• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Rumusan Masalah Orisinalitas Penelitian Tujuan Penelitian 13

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Rumusan Masalah Orisinalitas Penelitian Tujuan Penelitian 13"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM i

PRASYARAT GELAR ii

LEMBAR PENGESAHAN iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI iv

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT v

UCAPAN TERIMA KASIH vi

ABSTRAK ix

ABSTRACT x

RINGKASAN xi

DAFTAR ISI xiii

DAFTAR SINGKATAN xvii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Rumusan Masalah 11 1.3 Orisinalitas Penelitian 11 1.4 Tujuan Penelitian 13 1.4.1 Tujuan Umum 13 1.4.2 Tujuan Khusus 13 1.5 Manfaat Penelitian 13 1.5.1 Manfaat Teoritis 14 1.5.2 Manfaat Praktis 14 1.6 Landasan Teoritis 15 1.7 Metode Penelitian 26 1.7.1 Jenis Penelitian 26 xiii

(2)

1.7.2 Jenis Pendekatan 27

1.7.3 Sumber Bahan Hukum 28

1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum 30 1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum 31

BAB II TEORI DAN KONSEP MENGENAI PERUSAHAAN 33

2.1 Teori Tentang Subjek Hukum 33

2.2 Teori Tentang Badan Hukum 37

2.2.1 Teori Fiksi 38

2.2.2 Teori Harta Kekayaan Bertujuan 38

2.2.3 Teori Organ 39

2.2.4 Teori Kekayaan Bersama 40 2.2.5 Teori Kenyataan Yuridis 41

2.2.6 Teori dari Leon Duguit 41

2.3 Konsep Tentang Perusahaan 50

2.3.1 Pengertian Tentang Perusahaan 50 2.3.2 Bentuk-Bentuk Perusahaan 54 2.3.3 Sumber Pengaturan Hukum Perusahaan 90 2.4 Konsep Tentang Perusahaan Grup 92 2.4.1 Pengertian Tentang Perusahaan Grup 92 2.4.2 Pengertian Tentang Perusahaan Induk 96 2.4.3 Pengertian Tentang Anak Perusahaan 99

BAB III PENGATURAN HUBUNGAN PERUSAHAAN INDUK BERBENTUK PERSEROAN TERBATAS DENGAN ANAK PERUSAHAANBERBENTUK

PERSEKUTUAN KOMANDITER 100

(3)

3.1 Ruang Lingkup Hubungan Hukum Perusahaan Induk dengan Anak Perusahaan

100

3.1.1 Pengakuan Yuridis terhadap Perusahaan Grup Menurut Hukum Positif di

Indonesia 102

3.1.2 Hubungan Perusahaan Induk dengan Anak Perusahaan Menurut UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 106

3.1.3 Hubungan Perusahaan Induk dengan Anak Perusahaan Menurut Doktrin 109

3.2 Kerangka Pengaturan Hubungan Perusahaan Induk Berbentuk Perseroan Terbatas dengan Anak Perusahaan Berbentuk Persekutuan Komanditer

117

3.3 Hubungan Hukum antara Perusahaan Induk Berbentuk Perseroan Terbatas dengan Anak Perusahaan Berbentuk Persekutuan Komanditer

126

3.3.1 Pengawasan Perusahaan Induk Berbentuk Perseroan Terbatas terhadap Anak Perusahaan Berbentuk

Persekutuan Komanditer 128

3.3.2 Pengaruh Perusahaan Induk Berbentuk Perseroan Terbatas terhadap terhadap Anak Perusahaan Berbentuk Persekutuan Komanditer

130

BAB IV KONSEKUENSI YURIDIS YANG DITIMBULKAN DARI HUBUNGAN HUKUM ANTARA PERUSAHAAN INDUK BERBENTUK PERSEROAN

TERBATAS DENGAN ANAK PERUSAHAAN BERBENTUK

PERSEKUTUAN KOMANDITER 134

4.1 Tanggung Jawab Perusahaan Grup Sebagai Kesatuan

Ekonomi 135

4.1.1 Hubungan Antara HAM Ekonomi Dan Pengendalian Perusahaan Induk Terhadap Anak Perusahaan Dalam Mewujudkan Kesatuan Ekonomi

137

(4)

4.1.2 Penerapan Prinsip Good Corporate Governance Dalam Langkah Mewujudkan Kesatuan Ekonomi Pada Perusahaan Grup 143

4.2 Tanggung Jawab Hukum Perusahaan Induk Berbentuk Perseroan Terbatas terhadap Anak Perusahaan Berbentuk Persekutuan Komanditer

148

4.2.1 Dualitas Antara Perusahaan Induk Berbentuk Perseroan Terbatas terhadap Anak Perusahaan Berbentuk Persekutuan Komanditer Berdasarkan Prinsip

Limited Liability 151

4.2.2 Akibat Hukum Perusahaan Induk Berbentuk Perseroan Terbatas terhadap Anak Perusahaan Berbentuk Persekutuan Komanditer dalam Hubungannya dengan

Pihak Ketiga 153 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan 166 5.2 Saran 167 DAFTAR PUSTAKA xvi

(5)

ABSTRAK

HUBUNGAN HUKUM PERUSAHAAN INDUK BERBENTUK PERSEROAN TERBATAS DENGAN ANAK PERUSAHAAN BERBENTUK PERSEKUTUAN

KOMANDITER

Kepemilikan perusahaan induk atas saham pada anak perusahaan dalam jumlah tertentu memberi kewenangan kepada perusahaan induk untuk bertindak sebagai pimpinan sentral yang mengendalikan anak perusahaan. Namun hal ini menjadi permasalahan apabila bentuk anak perusahaan bukan berstatus sebagai badan hukum, yaitu Persekutuan Komanditer.

