• Tidak ada hasil yang ditemukan

KALIMAT KOORDINASI BAHASA INDONESIA: SEBUAH ANCANGAN TIPOLOGI SINTAKTIS Mulyadi Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KALIMAT KOORDINASI BAHASA INDONESIA: SEBUAH ANCANGAN TIPOLOGI SINTAKTIS Mulyadi Universitas Sumatera Utara"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

KALIMAT KOORDINASI BAHASA INDONESIA: SEBUAH ANCANGAN TIPOLOGI SINTAKTIS

Mulyadi

Universitas Sumatera Utara

Abstrak

Artikel ini membahas perilaku argumen sintaktis pada struktur kalimat koordinasi bahasa Indonesia. Dengan menggunakan ancangan tipologi sintaktis, penelitian ini bertujuan untuk menguraikan tipe-tipe kalimat koordinasi dalam bahasa Indonesia. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahasa Indonesia memiliki properti ergativitas sintaktis sebab pada struktur kalimat koordinasi bahasa indonesia dimungkinkan pelesapan argumen referensial apabila fungsinya adalah pasien dan subjek. Namun, bahasa Indonesia juga memiliki properti akusatif sintaktis karena argumen dari klausa intransitif yang dilesapkan berkoreferensi dengan agen.

Kata kunci: kalimat koordinasi, tipologi sintaktis, argumen sintaktis, relasi koreferensial Abstract

This article discusses behavior of syntactic argument in the sentence structure of coordination in bahasa Indonesia. By using syntactic tipological approach, the research purpose is to describe the sentence types in bahasa Indonesia. The results of the research show that bahasa Indonesia has syntactic ergativity properties because they allow the deletion of coreferencial argument if their functions are as pasient and subject. But bahasa Indonesia also has the syntactic accusative properties because argument of deleted intransitive clauses coreference with agent.

Key words: coordination sentences, syntactic typologies, syntactic argument, coreferencial relations

1. Pengantar

Konstruksi sintaktis sebuah bahasa pada dasarnya dibentuk oleh tiga relasi inti dasar atau tiga primitif gramatikal-semantis (lihat Dixon, 1989; Song, 2001: 40—41). Ketiga primitif itu terdiri atas subjek (S) klausa intransitif, agen (A) atau subjek logis klausa transitif, dan pasien (P) atau objek logis klausa transitif. Menurut Song (2001: 40—41), ketiga primitif itu secara tipologis berguna

(2)

sebagai pemarkah kasus, terutama untuk penentuan profil sebuah bahasa, misalnya apakah sebuah bahasa tergolong bertipe akusatif atau bertipe ergatif.

Bahasa Indonesia umumnya disebut bertipe akusatif (mis. Fokker, 1980; Keraf, 1984, 1989; Parera, 1991; Alwi dkk, 2000). Sebaliknya, Verhaar (1989) berpendapat bahwa bahasa Indonesia secara tipologis terpisah atas dua tipe, yaitu tipe akusatif untuk bahasa Indonesia ragam resmi dan tipe ergatif untuk bahasa Indonesia ragam tak resmi. Sejalan dengan Verhaar, Artawa (1997) mengklaim bahwa bahasa Indonesia memiliki properti ergatif secara sintaktis.

Dalam artikel ini dianalisis perilaku argumen S, A, dan P pada kalimat koordinasi bahasa Indonesia. Tujuan penelitian ini ialah untuk mendeskripsikan tipe-tipe kalimat koordinasi bahasa Indonesia. Pemilihan kalimat koordinasi berdasarkan pertimbangan bahwa tipe kalimat ini sangat cocok dengan tipologi verba-objek (VO) yang menjadi tipe bahasa Indonesia (lihat Purwo, 1989: 351; Verhaar, 1996: 288).

Korpus penelitian ini sebagian besar berisi data tulis. Perilaku S, A, dan P pada kalimat koordinasi dikumpulkan dari berbagai sumber seperti novel, cerita pendek, dan surat kabar. Data tulis itu dijaring dengan metode simak. Metode reflektif-instrospektif diterapkan untuk melengkapi data yang ada. Selanjutnya, semua data yang diperoleh dikelompokkan sesuai dengan kesamaan perilaku argumennya. Perilaku argumen sintaktis itu diuji dengan teknik kepivotan,3 yang sangat cocok diterapkan pada bahasa-bahasa yang memiliki pemarkahan sintaktis pada argumennya, seperti pada bahasa Indonesia.

(3)

2. Konsep dan Landasan Teori 2.1 Konsep

Ada dua konsep yang perlu dibatasi, yakni kalimat koordinasi dan susunan beruntun. Kalimat koordinasi merujuk pada aliansi dua klausa atau lebih dalam hubungan setara (lihat Verhaar, 1996: 282; Alwi dkk, 2000: 386). Aliansi itu terjadi karena pemakaian konjungsi, seperti pada (1) atau penggunaan tanda koma, seperti pada (2). Dalam bahasa Indonesia, kedua klausa itu biasanya dihubungkan oleh konjungsi aditif (mis. dan, lalu, kemudian), kontrastif (mis. [te]tapi, sedang[kan], namun), dan alternatif (mis. atau). Jika aliansinya menggunakan tanda koma, hubungan antarklausa ditafsirkan secara semantis.

