F. Gejala dan tanda
Bergantung pada tingginya tekanan darah, gejala yang timbul dapat berbeda-beda. Kadang-kadang gejala didominasi penyakit dasarnya dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti ginjal, mata, otak, dan jantung.
Gejala yang berkaitan dengan organ target penyakit penyebab hipertensi sekunder :
Otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan pengelihatan,
Jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki, tidur dengan bantal tinggi (lebih dari 2 bantal)
Ginjal : haus, poliuri, nokturia, hematuria, hipertensi yang disertasi kulit pucat anemis Arteri perifer : ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten
G. Penegakan diagnosis Anamnesis
1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah 2. Indikasi adanya hipertensi sekunder
Keluarga dengan riwayat penyakt ginjal (ginjal polikistik)
Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuria, pemakaian obat-obat analgesic dan obat/bahan lain
Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi (feokromositoma) Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme)
3. Faktor-faktor resiko
Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga pasien Riwayat hyperlipidemia pada pasien atau keluarganya
Riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarganya Kebiasaan merokok
Pola makan
4. Gejala kerusakan organ
Otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan pengelihatan, transient ischemic attacks, defisist sensoris atau motoris
Jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki, tidur dengan bantal tinggi (lebih dari 2 bantal)
Ginjal : haus, poliuri, nokturia, hematuria, hipertensi yang disertasi kulit pucat anemis Arteri perifer : ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten
5. Pengobatan antihipertensi sebelumnya
6. Faktor-faktor pribadi, keluarga dan lingkungan
Pemeriksaan fisik
Untuk mendiagnosa hipertensi sekunder tidak bisa hanya berdasarkan satu kali pengukuran tekanan darah, diperlukan beberapa kali pengukuran tekanan darah pada janji terpisah untuk mendiagnosa hipertensi sekunder.
Pengukuran tekanan darah :
- Pengukuran rutin di kamar periksa dokter/rumah sakit
- Pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring-ABPM)
- Pengukuran rutin sendiri oleh penderita di rumah (Home blood pressure measurements)
1. Home blood pressure measurements
Pengukuran sendiri tekanan darah di rumah diindikasikan untuk : a. Mengevaluasi efek white coat hypertension
b. Menilai hasil pengobatan obat anti hipertensi terhadap kerusakan target organ
c. Memperbaiki sikap dan kepatuhan pasien terhadap pengobatan dengan obat anti hipertensi.
Pengukuran tekanan darah dirumah lebih rendah (12/7) dan mempunyai korelasi yang lebih baik dengan resiko yang akan terjadi bila dibandingkan dengan pengukuran diruang praktek dokter. Beberapa penelitian menyatakan bahwa pengukuran di rumah lebih mewakili kondisi tekanan darah sehari-hari. Pengukuran tekanan darah dirumah juga diharapkan meningkatkan keberhasilan pengendalian tekanan darah serta menurunkan biaya.
*White coat hypertension. Pada kurang lebih 25% pasien hipertensi didapatkan hasil yang lebih tinggi pada pemeriksaan dikamar periksa dokter atau dirumah sakit bila disbanding dengan pengukuran dirumah, pada saat bekerja atau dengan ABPM. Keadaan ini lebih sering ditemui pada pasien usia lanjut. Konsekuensi klinis dari diagnosis ini adalah meningkatnya resiko kejadian dan mortalitas kardiovaskular, bila dibanding dengan normotensi dan non white-coat hypertension. Untuk menegakkan diagnosis hipertensi diperlukan pemeriksaan ABPM.
2. Ambulatory blood pressure monitoring (ABPM)
Data yang dihasilkan dari pengukuran tekanan darah dengan menggunakan APBM selama aktifitas berlangsung dan pada saat tidur lebih erat hubungannya dengan kerusakan organ target, hipertrofi ventrikeldan kejadian kardiovaskular, bila disbanding denga pengukuran tekanan darah dirumahatau di kamar praktek dokter.
