• Tidak ada hasil yang ditemukan

LIBRARY RESEARCH Kekuatan Mengikat Putus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "LIBRARY RESEARCH Kekuatan Mengikat Putus"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

“Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Internasional dalam

Praktik Hukum Nasional di Indonesia”

Nama :SANTI DWI

WAHYUNI (8111416122)

FIRA SAPUTRI YANUARI (8111416181)

Rombel : 005

Matakuliah : Hukum Internasional

Hari, jam, dan tempat kuliah : Rabu, 13.00-16.20, K1.312

Dosen : Ridwan Arifin, S.H.,LLM.

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG SEMARANG

(2)

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan library research, yang berjudul “Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Internasional dalam Praktik Hukum Nasional di Indonesia”. Dimana didalam judul tersebut membahas tentang Internasional Court of Justice atau Mahkamah Internasional.

International Court Of Justice didirikan pada tahun 1945 berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Didirikannya International Court Of Justice adalah untuk menyelesaikan kasus-kasus persengketaan dengan cara damai dan dilarang menggunakan cara kekerasan, sehingga Negara-negara yang sedang bersengketa tidak perlu menyelesaikan sengketa dengan cara kekerasan.

Tugas utama dari International Court Of Justice adalah untuk menyelesaikan sengketa-sengketa internasional mencakup bukan saja sengketa-sengketa antar negara saja, melainkan juga kasus-kasus lain yang berada dalam lingkup pengaturan internasional, dalam menyelesaikan sengketa antar negara, Internasional Court of Justice mempunyai kewenangan atau yuridiksi yang meliputi kewenangan untuk memutuskan perkara-perkara para pihak yang bersengketa dan kewenangan untuk memberikan opini-opini/nasihat kepada negara-negara yang meminta.

Diharapkan library research ini dapat membawa manfaat bagi kita semua, memberikan informasi dan menambah wawasan kita semua tentang Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Internasional dalam Praktik Hukum Nasional di Indonesia. Kami menyadari bahwa library research ini masih jauh dari kata sempurna.

Sehubungan dengan hal ini kritik dan saran dari para pembaca yang bersifat membangun tentu kami harapkan demi sempurna nya library research.

Akhir kata, kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang berperan serta dalam penyusunan library research ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin.

(3)

Tim Penyusun

DAFTAR ISI

Halaman Sampul……… i

Kata Pengantar………... ii

Daftar Isi………. iii

Daftar Tabel/Gambar……….... vi

Daftar Putusan/Kasus……….... v

Bab I Pendahuluan………...1

A. Latar Belakang……….. 1

B. Rumusan Masalah……… 3

C. Metode Penulisan………. 3

Bab II Pembahasan………... 4

A. Yuridiksi Mahkamah Internasional………. 4

B. Keterkaitan keputusan Mahkamah Internasional terhadap praktek hukum nasional di Indonesia……….…... 7

C. Pengaruh Keputusan Mahkamah Internasional Dalam Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan Terhadap Penetapan Garis Pangkal Kepulauan Indonesia………... 8

BAB III Kesimpulan……… 13

(4)

DAFTAR TABEL/GAMBAR

Gedung Mahkamah Internasional

Gambar 1.1

Suasana Sidang Mahkamah Internasional

Gambar 1.2

(5)

Gambar 1.3

DAFTAR PUTUSAN

Pada tahun 1998 masalah sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya dalam voting di lembaga itu, Malaysia di menangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari sultan sulu akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassa.

(6)

bab tersendiri. Oleh karena itu, Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia sebagai penggantinya sekaligus mencabut keberadaan Undang-undang yang lama.

Undang-undang yang baru menyesuaikan dengan UNCLOS 1982 yang telah mengatur secara khusus tentang negara kepulauan. Undang-undang ini tidak lagi hanya menggunakan satu sistem penarikan garis pangkal tapi merupakan kombinasi dari ketiga cara penarikan garis pangkal yang ada dalam UNCLOS 1982.

Dengan demikian, kejelasan posisi garis pangkal dalam mengatur batas laut antar negara menjadi sangat penting. karena dalam Pasal 48 UNCLOS 1982 menetapkan bahwa pengukuran lebar laut wilayah, zona tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen diukur dari garis pangkal. Namun, hasil resmi putusan Mahkamah Internasional menjadikan Indonesia berpeluang kecil untuk menjadikan kedua pulau tersebut sebagai titik dasar pengukuran garis pangkal kepulauan. Dikarenakan Malaysia juga berkepentingan untuk menjadikan kedua pulau tersebut sebagai titik dasar pengukuran garis pangkal negaranya. Apabila terjadi tumpang tindih, maka diselesaikan secara bersama berdasarkan ketentuan Pasal 67 Settlements of Disputes and Advisory Opinions, khususnya di landas kontinen.