(1) Ia bisa datang dan pergi kapan saja dengan bebas. [Nayla, 2005] (2) Ia telentang di ranjangnya, enggan bergerak. [RSK, 1996:23]

Dalam ‘pohon biologis’, dua konstituen kalimat (K) atau lebih pada kalimat koordinasi disebut ‘anak’ dan ko-inti dari K (Kroeger, 2004: 40). Tiap-tiap klausa ‘anak’ itu mempunyai struktur internal yang mandiri pada kalimat kompleks. Pada kalimat koordinasi yang berupa aliansi dua klausa, FN subjek dapat dilesapkan pada klausa kedua apabila berkoreferensi dengan subjek dari klausa pertama. Misalnya, kedua klausa pada kalimat koordinasi pada (1) dan (2) di atas memiliki subjek yang sama sehingga subjek dari klausa kedua dapat dilesapkan, yang ditandai dengan [ ]. Struktur kalimat koordinasi pada (1) dan (2) digambarkan pada (3).

(4)

(3)

K

K Konj K

ia bisa datang dan [ ] pergi kapan saja dengan bebas ia telentang di ranjangnya [ ] enggan bergerak

Susunan beruntun mengacu pada penggolongan bahasa-bahasa yang berbasis pada tiga konstituen utama: S, V, dan O. S mengacu pada entitas yang mengawali tindakan, O merujuk pada entitas yang menjadi sasaran tindakan, dan V adalah tindakan itu sendiri. Song (2001: 49) mengklaim bahwa ada enam susunan beruntun dasar yang direalisasikan pada bahasa-bahasa di dunia, yakni SOV, SVO, VSO, VOS, OVS, dan OSV. Song (2001: 138) menambahkan bahwa fungsi utama dari susunan beruntun dasar pada tingkat klausa ialah untuk menunjukkan ‘siapa melakukan sesuatu (X) pada siapa’.

Bahasa Indonesia dalam beberapa literatur digolongkan bersusunan SVO (Sudaryanto, 1983; Purwo, 1989: 351). Pola susunan ini tampak jika dibandingkan contoh (4) dan (5) di bawah. Peran semantis FN perampok itu dan polisi pada (4) berbeda dengan peran semantis FN pada (5) kendatipun kedua kalimatnya memuat kata dan konstituen yang sama. Dengan peran yang bersangkutan, hubungannya berlaku antara FN dan verba, dan juga antara FN itu sendiri. Jelasnya, pada (4) perampok itu adalah agen dan polisi adalah pasien, sementara pada (5), polisi adalah agen dan perampok itu adalah pasien.

(5)

Perbedaan dalam peran FN dalam kalimat (4) dan (5) ditandai secara langsung oleh perbedaan dalam penempatan FN. FN praverbal ditafsirkan sebagai ‘orang yang melakukan tindakan penembakan’, sedangkan FN posverbal dipahami sebagai ‘orang yang menjadi korban dari tindakan penembakan’. Peran FN ditafsirkan begitu karena bahasa Indonesia memiliki mekanisme gramatika yang melibatkan bentuk-bentuk morfologis untuk mengekspresikan peran semantis atau relasi gramatikal FN pada sebuah klausa. Bentuk-bentuk morfologis itu biasanya direalisasikan dalam bentuk afiks dan pemarkah pada verba yang merupakan unsur sentral pada sebuah klausa.

2.2 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan ancangan tipologi sintaksis. Dalam kajian tipologi sintaktis, penentuan tipe sebuah bahasa didasarkan pada tiga argumen sintaktis berikut:

(6) S = argumen subjek kalimat intransitif A = argumen agen kalimat transitif P = argumen pasien kalimat transitif

Relasi S, A, dan P di atas secara eksplisit menerangkan jumlah argumen yang hadir pada sebuah klausa. Pada klausa intransitif hadir satu argumen (S), tetapi pada klausa transitif terdapat dua argumen, A dan P. Penetapan tipe sebuah bahasa, akusatif atau ergatif, mengacu pada perilaku sintaktis A dan P. Artinya, dari argumen A dan P dipilih satu argumen yang berperilaku sintaktis sama

(6)

dengan argumen S pada klausa intransitif. Apabila argumen A berperilaku sama dengan argumen S dan berbeda dengan argumen P, bahasa itu digolongkan bertipe akusatif. Sebaliknya, sebuah bahasa bertipe ergatif jika argumen P berperilaku sama dengan argumen S dan berbeda dengan argumen A. Perbedaan kedua tipe bahasa ini digambarkan sebagai berikut.

(7) akusatif ergatif

S S

A P A P

Contoh bahasa yang dikenal memiliki properti ergatif secara sintaktis adalah bahasa Dyirbal, sebuah bahasa Aborigin di Australia. Dalam bahasa Dyirbal, dua jenis klausa dapat berkoordinasi apabila kedua FN-nya berfungsi sebagai P dan S. Argumen yang berkoreferensi pada klausa kedua biasanya dilesapkan.

