gambar 3 tampak bahwa laju pelindihan semakin meningkat untuk jenis gelas-limbah A,B, dan C. Jika dilihat dari komposisi gelas limbah, maka terjadi peningkatan kandungan limbah A,B, dan C. Bertambahnya kandungan limbah menyebabkan laju pelindihan semakin besar. Kandungan limbah yang besar berarti jumlah radionuklida yang harus ditampung dalam kerangka gelas juga besar, bahkan kerangka gelas akan menjadi penuh dengan radionuklida yang terkandung dalam limbah. Akibatnya, radionuklida mudah terlindih keluar. Gelas limbah dengan laju pelindihan yang besar merupakan gelas limbah dengan kualitas yang tidak baik. Laju pelindihan gelas-limbah B, C dan D lebih besar dari laju pelindihan gelas-limbah standar. Untuk gelas gelas-limbah B dan C jumlah kandungan limbah lebih besar dari gelas limbah standar, sehingga jumlah radionuklida yang harus ditampung dalam kerangka gelas B dan C semakin banyak, sehingga potensi pelindihan radionuklida keluar dari gelas limbah semakin besar. Untuk gelas limbah D yaitu gelas
limbah dengan glass frits hanya fly ash memiliki laju pelindihan paling besar yaitu 4,514x10-5 g cm-2 hari-1 hampir dua kali laju pelindihan gelas limbah standar. Gelas limbah D memiliki kandungan SiO2 hanya dari fly ash tanpa adanya penambahan SiO2 dari bahan kimia sebagai glass
frits yaitu 22,823 % berat paling kecil
dibandingkan dengan gelas limbah A,B,C bahkan jauh lebih kecil dari gelas limbah standar yaitu 43,15 %berat. Dengan demikian untuk
imobilisasi LCTT hanya menggunakan fly ash
sebagai glass frits mengharuskan penambahan
17
Jika dipelajari pengaruh oksida SiO2
dalam glass frits terhadap laju pelindihan gelas
limbah A,B, C dan D dihasilkan grafik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Pengaruh Kandungan SiO2 Terhadap Laju Pelindihan Gelas Limbah
Unsur Si merupakan salah satu unsur
dalam glass frits yang cukup dominan yang
membentuk struktur kerangka gelas yang kuat. Gelas limbah A,B,C,D dan gelas limbah standar
memiliki kandungan SiO2 yang berbeda yaitu
masing – masing 68,78; 48,63; 35,07; 22,28 dan 43,15 %berat. Pada Gambar 4 terlihat bahwa
semakin tinggi kandungan SiO2 maka laju
pelindihan gelas limbah semakin kecil. Semakin
tinggi kandungan SiO2 maka kualitas gelas
limbah akan semakin baik karena karakteristik laju pelindihannya semakin kecil. Namun
demikian kandungan SiO2 yang besar akan
menaikkan titik leleh dan viskositas gelas limbah, sehingga proses vitrifikasi memerlukan suhu yang lebih tinggi lagi. Ini akan
meningkatkan laju korosi refraktory (bata
tahan api) melter sehingga meningkatkan timbulnya limbah radioaktif padat sekunder. Demikian pula untuk bisa menuangkan lelehan gelas limbah dari melter ke canister
perlu pemanasan yang lebih tinggi. Hal ini akan mengakibatkan energi untuk pembentukan gelas limbah menjadi lebih tinggi. Oleh karena itu
kandungan SiO2 dalam gelas limbah yang ideal
adalah sekitar 40 %berat. Pada Gambar 4 tampak bahwa laju pelindihan terbesar adalah 4,514x10-5 g cm-2 hari-1 dan gelas limbah ini
memiliki kandungan SiO2 terkecil yaitu 22,283 % berat dan ini adalah gelas limbah D yang
merupakan gelas limbah dengan kandungan SiO2
hanya dari fly ash.
18
Gambar 5. Struktur gelas-limbah amorf
Gambar 6. Srtuktur gelas limbah yang mengalami devitrifikasi.
Pada Gambar 5 tampak pola difraksi yang tidak muncul puncak-puncak dan hal ini menunjukkan
bahwa struktur gelas limbah adalah amorf.