(7)
(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

International Court Of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional adalah lembaga kehakiman Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkedudukan di Den Haag Belanda, lembaga peradilan ini didirikan pada tahun 1945 berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan resmi bersidang pada tahun 1946.1

International Court Of Justice dibentuk berdasarkan Bab IV pasal 92 sampai dengan pasal 96 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dirumuskan di San Fransisco. Pada pasal 92 disebutkan bahwa International Court Of Justice adalah organ utama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.2

Tugas utama dari International Court Of Justice adalah untuk menyelesaikan sengketa-sengketa internasional mencakup bukan saja sengketa-sengketa antar negara saja, melainkan juga kasus-kasus lain yang berada dalam lingkup pengaturan internasional. Yakni beberapa kategori sengketa tertentu antara negara di satu pihak dan individu- individu, badan-badan korporasi serta badan-badan-badan-badan bukan negara di pihak lain. Sebagaimana diketahui bahwa didirikannya International Court Of Justice adalah untuk menyelesaikan kasus-kasus persengketaan dengan cara damai dan dilarang menggunakan kekerasan dalam menyelesaiakan suatu sengketa internasional.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Mahkamah Internasional adalah institusi pengadilan yang memutuskan kasus berdasarkan hukum internasional yang ada saat pengambilan keputusan tersebut. Sehingga yuridiksi yang dimiliki Mahkamah Internasional yaitu tidak dapat membuat hukum secara resmi karena bukan merupakan organ legislatif. Mahkamah Internasional telah menegaskan bahwa “it states the existing law and does not legislate. This is so even if, in stating and applying the law, the court necessarily has to specify it is scope and sometimes note it is general trend”.3

1J.G. Starke. (1992). Pengantar Hukum Internasional edisi kesepuluh. Jakarta: Sinar Grafika. p.269. 2Damos Dumoli Agusman. (2014). Indonesia dan Hukum Internasional: Dinamika Posisi Indonesia Terhadap Hukum Internasional. Jurnal Ilmu Hukum, 15, 15.

(9)

Maka berdasar atas penjelasan tersebut tugas Mahkamah Internasional harus merespon berdasarkan hukum internasional, sengketa hukum yang diajukan kepadanya. Sambil menginterpretasikan dan menerapkan hukum, Mahkamah Internasional harus menyadari dan memperhatikan konteks, tetapi tugasnya tidak lebih dari itu. Dengan demikian yuridiksi dari Mahkamah Internasional meliputi sengketa-sengketa hukum seperti4:

1. Interpretasi dari perjanjian internasional. 2. Masalah hukum internasional.

3. Fakta-fakta yang merupakan pelanggaran kewajiban internasional. 4. Ganti rugi untuk pelanggaran kewajiban internasional.

Didalam menangani kasus-kasus tersebut Mahkamah Internasional akan menerapkan5:

1. Konvensi Internasional, aturan-aturan yang nyata-nyata diakui oleh pihak yang bersengketa.

2. Kebiasaan internasional sebagai bukti praktek umum yang diterima sebagai hukum.

3. Asas-asas hukum umum.

Sebagai sumber-sumber tambahan untuk menentukan aturan hukum, Mahkamah Internasional juga mempertimbangkan keputusan-keputusan pengadilan dan tulisan-tulisan ahli-ahli hukum terkenal. Di samping keputusan atas kasus-kasus perselisihan, Mahkamah Internasional juga berfungsi memberikan advis opini dari masalah-masalah hukum majelis umum, dewan keamanan dan organ-organ lain PBB termasuk badan-badan khusus6, misalnya

tentang interpretasi dari suatu perjanjian internasional.

Disamping juridiksi terhadap permasalahan pokok, Mahkamah Internasional juga memiliki juridiksi insidental berkenaan dengan tiga hal, dengan melalui proses-proses perkara secara interlokutor (rekan dialog). Hal yang pertama adalah “preliminary objection”. Apabila suatu pihak mempertanyakan juridiksi Mahkamah, maka hal ini ditangani oleh Mahkamah sebagai tambahan pada

4Pasal 36 Statuta Mahkamah Internasional.

(10)

putusan nya dan tanpa mengurangi arti keputusan mengenai pokok permasalahan yang sebenarnya.7

Hal yang kedua adalah permohonan campur tangan. Menurut pasal 63 statuta terdapat hak untuk campur tangan bagi negara peserta suatu perjanjian dimana penafsiran perjanjian itu menjadi pokok perkara dalam suatu sengketa. Semua permohonan untuk campur tangan lain nya dikabulkan atau tidak bergantung pada kebijakan mahkamah berdasarkan pasal 62 statuta. Bentuk interlocutory proceeding ketiga adalah permohonan untuk memerintahkan tindakan-tindakan sementara untuk melindungi hak-hak para pihak berdasarkan atas pasal 41 statuta.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana bentuk yuridiksi mahkamah internasional?

2. Bagaimana keterkaitan keputusan Mahkamah Internasional terhadap praktek hukum nasional di Indonesia?

3. Apa contoh konkrit dari keputusan Mahkamah Internasional dalam penyelesaian kasus sengketa yang putusan nya memiliki kekuatan hukum mengikat?

