• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potret Pluralisme Kehidupan Multietnis d

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Potret Pluralisme Kehidupan Multietnis d"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Potret Pluralisme Kehidupan Multietnis di Dusun Lampu

“dari Konco dan Pura di Satu Rumah hingga Keberhasilan Lampion-lampion”

Sugi Lanus, budayawan dan penulis Bali pernah membuat analisa mengenai

keluarga peranakan Cina di Bali. Menurutnya, imigrasi warga Tiongkok ke Bali

dalam gelombang-gelombang yang berbeda. Sebagai bukti, yaitu pada era

sebelum Majapahit, mata uang masyarakat Bali adalah Mong, mata uang yang

diperkirakan awalnya dipakai kalangan warga Cina. Sugi juga menuliskan bahwa

sejumlah keturunan Tiongkok di Bali, menyebar di segitiga perbatasan tiga

kerajaan, yaitu Karangasem–Bangli–Klungkung (http://luhde.nawalapatra.com/).

Pada tahun 1930, pemerintah Belanda juga pernah mengadakan Volkstelling,

semacam sensus yang dilakukan untuk mencatat kedatangan imigran Tiongkok

masuk Indonesia. Hasilnya, kedatangan imigran Tiongkok periode tahun 1869

sampai 1890 naik dari 221.438 jiwa sampai 451.089 jiwa. Total jumlah imigran

Tiongkok yang telah masuk ke Indonesia sampai tahun 1930 telah mencapai

1.233.214 jiwa.

Berjalannya kehidupan warga Tiongkok di Bali yang dominan dihuni oleh agama

Hindu, menimbulkan keragaman etnis atau multietnis di beberapa daerah, salah

satunya adalah di Bangli. Pembahasan dalam esai ini akan difokuskan pada

pluralisme di sebuah dusun di Kabupaten Bangli, yaitu Dusun Lampu. Pluralisme

di dusun ini dapat dikatakan sebagai salah satu ciri khas masyarakat. Bahkan,

pluralisme tampak sebagai pengemudi utama jalannya kehidupan sehari-hari pada

berbagai bidang di dusun ini.

Dusun Lampu adalah sebuah sebuah dusun di Desa Catur, Kecamatan Kintamani.

Bangli. Menurut Lie Giok Tian, 57 tahun, Ketua Perkumpulan Etnis Tionghoa di

Lampu, nama Desa Lampu berasal dari kisah para prajurit Tionghoa dalam

menjaga perbatasan. Alkisah lebih dari 300 tahun lalu, hanya ada 12 penjaga

(2)

menyerang Kerajaan Bangli di perbatasan Buleleng. Selusin prajurit yang setia

pada raja itu lalu menyalakan banyak lampion di penjuru desa untuk bisa

mengamati musuh. Prajurit lawan malah mengira titik-titik cahaya itu sebagai

pertanda banyaknya musuh yang harus dihadapi. Akhirnya, ekspansi wilayah ini

kemudian dibatalkan (http://www.balebengong.net/).

Dari 12 prajurit yang ditugasi menjaga perbatasan, salah satu prajurit meninggal.

Konon, prajurit etnis Tionghoa yang awalnya berjumlah 11 orang ini akhirnya

menetap di Desa Catur, Kecamatan Kintamani, Bangli. Hingga kini, jumlah warga

Tiongkok di Desa Catur sekitar 65 kepala keluarga dan di Dusun Lampu kurang

lebih 14 kepala keluarga atau sekitar 70 jiwa dengan profesi pokok sebagai petani,

terutama berkebun dan beternak, serta membuka usaha. Walaupun minoritas, etnis

Tionghoa sangat berpengaruh dan memperkaya dusun ini.

Tidak sulit mencari pemukiman etnis Tionghoa di Dusun Lampu. Letak

pemukiman mereka adalah di sebelah kiri jalan yang membentang dari pertigaan

depan pasar Desa Catur menuju ke arah Barat sampai di batas Banjar Lampu.

Sedangkan krama Hindu asli berada di sebelah Utara jalan.

Hal yang unik dari kehidupan warga Tionghoa di Dusun Lampu adalah mereka

tetap berstatus agama Buddha di KTP. Namun, dalam kesehariannya mereka

mengikuti seluruh ritual Hindu dari lahir sampai meninggal dan ditambah ritual

Tionghoa pada beberapa tahapannya. Selain itu, setiap kepala keluarga dari etnis

Tionghoa memiliki tempat suci keluarga berupa Sanggah Kemulan, Taksu,

Padmasari dan pelinggih lainnya yang terletak di bagian hulu rumahnya. Hal yang

membedakan dengan krama Hindu adalah pada etnis Tionghoa, sanggah terletak

tidak dekat dengan jalan raya, sedangkan krama Hindu asli letak pura keluarga

berada di pinggir jalan (http://bloodyredemption.blogspot.com/).