Sedangkan pola difraksi pada Gambar 6 menunjukkan adanya puncak puncak pada sudut 2θ tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa struktur amorf telah berubah menjadi kristalin. Gambar 6 merupakan pola difraksi XRD dari gelas limbah
A dengan kandungan limbah 23,21 %berat yang
mengalami pemanasan pada suhu 700 0C selama
5 jam
Analisis struktur mikro menggunakan SEM terhadap gelas limbah A yang mengalami
devitrifikasi pada suhu 700 0C selama 5 jam
ditunjukkan pada Gambar 7.
19
Pada Gambar 7 tampak adanya kristal sepertijarum yang tersebar pada permukaan contoh gelas limbah A yang mengalami devitrifikasi pada suhu 700 0C selama 5 jam. Analisis spot menggunakan EDS pada kristal putih menunjukkan bahwa kristal tersebut didominasi oleh oksida SiO2.
KESIMPULAN
Fly ash dapat dimanfaatkan sebagai
glass frit pada imobilisasi LCTT menggunakan
gelas borosilikat. Untuk mendapatkan karakteristik gelas limbah yang memenuhi standar maka pemanfaatan fly ash sebagai glass frit harus ditambahkan lagi oksida SiO2 dan kandungan limbah dibatasi sekitar 20 -25 %berat. Penggunaan fly ash sebagai glass frits disamping dapat menghasilkan gelas limbah yang memenuhi standar juga proses imobilisasi menjadi lebih ekonomis karena harga fly ash jauh
lebih murah dibandingkan dengan SiO2 dari
bahan kimia.
DAFTAR PUSTAKA
[1]. NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Pengelolaan Limbah Radioaktif,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 2002, Jakarta, 2002.
[2]. IAEA, Spent Fuel Reprocessing Options,
TECDOC Series No.1587, IAEA, Vienna 2008.
[3]. IAEA,Management of Reprocessed
Uranium Current Status and Future
Prospects, Tecdoc Series No. 1529,
IAEA, Vienna, 2007.
[4]. AISYAH,“Sensitisasi Pada Bahan
Canister Limbah Cair Tingkat Tinggi Yang Diimobilisasi dengan Gelas”,
Naskah Presentasi Peneliti Utama,
PTLR-BATAN, Serpong, 20 November 2012.
[5]. KANWAR RAJ AND KAUSHIK, C.P,
“Glass Matrices for Vitrification of Radioactive Waste: an Update on R & D
Efforts”, Materials Science and
Engineering, 2: 1-6, 2006.
[6]. JAEA, Second Progress Report on
Research and Development for the
Geological Disposal of HLW in Japan,
JAEA, Japan, 2000.
[7]. AISYAH, MARTONO, H., “Pengelolaan
Limbah Radioaktif Hasil Samping Produksi Radioisotop Molibdenun-99”,
Prosiding Seminar Teknologi
Pengelolaan Limbah V, hal. 26-38,
PTLR-BATAN, Serpong, 2007.
[8]. MARTONO, H., AISYAH, WATI,
“Pengolahan Limbah Cair Hasil Samping Pengujian Bahan Bakar Paska Iradiasi Dari Instalasi Radiometalurgi”, J. Teknol.
Pengelolaan Limbah, Vol.10(2), hal.1-8,
2007.
[9]. MARTONO,H., “Persyaratan
Gelas-Limbah Untuk Vitrifikasi Skala Industri
Dan Penyimpanan”, Jurnal Teknologi
Pengelolaan Limbah, Vol.8(1), hal.8-15,
2005.
[10]. IAEA, Spent Fuel and High Level
Waste : Chemical Durability and Performance Under Simulated
Repository Conditions, IAEA, Vienna,
2007.
[11].
ARTONO, H., AISYAH, “Pengaruh Radiasi Terhadap Gelas-Limbah Hasil Vitrifikasi Limbah Aktivitas Tinggi”,
Prosiding Seminar Nasional Kimia 2012,
hal. D14-D22 Jurusan Kimia-FMIPA, UNS, Surabaya, 2012.
[12]. EMEM, W., AND MORIMOTO, S., “
Preparation Of Glass-Ceramics Using
flyash As A RawMaterial”, Suranaree J.