C. Metode Penulisan

1) Sumber dan Jenis Data

Data-data yang dipergunakan dalam penyusunan makalah ini berasal dari berbagai literatur kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Beberapa jenis referensi utama yang digunakan adalah buku tentang ilmu hukum, jurnal nasional dan jurnal internasional edisi online, dan jurnal yang diterbitkan oleh FH Unnes. Jenis data yang diperoleh bersifat kualitatif.

2) Pengumpulan Data

Metode penulisan bersifat studi pustaka. Informasi didapatkan dari berbagai literatur dan disusun berdasarkan hasil studi dari informasi yang

7Firdaus. (2014). Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Perundang-undangan Nasional.

(11)

diperoleh. Penulisan diupayakan saling terkait antar satu sama lain dan sesuai dengan topik yang dibahas.

3) Analisis Data

Data yang terkumpul diseleksi dan diurutkan sesuai dengan topik kajian. Kemudian dilakukan penyusunan makalah berdasarkan data yang telah dipersiapkan secara logis dan sistematis.

4) Penarikan Kesimpulan

Simpulan didapatkan setelah merujuk kembali pada rumusan masalah serta pembahasan. Simpulan yang ditarik mempresentasikan pokok bahasan makalah dengan bahasa yang singkat, padat, dan jelas.

BAB II PEMBAHASAN

A. Yuridiksi Mahkamah Internasional Tinjauan Umum

Telah ditegaskan bahwa “fungsi Mahkamah ialah menyatakan hukum”8 dan

Mahkamah hanya dapat mengambil keputusan berdasarkan hukum saja. Disebutkan bahwa ketika memilih di antara berbagai dasar yang melandasi penerimaan atau penolakan terhadap yurisdiksi, ada tiga kriteria yang dapat digunakan untuk pedoman Mahkamah Internasional.

Pertama, konsistensi dengan hukum kasus sebelumnya demi meneteapkan prediktabilitas sebab “konsistensi adalah hakikat penalaran yudisial”; kedua, kepastian, yaitu, Mahkamah harus memilih dasar yang paling meyakinkan di dalam hukum; dan ketiga, sebagai organ yudisial utama Perserikatan Bangsa-Bangsa, Mahkamah Internasional harus9 “menyadari dan

menaruh perhatian akan kemungkinan implikasi dan konsekuensi terhadap kasus-kasus lain yang masih menunggu putusan”.

8J.G. Starke. (1992). Pengantar Hukum Internasiona edisi kesembilanl. Jakarta: Aksara Persada Indonesia. p.183.

(12)

Mahkamah sendiri memiliki fungsi-fungsi hukum, sehingga, kedua organ sama-sama dapat menjalankan fungsi secara sendiri-sendiri tetapi saling melengkapi menyangkut peristiwa yang sama. Fungsi esensial Mahkamah Internasional ialah menyelesaikan sengketa-sengketa yang diajukan kepadanya sesuai dengan hukum internasional10 dan menghindari

memutuskan persoalan-persoalan yang tidak termasuk usulan akhir para pihak.11 Ketentuan perihal hukum internasional itu berhubungan dengan

sumber-sumber hukum yang akan diterapkan Mahkamah, dan ketentuan itu baru dipertimbangkan kemudian.

Bentuk Sengketa Hukum

Pasal 36 ayat (2) Statuta Mahkamah mewajibkan agar perkara yang dibawa ke hadapannya harus sengketa hukum.12 Sengketa hukum harus dibedakan

dari situasi yang mungkin menimbulkan friksi internasional atau menimbukan sengketa. Perbedaannya halus tetapi penting, sebab demi proses penyelesaian dapat berjalan dengan baik, harus ada isu khusus atau isu-isu khusus yang dapat segera dikenali untuk diselesaikan.

Agar sengketa dapat menarik perhatian Mahkamah Internasional, para pihak harus mencantumkan pandangan-pandangannya, terutama penggugat di dalam gugatannya, tetapi Mahkamah sendirilah yang akan menentukan subjek perkara pada sengketa yang diperiksanya. Hal ini dilakukan dengan tak hanya memperhitungkan usulan tetapi juga gugatan tersebut sebagai satu keseluruhan, argumen-argumen penggugat di hadapan Mahkamah dan dokumen-dokumen lain yang disebutkan, termasuk pernyataan publik penggugat. Jika Mahkamah menyimpulkan bahwa sengketa yang bersangkutan telah sirna saat Mahkamah sedang membuat keputusannya, karena tujuan klaim telah tercapai dengan cara lain, misalnya, maka “konsekuensi-konsekuensi yang perlu” akan ditarik dan tidak ada keputusan yang dikeluarkan.13

10Mochtar Kusumaatmadja. (1976). Pengantar Hukum Internasional Buku I: Bagian Umum.

Bandung: Bina Cipta. p.55. 11Ibid.

