• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp."

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp. Klasifikasi dan Morfologi

Taenia sp didalam klasifikasi taksonomi termasuk ke dalam kelas Eucestoda, ordo Taeniidae, famili Taeniidae dan genus Taenia. Anggota dari genus Taenia mempunyai ciri antara lain memiliki rostelum dengan mahkota ganda dari kait-kait besar. Tubuhnya terdiri dari sepuluh sampai beberapa ratus segmen. Larvanya dikenal dengan sebutan sistiserkus yang biasanya terdapat pada mamalia baik golongan herbivora maupun omnivora dan kadang-kadang pada manusia sedangkan cacing dewasanya terdapat pada mamalia karnivora dan manusia (Levine 1994). Beberapa spesies yang termasuk ke dalam genus Taenia yang larvanya sering ditemukan pada babi adalah Taenia hydatigena, Taenia solium dan Taenia asiatica (Levine 1994; OIE 2008).

Taenia hydatigena merupakan cacing pita dengan induk semang definitifnya adalah anjing, srigala dan karnivora liar, sedangkan kistanya yang dikenal dengan sebutan Cysticercus tenuicollis ditemukan pada hati atau rongga peritoneum domba, kambing, sapi maupun babi. Panjang cacing dewasanya mencapai 3-5 m. Rostelumnya mempunyai 26-44 kait dan terdiri dari 2 baris, dengan panjang mencapai 170-220 µm dan yang pendek 110-160 µm. Kista dari cacing ini berukuran cukup besar mencapai 1-7 cm dengan leher skoleks yang panjang (Levine 1994; OIE 2008).

Salah satu spesies cacing pita yang sering menimbulkan masalah pada kesehatan manusia adalah Taenia solium. Cacing ini telah diketahui menjadi parasit pada manusia sejak ratusan tahun yang lalu. Induk semang antara dari Taenia solium adalah babi (Acha & Szyfres 2003; Soejoedono 2004). Cacing dewasa Taenia solium berada dalam usus halus manusia dengan panjang mencapai 3-5 m. Terdapat 22-32 kait dalam dua baris pada rostelum. Panjang proglotid gravid 10-12 mm dan lebar 5-6 mm, uterusnya mempunyai cabang pada masing-masing sisi. Setiap proglotid gravid dapat mengeluarkan 40.000 telur. Telur berbentuk bola dan berdiameter + 42 µm (Levine 1994). Taenia solium dapat bertahan hidup selama 25 tahun dan biasanya hanya ditemukan satu cacing

(2)

pada satu induk semang. Larva dari cacing ini dikenal sebagai Cysticercus cellulosae yang dapat ditemukan pada urat daging babi, anjing dan kadang-kadang manusia. Ukuran dan bentuk dari sistiserkus ini berbeda-beda tergantung pada lokasinya. Dalam daging umumnya sistiserkus ini berbentuk kantong elips semi transparan dengan panjang mencapai 5-20 mm dan lebar 5-10 mm. Sistiserkus berisi cairan dan didalamnya terdapat ‘invaginasi“ skoleks yang melekat pada membran internalnya melalui lehernya. Struktur dan morfologi dari skoleks pada sistiserkus menyerupai skoleks pada Taenia solium dewasa (Levine 1994; Pawlowski 2002).

Taenia asiatica merupakan cacing pita yang morfologinya sangat mirip dengan Taenia saginata. Cacing ini mula-mula ditemukan di Taiwan kemudian di beberapa negara Asia lainnya. Manusia merupakan induk semang definitif dari Taenia asiatica sedangkan larvanya biasa ditemukan pada babi terutama pada organ hati. Sistiserkus dari Taenia asiatica mirip dengan sistiserkus dari Taenia solium walaupun ukurannya lebih kecil berbentuk agak bulat sampai lonjong, merupakan bentuk gelembung berwarna putih susu dengan kepala yang mengalami “invaginasi” ke dalam gelembung. Ukuran dari metacestoda ini 2,07-2,14 mm. Permukaan gelembung bagian luar mempunyai bentuk menyerupai kutil dan berdiameter 21,5-36,7 µm. Pada beberapa skoleks sistiserkus tersebut terdapat kait-kait yang telah rudimenter dengan jumlah antara 1-37 (Eom & Rim 1993; Dharmawan 1995; Puchades & Fuentes 2000).