(8) Marri Jani-nggu bura-n nyina-nyu.

Mary (P) John-ERG see-NONFUT sit down-NONFUT

Pada contoh (8), S pada klausa intransitif dinyatakan secara implisit. Pada kalimat ini, S secara sintaktis berkoreferensi dengan P (Mary) pada klausa transitif yang mendahuluinya. Jadi, pada bahasa Dyirbal argumen yang berkoreferensi dalam struktur kalimat koordinasi dapat dilesapkan kalau masing-masing berfungsi sebagai P dan S.

(7)

Fakta gramatikal yang diterangkan di atas berbeda dengan bahasa yang bertipe akusatif, seperti bahasa Inggris. Pada kalimat seperti

(9) John (A) saw Mary (P) and [ ] sat down.

konstituen yang dilesapkan pada klausa kedua, yang disimbolkan dengan [ ], adalah S yang berkoreferensi dengan A pada klausa pertama, dan bukan dengan P. Dengan kata lain, dalam bahasa Inggris A berperilaku sama dengan S sehingga ditetapkan sebagai bahasa akusatif.

3. Interpretasi Tipologis Bahasa Indonesia

Interpretasi terhadap relasi S, A, dan P berbasis pada tipe-tipe aliansi klausa yang membentuk kalimat koordinasi bahasa Indonesia. Dengan mengamati hubungan koreferensi yang terbentuk pada ketiga argumen tersebut, seperti yang diringkas pada Tabel 1, berikut ini diterangkan interpretasi tipologis pada kalimat koordinasi bahasa Indonesia.

Tabel 1 Tipe Aliansi Klausa pada Kalimat Koordinasi Bahasa Indonesia Tipe Klausa I Klausa II Hubungan Koreferensi

I Intransitif Intransitif S1 = S2

II Intransitif Transitif S1 = P2

S1 = A2

III Transitif Intransitif P1 = S2

A1 = S2 IV Transitif Transitif P1 = P2 A1 = A2 P1 = A2 A1 = P2 P1 = P2 dan A1 = A2 P1 = A2 dan A1 = P2

(8)

3.1 Intransitif-Intransitif

Kalimat koordinasi dapat dibentuk oleh dua klausa intransitif yang kedua argumen S-nya berkoreferensi. Ini diilustrasikan pada (10) dan (11)

(10) Dan laki-laki itu melangkah dengan tenang ke muka, tapi kepalanya tepekur sebagai orang kalah. [RSK, 1996:64]

(11) Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. [RSK, 1996:15]

Pada (10), FN subjek kepalanya pada klausa kedua mengacu pada FN subjek laki-laki itu pada klausa pertama. Pada (11) FN subjek mereka pada klausa kedua merujuk pada FN subjek anak cucu kami itu pada klausa pertama. Namun, kekoreferensialan dalam bahasa Indonesia tidak selalu direalisasikan oleh relasi antarkonstituen, tetapi bisa direalisasikan oleh relasi konstituen dengan klausa, seperti pada (12).

(12) a. Belakangan ini, korban tewas bunuh diri di Karangasem terus bertambah dan itu cukup memprihatinkan. [BP]

b. ?Belakangan ini, korban tewas bunuh diri di Karangasem terus bertambah dan [korban tewas bunuh diri di Karangasem] cukup memprihatinkan. c. Belakangan ini, korban tewas bunuh diri di Karangasem terus bertambah

dan [penambahan terus korban tewas bunuh diri di Karangasem] cukup memprihatinkan.

Pada contoh (12b), pronomina itu sebagai argumen S pada klausa kedua secara semantis kurang tepat ditafsirkan berkoreferensi dengan argumen S pada

(9)

klausa pertama. Munculnya keprihatinan (masyarakat) tidak semata-mata dikarenakan adanya korban tewas bunuh diri, tetapi lebih disebabkan terjadinya penambahan jumlah korban, seperti pada (12c). Dalam bahasa Indonesia, hubungan anaforis ini dimungkinkan sebab pronomina demonstratif seperti itu, dan pronomina yang lain seperti ini dan demikian, dapat mengacu pada tataran di atas konstituen, seperti klausa, kalimat, atau paragraf.

Apabila dua argumen S yang referensial digabungkan ke dalam sebuah kalimat koordinasi, argumen S pada klausa kedua dapat dilesapkan. Contohnya, S2 pada kalimat (13) dan (14) dapat dilesapkan karena berkoreferensi dengan S1, yakni FN Om Indra pada (13) dan FN terdakwa pada (14). Ditafsirkan seperti itu sebab tidak ada argumen S lain yang hadir pada kalimat itu. Satu-satunya argumen sintaktis yang dapat mengisi slot yang ditinggalkan S2 ialah argumen S yang mendahuluinya, yaitu S1.

