• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi menjadi aktivitas yang tidak terelakkan dalam kehidupan sehari-hari.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi menjadi aktivitas yang tidak terelakkan dalam kehidupan sehari-hari."

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Komunikasi menjadi aktivitas yang tidak terelakkan dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Hampir setiap saat kita bertindak dan belajar dengan dan melalui komunikasi. Komunikasi merupakan medium penting bagi pembentukan atau pengembangan pribadi dan untuk kontak sosial. Melalui komunikasi seseorang tumbuh dan belajar, menemukan diri sendiri dan orang lain, bergaul, bersahabat, mencintai atau mengasihi orang lain dan sebagainya. Komunikasi merupakan penyampaian informasi dan pengertian dari seorang kepada orang lain. Komunikasi akan berhasil jika adanya pengertian serta kedua belah pihak saling memahaminya. Dengan kata lain, komunikasi sangat penting, seperti halnya dengan bernafas. Tanpa komunikasi tidak akan ada hubungan dan kesepian dalam menjalani aktivitas. Ada beberapa bentuk komunikasi yang kita kenal, yaitu:

a. Komunikasi Personal (personal communication) b. Komunikasi Kelompok

c. Komunikasi Organisasi (organization communication) d. Komunikasi Massa (mass communication)

a) Komunikasi Personal (personal communication)

Terdiri dari komunikasi intra personal (intrapersonal communication) dan komunikasi antar personal (interpersonal communication)

b) Komunikasi Kelompok

1. Komunikasi kelompok kecil (small group communication) terdiri dari ceramah, forum, diskusi dan seminar.

2. Komunikasi kelompok besar (large group communication) terdiri dari kampanye. c) Komunikasi Organisasi (organization communication)

(2)

Komunikasi personal (antarpribadi) bersifat transaksional, sebuah hubungan manusia yang saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Biasanya komunikasi itu bertujuan untuk mengelola hubungan bahkan sampai pada pembentukan konsep diri. Hubungan antar pribadi yang berkelanjutan dan terus menerus akan memberikan semangat, saling merespon tanpa adanya manipulasi, tidak hanya tentang menang atau kalah dalam berargumentasi melainkan tentang pengertian dan penerimaan (Beebe, 2008:3-5).

Dalam komunikasi antarpribadi tidak hanya tertuju pada pengertian melainkan ada fungsi dari komunikasi antarpribadi itu sendiri. Fungsi komunikasi adalah berusaha meningkatkan hubungan insani, menghindari dan mengatasi konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain (Cangara, 2006:56). Dalam kegiatan apapun komunikasi antarpribadi tidak hanya memiliki ciri maupun karakter tertentu, tetapi juga memiliki tujuan agar komunikasi antarpribadi tetap berjalan dengan baik. Adapun tujuan dari komunikasi antarpribadi adalah sebagai berikut:

a. Untuk memahami dan menemukan diri sendiri.

b. Menemukan dunia luar sehingga dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan.

c. Membentuk dan memelihara hubungan yang bermakna dengan orang lain,

d. Melalui komunikasi antarpribadi, individu dapat mengubah sikap dan perilaku sendiri dan orang lain,

e. Komunikasi antarpribadi merupakan proses belajar f. Mempengaruhi orang lain

g. Mengubah pendapat orang lain

h. Membantu orang lain (Sugiyo, 2005:9)

Dalam kaitannya untuk mengenali diri sendiri dan orang lain, komunikasi antarpribadi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi konsep diri seseorang. Terkait dengan

pembentuknya, konsep diri mulai berkembang sejak masa bayi dan akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan individu itu sendiri. Konsep diri individu terbentuk melalui imajinasi individu tentang respon yang diberikan oleh orang lain melalui proses komunikasi. Bila konsep diri seseorang positif, maka individu akan cenderung mengembangkan sikap-sikap postitif mengenai dirinya sendiri, seperti rasa percaya diri yang baik serta kemampuan untuk melihat dan menilai diri sendiri secara positif. Individu dengan konsep diri positif cenderung akan menimbulkan tingkah laku yang baik terhadap lingkungan sosialnya.

(3)

Sebaliknya bila seseorang memiliki konsep diri yang negatif, maka individu tersebut cenderung akan mengembangkan perasaan tidak mampu dan rendah diri, merasa ragu, dan kurang percaya diri. Individu dengan konsep diri yang negatif akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosial.

