• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. suatu sistem makna yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. suatu sistem makna yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Budaya Organisasi

1.1. Pengertian Budaya Organisasi

Robbin (2007) mendefenisikan bahwa budaya organisasi adalah sebagai suatu sistem makna yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lain. Robbin mendefenisikan budaya organisasi sebagai sebuah sistem pemaknaan bersama yang dibentuk oleh anggotanya yang sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lain. Riani (2011) menjelaskan bahwa budaya organisasi merupakan sistem dari shared value, keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur formalnya untuk menciptakan norma-norma perilaku. Budaya organisasi juga mencakup nilai-nilai dan standar-standar yang mengarahkan perilaku pelaku organisasi dan menentukan arah organisasi secara keseluruhan.

Budaya organisasi adalah simbol dan interaksi unik pada setiap organisasi. Hal ini meliputi cara berpikir, berperilaku, berkeyakinan yang sama-sama dimiliki oleh anggota unit (Marquis, 2010). Budaya organisasi tampak dalam dimensi aktivitas tugas dan aktivitas pemeliharaan (dinamika) kelompok/organisasi yang berupa penggunaan bahasa, pengambilan keputusan, teknologi yang digunakan, dan praktik kerja sehari-hari (Diklat DIKNAS, 2007).

(2)

Druicker (dalam Tika, 2006) menyebutkan bahwa budaya organisasi adalah pokok penyelesaian masalah-masalah eksternal dan internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian mewariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan, dan merasakan terhadap masalah-masalah.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas maka budaya organisasi adalah aturan kerja yang ada di organisasi yang akan menjadi pegangan dari sumber daya manusia dalam menjalankan kewajibannya dan nilai-nilai untuk berperilaku dalam organisasi. Nilai-nilai tersebut tercermin dalam perilaku dan sikap mereka sehari-hari selama mereka berada dalam organisasi tersebut dan sewaktu mewakili organisasi berhadapan dengan pihak luar. Dengan kata budaya organisasi mencerminkan cara staf melakukan sesuatu (membuat keputusan, melayani pasien, dll) yang dapat dilihat kasat mata dan dirasakan terutama oleh orang diluar organisasi tersebut. Dapat juga dikatakan budaya organisasi adalah pola terpadu perilaku manusia di dalam organisasi termasuk pemikiran-pemikiran, tindakan-tindakan, pembicaraan-pembicaraan yang dipelajari dan diajarkan kepada generasi berikutnya (Muluk, 1999).

Organisasi yang berorientasi pada pelayanan kesehatan memerlukan budaya dukungan (Support Culture) dan budaya peran (Role Culture) sebagai cara meningkatkan motivasi dan kepuasan anggota organisasi. Budaya organisasi yang efektif adalah budaya organisasi yang mengakar kuat dan dalam. Di rumah sakit yang berbudaya demikian, dapat dipastikan hampir semua individunya menganut nilai-nilai yang seragam dan konsisten.

(3)

1.2. Fungsi Budaya Organisasi

Budaya organisasi menurut Tika (2006) memiliki beberapa fungsi yaitu (1)sebagai batas pembeda terhadap lingkungan, organisasi maupun kelompok lain, (2) sebagai perekat bagi staf dalam suatu organisasi, (3)mempromosikan stabilitas sistem sosial, (4)sebagai mekanisme kontrol dalam memadu dan membentuk sikap serta perilaku staf, (5)sebagai integrator, (6)membentuk perilaku bagi para staf, (7)sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah-masalah pokok organisasi, (8)sebagai acuan dalam menyusun perencanaan perusahaan, (9)sebagai alat komunikasi, (10)sebagai penghambat berinovasi.

Robbins (2003) menyatakan bahwa budaya organisasi mempunyai beberapa fungsi dalam organisasi yaitu memberi batasan untuk mendefinisikan peran sehingga memperlihatkan perbedaan yang jelas antar organisasi, memberikan pengertian identitas terhadap sesuatu yang lebih besar dibandingkan minat anggota organisasi secara perorangan, menunjukkan stabilitas sistem sosial, memberikan pengertian dan mekanisme pengendalian yang dapat dijadikan pedoman untuk membentuk sikap dan perilaku anggota organisasi dan pada akhirnya budaya orgnisasi dapat membentuk pola pikir dan perilaku anggota organisasi.

Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh kedua belah pihak, baik organisasi maupun para anggotanya. Manfaat tersebut adalah memberikan pedoman bagi tindakan pengambilan keputusan, mempertinggi komitmen organisasi, menambah perilaku konsistensi perilaku para anggota organisasi dan

(4)

mengurangi keraguan para anggota orgnisasi, karena budaya memberitahukan pada mereka sesuatu dilakukan dan dianggap penting (Mangkunegara, 2005).

1.3. Pembentukan Budaya Organisasi

Robbins (2001) berpendapat bahwa dibutuhkan waktu yang lama untuk pembentukan budaya organisasi. Sekali terbentuk, budaya itu cenderung berakar, sehingga sukar bagi para manager untuk mengubahnya.

Gambar 1.3. Proses Pembentukan Budaya Organisasi

Dari gambar diatas, dapat dilihat bahwa budaya organisasi diturunkan dari filsafat pendiri, kemudian budaya ini sangat mempengaruhi kriteria yang digunakan dalam merekrut/memperkerjakan anggota organisasi. Tindakan dari manajemen puncak menentukan iklim umum dari perilaku yang dapat diterima baik dan tidak. Tingkat kesuksesan dalam mensosialisasikan budaya organisasi tergantung pada kecocokan nilai-nilai staf baru dengan nilai-nilai organisasi dalam proses seleksi maupun pada preferensi manajemen puncak akan metode-metode sosialisasi. Filosofi Pendiri Kriteria Seleksi Manajemen Puncak Sosialisasi Budaya Organisasi

(5)

1.4. Dimensi Budaya Organisasi

Robbins (2007) menjelaskan bahwa budaya organisasi adalah sebuah proses deskripsi mengenai keadaan organisasi. Penelitian mengenai budaya organisasi berfokus pada staf mampu merasakan budaya organisasi, terlepas dari mereka suka atau tidak suka pada budaya organisasi tersebut. Budaya organisasi dapat dirasakan keberadaannya melalui perilaku anggota dalam organisasi tersebut. Hal ini dapat dilihat dari pola dan cara-cara berpikir, merasa, menanggapi dan menuntun para anggota organisasi dalam mengambil keputusan maupun kegiatan-kegiatan lainnya dalam organisasi.

Robbins (2007) menjelaskan bahwa pelaksanaan budaya organisasi dapat dikaji dari dimensi budaya organisasi. Dimensi budaya organisasi tidak ditetapkan secara mudah melainkan berdasarkan studi empiris. Studi empiris ini biasanya tidak dilakukan menggunakan sampel kecil melainkan menggunakan sampel besar yang melibatkan beberapa organisasi. Hasilnya tidak ditemukan dimensi budaya yang berlaku secara umum. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa memahami budaya organisasi melalui dimensi-dimensinya dapat menggambarkan budaya organisasi dari suatu organisasi tersebut. Banyak ahli yang menguraikan dimensi-dimensi dalam budaya organisasi salah satunya adalah Denison.

Denison and Mirsha (1995) dalam Casida (2007) mengaikat budaya organisasi dengan efektifitas organisasi. efektifitas organisasi tersebut dipengaruhi oleh empat faktor di dalam budaya organisasi yaitu keterlibatan (Involvement), konsistensi (consistency), adapatasi (Adadptation), Misi (Mision).

(6)

1. Keterlibatan (involvement)

Keterlibatan merupakan kunci yang tampak dan dapat dirasakan dalam setiap budaya organisasi (Sutrisno, 2010). Keterlibatan merupakan dimensi budaya organisasi yang menunjukkan tingkat partisipasi staf dalam proses pengambilan keputusan (Sobirin, 2007). Denison (2000) dalam Casida (2007) menyatakan, keterlibatan adalah suatu perlakuan yang membuat staf meras diikutsertakan dalam kegiatan organisasi sehingga membuat staf bertanggung jawab tentang tindakan yang dilakukannya. Keterlibatan (involvement) adalah kebebasan atau independensi yang dipunyai setiap individu dalam mengemukakan pendapat. Keterlibatan tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau pimpinan suatu organisasi sepanjang menyangkut ide untuk memajukan dan mengembangkan organisasi/perusahaan. Wesemann (2001) dalam Zwan (2006) menjelaskan bahwa keterlibatan mencakup kemampuan organisasi untuk membangun professional dan administrasi staf. Cho (2006) menyatakan bahwa staf yang memiliki perasaan terlibat dalam organisasi, mereka akan merasa bagian di dalam organisasi dan pendapat serta tindakan yang mereka lakukan akan terhubung langsung dengan tujuan organisasi. Keterlibatan menciptakan partisipasi dan komitmen staf terhadap organisasi. Staf yang terlibat di dalam organisasi maka akan meningkat kinerjanya (Denison (1990) dalam Zwan (2006)).