(13) Om Indra tinggal di rumah dan [ ] tidur di kamar ibu. [Nayla, 2005:96]

(14) Terdakwa mengaku tidak bersalah dan [ ] tidak menyesal terhadap perbuatan yang telah dilakukannya. [BP]

Mengingat hubungan koreferensi terjalin di antara konstituen dan klausa pada kalimat koordinasi, seperti pada (12), implikasinya ialah bahwa argumen S2 yang lesap juga dapat diinterpretasikan berkoreferensi dengan klausa, bukan dengan sebuah konstituen. Dengan tes sintaktis, contoh (15) menunjukkan bahwa S2 lebih tepat berkoreferensi dengan sebuah klausa, seperti pada (15c), daripada berkoreferensi dengan sebuah konstituen, seperti pada (15b).

(10)

(15) a. Ompi bertanya dengan suara yang mendesis, tapi [ ] terburu-buru berdesakan keluar. [RSK, 1996:26]

b. *Ompi bertanya dengan suara yang mendesis, tapi [Ompi] terburu-buru berdesakan keluar.

c. Ompi bertanya dengan suara yang mendesis, tapi [pertanyaan Ompi] terburu-buru berdesakan keluar.

Pelesapan S2 pada tipe kalimat koordinasi ini dibolehkan asalkan kedua argumen S-nya referensial dan S2 yang dilesapkan tidak mesti berkoreferensi dengan konstituen, tetapi dapat juga berkoreferensi dengan klausa.

3.2 Intransitif-Transitif

Kekoreferensialan argumen S dan P ditunjukkan pada kalimat (16a) dan (17a). Argumen P pada klausa kedua tidak boleh dilesapkan langsung sebab akan terbentuk kalimat yang tidak gramatikal, seperti pada (16b) dan (17b).

(16) a. Dia masuk ke dalam dan saya mengintipnya dari lobang kunci. b. *Dia masuk ke dalam dan saya mengintip [ ] dari lobang kunci (17) a. Temanku baik-baik, tapi aku suka menjahili mereka.

b. *Temanku baik-baik, tapi aku suka menjahili [ ].

Untuk melesapkan argumen P, klausa kedua harus dipasifkan. Dengan mekanisme ini, P akan berpindah ke slot subjek pada struktur derivasi dan pada gilirannya dapat ‘diakses’ oleh argumen S klausa intransitif. Pada kalimat (16c) dan (17c) di bawah ini, pemasifan klausa transitif ditandai oleh verbanya yang tidak bermarkah.

(11)

(16) c. Dia masuk ke dalam dan [ ] saya intip dari lobang kunci. (17) c. Temanku baik-baik, tapi [ ] suka aku jahili.

Begitu juga:

(18) Alam di luar menghijau dan [ ] disungkup oleh awan yang memutih di langit. [RSK, 1996:55]

(19) Ia kini jadi lemah dan [ ] sempoyongan oleh pukulan itu. [RSK, 1996:59]

Struktur pasif pada kedua contoh di atas berbeda. Pada (18), verba pasifnya dimarkahi oleh afiks –di. Pada (19), verba pasifnya tidak bermarkah, seperti pada (16c) dan (17c). Oleh sebab itu, untuk contoh (19) diperlukan penjelasan dalam menandainya sebagai struktur pasif. Identifikasi (19) sebagai kalimat pasif didasarkan pada ciri semantis predikatnya dan ciri ini diperkuat dengan hadirnya FN pukulan itu yang berperan sebagai agen. Tes sintaktis berikut mendukung argumentasi ini.

(18) a. Alam di luar menghijau dan awan yang memutih di langit menyungkup alam.

(19) a. Ia kini jadi lemah dan pukulan itu menyempoyongkannya. b. Ia kini jadi lemah dan pukulan itu membuatnya sempoyong.

Perubahan struktur pasif menjadi struktur aktif, seperti pada (18a) dan (19a-b), memperlihatkan bahwa argumen yang dilesapkan pada klausa kedua adalah P, dan argumen ini berkoreferensi dengan argumen S pada klausa pertama.

(12)

Dengan demikian, pada tipe kalimat koordinasi ini, perilaku S dan P sama dan merupakan ciri-ciri keergatifan sintaktis dalam bahasa Indonesia.

Selanjutnya, argumen S pada klausa pertama dan argumen A pada klausa kedua dapat berkoreferensi. Misalnya, pada (20), A2 yang berupa FN matanya

berkoreferensi dengan S1 Lena; pada (21), A2 yang berupa FN aku berkoreferensi dengan S1 dengan jenis FN yang sama.

(20) Lena tertegun dan matanya melihat anak dalam gendongan itu. [RSK, 1996:86]

(21) Kemudian aku duduk di sampingnya dan aku jamah pisau itu. (RSK, 1996:8)

Namun, struktur kedua kalimat di atas berbeda. Pada (20), klausa keduanya dalam bentuk aktif, sedangkan pada (21) klausa keduanya dalam bentuk pasif. Fakta gramatikal ini mengindikasikan bahwa pelesapan A2 dapat terjadi, baik klausa keduanya aktif maupun pasif.

Sekarang pertimbangkan contoh ini.

(22) Mereka mandi dan [ ] mencuci pakaian bergantian di sana. (Nayla, 2005:15) (23) Lama baru orang tahu dan [ ] memapahnya ke ranjangnya di kamar. (RSK,

1996:24)

Pelesapan A2 pada (22) dan (23) terjadi pada klausa aktif. Pertanyaannya adalah apakah A2 dapat dilesapkan kalau struktur klausa keduanya adalah pasif? Untuk mengetahuinya, struktur klausa kedua pada (22) dan (23) dipasifkan menjadi (22a) dan (23a). Hasilnya adalah kalimat yang tidak gramatikal.

