• Tidak ada hasil yang ditemukan

DISUSUN OLEH MANIK CINDERANO TIPOLOGI BUDAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DISUSUN OLEH MANIK CINDERANO TIPOLOGI BUDAYA"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

DISUSUN OLEH MANIK CINDERANO TIPOLOGI BUDAYA

INTI SARI

Budaya yang terkait dengan penelitian bisnis akan memerlukan kerangka kerja yang jelas untuk aplikasi dan analisis dari fenomena kompleks ini. Penelitian bisnis telah sangat mengandalkan dan mengaplikasikan dimensi Hofstede terhadap permasalahan kultural. Paper ini akan mengkaji dan membahas alternatif lain (Trompenaars Triandis dan Fiske ) untuk klasifikasi Hofstede. Selain itu, paper ini akan mengidentifikasi kriteria yang jelas untuk mengukur klasifikasi ini dan mengevaluasi setiap klasifikasi sesuai dengan kriteria ini. Kriteria yang telah diidentifikasi yaitu: simplisitas atau kesederhanaan, kemampuan untuk mentransendenkan level analisis, kemampuan untuk “meminjamkan dirinya” kepada metode penelitian yang berbeda-beda, menambah kekayaan dalam identifikasi tema, dan memungkinkan pemahaman yang lebih beragam atas perubahan kultural.

Selain menawarkan alternatif yang layak untuk klasifikasi Hofstede, paper ini menyarankan kepada para peneliti budaya untuk mengadopsi suatu kerangka kerja yang didasarkan kepada tujuan penelitian mereka, kriteria ke depan untuk membentuk dan mengarahkan penelitian budaya, dan menyediakan kepada para peneliti suatu kerangka kerja untuk mengembangkan tipologi yang lebih jelas.

Pengantar

(2)

sebuah negara (Hunt 1983), ketepatan yang tidak memadai dari definisi lintas kategori (Chow dkk 1999), dan lingkup yang terbatas dalam metodologi dan pengukuran (Yeh 1988).

Berdasarkan kepada besarnya kritik atas kerangka-kerja Hofstede, maka semakin dipandang penting bagi para peneliti untuk mengkaji klasifikasi yang lainnya. Literatur bisnis juga kekurangan sintesis yang bermakna (meaningful) atas klasifikasi budaya. Bagaimanapun, budaya akan tetap menjadi area penelitian yang menarik. Vista baru dalam penelitian budaya mencakup: budaya dengan strategi kepemilikan dan usaha patungan atau joint venture (Kogut and Singh 1988), gaya kognitif (Abramson dkk 1993), budaya dengan manajemen informasi global (Myer and Tan 2002). Oleh sebab itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji klasifikasi alternatif dari budaya, mengidentifikasi kriteria untuk evaluasi klasifikasi, dan menganalisis kerangka-kerja ini sepanjang kriteria yang diidentifikasi. Bagian berikutnya akan mempertentangkan pandangan budaya berbasis nilai yang lebih mapan dengan pandangan ontologis.

Konsep dan manifestasi budaya

Satu definisi awal dari budaya adalah keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni dan moral hukum adat istiadat dan kapabilitas lainnya dan kebiasaan yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Tylor 1871). Para pakar lainnya telah mengidentifikasi 164 definisi dari budaya (Kroeber 1952) yang secara umum akan memandang budaya sebagai suatu properti dari kebanyakan warga negara atau modal personalitas (Inkeles 1969). Budaya akan dapat dipelajari, didapatkan, dan diwariskan. Budaya akan merefleksikan pola pemikiran, perasaan, dan perilaku (Harris 1987) dan aksi dan reaksi (Kluckhohn 1951) dan ide, nilai, dan sistem makna simbolis lainnya (Kroeber dkk 1958).

(3)

kolektif dari pikiran yang akan membedakan anggota dari satu kelompok manusia dengan kelompok yang lainnya (Hofstede 1980). Hofstede mengakui bahwa ini bukanlah definisi yang lengkap dari budaya. Tetapi ia secara sederhana telah mencakup apa yang dapat diukur. Hofstede menekankan nilai sebagai tonggak budaya, yang mana penekanan ini konsisten dengan peneliti lainnya.