Gambar 1 Morfologi skoleks (atas) dan proglotid gravid (bawah) dari T. hydatigena, T. solium dan T. Asiatica (Abuladze 1970; Pawlowski 2002).

T. sollium

(3)

Daur Hidup

Daur hidup cacing pita (cestoda) umumnya memerlukan satu atau lebih induk semang antara. Stadium larva dari cacing cestoda berkembang biak di dalam tubuh induk semang antara apabila telur dari cacing cestoda termakan oleh induk semang antara tersebut. Induk semang defenitif akan terinfeksi oleh cacing apabila mengkonsumsi daging yang mengandung kista.

Taenia hydatigena

Siklus hidup dari Taenia hydatigena diawali apabila induk semang antaranya memakan telur ataupun proglotid gravid yang dikeluarkan bersama feses anjing. Embrio hexacanth akan keluar menembus dinding usus halus dan masuk ke dalam aliran darah lalu dibawa ke hati ataupun organ-organ lain yang menjadi tempat predileksinya. Sistiserkus yang terbentuk di organ-organ tersebut disebut Cysticercus tenuicollis. Setelah infeksi diperlukan waktu antara 2-4 minggu untuk kista ini bermigrasi ke dalam rongga peritonium. Sistiserkus kemudian menjadi matang pada hari ke 34-53. Anjing akan terinfeksi Taenia hydatigena apabila memakan daging atau organ yang mengandung sistiserkus (Gambar 2) (Soulsby 1982; Dharmawan 1990).

Gambar 2 Daur hidup Taenia hydatigena (Anonim 2008). Kista C. tenuicollis pada rongga

peritonium

Anjing terinfeksi akibat memakan daging yang mengandung kista

(4)

Taenia solium

Daur hidup Taenia solium dimulai ketika cacing dewasa yang hidup pada usus manusia akan melepaskan segmen proglotidnya yang mengandung telur cacing dan keluar dari tubuh manusia melalui feses (Gambar 3).

Gambar 3 Daur hidup Taenia solium (Kraft 2007).

Telur yang dikeluarkan kemudian termakan oleh babi dan di dalam tubuh babi akan berkembang menjadi larva yang mendiami otot-otot babi terutama di daerah otot pengunyah, otot jantung, lidah, diafragma, kaki belakang dan otot-otot yang banyak bergerak. Apabila daging tercemar dan kista termakan (terutama dalam kondisi kurang masak) maka kista akan berkembang kembali menjadi cacing dewasa. Larva dari Taenia solium yaitu Cysticercus cellulose dapat juga berkembang di dalam berbagai organ tubuh manusia. Hal ini terjadi bila manusia secara tidak sengaja menelan telur berembrio melalui makanan/air yang tercemar oleh feses penderita taeniasis. Telur cacing juga dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui mekanisme autoinfeksi dimana penderita taeniasis akan menelan telur berembrio melalui tangannya yang tercemar feses (Soejoedono 2004; Kraft 2007).

Babi/manusia terinfeksi Kista pada daging babi

Proglotid yang mengandung telur ke luar lingkungan

lewat feses Manusia terinfeksi karena

makan daging berkista

Cysticerkus pada jaringan manusia

(5)

Taenia asiatica

Pola daur hidup Taenia asiatica relatif sama dengan Taenia saginata. Perbedaan utama terletak pada induk semang antara dan tempat predileksi kistanya pada induk semang antara, jika pada Taenia saginata kistanya ditemukan pada urat daging sapi maka kista dari Taenia asiatica ditemukan pada hati babi (Eorn & Rim 1993; Dharmawan 1995).

Taeniasis dan Sistiserkosis pada Manusia

Taeniasis dan sistiserkosis yang disebabkan infeksi oleh Taenia solium lebih banyak terjadi di negara berkembang dibandingkan negara maju. Hal ini disebabkan adanya perbedaan dalam tingkatan kesehatan lingkungan dan kesehatan pribadi dalam masyarakat maupun perbedaan dalam teknologi beternak babi. Di India, Cina, Asia Selatan dan Asia Tenggara, Taenia solium merupakan parasit penting untuk manusia (Acha & Szyfres 2003). Taeniasis/sistiserkosis juga menjadi reemerging disease di Amerika Serikat akibat datangnya para imigran yang berasal dari daerah endemis (Toledo et al. 1999).