(13)

(22) a. *Mereka mandi dan [ ] dicuci pakaian bergantian di sana.

(23) a. *Lama baru orang tahu dan [ ] dipapahnya ke ranjangnya di kamar.

Jelas bahwa pada tipe koordinasi ini pelesapan A terjadi apabila klausa kedua berstruktur aktif. A mesti dimunculkan jika klausa keduanya dalam bentuk pasif. Karena A klausa transitif berperilaku sama dengan S klausa intransitif, bahasa Indonesia memperlihatkan properti akusatif secara sintaktis.

3.3 Transitif-Intransitif

Argumen P klausa transitif dan argumen S klausa intransitif berkoreferensi apabila klausa transitifnya berstruktur pasif. Pertimbangkan:

(24) Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. (RSK, 1996:16) (25) Aku beri kau negeri yang kaya-raya, tapi kau malas. (RSK, 1996:15)

Namun, ada fakta sintaktis lain bahwa dalam hubungan koreferensi antara argumen P dan S, pelesapan S klausa intransitif dapat dibenarkan, baik klausa pertamanya berstruktur aktif maupun berstruktur pasif.

Misalnya,

(26) a. Saya melihat dia minggu lalu dan kini [ ] menghilang. b. Dia saya lihat minggu lalu dan kini [ ] menghilang.

(27) a. Ibu baru saja memasak nasi dan [ ] masih hangat. b.Nasi baru saja dimasak ibu dan [ ] masih hangat.

(14)

Pada (26), FN dia sebagai P pada klausa pertama berkoreferensi dengan argumen S yang dilesapkan pada klausa kedua. Begitu juga, FN nasi pada (27) yang merupakan P pada klausa pertama berkoreferensi dengan argumen S pada klausa kedua. Tes sintaktis berikut membuktikan hal ini.

(26) c. Saya melihat dia minggu lalu dan kini [dia] menghilang. d. *Saya melihat dia minggu lalu dan kini [saya] menghilang. e. Dia saya lihat minggu lalu dan kini [dia] menghilang. f. *Dia saya lihat minggu lalu dan kini [saya] menghilang.

(27) c. Ibu baru saja memasak nasi dan [nasi] masih hangat. d. *Ibu baru saja memasak nasi dan [ibu] masih hangat e. Nasi baru saja dimasak ibu dan [nasi] masih hangat. f. *Nasi baru saja dimasak ibu dan [ibu] masih hangat.

Ketidakgramatikalan (26d) dan (26f) serta (27d) dan (27f) menegaskan bahwa bukan argumen A pada klausa pertama yang berkoreferensi dengan argumen S pada klausa kedua, melainkan argumen P. Dapat diikhtisarkan bahwa bahasa Indonesia pada tipe koordinasi ini memperlihatkan perilaku keergatifan secara sintaktis.

Sekarang perhatikan contoh berikut:

(28) a. Djenar mematikan rokoknya dan [ ] kembali beringsut ke dalam selimut. [Nayla, 2005]

(29) a. Matanya tidak memandang suaminya, melainkan [ ] tetap menatap bulat ke daun palam. [RSK, 1996:82]

(15)

Pada dua contoh di atas, konstituen yang dilesapkan pada klausa intransitif adalah S yang berkoreferensi dengan A, bukan dengan P. Tidak logis pada (28a) bahwa ‘rokok yang beringsut ke dalam selimut’ atau pada (29a) ‘suaminya yang menatap bulat ke daun palam’. Ini berarti bahwa hubungan koreferensi antara A1 dan S2 terjadi karena struktur klausa transitifnya dalam bentuk aktif. Andai klausa transitif dipasifkan, kalimatnya tidak gramatikal, seperti pada (28b) dan (29b). Pada contoh terakhir ini, tidak diinterpretasikan bahwa konstituen yang dilesapkan pada klausa intransitif berkoreferensi dengan argumen A klausa transitif.

(28) b. *Rokoknya dimatikan Djenar dan [ ] kembali beringsut ke dalam selimut. (29) b. *Suaminya tidak dipandang matanya, melainkan [ ] tetap menatap bulat ke

daun palam.

Akan tetapi, jika argumen S klausa intransitif tidak dilesapkan, klausa transitif berstruktur pasif. Pada kalimat seperti

(30) Diambilnya bungkusan kainnya, lalu ia melangkah ke pintu. (RSK, 1996:64)

argumen A klausa transitif, yang bermarkah pronomina –nya, berkoreferensi dengan argumen S klausa intransitif, yang ditandai oleh FN ia. Dengan demikian, pada tipe konstruksi koordinatif ini, bahasa Indonesia memiliki properti keakusatifan secara sintaktis.