Nilai akan diprogram sejak usia dini dan akan menentukan definisi subyektif dari rasionalitas. Nilai akan dimanifestasikan pada level individu dan kolektif (Parson 1951) dan akan dianggap sebagai keadaan akhir atau tujuan akhir dan bukannya sebagai sarana (Bem 1970). Perbedaan sarana (nilai instrumental) dan tujuan (nilai akhir atau nilai terminal) ini juga telah diakui oleh para ahli filsafat (Lovejoy 1950) dan para pakar antropologi (Kluckhohn 1951) serta para pakar psikologi (English and English 1958). Nilai akan dapat dianggap sebagai nilai yang diterima secara tidak sadar atau kepercayaan pada level nol dan nilai yang diperoleh secara langsung sebagai kepercayaan yang datang pertama kali.

Hofstede (1980) mengikuti definisi nilai intensitas dan modalitas dari Kluckhohn (1951) dan mendefinisikannya secara cukup sederhana sebagai tendensi umum untuk menyukai atau memilih keadaan tertentu di atas keadaan yang lainnya. Hofstede mengklaim bahwa nilai akan mempunyai arah dan intensitas atau dengan kata lain nilai akan mempunyai tanda dan ukuran. Nilai haruslah dibedakan antara nilai yang diharapkan dengan yang tidak diharapkan: apa yang manusia benar-benar harapkan dan apa yang mereka anggap pantas diharapkan. Mempersamakan keinginan dengan harapan adalah positifistic fallacy, tetapi Hofstede memilih untuk mengadopsi suatu pandangan pragmatis untuk membantu pengukuran nilai.

Nilai yang didasarkan kepada literatur ini (atau nilai laten ini) telah dihadapkan kepada banyak kritik dari sudut pandang kognitif dan ontologis. Debat ini secara kritis akan dievaluasi sebagai berikut

Budaya: pandangan berbasis nilai vs pandangan berbasis ontologis

(4)

kognitif daripada dengan seperangkat nilai latennya. Dengan mengkaji kognisi maka kerangka-kerja imperatif akan menjelaskan mengapa orang berasosiasi dan berbagi ide dan fenomena dalam cara tertentu sehingga hal itu akan dapat menjelaskan budaya. Ide kognitivisme cultural ini (dan sehingga disebut ide ontologis) akan mengembangkan konsep seperti representasi kesamaan kognitif dalam pikiran individu individu, sehingga akan membentuk budaya (Romney dkk 1996); pola konsisten dari persepsi, penginterpretasian dan perelasian informasi yang akan mempengaruhi perilaku individualis dan kelompok (Abramson 1996), ontologis intuitif spesifik domain yang akan membentuk jalur dari akuisisi dan kognisi yang membingkai representasi kultural (Boyer 1996); organisasi kognitif pada individu adalah lokus utama dari budaya (Talmy 1996). Bahasa spasial dan kognisi akan bervariasi lintas budaya (Levinson 1996).

Pandangan ontologis ditarik dari proses kognitif dari perolehan informasi dan pengambilan keputusan sebagai basis unit (unit dasar) dari analisis budaya (Talmy 1995). Dengan menggunakan skema ini maka para peneliti akan dapat menemukan mekanisme dimana budaya akan terbentuk dan mengalami bias. Hakikat dimana budaya akan bervariasi secara ontologis dalam kaitannya dengan kategorisasi, differensiasi, dan abstraksi akan memungkinkan analisis dari persepsi manajer dan hubungan dan interpretasi informasi sehingga akan mempengaruhi perilaku individu dan kelompok (Abramson 1996). Oleh sebab itu, para pakar ontologis mengklaim telah meletakkan landasan kerja melalui interaksi dari struktur kognitif bersama (DeMaggio 1997).

(5)

untuk memungkinkan suatu teori dapat digeneralisir, sehingga akan menjamin pandangan etis tetap berada di bawah pandangan emik.

Yang implisit dengan perspektif ontologism adalah bahwa emik, dan etik akan dipandang sebagai dikotomik dan pandangan emik dan etik (pada saat digunakan bersama-sama) akan bersifat saling melengkapi dan akan meningkatkan validitas. Oleh sebab itu, pandangan ontologis memerlukan pengembangan debat etik dan emik secara lebih jelas dan perlu mengadopsi posisi berdasarkan pengetahuan dan landasan ilmiah.

Kedua, para pakar ontologis mengasumsikan bahwa bergerak dari level kolektif (pandangan laten atas nilai) ke level individual (pandangan kognitif) akan memfokuskan konsep budaya agar menjadi stabil dan visibel. Asumsi ini adalah cacat, karena kognisi dan preferensi dan kesadaran individu akan dapat berubah dan akan bergantung kepada sejumlah kondisi internal dan eksternal. Oleh sebab itu, kognisi individual akan sama latennya dengan konsep nilai kolektif. Bergerak dari kolektif ke individualis tidaklah suatu hal yang nista (Campbell 1977).