Menurut Dorny et al. (2003) taeniasis/sistiserkosis merupakan masalah bagi kesehatan masyarakat terutama di negara berkembang dimana populasi babi dan tingkat konsumsi dagingnya tinggi serta rendahnya tingkat pendidikan, sarana dan prasarana kebersihan/kesehatan. Sutisna et al. (1999) menyatakan bahwa kurang intensifnya kegiatan pemeriksaan daging di daerah pedesaan juga mempengaruhi penyebaran dari penyakit ini.

Penderita taeniasis umumnya memperlihatkan gejala asimptomatis namun terkadang muncul gejala gangguan abdominal, diare, anorexia, indigesti dan konstipasi (John et al. 1992). Adanya larva Taenia solium di dalam organ manusia dikenal sebagai kasus sistiserkosis pada manusia. Gejala yang timbul antara lain epilepsi, hidrosephalus, gagal jantung, gangguan penglihatan, serta gangguan lainnya tergantung pada tempat predileksi dari larva ini (Soejoedono 2004).

Daerah endemis taeniasis/sistiserkosis di Indonesia adalah Irian Jaya, Sumatera Utara, Pulau Bali dan NTT (Flores dan Timor) (Sutisna et al. 1999). Beberapa studi telah dilakukan untuk mengetahui kejadian sistiserkosis di

(6)

Indonesia khususnya pada manusia (Tabel 1). Prevalensi sistiserkosis di berbagai daerah di Indonesia berkisar 2-56,9%.

Tabel 1 Studi kejadian sistiserkosis pada manusia di Indonesia

Gambar 4 Daerah tertular taeniasis/sistiserkosis (Depkes RI 2006).

No Tempat Prevalensi Literatur

1 Bali 13% Theis et al. 1994

2 Sumatera Utara 2% Simanjuntak et al. 1997, diacu dalam Rajshekhar et al. 2003 3 Irian Jaya 48% Simanjuntak et al. 1997, diacu dalam

Rajshekhar et al. 2003

4 Papua 23,5-56,9% Salim et al. 2009

Daerah tertular Daerah bebas kasus

(7)

Gambar 5 Daerah taeniasis di Indonesia (Depkes RI 2006).

Sistiserkosis pada Hewan Babi

Beberapa jenis sistiserkus yang sering ditemukan pada babi adalah Cysticercus cellulose, Cysticercus tenuicollis dan kista Echinococcus. Infeksi ringan sistiserkosis pada babi tidak memperlihatkan dampak yang serius namun infeksi ini memiliki dampak ekonomis yaitu adanya penolakan daging pada pemeriksaan post mortem, baik sebagai daging untuk konsumsi lokal ataupun untuk diekspor sehingga merugikan baik untuk pemilik, ekonomi secara regional maupun nasional (Soejoedono 2004; Radfar et al. 2005). Kejadian sistiserkosis pada babi di Indonesia sendiri sudah dikenal sejak lama terutama di beberapa wilayah seperti Pulau Bali. Di Pulau Bali kasus sistiserkosis sering disebut dengan istilah “beberasan”. Penyakit ini pertama kali terindentifikasi di Pulau Bali oleh Le Courte pada tahun 1920 (Dharmawan 1990).

Data kejadian sistiserkosis pada ternak khususnya babi di Indonesia masih sangat terbatas. Studi Dharmawan (1990) pada babi yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) Denpasar menunjukkan tingkat prevalensi mencapai 16,5% untuk Cysticercus tenuicollis dan 0,12% untuk Cysticercus cellulosae.

Kab. Karo, Simalungun, Taput, Nias, Prop. Sumut

Kab. Lampung Tengah, Prop.Lampung

Kab. Jembrana, Gianyar, Karangasem, Denpasar, Prop.Bali

Kab Belu, TTS, Flores Timur, Ende, Manggarai, Sumba Timur, Kupang, Prop. NTT

Kab. Manokwari, Jayawijaya, Prop. Irian Jaya

(8)

Maitindom (2008) melakukan studi pada babi yang dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua dengan tingkat prevalensi mencapai 77,1% untuk Cysticercus cellulosae.