Konsep diri sangat erat kaitannya dengan diri individu. Konsep diri adalah keyakinan yang dimiliki individu tentang atribut (ciri-ciri/sifat) yang dimilikinya (Dayakisni, 2003:65). Hal ini termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta

keinginannya. Di era yang modern ini sangatlah penting bagi setiap individu untuk memahami maupun mengenal konsep diri. Namun bagaimana dengan mereka yang lahir dengan keterbatasan fisik. Padahal hidup mestilah dihormati bagaimanapun wujud nya bagi setiap orang, pada dasar nya tidak ada seorang pun di dunia ini yang menginginkan dirinya dilahirkan dalam keadaan cacat. Keadaan cacat tersebut dapat menjadikan manusia merasa rendah diri, bahkan merasa tidak berguna, dan selalu bergantung pada bantuan dan belas kasihan orang lain. Manusia penyandang cacat pada umumnya memiliki keterbatasan tertentu sesuai dengan jenis cacatnya. Begitu juga dengan penyandang tunarungu, stigma yang

diberikan masyarakat normal sering kali digambarkan sebagai seseorang yang tidak berdaya, tidak mandiri dan menyedihkan, sehingga terbentuk persepsi dan prasangka bahwa

penyandang tunarungu itu patut dikasihani, selalu butuh perlindungan dan bantuan. Hal ini juga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pada Pasal 5 Ayat (2) dan pasal 32 ayat (1) menyatakan bahwa:

warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Secara yuridis formal anak luar biasa memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikannya diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa [USPN Pasal 4 ayat (1)].

(4)

Anak dengan gangguan pendengaran (tunarungu) sering kali menimbulkan masalah tersendiri. Menurut Mangunsong, yang dimaksud dengan “anak tunarungu adalah mereka yang pendengarannya tidak berfungsi sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan luar biasa (1998:66)”. Menurut Moores, “tunarungu adalah kondisi dimana individu tidak mampu mendengar dan hal ini tampak dalam wicara atau bunyi-bunyian, baik dengan derajat

frekuensi dan intensitas (dalam Mangunsong, 1987)”. Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut abjad jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara. Saat ini dibeberapa sekolah sedang dikembangkan cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal dan non verbal. Menurut Purba, komunikasi verbal (verbal communication) meliputi: komunikasi lisan (oral communication) & komunikasi tulisan (written communication). Sementara yang termasuk dalam komunikasi non verbal (non verbal communication) terdiri dari: komunikasi kial (gestural

communication) dan komunikasi gambar (pictorial communication) (Purba dkk, 2006:36). Dalam Undang-undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran tahun 1954 No. 12 Bab V pasal 7 ayat 5 dikatakan bahwa:

Pendidikan dan pengajaran luar biasa bermaksud memberikan pendidikan dan pengajaran kepada orang-orang yang dalam keadaan kekurangan, baik jasmani maupun rohaninya supaya mereka dapat memiliki kehidupan lahir batin yang layak.

Bertitik tolak dari alasan di atas, maka Yayasan Karya Murni menyediakan tenaga konselor yang bertugas untuk membantu para siswa/i tunarungu. Adapun tugas dari konselor tersebut adalah:

(5)

2. Menolong siswa/i tunarungu untuk dapat menerima dirinya sendiri dan membantu untuk membentuk konsep dirinya.

3. Membimbing siswa/i tunarungu dalam proses pendidikan nya.

Semua siswa yang ada di SLB-B Karya Murni ini adalah manusia yang berpotensi yang layak dikembangkan untuk dapat mencapai kemandirian, kreativitas dan produktivitas.

Seorang siswa tunarungu yang dalam kesehariannya mengalami banyak kelemahan karena keterbatasan pendengaran, membutuhkan layanan konseling untuk membantunya

memecahkan masalah dan membentuk konsep diri yang baik agar dia tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan berperilaku positif.

Pembentukan konsep diri seorang siswa/i tunarungu akan dapat berjalan dengan efektif apabila dalam prosesnya menggunakan komunikasi antarpribadi yang meliputi komunikasi verbal dan non verbal. Komunikasi antarpribadi akan sangat mempengaruhi hubungan antarpribadi antara konselor dengan siswa/i tunarungu. Apabila seorang konselor dapat menjalin komunikasi antarpribadi yang baik terhadap siswa/i tunarungu dan terdapat

kesepahaman makna maka akan terdapat hubungan timbal balik diantara keduanya. Sehingga siswa/i tunarungu dapat mengungkapkan isi hatinya yang dapat memudahkan konselor dalam membantu pembentukan konsep diri siswa/i tunarungu tersebut.

Berangkat dari keprihatinan yang dialami siswa/i tunarungu ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang dilakukan di SLB-B Karya Murni Medan karena peneliti melihat bahwa ada beberapa siswa/i tunarungu seperti kehilangan interaksi dikarenakan keterbatasan fisik yang mereka miliki, kurangnya kasih sayang dari orang disekitarnya begitu juga dengan kurangnya konsep diri.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Peranan Komunikasi Antarpribadi Yang Dilakukan Oleh Konselor Dalam Membentuk Konsep Diri Siswa/i Tunarungu Di SLB-B Karya Murni Medan”.

(6)

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

“Bagaimanakah Peranan Komunikasi Antarpribadi Dalam Membentuk Konsep Diri Siswa/i Tunarungu di SLB-B Karya Murni Medan?”