Denison (1996) dalam Zwan (2006) menyatakan bahwa keterlibatan terdiri dari tiga indikator yaitu pemberdayaan (Empowerment), kerja tim (Team Orientation) dan kemampuan berkembang (Capability Development):

(7)

a. Pemberdayaan (Empowerment)

Pemberdayaan (empowerment) adalah proses yang memungkinkan staf untuk memiliki input dan kontrol atas pekerjaan mereka, serta kemampuan untuk secara terbuka berbagi saran dan ide mengenai pekerjaan mereka (Richard, 2010). Christense (2012) menyatakan bahwa pemberdayaan akan membuat staf memiliki kekuasan untuk mampu membuat pilihan dan berpartisipasi pada tingkat yang lebih bertanggung jawab yang pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia pada diri staf tersebut serta mengakibatkan staf akan berpikiran positif terhadap lingkungannya. King (2005) menunjukkan staf yang bekerja pada konstruksi dengan peraturan yang ketat terhadap pemberian kebebasan staf dalam bekerja maka akan mempengaruhi pekerjaan yang dilakukan.

b. Kerja tim (Team Orientation)

Kerja tim (Team Orientation) menunjukkan efektifnya kerja secara tim dalam memberikan kontribusi pada organisasi yang mana proses di dalam kerja tim merupakan usaha untuk memecahkan suatu masalah dan meningkatkan inovasi anggotanya (Denison (2006) dalam Zwan (2006)). Penelitian yang dilakukan oleh Scoot (2003) menunjukkan kerja tim yag dilakukan oleh oleh tim kesehatan akan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

c. Kemampuan berkembang (Capability Development)

Kemampuan berkembang (Capability Development) adalah kemampuan suatu organisasi untuk meningkatkan kemampuan stafnya sehingga mampu berkompetisi dan mencapai tujuan organisasi (Denison, (2006) dalam Zwan (2006). Fang (2005) melakukan penelitian kepada 136 staf yang tidak pernah

(8)

diberi kesempatakan oleh managernya mengikuti pelatihan ataupun pendidikan menunjukkan nilai yang rendah untuk kemampuan berkembang.

Berdasarkan hasil analisa indikator pemberdayaan (Empowerment), kerja tim

(Team Orientation), kemampuan berkembang (Capability Development) maka terlihat keterlibatan merupakan dimensi penting di dalam suatu organisasi karena mengatur faktor internal di dalam organisasi dan dapat langsung dirasakan oleh perawat. Denison (2006) dalam Zwan (2006) menyatakan bahwa keterlibatan merupakan dimensi paling penting yang akan mempengaruhi kepuasan staf.

2. Konsistensi (Consistency)

Konsistensi (Consistency) merupakan tingkat kesepakatan anggota organisasi terhadap asumsi dasar dan nilai-nilai inti organisasi (Sobirin, 2007). Sutrisno (2010) menambahkan bahwa konsistensi menekankan pada sistem keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, dan simbol-simbol yang dimengerti dan dianut bersama oleh para anggota organisasi serta pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang terkoordinasi. Adanya konsistensi dalam suatu organisasi ditandai oleh staf merasa terikat; ada nilai-nilai kunci; kejelasan tentang tindakan yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan. Denison (2006) dalam Zwan (2006) menyatakan bahwa konsistensi di dalam organisasi merupakan dimensi yang menjaga kekuatan dan stabilitas di dalam organisasi. Denison dan Mirsha (1995) dalam Casida (2007) menyatakan bahwa konsistensi dapat dilihat dari tiga indikator yaitu nilai inti (core value), kesepakatan (Agreement), koordinasi dan integrasi (Coordination and Integration).

