• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEBAGAI UPAYA YANG LUAR BIASA DI BIDANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SEBAGAI UPAYA YANG LUAR BIASA DI BIDANG"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN

SEBAGAI UPAYA YANG LUAR BIASA DI BIDANG PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Disusun Untuk Memenuhi

Tugas 6 Mata Kuliah Tindak Pidana Korupsi

Oleh :

Nanang Victor Hambali NIM 030571362

Ilmu Hukum

UNIVERSITAS TERBUKA JAKARTA

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sistem pembuktian apabila dikaji dari perspektif sistem peradilan pidana pada umumnya dan hukum acara pidana (formeel strafrecht/strafprocessrecht) pada khususnya, aspek “pembuktian” memegang peranan menentukan untuk menyatakan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh Hakim.1 Pendekatan represif dalam pemberantasan korupsi masih mengalami kesulitan yang terletak pada hal membuktikan tindak pidana korupsi di sidang pengadilan. Hukum pembuktian konvensional dalam KUHAP yang berlandaskan asas presumption of innocence sudah tidak mempermudah pembuktian tindak pidana korupsi di sidang pengadilan.

Oleh karena itu, upaya yang luar biasa di bidang pembuktian perlu dilakukan penyimpangan dari hukum pembuktian umum dengan cara memasukkan ketentuan-ketentuan baru sebagai pengecualian kedalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001) (LNRI 2001-134, TLNRI 4150).

Bentuk hukum penyimpangan pembuktian itu salah satunya ialah menerapkan sistem beban pembuktian terbalik (omkering van het bewijslast/reversal burden of proof) yang bertitik tolak pada asumsi bahwa setiap orang yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi, dianggap bahwa orang tersebut sudah bersalah melakukan tindak pidana korupsi (presumption of guilt). Dengan demikian, dalam proses sidang pengadilan terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan dirinya tidak bersalah seperti pada sistem pembuktian biasa menjadi tidak berlaku. Sekaligus terdakwa mempunyai kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.

(3)

Mengingat tindak pidana korupsi ini sebagai suatu “seriousness crime” yang sulit pembuktiannya, maka sebagian besar kalangan (akademisi dan praktisi) berpendapat bahwa penanganannya harus dilakukan sedemikian rupa dan bersifat luar biasa pula. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi selain dianggap sebagai “seriousness crime” juga memerlukan penanganan yang sangat luar biasa (extra ordinary enforcement or measures), yaitu dalam hal ini melalui pergeseran komprehensif terhadap sistem pembuktian yang ada. Apabila sistem pembuktian dalam hukum pidana (formil) ini tetap menempatkan perangkat Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang wajib membuktikan suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana, maka dalam tindak pidana korupsi beban pembuktian ini diletakkan pada Terdakwa, artinya terdapat suatu “reversal burden of proof” atau “omkering van bewijslast”, yaitu pembalikan beban pembuktian.2

Terdakwa wajib membuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan tidaklah sebagai perbuatan melawan hukum (korupsi). Dengan meletakkan beban pembuktian kepada Terdakwa, maka asas yang diberlakukan dalam tindak pidana korupsi inipun beralih dari “presumption of innocence” (praduga tidak bersalah) menjadi “presumption of corruption” (praduga korupsi) atau “presumption of guilt” (praduga bersalah). Karena itu sering dikatakan bahwa penerapan Sistem Pembalikan Beban Pembuktian merupakan potensi terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia yang prinsipiil sekali. Bayangkan saja, seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi justru harus membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan perbuatan koruptif dengan mengajukan argumentasi yang layak dapat diterima oleh Penuntut Umum selaku wakil masyarakat atau pemerintah.