Sci. Technol. Vol. 13, No. 2, pp. 137-142,
2005.
[13]. MARTONO, H., “Perbandingan Gelas
Keramik dan Gelas Borosilikat untuk Solidifikasi Limbah Aktivitas Tinggi”,
Prosiding Seminar Nasional ke 37,
Jaringan Kerja Sama Kimia Indonesia, hal.121--126, Jakarta, 2006.
[14]. AISYAH DAN MARTONO, H.,
‘Pengaruh Perlakuan Panas Dan Kandungan Limbah Terhadap Perubahan
Struktur Gelas Limbah”, Jurnal
Teknologi Pengelolaan Limbah, Volume
20
[15]. AISYAH, “Perubahan Komposisi Bahan
Pembentuk Gelas Pada Karakteristik
Gelas Limbah”, Jurnal Teknologi
Pengelolaan Limbah, Volume 15 Nomor
2, hal 1-14, 2012.
[16]. FARMAN, I., Nuclear Materials Nuclear
Waste Lecture 2: Incorporation of
radionuclides in immobilisation matrices,
Department of Earth Sciences Cambridge University, 2011.
[17]. SHIOTSUKI, M. et al., “Perspectives on
Application and Flexibility of LWR Vitrification Technology for High Level Waste Generated from Future Fuel Cycle
System”, Proceedings of Waste
Management 2006, February 26 - March
2, Tucson, 2006, Available:
http://jolisfukyu.tokai-
sc.jaea.go.jp/fukyu/mirai-en/2006/8_2.html, diakses pada 08-02-2010.
[18]. IAEA, Strategy and Methodology for
Radioactive Waste Characterization,
Tecdoc -1537, IAEA, Vienna, 2007.
[19]. PRADO, M.,O., MESSI, N.,B.,et.all.,
“The Effects of Radiation on The Density of an Aluminoborosilicate Glass”, Journal
of Non Crystalline Dolid ,289:175-184,
2001. Available: http://www.lamav.ufscar.br/artpdf/jncs28
9.pdf, diakses pada 15 -01- 2011
[20]. JIS K0058-1, Leaching Test Methods,
JSA, Japan, 2009.
[21]. WATI DAN HERLAN, M., “Pengaruh
Kondisi Penyimpanan dan Air Tanah Terhadap Laju Pelindihan Radionuklida
dari Hasil Solidifikasi”, Journal
Teknologi Pengelolaan Limbah,
Vol.12.No.1,hal. 19-26, 2009.
TANYA JAWAB
Penanya : Sugeng Purnomo, S.ST
• Apa yang dimaksud dengan glass frits
dan mengapa digunakan fly ash?
• Berapa optimum penggunaan fly ash
sebagai glass frit? Aisyah
• Glas frits atau bahan pembentuk gelas
adalah bahan untuk membuat gelas yang dicampur dengan limbah sehingga membentuk gelas limbah. Komposisi glass frits ini akan mempengaruhi karakteristik gelas limbah yang terjadi. Pada umumnya komposisi glass frits didominasi oleh silika (SiO2) disamping B2O3, Li2O, K2O, Al2O3, dan lainnya.
Fly ash memiliki komposisi kimia yang
mirip dengan glass frits seperti SiO2, Al2O3, CaO maupun Fe2O3 sehingga fly
ash memungkinkan untuk dimanfaatkan
sebagai glass frits pada imobilisasi
LCTT dengan gelas borosilikat.