(9)

a. Nilai inti (core value)

Nilai inti (core value) adalah pedoman atau kepercayaan permanen mengenai sesuatu tepat dan tidak tepat yang mengarahkan tindakan dan perilaku staf dalam mencapai tujuan organisasi (Wirawan, 2007). Sejalan dengan penelitian Denison (2006) dalam Zwan (2006) di Russian Organisations menunjukkan bahwa staf menganggap nilai-nilai inti di organisasi merupakan hal yang penting di dalam organisasi yang menjadi pertahanan untuk integritas organisasi sehingga staf bertindak berdasarkan nilai-nilai di dalam organisasi tersebut. Price (2003) menjelaskan bahwa organisasi yang memiliki seperangkat nilai dan aturan yang jelas mengakibatkan staf lebih terarah dalam melakukan pekerjaan.

b. Kesepakatan (Agreement)

Kesepakatan (Agreement) adalah suatu proses ketika staf di dalam organisasi dapat mencapai kesamaan pendapat tentang masalah-masalah yang terjadi atau suatu hal yag mendasari dan mampu menyelesaikan perbedaan pendapat yang terjadi di dalam organisasi (Denison, 2006 dalam Casida (2006)). Tappen (1995) menyatakan bahwa salah satu cara untuk menyelesaikan masalah di dalam organisasi jalan mencapai kesepakatan (Reaching Agreement). Mencapai kesepakatan memberikan pengertian bahwa orang yang berkonflik mampu mencapai pemahaman yang sama mengenai masalah dan penyelesaian dari masalah tersebut. Di dalam kesepakatan masing-masing orang yang berkonflik mampu terbuka dengan masalah yang mereka hadapi dan membuka diskusi untuk menyelesaikan masalah tersebut.

(10)

c. Koordinasi dan integrasi (Coordination and Integration)

Koordinasi dan integrasi (Coordination and Integration) adalah berbagai fungsi serta unit di dalam organisasi yang bekerjasama untuk mencapai tujuan organisasi tanpa menggangu hak masing-masing (Denison, 2006 dalam Zwan (2006)). Koordinasi dan integrasi sangat bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi, kualitas, dan pelayanan yang diberikan kepada publik (Baker, 2002). Berdasarkan penjelasan-penjelasan sebelumnya terlihat bahwa konsistensi merupakan perwujudan dari kemampuan menerapkan nilai-nilai yang mengatur anggota organisasi, kemampuan mencapai pemahaman bersama terhadap masalah yang terjadi dan kemampuan mengkoordinasikan berbagai unit di dalam organisasi untuk bekerjasama mencapai tujuan bersama.

3. Adaptasi (Adaptability)

Denison (2006) dalam Zwan (2006) menyatakan bahwa kemampuan adaptasi merupakan kemampuan organisasi untuk menerjemahkan pengaruh lingkungan terhadap organisasi. sejalan dengan Sobirin (2007), adaptasi merupakan kemampuan organisasi dalam merespon perubahan-perubahan lingkungan eksternal dengan melakukan perubahan internal organisasi. Denison (2006) menjelaskan bahwa adaptasi merupakan kemampuan organisasi menerjemahkan pengaruh lingkungan dengan cara melakukan perubahan di dalam organisasi dengan tujuan pengembangan dan pertumbuhan organisasi. Denison dan Mirsha (1995) dalam Casida (2007) menyatakan bahwa kemampuan adaptasi dapat dilihat dari tiga indikator yaitu perubahan (Creating Change), berfokus pada pasien

(11)

a. Perubahan (Creating Change)

Perubahan (Creating Change)adalah kemampuan organisasi untuk melakukan pembaharuan, mampu mengikuti perkembangan dan bereaksi dengan cepat terhadap tren serta mengantisipasi dampak dari pembaharuan tersebut (Denison, 2006) dalam Zwan (2006). Tappen (1995) menyatakan bahwa seorang manager harus terlibat secara langsung mengusulkan dan mengadakan perubahan. Perubahan ini dapat berupa metode baru, contohnya memberikan cara pengobatan yang lebih efektif, atau menemukan penyelesaian masalah kesehatan dengan mengadakan penelitian.

b. Berfokus pada pasien (Customer Focus)

Berfokus pada pasien (Customer Focus) adalah kemampuan organisasi untuk mampu memberikan perhatian pada kepuasan pelanggan (Denison, 2006) dalam Zwan (2006).

c. Keadaan organisasi (Organizational Learning)

Keadaan organisasi (Organizational Learning) adalah proses yang mendukung organisasi untuk mampu beradaptasi terhadap perubahan, serta mampu bertumbuh ke arah yang lebih baik melalui penciptaaan dan pengaplikasian hal-hal baru seperti knowledge, kemampuan dan kompetensi sekaligus mampu mentransformasikannya kepada anggota lainnya (Fauzia, 2007). Keadaan organisasi merupakan kemampuan organisasi menerima, menerjemahkan, dan menginterpretasi dari lingkungan eksternal menjadi suatu usaha untuk mendorong inovasi, memperoleh pengetahuan dan meningkatkan pengetahuan (Denison, 2006) dalam Zwan (2006). Sejalan dengan penelitian

