• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGHAYATAN NILAI KESETIAAN DALAM PERKAWINAN BAGI KEUTUHAN KELUARGA KATOLIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGHAYATAN NILAI KESETIAAN DALAM PERKAWINAN BAGI KEUTUHAN KELUARGA KATOLIK"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh :

Maria Regina Mayabubun NIM : 031124021

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

  iv

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

- Bapak Fransiskus Mayabubun dan Ibu Dionisia Warawarin (ayah dan ibuku) yang telah memelihara, membimbing dan membesarkanku. Dari mereka aku belajar tentang arti pentingnya kesetiaan.

(5)

  v

“Kesetiaan itu mudah untuk diucapkan tapi sulit untuk dilaksanakan.

Belajarlah untuk berlaku setia kepada apa yang kamu yakini sebagai yang benar dan hiduplah

sesuai dengannya”

(6)
(7)
(8)

  viii

PERKAWINAN BAGI KEUTUHAN KELUARGA KATOLIK. Judul ini dipilih berdasarkan pada kenyataan bahwa penghayatan terhadap nilai kesetiaan mengalami penurunan. Kenyataan menunjukkan bahwa ada begitu banyak hal yang menyebabkan menurunnya penghayatan terhadap nilai kesetiaan tersebut. Sebut saja misalnya, menurunnya penghormatan terhadap martabat manusia, maraknya kasus perceraian, pengaruh faktor kepribadian, internal keluarga, sosial, ekonomi, factor beda iman dan budaya.

Fakta ini hadir juga dalam kehidupan keluarga-keluarga Katolik. Oleh karena itu, persoalan pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana keluarga-keluarga Katolik, secara khusus suami istri Katolik, menghidupi nilai kesetiaan dalam perkawinannya. Untuk mengkaji persoalan tersebut, maka sebuah studi kepustakaan menyangkut hal tersebut diperlukan. Studi ini penting untuk menganalisis persoalan yang ada dan menemukan pemikiran-pemikiran refleksif (biblis-telogis) yang dapat digunakan sebagai sumbangan bagi usaha melestarikan nilai kesetiaan dalam perkawinan.

(9)

  ix

FIDELITY IN MARRIAGE FOR THE UNION OF CATHOLIC FAMILY. This

title was chosen based on the fact that the experiencing to the value of fidelity has decreased. The fact indicates that there are so many things that cause the decrease of experience to the value of fidelity. For instance, the respect of human nature is decreased, a glow of divorce case, the impact of individuality, interrelationship family, social, economic, faith and the cultural factors.

The facts also exist in the Catholic families. Therefore, the main problem in this thesis is how the Catholic families, typically husband and wife who are Catholic, experience the value of fidelity in their marriage. To solve this problem, a library study is needed. This study is important to analyze the currently problem and find out the reflective thoughts (theological-biblical) that can be used as input to preserve the value of fidelity in the marriage.

(10)

  x

kelemahan dan kekuranganku, makin kusadari kehadiran Allah yang setia itu. Ia tak pernah meninggalkanku. Ia selalu setia menuntunku, dan karena kesetiaan-Nya itu penulis dapat menyelesaikan penulisan karya tulis ini. Menyadari kesetiaan Allah itu, maka bersama Bunda Maria penulis mau berseru: “Jiwaku memuliakan Tuhan dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku” (Luk. 1: 46-47).

Dalam rangka penulisan skripsi ini, banyak pihak dengan setia telah membantu penulia. Mereka semua telah memberikan kondisi-kondisi yang positif kepada penulis. Karena itu, pantaslah penulis berterima kasih kepada mereka semua. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Romo Dr. Robertus Rubiyatmoko, PR., yang dengan penuh kesabaran mendampingi, membimbing dan mengarahkan penulis dalam seluruh proses penulisan skripsi ini.

2. Romo Drs. H. J. Suhardiyanto, SJ., Kepala Program Studi IPPAK Sanata Dharma Yogyakarta, yang telah memberikan ruang dan waktu bagi penulis untuk berproses selama menempuh studi di tempat ini.

3. Bapak Drs. L. Bambang Hendarto, Y., M.Hum., sebagai dosen pembimbing akademik yang dengan setia mendampingi penulis selama studi.

(11)
(12)

  xii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN ……….. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ………... iv

MOTTO ……… v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……….. vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ……… vii

ABSTRAK ………... viii

ABSTRACT ………. ix

KATA PENGANTAR ………. x

DAFTAR ISI ……… xii

DAFTAR SINGKATAN ………. xvi

BAB I. PENDAHULUAN ………... 1

A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Rumusan Permasalahan ……….. 4

C. Tujuan Penulisan ………. 5

D. Metode Penulisan ……… 5

E. Sistematika Penulisan ……….. 6

BAB II. PROBLEMATIKA KESETIAAN DALAM PERKAWINAN ….. 8

A. Berbagai Problem Aktual Kesetiaan Dalam Perkawinan ………... 8

1. Menurunnya Penghargaan Terhadap Martabat Manusia …….. 8

2. Menurunnya Penghayatan Terhadap Nilai Perkawinan ……… 14

a. Fenomena Perceraian ………. 15

(13)

  xiii

3. Faktor Sosial (relasi dengan orang lain) ……….. 22

4. Faktor Ekonomi ……… 24

5. Faktor Iman/ Agama ………. 25

6. Faktor Budaya ………... 27

C. Kesimpulan ………. 29

BAB III. AJARAN GEREJA TENTANG KESETIAAN DALAM PERKAWINAN ……….. 31

A. Perkawinan Kristiani ………... 31

1. Hakikat Perkawinan Kristiani ……….. 31

2. Tujuan Perkawinan Kristiani ………... 34

3. Sifat-sifat Hakiki Perkawinan Kristiani ……… 37

a. Unitas ……….. 37

b. Indissolubilitas ……… 38

c. Sakramental ……… 39

B. Kesetiaan Sebagai Konsekuensi Logis dari Hakikat Perkawinan Kristiani ………... 41

C. Landasan Biblis tentang Kesetiaan Suami Istri ………... 43

1. Yahwe yang setia kepada bangsa Israel ……… 43

2. Kristus yang setia kepada Gereja-Nya ………... 46

D. Kesetiaan Perkawinan dalam Magisterium ……… 48

1. Kesetiaan Perkawinan Menurut Bapa-bapa Gereja ………….. 48

a. Ignatius, Uskup Antiokhia di Siria (+ thn. 110) …………. 49

b. Tertullianus (+ thn. 220) ………. 51

(14)

  xiv

Vantikan II ... 59

a. Paus Paulus VI (+ thn. 1979): Eratnya relasi kesetiaan dan cinta (Ensiklik Humanae Vitae) ... 59

b. Paus Yohanes Paulus II (+ thn. 2005): Sebuah kebersamaan dalam hidup (Ensiklik Familiaris Consortio) ………... 60

E. Beberapa Nilai Dasar Sebagai Penggerak Kesetiaan Dalam Perkawinan ……….. 62

1. Membina keadilan dan cinta dalam keluarga ……… 62

2. Bijaksana dalam keputusan dan tindakan ………. 63

3. Kesabaran sebagai buah iman ………... 64

4. Kesetiaan seumur hidup ……… 65

F. Kesimpulan ……….. 66

BAB IV. USAHA MEMPERTAHANKAN DAN MELESTARIKAN NILAI KESETIAAN DALAM PERKAWINAN ... 67

A. Profil Keluarga Kristiani dalam Magisterium ………... 67

1. Membentuk Komunitas Pribadi ………... 67

2. Mengabdi Kehidupan ……… 70

3. Ikut Serta Dalam Hidup dan Perutusan Gereja ………. 73

B. Gambaran Pasangan Suami-Istri yang Setia ………... 75

1. Peranan Suami-Istri Dalam Hubungannya Dengan Janji Perkawinan Yang Dibina Selama Mereka Hidup ……… 75

(15)

  xv

b. Membina persatuan suami istri ……….. 83

2. Usaha Untuk Membangun Penghayatan Yang Integral Terhadap Martabat Perkawinan ……… 85

a. Menghadapi masalah secara bersama ... 86

b. Perceraian bukanlah solusi akhir dari sebuah persoalan .... 86

c. Membangun komunikasi yang terbuka dan jujur dalam keluarga ... 88

d. Belajar untuk mendengarkan ... 89

3. Usaha Mengatasi Konflik Suami Istri Yang Bersumber Pada Beberapa Bidang Hidup ……… 89

a. Membangun relasi yang sehat, baik relasi “ke dalam” maupun relasi “ke luar” ……….. 90

b. Mengelola konflik yang bersumber pada faktor ekonomi ……….. 94

c. Membangun iman keluarga ... 95

d. Mengelola konflik yang kemungkinan ditimbulkan oleh faktor budaya ……….. 99 D. Belajar dari Keluarga Kudus Nazareth ……… 99

E. Kesimpulan ……….. 103

BAB V. PENUTUP ………... 104

(16)

  xvi

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Alkitab versi LAI 1974 (Diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia, cetakan kedelapan tahun 2001. Seluruh terjemahan dalam Alkitab ini diterima dan diakui oleh Konferensi Waligereja Indonesia).

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

AA: Apostolicam Actuositatem, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kerasulan Awam, 7 Desember 1965.

EV: Evangelium Vitae, Ensiklik Paus Yohanes Paulus II tentang Nilai dan Martabat Manusia, 25 Maret 1995.

EN: Evangelii Nuntiandi, Anjuran Apostolik tentang Evangelisasi dalam Dunia Modern, 1975.

FC: Familiaris Consortio, Ensiklik Paus Yohanes Paulus tentang Keluarga Sebagai Senasib dan Sepenanggungan, diterbitkan tanggal 22 November 1981.

GS: Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, 7 Desember 1965.

(17)

  xvii

Paus Yohanes Paulus II tanggal 25 Januari 1983.

LG: Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang Gereja tanggal 21 November 1964.

RC: Redemptoris Custos, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II, dipromulgasikan pada tanggal 15 Agustus 1989.