• Dari data hasil penelitian yang
dilakukan penggunaan fly ash sebagai
glass frits optimum pada gelas limbah A
yaitu kandungan limbah 23,21 %berat
dan fly ash 15,96 %berat. Untuk
memperoleh karakteristik gelas limbah yang memenuhi standart maka
kekurangan SiO2 dalam glass frits
diakomodir dengan penambahan SiO2
21
PENGOLAHAN RESIN PENUKAR ION BEKAS
MENGGUNAKAN REAGEN FENTON
Mirawaty
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif - BATAN, Kawasan PUSPIPTEK, Serpong 15310
mirawaty@batan.go.id
ABSTRAK
PENGOLAHAN RESIN PENUKAR ION BEKAS MENGGUNAKAN REAGEN FENTON. Resin penukar ion digunakan untuk pengolahan limbah cair aktivitas rendah (LCAR), dari proses pengolahan tersebut akan dihasilkan limbah sekunder yang merupakan limbah resin penukar ion dan limbah tersebut harus diolah sebelum dilepas ke lingkungan. Pada saat ini pengolahan limbah radioaktif resin penukar ion dilakukan dengan teknologi imobilisasi langsung menggunakan bahan matriks semen. Teknologi ini masih memiliki kekurangan, yaitu resin sebagai bahan organik tidak dapat membentuk satu fasa padatan monolit yang kompak dengan semen, sehingga akan mengurangi kualitas (densitas, kuat tekan dan laju pelindihan) blok limbah. Pada penelitian ini akan dilakukan pengolahan limbah resin penukar ion menggunaan reagen fenton untuk melarutkan limbah resin. Proses melarutkan limbah resin dilakukan dengan variasi limbah resin - reagen fenton dan komposisi reagen fenton itu sendiri (H2O2-Fe). Hasil penelitian menunjukkan bahwa limbah resin penukar ion dapat diolah dengan proses destruksi menggunakan reagen fenton dimana komposisi optimal limbah resin : reagen fenton = 1: 2 dan komposisi reagen fenton Fe : H2O2 = 1 : 100. Proses destruksi dilakukan dengan teknik penambahan reagen fenton secara kontinyu untuk membuat resin terdestruksi sempurna. Kelemahan dari metode jika dilihat dari prinsip pengolahan limbah, reduksi volume dan segi ekonomi pengolahan limbah resin ini kurang efektif sehingga perlu dicari alternatif lain untuk pengolahan limbah ini.
Kata Kunci : Limbah Radioaktif, Resin Penukar Ion, Reagen Fenton, Hidrogen Peroksida, Pengolahan Limbah Radioaktif
ABSTRACT
Ion exchange resin uses to treat Liquid Low Level Radioctive Waste (LLLW), during the treatment process secondary radioactive waste was produced, which is ion exchange radioactive waste, and it should be treated prior released to the environment. Currently, ion exchange resin radioactive waste treatments are done using direct immobilization with cement matrix. Weakness of this technology is, the organic resin could not form as a compact monolithic single phase with cement, therefore it would reduce the quality of waste-cement block(density, compressive strength, and leaching rate) . This research investigate the treatment of ion exchange resin using fenton reagent as resin waste solvent. The solvent processes were done by varying the composition of resin waste-reagent and fenton reagent H2O2-Fe composition itself. The result showed that ion exchange resin waste can be treated by destructive treatment using fenton reagent, with optimum composition of resin waste:reagent=1:2 and reagent composition Fe:H2O2=1:10. Destructive treatment technique was done by adding fenton regeant continuously in order to make the resin perfectly destructed. The weakness of this technique from several aspects such as; waste treatment principal, volume reduction and economical, is not effective, therefore alternative approach to treat the waste is required.
Keywords : Radioactive waste, ion exchange resin, fenton reagent, hydrogen peroxide, radioactive waste treatment
PENDAHULUAN
Resin merupakan senyawa hidrokarbon terpolimerisasi yang mengandung ikatan hubung silang (cross-linking) serta mengandung gugusan ion-ion yang dapat dipertukarkan [1,2]. Berdasarkan gugus fungsionalnya, resin penukar ion terbagi menjadi dua yaitu resin penukar kation dan anion. Salah satu teknologi resin penukar ion digunakan pada operasi siklus bahan bakar nuklir dan pengolahan limbah radioaktif cair. Seperti dalam pembangkit listrik tenaga nuklir resin penukar ion digunakan dalam aplikasi pemurnian air pendingin primer,
pengolahan limbah primer, pengolahan air kolam penyimpanan bahan bakar, pengolahan limbah cair, pemurnian asam borat untuk daur ulang, dan lain-lain[3].