Diagnosa Taeniasis/Sistiserkosis

Berbagai metode telah dikembangkan untuk mendiagnosa taeniasis/sistiserkosis baik pada manusia maupun pada hewan. Beberapa uji serologis adalah enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) dan enzyme linked immunoelectrotransfer blot (EITB). Teknik EITB merupakan salah satu tes yang paling spesifik yang telah dikembangkan dimana tingkat spesifisitasnya mencapai 100% (Tsang et al. 1989, diacu dalam Dorny et al. 2003). Keuntungan dari penggunaan uji serologis antara lain adalah uji ini dapat dipergunakan untuk mendiagnosa penyakit pada hewan hidup serta relatif tidak mahal dan mudah dilakukan untuk sejumlah besar sampel serum (Dorny et al. 2003) namun diketahui kurang sensitif apabila diterapkan pada babi dengan tingkat infeksi rendah atau jumlah kista sedikit (Sciutto et al. 1998). Menurut OIE (2008) teknik ELISA dan EITB menunjukkan sensitivitas yang rendah pada babi-babi lokal yang terinfeksi oleh Taenia solium pada level rendah. Selain itu kekurangan dari uji-uji imunologis adalah kesalahan dalam menentukan hasil seropositif babi muda karena adanya maternal antibody yang diturunkan dari induk (Gonzalez et al. 1999, diacu dalam Dorny et al. 2003). Reaksi silang antara Cysticercus cellulose dan Cysticercus tenuicollis juga dapat terjadi (Dorny et al. 2003).

Metode non serologis yang sering digunakan dalam pemeriksaan sistiserkosis adalah palpasi lidah dan meat inspection. Teknik palpasi lidah banyak digunakan di Amerika Utara dan Afrika untuk mendeteksi sistiserkus dari Taenia solium pada babi. Teknik ini masih dipertanyakan keakuratannya karena membutuhkan keahlian yang tinggi, memiliki sensitifitas yang rendah dan hanya mampu mendeteksi ternak yang terinfeksi berat (Mutua et al. 2007). Meat inspection sampai saat ini adalah teknik yang paling baik untuk mendiagnosa sistiserkosis walaupun hanya dapat dilakukan pada pemeriksaan post mortem. Teknik ini dilakukan dengan melakukan inspeksi secara visual pada keseluruhan karkas dan organ serta melakukan beberapa sayatan pada tempat-tempat yang dicurigai adanya sistiserkus (OIE 2008).

(9)

Faktor Risiko Sistiserkosis

Faktor risiko adalah variabel yang meningkatkan risiko terjadinya suatu penyakit atau infeksi (Sastroasmoro & Ismael 1995). Penelitian mengenai faktor risiko sistiserkosis pada babi terutama faktor risiko kejadian sistiserkosis solium sudah banyak dilakukan di negara-negara lain. Penelitian yang dilakukan Mutua et al. ( 2007) di Teso-Kenya menunjukkan bahwa di daerah tersebut faktor risiko bagi kejadian sistiserkosis solium adalah kepemilikan toilet/jamban. Menurut Edwards et al. (1997) kejadian sistiserkosis tenuicollis banyak dipengaruhi oleh adanya anjing yang berkeliaran di padang penggembalaan.

Faktor risiko kejadian sistiserkosis pada babi belum banyak di pelajari di Indonesia. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan hanya mengenai faktor risiko sistiserkosis pada manusia. Penelitian yang dilakukan di daerah Jayawijaya-Papua menunjukkan bahwa faktor kebiasaan mencuci tangan, jenis pekerjaan, frekuensi mandi, jenis sumber air bersih dan tempat buang air besar merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi sistiserkosis pada manusia di daerah tersebut (Purba et al. 2002).

Pencegahan dan Pengobatan

Pencegahan taeniasis/sistiserkosis dapat dilakukan melalui penerapan sanitasi dan higiene yang baik terutama pada populasi yang berisiko tinggi dikombinasikan dengan identifikasi dan pengobatan secara tuntas pada penderita taeniasis. Upaya peningkatan status ekonomi, sosial dan kesehatan pada masyarakat perlu dilakukan terutama di negara-negara berkembang yang endemis terhadap penyakit ini. Meat inspection yang baik dan benar merupakan cara kontrol penyebaran penyakit ini, selain itu perlu disosialisasikan bagi populasi berisiko untuk selalu memasak daging babi diatas suhu 60ºC ataupun membekukannya -5 ºC selama empat hari, -15 ºC selama tiga hari, atau -24 ºC selama satu hari yang dapat membunuh larva di dalam daging. Pencegahan melalui teknik vaksinasi sampai saat ini masih dikembangkan (John et al. 1992; Toledo et al. 1999; Acha & Szyfres 2003; Sarti & Rajshekhar 2003; OIE 2008).