(16)

3.4 Transitif-Transitif

Hubungan koreferensi dari dua argumen P dapat terjadi pada kalimat koordinasi yang dibentuk oleh aliansi dua klausa transitif. Perhatikan:

(31) a. Ayah membaca koran, tapi ibu merebutnya. b. *Ayah membaca koran, tapi ibu merebut [ ]. c. Ayah membaca koran, tapi [ ] direbut ibu. d. Koran dibaca ayah, tapi [ ] direbut ibu.

Pada (31a), P2 berkoreferensi dengan P1 dan kedua klausanya berstruktur aktif. Dengan struktur klausa seperti ini, pelesapan P2 tidak diizinkan, seperti pada (31b). Untuk melesapkan P2, operasi sintaktisnya adalah dengan merevaluasi struktur klausa kedua, seperti pada (31c) atau dengan merevaluasi struktur klausa pertama dan struktur klausa kedua, seperti pada (31d). Jadi, pelesapan P2 hanya dimungkinkan apabila P2 menempati fungsi subjek pada struktur derivasi.

Patut dicatat bahwa ada data lain yang memperlihatkan kekoreferensialan dua argumen P. Pada data ini, yang dilesapkan adalah klausa kedua dan kalimatnya tetap berterima, seperti pada (32a). Namun, seperti pada contoh (31b), pada contoh ini pelesapan P2 juga tidak dimungkinkan apabila klausa keduanya berstruktur aktif.

(32) a. Beberapa kelompok mencari kerabatnya atau kenalannya dengan menggunakan suluh. (RSK, 1996:97)

b. *Beberapa kelompok mencari kerabatnya atau beberapa kelompok mencari [ ] dengan menggunakan suluh.

(17)

Lebih jauh, apabila dua argumen A bersifat referensial dan kedua klausanya berstruktur aktif, argumen A pada klausa kedua dapat dilesapkan. Perilaku A ini dicontohkan pada (33a) (34a).

(33) a. Ia mengecup kening ibu dan [ ] menjabat tangan Nayla. [Nayla, 2005:96] b. *Kening ibu dikecupnya dan [ ] menjabat tangan Nayla.

(34) a. Dengan sigap Nayla memapah Juli keluar dari dalam toilet menuju konsul DJ lalu [ ] memesankan Coca Cola [....] (Nayla, 2005:60)

b. *Dengan sigap Juli dipapah Nayla keluar dari dalam toilet menuju konsul DJ lalu [ ] memesankan Coca Cola.

Pada contoh di atas, konstituen yang dilesapkan pada klausa kedua berkoreferensi dengan argumen A pada klausa pertama. Kalau klausa pertama direvaluasi, kalimatnya tidak gramatikal, seperti pada (33b) dan (34b). Apakah pelesapan A2 hanya terjadi pada klausa aktif? Untuk menjawabnya, bandingkan dengan contoh berikut.

(35) a. Aku tak ingin cari kaya, [ ] bikin rumah. [RSK, 1996:10]

Pada kalimat (35a), argumen A2 dilesapkan dan argumen itu berkoreferensi dengan argumen A1. Struktur kalimatnya menyerupai pasif karena verbanya tidak bermarkah. Seperti yang dikatakan oleh Artawa (1997: 119), verba pada kalimat aktif secara morfologis lebih kompleks daripada verba pada kalimat pasif. Namun, pemarkah morfologis bukan satu-satunya paramater kepasifan. Peran semantis juga menentukan. Dalam konteks ini, kalimat (35a) lebih tepat

(18)

disebut kalimat aktif daripada kalimat pasif karena relasi agen-pasien pada kalimat itu begitu kuat. Dalam kalimat pasif, agen biasanya ditempatkan sebagai frasa ajung atau dihilangkan. Tambahan pula, dalam bahasa lisan yang dituliskan, ada kecenderungan untuk menghilangkan pemarkah nasal pada verba bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, struktur (35a) dapat “dinormalkan” menjadi (35b).

(35) b. Aku tak ingin mencari kekayaan, [ ] membikin rumah.

Bukti lain bahwa pelesapan A2 terjadi apabila kedua klausanya berstruktur aktif diilustrasikan pada contoh (36). Apabila salah satu atau kedua klausanya pasif, kalimatnya tidak gramatikal, seperti (36a) dan (36b). Slot yang kosong pada klausa kedua tidak bisa diisi oleh argumen A, kecuali kedua struktur klausanya diaktifkan, seperti pada (36c).

(36) a. *Dibelainya rambutku lalu [ ] mengucapkan kata sayang. b. *Dibelainya rambutku lalu [ ] diucapkan kata sayang. c. Dia membelai rambutku lalu [ ] mengucapkan kata sayang.

Sekarang cermati contoh berikut:

(37) a. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah meminta imbalan apa-apa. [RSK, 1996:7]

b. *Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang [ ] tak pernah meminta imbalan apa-apa.

(19)

Kalimat koordinasi pada (37a) secara eksplisit menandai kekoreferensialan argumen P, yang dimarkahi oleh -nya pada klausa pertama dan argumen A, yang dimarkahi oleh ia, pada klausa kedua. Kedua klausanya berstruktur aktif dan A2 tidak bisa dilesapkan, seperti pada (37b). Sementara klausa pertama dipasifkan, pelesapan A2 tampaknya dimungkinkan dalam bahasa Indonesia. Sebagai pembanding, perhatikan contoh (38).