I.3. Pembatasan Masalah

Agar ruang lingkup penelitian tidak terlalu luas, namun lebih jelas dan terarah maka perlu dibuat pembatasan masalah sebagai berikut:

1. Penelitian menggunakan metode Deskriptif dengan tipe studi kasus dimana peneliti mendeskripsikan atau merekonstruksikan wawancara mendalam terhadap subjek penelitian tanpa menjelaskan hubungan antar variabel atau menguji hipotesis.

2. Subjek dalam penelitian ini adalah konselor dan siswa/i tunarungu di SLB-B Karya Murni Jl. H.M. Jhoni No. 66 A Medan, yang duduk di tingkat SLTP.

3. Penelitian fokus untuk menggambarkan dan membahas bagaimana peranan komunikasi antarpribadi khususnya mengenai layanan konseling individual konselor dalam membentuk konsep diri siswa/i tunarungu di SLB-B Karya Murni Medan.

4. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 hingga selesai.

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1) Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan arah penelitian yang akan menguraikan apa yang akan dicapai, dan biasanya disesuaikan dengan kebutuhan peneliti dan pihak lain yang

berhubungan dengan penelitian tersebut.

(7)

a. Untuk menggambarkan dan membahas bagaimana peranan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh konselor dalam membentuk konsep diri siswa/i tunarungu di SLB-B Karya Murni.

b. Untuk mengetahui metode komunikasi konseling yang dilakukan konselor terhadap siswa/i tunarungu dalam membentuk konsep diri siswa/i tunarungu.

c. Untuk mengetahui bagaimana respon siswa/i tunarungu.

d. Untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh konselor ketika membimbing.

e. Untuk mengetahui solusi yang dipilih konselor guna mengatasi masalah yang dihadapinya

1.4.2) Manfaat Penelitian

Dalam hal ini manfaat penelitian yang dimaksud adalah:

a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya komunikasi antarpribadi yang berkaitan dengan pembentukan konsep diri siswa/i tunarungu.

b. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan memperkaya khasanah penelitian dan sumber bacaan di lingkungan FISIP USU, khususnya di bidang ilmu komunikasi.

c. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pihak SLB-B Karya Murni Medan, sehingga dapat meningkatkan perhatian dalam menangani kebutuhan dan permasalahan siswa/i tunarungu.

(8)

I.5. Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 1995:39). Kerlinger menyatakan teori merupakan himpunan konstruk (konsep), defenisi, dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menggambarkan relasi diantara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2004:6).

Adapun teori-teori yang relevan dengan penelitian ini adalah: a. Komunikasi

b. Komunikasi Antarpribadi

c. Teori Pengungkapan Diri (Self Disclosure) d. Komunikasi Verbal dan Non Verbal e. Teori Simbolik

f. Konsep Diri

g. Konseling Individual h. Tunarungu

1.5.1) Komunikasi

Wilbur Schramm mengatakan bahwa kata communication itu berasal dari bahasa Latin: Communicatio dan bersumber dari kata communis yang berarti common (sama). Dengan demikian apabila kita akan mengadakan komunikasi, maka kita harus mewujudkan persamaan antara kita dengan orang lain. Sama di sini maksudnya adalah sama makna

(Effendy, 2003:9). Menurut Cherrey, komunikasi adalah menekankan pada proses hubungan, sedangkan Gode berpendapat bahwa komunikasi merupakan proses yang menekankan pada sharing atau pemilikan (Liliweri, 1997:5). Jadi, jika mengadakan suatu komunikasi dengan

(9)

satu pihak lain, maka kita menyatakan gagasan kita untuk mendapatkan komentar dari pihak lain mengenai suatu objek tertentu. Theodorson (dalam Liliweri, 1997:11) mengatakan bahwa komunikasi adalah pengalihan informasi dari satu kelompok kepada kelompok lain terutama dengan menggunakan simbol. Sedangkan Panji Anogoro dan Ninik Widiyanti (dalam Liliweri, 1997:104) memberi defenisi komunikasi sebagai berikut: komunikasi merupakan kapasitas individu dan kelompok lain.

1.5.2) Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi antarpribadi merupakan suatu proses sosial dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh De Vito (dalam Liliweri, 1997:12) bahwa, komunikasi antarpribadi merupakan pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung.

Menurut Barnlund ada beberapa ciri yang bisa diberikan untuk mengenal komunikasi antarpribadi (dalam Liliweri, 1997:14), yaitu:

1. Komunikasi antarpribadi terjadi secara spontan 2. Tidak mempunyai struktur yang teratur atau diatur 3. Terjadi secara kebetulan

4. Tidak mengejar tujuan yang telah direncanakan terlebih dahulu 5. Identitas keanggotaannya kadang-kadang kurang jelas

6. Bisa terjadi hanya sambil lalu saja

Menurut Evert M. Rogers (dalam Liliweri, 1997:13) ada beberapa ciri komunikasi antarpribadi, yaitu:

1. Arus pesan dua arah

2. Konteks komunikasi adalah tatap muka. 3. Tingkat umpan balik yang tinggi.

4. Kemampuan untuk mengatasi tingkat selektivitas yang tinggi. 5. Kecepatan untuk menjangkau sasaran yang besar sangat lamban. 6. Efek yang terjadi antara lain perubahan sikap.