(12)

Baker (2002) di salah satu organisasi di Kanada menunjukkan bahwa keadaan organisasi meningkatkan staf untuk mengembangkan keahliannya, mengaplikasikan kemampuannya tersebut, serta berbagi dengan staf lainnya.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan sebelumnya terlihat bahwa adaptasi merupakan perwujudan dari kemampuan suatu organisasi untuk mengadakan perubahan di dalam internal organisasi sesuai perubahan eksternal dengan cara mengembangkan kemampuan, meningkatkan pengetahuan, serta mendorong inovasi demi mencapai pelayanan yang memuaskan pelanggan.

4. Misi (Mission)

Misi merupakan dimensi budaya yang menunjukkan tujuan inti organisasi yang menjadikan anggota organisasi teguh dan fokus terhadap apa yang dianggap penting oleh organisasi (Sobirin, 2007). Sesuai dengan penelitian Denison (2006) dalam Zwan (2006) yang menunjukkan bahwa organisasi yang kurang dalam menerapkan misi akan mengakibatkan staf tidak mengerti hasil yang akan dicapai dan tujuan jangka panjang yang ditetapkan menjadi tidak jelas.

Denison dan Mirsha (1995) dalam Casida menyatakan bahwa kemampuan adaptasi dapat dilihat dari tiga indikator yaitu strategi yang terarah dan tetap

(Strategic Direction and Intent), Tujuan dan objektivitas (Goals and Objectif), Visi (Vision).

a. Strategi yang terarah dan tetap (Strategic Direction and Intent)

Strategi yang terarah dan tetap (Strategic Direction and Intent) merupakan rencana yang jelas mengenai tujuan organisasi dan membuat anggota organisasi memahami konstribusi dan fungsi mereka di dalam organisasi (Denison, 2006)

(13)

dalam Zwan (2006). Sejalan dengan pernyataan Marquis (2010) bahwa manager tingkat pertama yang secara umum lebih dilibatkan dalam penetapan strategi. Strategi merupakan elemen penting yang memberikan penjelasan mengenai cara-cara untuk melaksanakan suatu tindakan. Baker (2002) memberikan penjelasan bahwa strategi merupakan elemen yang sangat penting untuk mempertahankan budaya organisasi. Davidson (2004) menunjukkan staf yang berada salah satu kantor di Afrika Selatan, dimana tidak terdapat kejelasan strategi di dalam organisasi tersebut mengakibatkan staf tidak mengerti tujuan yang akan dicapai organisasi tersebut.

b. Tujuan dan objektivitas (Goals and Objectif)

Tujuan dan objektivitas (Goals and Objectif) merupakan merupakan hasil yang diinginkan melalui usaha yang terarah dapat diukur, ambisius namun tetap realistis (Marquis, 2010). Denison (2006) dalam Zwan (2006) menyatakan bahwa tujuan da objektivitas merupakan kumpulan sasaran yang dikaitkan dengan misi, visi, serta strategi dan mampu memberikan arahan yang jelas bagi staf untuk bertindak.

c. Visi (Vision)

Visi (Vision) merupakan pandangan bersama mengenai tujuan yang akan dicapai yang terdiri dari nilai-nilai dan pemikiran bersama yang mampu memberikan arahan bagi anggota organisasi (Denison, 2006) dalam Zwan (2006). Wibisono (2006), visi merupakan rangkaian kalimat yang menyatakan cita-cita atau impian sebuah organisasi atau perusahaan yang ingin dicapai di masa depan atau dapat dikatakan bahwa visi merupakan pernyataan “apa yang diinginkan”

(14)

dari organisasi atau perusahaan. Visi juga merupakan hal yang sangat krusial bagi perusahaan untuk menjamin kelestarian dan kesuksesan jangka panjang. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rondeau dan Wagner (1999) menyelidiki peran peran budaya organisasi di rumah sakit, menunjukkan bahwa rumah sakit yang menerapakan visi yag kuat akan menghasilkan produktivitas yang baik dan pencapaian tujuan. Hal ini karena dengan penerapan visi maka staf memahami tugas dan tanggung jawab yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi tersebut.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut dapat ternarasikan bahwa misi merupakan salah satu dimensi penting didalam organisasi yang merupakan inti penggerak dalam organisasi. Hal ini karena strategi yang memberikan kejelasan cara-cara tindakan yang dilakukan, tujuan yang akan dicapai serta tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.