(13)

Yuridiksi yang menimbulkan Sengketa

Yuridiksi Mahkamah Internasional terbagi dua: kapasitasnya untuk memutuskan sengketa di antara negara-negara, dan kapasitasnya untuk memberikan advisory opinion bila diminta demikian oleh entitas yang memenuhi syarat. Mahkamah mengaskan bahwa persoalan tentang penetapan yuridiksi adalah persoalan yang harus diputuskan oleh Mahkamah sendiri. Diselesaikan Mahkamah berdasarkan fakta-fakta yang relevan. Mahkamah punya kebebasan untuk memilih dengan dasar apa akan menjatuhkan putusan, dan jika yuridiksinya dipertanyakan dengan berbagai alasan, Mahkamah bebas mendasarkan keputusannya pada satu dasar atau lebih pilihannya sendiri, terutama “dasar yang menentukan putusannya lebih langsung dan konklusif”.14 Begitu Mahkamah Internasional sudah membuat

keputusan mengenai, yuridiksi, keputusan itu bersifat res judicata, yaitu, menjadi tidak dapat diubah lagi dan mengikat atas para pihak. Tunduk hanya pada kemungkinan revisi di bawah Pasal 61 Statuta Internasional.

Bukti

Mahkamah punya kompetensi inter alia untuk menentukan keberadaan fakta apa pun yang jika diresmikan akan merupakan pelanggaran suatu kewajiban internasional.15 Mahkamah dapat membuat kesepakatan apa pun

yang menyangkut pengambilan bukti, meminta para wakil membuatkan dokumen apa pun atau memberikan penjelasan yang mungkin diperlukan, atau sewaktu-waktu mengadakan mekanisme penyelidikan atau meminta pendapat pakar. Mahkamah bahkan dapat melakukan kunjungan langsung (on-site visit). Namun, Mahkamah tidak punya wewenang untuk memaksakan pembuatan bukti pada umumnya, juga tidak dapat memerintahkan para saksi agar memberikan bukti, pun tidak ada pandangan untuk proses hukum karena menghina pengadilan (contempt of court).

14I Wayan Farthian. (1990). Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia.

(14)

Beban pembuktian terletak pada pihak yang berusaha menegaskan fakta atau fakta-fakta khusus, tetapi Mahkamah juga menyatakan bahwa dalam perkara yuridiksi tidak ada pengecualian beban pembuktian. Di lain pihak, beban pembuktian dan beban pembuktian yang relative tinggi, terletak pada negara penggugat yang ingin mengintervensi. Negara seperti itu “harus membuktikan secara meyakinkan pernyataannya, dan oleh karena itu … memikul beban pembuktian”, meski hanya diwajibkan membuktikan bahwa kepentingannya mungkin terpengaruh, bukan bahwa negara itu hendak terpengaruh atau harus terpengaruh demikian. Negara penggugat harus mengenali kepentingan bersifat hukum yang dipersoalkan dan membuktikan pengaruh yang dialami kepentingannya itu.16

Intervensi pihak ketiga

Tidak ada yang namanya hak umum melakukan intervensi oleh pihak ketiga di dalam kasus-kasus yang diperiksa Mahkamah Internasional, tidak ada prosedur penggabungan pihak baru dari Mahkamah sendiri, juga tidak ada kewenangan yang dapat dikendalikan Mahkamah agar negara pihak ketiga dapat dijadikan pihak yang melakukan proses hukum.

Pada dasaranya, Mahkamah mengizinkan intervensi oleh pihak ketiga meskipun satu pihak atau kedua belah pihak pada kasus tersebut menentangnya. Tujuan intervensi dibatasi dengan cermat dan didefinisikan dengan teliti dalam hal perlindungan kepentingan hukum suatu negara yang mungkin terpengaruh oleh keputusan dalam suatu kasus yang ada, dan karenanya intervensi tidak dapat digunakan sebagai pengganti proses hukum sengketa, yang didasarkan perjanjian.

B. Keterkaitan keputusan Mahkamah Internasional terhadap praktek hukum nasional di Indonesia

Kenyataan bahwa pengadilan-pengadilan nasional hatus mengutamakan hukum nasional dalam hal adanya pertentangan dengan hukum internasional,

(15)

tidak mempengaruhi kewajiban negara itu untuk menunaikan kewajiban-kewajiban internasioalnya.17 Kedudukan hukum Internasioanal dalam peradilan

nasional terkait dengan doktrin “Inkorporasi” dan doktrin “Transformasi”.

Ada bermacam-macam isu yang kini dihadapi Mahkamah. Mengenai akses untuk mencapai Mahkamah, misalnya, telah diusulkan agar Sekertaris Jenderal PBB, negara-negara dan pengadilan-pengadilan nasional juga diberi kewenangan untuk meminta advisory opinion, sementara itu peluang yang mengizinkan organisasi internasional menjadi pihak dalam proses hukum sengketa pun bertambah. Barangkali yang lebih utama, isu hubungan di antara Mahkamah dan organ-organ politik PBB, terutama Dewan Keamanan, muncul kembali sebagai konsekuensi revitalisasi Dewan Keamanan dalam tahun-tahun terakhir dan peningkatan aktivitasnya.