C. Singkatan Lain Bdk. : Bandingkan Kan. : Kanon

KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesia KWI: Konferensi Waligereja Indonesia

LK3I: Lembaga Katolik untuk Kesejahteraan Keluarga di Indonesia Lih. : Lihat

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Charles Dickens suatu saat menulis bahwa Revolusi Prancis merupakan sekaligus masa terbaik dan masa terburuk (Martos, 1997: 32). Hal serupa dapat dikatakan tentang perkawinan masa kini. Di satu sisi, perkawinan tetap merupakan masa-masa terbaik dengan semua perubahannya yang menghantar orang untuk lebih mengenal dengan baik hubungan-hubungan manusiawi, seksualitas, dan komunikasi yang memenuhi dan memperkaya hakikat perkawinan. Di sini, perubahan dalam beberapa dimensi hidup seperti politik, sosial, ekonomi, dan budaya turut memberikan kontribusi yang positif dalam hidup perkawinan. Misalnya, tumbuh usaha-usaha di bidang ekonomi untuk membantu kesejahteraan keluarga-keluarga tak mampu.

Namun di sisi lain, perubahan dalam beberapa bidang hidup itu sekaligus merupakan hal terburuk dalam perkawinan karena menghantar orang pada sikap lebih mudah menyerah dan memutuskan untuk bercerai apabila mereka tidak menemukan jalan keluar yang mereka harapkan (Martos, 1997: 32). Situasi itu justru memberi ruang bagi meningkatnya perselingkuhan, pertengkaran, dan perselisihan yang berujung pada meningkatnya perceraian.

(19)

terjadi di Pengadilan Agama Yogyakarta pada tahun 2003 yang lalu, misalnya, mencapai 568 kasus perceraian. Pada tahun 2008, data di Pengadilan Agama Wates, Yogyakarta, menunjukkan angka perceraian mencapai 234 kasus. Kebanyakan gugatan justru dialami oleh pasangan suami istri yang telah mapan ekonomi. Penyebab lain gugatan cerai adalah perkawinan usia muda, tekanan sosial, perselingkuhan, dan persoalan prinsip hidup yang berbeda (“Faktor-faktor yang mempengaruhi perselingkuhan dalan keluarga,” dalam  http://www.skripsi-tesis.com/07/02/).

Dalam lingkup publik, ruang privasi suami istri yang sesungguhnya menjadi milik pribadi mereka justru dipertontonkan di hadapan umum. Ironisnya, hal itu malahan dipandang sebagai sesuatu yang baik. Bertebarannya aneka tayangan tentang trend perceraian, pertengkaran, dan perselingkuhan di kalangan para selebritis melalui media televisi, majalah, dan koran menunjukkan bahwa lembaga perkawinan mengalami kemerosotan nilai.

(20)

Fenomena perceraian hanyalah salah satu dari sekian masalah yang mengancam penghayatan nilai perkawinan (dekadensi nilai perkawinan). Situasi itu tentu saja menyebabkan krisis yang mendalam. Lembaga keluarga menghadapi banyak kesulitan. Keluarga-keluarga di zaman ini menghadapi tantangan yang lebih besar, yakni terjadinya kemerosotan nilai-nilai kehidupan keluarga, makin menipisnya suasana religius dalam keluarga, seringnya terjadi perselingkuhan, perceraian, dan masih banyak lagi hal-hal yang mengancam keutuhan dan kesatuan dalam keluarga.

keluarga kristiani tidak dapat terlepas dari persoalan ini. Keluarga-keluarga kristiani tengah menghadapi sebuah fenomena universal, yaitu merosotnya nilai kesetiaan dalam perkawinan. Kesetiaan adalah hal terpenting dalam relasi suami dan istri. Kesetiaan adalah suatu keputusan untuk tetap pada komitmen atau tanggung jawab dalam membangun relasi yang tetap. Dalam keluarga-keluarga kristiani, kesetiaan menjadi tolok ukur keutuhan sebuah perkawinan. Dewasa ini nilai kesetiaan itu mengalami kemerosotan yang amat memprihatinkan. Krisis nilai ini bagaikan virus yang begitu cepat menyebar dan menggerogoti kehidupan keluarga-keluarga kristiani.

(21)

kekecewaan dan kejengkelan atau tak mampu memaafkan kesalahan pasangan sehingga akhirnya mereka memilih untuk berpisah.

Fenomena kemerosotan nilai itu menunjukkan bahwa nilai KESETIAAN belum dihayati secara utuh dalam kehidupan keluarga-keluarga kristiani yang terancam keutuhannya. Kesadaran dan penghayatan akan nilai kesetiaan adalah mutlak perlu sebagai syarat demi keutuhan sebuah ikatan perkawinan, demi keutuhan sebuah keluarga. Memang kesetiaan suami istri bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan dan dihidupi, namun kesetiaan itu tetap merupakan hal yang sangat penting dalam perkawinan.

Pembahasan tentang nilai kesetiaan dalam perkawinan kristiani adalah perlu dan penting. Mengingat begitu pentingnya nilai kesetiaan dalam perkawinan, maka penulis memutuskan untuk mengangkat tema itu sebagai tema utama dalam seluruh pembahasan skripsi ini. Artinya, dalam karya tulis ini, penulis akan memfokuskan diri untuk membahas tema kesetiaan dalam perkawinan kristiani.

B. Rumusan Permasalahan

(22)

pemahaman umat tentang nilai-nilai perkawinan Kristiani masih kurang atau dangkal.

Dalam usaha untuk mencari solusi atas problem-problem di atas, penulis berhadapan dengan beberapa persoalan dasar, yaitu:

1. Apa pandangan Gereja tentang kesetiaan dalam perkawinan?

2. Bagaimana usaha yang dilakukan dalam mempertahankan nilai kesetiaan dalam keluarga?

C. Tujuan Penulisan

Skripsi ini ditulis untuk memberikan masukan kepada para pendamping keluarga-keluarga Katolik agar dapat membantu keluarga-keluarga itu untuk:

1. Memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang ajaran-ajaran Gereja mengenai pentingnya kesetiaan dalam perkawinan.

2. Melakukan usaha-usaha untuk mempertahankan dan melestarikan nilai kesetiaan dalam kehidupan keluarga mereka.

D. Metode Penulisan

(23)

beberapa problem yang penulis temukan dalam berbagai kepustakaan (literatur).Sementara itu, metode analisa lebih dominan penggunaannya pada bagian ajaran Gereja tentang kesetiaan dalam perkawinan, dan usaha-usaha yang dibuat untuk membantu keluarga-keluarga kristiani menghayati nilai kesetiaan dalam perkawinan.

E. Sistematika Penulisan Bab I : Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, dan tujuan penulisan yang mendasari penulis skripsi ini, serta metode penulisan yang digunakan dalam menyelesaikan skripsi ini dan sistimatika yang susun. Bab II : Problematika seputar kesetiaan dalam perkawinan

Bab ini berisi permasalahan-permasalahan konkret yang mendasari penulisan masalah ini.

Bab III : Ajaran Gereja tentang kesetiaan dalam perkawinan

Bab ini berisi tentang pengertian dan hakikat perkawinan kristiani, ajaran Gereja katolik tentang nilai kesetiaan dalam perkawinan dan beberapa nilai dasar yang menjadi penggerak nilai kesetiaan dalam perkawinan kristiani. Bab IV: Usaha Mempertahankan dan Melestarikan Nilai Kesetiaan Dalam

(24)

Dalam bab ini penulis memberikan suatu upaya pastoral untuk membantu keluarga-keluarga kristiani dalam mempertahankan dan melestarikan nilai kesetiaaan suatu perkawinan.

Bab V : Penutup

Dalam bab ini penulis membuat kesimpulan berdasarkan seluruh pembahasan tentang nilai kesetiaan dalam perkawinan kristiani, serta beberapa saran praktis untuk menghayati nilai kesetiaan tersebut.

(25)

BAB II

PROBLEMATIKA KESETIAAN DALAM PERKAWINAN

Perkawinan kristiani dewasa ini berada dalam konteks budaya yang sangat berbeda daripada satu generasi yang lalu. Sejumlah perkembangan mengubah pola dalam mana perkawinan dipilih dan dihayati (Cooke, 1991: 17). Bab ini menggali beberapa problem yang timbul akibat pengaruh perkembangan tersebut dan yang berdampak pada kesetiaan suami istri dalam perkawinan.

A. Berbagai Problem Aktual Kesetiaan Dalam Perkawinan

Dalam bagian ini akan penulis uraikan tentang beberapa problem aktual yang berhubungan dengan kesetiaan dalam perkawinan. Masalah-masalah ini diangkat untuk menunjukkan pengaruhnya terhadap penghayatan nilai kesetiaan dalam kehidupan suami istri itu sendiri. Disebut masalah aktual karena masalah tersebut selalu ada dalam lingkup kehidupan suami istri.

1. Menurunnya Penghargaan Terhadap Martabat Manusia

(26)

dan istri akan berdampak positif dalam kehidupan rumah tangga mereka. Sebaliknya, jika tidak ada sikap saling menghargai dan menghormati masing-masing pasangan sebagai seorang person, maka ketidakharmonisan dalam rumah tangga dapat tercipta. Situasi seperti ini tentu mengancam keutuhan suami istri tersebut.

Pembicaraan tentang suami istri sebagai person yang memiliki otonomi dan kebebasan ini menghantar kita untuk bertanya lebih jauh, siapa sebenarnya manusia itu? Pertanyaan itu sudah berabad-abad lamanya dipikirkan orang. Bermacam-macam aliran filsafat, ideologi, dan pandangan hidup mencoba memberikan suatu jawaban yang pasti. Akan tetapi, jawaban yang paling mendasar kita temukan di dalam Kitab Suci (Kej 1:27): Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Allah, yang secitra dengan-Nya (Gilarso, 2003: 34). Manusia adalah “yang di dunia merupakan satu-satunya makhluk, yang Allah kehendaki demi dirinya sendiri” (GS 24). Hanya dia yang “mampu mengenal dan mencintai Penciptanya” (GS 12).

Karena manusia diciptakan menurut citra Allah, manusia memiliki martabat sebagai pribadi. Ia bukan hanya sesuatu, melainkan seseorang (KGK 357). Ia adalah person yang memiliki akal budi dan kehendak. Dengan akal budinya manusia dapat memeluk segala apa yang ada dan dengan kehendaknya yang bebas ia sendiri dapat mewujudkan hidupnya (Gilarso, 2003: 34). Ia mampu mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas dirinya, mengabdikan diri dalam kebebasan dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain (KGK 357).