2. Kepuasan Kerja

2.1. Pengertian kepuasan kerja

Organisasi merupakan wadah tempat berkumpulnya orang-orang yang melaksanakan kegitan-kegiatan dalam rangka mencapai tujuan. Tujuan tersebut dapat berupa tujuan pribadi organisasi dan tujuan global organisasi. melalui kajian ilmu perilaku organisasi dapat dipahami bahwa aktivitas manusia dalam mencapai tujuan dilatarbelakangi oleh perilaku individu, perilaku kelompok, perilaku sistem organisasi. Ketiga perilaku tersebut berdampak pada tinggi rendahnya produktivitas dan kinerja, tingkat kemangkiran, perputaran karyawan (turnover), kepuasan kerja (Robbin, 2001).

(15)

Kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi staf dalam memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja juga mencerminkan perasaan senang atau tidak senang relatif yang berbeda dari pemikiran objektif dan keinginan perilaku (Handoko, 2000).

Hasibuan (1996) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu sikap emosional yang menyenagkan dan memotivasi pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisplinan dan prestasi kerja. Tolak ukur tingkat kepuasan kerja yang mutlak tidak ada karena secara individu berbeda standar kepuasannya. Hasibuan (2004) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja. Tolak ukur tingkat kepuasan kerja yang mutlak tidak ada karena secara individu berbeda standar kepuasannya.

2.2. Teori Tentang Kepuasan Kerja

Teori kepuasan kerja menurut beberapa ahli di dalam Munadar (2004): a. Teori ketidaksesuaian nilai (value discrepancy theory) dari Locke

Locke (1976) menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang bergantung pada selisih antara keinginan (expetation) dengan apa yang menurut persepsinya telah diperoleh melalui pekerjaannya. Dengan demikian orang akan merasa puas bila tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan, karena batas minimum yang diinginkan telah terpenuhi. Jika yang didapat lebih besar daripada yang diinginkan, maka disebut discrepancy positif, sebaliknya

(16)

makin jauh kenyataan yang dirasakan itu dibawah standar minimum sehingga menjadi discrepancy negatif, maka semakin besar pula ketidakpuasan seseorang terhadap pekerjaanya.

b. Teori aspek kerja (facet theory) dari Lawler

Tujuan utama dari teori ini adalah unutk memprediksikan besarnya kepuasan kerja dari berbagai aspek kerja yang berbeda. Lawler (1973) menggunakan hipotesis ketidaksesuaian dan teori keadilan dari Adams untuk menjelaskan teori ini. Dikatakan bahwa tingkat kepuasan terhadap suatu aspek kerja ditentukan oleh perbandingan antara harapan dari pa yang diterima. Harapan yang seharusnya diterima ditentukan oleh persepsi dari upaya yang diberikan pada suatu pekerjaan, permintaan terhadap pekerjaan tersebut serta upaya dan hasil yang diterima pekerja. Bila jumlah yang diterima adalah sama dengan jumlah yang diharapkan maka kepuasan terjadi, sebaliknya bila tidak sama akan terjadi ketidakpuasan. c. Teori keadilan (Equity Theory)

Teori ini berpendapat bahwa kepuasan seseorang tergantung apakah ia merasakan ada keadilan (equity) atau tidak adil (unequity) atas suatu situasi yang dialaminya. Teori ini merupakan variasi dari teori perbandingan sosial. Komponen utama teori ini adalah:

a. Input, yaitu sesuatu yang bernilai bagi seseorang yang dianggap mendukung pekerjaanya, seperti : pendidikan, pengalaman, kecakapan, banyaknya usaha yang dicurahkan, jumlah jam kerja, dan peralatan pribadi yang dipergunakan untuk pekerjaannya.

(17)

b. Hasil (outcomes) adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh seorang pekerja yang diperoleh dari pekerjaannya, seperti gaji, keuntungan sampingan, simbol status, penghargaan, serta kesempatan untuk berhasil atau ekspresi diri.

c. Orang bandingan (comparison person), bisa berupa seseorang di perusahaan yang sama atau di tempat lain bahkan bisa pula dengan dirinya sendiri terhadap pekerjaannya di waktu lampau.