Berdasarkan kondisi tersebut, maka permasalahan yang dapat diangkat dalam penelitian ini adalah (1) Apakah yang menjadi dasar timbulnya hubungan hukum antara perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas dengan anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer, dan (2) Bagaimanakah konsekuensi yuridis dari hubungan hukum antara perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas dengan anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif yang berangkat dari adanya kekosongan norma pada Pasal 84 ayat (2) huruf b UUPT terbaru. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) dasar timbulnya hubungan hukum antara perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas dengan anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer terjadi karena adanya kepemilikan saham Persekutuan Komanditer oleh perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas, sehingga Perseroan Terbatas dapat menggunakan hak suaranya dalam RUPS untuk menetapkan kebijakan bagi Persekutuan Komanditer sebagai anak perusahaan, mengangkat anggota direksi/dewan pengawas dalam Perseroan Terbatas sebagai perusahaan induk sebagai sekutu komanditer atau sekutu komplementer dalam Persekutuan Komanditer, melakukan perjanjian hak bersuara dengan Persekutuan Komanditer dan melakukan kontrak kendali terhadap Persekutuan Komanditer sebagai anak perusahaan; dan (2) konsekuensi yuridis dari hubungan hukum antara perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas dengan anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer apabila ditinjau dari prinsip

limited liability yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT terbaru, maka dominasi antara Perseroan Terbatas terhadap Persekutuan Komanditer tidak melahirkan tanggung jawab hukum bagi Perseroan Terbatas dalam hubungan hukum yang terjadi dengan pihak ketiga, namun apabila Perseroan Terbatas terbukti melakukan indikasi-indikasi penyimpangan pada laporan keuangan dalam hubungan hukumnya dengan Persekutuan Komanditer sebagai anak perusahaan, maka Perseroan Terbatas dapat dikenakan sanksi berupa denda atau pidana.

Kata Kunci: Perusahaan Induk, Anak Perusahaan, Hubungan Hukum.

(6)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penulisan latar belakang ini dilandasi oleh permasalahan tentang penerapan pengaturan kebijakan perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas terhadap anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer. Pada konstruksi perusahaan grup, dimana Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT terbaru) yang telah menggantikan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT terdahulu) maupun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPdt) sangat sedikit memuat tentang ketentuan yang mengatur hubungan khusus antara perusahaan induk dengan anak perusahaan.

Ketentuan Pasal 84 ayat (2) huruf b UUPT terbaru dipaparkan sebagai berikut :

Hak suara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku untuk saham induk perusahaan yang dikuasai oleh anak perusahaannya secara langsung atau tidak langsung. Merujuk pada kepemilikan saham pada perusahaan induk sebagaimana yang ditentukan dari isi pasal tersebut, maka dapat diperoleh gambaran secara implisit mengenai bentuk dari perusahaan induk pada konstruksi perusahaan grup saat ini harus berbentuk Perseroan Terbatas. Sedangkan terhadap bentuk dari anak perusahaan, Pasal 29 bagian memori penjelasan UUPT terdahulu menjabarkan tentang definisi dari anak perusahaan sebagai :

Anak perusahaan adalah perseroan yang mempunyai hubungan khusus dengan perseroan lainnya yang terjadi karena : (1) Lebih dari 50 % (lima puluh persen) sahamnya dimiliki oleh induk perusahaannya, (2) Lebih dari 50 % (lima puluh persen) suara dalam RUPS dikuasai oleh induk perusahaannya, dan atau (3) Kontrol atas jalannya perseroan, pengangkatan, dan pemberhentian direksi dan komisaris sangat dipengaruhi oleh induk perusahaannya.

(7)

Ketentuan pada UUPT terdahulu secara langsung menyatakan bahwa anak perusahaan harus berbentuk perseroan. Namun, sejak diundangkannnya UUPT terbaru itu, maka ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasalnya itu secara langsung dinyatakan sudah tidak berlaku lagi, sebagaimana yang dijabarkan dalam isi Pasal 160 UUPT.

Ketentuan dalam UUPT terbaru yang berlaku saat ini tidak ada yang memberikan batasan mengenai bentuk dari anak perusahaan seperti halnya yang pada UUPT terdahulu, sehingga secara tidak langsung memberikan keleluasaan terhadap bentuk dari anak perusahaan sebagai badan usaha yang dapat berwujud badan hukum maupun bukan hukum. Begitu pula terhadap peraturan lain yang terkait, seperti halnya Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1998 Tentang Pemakaian Nama Perseroan Terbatas, Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1998 Tentang Pengabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas, dan Peraturan Pemerintah No 57 Tahun 2010 Tentang Pengabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan Menteri Hukum dan Ham RI No. M.01. HT. 01. 10 Tahun 2007 tanggal 21 September 2007 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar, Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar, dan Perubahan Data Perseroan, dan Peraturan Menteri Hukum dan Ham RI No. M.02. HT. 01. 10 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pengumuman Perseroan Terbatas dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, tidak memuat mengenai terminologi dari anak perusahaan pada perusahaan grup yang akhirnya memunculkan suatu celah hukum terkait dengan kekosongan norma (vacum of norm) dalam hal pelaksanaan penerapan kebijakan dari perusahaan induk yang berstatus sebagai badan hukum, yaitu Perseroan Terbatas terhadap anak perusahaan yang berbentuk bukan badan hukum, yaitu Persekutuan Komanditer.

(8)

Perlunya pengaturan terhadap anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer dari perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas pada konstruksi perusahaan grup merupakan permasalahan yang sangat menarik untuk diangkat menjadi suatu karya tulis ilmiah. Adapun yang melandasi sebagai pertimbangan-pertimbangan dari penulisan ini adalah :

Pertama, pada prinsipnya, perusahaan adalah suatu kegiatan dalam menjalankan usaha dengan tujuan untuk mencari keuntungan (profit oriented) dan merupakan pilar pembangunan perekonomian nasional. Pengertian perusahaan dapat ditemukan dalam Pasal 1 Undang-Undang No 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan yang menyatakan bahwa, “perusahaan adalah setiap bentuk badan usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap serta terus menerus didirikan, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Indonesia dengan tujuan memperoleh keuntungan/laba.” Pengaturan tentang perusahaan secara umum dimuat dalam KUHPdt (Burgelijk Wetbook), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetbook van Koophandel), maupun peraturan perundang-undangan lainnya menggolongkan perusahaan menjadi tiga jenis, yaitu perusahaan perseorangan, perusahaan persekutuan badan hukum dan perusahaan persekutuan bukan badan hukum. Perusahaan persekutuan yang berbentuk badan hukum terdiri dari Perseroan Terbatas (Naamloze Vennotschap), Koperasi dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sedangkan perusahaan persekutuan bukan badan hukum terdiri dari Persekutuan Perdata, Firma (Vennotschap onder Firma) dan Persekutuan Komanditer (Commanditaire Venootschap) yang akan dijabarkan selanjutnya.

Perseroan Terbatas adalah bentuk perusahaan yang paling digemari karena tanggung jawab yang terbatas pemegang saham, mudah mendapatkan tambahan modal, kelangsungan hidup Perseroan Terbatas lebih terjamin sebab pemiliknya berganti-ganti, dan terdapat efisiensi pengelolaan sumber dana dan efisiensi pimpinan karena pimpinan yang kurang cakap dapat

(9)

diganti dengan yang lebih cakap. Ketentuan tentang Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagai UUPT terbaru. Istilah perseroan dalam Perseroan Terbatas menunjuk kepada modalnya yang terdiri atas sero (saham). Sedangkan kata terbatas menunjuk kepada tanggung jawab pemegang saham yang tidak melebihi nilai nominal saham yang diambil bagian dan dimilikinya.