(10)

Asumsi dasar komunikasi antarpribadi adalah bahwa setiap orang yang berkomunikasi akan membuat prediksi pada data psikologis tentang efek atau perilaku komunikasinya, yaitu bagaimana pihak yang menerima pesan memberikan reaksinya. Jika menurut komunikator reaksi komunikan menyenangkan, maka ia akan merasa bahwa komunikasinya telah berhasil.

Menurut Rakhmat bahwa, pola-pola komunikasi antarpribadi (interpersonal)

mempunyai efek yang berlainan pada hubungan antarpribadi. Tidak benar anggapan orang bahwa makin sering orang melakukan komunikasi antarpribadi dengan orang lain, makin baik hubungan mereka. Bila diantara komunikator dan komunikan berkembang sikap curiga, maka makin sering mereka berkomunikasi makin jauh jarak yang timbul. Yang menjadi persoalan adalah bukanlah berapa kali komunikasi dilakukan, tetapi bagaimana komunikasi itu dilakukan. Ada beberapa faktor yang dapat menumbuhkan hubungan antarpribadi yang baik, yaitu: sikap percaya, sikap suportif dan terbuka (Rakhmat, 2005:129).

Percaya (trust), menentukan efektivitas komunikasi. Secara ilmiah percaya didefenisikan sebagai mengandalkan perilaku orang untuk mencapai tujuan yang

dikehendaki, yang pencapaiannya tidak pasti dan dalam situasi yang penuh resiko (Griffin, dalam Rakhmat, 2005:130).

Sikap Suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam komunikasi. Orang bersikap defensif bila ia tidak menerima, tidak jujur dan tidak empatis. Sudah jelas dengan sikap defensif, komunikasi interpersonal akan gagal: karena orang defensif akan lebih banyak melindungi diri dari ancaman yang ditanggapinya dalam situasi komunikasi ketimbang memahami pesan orang lain. Perilaku yang menimbulkan iklim suportif adalah: deskripsi, orientasi masalah, spontanitas, empati, persamaan dan provisionalisme.

Sikap terbuka (open-mindedness) sangat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan komunikasi antarpribadi yang efektif. Menurut Brooks dan Emert karakteristik orang yang sikap terbuka adalah sebagai berikut:

a. Menilai pesan secara objektif, dengan menggunakan data dan logika b. Membedakan dengan mudah, melihat suasana dan sebagainya c. Berorientasi pada isi

d. Mencari informasi dari berbagai sumber

(11)

f. Mencari pengertian pesan yang tidak sesuai dengan rangkaian kepercayaan (Rakhmat, 2005: 136).

Bersama-sama dengan sikap percaya dan sikap suportif, sikap terbuka mendorong timbulnya saling pengertian, saling menghargai dan yang paling penting dapat saling mengembangkan kualitas hubungan interpersonal melalui komunikasi yang dilakukan. Melalui komunikasi antarpribadi dengan orang lain kita belajar bukan saja mengenai siapa kita, namun juga bagaimana kita merasakan siapa kita. Anda mencintai diri anda bila anda telah dicintai, anda berpikir anda cerdas bila orang-orang sekitar anda menganggap anda cerdas, anda merasa tampan atau cantik bila orang-orang sekitar anda juga mengatakan demikian. Proses komunikasi antarpribadi seperti ini sangat berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri seseorang.

I.5.3) Teori Pengungkapan Diri (Self Disclosure)

Self disclosure teori adalah proses sharing/berbagi informasi dengan orang lain. Informasinya menyangkut pengalaman pribadi, perasaan, rencana masa depan, impian dan sebagainya. Dalam melakukan proses self-disclosure seseorang harus memahami waktu, tempat dan tingkat keakraban. Kunci dari suksesnya self-disclosure adalah kepercayaan

Salah satu model inovatif untuk memahami tingkat-tingkat kesadaran dan penyingkapan diri dalam komunikasi adalah Jendela Johari (Johari Window). “Johari” berasal dari nama depan dua orang psikolog yang mengembangkan konsep ini, Joseph Luft dan Harry Ingham (Senjaya, 2007:2.44). Meskipun self disclosure yang mendorong adanya keterbukaan, namun keterbukaan itu sendiri ada batasnya. Artinya kita perlu

mempertimbangkan kembali apakah menceritakan segala sesuatu tentang diri kita akan menghasilkan efek positif bagi hubungan kita dengan orang tersebut (Senjaya, 2007:2.45).