Ketiga, kerangka-kerja kognitif pada saat diaplikasikan kepada analisis empiris akan menyediakan pandangan atas diri dan waktu mirip dengan yang telah disediakan oleh literatur nilai laten. Kemiripan ini akan dijelaskan dalam dua cara. Pada awalnya, pembingkaian kognisi individual kemungkinan akan disandarkan kepada nilai nilai kolektif, misalnya seperti apa suatu fenomena akan dipersepsikan oleh kelompok referen dan teman sebaya. Hal ini berarti bahwa kognisi individu akan dapat dibentuk oleh kekuatan (Redding 1980) yang berada di luar individu, yaitu nilai laten dari budaya. Ada banyak hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa budaya akan mempengaruhi konsepsi diri seseorang (Erez dkk 1993). Oleh sebab itu, kognisi individu dan persepsinya akan diarahkan, dikendalikan, dan dibentuk oleh nilai laten dari budaya.

(6)

sangat berkaitan. Oleh sebab itu, suatu pendapat yang mengabaikan nilai laten adalah salah arah (menyesatkan) dan sehingga paper ini akan mengkaji secara lebih utuh literatur berbasis nilai.

Klasifikasi budaya

Meskipun klasifikasi dari Hofstede adalah klasifikasi yang paling terkenal, tetapi paper ini telah memilih tiga klasifikasi yang lainnya yang akan menyediakan wawasan kepada budaya dan akan memapar alternative bagi klasifikasi Hofstede. Para penulis ini adalah Trompenaars Triandis dan Fiske , yaitu pakar dalam bidang psikologi, psikologi lintas budaya dan sosiologi, yang tulisan-tulisannya sering muncul di media massa. Klasifikasi budaya ini dikembangkan dan diukur sepanjang lima criteria evaluasi. Kriteria ini akan membentuk benchmark untuk evaluasi kecukupan dan kememadaian dari setiap skema klasifikasi.

Kelima criteria ini adalah:

Simplisitas: klasifikasi haruslah bersifat simple dan sederhana. Klasifikasi cultural haruslah dapat mensintesis konstruk yang kompleks dan kaya ke dalam sejumlah kecil konsep sederhana yang mudah dipahami. Simplisitas pada bentuk dan substansi tidak boleh mengkompromikan analisis dan kekayaan skema. Substansi akan dicirikan oleh kemampuan dari skema klasifikasi untuk menjadi eksklusif. Bentuknya harus elegan dan keeratan dengan klasifikasi haruslah dipertahankan. Oleh sebab itu, semakin besar kesetimbangan antara simplisitas dan kekayaan isi maka akan semakin besar pula tingkat kecanggihan dari klasifikasi itu.

(7)

lainnya dan dalam memperluas klasifikasi itu sendiri. Suatu skema yang lebih canggih akan memungkinkan banyak level analisis.

Aplikabilitas terhadap berbagai metode penelitian; Suatu klasifikasi yang bermanfaat adalah klasifikasi yang fleksibel dan memungkinkan para peneliti untuk mengadopsi dan mengaplikasikan berbagai metode penelitian (misalnya metode penelitian eksperimental, studi kasus, studi lapang dkk) dalam menginvestigasi permasalahan (Newman dkk 1998).

Mengulang studi menggunakan metode yang berbeda akan menegaskan bahwa temuan itu akan dijelaskan oleh teori yang mendasari dan bukannya dijelaskan oleh kesamaan metode. Jika suatu skema klasifikasi memungkinkan pluralitas metode, maka suatu investigasi akan dapat memberikan hasil yang akurat dan dapat digeneralisir dan dipertanggungjawabkan validitasnya. Oleh sebab itu, suatu kerangka-kerja yang siap pakai akan menyerahkan dirinya untuk adopsi dan aplikasi berbagai metode penelitian.

Identifikasi tema dominant: Budaya akan mempunyai tema tertentu yang adalah

lebih dominan daripada tema yang lainnya. Klasifikasi kultural yang lebih bermanfaat haruslah cukup memadai untuk memungkinkan para peneliti dalam mengidentifikasi tema dominan dalam suatu budaya di atas aplikasi dari klasifikasinya. Sebagai analogi, suatu tapestry yang indah, yang kaya warna, dan berdesain bagus akan dapat dikaji dalam dua cara mendasar. Yang pertama, mendekomposisikan makna dari tema dominan tapestry. Kedua, mengkaji tema yang lebih rumit dan periperal. Semakin kaya suatu kerangka-kerja dalam memungkinkan tema dominan dan periperal untuk diidentifikasi secara tegas, maka akan semakin canggihlah klasifikasinya.