Koperasi merupakan bentuk badan hukum lainnya yang ketentuannya diatur pada Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (selanjutnya disebut UU Koperasi) serta berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana yang dimuat dalam isi Pasal 2 Undang-undang ini. Pengertian koperasi berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Koperasi adalah :

Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.

Koperasi memiliki beberapa prinsip dasar yang terdapat dalam Pasal 5 ayat 1 UU Koperasi, yaitu :

a. Keanggotaan koperasi bersifat sukarela dan terbuka; b. Pengelolaan koperasi dilakukan secara demokratis;

c. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan adil dan sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota;

d. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal; e. Kemandirian.

Prinsip demokrasi menunjukkan bahwa pengelolaan koperasi dilakukan atas kehendak dan keputusan para anggota. Para anggota itulah yang memegang dan melaksanakan kekuasaan tertinggi dalam koperasi. Pembagian sisa hasil usaha kepada anggota dilakukan tidak semata-mata berdasarkan modal yang dimiliki seseorang dalam koperasi, tetapi juga berdasarkan pertimbangan jasa anggota terhadap koperasi. Ketentuan yang demikian ini merupakan perwujudan nilai kekeluargaan dan keadilan. Modal dalam koperasi pada dasarnya digunakan

(10)

untuk kemanfaatan anggota dan bukan untuk seedar mencari keuntungan. Oleh karena itu, balas jasa terhadap modal yang diberikan kepada para anggota juga terbatas dan tidak didasarkan semata-mata atas besarnya modal yang diberikan.

Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut BUMN) berdasarkan batasan definisi yang dipaparkan oleh Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 740/KMK/00/1989 adalah, “badan usaha yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara atau badan usaha yang tidak seluruh sahamnya tidak dimiliki oleh negara tetapi statusnya disamakan dengan badan usaha milik negara.” Pengaturan tentang BUMN diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Pada intinya, pengurusan BUMN dilakukan oleh direksi yang dalam melaksanakan tugasnya harus mematuhi anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, sedangkan dalam hal pengawasan dilakukan oleh komisaris dan pengawas. Setiap anggota direksi, komisaris dan dewan pengawas dilarang mengambil keuntungan pribadi secara langsung maupun tidak langsung atas kegiatan BUMN dan dapat mewakili BUMN di dalam maupun di luar pengadilan.

Persekutuan Perdata diatur dalam Buku III Bab VIII Pasal 1618 s/d Pasal 1652 KUHPdt. Pada bentuk perusahaan ini terdapat beberapa orang yang mengadakan persetujuan bersama-sama yang tidak terlihat secara langsung dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan berupa benda. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka masing-masing anggotanya berjanji akan menyerahkan uang atau barang-barang maupun tenaga kerjanya. Meskipun bersifat money oriented, namun persekutuan perdata tidak wajib untuk memberikan pemberitahuan terhadap pihak ketiga yang terlibat di dalamnya. Persekutuan Perdata yang bukan berbentuk badan hukum tidak memiliki harta kekayaan sendiri, harta yang ada adalah harta tersendiri dari anggota satu sama lainnya yang tidak dapat dibagi-bagi tanpa izin dari seluruh anggotanya.

(11)

Firma merupakan bentuk persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan perusahaan dengan nama bersama yang terdiri dari dua orang atau lebih sebagaimana yang dipaparkan pada Pasal 16 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHD). Pendirian firma sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 s/d KUHD harus dituangkan dalam akta otentik yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Pengadilan Negeri setempat untuk diumumkan dalam Berita Negara. Dalam firma tidak ada pemisahan harta kekayaan antara persekutuan pribadi antar sekutu, dimana masing-masing sekutu bertanggung jawab secara pribadi untuk keseluruhan perbuatan hukum dari firma tersebut.

Persekutuan Komanditer (Commanditaire Venootschap) atau yang disebut sebagai CV, pengaturannya dimuat di dalam Pasal 19 s/d Pasal 21 KUHD, dimana pada dasarnya Persekutuan Komanditer ini terdiri dari dua macam sekutu, yaitu sekutu komanditer dan sekutu komplementer. Persekutuan Komanditer pada dasarnya merupakan persekutuan firma yang mempunyai satu atau lebih sekutu komanditer. Sekutu komanditer adalah sekutu yang hanya menyerahkan uang atau barang sebagai pemasukan (inbreg) pada persekutuan, namun tidak turut serta dalam pengurusan atau penguasaan dalam persekutuan tersebut atau disebut juga sebagai sekutu pasif. Sekutu komplemeter ialah sekutu yang ikut serta dalam mengurus persekutuan, sekutu komplementer ini juga sering disebut sebagai sekutu aktif. Di dalam Persekutuan Komanditer terdapat dua jenis hubungan hukum, yaitu hubungan hukum kedalam dan hubungan hukum keluar, dimana pengaturan tentang hubungan hukum ini dimuat pada ketentuan Pasal 1624 s/d Pasal 1641 KUHPdt. Hubungan hukum kedalam meliputi hubungan kerja antara sekutu komplemeter dan sekutu komanditer, sedangkan hubungan hukum ke luar meliputi hubungan hukum antara para sekutu dengan pihak ketiga. Persekutuan Komanditer merupakan bentuk perusahaan bukan berbadan hukum yang saat ini sedang digemari oleh sebagian besar

(12)

masyarakat Indonesia, karena segala keuntungan ataupun kerugian yang merupakan tanggung jawab dari masing-masing sekutu dapat dipikul secara bersama antara sekutu komplementer dengan sekutu komanditer, meskipun tanggung jawab sekutu komanditer hanya sebatas pada modal yang dimasukkan ke dalam Persekutuan Komanditer tersebut.