(27)

sendiri. Ia memiliki nilai yang tidak tergantikan. Nilainya sebagai seorang pribadi yang diciptakan secitra dengan Allah sendiri. Paus Yohanes Paulus II, dalam ensiklik

Evangelium Vitae yang dipromulgasikan pada tanggal 25 Maret 1995, menegaskan bahwa manusia di dalam hidupnya memiliki “nilai kudus dari sejak awal (kelahiran) sampai akhirnya (mati)” (EV 2). “Nilai kudus” itu dimiliki sama oleh semua orang.

Perlu juga disadari bahwa manusia ciptaan Allah itu tidaklah seorang diri. Sejak permulaan Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan. Penciptaan itu telah menunjuk dimensi sosialitas manusia (Groenen, 1993: 54). Manusia adalah makhluk sosial yang hanya dapat hidup dan mengembangkan diri di dalam kebersamaan dengan manusia yang lain. Manusia saling bergantung satu sama lain sejak permulaan hidupnya hingga akhir. Dengan kata lain, manusia adalah pribadi hidup bermasyarakat dan itulah yang merupakan dasar bagi segala hubungan yang dalam masyarakat itu (Gilarso, 2003: 34-35).

(28)

keinginan-keinginan luhur manusia supaya membuat hidupnya menjadi lebih berperikemanusiaan (KWI, 1996: 16).

Setiap orang hanya dapat hidup sebagai pribadi yang terhormat dan mandiri, kalau ia menghayati otonominya dan dengan penuh tanggung jawab membangun serta memelihara kehidupan yang manusiawi. Karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang oleh Allah dikehendaki demi dirinya sendiri, maka kita pun harus menghormati setiap manusia (Gilarso, 2003: 35). Sikap hormat terhadap martabat pribadi setiap orang tersebut juga dipandang sebagai nilai utama dalam tradisi Kristen (KWI, 1996: 16. 17).

Dewasa ini kesadaran akan martabat luhur manusia bertumbuh subur dalam diri setiap orang. Karena itu, secara individu maupun bersama, manusia berlomba-lomba memberi makna bagi hidupnya. Ada berbagai usaha positif manusia yang mengarah pada pengakuan dan penerimaan dirinya sebagai pribadi yang memiliki akal budi, kehendak, kebebasan, dan tanggung jawab.

Sejalan dengan kesadaran dan usaha positif manusia itu, muncul juga berbagai usaha dan dampak negatif yang justru melecehkan martabat luhur manusia. Manusia dengan kemampuan akal budinya dan kebebasannya membuat perubahan-perubahan dalam hidupnya. Namun, dan banyak kali terjadi, perubahan-perubahan itu justru membawa manusia jatuh ke titik terendah dengan tanpa pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensinya, terhadap martabatnya sebagai manusia.

(29)

seperti peperangan, penindasan, pembunuhan, dan berbagai bentuk ketidakadilan lainnya. Dalam lingkup perubahan dan perkembangan seperti itu, manusia tidak lagi dipandang sebagai subjek, yaitu pribadi yang pada dirinya memiliki nilai luhur, melainkan sebagai objek semata. Dengan kata lain, manusia yang adalah ciptaan Allah itu hanya digunakan sebagai sarana belaka demi tujuan tertentu (Rausch, 2001: 258). Di sini dehumanisasi tak terhindarkan.

Keluarga, yang terdiri dari pribadi-pribadi yang memiliki kehendak dan kebebasan, juga turut mengalami dampak negatif dari perkembangan dan perubahan itu. Konsili Vatikan II menyadari sepenuhnya dampak perubahan dan perkembangan itu dengan menyatakan,

Adapun dalam kehidupan keluarga muncullah berbagai ketidakserasian, baik karena kondisi-kondisi kependudukan, ekonomi dan sosial, yang serba mendesak, maupun karena kesulitan-kesulitan yang timbul antara angkatan-angkatan yang beruntun, ataupun juga karena hubungan-hubungan sosial yang baru antara pria dan wanita (GS 8).

Dapat juga disebutkan di sini beberapa fenomena menurunnya penghormatan terhadap martabat manusia dalam lingkup keluarga. Dewasa ini sering terdengar adanya usaha untuk menggugurkan kandungan (aborsi), kloning anak, perdagangan anak, pelacuran, penganiayaan, dan sebagainya.

(30)

(biological material) yang dapat dibuang”. Aborsi dan kloning, misalnya, dengan mudah membuat kita kehilangan pandangan akan martabat manusia dan kesakralan tindakan kasih suami istri dalam perkawinan. Fakta lain adalah maraknya pelacuran dan perdagangan anak. Dua fakta yang disebutkan terakhir ini telah mengeksploitasi tubuh manusia sebagai sebuah komoditi yang memiliki nilai komersial. Eksploitasi tubuh manusia karena pelacuran tersebut tentu mereduksi martabat luhur manusia ke sekedar materi belaka (Gunawan & Suyono, 2003: 3-4). Dalam konteks perkawinan kita dapat menemukan maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Uraian-uraian di atas hendak menunjukkan bahwa martabat manusia itu amat luhur. Kesadaran akan martabat luhur manusia ini terus membangkitkan daya upaya manusia untuk menerima pengakuan dan penerimaan atasnya. Tetapi di sisi lain, perlu juga disadari bahwa bahaya dehumanisasi dapat saja terjadi sebagai akibat dari usaha manusia itu sendiri. Usaha yang dimaksudkan itu tak lain adalah usaha untuk menggugurkan kandungan (aborsi), kloning anak, perdagangan anak, pelacuran, penganiayaan, dan sebagainya.

(31)

sama lain, terlebih penghargaan terhadap martabat masing-masing person dalam keluarga itu. Dalam situasi seperti itu, keluarga amat rentan terhadap masalah.

2. Menurunnya Penghayatan Terhadap Nilai Perkawinan

Seiring dengan perkembangan zaman lembaga perkawinan pun mengalami berbagai tantangan. Tantangan yang paling nyata adalah menurunnya penghayatan terhadap nilai luhur perkawinan itu sendiri. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terjadi kemerosotan dalam penghayatan nilai perkawinan. Fakta kemerosotan ini dipertegas oleh ajaran iman Gereja yang dinyatakan dalam Konstitusi Pastoral Gereja, Gaudium et Spes,

Martabat lembaga perkawinan (keluarga) itu sama-sama berhenti semarak, sebab disuramkan oleh poligami, malapetaka perceraian, apa yang disebut percintaan bebas, dan cacat cidera lainnya. Selain itu cinta perkawinan cukup sering dicemarkan oleh cinta diri, gila kenikmatan dan ulah cara yang tidak halal melawan timbulnya keturunan. Kecuali itu situasi ekonomis, sosio-psikologis dan kemasyarakatan dewasa ini menimbulkan gangguan-gangguan yang tak ringan terhadap keluarga. Akhirnya di wilayah-wilayah tertentu dunia ini dengan cukup prihatin munculnya masalah persoalan akibat pertambahan penduduk. Itu semua menggelisahkan suara hati (GS 47).

Keluarga-keluarga kristiani juga tak luput dari persoalan ini. Ada banyak keluarga kristiani yang mengalami persoalan dalam menghayati nilai-nilai dasar perkawinan Katolik. Tantangan dan keprihatinan tersebut berkaitan dengan penghayatan terhadap nilai unitas perkawinan dan kesetiaan secara utuh terhadap pasangan hidup.

(32)

bagian ini, penulis hanya mengangkat dua hal sebagai indikator kemerosotan tersebut, yaitu fenomena perceraian dan model hidup bersama de facto. Dua hal ini diangkat bukan karena faktor urutan kepentingannya, melainkan lebih sekadar mau menunjuk bahwa hal-hal tersebut turut menjadi penyebab menurunnya penghayatan terhadap nilai perkawinan.

a. Fenomena Perceraian

Setiap pasangan suami istri tentunya tidak menghendaki perkawinannya “kandas” di tengah perjalanan. Yang ada dalam pikiran mereka saat mulai menikah adalah bayangan tentang suatu hidup berumah tangga yang penuh kebahagiaan (LK3I KWI, 1994: 15). Namun kenyataan dalam kehidupan bersama membuktikan bahwa ada sekian banyak pasangan suami istri yang tidak dapat merengkuh kebahagiaan itu dan justru memilih untuk mengakhiri perkawinan mereka dengan jalan perceraian.

Perceraian memang merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk disimak. Di tengah kehidupan masyarakat kita fakta perceraian dipertontonkan sebagai sesuatu yang lumrah. Berbagai media massa, baik media cetak maupun elektronik, terus mempublikasikan kasus-kasus perceraian yang terjadi. Misalnya, ada kasus di mana pasangan suami istri yang baru sehari mengikrarkan janji perkawinannya dengan terbuka telah mengumumkan perceraian keesokan harinya di depan publik.

(33)

dewasa ini terdapat banyak orang Katolik yang meminta perceraian menurut hukum sipil dan mengadakan perkawinan baru secara sipil” (KGK 1650).

Perceraian tidak terjadi dengan sendirinya. Tentu ada sesuatu yang menjadi penyebab dibalik peristiwa perceraian itu (Anonim, 1982: 9). Penyebab perceraian terdiri dari banyak segi. Perceraian dalam keluarga biasanya berawal dari suatu konflik antara anggota keluarga. Bila konflik ini sampai pada titik kritis, maka peristiwa perceraian itu berada di ambang pintu (Dagun, 2002: 114).

Penyebab lain terjadinya perceraian adalah dinamika kehidupan modern. Makin kompleksnya tuntutan hidup dalam dunia dewasa ini menyebabkan suami istri itu hidup terpisah. Karena tuntutan tugas salah satu dari pasangan, entah suami atau istri, harus berpisah dengan pasangannya dalam jangka waktu tertentu. Dalam situasi seperti itu masing-masing dapat merasa kesepian dan seperti seakan-akan tidak diperhatikan oleh pasangannya. Dalam keadaan seperti itu bisa saja istri atau suami tergoda untuk memutuskan sesuatu sebagai jalan pintas, demi kebutuhan jasmaniahnya (Salawaney, 1998: 73).