Ada beberapa situasi dimana penggunaan ABPM dapat membantu antara lain :
a. Hipertensi yang borderline atau yang bersifat episodik b. Hipertensi sekunder
Seseorang dikatakan menderita hipertensi bila pada pemeriksaan APBM dengan mean >135/85 mmHg sepanjang hari atau >125/75 mmHg saat tidur.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi antara lain terdiri dari : tes darah rutin, glukosa darah (sebaiknya puasa), kolesterol, total serum, kolesterol LDL dan HDL serum, trigliserida, serum(puasa), asam urat serum, kretinin serum, kalium serum, hemoglobin dan hematokrit, urinalisis(uji carik celup serta sedimen urin), elektrokardiogram.
Beberapa pedoman penanganan hipertensi menganjurkan tes lain seperti : ekokardiogram, USG karotis(dan femoral), C-reactive protein, mikroalbuminuria atau perbandingan albumin/kreatinin urin, proteinuria kuantitatif (jika uji carik positif), funduskopi (pada hipertensi berat)
Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan untuk menentukan adanya penyakit penyerta sistemik, yaitu aterosklerosis (melalui pemeriksaan profil lemak), diabetes (terutama pemeriksaan gula darah), fungsi ginjal (dengan pemeriksaan proteinuria), kreatinin serum,serta memperkirakan laju filtrasi glomerulus).
Pemeriksaan kerusakan organ target
Pada pasien hipertensi, beberapa pemeriksaan untuk menentukan adanya kerusakan organ target dapat dilakukan secara rutin, sedang pemeriksaan lainnya hanya dilakukan bila ada kecurigaan yang didukung oleh keluhan dan gejala pasien. Pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya kerusakan organ target meliputi
1. Jantung : pemeriksaan fisik, foto polos dada (untuk melihat pembesaran jantung, kondisi arteri intra toraks dan sirkulasi pulmoner), elektrokardiografi (untuk deteksi iskemia, gangguan konduksi , aritmia, serta hipertrofi ventrikel kiri), ekokardiografi
2. Pembuluh darah : pemeriksaan fisik termasuk perhitungan pulse pressure, ultrasonografi (USG), karotis, fungsi endotel
3. Otak : pemeriksaan neurologis, diagnosis stroke ditegakkan dengan menggunakan cranial computed tomo-graphy (CT) scan atau magnetic resonance imaging (MRI) (untuk pasien dengan keluhan gangguan neural, kehilangan memori atau gangguan kognitif)
4. Mata : funduskopi retina
5. Fungsi ginjal : pemeriksaan fungsi ginjal dan penentuan adanya proteinuria/mikro-makroalbuminuria serta rasio albumin kreatinin urin, perkiraan laju filtrasi glomerulus, yang untuk pasien dalam kondisi stabil dapat diperkirakan dengan menggunakan modifikasi rumus dari cockroft-Gault sesuai dengan anjuran National kidney foundation (NKF) yaitu :
Klirens kreatinin * =
72 x kreatinin serum
(*glomerulus filtration rate/laju filtrasi glomerulus (GFR) dalam ml/menit/1,73m2
H. Tatalaksana
A. Terapi non farmakologis
Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi ringan dan sebagai tindakan suportif pada hipertensi sedang dan berat. Terapi tanpa obat ini meliputi :
a. Diet
JN7(Joint National Committee) merekomendasikan : Menurunkan berat badan berlebih atau kegemukan,
Pembatasan asupan garam, kurang atau sama dengan 100 meq/L/hari (2,4 g natrium atau 6 g natrium klorida),
Meningkatkan konsumsi buah dan sayur
Menurunkan konsumsi alkohol tidak lebih dari 2 kali minum/hari, Diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak jenuh
Menghentikan merokok
b. Latihan Fisik
Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah olah raga yang mempunyai empat prinsip yaitu :
Macam aktivitas kardiorespirasi seperti lari, jogging, bersepeda, berenang yang non kompetitif
Intensitas olah raga yang baik antara 60-80 % dari kapasitas aerobik atau 72-87 % dari denyut nadi maksimal yang disebut zona latihan.
Lamanya latihan berkisar antara 20 – 25 menit berada dalam zona latihan Frekuensi latihan sebaiknya 3 x perminggu dan paling baik 5 x perming
c. Edukasi Psikologis
Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi meliputi : Tehnik Biofeedback
Biofeedback adalah suatu teknik yang dipakai untuk menunjukkan pada subyek tanda-tanda mengenai keadaan tubuh yang secara sadar oleh subyek dianggap tidak normal. Penerapan biofeedback terutama dipakai untuk mengatasi gangguan somatik seperti nyeri kepala dan migrain, juga untuk gangguan psikologis seperti kecemasan dan ketegangan.
Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan, dengan cara melatih penderita untuk dapat belajar membuat otot-otot dalam tubuh menjadi rileks
d. Pendidikan Kesehatan ( Penyuluhan )
Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang penyakit hipertensi dan pengelolaannya sehingga pasien dapat mempertahankan hidupnya dan mencegah penyakit lebih parah.
B. Terapi farmakologis
Penelitian klinis luas jangka panjang menunjukkan penurunan mortalitas yang jelas karena terapi hipertensi, terutama penurunan angka kejadia stroke, juga karena penurunan angka kematian jantung mendadak dan infark miokard. Manfaat terapi berhubungan dengan derajat hipertensi. Semakin berat hipertensi, semakin besar dampak hipertensi. Namun demikian, dampak terapi bahkan dirasakan pada hipertensi ringan bila resiko kerusakan organ target tinggi atau bahkan telah terjadi kerusakan tersebut. Resiko menurun sejalan dengan menurunnya tekanan darah. Tidak ada bukti yang menunjukkan obat tertentu lebih baik daripada obat lain, walaupun pemilihan obat disesuaikan dengan pasien secara individual :
β Blocker
Seperti atenolol dan metoprolol, menurunkan denyut jantung dan tekanan darah dengan bekerja secara antagonis terhadap sinyal adrenergik. Manfaat jangka panjang dari penggunaannya tidak diragukan lagi, terutama pada penyakit coroner. Efek samping β Bloker diantaranya adalah letargi, impotensi, perifer dingin, eksaserbasi diabetes, dan hyperlipidemia. Kontraindikasi pada penderita asma, hati-hati bila digunakan pada penderita penyakit vaskular perifer.
Diuretik
Diuretik dan diuretic tiazid, seperti bendrofluazid aman dan dan efektif. Antagonis kanal kalsium (calcium channel)
Vasodilator yang menurunkan tekanan darah. Nifepidin (kemungkinan amlopidin) meyebabkan takikardia refleks kecuali bila diberikan juga β Blocker. Diltiazem dan verapamil menyebabkan bradikardia, bermanfaat bila ada kontraindikasi β Blocker. Efek samping : muka merah, edema pergelangan kaki, perburukan gagal jantung (kecuali amlodipin) .
Inhibitor enzim pengubah angiotensin (angiotensin converting enzyme/ACE)
renovaskular, misalnya pada stenosis arteri renalis bilateral. Efek samping diantaranya batuk kering (sering dijumpai) dan angioedema.
Antagonis angiotensin II
Seperti losartan dan vasartan, bekerja antagonis terhadap aksis angiotensin II-renin. Efikasinya sebanding dengan inhibitor ACE, walaupun data penelitian yang mendukung penggunaanya kurang komprehensif. Indikasinya pada gagal jantung atau gangguan fungsi ventrikel kiri jika batuk akibat inhibitor ACE terasa mengganggu. Efeknya dalam fungsi ginjal pada hipertensi renovaskular sama.
Antagonis α
Seperti doksazosin. Vasodilator yang menurunkan tekanan darah dengan bekerja antagonis terhadap reseptor α adrenergic pada pembuluh darah perifer.
Obat-obat lain
Misalnya obat yang bekerja sentral (seperti metildopa atau moksonidin yang lebih baru).
Terapi awal biasannya menggunakan β Blocker dan/atau diuretic. Pedoman terbaru menyarankan penggunaan inhibitor ACE sebagai obat lini kedua, walaupun manfaatnya yang semakin meningkat terhadap penyakit kardiovaskular sering membuat obat ini diberikan sebagai lini pertama.
Indikasi kombinasi terapi oleh dua atau lebih obat antihipertensi adalah jika hipertensi tidak terkontrol dengan dosis optimal satu jenis obat. Pemilihan obat antihipertensi dipengaruhi oleh adanya penyakit lain atau faktor resiko, misalnya pasien yang mengidap gagal jantung, stroke, atau penyakit koroner mendapat manfaat bermakna dari penggunaan β Blocker dan inhibitor ACE.