(38) a. Tidak pernah aku melihat kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. [RSK, 1996:8]

b. *Tidak pernah aku melihat kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahuti [ ] seperti saat itu.

c. Tidak pernah kakek kulihat begitu durja dan belum pernah salamku tak disahuti [ ] seperti saat itu.

Contoh (38a) di atas menerangkan bahwa P1 dan A2 berkoreferensi. Seperti pada (37b), pada struktur kalimat seperti ini, A2 tidak dapat dilesapkan. Pelesapan A2 dimungkinkan apabila klausa pertama dipasifkan, seperti pada (38c). Jadi, pada tipe koordinasi ini, bahasa Indonesia memiliki ciri keakusatifan secara sintaktis.

Kalimat koordinasi sebagai aliansi dua klausa transitif memberi alternatif untuk argumen A pada klausa pertama berkoreferensi dengan argumen P pada klausa kedua. Pada kalimat (39), anak itu adalah A yang berkoreferensi dengan

dia sebagai P, sementara pada kalimat (40) dia sebagai A berkoreferensi dengan –

(20)

(39) Anak itu mengacungkan tangannya lalu dia diminta guru untuk menjawab. (40) Dia membezuk kakak di rumah sakit, tapi ibu malah memarahinya.

Pada kedua contoh di atas, A2 dapat dilesapkan, seperti pada (39a) dan (40a). Apabila struktur klausa pertama dipasifkan, pelesapan A2 tidak diizinkan, seperti pada (39b) dan (40b). Karena kesamaan perilaku argumen A dan P, properti keakusatifan terlihat pada tipe koordinasi ini.

(39) a. Anak itu mengacungkan tangannya lalu [ ] diminta guru untuk menjawab. b. *Tangannya diacungkan anak itu lalu [ ] diminta guru untuk menjawab.

(40) a. Dia membezuk kakak di rumah sakit, tapi [ ] malah dimarahi ibu. b. Kakak dibezuknya di rumah sakit, tapi [ ] malah dimarahi ibu.

Kalimat koordinasi dapat dibentuk oleh dua FN yang sama, yang menggambarkan hubungan koreferensi di antara argumennya. Pada (41a), argumen P pada kedua klausa transitif itu berkoreferensi, yang direalisasikan oleh pronomina –nya. Begitu juga, argumen A pada klausa pertama dan klausa kedua berkoreferensi, yang direalisasikan pada klausa pertama oleh FN seorang gadis perawat, sedangkan pada klausa kedua argumen tersebut dilesapkan. Jadi, A2 dapat dilesapkan pada klausa yang berstruktur aktif. Jika argumen P2 yang dilesapkan, kalimatnya tidak gramatikal, seperti pada (41b).

(41) a. Seorang gadis perawat menghampirinya dan [ ] merebahkannya lagi. [RSK, 1996:105]

(21)

Patut dicatat bahwa argumen P2 boleh dilesapkan apabila kalimatnya berstruktur pasif. Perilaku argumen ini dicontohkan pada (42a). Slot kosong pada klausa kedua milik argumen P dan hal itu bisa dirujuk pada argumen P pada klausa pertama, yang direalisasikan oleh FN air itu. Pelesapan argumen A pada klausa kedua gagal sebab argumennya tidak diinterpretasikan berkoreferensi dengan argumen A pada klausa pertama, seperti pada (42b). Tegasnya, pelesapan argumen A atau P pada klausa kedua bergantung pada diatesis kalimatnya.

(42) a. Ditampungnya air itu dengan kedua telapak tangannya, lalu [ ] dibawanya ke mulutnya. (RSK, 1996:99)

b. *Ditampungnya air itu dengan kedua telapak tangannya, lalu air itu dibawa [ ] ke mulutnya.

Selanjutnya, konstruksi (43a) mendeskripsikan tipe koreferensi yang lain pada dua FN yang sama. FN yang sama itu adalah argumen A (= dia) pada klausa pertama dan argumen P (= -nya) pada klausa kedua dan kemudian argumen P (=

saya) pada klausa pertama dan argumen A (= saya) pada klausa kedua.

(43) a. Dia menipu saya dan saya tidak mencurigainya. b. *Dia menipu saya dan saya tidak mencurigai [ ]. c. *Dia menipu saya dan [ ] tidak mencurigainya.

Pada struktur aktif seperti ini, A2 dan P2 tidak dapat dilesapkan, seperti pada (43b) dan (43c). Mekanisme gramatika untuk melesapkan A2 atau P2 ialah merevaluasi struktur klausa pertama.

(22)

Model kalimat yang klausa pertamanya sudah direvaluasi tampak pada contoh (44a). Karena struktur klausa pertama dalam bentuk pasif, argumen A2 atau P2 dapat dilesapkan tanpa menyalahi kaidah sintaksis. Pada (44b), pelesapan terjadi pada argumen A2, sedangkan pada (44c) pada argumen P2.