Peran keputusan dan advisory opinion ICJ (dan PCIJ sebelumnya) amat sangat diperlukan dalam perkembangan hukum Internasional.18 Lebih lanjut,

meningkatnya jumlah permohonan dalam tahun-tahun terakhir ini menegaskan bahwa kini Mahkamah memiliki peran yang lebih sentral di dalam sistem hukum internasional dari pada yang pernah terbayangkan dalam dua dasawarsa lalu. Tentu saja, mungkin ada banyak konflik internasional yang sangat serius belum pernah di hadapan Mahkamah karena besarnya keengganan negara-negara untuk meletakan kepentingan vitalnya di tangan pengambil keputusan pihak ketiga yang mengikat, tetapi, pertumbuhan sarana resolusi sengketa regional dan global lain juga tidak dapat diabaikan.

Keputusan-keputusan Mahkamah adalah keputusan tunggal (single judgment) dan, berbeda dengan praktek dalam pengadilan internasional biasa, tidak ada keputusan-keputusan terpisah atau penolakan/perbedaan pendapat yang diperkenakan.19 Mahkamah Internasional dalam mengadili suatu perkara,

berpedoman pada perjanjian-perjanjian internasional (traktat-traktat dan kebiasaan-kebiasaan internasional) sebagai sumber-sumber hukum. Keputusan Mahkamah Internasional, merupakan keputusan terakhir walaupun dapat 17G. Starke. (1989). Pengantar Hukum Internasional edisi ketujuh. Jakarta: P.T. Aksara Persada Indonesia. P.78

18Ibid.

(16)

diminta banding. Di samping pengadilan Mahkamah Internasional, terdapat juga pengadilan arbitrasi internasional. Arbitrasi internasional hanya untuk perselisihan hukum, dan keputusan para arbitet tidak perlu berdasarkan peraturan hukum.

Dalam mengeluarkan keputusannya, MI juga menerapkan hukum internasional yang berasal dari traktat, praktik-praktik yang dapat diterima secara luas sebagai hukum (kebiasaan), dan prinsip-prinsip umum yang ditemukan dalam sistem hukum utama dunia. Selain itu, MI juga merujuk pada keputusan hukum di masa lalu atau tulisan para ahli dalam bidang hukum internasional. Keputusan Mahkamah Internasional ini bersifat mengikat, final dan tanpa banding. Artinya mengikat para pihak yang bersengketa dan hanya untuk perkara yang disengketakan.

Ada beberapa dampak yang akan diterima suatu negara yang tidak mematuhi keputusan dari Mahkamah Internasional. Adapun dampak tersebut adalah sebagai berikut: Dikucilkan dari pergaulan internasional, Diberlakukan Travel Warning (peringatan bahaya berkunjung ke negara tertentu terhadap warga negaranya, Pengalihan investasi atau penanaman modal asing, Pemutusan hubungan diplomatik, Pengurangan bantuan ekonomi, Pengurangan tingkat kerjasama, Pemboikotan produk ekspor, dan Embargo ekonomi yang menganggu kegiatan perekonomian.

Tiap-tiap negara anggota PBB harus melaksanakan keputusan mahkamah internasional dalam penyelesaian sengketa, termasuk Indonesia. Jika negara yang bersengketa tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh mahkamah kepadanya, negara pihak lain dapat mengajukan persoalannya kepada Dewan Keamanan. Kalau perlu, dapat membuat rekomendasi-rekomendasi atau memasukkan tindakan-tindakan yang akan diambil supaya keputusan tersebut dilaksankan.

(17)

1. Keputusan Mahkamah Internasional Pengaruhnya Terhadap Penetapan Garis Pangkal Kepulauan Indonesia

Berdasarkan pada UNCLOS 1982 dalam Bab IV Tentang Negara Kepulauan Pasal 46 menyatakan Negara Kepulauan berarti suatu negara yang seluruhnya terdiri dari suatu gugus kepulauan atau lebih dan dapat meliputi pulau-pulau lainnya. Dengan diterimanya konsep negara kepulauan ini maka Indonesia mempunyai dasar hukum sebagai dasar pengaturan hukum laut sebagai negara kepulauan. Sebagai negara kepulauan, maka pengaturan garis pangkal Indonesia juga mendasarkan pada pengaturan garis pangkal kepulauan.20

Undang-undang yang baru ini mengakui garis pangkal lurus kepulauan, disamping garis pangkal biasa dan garis pangkal lurus sebagai cara pengukuran garis pangkal kepulauan Indonesia. Hal ini karena Undang-undang yang baru menyesuaikan dengan UNCLOS 1982 yang telah mengatur secara khusus tentang negara kepulauan. Undang-undang ini tidak lagi hanya menggunakan satu sistem penarikan garis pangkal tapi merupakan kombinasi dari ketiga cara penarikan garis pangkal yang ada dalam UNCLOS 1982.21

Garis-garis pangkal yang digunakan Indonesia secara resmi tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Titik-titik Geografis Garis Pangkal Kepulauan Indonesia sebagai peraturan penjelas dari Undang-undang Nomer 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Selain jenis-jenis garis pangkal, Peraturan Pemerintah ini juga memuat titik-titik dasar pengukuran garis pangkal.