Limbah resin penukar ion dari operasi reaktor merupakan limbah radioaktif semi cair yang selama ini diolah melalui proses pemadatan langsung dengan matriks semen, plastik polimer, atau aspal. Pemadatan dengan plastik polimer reduksi volumenya 4 kali dibanding pemadatan dengan semen [4]. Pada saat ini pengolahan limbah radioaktif resin dilakukan dengan teknologi immobilisasi langsung dengan matriks
22
kekurangannya yaitu resin yang merupakan bahan organik tidak dapat membentuk satu fasa padatan monolit yang kompak dengan matriks semen, sehingga terjadi penggembungan yang
disebut dengan swelling dan akan mengurangi
kekuatan blok limbah. Dengan adanya kekurangan tersebut maka beberapa negara melakukan pengembangan teknologi pengolahan limbah radioaktif resin penukar ion dengan metode destruksi menggunakan reagen fenton[3].
Reagen Fenton merupakan pereaksi yang terdiri dari hidrogen peroksida (H2O2) dan katalis besi. Reagen Fenton telah banyak digunakan untuk pengolahan berbagai macam limbah industri yang mengandung senyawa organik toksik seperti fenol, formaldehida, limbah kompleks dari pestisida, cat, dan bahan organik lainnya yang bersifat toksik, maupun zat aditif plastik. Reagen ini dapat diaplikasikan untuk limbah cairan, lumpur, atau kontaminan tanah. Keuntungan metode oksidasi
menggunakan reagen Fenton adalah pelarut H2O2
yang digunakan tidak mahal, siap digunakan, dan produk reaksi tidak berbahaya di lingkungan (berupa air, oksigen, dan CO2)[5].
Hidrogen peroksida dengan adanya katalis besi dapat digunakan untuk melarutkan resin penukar ion, dimana hidrogen peroksida memecah unit polimer panjang menjadi unit polimer pendek. Karbon dioksida merupakan hasil samping, tapi sebagian besar bahan organik dari resin penukar ion tetap ada dalam campuran dan menjadi larut sebagai rantai karbon yang rusak, dimana hasil akhirnya resin terlihat bersih, larutan tidak berwarna dan hampir tidak ada residu padat[6]. Gugus reaktif yang berperan dalam metode ini adalah radikal hidroksil yang dihasilkan dari reaksi antara H2O2 dan Fe2+. Namun, pembentukan radikal hidroksil membutuhkan kondisi pH yang tepat karena pada kondisi pH yang tidak sesuai, bentuk ion ferro (Fe2+) dapat berubah menjadi bentuk koloid ion ferri (Fe3+)[7].
Pada reagen fenton terjadi reaksi antara hidrogen peroksida dengan katalis besi ferro untuk membentuk hidroksil radikal bebas (Reaksi 1). Hidroksil radikal bebas adalah oksidan yang sangat kuat dan dapat bereaksi dengan berbagai jenis bahan organik[8].
H2O2 + Fe2+ -Fe3+ + OH− + OH• (hidroksil radikal bebas) ………. (1)
Reaksi yang terjadi merupakan reaksi eksotermis dan sangat cepat. Resin penukar ion pertama dilarutkan menjadi polistirene sulfonat linier dan amina (Reaksi 2), yang kemudian dioksidasi
lebih lanjut menjadi karbon dioksida dan ammonium sulfat (reaksi 3).
Reaksi dengan resin penukar ion
OH• + IX Resin linear polystyrene sulfonates and amines ………. (2)
OH• + linear polystyrene sulfonates and amines (NH
4)2SO4 + CO2 + H2O …. (3)
Katalis ion besi diregenerasi dengan hidrogen peroksida tambahan (Reaksi 4) atau bereaksi dengan radikal organik yang terbentuk selama
oksidasi dari resin. Hidroksil radikal juga dapat berekasi dengan peroksida tambahan sebagai reaksi sampingan (reaksi 5).
Regenerasi katalis besi
H2O2 + 2Fe3+ 2Fe2+ + 2H+ + O2 ………. (4)
Dekomposisi peroksida
OH• + H2O2 + OH•• 2H2O + O2 ……… (5)
Pada penelitian ini akan diteliti pengolahan limbah resin penukar ion menggunakan reagen fenton dengan variasi komposisi limbah dan reagen fenton
METODOLOGI
a. Pembuatan limbah simulasi resin penukar ion
Larutkan CsCl2 dalam air bebas mineral
sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 5 g/liter. Sebanyak 20 g resin