(34)

Adanya fenomena perceraian dalam kehidupan bersama menunjukkan bahwa penghayatan terhadap nilai perkawinan mengalami kemunduran yang sangat besar. Orang tidak lagi menghargai keluhuran martabat perkawinan. Perkawinan dianggap seakan-akan sebagai sebuah mainan belaka.

b. Hidup Bersama de facto Sebagai Sebuah Alternatif

Yang dimaksudkan dengan hidup bersama de facto adalah hidup bersama pria dan wanita sebagaimana layaknya suami istri namun tanpa pengakuan publik oleh lembaga sosial dan keagamaan apapun (FC 81). Pria dan wanita memilih untuk memulai hidup bersama secara diam-diam dan membiarkan keadaan itu berlangsung untuk waktu yang tidak terbatas.

Dalam konteks masyarakat Indonesia, kita mengenal istilah yang menunjuk pada bentuk hidup seperti itu, yaitu “kumpul kebo”. Istilah tersebut menunjuk pada fakta hidup bersama pria dan wanita sebagaimana layaknya suami istri. Sama seperti kerbau yang berkumpul dan melakukan kawin-mawin tanpa upacara tertentu, demikian juga pria dan wanita yang de facto memilih hidup bersama sebagaimana layaknya suami istri, tanpa upacara dan pengakuan public (Catur Raharso, 2006: 31).

(35)

akan mengalami diskriminasi (karena pindah agama), atau akan ditolak sebagai anggota suku dan agamanya. Yang lain lagi memilih cara hidup itu karena mereka menolak semua bentuk campur tangan masyarakat dan agama dalam hal kehidupan pribadi mereka. Mereka melawan tatanan sosial dan politik serta agama yang mencampuri urusan pribadi mereka. Sebagian lagi memutuskan untuk hidup bersama

de facto karena mereka mengalami situasi yang tidak adil yang menghalangi mereka untuk menikah secara normal (FC 81).

Apapun alasan yang diberikan, hidup bersama pria dan wanita seperti itu justru mendiskreditkan nilai perkawinan. Persatuan bersama de facto itu menghilangkan makna religius dari perkawinan (Catur Raharso, 2006: 31). Konsekuensi sosial yang ditimbulkannya juga tidak kecil: hancurnya konsep keluarga, melemahnya rasa kesetiaan dan komitmen pada hal-hal yang serius dalam masyarakat pada umumnya (FC 81).

B. Beberapa Faktor Hidup Yang Berdampak Pada Keutuhan Perkawinan 1. Faktor Kepribadian

(36)

Dalam perkawinan, dua pribadi yang berbeda sikap dan karakternya ini bergerak menjadi satu. Injil Matius memberi gambaran mengenai proses dua menjadi satu ini: “Mereka bukan lagi dua, melainkan satu” (Mat 19:6; Kej 2:24). Namun proses menjadi satu itu dapat terjadi apabila suami istri itu sendiri adalah pribadi yang sudah matang dan siap untuk melupakan diri dan mencintai yang lain. Perkawinan dua pribadi yang belum matang hanyalah merupakan tempat pelarian dan persembunyian. Tentang hal ini Anne Homes (1992: 156) menulis,

Jika perkawinan menjadi tempat persembunyian bagi pasangan individu-individu yang lemah yang bersama-sama melarikan diri dari partisipasi aktif, maka perkawinan merugikan pasangan itu maupun masyarakat. Perkawinan persembunyian dari dua individu yang belum matang tidak akan langgeng. Perkawinan “saling membelakangi” dari dua orang yang disatukan oleh kesamaan paranoia dan pertahanan diri terhadap lingkungan sekitar merupakan perkawinan yang tidak kreatif.

Proses dua menjadi satu itu memang sebuah proses yang ideal, namun tetap kita sadari bahwa yang ‘satu’ itu tetap terdiri dari dua pribadi yang memiliki keunikannya masing-masing. Karena itu, proses dua menjadi satu perlu diimbangi dengan proses menjadi dua. Kesatuan tidak mungkin merupakan peleburan, melainkan suatu komunikasi dan partisipasi. Suami istri yang bersatu tidak mungkin meleburkan dua pribadi menjadi satu sehingga masing-masing kehilangan identitasnya, melainkan tetap dua pribadi yang mempertahankan identitasnya (Sujoko, 2002: 101-102).

(37)

dalam kehidupan pasangan suami istri tersebut. Untuk itu suami istri benar-benar harus mempersiapkan diri, saling percaya, dan rela mempertanggungjawabkan kekurangan masing-masing untuk saling melengkapi karena saling mencintai.

2. Faktor Internal Keluarga

Faktor internal keluarga yang dimaksudkan di sini adalah lebih menyangkut relasi personal yang dibangun dalam kehidupan keluarga itu; relasi yang dibangun antara suami, istri dan anak-anak. Dengan kata lain, bagian ini hendak menyoroti hubungan atau relasi “ke dalam” yang dibangun di dalam keluarga. Usaha untuk membangun relasi “ke dalam” yang kokoh akan sangat membantu suami istri dalam menjalani hidup perkawinannya.

Pada awal perkawinan, biasanya semuanya masih terasa mudah dan berjalan dengan sewajarnya. Suami dan istri masih mau saling mendahului dalam usaha membahagiakan pasangannya dan dengan ikhlas mau berkorban untuk dia. Dalam suasana seperti itu, proses penyesuaian diri antara suami dan istri dapat berjalan dengan lancar dan berhasil. Relasi suami istri yang dibangun masih dekat, intim dan hangat. Namun keadaan seperti itu biasanya tidak berlangsung lama. Selang beberapa waktu kemudian sifat-sifat dan watak yang sebenarnya mulai tampak dan suasana mulai berubah (Gilarso, 1996: 41-42).

(38)

penyesuaian diri. Ada sejuta hal yang tampaknya kecil tapi perlu disesuaikan, mulai dari selera makan sampai pada perbedaan-perbedaan yang lebih mendasar (Gilarso, 1996: 42). Jika usaha penyesuaian ini mandeg di tengah jalan, niscaya akan berdampak pada relasi suami istri. Alasan lain yang dapat disebutkan sebagai faktor penyebab terjadinya perubahan itu antara lain masalah kehadiran anak yang menyita perhatian dan kesibukan dalam bekerja dan mengejar karir (Salawaney, 1998: 167-168). Faktor-faktor ini mengkondisikan suami istri untuk masing-masing hidup dalam dunianya sendiri. Tanpa disadari, relasi mereka yang dahulu dibina dengan baik mulai renggang dan bahkan bisa menjadi ancaman bagi keutuhan perkawinan mereka.

(39)

niscaya akan muncul dampak negatif bagi relasi suami istri itu dan tentu mengancam keutuhan perkawinan mereka (Ellis & Crawford, 2004:30).

3. Faktor Sosial

Keluarga adalah bagian dari masyarakat. Keluarga merupakan sel pertama dan utama dari masyarakat (the family is the first and vital cell of society) (Rausch, 2001: 258; Salawaney, 1998: 16-17). Dari keluargalah masyarakat menerima pelayanan yang perlu bagi kelangsungan hidupnya. Misalnya, dari keluarga lahir generasi baru yang akan menjadi anggota masyarakat. Dari keluarga, generasi baru manusia mendapatkan dan mengalami proses sosialisasi, yaitu proses di mana anak-anak memperoleh pengalaman dasar untuk hidup dengan sesama (LK3I KWI, 1994: 15).

Dalam lingkup tinjauan sosiologi keluarga, realitas paling konkret dalam masyarakat ialah keluarga. Masyarakat terdiri dari keluarga-keluarga konkret, yaitu ayah-ibu dan anak-anak. Masyarakat luas tak lain adalah kumpulan dari keluarga-keluarga. Tanpa adanya keluarga-keluarga, tidak mungkin ada masyarakat. Dalam konteks ini peranan keluarga dalam masyarakat adalah vital dan mutlak. Karena kenyataan dalam masyarakat itu pada akhirnya adalah keluarga-keluarga itu sendiri. Kalau dalam setiap keluarga manusia bisa berkembang dengan baik, maka dengan sendirinya masyarakat akan menjadi baik (Sujoko, 2002: 43).

(40)

dengan keluarga lainnya. Interaksi tersebut memberi ruang bagi pengakuan dan penerimaan antar individu-individu dalam tiap keluarga. Kebutuhan akan penerimaan dan pengakuan diri ini berkaitan dengan hakikat manusia yang harus hidup bersama; perkawinan merupakan perwujudan pertama dari pemenuhan kebutuhan sosial tersebut (Gilarso, 1996: 10).

Kebutuhan akan pengakuan dan penerimaan ini berdimensi ganda. Di satu sisi, sebagai bagian dari anggota masyarakat, suami-istri dan anak-anak membutuhkan pengakuan dan penerimaan secara publik (Gilarso, 1996: 10). Dalam usaha untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan itulah sering timbul persoalan-persoalan baru yang mengancam keutuhan janji setia suami istri dan dapat merusak ikatan dalam keluarga. Misalnya: kehadiran orang ketiga, sikap cemburu yang berlebihan terhadap salah satu pasangan, rasa minder untuk bergaul dengan orang lain, dan seterusnya. Semuanya menjadi ancaman bagi keutuhan perkawinan.

(41)

dan perselisihan dalam keluarga antara suami, istri, dan anak-anak (jika ada) tak terelakkan lagi. Dampak terburuk adalah hancurnya bangunan perkawinan keluarga tersebut.

4. Faktor Ekonomi

Tidak dapat disangkal bahwa kebutuhan ekonomi adalah kebutuhan dasar manusia yang sangat penting. Manusia membutuhkan pangan, sandang dan papan, kesehatan, pendidikan serta fasilitas-fasilitas lain yang perlu untuk hidup dan berkembang. Hidup berkeluarga memiliki dimensi ekonomis. Para anggota keluarga membutuhkan kegiatan ekonomi dalam bentuk apapun untuk menghasilkan pendapatan guna mencukupi kebutuhan hidup. Untuk itu diperlukan pekerjaan atau kegiatan ekonomi lainnya yang menjadi sumber penghasilan (Sujoko, 2002: 88).

Dimensi hidup dalam bidang ekonomi ini sering terabaikan dan kurang diperhatikan secara serius oleh pasangan-pasangan yang hendak menikah. Padahal bidang ini rentan terhadap persoalan dan bisa menjadi ancaman terhadap keutuhan perkawinan. Kalau ekonomi rumah tangga morat-marit, kebahagiaan rumah tangga sungguh-sungguh dapat terancam (Gilarso, 1996: 135). Salah satu contoh pentingnya bidang ini adalah soal pengaturan keuangan.