Dengan demikian, kejelasan posisi garis pangkal dalam mengatur batas laut antar negara menjadi sangat penting. karena dalam Pasal 48 UNCLOS 1982 menetapkan bahwa pengukuran lebar laut wilayah, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen diukur dari garis pangkal. Namun, hasil resmi putusan Mahkamah Internasional menjadikan Indonesia berpeluang kecil untuk menjadikan kedua pulau tersebut sebagai titik dasar pengukuran garis

20Adi Sumardiman. (1982). Beberapa Catatan tentang Penetapan Batas Wilayah Laut dalam wawasan Nusantara. Jakarta: Surya Indah. p.88.

(18)

pangkal kepulauan. Dikarenakan Malaysia juga berkepentingan untuk menjadikan kedua pulau tersebut sebagai titik dasar pengukuran garis pangkal negaranya. Apabila terjadi tumpang tindih, maka diselesaikan secara bersama berdasarkan ketentuan Pasal 67 Settlements of Disputes and Advisory Opinions, khususnya di landas kontinen.22

Indonesia harus menggunakan titik garis pangkal yang selama ini ada dalam peraturan perundang-undangannya dengan menghapus posisi Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Sehingga garis pangkal ditarik dari ujung-ujung pulau terluar di sekitar Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang masih termasuk wilayah Indonesia. Dengan tidak boleh ditariknya garis pangkal dengan menggunakan kedua pulau tersebut sebagai titiknya maka jelas bahwa perairan Indonesia yang ada dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 sebagai tindak lanjut peratifikasian UNCLOS 1982 mengalami perubahan. Karena yang dimaksud dengan perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.

Pengaruh perubahan posisi garis pangkal ini juga akan berpengaruh pada pengaturan batas laut yang lain yang masing-masing diuraikan sebagai berikut23 :

1) Wilayah Laut Territorial

Setiap negara mempunyai hak untuk menentukan lebar laut teritorialnya sampai batas tidak melebihi 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Batas terluar laut teritorial adalah garis yang setiap titik-titiknya ada pada suatu jarak yang terdekat dengan titik-titik garis pangkal sejauh lebar laut territorial yang telah ditentukan. Lebar laut teritorial yang seharusnya diukur maksimal 12 mil laut dari Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan tersebut menjadi bukan hak Indonesia lagi. Luas wilayah laut yang didasari Undang-Undang Nomer 6 Tahun 1996 dan peraturan penjelasnya menjadi berkurang.

22Agis Ardiansyah.(2011). Pembakuan Nama Pulau di Indonesia Sebagai Upaya untuk Menjaga Kedaulatan Negara Republik Indonesia. Jurnal Pandecta, 6, 3.

(19)

2) Perairan Kepulauan Indonesia dan Perairan Pedalaman Indonesia

Kedaulatan negara kepulauan meliputi perairan yang dikelilingi oleh garis-garis pangkal tersebut, termasuk udara di atasnya serta dasar laut di bawahnya (Pasal 49). Namun tidak dapat disimpulkan bahwa perairan kepulauan ini sama dengan perairan pedalaman. Konsep perairan kepulauan adalah sesuatu yang baru dalam hukum laut internasional. Perairan seperti ini bersifat sui generis, dimana tidak termasuk perairan pedalaman maupun laut territorial. Perbedaannya adalah bahwa perairan kepulauan tunduk kepada suatu rezim khusus tentang pelayaran dan lintas penerbangan.24

Pada kasus sengketa ini, jika Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan menjadi pengukuran titik garis pangkal, maka perairan yang ada pada sisi dalam dari garis-garis pangkal yang terhubung akan termasuk dalam perairan Indonesia. Dengan tidak dapat dijadikannya sebagai titik penetapan garis pangkal, maka perairan yang tadinya menjadi perairan Indonesia menurut Undang-undang Nomer 6 tahun 1996 menjadi laut teritorial Malaysia. Hal ini jelas suatu kerugian bagi posisi Indonesia.

3) Batas Landas Kontinen

Landas kontinen suatu negara pantai adalah dasar laut dan tanah di bawahnya yang merupakan kelanjutan daratan wilayahnya sampai jarak 200 mil dari garis dasar dan dalam hal tertentu dapat sampai 350 mil laut, tergantung jarak tepian kontinennya (continental margin). Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 76 Konvensi. Negara pantai mempunyai hak untuk melaksanakan kedaulatannya atas landas kontinen untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi sumber alamnya. Hak tersebut ekslusif dalam arti apabila negara pantai tidak mengambilnya, tidak satupun negara diperkenankan melakukannya.

Dengan adanya perubahan posisi garis pangkal indonesia setelah keluarnya putusan Mahkamah Internasional, maka lebar landas kontinen Indonesia juga mengikuti perubahan garis pangkal tersebut. Indonesia mengalami pengurangan lebar landas kontinen sebagaimana jika diukur

(20)

dengan Undang-undang Nomor 6 tahun 1996 yang mencantumkan kedua pulau tersebut sebagai titik pengukuran. Hal inilah yang sebenarnya tidak diinginkan Indonesia karena kekayaan dilandas kontinen sangat besar artinya.