Berdasarkan hal yang telah dipaparkan di atas, PT memiliki unsur-unsur yaitu, struktur organisasi yang teratur dan memiliki tugas serta kewenangan masing-masing, yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang terdiri dari para pemegang saham pada Perseroan Terbatas, direksi serta komisaris yang ditunjuk langsung oleh para pemegang saham. Selain itu Perseroan Terbatas juga memiliki harta kekayaan tersendiri yang berupa modal yang dapat berupa uang maupun bentuk lainnya, memiliki direksi yang dapat melakukan hubungan hukum kedalam maupun keluar Perseroan Terbatas serta memiliki tujuan untuk memperoleh laba. Konstruksi Perseroan Terbatas ini memiliki kemiripan dengan Persekutuan Komanditer, dimana Persekutuan Komanditer memiliki pembagian terhadap sekutunya masing-masing, yaitu sekutu komplementer dan sekutu komanditer yang berkaitan dengan batasan tanggung jawab masing-masing sekutu, dapat melakukan hubungan hukum kedalam dan keluar serta memiliki tujuan untuk memperoleh laba, selain itu Persekutuan Komanditer dapat berubah menjadi Perseroan Terbatas apabila telah melakukan pendaftaran di pengadilan. Oleh karena kemiripan bentuk struktur perusahaan tersebut, maka konstruksi perusahaan grup dengan anak perusahaan berbentuk Persekutuan Komanditer memberikan kemudahan terhadap pelaksanaan penerapan dari keputusan perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas berdasarkan RUPS.

Kedua, dalam perkembangannya, perusahaan bertumbuh dalam bentuk yang semakin heterogen karena dipengaruhi oleh berbagai motif, yaitu antara lain adalah penciptaan nilai tambah melalui sinergi dari beberapa perusahaan, upaya perusahaan untuk mencapai keunggulan

(13)

kompetitif yang melebihi perusahaan lainnya, motif jangka panjang untuk mendayagunakan dana-dana yang telah dikumpulkan ataupun perintah dari peraturan perundang-undangan, dimana bentuknya ini disebut sebagai perusahaan grup. Keberadaan perusahaan grup mengacu pada realitas bisnis tergabungnya perusahaan-perusahaan yang berada di bawah kendali induk perusahaan, dimana induk perusahaan bertindak sebagai pimpinan sentral yang mengarahkan kegiatan usaha anak perusahaan untuk mendukung kepentingan perusahaan grup sebagai kesatuan ekonomi. Seperti halnya pada Grup Astra, Grup Bakrie maupun Grup Semen Gresik.

Ketiga, UUPT memberikan legitimasi kepada suatu Perseroan untuk memiliki saham pada perseroan lain. Pasal 7 ayat (1) UUPT terbaru mengatur “Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia”. Kemudian dalam penjelasan pasal ini, yang dimaksud dengan “orang” adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia maupun asing atau badan hukum Indonesia atau asing.” Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UUPT memang tidak ditujukan secara khusus sebagai bentuk pengaturan antara perseroan induk dan perseroan anak, namun ketentuan tersebut berimplikasi terhadap keterkaitan pada kepemilikan saham antara perusahaan induk terhadap anak perusahaan khususnya dalam hak suara dalam menentukan anggaran dasar bagi perusahaan induk dalam perusahaan grup yang berdampak kepada anak perusahaan sebagaimana yang dimuat dalam ketentuan Pasal 84 UUPT terbaru.

Keempat, Dalam konstruksi perusahaan grup, kepemilikan perusahaan induk atas saham pada anak perusahaan dalam jumlah tertentu memberi kewenangan kepada perusahaan induk untuk bertindak sebagai pimpinan sentral yang mengendalikan anak perusahaan melalui RUPS anak perusahaan, dimana perusahaan induk dapat menetapkan hal-hal strategis yang mendukung pencapaian perusahaan induk sebagai kesatuan ekonomi. Namun hal ini menjadi permasalahan

(14)

apabila bentuk anak perusahaan bukan berstatus sebagai badan hukum, karena dalam UUPT maupun peraturan pendukung lainnya belum menjabarkan adanya keterkaitan pada penerapan hasil keputusan dalam perusahaan induk maupun penempatan direksi atau komisaris dalam perusahaan induk ke anak perusahaan yang berstatus bukan badan hukum, seperti halnya Persekutuan Komanditer.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merasa perlu untuk mengangkat permasalahan ini sebagai pokok penelitian dalam penulisan yang dapat menjadi sarana pengembangan terhadap bidang Ilmu Hukum, khususnya dalam hukum bisnis, dengan judul, “Hubungan Hukum Perusahaan Induk Berbentuk Perseroan Terbatas dengan Anak Perusahaan Berbentuk Persekutuan Komanditer”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya di atas, maka dapat ditarik dua rumusan masalah, yaitu :

1. Apakah yang menjadi dasar timbulnya hubungan hukum antara perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas dengan anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer ?

2. Bagaimanakah konsekuensi yuridis dari hubungan hukum antara perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas dengan anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer ?

(15)

1.3 Orisinalitas Penelitian

Penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti lainnya sebagaimana yang dapat disimak dari hasil penelusuran penelitian sebagai berikut:

1. Tesis Tri Julyanto, NIM 0906498023, Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Tahun 2011. Judul tesisnya adalah Analisis Yuridis Penerapan Charter Hubungan Korporasi Dengan Dan Antar Anak Perusahaan. Adapun yang menjadi rumusan masalahnya adalah apakah dasar pembenaran penerapan charter hubungan korporasi dengan dan antar anak perusahaan, bagaimana kekuatan hukum mengikat charter hubungan korporasi dengan dan antar anak perusahaan terhadap anak-anak perusahaan dan bagaimana implikasi hukumnya, dan bagaimana tanggung jawab direksi, dewan komisaris, dan pemegang saham dengan adanya charter hubungan korporasi dengan dan antar anak perusahaan yang berkaitan dengan doktrin ultra vires, intra vires, dan piercing corporate veil;

2. Tesis I Gede Willy Pramana, NIM 1292462016, Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Tahun 2015. Judul tesisnya adalah Status Hukum Perjumpaan Utang Diantara Perseroan Induk (Parent Company) dengan Perseroan Anak (Subsidiary Company). Adapun yang menjadi rumusan masalahnya adalah mengapa terjadi utang piutang diantara perseroan induk dengan perseroan anak, bagaimana keabsahan perjumpaan utang diantara perseroan induk dengan perseroan anak dan apa akibat hukum yang ditimbulkan dari perjumpaan utang diantara perseroan induk dengan perseroan anak.

Setelah melakukan beberapa penelusuran penelitian-penelitian yang terkait seperti di atas menunjukkan judul dan permasalahan penelitian ini tidak terdapat kesamaan. Oleh karena itu orisinalitas penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan.

(16)

1.4 Tujuan Penelitian

Suatu penelitian harus memiliki tujuan yang jelas sebagai pedoman dalam penulisan karya ilmiah sekaligus memperlihatkan kualitas dari penelitiannya. Pada dasarnya tujuan penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus yang dijabarkan sebagai berikut.

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk pengembangan terhadap konsep, asas dan teori secara umum tentang hukum perusahaan, khususnya terhadap pengaturan tentang perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas terhadap anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer dalam konstruksi perusahaan grup.