(8)

fleksibel klasifikasi dalam menjelaskan perubahan, maka akan semakin canggihlah ia.

Kriteria ini tidak diurutkan oleh kepentingan atau ukuran yang lainnya. Setiap kriteria itu sendiri adalah tidak memadai, sehingga harus dilengkapi dengan yang lainnya. Kriteria itu sendiri mungkin tidak mutlak, tetapi akan disajikan sebagai benchmark untuk evaluasi empat klasifikasi budaya. Klasifikasi Hofstede Trompenaars Triandis dan Fiske akan kami sajikan pada tulisan berikutnya. Bagian ini akan distruktur untuk membahas konsep penting dari tipologi yang akan diikuti oleh evaluasi tipologi berdasarkan lima kriteria evaluasi yang telah kita bahas di depan. Kesimpulan akan menyediakan perbandingan tipologi-tipologi ini dan arahan untuk penelitian ke depan.

Dimensi nilai Hofstede

Dimensi individualisme, maskulinitas, jarak kekuasaan, dan penghindaran ketidakpastian Hofstede adalah proses psikologis yang sangat sugestif (Bond 1987). Dengan menempatkan budaya pada peta empat factor maka kerja seminal akan memungkinkan pakar psikologi lintas budaya untuk menyeleksi (memilih) budaya sebagai basis perbandingan. Operasionalisasi budaya ini adalah sangat penting jika penelitian empiris hendak membangun struktur teoritis untuk menjelaskan perbedaan lintas budaya dalam perilaku (Hales 1979). Hofstede telah memperkenalkan empat dimensi pada tahun 1980 dan lima dimensi pada tahun 1988.

Individualisme dan kolektivisme

(9)

Jarak Kekuasaan besar vs kecil

Jarak Kekuasaan adalah luasan dimana anggota masyarakat akan menerima distribusi kekuasaan yang tidak setara. Hal ini akan mempengaruhi perilaku dari anggota yang lebih kuat dan anggota yang kurang kuat. Orang-orang pada masyarakat dengan jarak kekuasaan besar akan menerima tatanan hirarkis dimana setiap orang mempunyai tempatnya sendiri yang akan mengarah kepada ketidaksetaraan kekuasaan yang tidak perlu lagi dijustifikasi.

Persoalan mendasar yang dicoba diatasi oleh dimensi ini adalah bagaimana suatu masyarakat akan mengelola ketidaksetaraan diantara individu individu dan hal ini akan mempunyai konsekuensi dalam pembangunan insititusi dan organisasi.

Penghindaran ketidakpastian lemah vs kuat:

Penghindaran ketidakpastian adalah derajad dimana anggota masyarakat akan merasa tidak nyaman dengan ketidakpastian dan ambiguitas. Masyarakat dengan Penghindaran Ketidakpastian kuat akan mempertahankan kode kepercayaan dan perilaku secara ketat yang menjanjikan kepastian dan melindungi kenyamanan. Masyarakat semacam ini akan tidak toleran terhadap ide dan individu yang menyimpang. Masyarakat dengan penghindaran ketidakpastian lemah akan mempertahankan suasana yang lebih rileks. Dalam masyarakat semacam itu Penyimpangan akan cenderung lebih mudah ditolerir. Secara mendasar, dimensi ini akan mengupas bagaimana suatu masyarakat akan memandang linearitas waktu dan mengontrol masa depan atau membiarkannya terjadi. Penghindaran Ketidakpastian akan mempunyai konsekuensi bagi cara-cara dimana individu akan membangun institusi dan organisasi.

Maskulinitas vs femininitas

(10)

kehidupan. Masalah mendasar yang coba dipecahkan oleh dimensi ini adalah cara dimana suatu masyarakat akan mengalokasikan peran sosial kepada jender.

Orientasi jangka pendek vs panjang

Orientasi jangka pendek akan merujuk kepada preferensi masyarakat yang memupuk nilai-nilai luhur yang diorientasikan terhadap kesabaran dan ketekunan. Sedangkan Orientasi jangka jangka panjang akan merujuk kepada suatu masyarakat yang lebih memilih stabilitas dan kemajuan personal dan penghargaan terhadap tradisi dan kemapanan.