Oleh karena itu diperlukan tindakan secara terintegrasi dari lembaga penegak hukum melalui integrated criminal justice system, artinya diantara lembaga penegak hukum harus memiliki suatu balanced and equal of power, suatu kewenangan yang berimbang dan sama diantara para penegak hukum. Balanced and equal of power adalah kebangkitan penegak hukum (Polri, Kejaksaan dan KPK) sebagai gerbang terdepan (voorportaal) membuka tabir korupsi kelembagaan dalam konteks due process of law yang prospektif. Dengan demikian, berdasarkan uraian tersebut diatas bahwa fakta-fakta hukum dari setiap persidangan dapat

(4)

dipergunakan oleh hakim untuk mempertimbangkan penerapan sistem pembuktian terbalik dalam proses persidangan tindak pidana korupsi.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis akan menguraikan rumusan masalah yang akan dibahas adalah :

a. Bagaimanakah sistem pembuktian dan beban pembuktian yang berlaku pada umumnya?

b. Bagaimanakah sistem pembuktian dan beban pembuktian yang berlaku pada tindak pidana korupsi?

c. Bagaimanakah sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi?

3. Tujuan

Selain untuk memenuhi Tugas 6 dalam Mata Kuliah Tindak Pidana Korupsi FHISIP UT, tujuan penulisan makalah ini adalah :

a. Untuk mengetahui sistem pembuktian dan beban pembuktian yang berlaku pada umumnya.

b. Untuk mengetahui sistem pembuktian dan beban pembuktian yang berlaku pada tindak pidana korupsi.

(5)

BAB II PEMBAHASAN

1. Sistem Pembuktian

Sistem pembuktian terdiri dari dua kata, yaitu kata “sistem” dan “pembuktian”. Secara etimologis, kata “sistem” merupakan hasil adopsi dari kata asing “system” (Bahasa Inggris) atau “systemata” (Bahasa Yunani) dengan arti “suatu kesatuan yang tersusun secara terpadu antara bagian-bagian kelengkapannya dengan memiliki tujuan secara pasti” atau “seperangkat komponen yang bekerja sama guna mencapai suatu tujuan tertentu”.3

Mengenai arti pembuktian dalam hukum acara pidana terdapat beberapa sarjana hukum mengemukakan definisi yang berbeda-beda. Andi Hamzah mendefinisakan pembuktian sebagai upaya mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.4 Lain lagi dengan M. Yahya Harahap, S.H., dia beranggapan bahwa yang dimaksud dengan pembuktian adalaha ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran.5

Penulis menyimpulkan arti sistem pembuktian dalam konteks hukum acara pidana adalah suatu kesatuan yang tersusun secara terpada antara bagian-bagian kelengkapannya untuk mencari kebenaran terhadap perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa. Maksud kebenaran dalam hukum pidana berbeda dengan kebenaran dalam konteks hukum perdata. Jika pada hukum perdata pembuktian dimaksudkan untuk mencari kebenaran formiil maka pada hukum pidana kebenaran yang dicari adalah kebenaran materiil. Hukum pidana yang berpotensi untuk “merampas” hak asasi seseorang mengharuskan ditemukannya kebenaran tersebut.

3 Diambil dari http://www.karyatulisilmiah.com/pengertian-sistem.html

4 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia: Jakarta 1984, hal 77.

(6)

Untuk mengetahui bagian-bagian yang menyusun sistem pembuktian maka haruslah menganalisis hukum acara pidana. Didalam hukum acara pidana terdapat pihak-pihak yang terlibat dalam rangka membuktikan kebenaran terhadap perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa. Sebagai contoh kita lihat didalam Undang-Undang No.08 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Didalam Pasal 1 Undang-Undang No.08 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem pembuktian terdapat elemen-elemen yang menjadi bagian dalam usaha pencarian kebenaran materiil, yaitu : Penyidik, Penuntut Umum, Penasihat Hukum, Majelis Hakim, Terdakwa, dan Alat Bukti.

Elemen-elemen inilah yang menjadi bagian-bagian dalam sistem pembuktian. Artinya elemen-elemen inilah yang membentuk suatu kesatuan yang tersusun secara terpadu untuk mencari kebenaran terhadap perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.

2. Teori Beban Pembuktian

Dikaji dari perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada 3 (tiga) teori tentang beban pembuktian, yaitu:

a. Beban Pembuktian pada Penuntut Umum

Penuntut umum tiada mempunyai hak tolak atas hak yang diberikan undang-undang kepada terdakwa, namun tidak berarti penuntut umum tidak memiliki hak untuk menilai dari sudut pandang penuntut umum dalam requisitornya.