1.4.2 Tujuan Khusus

Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan yang menjadi dasar timbulnya hubungan hukum antara perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas dengan anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis konsekuensi yuridis dari hubungan antara perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas dengan anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer.

(17)

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian tentang, “Hubungan Hukum Perusahaan Induk Berbentuk Perseroan Terbatas dengan Anak Perusahaan Berbentuk Persekutuan Komanditer” ini berdasarkan pokok permasalahan yang dijabarkan sebelumnya di atas adalah :

1.5.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran teoritis dalam pengembangan ilmu hukum yang berkaitan dengan hukum bisnis khususnya terhadap pengaturan hubungan hukum antara perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas terhadap anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer yang tidak diatur mengenai hubungan hukumnya dalam UUPT terbaru ataupun peraturan perundang-undangan lainnya, serta secara keilmuan dapat membantu memberikan kepastian hukum bagi para pihak maupun bagi Notaris.

1.5.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan sumbangan pemikiran dalam ilmu hukum, khususnya bidang hukum bisnis maupun bagian kenotariatan, serta dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam penyelesaian permasalahan mengenai pengaturan tentang induk perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas terhadap anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer dalam konstruksi perusahaan grup yang dialami oleh para pihak yang terkait, yaitu Organ dalam Perseroan Terbatas, Sekutu komanditer dan Sekutu komplemeter dalam CV, Notaris, serta segenap jajaran dalam Kementrian Hukum dan HAM.

(18)

1.6 Landasan Teoritis

Dalam bagian landasan teoritis ini dideskripsikan pemikiran-pemikiran teoritis dan konsep yang berhubungan dengan objek penelitian.

Adapun teori, konsep dan asas-asas hukum yang digunakan dalam penelitian dan penulisan ini adalah :

* Teori Badan Hukum * Teori Perjanjian

* Konsep Perusahaan Induk dan Anak Perusahaan * Asas Konsesualisme (Consesualisme)

* Asas Kekuatan Mengikat (Verbindendekracht Der Overeenkomst) * Asas Itikad Baik (Good Faith)

* Asas Kepastian Hukum

1. Teori Badan Hukum

Relevansi dari Teori Badan Hukum dengan penelitian ini adalah untuk membahas rumusan masalah pertama, yaitu tentang pengaturan yang menjadi dasar timbulnya hubungan hukum antara perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas dengan anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer.

Teori Badan Hukum pertama kali berkembang di Inggris pada masa revolusi industri. Teori badan hukum dipelopori oleh sarjana Jerman, Friedrich Carl von Savigny (1779 – 1861), tokoh utama aliran atau mazhab sejarah pada permulaan abad ke – 19. Dalam bahasa Belanda, Teori Badan Hukum disebut sebagai Rechtpersoon Theorie. Badan Hukum atau Rechtpersoon

adalah himpunan orang sebagai perkumpulan, perkumpulan diadakan atau diakui oleh pejabat umum, maupun perkumpulan itu didirikan untuk maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan.1

(19)

Berititik tolak dari pendapat yang telah dijabarkan sebelumnya di atas, maka relevansi dari istilah badan hukum ini adalah untuk menggambarkan bentuk subjek hukum lainnya, yang mana badan hukum itu adalah beberapa subjek hukum yang tergabung secara bersama-sama dalam suatu kehendak untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Sehingga teori badan hukum memiliki relevansi yang erat dengan penulisan dan penelitian ini, yaitu terhadap penunjukkan suatu bentuk bidang usaha yang berlandaskan hukum didalam UUPT terbaru, yang mana terkait dengan penelitian ini secara implisit mengharuskan bentuk dari perusahaan induk adalah Perseroan Terbatas.

Teori Badan Hukum dibagi menjadi beberapa pembagian, yaitu : 1. Teori Fiksi

2. Teori Organ

3. Teori Leer van het ambtelijk vermogen, 4. Teori Kekayaan Bersama

5. Teori Kekayaan Bertujuan 6. Teori Kenyataan Yuridis 7. Teori dari Leon Duguit.2

Bertitik tolak dari pembagian Teori Badan Hukum ini, menurut hemat saya pembagian ini memiliki relevansi terhadap penelitian dan penulisan, karena memberikan pandangan mengenai bentuk dan pelaksanaan dari suatu badan hukum. Berdasarkan pembagian dari teori badan hukum yang telah dipaparkan sebelumnya di atas, maka teori yang relevan untuk digunakan dalam penelitian ini, yaitu Teori Fiksi.

Teori Fiksi ini dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny, yang menjelaskan bahwa badan hukum semata-mata hanyalah buatan pemerintah atau Negara. “Terkecuali Negara, badan hukum itu suatu fiksi yakni sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya

(20)

dalam bayangannya untuk menerangkan sesuatu hal”.3 Bertitik tolak dari pendapat tersebut, maka relevansi teori ini dengan penelitian dan penulisan adalah berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan dari Perseroan Terbatas, karena Perseroan Terbatas sebagai perusahaan dengan statusnya sebagai badan hukum hanya merupakan wadah yang bertujuan untuk menjalankan kegiatan organ perusahaan yang berstatus sebagai subyek hukum dengan perbuatan hukum yang hanya dapat dilaksanakan oleh tiap-tiap subyek hukum di dalamnya. Badan hukum dalam hal ini hanya semata-mata bentukan pemerintah saja namun apabila tidak ada subyek hukum di dalamnya, maka badan hukum itu tidak dapat lagi disebut sebagai badan hukum. Terkait dengan rumusan masalah pertama, yaitu mengenai pengaturan yang menjadi dasar timbulnya hubungan hukum antara perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas dengan anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer, teori ini memberikan landasan bahwa suatu hubungan hukum antara perusahaan induk terhadap anak perusahaan hanya dapat terjadi apabila perusahaan induk berstatus badan hukum, karena terciptanya suatu hubungan hukum dalam wadah hukum hanya dapat dilakukan apabila ada aturan hukum yang jelas mengaturnya, dalam hal ini yaitu UUPT.

Berdasarkan pendapat yang telah dipaparkan sebelumnya di atas, maka menurut hemat saya, penggunaan Teori Badan Hukum dengan pembagiannya, yaitu Teori Fiksi sangat relevan untuk memecahkan permasalahan dalam rumusan masalah pertama pada penelitian ini.