Pada awalnya pengobatan sistiserkosis hanya dapat dilakukan dengan pembedahan maupun terapi sim ptomatik bagi penderita stadium lanjut namun saat ini telah ditemukan obat yang cukup efektif dalam pengobatan sistiserkosis.

(10)

Salah satu obat yang telah diuji efektivitasnya bagi sistiserkosis pada manusia ialah praziquantel (PZQ). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa obat ini dapat menyebabkan penurunan jumlah dan ukuran kista sistiserkus di dalam jaringan dengan efek samping yang ringan. Preparat oxfendazole terbukti menunjukkan efektifitas yang tinggi dalam mengatasi sistiserkosis bila diberikan secara single dosis sebanyak 30 mg/kgBB. Meskipun oxfendazole mampu membunuh sistiserkus yang ada di otot dan organ internal, obat ini tidak mampu membunuh kista yang ada di otak (John et al. 1992; OIE 2008).

Situasi Kabupaten Flores Timur

Kabupaten Flores Timur adalah sebuah kabupaten yang terletak di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Secara geografis Kabupaten Flores Timur terletak pada 80,04' LU; 80,40' LS; 123o,57 BT; 122o,38 BT. Secara administratif Flores Timur berbatasan dengan Kabupaten Lembata disebelah timur, Kabupaten Sikka di sebelah barat, Laut Flores disebelah utara, dan Laut Sawu disebelah selatan. Kabupaten Flores Timur adalah kabupaten kepulauan. Luas wilayah

mencapai ± 5.983,38 km2, yang terdiri dari laut ± 4.170,53 km2 dan darat ± 1.812,85 km2. Jumlah pulau di Kabupaten Flores Timur adalah 20 buah, dan

hanya 4 buah yang berpenghuni. Kabupaten ini terdiri dari 18 kecamatan, 17 kelurahan dan 219 desa. Total jumlah penduduk tahun 2008 adalah 229.419 jiwa, dan tingkat kepadatan penduduk adalah ± 161,74 jiwa/km2 dengan rata-rata pertumbuhan penduduk ± 1,02% per tahun. Penduduk sebagian besar beragama Katolik, diikuti Islam, Hindu, dan Budha. Mata pencarian penduduk antara lain bertani, sebagai nelayan, berwiraswasta dan sebagai pegawai negeri. Kabupaten ini beriklim tropis mempunyai musim kemarau yang panjang (8 bulan) dan musim hujan yang relatif singkat (4 bulan) (Anonim 2008; Bappeda & PM Kab. Flores Timur 2009).

(11)

Tabel 2 Populasi ternak dan produksi daging di Kabupaten Flores Timur tahun 2008

( Bapeda & PM Kabupaten Flores Timur 2009)

Sektor peternakan di wilayah ini belum sepenuhnya dikembangkan secara optimal walaupun tingkat konsumsi daging diwilayah ini cukup tinggi mencapai 11,93 kg/kapita/thn dan memiliki luas lahan kering yang cukup besar yaitu mencapai ± 184.333 ha (Bappeda & PM Kab. Flores Timur 2009). Sistem peternakan yang diterapkan umumnya adalah semi intensif dimana ternak dipelihara sebagai mata pencaharian sampingan. Peternakan yang paling berkembang di wilayah ini adalah babi disusul oleh kambing dan sapi (Tabel 2).

No Jenis Ternak Jumlah

Populasi (ekor) Produksi Daging (kg)

1 Babi 110.222 3.967.992 2 Kambing 66.443 498.248 3 Sapi 1.783 52.554 4 Domba 1.214 9.105 5 Kuda 1.170 8.775 6 Kerbau 28 560

Gambar

Gambar 1  Morfologi skoleks (atas) dan proglotid gravid (bawah) dari                           T
Gambar 2  Daur hidup Taenia hydatigena (Anonim  2008). Kista C. tenuicollis  pada rongga
Gambar 3   Daur hidup Taenia solium (Kraft   2007).
Tabel 1  Studi kejadian sistiserkosis pada manusia di Indonesia
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pemeriksaan ante mortem dilakukan oleh dokter hewan atau petugas yang ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan sesuai dengan prosedur yang. ditetapkan (Surat