Evaluasi dimensi Hofstede

Pada evaluasi, klasifikasi Hofstede telah mencatatkan skor tinggi pada simplisitas. Hal ini terjadi karena dimensi Hofstede adalah konsep yang relatif jelas, mudah, dan kaya makna terkait dengan bentuk. Tetapi, terkait dengan substansi, klasifikasi itu tidaklah eksklusif atas dasar dua alasan. Alasan Yang pertama, penghindaran ketidakpastian akan menghadapi kritik karena tidak dapat menangkap secara valid nilai oriental, sehingga tidak akan dapat bersifat ekshaustik. Alasan Kedua, pemasukan orientasi jangka panjang telah memperlihatkan kurangnya eksklusivitas. Terlebih lagi, Hofstede tidak dapat mengesampingkan kemungkinan penemuan dimensi baru. Oleh sebab itu, terkait dengan simplisitas, peringkat klasifikasi Hofstede adalah moderat dalam substansi dan tinggi dalam bentuk.

Terkait dengan level analisis, Hofstede berpendapat bahwa klasifikasinya hanya akan dapat diaplikasikan pada level nasional. Meskipun argumen yang pas masih tidak jelas, tetapi Hofstede menegaskan bahwa mengaplikasikan dimensinya kepada level lain adalah tidak benar dan akan salah secara ekologis. Hal ini akan sangat membatasi penggunaan skemanya dan sehingga akan mendapatkan peringkat rendah untuk kriteria level analisis.

(11)

lapang dan penelitian eksperimental). Oleh sebab itu, klasifikasi Hofstede akan mendapatkan peringkat rendah untuk kriteria metode penelitian.

Dalam kaitannya dengan kemampuan untuk mengidentifikasi tema dominan, maka dimensi itu akan dapat digunakan untuk mengidentifikasi tema dominan dalam budaya tertentu dan dan untuk mengidentifikasi tema dominan lintas budaya. Oleh sebab itu, klasifikasi Hofstede akan mendapatkan peringkat menengah pada kriteria identifikasi tema dominan.

Dalam kaitannya dengan pemahaman perubahan budaya, kerangka kerja Hofstede tidak secara eksplisit memberikan ruang untuk studi sistematis atas perubahan budaya. Tetapi, aplikasi yang diresepkan dari instrumen dan metodenya akan memungkinkan kita untuk menyorot budaya pada berbagai titik waktu. Sorotan ini adalah tidak indikatif dari proses perubahan, tetapi hanyalah besaran dan arah dari perubahan. Oleh sebab itu, model Hofstede hanya sedikit bermanfaat dalam memahami dan menjelaskan perubahan budaya.

Terlepas dari semakin tumbuhnya kritik atas karya dari Hofstede, empat alasan telah diidentifikasi untuk adopsi luas dari klasifikasi nya.

1. Alasan yang Pertama, studi Hofstede adalah studi pertama yang mengintegrasikan konstruk yang sebelumnya terpisah-pisah dan dia adalah orang yang pertama menyajikan kerangka kerja koheren untuk mengklasifikasi kan budaya yang berbeda.

2. Alasan kedua untuk pemakaian secara luas klasifikasi budaya Hofstede adalah karena kesederhanaan dari dimensinya. Dimensinya adalah jelas dan tegas dan mempunyai daya tarik intuitif bagi peneliti akademik dan pembaca bisnis lintas disiplin ilmu.

(12)

4. Alasan yang Keempat adalah; bahwa Hofstede mampu menawarkan suatu perangkat data ekstensif untuk analisis empiris yang akan mempunyai daya tarik besar bagi para peneliti.

Sindrom budaya Triandis

Menurut Triandis (1994), budaya adalah seperangkat elemen obyektif dan subyektif buatan manusia yang pada masa lalu telah meningkatkan probabilitas dari keberlangsungan hidup manusia dan telah memberikan kepuasan dari partisipan dalam niche ekologis sehingga menjadi sesuatu yang dimiliki secara bersama oleh pihak-pihak yang dapat berkomunikasi satu sama lain karena mereka mempunyai kesamaan bahasa dan tinggal atau hidup pada tempat dan waktu yang sama.