(42)

faktor yang menyebabkan retaknya rumah tangga. Berhadapan dengan situasi yang sulit (kekurangan uang dan kebutuhan hidup yang terus bertambah), suami istri mengalami frustrasi dan stress (tertekan). Suami istri yang tak mampu keluar dari situasi sulit itu dapat saja memutuskan untuk bercerai. Sering karena masalah uang, suami istri bisa sampai pada perceraian, yang sebelumnya tidak diduga (Salawaney, 1998: 73).

Di sisi lain, keluarga yang berkecukupan dalam hal keuangan dapat saja diperhadapkan pada bahaya konsumerisme. Karena berkelimpahan uang, muncul nafsu yang tidak terkontrol entah dalam diri suami atau istri untuk mempunyai barang-barang yang bukan kebutuhan dasar. Barang-barang itu dibeli karena keinginan untuk memiliki sesuatu demi gengsi, bercitra rasa modern dan kelihatan hebat (Hardiwiratno, 2008: 80). Dalam kasus ini entah suami atau istri hanya berusaha untuk mengejar kesenangan dan pemuasan keinginannya. Mereka membelanjakan uangnya untuk memenuhi keinginannya dan bukan memenuhi kebutuhannya (Salawaney, 1998: 78). Masalah muncul tatkala dimensi kesenangan dan kepuasan ini tidak terpenuhi. Banyak juga keluarga yang kemudian retak dan memilih untuk bercerai karena masalah tersebut (Salawaney, 1998: 72).

5. Faktor Beda Iman / Agama

(43)

tersebut, maka perkawinan campur (matrimonia mixta) tak dapat dihindari. Yang dimaksudkan dengan perkawinan campur adalah perkawinan antara pihak Katolik dengan pihak non-Katolik baik yang dibaptis maupun tidak dibaptis (Go & Suharto, 1987: 55-56).

Perkawinan campur (matrimonia mixta) terdiri atas perkawinan campur beda agama (disparitas cultus) dan perkawinan campur beda gereja (mixta religio) (Go & Suharto, 1987: 143). Dalam konteks perkawinan campur ini masalah kebebasan masing-masing pribadi untuk menentukan pasangan hidupnya ditempatkan pada posisi terdepan. Namun, penentuan pasangan hidup dengan latar belakang agama dan iman yang berbeda atas dasar kebebasan itupun dapat melahirkan sejumlah persoalan yang tak dapat dihindari. Beberapa persoalan yang dapat dikemukakan antara lain: penolakan dari pihak keluarga besar (orang tua dan sanak keluarga), terhambatnya hubungan suami istri, dan kesulitan suami istri dalam mendidik iman anaknya. Bahtera keluarga juga dapat ”kandas” hanya karena masing-masing pasangan tetap mempertahankan keyakinan masing-masing.

(44)

hal. Pertama, pasangan kawin campur adalah orang-orang yang tidak mau meninggalkan agamanya masing-masing. Mereka diandaikan sebagai orang-orang yang serius menjalankan keyakinan agamanya. Kedua, pasangan itu adalah orang-orang yang tidak mau mencampuradukkan antara perkawinan dan agama. Perkawinan adalah keputusan untuk mengikat diri dengan seseorang karena cinta; sedangkan agama adalah relasi khusus seseorang dengan Tuhannya (Sujoko, 2002: 130). Tidak mudah bagi orang yang serius dengan imannya untuk berpindah ke agama lain.

Dua alasan yang disebutkan di atas memberi indikasi bahwa pasangan yang memilih untuk kawin campur berada dalam situasi khusus. Dalam kenyataannya, perkawinan campur yang dapat rukun dan bahagia boleh dikatakan jarang. Dalam konteks kawin campur itu, dibutuhkan kematangan dan kedewasaan pasangan untuk menyikapi kenyataan keputusan mereka untuk hidup dalam perkawinan campur. Tanpa sikap kedewasaan dan kematangan diri ini pasangan suami istri kawin campur berada dalam bahaya yang mengancam keutuhan perkawinan mereka.

6. Faktor Budaya

(45)

Faktor budaya turut memainkan peranan dalam upaya membangun keutuhan sebuah keluarga. Budaya itu terkait dengan kebiasaan (habits), pola pikir (mindset), pola rasa, dan pola tindak masyarakat tertentu. Orang yang berada dalam lingkup budaya yang sama tentu akan mudah untuk saling memahami karakter, pola pikir, pola rasa, dan pola tindak masing-masing. Hal itu mudah dipahami karena mereka telah menjadi bagian dari budayanya dan terikat dengannya (KWI, 1996: 4). Kesulitan muncul tatkala person dari dua budaya berbeda bertemu dalam ruang dan waktu yang bersamaan. Mereka tentu membutuhkan waktu untuk belajar saling memahami budaya masing-masing. Jika proses belajar dan interaksi itu berjalan baik, maka di sana akan ada sikap saling menerima. Tetapi jika proses belajar dan interaksi itu berjalan mandeg, maka dapat saja timbul konflik antar budaya.

(46)

Faktor budaya juga dapat saja dipakai sebagai sebuah alasan untuk melegitimasi tindakan tertentu yang sebetulnya tidak dibenarkan oleh budaya itu, tetapi dijadikan sebuah kemungkinan oleh si pelaku. Misalnya, seorang suami dari suku Kei mungkin membenarkan tindakannya untuk memukul istrinya dengan alasan budayanya memberi ruang untuk melakukan tindakan tersebut. Padahal, dalam konteks budaya Kei, wanita justru sangat dihormati. Tindakan kekerasan terhadap wanita dilarang oleh hukum adat setempat (Ohoitimur, 1996: 12-19). Tindakan kekerasan atas nama budaya justru makin memberi ruang bagi renggangnya hubungan suami istri.

Fakta lain adalah keluarga-keluarga yang mengalami perpindahan lintas budaya. Mereka yang berpindah ke daerah lain atau menjadi pengungsi di lingkungan masyarakat lain. Keluarga-keluarga seperti itu akan merasa tercabut dari akar budayanya dan mengalami keterasingan yang berat (Sujoko, 2002: 144). Ketidakmampuan beradaptasi dengan lingkungan budaya yang baru dapat mempengaruhi secara negatif kehidupan internal keluarga tersebut.

C. Kesimpulan

(47)

juga hidup dalam keadaan tidak normal. Mereka diperhadapkan pada begitu banyak persoalan yang menghadang dari luar atau yang mereka ciptakan sendiri. Dalam kondisi seperti itu mereka berjuang untuk mempertahankan mahligai perkawinannya. Ada yang berhasil keluar dari situasi seperti itu, tetapi tidak sedikit juga yang tidak mampu mempertahankan perkawinannya dan memilih untuk berpisah.

Pilihan terakhir ini tentu memprihatinkan karena terkait erat dengan komitmen awal suami istri untuk hidup setia seumur hidup dalam perkawinan. Berhadapan dengan berbagai problem yang muncul dan menghadang kehidupan mereka, ada sebagian suami istri yang lebih memilih untuk memutuskan ikatan perkawinannya. Mereka tidak lagi setia terhadap janji perkawinannya. Padahal, kita tahu bahwa kesetiaan merupakan dasar dan landasan konsekuensi dari janji pernikahan, untuk berbagi kasih dalam untung dan malang, dalam suka dan duka. Kesetiaan memberikan jaminan lestarinya kerukunan, ketentraman, kedamaian dan cinta kasih di antara suami istri (LK3I KWI, 1994: 21).

(48)

BAB III

AJARAN GEREJA TENTANG KESETIAAN DALAM PERKAWINAN

A. Perkawinan Kristiani

1. Hakikat Perkawinan Kristiani

Hidup berkeluarga adalah sebuah realitas manusiawi. Melalui perkawinan seorang pria dan wanita membentuk hidup berkeluarga. Realitas manusiawi yang disebut perkawinan itu direalisasikan dalam bentuk yang beragam. Mengingat beragamnya wujud perkawinan itu, maka C. Groenen mengusulkan suatu definisi yang sangat umum tentang perkawinan sebagai berikut:

Perkawinan adalah hubungan yang kurang lebih mantap dan stabil antara pria dan wanita (entah seorang atau beberapa orang) justru sebagai pria dan wanita, jadi hubungan seksual, yang oleh masyarakat yang bersangkutan (kurang lebih luas) sedikit banyak diatur, diakui dan dilegalisasikan (Groenen, 1993: 19).

Definisi perkawinan di atas sangat umum dan dimaksudkan untuk memberi tempat bagi berbagai macam kemungkinan bentuk hidup berkeluarga dalam berbagai budaya. Pertanyaan bagi kita adalah apa sesungguhnya perkawinan kristiani itu? Pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab karena pertanyaan tersebut mengarah pada upaya untuk merumuskan hakikat perkawinan kristiani itu sendiri.

(49)

pemahaman orang kristen tentang apa artinya dihubungkan satu sama lain “di dalam Tuhan” (Cooke, 1991: 43).

Oleh karena kita hendak menemukan apa sesungguhnya hakikat perkawinan kristiani itu, maka langkah yang tepat adalah berusaha memahami ajaran Kitab Suci dan ajaran Gereja pasca Konsili Vatikan II tentang perkawinan kristiani. Landasan persekutuan hidup suami istri kita jumpai pertama dalam Kitab Suci. Dalam Perjanjian Lama, terutama dalam Kej 2:24 disebutkan bahwa wanita diciptakan karena pria, namun pria harus meninggalkan ibu bapanya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging (Königsmann, 1989: 20).

Segi persekutuan ini ditekankan kembali dalam Perjanjian Baru, terutama dalam Mat 19:1-12 dan Mrk 10:1-12. Dalam Mat 19:1-12 Yesus menegaskan bahwa dalam rencana Allah yang asli, penciptaan perkawinan bersifat tidak terceraikan dan tidak ada instansi manusiawi manapun yang dapat mengakhiri persatuan demikian (Bergant & Karris, 2002: 62). Dalam Mrk 10:1-12 inti pesan Yesus adalah tuntutan kepada suami istri untuk hidup dalam kesetiaan serta persatuan selamanya sampai mati (Bergant & Karris, 2002: 100). Dari Mat 19:1-12 dan Mrk 10:1-12, kita dapat menyimpulkan pandangan Yesus mengenai hakikat perkawinan sebagai berikut: perkawinan ialah kesatuan erat antara seorang pria dan seorang wanita, yang dipersatukan oleh Allah sendiri, sedemikian erat sehingga keduanya bukan lagi dua melainkan satu (Hadiwardoyo, 1988: 22).