2. Teori Perjanjian

Relevansi dari Teori Perjanjian dengan penelitian ini adalah untuk membahas rumusan masalah kedua, yaitu akibat hukum dari hubungan antara perusahaan induk yang berbentuk

3 Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana Prenada Media Group,

(21)

Perseroan Terbatas dengan anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer. Akibat hukum yang ditimbulkan membawa dampak bagi induk perusahaan, anak perusahaan maupun pihak ketiga yang terikat dengan perjanjian dengan induk perusahaan ataupun anak perusahaan yang terhubung dengan induk perusahaan.

Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, perjanjian didefiniskan sebagai, “Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. Perjanjian menurut sifatnya dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomst) dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan adalah suatu perjanjian yang ditimbulkan oleh hak kebendaan, karena adanya kesepakatan dari dua pihak atau yang lebih yang saling mengikatkan diri, dan ditujukan atau menimbulkan, beralih, berubah, atau berakhirnya hak kebendaan. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang ada setelah mengikuti dari perjanjian sebelumnya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori hukum baru yaitu :

1. Tahap pracontractual yaitu adanya penawaran dan penerimaaan.

2. Tahap contractual yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak. 3. Tahap post contractual yaitu pelaksanaan perjanjian.4

Berdasarkan pendapat dari Van Dunne ini, maka menurut hemat saya pendapat ini hanya dapat digunakan untuk perjanjian tertulis saja, adapun tahapan-tahaapan yang diberikan bertujuan untuk mengikatkan kehendak dari para pihak, sehingga perjanjian tersebut dapat memberikan akibat hukum bagi para pihak yang terlibat di dalamnya.

Terkait dengan penelitian dan penulisan ini, khususnya pada rumusan masalah kedua yang bertujuan untuk mencari konsekuensi yuridis dari hubungan hukum antara perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas dengan anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer ialah bahwa suatu perjanjian tentunya membawa akibat hukum bagi pihak yang

(22)

terlibat dalam isi perjanjian tersebut yang dalam hal ini adalah organ perseroan dan sekutu aktif maupun sekutu pasif pada Persekutuan Komanditer.

Selain teori hukum, penelitian dan penulisan ini juga menggunakan beberapa konsep hukum, yaitu :

3. Konsep Perusahaan Induk dan Anak Perusahaan

Pengaturan mengenai perusahaan induk dan anak perusahaan sangat sedikit ditemukan dalam peraturan perundang-undangan Konsep dalam UUPT terbaru ini tidak lengkap mencantumkan mengenai penjelasan dari perusahaan induk dan anak perusahaan, ketidak jelasan tersebut dikarenakan UUPT terbaru hanya memuat mengenai batasan dari bentuk perusahaan induk saja sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 84 ayat 2 huruf b yaitu, “Hak suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk saham induk perseroan yang dikuasai oleh anak perusahaannya secara langsung atau tidak langsung.” Berdasarkan isi dari pasal ini, maka secara eksplisit bentuk perusahaan induk pada konstruksi perusahaan grup adalah harus berbentuk perseroan.

Untuk memberikan kejelasan dan konsepsi pada perusahaan induk yang harus berbentuk perseroan, Sulistiowati memberikan batasan definisi terhadap hal tersebut yaitu, “perseroan induk adalah perusahaan yang berbentuk persero menjalankan pimpinan sentral pada perusahaan grup untuk mengendalikan dan mengkoordinasikan anak perusahaan, sehingga tidak terbatas pada kepemilikan saham pada anak perusahaan saja”.5

Berdasarkan pendapat tersebut, maka

5Sulistiowati, 2013, Tanggung Jawab Hukum Pada Perusahaan Grup di Indonesia, Erlangga, Jakarta,

(23)

menurut saya, pendapat Sulistiowati memiliki relevansi dengan penelitian ini. Karena konsep dari perusahaan induk yang dipergunakan dalam penulisan dan penelitian ini adalah sebagai pimpinan yang mengendalikan serta pihak yang berwenang untuk membuat peraturan yang harus dipatuhi bagi anak-anak perusahaannya, namun mengenai koordinasi dari perusahaan induk terhadap anak perusahaan, sejauh mana koordinasi dari perusahaan induk dapat dijalankan oleh anak perusahaan, maka hal ini harus dikaji terlebih dahulu.

Mengenai konsep dari anak perusahaan semenjak diberlakukannya Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 sebagai UUPT yang terbaru, anak perusahaan tidak memiliki gambaran yang jelas karena tidak dipaparkan mengenai batasan bentuknya dalam undang-undang ini maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Padahal dalam UUPT terdahulu, yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 yang telah dicabut keberlakuannya, dijelaskan secara eksplisit bahwa anak perusahaan harus berbentuk perseroan, namun UUPT terbaru justru menghilangkan eksistensi dari anak perusahaan pada konstruksi perusahaan grup, sehingga memberikan kemungkinan bagi anak perusahaan untuk berbentuk badan hukum maupun bukan berbentuk badan hukum. Beranjak dari hal yang dipaparkan sebelumnya di atas, maka persoalan tersebut sulit untuk menjamin kepastian hukum bagi perusahaan induk maupun anak perusahaan, sehingga berakibat adanya kevakuman hukum dalam penelitian ini.

Selain teori dan konsep hukum, maka digunakan pula asas hukum dalam penulisan dan penelitian ini yang selanjutnya akan dipaparkan sebagai berikut :

4. Asas Konsesualisme (Consesualisme)

Asas ini digunakan untuk mendukung pemecahan dari rumusan masalah pertama dalam penelitian ini, yang mana relevansinya terkait dengan perumusan perjanjian antara perusahaan

(24)

induk dan anak perusahaan yang hanya dapat dikatakan sah apabila telah diperoleh kata sepakat dari kedua belah pihak, yang dalam hal ini adalah perusahaan induk yaitu Perseroan Terbatas dan anak perusahaan yaitu Persekutuan Komanditer.

Asas konsesualitas ini merupakan unsur yang paling utama dan mutlak menjadi syarat dalam perjanjian. Asas ini memiliki arti yang terpenting karena untuk membentuk sebuah perjanjian adalah cukup dengan dicapainya sepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut dan bahwa perjanjian tersebut beserta pula perikatan yang ditimbulkan maka sudah lahir pada saat disepakatinya perjanjian tersebut dengan pembubuhan tanda tangan.6 Berdasarkan pemapaparan tentang asas konsesualitas tersebut, maka menurut hemat saya penggunaan asas ini memiliki relevansi di dalam penelitian dan penulisan, karena tanpa adanya kata sepakat dari kedua belah pihak yang membuat perjanjian, dalam penelitian ini adalah oleh Perseroan Terbatas terhadap Persekutuan Komanditer. Apabila salah satu pihak, yaitu anak perusahaan atau perusahaan induk tidak menyepakati salah satu hal di dalam perjanjian yang dirumuskan tersebut, maka perjanjian itu tidak dapat terjadi, sehingga tidak menimbulkan hubungan hukum di antara keduanya.