Menurut teori ini, seseorang akan membandingkan rasio input-hasil dirinya dengan rasio input-hasil-orang bandingan. Jika perbandingan itu dianggapnya cukup adil, maka ia akan merasa. Namun jika perbandingan itu tidak seimbang dan justru merugikan (kompensasi kurang), akan menimbulkan ketidakpuasan dan menjadi motif tindakan bagi seseorang untuk menegakkan keadilan.

d. Teori Dua Faktor (two factor theory)

Prinsip dari teori ini bahwa kepuasan dan ketidakpuasan kerja merupakan dua hal yang berbeda. Artinya, kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu tidak merupakan suatu variabel yang kontinyu. Hal ini pertama kali dikemukakan oleh Herzberg (1959) yang berdasarkan hasil penelitiannya membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok, yaitu:

1) Faktor motivator (satisfer)

Motivator factor berhubungan dengan aspek-aspek yang terkandung dalam pekerjaan itu sendiri. Jadi berhubungan dengan job content atau disebut juga sebagai aspek intrinsik dalam pekerjaan.

(18)

Faktor-faktor yang termasuk di sini adalah: 1) Achievement (keberhasilan menyelesaikan tugas); 2) Recognition (penghargaan); 3) Work it self (pekerjaan itu sendiri); 4) Responsibility (tanggung jawab); 5) Possibility of growth

(kemungkinan untuk mengembangkan diri); 6) Advancement (kesempatan untuk maju). Hadirnya faktor-faktor ini akan memberikan rasa puas bagi karyawan, akan tetapi pula tidak hadirnya faktor ini tidaklah selalu mengakibatkan ketidakpuasan kerja karyawan.

2) Faktor higiene (disatisfier)

Merupakan faktor komponen yang didalamnya mencakup kebutuhan yang paling mendasar bagi karyawan untuk dapat memelihara dan melindungi diri dari kemerosotan hidup. Oleh karena itu, faktor ini dikatakan sebagai faktor yang besar ketidakpuasannya yang berasal dari luar individu. Faktor-faktor yang termasuk di sini adalah: 1). Working condition (kondisi kerja); 2). Interpersonal relation

(hubungan antar pribadi); 3). Company policy and administration (kebijaksanaan perusahaan dan pelaksanaannya); 4). Supervision technical (teknik pengawasan); 5). Job security (perasaan aman dalam bekerja).

2.3. Faktor-Faktor Kepuasan Kerja

Banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja. Faktor itu sendiri dalam memberikan kepuasan kepada staf tergantung pada pribadi masing-masing staf. Berikut ini adalah pendapat beberapa pakar tentang faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja:

Siagian (1995) dan Robbins (1996) sedikitnya ada empat faktor yang berhubungan dengan pencapain kepuasan kerja yaitu: pekerjaan yang penuh

(19)

tantangan, sistem penghargaan yang adil berupa upah dan promosi, kondisi kerja yang mendukung serta sikap orang lain dalam organisasi.

Handoko (1995) mengatakan bahwa ada hubungan yang erat antara kepuasan dengan hubungan interpersonal dimana komunikasi yang baik antara atasan dengan bawahan, teman sejawat, dengan klien dan keluarganya serta dengan dokter akan sangat membantu dalam menyelesaikan masalah atau mendapatkan informasi tentang sesuatu. Hubungan kerja yang tidak baik dapat mengakibatkan rasa tidak puas.

Harold E. Burt dalam As’ad (1995) mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu :

1. Faktor hubungan antar staf, antara lain : a. Hubungan antara manager dengan staf b. Faktor fisis dan kondisi kerja

c. Hubungan sosial diantara staf d. Sugesti dari teman sekerja e. Emosi dan situasi kerja

2. Faktor Individu, yaitu yang berhubungan dengan : a. Sikap orang terhadap pekerjaannya

b. Umur orang sewaktu bekerja c. Jenis kelamin

3. Faktor-faktor luar (extern), yang berhubungan dengan : a. Keadaan keluarga staf

(20)

c. Pendidikan (training, up grading dan sebagainya)

Dari berbagai pendapat diatas dapat dirangkum mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu :

a. Faktor psikologi, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan staf yang meliputi minat, ketentraman dalam bekerja, sikap terhadap kerja, bakat, dan ketrampilan.

b. Faktor sosial merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik antar sesama staf, dengan atasannya, maupun staf yang berbeda jenis pekerjaannya.

c. Faktor fisik merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik staf, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja, dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan staf, umur dan sebagainya. d. Faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta

staf yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi dan sebagainya.