(12)

I.5.4) Komunikasi Verbal dan Non Verbal

Dalam penyampaian pesan, seorang komunikator dituntut untuk memiliki kemampuan dan sarana agar mendapat umpan balik (feedback) dari komunikan sehingga maksud pesan tersebut dapat dipenuhi dengan baik dan berjalan efektif. Komunikasi dengan tatap muka (face-to-face) dilakukan. antara komunikator dan komunikan secara langsung, tanpa menggunakan media apapun kecuali bahasa sebagai lambang atau simbol. Komunikator dapat menyampaikan pesannya secara verbal dan non verbal.

Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan bahasa lisan (oral communication) dan bahasa tulisan (written communication). Ada tiga ciri utama komunikasi verbal, yaitu:

1. Bahasa verbal adalah komunikasi yang kita pelajari setelah kita menggunakan komunikasi non verbal. Jadi komunikasi verbal ini digunakan setelah pengetahuan dan kedewasaan kita sebagai manusia tumbuh.

2. Komunikasi verbal dinilai kurang universal dibanding dengan komunikasi non verbal, sebab bila kita ke luar negeri misalnya dan kita tidak mengerti bahasa yang digunakan masyarakat setempat maka kita bisa menggunakan bahasa isyarat non verbal.

3. Komunikasi verbal merupakan aktivitas yang lebih intelektual dibanding dengan bahasa non verbal. Melalui komunikasi verbal kita mengkomunikasikan gagasan dan konsep-konsep yang abstrak (Sendjaja, 2005:6.3).

Sementara komunikasi non verbal dapat didefenisikan sebagai berikut: non berarti tidak, verbal bermakna kata-kata (words). Sehingga komunikasi non verbal dimaknai sebagai komunikasi tanpa kata-kata. Beberapa contoh komunikasi nonverbal adalah: gerakan atau isyarat badaniah (gestural) seperti melambaikan tangan, mengedipkan mata dan sebagainya, dan menggunakan gambar untuk mengemukakan ide atau gagasannya (Sendjaja, 2005:6.3).

Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter komunikasi non verbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai potensial bagi pengirim atau penerima; jadi defenisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan (dalam Mulyana, 2002:198).

Kategori komunikasi non verbal dalam Sendjaja Sasa Djuarsa antara lain vocalics atau paralanguage, kinesic yang mencakup gerakan tubuh, lengan dan kaki, serta ekspresi wajah (facial expression), perilaku mata (eye behaviour), lingkungan yang mencakup objek benda dan artefak, proxemics yang merupakan ruang dan teritori pribadi, haptics (sentuhan), penampilan fisik (tubuh dan cara berpakaian), chronomics (waktu) dan olfaction (bau) (Sendjaja, 2005:6.17).

Ada tiga perbedaan antara komunikasi verbal dan non verbal, yaitu:

1. Komunikasi verbal dikirimkan oleh sumber secara sengaja dan diterima oleh penerima secara sengaja pula.

(13)

2. Perbedaan simbolik. Berarti bahwa makna dalam komunikasi verbal dipahami secara subjektif oleh individu yang terlibat didalam suatu kondisi, sedangkan makna non verbal lebih bersifat alami dan universal.

3. Mekanisme pemrosesan. Yaitu, komunikasi verbal mensyaratkan kaidah dan aturan berbahasa secara indah dan terstruktur (Sendjaja, 1994:257).

I.5.5) Teori Interaksi Simbolik

Teori ini menyatakan bahwa interaksi sosial pada hakekatnya adalah interaksi simbolik. Manusia berinteraksi dengan orang lain dengan cara menyampaikan simbol, yang lain

memberi makna atas simbol tersebut. Para ahli perfeksionisme simbolik melihat bahwa individu adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang didalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal dan obyek yang disepakati bersama (Mulyana, 2001:84).

Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia yaitu komunikasi dan petukaran simbol yang diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia

membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Defenisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Manusia bertindak hanya berdasarkan defenisi atau penafsiran mereka atas objek-objek

disekelilingnya. Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan aturan-aturan, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses

(14)

tersebut bukanlah sesuatu medium yang netral yang memungkinkan kekuatan sosial

memainkan perannya melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial (Mulyana, 2001:68)

Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara singkat interaksionalisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama individu merespon sebuah situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu kewaktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.

I.5.6) Konsep Diri

Konsep diri adalah keyakinan yang dimiliki individu tentang atribut (ciri-ciri/sifat) yang dimilikinya (Dayakisni, 2003:65). Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungannya. Konsep diri seseorang umumnya dipengaruhi oleh keluarga dan orang-orang dekat lain disekitarnya, termasuk kerabat akan tetapi yang paling mempengaruhi adalah ketika kita berinteraksi dengan orang lain yakni pengharapan, kesan dan citra orang lain tentang kita.