5. Asas Kekuatan Mengikat (Verbindendekracht Der Overeenkomst)

Asas ini digunakan untuk mendukung terhadap pemecahan masalah pada rumusan masalah kedua pada penelitian, bahwa suatu perjanjian yang telah dibuat dan disepakati selanjutnya akan mengikat hak dan kewajiban kedua belah pihak di dalam perjanjian tersebut, sehingga pelaksanaan perjanjian itu akan menimbulkan konsekuensi yuridis bagi anak perusahaan maupun perusahaan induk.

6Ibid.

(25)

Prinsip bahwa di dalam sebuah persetujuan orang menciptakan sebuah kewajiban hukum dan bahwa pihak yang mengadakan perjanjian terikat pada janji-janji kontraktualnya dan harus memenuhi janji-janji tersebut. Janji terhadap kata yang diucapkan sendiri adalah mengikat, paling tidak secara lisan telah ada tanggung jawab moril terhadap yang dikatakannya. Persetujuan ini pada hakikatnya diletakkan kepada para pihak-pihak bersangkutan.7 Pendapat ini memiliki relevansi dengan penelitian dan penulisan. Karena pemenuhan pelaksanaan perjanjian harus memiliki tanggung jawab hukum bagi para pihak. Esensi dari asas kekuatan mengikat ini tercermin dalam Pasal 1338 KUHPdt dimana keterikatan suatu perjanjian terkandung di dalam janji yang dilakukan oleh para pihak sendiri, yang dalam hal ini yaitu antara anak perusahaan terhadap perusahaan induk yang telah sepakat untuk mengikatkan perusahaannya dalam suatu bentuk perusahaan grup, sehingga membawa konsekuensi hukum bahwa anak perusahaan harus menjalankan setiap keputusan yang diberikan oleh perusahaan induk. Perusahaan indukpun harus mengetahui setiap kegiatan yang dilakukan oleh anak perusahaan dan bertanggung jawab sebatas yang diperjanjikan di dalam perjanjian yang telah dirumuskan oleh keduanya.

6. Asas Itikad Baik (Good Faith)

Asas ini memiliki keterkaitan yang erat untuk memecahkan rumusan masalah pertama, yaitu dasar timbulnya hubungan hukum antara perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas dengan anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer. Bahwa asas iktikad baik ini tercermin dalam perumusan perjanjian maupun penerapan pelaksanaan perjanjian oleh kedua belah pihak.

Hugo Grotius dalam risalahnya De Lure Belli ac Pacis mengatakan bahwa eksistensi hukum kodrati merupakan landasan semua hukum positif atau hukum tertulis. Sepanjang abad

(26)

ke-17, pandangan hukum kodrati model Grotius terus disempurnakan dan pada akhirnya berubah menjadi teori hak kodrati. Melalui teori inilah hak-hak individu yang subyektif diakui. Menurut hukum alam, hak kodrat ( hak asasi manusia ) melekat sejak manusia dilahirkan. Hak-hak kodrat itu meliputi hak untuk hidup, hak kemerdekaan dan hak harta benda, hak untuk menikah, hak persamaan di depan hukum, kebebasan beragama, kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat.8 Bertitik tolak dari pendapat Grotius ini, maka relevansi penggunaan teori ini memiliki keterkaitan dengan asas iktikad baik, yang mana yaitu hak kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat dan hak harta benda. Karena dalam teori Grotius ini menjunjung tinggi hak-hak individu subjetif, sehingga memiliki keterkaitan erat dengan asas iktikad baik, bahwa suatu iktikad baik pastilah menghargai hak individu manusia, khususnya terkait dengan isi perjanjian antara kedua belah pihak.

Itikad baik atau good faith merupakan asas yang sangat penting dalam terjadinya suatu perikatan dan tercermin di dalam Pasal 1338 KUHPdt. Sebelum terjadinya perikatan haruslah didasarkan atas itikad baik dari pembuat perjanjian. Perikatan yang tidak berlandaskan atas itikad baik di kemudian hari akan memunculkan konflik. Menurut Pasal 1963 KUHPdt, adalah kemauan baik atau kejujuran orang itu pada saat ia mulai menguasai barang, dimana ia mengira bahwa syarat-syarat yang diperlukan untuk mendapatkan hak milik atas barang itu telah dipenuhi. Iktikad baik semacam ini juga dilindungi oleh hukum dan itikad baik sebagai syarat untuk mendapatkan hak milik ini tidak bersifat dinamis, melainkan bersifat statis.9 Relevansi dari asas ini terkait dengan penelitian dan penulisan adalah bahwa persetujuan dapat terjadi karena persesuaian kehendak para pihak. dengan mengacu pada Pasal 1320 KUHPdt yang

8

Yohanes Usfunan, 2012, HAM Politik Kebebasan Berpendapat di Indonesia, Udayana University Press, Denpasar, hal.56-57

9Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial),

(27)

memuat tentang syarat sahnya suatu atau sebuah perjanjian yaitu, “Untuk sahnya sebuah perjanjian diperlukan empat syarat : Sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal.” Keempat syarat tersebut merupakan syarat yang mutlak yang harus ada atau dipenuhi dari suatu perjanjian, tanpa syarat-syarat tersebut maka perjanjian dianggap tidak pernah ada.

7. Asas Kepastian Hukum

Asas ini memiliki relevansi terhadap penelitian, karena penulisan ini mengangkat tolak ukur permasalahan yang beranjak dari adanya kekosongan norma. Budiman Ginting menyatakan bahwa, “ kepastian hukum merupakan salah satu tujuan hukum disamping kemanfaatan dan keadilan bagi setiap manusia selaku anggota masyarakat tanpa membedakan asal usulnya.”10 Berdasarkan pendapat tersebut, maka kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin hak-hak sosial manusia di dalam kehidupannya bermasyarakat.

Terkait dengan penelitian dan penulisan, maka relevansi asas kepastian hukum ini adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat dalam suatu hubungan hukum dan membawa akibat hukum dari perbuatannya tersebut yang timbul dari adanya kekosongan norma pada peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

1.7 Metode Penelitian

Dalam pembahasan permasalahan terhadap materi penulisan ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut :

10Budiman Ginting, 2008, Kepastian Hukum dan implementasinya Terhadap Pertumbmuhan Investasi di

(28)

1.7.1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang berusaha mencari jawaban atas terjadinya kekosongan norma dengan menggunakan analogi dalam hal Hubungan Hukum Perusahaan Induk Berbentuk Perseroan Terbatas dengan Anak Perusahaan Berbentuk Persekutuan Komanditer, karena UUPT tidak mengatur tentang keterkaitan pelaksanaan kebijakan antara induk perusahaan yang berbentuk badan hukum yaitu Perseroan Terbatas dengan anak perusahaan yang bukan berbentuk badan hukum, yaitu Persekutuan Komanditer.