2.4. Dimensi Kepuasan kerja

Munandar (2004) menyatakan bahwa terdapat lima dimensi kepuasan kerja yang dikemukakan oleh Smith, Kendall, dan Hulin,yaitu:

1. Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri

Hal ini terjadi apabila pekerjaan tersebut memberikan kesempatan individu untuk belajar sesuai dengan minat serta kesempatan untuk bertanggung jawab.

(21)

Kepuasaan terhadap pekerjaan berhubungan dengan jenis pekerjaan, bobot pekerjaan dan melibatkan keterampilan serta kemapuan individu dalam mengerjakan pekerjaan tersebut. Robbins (2001) menyatakan bahwa indikator kepuasan terhadap pekerjaan meliputi pekerjaan yang menarik dan menantang, pekerjaan yang tidak membosankan, kesempatan untuk belajar, tanggung jawab atas tugas, dan kondisi kerja.

2. Kepuasan terhadap imbalan

Sejumlah uang gaji yang diterima sesuai dengan beban kerjanya dan seimbang dengan staf lain pada organisasi tersebut. Kepuasan terhadap imbalan merupakan faktor utam untuk mencapai kepuasan kerja sehingga banyak pihak manajemen yang berupaya meningkatakan kerja staf dengan meningkatkan imbalan kerja. Indikator kepuasan terhadap imbalan meliputi imbalan ekstrinsik yaitu gaji, tunjangan, pension dan asuransi. Serta imbalan instrinsik kesempatan masa depan, keamanan bekerja (Robbins, 2001)

3. Kesempatan promosi

Kesempatan untuk meningkatkan posisi pada struktur organisasi. Kepuasan terhadap pangkat sering dikaitkan dengan ketidakpuasan staf terhadap promosi jabatan atau kepangkatan yang ada di rumah sakit. Robbins (2001) menyatakan indikator kepuasan terhadap promosi adalah sistem promosi di organisasi dan jenjang karier.

4. Kepuasan terhadap supervisi

Bergantung pada kemampuan atasannya untuk memberikan bantuan tehnis dalam memotivasi. Kepuasan terhadap supervisi menyangkut hubungan

(22)

antara atasan dan bawahan atas pengawasan yang dilakukan oleh atasan. Indikator kepuasan terhadap supervise meliputi petunjuk, saran, bantuan, serta partisipasi dalam mengambil keputusan (Robbins, 2001).

5. Kepuasan terhadap rekan kerja

Menunjukkan seberapa besar rekan sekerja memberikan bantuan tehnis dan dorongan sosial. Kepuasan terhadap rekan kerja merupakan hubungan antara pekerja satu dengan yang lain berkaitan erat dengan kepuasan kerja. Pekerja yang mengalami ketidakpuasan kerja karena memiliki rekan kerja yang tidak bisa diajak kerjasama. Robbins, (2001) menjelaskan bahwa indikator kepuasan kerja meliputi keramahan dan sifat kooperatif, dan dukungan kelompok.

Gambar

Gambar 1.3. Proses Pembentukan Budaya Organisasi

Referensi

Dokumen terkait

“Pajak daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh pemerintah Daerah baik di tingkat Provinsi maupun kabupaten ataupun kota”. II) dan hasil

segala apa saja yang dapat digambarkan oleh otak manusia, tidak ada yang mampu menyerupai, mirip, atau bahkan menyamai-Nya. Bahkan sejatinya, esensi dari segala yang ada

Kemudian akan muncul paket yang perlu di install pada Mikrotik tersebut dan pilih paket sesuai dengan kebutuhan yaitu paket untuk Router dan Radio maka menu

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa data warehouse adalah sebuah wadah yang dapat menampung data-data yang dibutuhkan untuk melakukan analisis suatu kondisi

Rumah Sakit Paru-paru di Surakarta merupakan suatu pusat pengobatan atau pusat kesehatan di Surakarta yang memiliki dan mampu mewadahi seluruh kegiatan yang dapat menunjang

Masyarakat belajar adalah sekelompok siswa yang terkait dalam kegiatan belajar agar terjadi proses belajar lebih dalam. Semua siswa harus mempunyai kesempatan untuk

menerus dilakukan. Agar proses pengajaran bidang studi Aqidah Akhlak ini dapat terlaksana dengan baik,maka salah satu yang perlu dibenahi adalah perbaikan kualitas tenaga