4) Zona Ekonomi Eksklusif

Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) diartikan sebagai suatu daerah diluar laut teritorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial (Pasal 55 dan Pasal 57). Pengaturan tentang penetapan batas-batas ZEE antara negara-negara yang pantainya berhadapan maupun berdampingan diatur dalam Pasal 74 Konvensi. Penetapan batas tersebut harus ditetapkan melalui perjanjian dengan didasarkan pada hukum internasional untuk mendapatkan penyelesaian yang adil.

Apabila tidak dicapai suatu persetujuan, maka negara-negara yang bersangkutan harus menyelesaikan melalui prosedur yang ditetapkan konvensi mengenai penyelesaian sengketa. Dengan adanya perubahan posisi garis pangkal Indonesia setelah keluarnya putusan Mahkamah Internasional, maka lebar ZEE Indonesia juga mengikuti perubahan garis pangkal tersebut. Indonesia mengalami pengurangan lebar sebagaimana jika diukur dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 yang mencantumkan kedua pulau sebagai titik-titik pengukuran. Artinya, hak-hak yang diterima Indonesia di wilayah ini juga mengalami perubahan.

2. Konsekuensi yang Harus Dilakukan Indonesia Pasca Keputusan Mahkamah Internasional

1. Revisi PP No.38 tahun 2002

(21)

mencantumkan posisi Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan tidak boleh lagi digunakan sebagai titik pengukuran garis pangkal Indonesia. Keduanya tidak boleh lagi dicantumkan dalam daftar resmi titik pangkal kepulauan Indonesia. 2. Membuat rencana lebar laut territorial

Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia menetapkan lebar laut territorial Indonesia adalah jalur selebar 12 mil yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Hal ini sesuai pasal 4 UNCLOS lebar maksimum laut teritorial yang diperkenankan bagi suatu negara adalah 12 mil laut.25

Dengan ditemukannya posisi garis pangkal yang baru maka pengukuran garis pangkal di perairan Sulawesi lebih mudah untuk ditentukan, yang perlu diperhatikan, posisi negara Indonesia dan Malaysia yang pantainya berhadapan di sekitar Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, mengharuskan penentuan lebar laut territorial ini melibatkan dua negara. Sesuai Pasal 15 UNCLOS Indonesia dan Malaysia harus membuat suatu persetujuan penentuan batas laut territorial kedua negara.

3. Menentukan rencana posisi titik-titik garis pangkal yang baru disekitar perairan Sulawesi (disekitar pulau Sipadan dan Pulau Ligitan)

Rencana perubahan yang harus dilakukan tetap mengacu pada PP Nomor 38 tahun 2002 tentang daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia. Jika kita hubungkan dengan Pulau Sipadan dan Ligitan, maka seharusnya titik-titik dasar perairan Sulawesi (di sekitar Pulau Sipadan dan Ligitan) adalah titik pulau Sipadan, Ligitan, Tanjung Arang, Pulau Maratua dan Pulau Sambit. Karena pulau Sipadan dan Ligitan tidak lagi termasuk wilayah Indonesia, maka titik-titik yang dipakai adalah Tanjung Arang, Pulau Maratua dan Pulau Sambit.

Dengan diperoleh titik-titik dasar pengukuran maka dapat ditentukan posisi garis pangkal. Garis pangkal Indonesia sebagai negara kepulauan ditarik dari Pulau Sebatik menuju Tanjung Arang lalu ke Pulau Maratua. Garis pangkal yang diterapkan pada titik-titik tadi adalah garis pangkal lurus kepulauan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 47 UNCLOS. Garis pangkal ditarik dari

(22)

titik terluar pulau terluar Indonesia. Panjang maksimal garis pangkal tadi tidak boleh melebihi 100 mil laut. Selain itu, penarikan garis pangkal juga tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi kepulauan.26

BAB III KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa International Court Of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional adalah lembaga kehakiman Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkedudukan di Den Haag Belanda, lembaga peradilan ini didirikan pada tahun 1945 berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan resmi bersidang pada tahun 1946. Mahkamah Internasional mempunyai kebebasan untuk memilih dengan dasar apa akan menjatuhkan putusan, dan jika yuridiksinya dipertanyakan dengan berbagai alasan, Mahkamah bebas mendasarkan keputusannya pada satu dasar atau lebih pilihannya sendiri, terutama “dasar yang menentukan putusannya lebih langsung dan konklusif.