Etnis Tionghoa di dusun ini memang memiliki pura, layaknya krama Hindu.

Namun, mereka juga memiliki tempat suci khusus di dalam rumahnya bernama

(3)

sebagai kepercayaan leluhur Tionghoa. Terdapat juga satu pelinggih yang

memiliki bentuk berupa gedong beratap ijuk bertempat di area kahyangan tiga,

bernama Pura Penyagjagan, pelinggih ini juga disebut Pelinggih Ratu Sah Bandar.

Dalam pemujaan kepada Tuhan serta leluhurnya, etnis Tionghoa di dusun ini

merayakan Imlek setiap tahun sekali pada tanggal 30 Januari. Selain itu, terdapat

juga satu perayaan suci lain, yaitu perayaan suci Cingbing dirayakan setiap

tanggal 5 April, yang dilakukan di tempat suci bernama Abu (bersandingan

dengan Konco). Hal yang unik adalah selain Imlek dan Cingbing, semua etnis

Tionghoa yang tinggal di Banjar Lampu juga merayakan semua perayaan suci

Hindu, seperti Saraswati, Pagerwesi, Galungan, Kuningan, Nyepi, Sivaratri,

Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, Tumpek, Anggarakasih, Buda Kliwon, dan hari

suci lainnya mengikuti perayaan yang dilakukan oleh krama Hindu.

Dalam aktivitas sembahyang yang dilakukan di Pura Keluarga, Pura Kahyangan

Desa dan termasuk pada tempat suci, Konco, juga menggunakan sesajen atau

bebanten seperti lazimnya yang dilakukan oleh umat Hindu Bali, seperti banten

jotan dan canang sari. Demikian juga dalam lafal doanya secara rutin berupa Tri

Sandhya maupun doa dalam Kramaning Sembah. Hanya saja dalam pemujaan

leluhur yang bertempat di Abu dan Konco, doanya menggunakan Bahasa Bali

lumrah sesuai tradisi.

Secara turun-temurun tidak pernah ada larangan bagi etnis Tionghoa untuk

melakukan pernikahan dengan krama asli Hindu. Upacara pernikahannya pun

dilakukan dengan cara masakapan. Dalam pelaksanaan upacara kematian juga

dilakukan dengan ritual Hindu. Ritual ini seperti penyucian arwah menggunakan

banten seperti upacara Ngrorasin. Upacara ini dipimpin pemangku ala Hindu

namun ditambah ritual pemanjatan doa dan atribut Tionghoa. Sedangkan Ngaben

yang dilakukan etnis Tionghoa cukup dengan sarana rumah-rumahan (tanpa bade)

untuk membawa mayat ke kuburan etnis Tionghoa. Di kuburan etnis Tionghoa ini

juga terdapat pelinggih Prajapati dan saat upacara kematian dipimpin oleh

(4)

Besarnya interaksi dalam pluralisme etnis Tionghoa dan krama Hindu di Dusun

Lampu juga tampak pada hal-hal keseharian yang lain, misalnya :

1. tata nama warga Tionghoa mengikuti ciri khas penamaan dalam keluarga

Hindu Bali, yakni dengan memakai nama I Wayan, I Made, I Nyoman, dan I

Ketut,

2. dalam pergaulan sehari-hari menggunakan Bahasa Bali lumrah dan bahasa

Bali halus (singgih),

3. adanya kesempatan yang sama untuk etnis Tionghoa dan krama Hindu dalam

hal kepemimpinan desa maupun banjar. Kepala Dusun Lampu dijabat oleh I

Wayan Wijana sedangkan wakil Kepala Dusun dijabat oleh Po Cing Huang.

Kelihan Banjar Pakraman Lampu dijabat oleh I Made Bakat Karunia,

sedangkan wakil Kelihan Banjar Pakraman Lampu dijabat oleh Ayusta

Wijaya,

4. krama istri, krama teruna dan etnis Tionghoa juga ikut dalam kegiatan

kemasyarakatan untuk bergotong-royong maupun dalam aktivitas sekaa dan

tempekan. Bagi kaum muda Tionghoa turut bergabung dalam Sekaa

Teruna-Teruni Semara Tunggil Banjar Lampu,

5. pada saat ada kegiatan keagamaan Hindu, para krama dari etnis Tionghoa ikut

serta dalam ayah-ayahan, baik dalam sinoman, ancangan, pepeson, punia,

patus, membayar peturunan, dan yang lainnya,

6. etnis Tionghoa juga termasuk dalam pemeliharaan sebelas pelebahan pura

yang ada di wilayah Desa Pakraman Catur, seperti : Pura Puseh, Pura

Baleagung, Pura Dalem, Pura Penyagjagan, Pura Pebini, Pura Bukit Sari, Pura

Pesiraman, Pura Padang Nguah, Pura Melanting, Pura Pesucian, dan Pura

Subak (http://www.babadbali.com/pura/plan/pebini-catur.htm).