Tabel. Panduan terapi kombinasi pada pasien hipertensi dengan penyakit penyerta menurut JNC-7 (Chobanian dkk., 2003)
Penyakit penyerta Rekomendasi Obat
Gagal jantung Diuretik, BB, ACEI, ARD, Antagonis aldosteron Postmyocardial infarction BB, ACEI, antagonis aldosteron
High coronary disease risk Diuretik, BB, ACEI, CCB Diabetes Diuretik, BB, ACEI, ARB, CCB Penyakit ginjal kronis ACEI, ARB
Pencegahan kekambuhan stroke Diuretik, ACEI
I. Sasaran terapi dan strategi terapi
dibawah 130/80 untuk pasien yang menderita diabetes atau kelainan ginjal. Kemudian untuk rekomendasi sratategi terapinya di jabarkan dengan modifikasi pola hidup dan berdasarkan umur.
a. Sasaran dan strategimodifikasi pola hidup
Intervensi strategi Sasaran Penurunan
Mengurangi asupan <100 mmol/hari (<6 g NaCl
2-8 mmHg
Aktivitas fisik Aktivitas fisik rutin,
misalnya berjalan minimal 30 menit per hari selama 5 hari dalam 1 minggu
4-9 mmHg
Pengurangan konsumsi
alcohol
<3 unit per hari untuk pria dan
<2 unit per hari untuk wanita
2-4 mmHg
b. Sasaran dan strategi berdasarkan umur
Untuk populasi umum yang berumur ≥ 60 tahun,. Target terapi adalah menurunkan tekanan darah sistolik menjadi < 150 mmHg dan diastolik menjadi < 90 mmHg.
Pada populasi umum berumur < 60 tahun, Target penurunan tekanan darahnya adalah < 90 mmHg.
Pada populasi umum berumur < 60 tahun. Target terapi adalah menurunkan tekanan darah sistolik menjadi < 140 mmHg
Pada populasi berumur ≥ 18 tahun yang menderita penyakit ginjal kronik, Target terapi adalah menurunkan tekanan darah sistolik menjadi < 140 mmHg dan diastolik < 90 mmHg.
Pada populasi berumur ≥ 18 tahun yang menderita diabetes, Target terapi adalah menurunkan tekanan darah sistolik menjadi < 140 mmHg dan diastolik < 90 mmHg.
Strategi untuk meningkatkan kepatuhan pada pengobatan :
Empati dokter akan meningkatkan kepercayaan, motivasi, dan kepatuhan pasien Dokter harus mempertimbangakan latar belakang budaya kepercayaan pasien serta
sikap pasien terhadap pengobatan
Pasien diberitahu hasil pengukuran tekanan darah, target yang masih harus dicapai, rencana pengobatan selanjutnya serta pentingnya mengikuti rencana tersebut
J. Evaluasi
Penderita hipertensi yang telah memulai mendapat pengobatan harus datang kembali untuk evaluasi lanjutan pengaturan dosis obat sampai tekanan sampai target tekanan darah tercapai. Setelah target tekanan darah tercapai dan stabil, kunjungan selanjutnya dengan interval 3-6 bulan, tetapi frekuensi kunjungan ini ditentukan oleh adanya tidaknya komorbiditas seperti gagal jantung, penyakit yang berhubungan seperti diabetes, dan kebutuhan akan pemeriksaan laboratorium. Jika dalam 6 bulan, target pengobatan (termasuk target tekanan darah) tidak tercapai, harus dipertimbangkan untuk melakukan rujukan ke dokter spesialis atau subspesialis. Bila selain hipertensi ada kondisi lain seperti DM atau penyakit ginjal, baik American Diabetes Association(ADA) maupun International society of nephrology(ISN) dan NKF menganjutkan rujukan kepada seorang dokter yang ahli jika laju filtrasi glomerulus mencapai <60 ml/menit/1,73m2, atau jika ada kesulitan dala mengatasi hipertensi atau hyperkalemia, serta rujukan kepada konsultan nefrologi jika laju filtrasi glomerulus mencapai < 30ml/men/1,73m2 ,atau lebih awal jika pasien beresiko mengalami penurunan fungsi ginjal yang cepat atau diagnosis prognosis pasien diragukan.