1.7.2 Jenis Pendekatan Penelitian hukum

menurut Peter Mahmud Marzuki pada umumnya terdiri dari 5 (lima) jenis pendekatan, yaitu: a) Pendekatan kasus (the case approach);

b) Pendekatan perundang-undangan (the statue approach);

c) Pendekatan analisis konsep hukum (the analytical & conceptual approach); d) Pendekatan sejarah (the historical approach);

e) Pendekatan perbandingan (the comparative approach). 11

Dalam penelitian ini akan digunakan jenis pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 sebagai UUPT terbaru dan pendekatan analisis konsep hukum (Analytical and Conceptual Approach).

Menurut Peter Mahmud Marzuki Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.12 Menurut hemat saya, pendapat Peter Mahmud Marzuki ini bertujuan untuk memberikan kejelasan mengenai batasan permasalahan dalam penelitian maupun terhadap konsepsi jawaban dari permasalah

11Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal.93 12Ibid.

(29)

penulisan penelitian karya ilmiah dengan cara mengkaji isi dari perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian.

Sedangkan Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analytical and Conceptual Approach) menurut Peter Mahmud Marzuki ialah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu uang dihadapi.13 Pendapat Peter Mahmud Marzuki tersebut memiliki relevansi terhadap penelitian dan penulisan ini. Karena pendekatan analisis konsep hukum menghasilkan suatu argumentasi hukum yang selanjutnya dijabarkan pada bagian pembahasan penelitian, dengan terlebih dahulu mengkaji pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian.

1.7.3 Sumber Bahan Hukum

Dalam melakukan penelitian hukum normatif, sumber yang digunakan yaitu sumber bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan sumber bahan hukum tertier. Ketiga sumber hukum itu adalah sebagai berikut :

1. Bahan Hukum Primer

13Ibid.

(30)

Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma/kaidah dasar, yaitu pembukaan Undang-Undang dasar, peraturan dasar, serta peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini digunakan sumber hukum primer berupa :

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; b) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;

c) Kitab Undang-undang Hukum Perdata;

d) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756).

e) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1998 Tentang Pemakaian Nama Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 39).

f) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 Tentang Pengabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 40).

g) Peraturan Pemerintah No 57 Tahun 2010 Tentang Pengabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 98).

h) Peraturan Menteri Hukum dan Ham RI Nomor M.01. HT. 01. 10 Tahun 2007 tanggal 21 September 2007 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar, Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar, dan Perubahan Data Perseroan;

(31)

i) Peraturan Menteri Hukum dan Ham RI Nomor M.02. HT. 01. 10 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pengumuman Perseroan Terbatas dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi literatur-literatur, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum, atau pandangan ahli hukum yang berkaitan dengan Hukum Perjanjian maupun yang berkaitan dengan Perusahaan khususnya Perseroan Terbatas dan Persekutuan Komanditer.

3. Bahan Hukum Tertier

Bahan Hukum Tertier yaitu bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tertulis yang diperlukan dalam penelitian ini berupa kamus hukum, ensiklopedia, dan internet yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam pengumpulan bahan hukum ini harus ditegaskan permasalahan mengenai jenis, sifat dan kategori bahan hukum serta perlakuan terhadap bahan hukum yang dikumpulkan, dengan tujuan agar pengumpulan bahan hukum dan penganalisaaan terhadap badan hukum sesuai dengan tujuan dari penelitian.

Adapun teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan sistem kartu (card system), yakni dengan cara mencatat dan memahami isi

(32)

dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan-bahan hukum primer, sekunder maupun tertier.

1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Penelitian hukum normatif yang dianalisis bukanlah data, melainkan melalui bahan hukum seperti tersebut di atas. Dengan demikian, erat kaitannya antara metode analisis dan pendekatan masalah. Analisis bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini akan dilakukan secara deskriptif, interpretatif, evaluatif, sistematif dan argumentatif.

1. Teknik deskriptif, yaitu teknik yang dimaksudkan untuk memaparkan secara apa adanya tentang suatu peristiwa hukum atau kondisi hukum.14

2. Teknik interpretatif, berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran historis, sistematis, dan lain-lain. Selanjutnya badan hukum tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik evaluatif, sistematis dan argumentatif.

3. Teknik evaluatif, yaitu memberikan penilaian terhadap suatu pandangan, proporsi, pernyataan, rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam baik dalam hukum primer maupun dalam hukum sekunder.

4. Teknik sistematif, berupaya mencari kaitan rumus suatu konsep hukum atau konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun tidak sederajat.

5. Teknik argumentatif, tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. 15

14

I Made Pasek Diantha, 2016, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Prenada Media Group, Jakarta, hal.152

15 Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, Program Studi Magister

(33)

Referensi

Dokumen terkait

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata : “Perselisihan itu tercela dari dua sisi, terkadang sebabnya adalah niat yang jelek dikarenakan di dalam jiwanya ada

Berdasarkan hasil penelitian promosi jabatan yang ada di Giant Ekstra nangka Pekanbaru tergolong dalam kategori baik, namun begitu kesempatan promosi jabatan yang

Karena sig > 0.05 maka dapat disimpulkan bahwa Ho diterima, artinya rata-rata penjualan sebelum dan sesudah kenaikan BBM adalah sama (tidak berbeda).. dengan

Sikap afektif konsumen mempengaruhi niat beli konsumen, Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Peter & Olson, (2007:146) yang

 Hasil usaha pertanian digunakan langsung sebagai pangan & pakan: Ilmu Gizi Masy. & Sumberdaya Keluarga; ilmu makanan ternak, ilmu

Kesimpulan dalam pengabdian kepada masyarakat yang dilaksanakn dalam kegiatan KKN UNNES BMC berupa pendampingan belajar bagi anak sekolah yang dilakukan dengan metode

Fungsi manajemen yang dapat diterapkan di dalam pengelolaan perpustakaan madrasah salah satunya adalah fungsi yang dikemukakan oleh Iskandar (2016:11-39)

Seringnya pengemudi kendaraan mengambil lajur yang berlawanan arah pada lokasi rawan kecelakaan lalulintas menyebabkan perlunya dilakukan pemasangan road studs di