(50)

memandang dimensi persekutuan hidup pria dan wanita dalam perkawinan itu lebih sebagai sebuah kontrak. Pandangan ini dapat ditemukan dalam KHK 1917, kanon 1012 (Rubiyatmoko, 2001: 3). Dengan kontrak dimaksudkan persetujuan antara dua atau beberapa orang yang saling mewajibkan diri untuk memberikan, melakukan atau menghindarkan sesuatu. Perkawinan merupakan sebuah kontrak karena didirikan dengan adanya persetujuan bilateral antara seorang pria dan seorang wanita (Rubiyatmoko, 2001: 3).

Dalam tahun-tahun setelah Konsili Vatikan II, pemahaman tentang perkawinan kristiani mengalami perkembangan yang pesat. Perkawinan yang semula dilihat hanya sebagi kontrak, kini dipandang sebagai perjanjian (covenant, foedus) yang membentuk suatu persekutuan hidup dan cinta yang mesra (Dwi Joko,

http://yesaya.indocell.net/id814.htm). Meskipun Konsili Vatikan II tidak menggunakan istilah kontrak, tapi tidak menolak hakikat perkawinan sebagai suatu kontrak, karena di dalam perjanjian perkawinan itu terdapat unsur-unsur kontraknya, yaitu forma (kesepakatan pribadi antara seorang pria dan seorang wanita), objek (kebersamaan seluruh hidup), dan akibat (hak atas persetubuhan dan atas kebersamaan seluruh hidup). Dalam kanon 1055 kedua istilah tersebut justru digunakan untuk menunjuk kedua unsur pokok dari perkawinan, yaitu sebagai foedus

dan sekaligus contractus (Rubiyatmoko, 2001: 4).

(51)

wanita untuk hidup bersama atas dasar persetujuan pribadi. Karena itu Konsili menegaskan tentang perkawinan sebagai,

Persekutuan hidup suami istri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali. Demikianlah karena tindakan manusiawi, yakni saling menyerahkan diri dan saling menerima antara suami dan istri, timbullah suatu lembaga yang mendapat keteguhannya, juga bagi masyarakat, berdasarkan ketetapan ilahi (GS 48). Elemen paling esensial yang membentuk perkawinan kristiani adalah cinta suami istri (Groenen, 1993: 321-325). Karena dasarnya adalah cinta suami istri, maka hakikat perkawinan kristiani adalah persekutuan antara dua pribadi, pria dan wanita, untuk saling menerima dan saling mencintai seumur hidup, dengan kewajiban-kewajiban dan hak-haknya yang khas (Gilarso, 2003: 89; Martos, 1997: 10; Mirsel, 2001: 102). Dengan kata lain, perkawinan menunjuk relasi suami istri, yaitu persekutuan hidup dan cinta yang mereka pilih secara bebas dan pemberian diri secara timbal balik. Persekutuan hidup itu berlangsung seumur hidup, sampai maut memisahkan.

2. Tujuan Perkawinan Kristiani

(52)

mengembangkan kehidupan iman (bonum religionis), dan untuk mengambil bagian dalam kehidupan masyarakat (bonum societatis) (Sujoko, 2002: 49).

Secara singkat tujuan perkawinan kristiani dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Demi kebahagiaan / kesejahteraan suami istri (bonum coniugum)

Perkawinan bertujuan untuk kebahagiaan suami istri. Kebahagiaan suami istri tersebut didasarkan pada cinta kasih antar pribadi (Gilarso, 1996: 11). Cinta kasih itu bercorak personal. Cinta kasih suami istri itu, karena coraknya yang personal, dan atas gairah kehendak dari pribadi menuju kepada pribadi, mencakup kesejahteraan seluruh pribadi (Sujoko, 2002: 48). Cinta yang demikian mampu juga memperkaya ungkapan-ungkapan jiwa maupun raga dengan keluhuran yang khas dan mulia sebagai tanda keakraban suami istri.

b. Keterbukaan pada kelahiran anak (bonum prolis)

Tujuan ini secara spontan disadari oleh setiap pasangan yang mau menikah. Pada umumnya mereka menikah dengan tujuan untuk memperoleh keturunan (anak). Tujuan ini dianggap sebagai tujuan hakiki dari perkawinan. Perkawinan pada hakikatnya tertuju kepada adanya kelahiran baru dan pendidikannya (Sujoko, 2002: 48).

(53)

kehidupan baru. Dengan cara itu suami istri menjadi mitra kerja cinta kasih Allah Pencipta (Sujoko, 2002: 48).

c. Untuk mengembangkan kehidupan iman (bonum religionis)

Orang yang menikah biasanya mulai lebih sungguh-sungguh dalam hidupnya. Dalam perkawinan, suami istri disadarkan bahwa hidup berkeluarga juga bertujuan untuk saling membantu dalam hal iman. Kalau waktu sebelum menikah suami istri mungkin kurang memperhatikan hidup iman, kini mereka wajib untuk saling mengingatkan supaya lebih sungguh-sungguh menghayati iman. Hal ini dilakukan dalam rangka mempersiapkan diri untuk mendidik anak-anak, terutama di bidang penghayatan iman (Sujoko, 2002: 49).

d. Untuk ambil bagian dalam kehidupan masyarakat (bonum societatis) Perkawinan menghasilkan status baru dalam masyarakat. Status baru tersebut memberikan hak-hak dan kewajiban yang tidak dimiliki oleh orang yang belum menikah. Misalnya hak untuk mengikuti pertemuan atau perkumpulan yang hanya diperuntukkan bagi keluarga-keluarga (Sujoko, 2002: 49).

(54)

kenyataan ini, maka suasana keluarga adalah sangat penting bagi mutu pelayanan kerja. Kalau situasi rumah tangga tidak baik, maka pekerjaan orang tidak bisa dilakukan dengan baik (Sujoko, 2002: 49).

Peran sosial keluarga ini membuka mata bagi suami istri untuk menyadari kaitan erat antara suasana rumah tangga mereka dan mutu pelayanan masyarakat. Menciptakan rumah tangga yang baik menjadi syarat untuk melayani masyarakat dengan baik. Dan masyarakat yang baik akan menguntungkan bagi keluarga-keluarga itu juga (Sujoko, 2002: 50). Di sini terjadi relasi timbal-balik yang saling mempengaruhi.

3. Sifat-sifat Hakiki Perkawinan Kristiani

Perkawinan kristiani pada hakikatnya bersifat unitas, indissolubilitas, dan sakramental. Kan. 1056 menyatakan, “sifat-sifat hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak dapat diputuskan) yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen”.

a. Unitas

Menjadi suami dan istri berarti suatu perubahan total dalam kehidupan seseorang. Dalam Kej 2:24 dikatakan: “Seorang laki-laki meninggalkan ayah-ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Mat 19:5; Mrk 10:7-8). Hidup yang demikian itu tidak berarti hidup dua

(55)

(Catur Raharso, 2006: 85). Inilah dimensi kesatuan (unitas) dalam ikatan perkawinan kristiani atau monogami (KWI, 1996: 435-436).

Kesatuan (unitas) dalam perkawinan menunjuk suatu kebaruan dalam hidup suami istri; mereka telah menjadi satu manusia baru. Suami hidup dalam istrinya, dan istri dalam suaminya. Kesatuan mereka bukan hanya kesatuan badan, melainkan kesatuan seluruh hidup, jiwa dan raga (KWI, 1996: 436). Kesatuan itu merupakan kesatuan yang eksklusif. Disebut eksklusif karena kesatuan itu menunjuk pada kesatuan cinta suami dan istri yang tak terbagi kepada orang lain (Catur Raharso, 2006: 86; Gilarso, 1996: 12). Pada titik ini mereka lebih leluasa untuk saling mencintai satu sama lain sebagai seorang pribadi.

b. Indissolubilitas

Cinta suami istri menuntut kesetiaan sejati dari keduanya (Gilarso, 1996: 12). Ini merupakan konsekuensi dari pemberian diri yang dilakukan oleh suami istri. Cinta menuntut kepastian, dan kepastian berarti memberikan jaminan bahwa cinta itu tidak hanya berlaku sementara atau hanya bersifat percobaan belaka (KGK 1646). Maka Kristus menegaskan, “Apa yang telah dipersatukan Allah, janganlah diceraikan oleh manusia” (Mrk 10:9).

(56)

Kristus. Yesus Kristus sendiri menghendaki ikatan perkawinan yang bersifat tak terputuskan itu (Mat 19:6; Mrk 10:9).

Dewasa ini banyak orang beranggapan bahwa hidup dalam perkawinan dengan satu orang selama hidup itu terlalu sukar dilaksanakan, atau bahkan mustahil. Maka, amat penting untuk mewartakan kabar gembira, bahwa Allah mencintai manusia dengan cinta yang definitif dan tak terbatalkan. Suami istri justru mengambil bagian dalam cinta ini. Dengan pengungkapan cinta mereka yang definitif dan tak terbatalkan, suami istri menjadi saksi-saksi cinta Allah kepada manusia (KGK 1648).

c. Sakramental

Sifat sakramental perkawinan dapat kita tinjau dari dua dimensi, yaitu dimensi yuridis dan teologis. Dasar yuridis sifat sakramental pekawinan kita temukan dalam kanon 1055. Dalam kanon tersebut disebutkan bahwa Kristus telah mengangkat perkawinan menjadi sakramen (§1), sehingga sifat perkawinan di antara orang-orang yang dibaptis adalah sakramen (§2) (Rubiyatmoko, 2001: 4-5; Königsmann, 1989: 25).

(57)

sah sekaligus sakramen. Sebaliknya, apabila salah seorang dari pasangan tidak dibaptis, perkawinan itu pun bukan perkawinan sakramental (Königsmann, 1989: 26).