Kehidupan multietnis ini membiarkan semuanya berjalan dengan harmonis.

Toleransi dan keragaman membentuk semangat menjalankan interaksi dan

berbagai ritual secara ikhlas. Ritual Hindu, Buddha dan Tionghoa dijalankan

dengan seimbang. Pernah ada satu konflik yang menghantam pluralisme ini.

Konflik ini bukan dari dalam desa melainkan dari pemerintah pusat. Ketika

(5)

menanggalkan identitas agama Budha di KTP, lampu kurung lampion tidak boleh

terlihat di luar kalau ada peringatan agama. Ini disebut zaman pembungkaman.

Namun, zaman ini tidak bertahan lama. Warga Lampu selalu menumbuhkan

adanya rasa saling hormat-menghormati di antara masyarakat yang berbeda etnis

maupun dalam satu etnis.

Pluralisme yang kental dalam interaksi warga Tionghoa-Bali di Dusun Lampu ini

juga menjadi inspirasi bagi seorang filmmaker asal Bali bernama Dwitra J. Ariana.

Hingga lahirlah sebuah film dokumenter yang berjudul Lampion-lampion

produksi Sanggar Siap Selem, Jeruk Mancingan, Susut, Bangli. Film karya Dwitra

J. Ariana ini telah memenangkan Festival Film Dokumenter Bali (FFDB) 2011,

dan didukung oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangli. Film ini

juga kembali dinobatkan sebagai film terbaik dalam Festival Film Kearifan

Budaya Lokal yang diselenggarakan oleh Kementrian Budaya dan Pariwisata RI,

menyisihkan 106 film dari berbagai daerah (http://dadap.wordpress.com/).

Lampion-lampion adalah sebuah film pendek tentang kehidupan multireligi di

Pulau Dewata, antara Budha dan Hindu di mata etnis Tionghoa-Bali di Dusun

Lampu. Masyarakat tidak semestinya dikotakkan begitu saja oleh identitas

masing-masing keagamaan. Melainkan saling melengkapi dengannya, karena kita

tercipta bersama, untuk membantu sesama, dan berguna bagi semua.

Dengan demikian, sebuah kehidupan multietnis bukanlah alasan untuk saling

memisahkan diri atau pemicu sebuah konflik. Interaksi positif dari kehidupan

multietnis ini, seperti yang tergambar dalam kehidupan di Dusun Lampu, dapat

menciptakan suatu keunikan tersendiri bagi suatu daerah. Dari sinilah sebuah

bukti bahwa masyarakat Bali memiliki toleransi yang tinggi itu terlihat. Bahkan,

pluralisme dalam kehidupan multietnis ini telah melahirkan karya terbaik seniman

Bali dalam film Lampion-lampion. Jadi, jangan sampai toleransi itu semakin

memudar dan kebanggaan tingkat nasional maupun dunia terhadap pluralisme di

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa untuk menjamin keamanan data elektronik dalam hal pengakuan terhadap bukti kepemilikan hak atas tanah adalah dengan membangunan database pertanahan secara

Seseorang atlet yang tidak mempunyai kekuatan otot pastinya akan mengalami masalah seperti mengalami kecederaan dan juga salah satu penyebab yang mendorong seseorang atlet

Dari hasil instalasi pada penelitian yang telah dilakukan pada Kampus Aikom Ternate dapat ditulis bahwa jaringan WLAN merupakan teknologi yang bertujuan untuk

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Adhim (2013) tentang pengembangan media animasi interaktif daur biogeokimia menunjukkan bahwa media tersebut sangat layak untuk

Di Negara Republik Indonesia, hak paten dirumuskan sebagai bak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu

Untuk para pemuka agama atau para penceramah di daerah tersebut agar memberikan pengetahuan khususnya mengenai larangan nikah, yang mana yang dilarang dan mana yang

Hal ini dibuktikan dari hasil validasi perangkat dan game edukasi yang dikembangkan dan hasil dari nilai pretest dan posttest siswa pada kelas kontrol dan kelas eksperimen..

penduduk di suatu daerah akan membuat mereka mempunyai keterikatan dengan daerah tersebut karena terdapat cerita masa lalu tentang sejarah penduduk yang tinggal di daerah