Salah satu kasus yang melibatkan Indonesia, kemudian dibawa ke Mahkamah Internasional yaitu kasus perebutan wilayah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dengan Malaysia. Hingga kemudian hasil keputusannya dimenangkan oleh Malaysia. Hal ini berdampak bahwa apabila Mahkamah Internasional sudah membuat keputusan mengenai, yuridiksi, keputusan itu bersifat res judicata, yaitu, menjadi tidak dapat diubah lagi dan mengikat atas para pihak. Tunduk hanya pada kemungkinan revisi di bawah Pasal 61 Statuta Internasional.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

(23)

Arsana, Made Andi. (2007). Batas Maritim Antar Negara. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Bowett, D.W. (1995). Hukum Organisasi Internasional. Jakarta: Sinar Grafika.

Djalal, Dino Pati. (1996). The Geopolitics of Indonesia’s Maritime Territorial Policy. Jakarta:CSIS.

Farthian, I Wayan. (1990). Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia. Bandung: Mandar Maju.

Hartono, M. Dimyati. (1983) . Hukum Laut Internasional, Yurisdiksi Nasional Indonesia Sebagai Negara Nusantara. Bandung: Bina Cipta.

Kusumaatmadja, Mochtar. (1976). Pengantar Hukum Internasional Buku I: Bagian Umum. Bandung: Bina Cipta.

Kusumaatmadja, Mochtar (2003). Pengantar Hukum Internasional. Bandung: P.T. Alumni.

Mauna, Bour. (2005). Hukum Internasional, Pengertian Peranan Dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: P.T. Alumni.

Shaw, Malcolm. (2013). Hukum Internasional. Bandung: Nusa Media.

Starke, G. (1989). Pengantar Hukum Internasional edisi ketujuh. Jakarta: P.T. Aksara Persada Indonesia.

Starke, G. (1992). Pengantar Hukum Internasiona edisi kesembilan. Jakarta: Aksara Persada Indonesia.

Starke, G. (1992). Pengantar Hukum Internasional edisi kesepuluh. Jakarta: Sinar Grafika.

Sumardiman, Adi. (1982). Beberapa Catatan tentang Penetapan Batas Wilayah Laut dalam wawasan Nusantara. Jakarta: Surya Indah.

Suwardi, Sri Seianingsih. (2006). Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta: UI Press.

Thontowi, Jawahir. (2002). Hukum Internassional di Indonesia. Yogyakarta: Madyan Press. Z

Peraturan

Pasal 92 Piagam PBB

(24)

Pasal 96 Piagam PBB

Pasal 63 Statuta Mahkamah Internasional Pasal 62 Statuta Mahkamah Internasional Pasal 41 Statuta Mahkamah Internasional Pasal 36 ayat (2) Statuta Mahkamah

Pasal 61 Statuta Internasional

Pasal 46 UNCLOS 1982 dalam Bab IV Tentang Negara Kepulauan -Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Titik-titik Geografis Garis Pangkal Kepulauan Indonesia

Pasal 48 UNCLOS 1982

Jurnal

Agusman, Damos. (2014). Indonesia dan Hukum Internasional: Dinamika Posisi Indonesia Terhadap Hukum Internasional. Jurnal Ilmu Hukum, Vol 15.

Ardiansyah, Agis (2011). Pembakuan Nama Pulau di Indonesia Sebagai Upaya untuk Menjaga

Kedaulatan Negara Republik Indonesia. Jurnal Pandecta, Vol6.

Firdaus. (2014). Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Perundang-undangan Nasional.

Jurnal Ilmu Hukum, Vol 8.

Gambar

Gambar 1.1Suasana Sidang Mahkamah Internasional
Gambar 1.3DAFTAR PUTUSAN

Referensi

Dokumen terkait

Perusahaan dengan pertumbuhan laba rendah akan semakin memperkuat hubungan antara debt to equity yang berpengaruh negatif dengan profitabilitas, karena

Hasil uji ini menunjukkan bahwa semakin besar kemudahan yang dirasakan oleh nasabah pengguna e- banking maka akan semakin besar penerimaan penggunaannya, pihak

Perjanjian luhur rakyat Indonesia adalah suatu perjanjian yang disepakati bersama oleh seluruh rakyat Indonesia dan harus diamalkan serta dilestarikan.Pada saat

Hasil penelitian menunjukan penambahan zat aditif dalam orde mg menurunkan efisiensi penandaan 99m Tc-CTMP hingga < 90%, sedangkan penambahan asam askorbat dan PABA dalam orde

Pemilihan khalifah tersebut dilaksanakan oleh para tokoh sahabat yang mewakili dua golongan yaitu Anshar dan Muhajiriin, Mereka ini uang kemudian oleh ulama fiqh diklaim sebagai

Pada tabel 2 menyatakan bahwa senyawa 5 memiliki gap terbesar seperti yang terlihat pada gambar 2 dengan harga 5 eV, hal ini menandakan bahwa senyawa 5 adalah

Menurut Lima (2012) pada penelitiannya tentang legum menyatakan bahwa perendaman benih yang paling efektif pada benih Leguminosa Centro dan Siratro adalah selama 10

Kendala yang Dihadapi Mahasiswa dalam Proses Akulturasi Budaya dalam Pergaulan Sosial di Kampus UPP Tegal UNNES adalah (1) Asal daerah, Diferensiasi asal daerah