(7)

b. Beban Pembuktian pada Terdakwa

Terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwalah di depan sidang pengadilan yang akan menyiapkan segala beban pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan, terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Pada asasnya teori beban pembuktian terbalik (Shifting Burden of Proof) ini dinamakan teori ”Pembalikan Beban Pembuktian” (Omkering van het Bewijslast atau Reversal Burden of Proof/ Onus of Proof”).

Pada hakikatnya makna dari Reversal Burden of Proof dan Shifting Burden of Proof berbeda. Jika Shifting Burden of Proof diartikan sebagai “Pergeseran Beban Pembuktian”6 maka Reversal Burden of Proof diartikan sebagai “Pembalikan Beban Pembuktian”. Perbedaan dari kedua pengertian tersebut, jika pada shifting burden of proof pada umumnya diterapkan sebagai pembalikan beban pembuktian yang terbatas atau tidak murni, sedangkan pada reversal burden of proof menggunakan pembalikan beban pembuktian yang murni atau mutlak menurut istilah Indriyanto Seno Adji “Pembalikan Beban Pembuktian yang Total atau Absolut”.7

Dikaji dari perspektif teoritis dan praktik teori beban pembuktian ini dapat diklasifikasikan lagi menjadi pembalikan beban pembuktian yang bersifat murni maupun bersifat terbatas (limited burden of proof). Pada hakikatnya, pembalikan beban pembuktian tersebut merupakan suatu penyimpangan hukum pembuktian dan juga merupakan suatu tindakan luar biasa terhadap tindak pidana korupsi.

c. Beban Pembuktian Berimbang

Konkretisasi asas ini baik Penuntut Umum maupun terdakwa dan/ atau Penasihat Hukumnya saling membuktikan di depan persidangan. Lazimnya Penuntut Umum akan membuktikan kesalahan terdakwa sedangkan sebaliknya terdakwa beserta penasehat hukum akan membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan

6Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan, Jakarta,2006.

(8)

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Asas beban pembuktian ini dinamakan juga asas pembalikan beban pembuktian “berimbang”.

Dalam tindak pidana korupsi menggunakan beban pembuktian terbalik terbatas seperti yang terdapat dalam Pasal 37 ayat (1) UU No. 20 tahun 2001 yang isinya “Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Maksud terbatas yaitu terdakwa memiliki hak untuk membuktikan di depan pengadilan, namun Penuntut Umum harus membuktikan kenapa mengajukan dakwaan tersebut ke pengadilan.

3. Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pada tahun 1971 telah dibentuk UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kemudian pada tahun 1999 diundangkan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menganut sistem pembuktian terbalik terbatas yang terdapat dalam Pasal 37 yang memungkinkan diterapkannya pembuktian terbalik yang terbatas terhadap harta benda tertentu dan mengenai perampasan harta hasil korupsi. UU No. 3 Tahun 1971 dan UU No. 31 Tahun 1999 pada asasnya tetap mempergunakan teori pembuktian negative, kemudian di UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni berupa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian dan Berimbang. Yang mengatur pembuktian terbalik secara lebih jelas yaitu pada Pasal 12 B, 12 C, 37, 37A, 38 A, dan 38 B.

(9)

Burden Proof” (Omkering van Bewijslast). Itu pun tidak dilakukan secara overall, tetapi memiliki batas-batas yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu destruksi terhadap perlindungan dan penghargaan Hak Asasi Manusia, khususnya Hak Tersangka/ Terdakwa.

Penjelasan umum dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 dikatakan pengertian “pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang”, yakni : “terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isterinya atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya”.

Kata-kata “bersifat terbatas” didalam memori atas pasal 37 dikatakan, bahwa apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa “terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi” hal itu tidak berarti bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi, sebab Penuntut Umum, masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Kata-kata “berimbang” dilukiskan sebagai penghasilan terdakwa ataupun sumber penambahan harta benda terdakwa, sebagai income terdakwa dan perolehan harta benda, sebagai output. Antara income sebagai input yang tidak seimbang dengan output atau dengan kata lain input lebih kecil dari output. Dengan demikian diasumsikan bahwa perolehan barang-barang sebagai output tersebut (misalnya rumah-rumah, mobil-mobil, saham-saham, simpanan dolar dalam rekening bank, dan lain-lainnya) adalah hasil perolehan dari tidak pidana korupsi yang didakwakan.