(44) a. Aku hukum kamu, tapi kamu malah menantangku. [Nayla, 2005:7] b. Aku hukum kamu, tapi [ ] malah menantangku.

c. Aku hukum kamu, tapi kamu malah menantang [ ].

Dari perilaku argumen di atas disimpulkan bahwa A dan P pada klausa kedua boleh lesap kalau struktur klausa pertama direvaluasi. Perilaku argumen ini memperlihatkan bahwa bahasa Indonesia mempunyai ciri-ciri keakusatifan.

4. Simpulan

Kalimat koordinasi bahasa Indonesia dibentuk oleh empat tipe, yaitu (1) intransitif-intransitif, (2) intransitif-transitif, (3) transitif-intransitif, dan (4) transitif-transitif. Secara tipologis, perilaku argumen sintaktis pada kalimat koordinasi “terbelah”. Di satu sisi, bahasa Indonesia dapat digolongkan sebagai bahasa yang ergatif secara sintaktis karena memperlakukan P sama dengan S dan perlakuan yang berbeda pada A. Pada sejumlah kalimat koordinasi, dimungkinkan pelesapan argumen yang koreferensial apabila argumen itu berfungsi sebagai P dan S. Di sisi lain, bahasa Indonesia memiliki properti keakusatifan sintaktis. Argumen klausa intransitif yang dilesapkan ditafsirkan berkoreferensi dengan argumen A, dan bukan dengan argumen P, pada klausa transitif.

(23)

Catatan Akhir:

1

Song (2001) mengusulkan bahwa primitif S, A, dan P dapat menghasilkan lima kemungkinan logis dalam pengelompokan bahasa-bahasa di dunia, yaitu nominatif-akusatif, ergatif-absolutif, tripartit, AP/S, dan netral.

2

Lihat, antara lain, Fokker (1980), Keraf (1984, 1991), Parera (1991), Alwi dkk (2005).

3

Verhaar (1996:7) mengatakan bahwa bahasa tulis memuat banyak masalah yang perlu diselidiki karena bukan representasi langsung dari bahasa tutur.

4

Uraian yang mendalam lihat Dixon (1994). Sumber Data

1. Nayla, 2005, Jenar Maesa Ayu, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

2. Robohnya Surau Kami (RSK). 1996. A.A. Navis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, H. dkk. 2005. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Artawa, K. 1997. “Keergatifan Sintaktis dalam Bahasa: Bahasa Bali, Sasak, dan

Indonesia”. Dalam B.K. Purwo. 1997. Pellba 10. Jakarta: Kanisius.

Comrie, B. 1983. Language Universal and Linguistic Typology. Oxford: Blackwell.

Dixon, R. M. W. 1994. Ergativity. Cambridge: Cambridge University Press. Fokker, A. A. 1980. Pengantar Sintaksis Bahasa Indonesia. Jakarta: Pradnya

Paramita.

Keraf, G. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Ende: Nusa Indah.

Keraf, G. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Kroeger, P. R. 2004. Analyzing Syntax: A Lexical-Functional Approach. Cambridge: Cambridge University Press.

Parera, J.D. 1991. Sintaksis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Purwo, B. K. 1989. “Diatesis di dalam Bahasa Indonesia: Telaah Wacana”. Dalam B. K. Purwo. 1989. Serpih-Serpih Telaah Pasif Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Song, J. J. 2001. Linguistic Typology. England: Pearson Education Limited. Sudaryanto. 1983. Predikat-Objek dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Djambatan. Verhaar, J. W. M. 1989. “Keergatifan Sintaktis di dalam Bahasa Indonesia

Modern”. Dalam B.K. Purwo (ed.). 1989. Serpih-Serpih Telaah Pasif Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Verhaar, J. W. M. 1996. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Gambar

Tabel 1 Tipe Aliansi Klausa pada Kalimat Koordinasi Bahasa Indonesia  Tipe  Klausa I  Klausa II  Hubungan Koreferensi

Referensi

Dokumen terkait

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang tidak akan direklasifikasi ke laba rugi 0.. Penyesuaian akibat penjabaran laporan keuangan dalam mata uang

Pada tahap persiapan yang dilakukan pada siklus I, rencana yang dilakukan peneliti meliputi: 1) mempelajari kurikulum. Dalam kurikulum 2013, hal yang harus

12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia untuk mengakomodir diaspora dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, Indonesia dapat mencontoh praktik dari

Alat bantu jig dan fixture yang digunakan saat ini terdiri dari tiga buah, yang masing - masing alat bantu tersebut digunakan untuk memproses permukaan benda kerja

Tugas dari rumah detensi imigrasi ( RUDENIM ) Kota Pekanbaru ialah melaksanakan sebagian tugas pokok dan fungsi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di

Tindak menunjuk pada hak kelakuan manusia dalam arti positif (handelen). Padahal pengertian yang sebenarnya dalam istilah feit adalah termasuk baik perbuatan aktif

Agama masih menjadi landasan untuk menilai mana yang baik dan tidak, mana pemimpin yang baik dan tidak, namun masyarakat cenderung memisahkan kehidupan agama dari politik, partai

bahwa untuk melaksanakan pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi secara terbuka dan kompetitif pada tingkat nasional sesuai dengan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4)