Fitts (1971) membagi konsep diri dalam dua dimensi, yaitu sebagai berikut: a. Dimensi Internal

Dimensi internal atau yang disebut juga kerangka acuan internal (internal frame of reference) adalah penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia didalam dirinya sendiri. Dimensi ini terdiri dari tiga bentuk yaitu:

(15)

Bagian diri ini merupakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri dan mengacu pada pertanyaan, “Siapakah saya?” dalam pertanyaan tersebut mencakup label-label dan simbol-simbol yang diberikan pada diri (self) oleh individu-individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya. 2. Diri Pelaku (Behavioral self)

Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya yang berisikan segala kesadaran mengenai “Apa yang dilakukan oleh diri”.

3. Diri Penerima/Penilai (Judging self)

Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar dan elevator.

Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator) antara diri dan identitas pelaku. b. Dimensi Eksternal

Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain di luar dirinya. Dimensi eksternal terbagi atas lima bentuk yaitu:

1. Diri Fisik (physical self)

Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara fisik (cantik, jelek, menarik, tidak menarik, tinggi, pendek, gemuk, kurus, dan sebagainya) 2. Diri Etik-moral (moral-ethical self)

Bagian ini merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya dilihat dari pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungannya dengan Tuhan, kepuasan seseorang akan kehidupan agamanya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya, yang meliputi batasan baik dan buruk.

3. Diri Pribadi (personal self)

Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauhmana ia merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat.

4. Diri Keluarga (family self)

Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan seberapa jauh seseorang merasa dekat terhadap dirinya sebagai anggota dari suatu keluarga.

5. Diri Sosial (social self)

Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan disekitarnya.

Seluruh bagian diri ini, baik internal maupun eksternal, saling berinteraksi dan membentuk suatu kesatuan hati yang utuh.

I.5.7) Konseling Individual

Istilah konseling berasal dari bahasa inggris “to counsel” yang secara etimologi berarti “to give advice” atau memberi saran dan nasehat. Jones mendefenisikan konseling sebagai kegiatan dimana semua fakta dikumpulkan dan semua pengalaman siswa difokuskan pada

(16)

masalah tertentu untuk diatasi sendiri oleh yang bersangkutan, dimana ia diberi bantuan pribadi dan langsung dalam pemecahan masalah itu. Konseling harus ditujukan pada

perkembangan yang progresif dari individu untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri (Lubis, 2006:7).

Selanjutnya menurut Jones, proses konseling akan terlaksana bila terlihat beberapa aspek berikut ini:

a. Terjadi antara dua orang individu, masing-masing disebut konselor dan klien. b. Terjadi dalam suasana yang profesional.

c. Dilakukan dan dijaga sebagai alat yang memudahkan perubahan-perubahan dalam tingkah laku klien.

Rogers mengemukakan sebagai berikut: counseling is a series of direct contacts with the individual which aims to offer him assistance in changing his attitude and behaviour. Konseling adalah serangkaian hubungan langsung dengan individu yang bertujuan untuk membantu dia dalam merubah sikap dan tingkah lakunya (Hallen, 2005:9).

Sementara itu, Shertzer dan Stone mendefenisikan hubungan konseling yaitu interaksi antara seseorang dengan orang lain yang dapat menunjang dan memudahkan secara positif bagi perbaikan orang tersebut (Willis, 2004:36).

Karakteristik hubungan konseling adalah sebagai berikut:

1. Hubungan konseling itu sifatnya bermakna, terutama bagi klien, demikian pula bagi konselor. Hubungan konseling terjadi dalam suasana keakraban (intimate)

2. Bersifat afek

Afek adalah perilaku-perilaku emosional, sikap dan kecenderungan-kecenderungan yang didorong oleh emosi. Afek hadir karena adanya keterbukaan diri (disclosure) klien, keterpikatan, keasyikan diri (self absorbed) dan saling sensitif satu sama lain. 3. Integrasi pribadi

Terdapat ketulusan, kejujuran dan keutuhan antara konselor-klien. 4. Persetujuan bersama

Ada komitmen (keterikatan) antara kedua belah pihak. 5. Kebutuhan

(17)

6. Struktur

Proses konseling (bantuan) terdapat struktur karena adanya keterlibatan konselor dan klien.

7. Kerjasama

Jika klien bertahan (resisten) maka ia menolak dan tertutup terhadap konselor. Akibatnya, hubungan konseling akan macet. Begitu juga sebaliknya.