Bagaimana dengan perkawinan campur beda Gereja? Apakah perkawinan tersebut juga disebut sakramental? Sekali lagi perlu ditekankan bahwa perkawinan antara dua orang Kristen yang dibaptis sah (Kan 849) adalah sakramen. Gereja Katolik juga mengakui baptisan dalam Gereja Kristen yang lain. Karena itu, perkawinan antara seorang Katolik dengan orang Kristen yang dibaptis dalam Gereja lain adalah juga bersifat sakramental (Königsmann, 1989: 54).

Secara teologis, dengan sifat sakramental perkawinan dimaksudkan bahwa perkawinan bukanlah institusi sosial-manusiawi semata, melainkan institusi religius yang memiliki dimensi supranatural atau ilahi. Sifat sakramental tersebut terletak pada penghayatan iman dan kerangka teologis tertentu. Mengatakan bahwa perkawinan Katolik adalah sakramen sama dengan mengatakan bahwa orang-orang Katolik menikah dalam suatu penghayatan iman tertentu yang khas.

(58)

kematian, sehingga cinta kasih suami istri itu menjadi lestari dan abadi atas dasar saling mencintai dan saling setia (Sukasworo, 2000: 7).

B. Kesetiaan Sebagai Konsekuensi Logis dari Hakikat Perkawinan Kristiani Kita telah melihat bersama beberapa sifat hakiki perkawinan kristiani. Sifat unitas perkawinan kristiani berarti perkawinan hanya mungkin antara seorang pria dan seorang wanita (Königsmann, 1989: 27; Rubiyatmoko, 2001: 5). Sifat unitas perkawinan kristiani menghendaki suami istri untuk hidup hanya dengan satu pasangannya saja. Suami istri harus menghayati perkawinan sedemikian rupa, sehingga perkawinan berkembang baik dan tidak dirusakkan (Königsmann, 1989: 27). Dimensi kesatuan itu diperkuat lagi melalui ketakterceraian dan kesetiaan penuh dari suami istri (Catur Raharso, 2006: 91).

Sifat indissolubilitas perkawinan berarti perkawinan itu bersifat tetap dan tak bisa diputuskan oleh kuasa manapun atau oleh instansi manusiawi manapun, kecuali oleh kematian (Rubiyatmoko, 2001: 6). Dengan kata lain, ikatan perkawinan yang indissolubel itu berlaku seumur hidup karena perkawinan berarti penyerahan diri secara total tanpa syarat, juga tanpa pembatasan waktu di dunia fana ini (Dwi Joko,

http://yesaya.indocell.net/id814.htm). Ikatan perkawinan yang indissolubel menghendaki suami istri untuk hidup setia seumur hidup mereka.

(59)

pengejawantah cinta Kristus kepada Gereja-Nya. Sakramentalitas perkawinan menghendaki suami istri untuk hidup saling setia seumur hidup, seperti Kristus yang setia kepada Gereja-Nya.

Dasar dari sifat-sifat hakiki perkawinan kristiani di atas dapat dilihat dalam martabat pribadi manusia yang tiada taranya pria dan wanita yang saling menyerahkan dan menerima diri dalam cinta kasih total tanpa syarat dan secara eksklusif (Dwi Joko, http://yesaya.indocell.net/id814.htm). Karena itu, dari kodratnya cinta perkawinan menuntut kesetiaan yang tidak boleh diganggu gugat oleh suami istri. Itu merupakan akibat dari penyerahan diri dalamnya suami istri saling memberi diri (KGK 1646). Dengan kata lain, dimensi kesetiaan merupakan konsekuensi logis dari sifat unitas (kesatuan atau monogam), indissolubilitas (sifat tak dapat diputuskan), dan sifat sakramental perkawinan kristiani.

(60)

C. Landasan Biblis tentang Kesetiaan Suami Istri

1. Yahwe yang setia kepada bangsa Israel

Kasih setia Allah kepada umat pilihan-Nya selalu menjadi titik pangkal refleksi iman bangsa Israel. Berbagai peristiwa yang dialami oleh bangsa Israel, terutama peristiwa keluaran dari perbudakan dan penindasan di Mesir selalu menjadi tanda kehadiran Allah yang menyelamatkan. Walaupun berulangkali Israel jatuh dalam dosa, namun Allah tetap setia dan karena kesetiaan-Nya Israel diselamatkan. Melalui para nabi dan para bijak, bangsa Israel yang berlaku tidak setia kepada Allahnya ditegur dan dikritik. Para nabi dan para bijak tak henti-hentinya menanamkan kesadaran kepada umat akan kasih setia Allah yang menyelamatkan itu.

Para nabi dan para bijak berulangkali menggambarkan hubungan kasih setia Allah dan Israel dengan menggunakan gambaran hubungan kasih setia suami istri Yehezkiel misalnya tampil dengan menceritakan permulaan Israel dalam sebuah alegori mengenai Yerusalem sebagai istri yang tidak setia kepada Allah (Yeh 16:1-63). Teks Yeh 16:1-63 yang merupakan bab terpanjang dari kitab ini dipilih karena merefleksikan secara mendalam hubungan Allah dan Israel yang dapat diaplikasikan ke dalam bentuk hubungan suami istri pada situasi masa kini (Bergant & Karris, 2002: 599).

(61)

yang terlantar itu dan memeliharanya. Seluruh kebutuhannya dipenuhi. Kemudian Allah pergi. Ketika Yerusalem tumbuh menjadi dewasa, Allah kembali lagi dan menikahi kota itu, membanjirinya dengan hadiah dan mengambilnya sebagai istri (Bergant & Karris, 2002: 599).

Yerusalem termashur di antara bangsa-bangsa karena kecantikannya yang luar biasa. Wibawanya bagaikan seorang putri raja. Namun kecantikan dan kemashurannya justru telah menyesatkan kota itu. Yerusalem bersundal dengan orang-orang yang lewat (ayat 15). Ia merenggangkan pahanya bagi siapa saja, termasuk orang Mesir (ayat 26), Asyur (ayat 27-28), dan Babel (ayat 29). Ia merayu dan membayar para pencinta untuk datang kepadanya (ayat 30-34). Demikianlah Yerusalem melacurkan dirinya dan berlaku tidak setia kepada Allah, Suaminya (Bergant & Karris, 2002: 599).

Walaupun Israel (sang istri) berlaku tidak setia dengan melacurkan dirinya, namun Allah (Suami Israel) tetap setia kepada Israel (Widharsana, 1990: 3). Allah mengadakan kembali perjanjian-Nya dengan Yerusalem (Yeh 16:62-63). Dengan kemurahan yang melimpah, Allah memaafkan Yerusalem (Bergant & Karris, 2002: 600). Demikian Allah tetap berlaku setia kepada Yerusalem dan tetap mencintainya dengan cinta yang penuh.

(62)

dan membawa kembali. Hal tersebut dilakukan oleh Hosea. Ia memaafkan Gomer dan membangun kembali ikatan perkawinannya yang telah hancur (Eminyan, 2001: 69).

Realitas perkawinan seperti yang dialami Hosea menjadi simbol relasi kasih setia Allah kepada umat-Nya. Kasih setia Allah ini sekali lagi menjadi titik pangkal refleksi iman tentang kesetiaan suami istri, tentang penghayatan kesetiaan hidup dalam perkawinan. Kesetiaan Allah kepada Israel adalah landasan kesetiaan suami istri. Karena Allah setia mengasihi umat-Nya, maka komitmen untuk membangun kesetiaan dalam perkawinan antara suami istri merupakan dasar perjanjian cinta mereka dan sekaligus menjadi lambang betapa eratnya hubungan persatuan Allah dengan umat-Nya. Dengan saling setia dan saling mencintai, suami istri telah mewujudkan hakikat kodrati cinta Allah dalam kehidupan mereka (Widharsana, 1990: 1).

(63)

Dengan landasan kasih setia Allah, suami-isteri dipanggil untuk saling membahagiakan, kemudian bersama-sama berusaha membagikan kebahagiaan untuk seluruh keluarga dan seluruh masyarakat. Dengan demikian, keduanya sungguh-sungguh menjadi gambaran dari Allah, yang sempurna.

2. Kristus yang setia kepada Gereja-Nya

Selama Perjanjian Lama Allah mencintai umat Israel sebagai kekasih-Nya, Putri Sion yang disayangi-Nya, dipelihara-Nya. Lambang cinta kasih Allah dan umat-Nya diteruskan dalam relasi Yesus, Mempelai Pria dengan Gereja-Nya sebagai mempelai perempuan (LK3I KWI, 1994: 11). Bagaikan pokok anggur dengan ranting-rantingnya, demikian juga relasi kasih setia Kristus dengan umat-Nya tak terpisahkan (Yoh 15:1-8). Relasi kasih setia antara Kristus dengan Gereja-Nya direfleksikan dengan sangat mendalam oleh St. Paulus dalam Efesus 5:22-32. Bagi Paulus, relasi kasih Kristus dengan Gereja-Nya merupakan dasar bagi relasi suami istri dalam hidup perkawinannya. St. Paulus menerangkan misteri perkawinan itu sebagai lambang cinta kasih Kristus kepada Gereja-Nya.

(64)

Seperti Kristus adalah kepala Gereja, demikian pula suami adalah kepala dari istrinya, dan seperti tubuhnya, Gereja adalah taat kepada Kristus, demikian juga seorang istri harus taat sepenuhnya kepada suaminya. Seperti Kristus mengasihi Gereja dan memberikan diri-Nya sepenuhnya kepadanya, demikian pula seorang suami harus mengasihi istrinya sepenuhnya seperti ia mengasihi dirinya sendiri (Ef 5:33; Mat 22:39; Mrk 12:31; Luk 10:27). Selanjutnya Paulus juga menambahkan dukungan dari Kitab Suci dengan mengutip Kej 2:24 untuk menunjukkan persatuan suami istri dalam satu tubuh Kristus yang adalah Gereja (Mat 19:25; Mrk 10:7). Maka, setiap suami didorong untuk mengasihi istrinya dan istri dinasehati untuk menghormati suaminya (Bergant & Karris, 2002: 349).