(10)

Martiman Prodjohamidjojo8 menjelaskan, dalam pembuktian tindak pidana korupsi dianut dua teori pembuktian, yakni :

1) Teori bebas, yang diturut oleh terdakwa.

Teori bebas sebagaimana tercermin dan tersirat dalam penjelasan umum, serta berwujud dalam, hal-hal sebagai tercantum dalam pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999, sebagai berikut:

a) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

b) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.

c) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.

d) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber panambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

e) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaaannya.

2) Teori negatif menurut undang-undang, yang diturut oleh penuntut umum.

Teori negatif menurut undang-undang tersirat dalam pasal 183 KUHAP, yaitu : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

(11)

Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, sistem pembuktian terbalik adalah sistem dimana beban pembuktian berada pada terdakwa dan proses pembuktian ini hanya berlaku pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan dengan dimungkinkannya dilakukan pemeriksaan tambahan atau khusus jika dalam pemeriksaan di persidangan ditemukan harta benda milik terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi namun hal tersebut belum didakwakan. Bahkan jika putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi, maka negara dapat melakukan gugatan terhadap terpidana atau ahli warisnya. 9

(12)

BAB III KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan makalah di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa :

1. Sistem pembuktian dalam konteks hukum acara pidana adalah suatu kesatuan yang tersusun secara terpada antara bagian-bagian kelengkapannya untuk mencari kebenaran terhadap perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.

2. Dikenal ada 3 (tiga) teori tentang beban pembuktian yaitu : Beban Pembuktian pada Penuntut Umum, Beban Pembuktian pada Terdakwa, dan Beban Pembuktian Berimbang.

3. Pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi tidak semata-mata pembuktian di tangan terdakwa. Pembuktian pada tindak pidana korupsi menganut pembalikan beban pembuktian terbatas, sehingga kewajiban pembuktian tetap ada pada tangan penuntut umum meskipun terdakwa memiliki hak untuk membuktikan kalau dia tidak bersalah.

4. Dalam pembuktian tindak pidana korupsi dianut dua teori pembuktian, yakni Teori bebas, yang diturut oleh terdakwa dan Teori negatif menurut undang-undang, yang diturut oleh penuntut umum

DAFTAR PUSTAKA BMP Tindak Pidana Korupsi

Lilik Mulyadi, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya, Cetakan I, Alumni, Bandung.

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia: Jakarta 1984.

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini: Jakarta 1993. Martiman Prodjohamidjojo Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31, Tahun

1999), Mandar Maju, Bandung, 2001

Referensi

Dokumen terkait

Mata pelajaran Aqidah-Akhlak di Madrasah Ibtidaiyah berisi pelajaran yang dapat mengarahkan kepada pencapaian kemampuan dasar peserta didik untuk dapat memahami rukun iman

Faktor yang berkontribusi paling besar adalah faktor Supervisor Communications , yang berarti di dalam dalam perusahaan ini sering terjadi Supervisor Communications dan

Hasil pengujian pada Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa metode latent semantic analysis cukup baik dalam mendeteksi kemiripan pada pasangan halaman yang mengandung kesamaan

Data yang digunakan untuk kapabilitas proses variabel adalah data hasil pemeriksaan berat rokok Djarum Coklat fase I dan II yang telah terkendali secara statistika dengan

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis dan menilai sejauh mana kesuksesan investasi sistem informasi yang telah dilakukan oleh perusahaan dengan menggunakan

Dari uraian yang bersifat umum tersebut diambil yang bersifat khusus dalam hadits tentang perwalian anak zina dalam perspektif hadits, bahwa ketika anak perempuan yang

telah menyukai Nathan dari dulupun merasa tidak senang dengan keadaan tersebut.Sehingga Dinda dan teman-temannya selalu mem-bully dan mengganggu kehidupannya Salma

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta Pemerintah mengadakan program sertifikasi yang diberikan kepada para guru, bertujuan untuk meningkatkan kinerja