8. Konselor mudah didekati, klien merasa aman.

Faktor iman dan taqwa sangat mendukung terhadap kehidupan emosional konselor. 9. Perubahan

Tujuan akhir dari hubungan konseling adalah perubahan positif klien menjadi lebih sadar dan memahami diri, mendapatkan cara-cara terbaik untuk

berbuat/merencanakan kehidupannya menjadi lebih dewasa dan pribadinya

terintegrasi. Perubahan internal dan eksternal terjadi didalam sikap dan tindakan, serta persepsi terhadap diri, orang lain dan dunia (Willis, 2004:41-44)

Dari defenisi-defenisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa layanan konseling individual merupakan kegiatan komunikasi antarpribadi konselor dengan kliennya, dimana dalam prosesnya melibatkan keikutsertaan/keterlibatan dua orang individu yang terjadi dalam suasana keakraban/kebersamaan dan terdapat interaksi, atau umpan balik antara kedua belah pihak sehingga si klien dapat memahami pikiran ataupun pesan yang disampaikan konselor yang tujuan akhirnya adalah untuk memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah klien sehingga klien mempunyai konsep diri yang jelas.

I.5.8) Tunarungu

Anak dengan gangguan pendengaran (tunarungu) sering kali menimbulkan masalah baik bagi dirinya sendiri, keluarga maupun bagi lingkungan sekitarnya. Menurut

Mangunsong, yang dimaksud dengan anak tunarungu adalah mereka yang pendengarannya tidak berfungsi sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan luar biasa (Mangunsong 1998:66). Menurut Moores, ketunarunguan adalah kondisi dimana individu tidak mampu mendengar dan hal ini tampak dalam wicara atau bunyi-bunyian, baik dengan derajat

frekuensi dan intensitas (dalam Mangunsong 1998:68). Secara khusus ketulian didefenisikan sebagai gangguan pendengaran yang sangat parah sehingga anak mengalami kesulitan dalam

(18)

memproses informasi bahasa melalui pendengaran, dengan atau tanpa alat bantu, sehingga berpengaruh pada prestasi pendidikan.

Menurut Telford dan Sawrey ketunarunguan tampak dari ciri-ciri sebagai berikut: a. Ketidakmampuan memusatkan perhatian yang sifatnya kronis

b. Kegagalan merespons apabila diajak bicara

c. Terlambat berbicara atau melakukan kesalahan artikulasi

d. Mengalami keterbelakangan di sekolah (dalam Mangunsong, 1998:70).

1.6. Kerangka Konsep

Konsep adalah istilah yang mengekspresikan sebuah ide abstrak (hasil pemikiran rasional) yang dibentuk dengan menggeneralisasikan obyek atau hubungan fakta-fakta yang diperoleh dari pengamatan. Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus dioperasionalisasikan dengan mengubahnya menjadi variabel. Suatu variabel adalah konsep tingkat rendah, yang acuan-acuannya secara relatif mudah diidentifikasikan, diurut atau diukur (Kriyantono, 2007:20). Variabel berfungsi sebagai penghubung antara dunia teoritis dengan dunia empiris. Adapun konsep operasional yang akan diteliti adalah:

1.Komunikasi AntarPribadi 2.Konsep Diri siswa/i tunarungu

1.7. Operasionalisasi Konsep

Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan diatas, maka konsep operasional tersebut dijadikan acuan untuk memecahkan masalah. Agar konsep operasional tersebut dapat membentuk kesamaan dan kesesuaian dalam penelitian, maka dioperasionalkan sebagai berikut:

(19)

Konsep operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel 1

Konseptualisasi

Unit Analisis Operasional Komponen Indikator 1.Komponen Komunikasi

Antarpribadi Konselor Terhadap siswa/i tunarungu

a. Keterbukaan - sikap terbuka konselor dalam proses konseling

b. Empati - Kemampuan konselor dalam mengenali siswa/i tunarungu c. Dukungan - Dukungan konselor dalam

proses konseling

d.Rasa positif -Tanggapan positif konselor terhadap siswa/i tunarungu e. Kesamaan

(De Vito, 1997:259)

-Kesamaan pandangan dan sikap antara konselor terhadap siswa/i tunarungu 2.Komponen Konsep Diri

Siswa/i tunarungu

a. Terbuka pada pengalaman - Perasaan cemas, marah atau takut akan berkurang/hilang terhadap masalah yang sedang dihadapi siswa/i tunarungu

- Sikap optimis siswa/i akan masa depan

b. Tidak bersifat defensif -Sifat terbuka siswa/i tunarungu

(20)

-Sifat tidak menyalahkan orang lain akan kecacatan atau kesulitan yang diderita siswa/i

c. Kesadaran yang cermat -Sudah memiliki rasa percaya diri dari siswa/i

-Menyadari kelebihan dan bakat yang dimiliki siswa/i d.Penghargaan diri tanpa

syarat

-Merasa cukup berarti dilingkungannya -Ada prestasi di dalam

maupun di luar kelas e. Menjalin hubungan yang

harmonis dengan orang lain

(Hall, 1993:128)

- Dapat bergaul dengan sesama siswa/i SLB-B

-Ada rasa tanggung jawab dan memiliki satu sama lain.