Realitas perkawinan seperti digambarkan oleh St. Paulus dalam Efesus 5:22-32 menerangkan kekayaan relasi pria dan wanita dalam perkawinan sebagai simbol relasi Kristus dengan Nya (Rausch, 2001: 173). Kristus mengasihi Gereja-Nya. Gereja sebagai umat Allah, termasuk di dalamnya suami istri sebagai bagian dari umat Allah. Relasi cinta kasih suami istri dilihat sebagai relasi cinta kasih Kristus kepada Gereja-Nya, yang tidak lain adalah suami istri itu sendiri (Martos, 1997: 25; Groenen, 1993: 387; KWI, 1996: 437; Mirsel, 2001: 100-101).

(65)

1994: 11-12). Maka, seperti Kristus dan Gereja tak bisa diceraikan lagi, begitu juga janji perkawinan antara pria dan wanita murid Kristus tak bisa diceraikan lagi (LK3I KWI, 1994: 12).

Perkawinan di antara pria dan wanita yang dibaptis memiliki dasar di dalam Kristus. Atas dasar itu, cinta suami istri yang dipersatukan dalam ikatan perkawinan adalah tanda yang hidup (a living sign), tanda yang efektif (the effective sign), simbol yang penuh (fulfilled symbol), dan epifani yang nyata (the real epiphany) dari cinta Allah yang tampak dalam Kristus, Mempelai Gereja (Kasper, 1980: 35). Cinta suami istri adalah tanda nyata hubungan yang mendalam antara Kristus dan Gereja (Mirsel, 2001: 103). Cinta suami istri adalah sebuah relasi cinta yang meluap dari kesatuan Kristus dengan Gereja (Kasper, 1980: 37).

D. Kesetiaan Perkawinan Dalam Magisterium

1. Kesetiaan Perkawinan Menurut Bapa-bapa Gereja

(66)

Dalam bagian ini saya mengangkat pemikiran dari beberapa Bapa Gereja tentang perkawinan, antara lain Ignatius dari Antiokhia, Tertulianus, Klemens dari Alexandria, St. Ambrosius dari Milan, dan St. Augustinus dari Hippo. Saya menguraikan secara garis besar beberapa pokok pemikiran mereka.

a. Ignatius, Uskup Antiokhia di Siria (+ thn. 110)

Ignatius adalah uskup Antiokhia di Siria (thn. 35-110). Ia wafat sebagai martir di kota Roma pada pemerintahan Kaisar Trayanus (thn. 98-117 M). Surat-suratnya yang ditulis sekitar tahun 110 M merupakan dokumen tertua yang berbicara tentang perkawinan orang Kristen. Dalam suratnya kepada Polycarpus, uskup Smirna, Ignatius menulis,

Katakanlah kepada para saudari (perempuan Kristen), agar mencintai Tuhan dan mencukupi dirinya dengan teman hidup secara badaniah dan rohaniah. Demikianpun hendaklah menyuruh para saudaraku, agar mengasihi teman hidupnya (istri) seperti Tuhan (mengasihi) jemaah (bdk. Ef 5:15,29). […] Patutlah laki-laki yang kawin dan perempuan yang kawin mengikat persatuannya dengan persetujuan uskup, agar perkawinan nyata sesuai dengan Tuhan dan tidak sesuai dengan hawa nafsu. Semuanya mesti demi penghormatan Allah (A Polic. 5, 7. Terkutip dalam: Groenen, 1993: 159-160).

(67)

maka hidup dalam perkawinan diangkat dan diintegrasikan ke dalam tata penyelamatan Kristen (Groenen, 1993: 160. 161).

Bagi Ignatius, perkawinan yang dibangun atas dasar hubungan Kristus-Gereja itu harus dikukuhkan atau diteguhkan secara gerejani (Hadiwardoyo 1988: 29). Hal itu dimaksudkan agar pria dan wanita yang sepakat untuk membangun hidup bersama tidak sekadar mendasarkan keputusan untuk hidup bersama itu atas dasar hawa nafsu belaka. Semuanya harus sesuai dengan kehendak Tuhan dan demi penghormatan diri-Nya.

Ignatius hidup dalam masyarakat zamannya yang memiliki kebiasaan-kebiasaan tidak terpuji. Kenyataan zamannya yang bercorak Hellenis menunjukkan adanya kebiasaan seorang istri menceraikan suaminya dan kawin lagi dengan laki-laki lain. Karena itu, Ignatius mengajarkan bahwa suami istri harus mencukupi dirinya hanya dengan pasangannya saja dan mereka harus mengasihi satu sama lain, seperti Kristus mengasihi mereka. Dengan ini sebenarnya Ignatius menolak suami istri yang bercerai dan kawin lagi (Groenen, 1993: 160). Dengan menolak perceraian, Ignatius memberi tekanan yang lebih pada dimensi kesetiaan suami istri dalam perkawinan.

(68)

lahiriah dan batiniah ini memungkinkan perkawinan tetap teguh dan memberi kondisi yang positif bagi suami istri untuk saling setia.

b. Tertullianus (+ thn. 220)

Kehidupan Quintus Septimus Florens Tertullianus dapat diketahui melalui dokumen-dokumen yang ditulis oleh orang-orang yang hidup satu abad sesudah Tertullianus dan dari referensi-referensi yang kabur dalam tulisannya sendiri (Britannica 11, 2002: 652). Atas dasar itu, sebuah garis besar hidupnya direkonstruksi, tetapi informasi yang lebih mendetail tentang dirinya masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Tertullianus dilahirkan di Kartago (sekarang Tunisia), Afrika Utara, sekitar tahun 160 M. Tertullianus meninggal di usia lanjut, beberapa tahun setelah tahun 220 AD. Selama kurang lebih dua puluh sampai dua puluh lima tahun hidupnya diabdikan untuk

menulis, sehingga berbuahkan berbagai karya yang bermutu. Di sepanjang hidupnya ia

menulis secara luas mengenai iman Kristen (Britannica 11, 2002: 653).

Salah satu dimensi hidup kristiani yang menjadi pokok pembicaraan dalam tulisan-tulisan Tertullianus adalah mengenai perkawinan. Bagi Tertullianus, perkawinan adalah sebuah bentuk hidup yang pantas untuk dipuji. Karena itu, dalam

(69)

sejahtera-Nya; di mana ada dua, di sana Dia; di mana Dia, di sana si jahat tidak ada” (Groenen, 1993: 161-162).

Tertullianus mengajarkan bahwa perkawinan yang diberkati Tuhan dapat menjadi perkawinan yang berhasil, meskipun menghadapi kesulitan dan tantangan, sebab perkawinan tersebut telah menerima dukungan rahmat ilahi (Willis, 1966: 438). Dalam Ad uxorem, II,9, Tertullianus menulis,

Bagaimana saya mau melukiskan kebahagiaan Perkawinan, yang dipersatukan oleh Gereja, dikukuhkan dengan persembahan, dan dimeteraikan oleh berkat, diwartakan oleh para malaikat dan disahkan oleh Bapa? […] Betapa mengagumkan pasangan itu; dua orang beriman, dengan

satu harapan, satu keinginan, satu cara hidup, satu pengabdian! [Mereka yang adalah] anak-anak dari satu Bapa, abdi dari satu Tuhan! Tidak ada pemisahan antara mereka dalam jiwa maupun dalam raga, tetapi sungguh dua dalam satu

daging. Bila dagingnya itu satu, satu pulalah roh mereka” (Terkutip dalam: KGK 1642; Lih. Le Saint, 1951: 35).

(70)

c. Klemens dari Alexandria (+ thn. 214)

Klemens dari Alexandria (150-216) dipandang sebagai teolog Kristen yang pertama. Ia memberi pandangan yang positif tentang perkawinan. Dalam Stromatheis

IV,20, Klemens menulis,

Perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan firman Allah (1Tim. 4:3-5) memang disucikan, jika persetujuan perkawinan itu menaklukan diri kepada Allah dan diikat dengan hati yang jujur, dengan iman (=kesetiaan) penuh, pada mereka yang membersihkan diri dari dosa dan membasuh badannya dengan air yang tahir serta sehati dalam pengharapan yang sama (Terkutip dalam: Groenen, 1993: 163).

Klemens dengan jelas memaksudkan bahwa perkawinan yang sesuai dengan ketetapan ilahi diangkat, disucikan, dan diikutsertakan dalam tata penyelamatan baru. Perkawinan itu dikuduskan oleh baptisan yang diterima dan dengan demikian bersama orangnya, perkawinannya berkenan dihadapan Allah dan dimasukkan ke dalam tata penyelamatan baru (Groenen, 1993: 183; The Stromata, or Miscellanies, IV,3).

Bagi Klemens, tujuan perkawinan adalah untuk menurunkan anak-anak secara sah. Karena itu, setiap hubungan seksual di luar perkawinan bukan demi keturunan merupakan perkosaan terhadap kodrat. Walaupun begitu, ia juga menegaskan bahwa perkawinan bukanlah hanya untuk hubungan seksual, melainkan juga untuk membentuk kebersamaan hidup yang akan memungkinkan suami istri untuk saling mengembangkan ke

Referensi

Dokumen terkait

akan dilaksanakan hanya satu kali dalam kehidupan seseorang, karena setiap pasangan suami istri pasti mendambakan keharmonisan berumah tangga, sehingga diperlukan perjuangan

Hal inilah yang seringkali menjadikan konflik diantara pasangan suami istri tersebut sehingga kehidupan perkawinan mereka kurang bahagia.. Dari hasil wawancara pada subjek,

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa yang menjadi latar belakang pasangan suami istri melakukan perkawinan di bawah umur di Kecamatan Jambon yaitu,

Oleh sebab itu, melalui skripsi ini penulis bermaksud ingin memberikan sumbangan pemikiran bagi pasangan suami istri perkawinan beda agama dan beda gereja di Paroki Hati Yesus

FAKULTAS SYARIAH OKTOBER 2018.. Keluarga sakinah adalah idaman bagi semua pasangan suami istri yang menginginkan ketenangan jiwa dan kenyamanan dalam rumah tangga. Kehidupan

Perkawinan adat dalam masyarakat juga dianggap sebagai salah satu peristiwa penting yang tetap harus dijaga dalam kehidupan mereka yang bukan hanya suami istri yang

Semakin tinggi pendidikan yang ditempuh oleh pasangan suami istri, maka wawasan tentang kehidupan keluarga dapat dengan mudah dipelajari dan dipahami oleh mereka.26 Keluarga merupakan