(21)

1.8. Defenisi Operasional Variabel

Defenisi operasional berfungsi untuk memperjelas variabel-variabel dalam konsep operasional. Dengan kata lain, defenisi variabel operasional adalah suatu informasi ilmiah yang sangat membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama (Singarimbun, 1995:46). Adapun yang menjadi defenisi operasional dalam penelitian ini adalah:

1. Komponen komunikasi antarpribadi antara konselor dan siswa terdiri dari:

a. Keterbukaan, yaitu sikap terbuka konselor dalam proses konseling individual antara konselor dengan siswa/i tunarungu.

b. Empati, yaitu kemampuan seorang konselor untuk mengenali siswa/i tunarungu selama proses konseling.

c. Dukungan, yaitu dukungan konselor dalam proses konseling.

d. Rasa positif, yaitu adanya anggapan positif konselor terhadap siswa/i tunarungu. e. Kesamaan, yaitu adanya kesamaan pandangan, sikap, ideologi, dan persepsi antara

konselor terhadap siswa/i tunarungu.

2. Komponen konsep diri terdiri dari:

a. Terbuka pada pengalaman merupakan keadaan dimana siswa/i tunarungu mulai mengenal unsur-unsur pengalamannya pada masa lampau yang mau tidak mau disadari karena terlalu mengancam atau merugikan struktur dirinya. Keadaan emosional itu bisa berupa kecemasan. Ketakutan, kemarahan, misalnya kekalutan pikiran akan masa depan (mendapat pekerjaan), keinginan untuk bisa mendengar lagi, masalah di dalam keluarga, pelajaran di sekolah, masalah hubungan dengan teman sepergaulan baik di

(22)

lingkungan rumah maupun di lingkungan sekolah, maupun masalah dengan guru dan sebagainya. Selain itu ia juga memiliki rencana hidup masa akan datang. Dia tahu keputusan mana yang mungkin dapat dilaksanakan sesuai tujuan utama yang dia inginkan.

b. Tidak bersifat defensif merupakan sikap keterbukaan yang dimiliki siswa/i tunarungu dimana ia dapat menerimanya dengan bebas sebagai bagian dari dirinya yang berubah dan berkembang secara realistis dan sebagaimana adanya. Sikap ini dimulai dengan mengoreksi diri sendiri dan meniadakan sikap yang suka menyalahkan dunia luar, seperti orang tua, teman, keadaan yang tidak menguntungkan dan sebagainya.

c. Kesadaran yang cermat yaitu sikap percaya diri dan jujur yang terbentuk dalam diri siswa/i tunarungu dimana dia menyadari kelebihan-kelebihan ataupun bakat-bakat yang dimilikinya, sehingga ia tidak sepenuhnya bergantung pada bantuan orang lain. Dengan kata lain, dia menjadi mandiri dan menganggap dirinya cukup berarti dilingkungannya.

d. Penghargaan diri tanpa syarat yaitu keadaan dimana siswa/i tunarungu bebas mengaktualisasikan dirinya untuk berkarya dan berprestasi serta mengembangkan sifat-sifat dan potensi-potensi psikologis yang unik sebagai manifestasi potensi yang dimiliki.

e. Menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain yaitu sikap dimana siswa/i tunarungu mampu menghargai keberadaaan orang lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sehingga ia menganggap dirinya sederajat atau setara dengan orang lain. Sikap ini ditandai dengan adanya keinginan untuk bekerjasama dan saling tenggang rasa dengan teman-temannya, guru pembimbing maupun terhadap warga lainnya disekitar lingkungan sekolah maupun lingkungan tempat tinggalnya.

Referensi

Dokumen terkait

Secara umum, pekerja anak jalanan yang menjadi korban dari tindak kekerasan sebetulnya tidak dibatasi oleh perbedaan jenis kelamin, artinya baik laki-laki maupun perempuan,

(2) Dalam hal calon Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berstatus Pegawai Negeri Sipil maka yang bersangkutan harus melepaskan terlebih dahulu status kepegawaiannya, yang

3. Masih ditemukannya paradigma lama yang masih berkembang dalam penyajian informasi publik, sehingga masih ditemukan Perangkat Daerah yang belum bersedia

Hasil dari pengujian yang sudah di dilakukan dengan mengukur kualitas pelayanan Full Board dengan menggunakan 5 prinsif dimensi yaitu realiability, Responsif,

Penelitian yang relavan sangat berguna untuk proses penelitian ini salh satunya untuk mengetahui keabsahan atau keaslian penelitian agar tidak terjadi plagiat atau

Dalam operasional Koperasi Sahabat Sakinah (KAS), ditemukan beberapa permasalahan yang dialami diantaranya pelayanan yang masih dilakukan secara manual seperti pendaftaran

Hasil penelitian menunjukkan pengaruh yang signifikan stres akademik terhadap kinerja siswa, stres mengakibatkan efek negatif dari stres terhadap kehidupan akademik

Komplain dan keluhan saling berhubungan terhadap tingkat kualitas layanan dan citra perusahaan, dapat diartikan jika pelayanan jasa membosankan, petugas bank tidak