Meskipun definisi budaya adalah sangat luas, tetapi Triandis membedakan elemen obyektif dari budaya dengan elemen subyektifnya. Aspek obyektif dari budaya akan mencakup alat alat, jalan raya, radio, televisi dan lain-lain, sedangkan aspek subyektifnya antara lain kategorisasi, asosiasi, norma, peran dan nilai yang akan membentuk beberapa elemen dasar yang akan mempengaruhi perilaku sosial. Elemen subyektif dari setiap budaya akan diorganisir ke dalam pola unik dari kepercayaan, sikap nilai dan norma. Triandis telah mengidentifikasi empat sindrom budaya yang akan berlaku (yang akan dapat diaplikasikan) kepada semua budaya yaitu kompleksitas budaya, keketatan budaya individualisme dan kolektivisme

Kompleksitas budaya

(13)

penting dari variasi budaya dalam perilaku sosial. Tetapi Triandis tidak menawarkan metode yang obyektif dalam pengukuran dan pemeringkatan kompleksitas budaya. Lomax (1972) telah menyusun beberapa indeks dan mendapatkan urutan pemeringkatan yang terpercaya dari kompleksitas budaya

Budaya ketat dan longgar

Dalam budaya ketat, orang diharapkan akan berperilaku sesuai dengan norma yang tegas. Sesuatu penyimpangan akan layak dihukum dengan sanksi. Budaya ketat akan memperlihatkan karakteristik karakteristik seperti: control perusahaan atas property, kepemilikan perusahaan atas pangan dan produksi, kekuasaan, pemimpin agama yang kuat, pajak tinggi dll. Hubungan ini menunjukkan bahwa keketatan akan berkorelasi dengan kolektivisme (Pelto 1968). Pada budaya ketat, jika seseorang melakukan apa yang dilakukan oleh setiap orang, maka ia akan dilindungi dari kritik. Keketatan akan lebih mungkin terjadi ketika normanya jelas dan hal ini memerlukan budaya yang relative homogen.

Budaya longgar akan mempunyai norma yang tidak tegas atau menolerir penyimpangan dari norma. Heterogenitas budaya yang sangat dipengaruhi budaya lain dan ruangan fisik antar manusia akan dapat mengarah kepada kelonggaran. Budaya longgar seringkali dijumpai pada interseksi budaya budaya utama yang sangat berbeda satu sama lain. Lingkungan perkotaan biasanya akan lebih longgar budayanya daripada lingkungan pedesaan. Kelonggaran ini disebabkan oleh norma yang saling bertolak belakang atau disebabkan oleh norma-norma yang sangat tidak fungsional. Terlebih, jika pekerjaan mengijinkan aksi soliter (misalnya berburu atau menulis) maka norma akan menjadi longgar dan kurang tegas.

Individualisme dan kolektivisme

(14)

dari individualis akan cenderung menjadi lebih ramah, tetapi tidak merapat kepada orang-orang yang berada di luar lingkungan keluarga. Triandis lebih lanjut mengakui adanya korelasi antara kompleksitas budaya dengan individualisme; yaitu semakin kompleks suatu budaya maka akan semakin individualislah jadinya karena pada budaya yang kompleks seseorang akan mempunyai pilihan untuk menjadi anggota dari berbagai kelompok.

Ada dua jenis kolektivisme yaitu horizontal dan vertical, yang akan berkorelasi pada jelajah 3-4 (Triandis 1994). Pada kolektivisme, budaya itu sendiri akan didefinisikan dalam kaitannya dengan keanggotaan dalam kelompok, suatu prioritas diantara kolektivisme vertikal. Kolektivisme akan sering (tetapi tidak selalu) diorganisasikan secara hirarkis dan akan cenderung peduli dengan hasil dari aksi mereka terhadap anggota dari kelompok dan akan cenderung berbagi sumber daya dengan anggota dalam kelompok dan akan merasakan saling ketergantungan dengan anggota lain dalam kelompok dan akan merasa terlibat dalam kehidupan anggota kelompok.

Mereka juga akan mempunyai perasaan yang kuat mengenai integritas kelompok. Jika individu berada dalam kelompok, maka perilakunya akan sangat asosiatif dan akan merefleksikan pengorbanan diri. Jika individu berada di luar kelompok, maka perilakunya akan diasosiatif.

Triandis telah mengidentifikasi individualisme dan kolektivisme sebagai konstruk yang berbeda tetapi saling terkait. Sebagai contoh, budaya Kung telah memperlihatkan banyak elemen individualisme dan kolektivisme (Lee 1976). Pandangan ini bertentangan dengan pandangan lain, khususnya pandangan Hofstede dimana individualisme kolektivisme adalah suatu kontinum yang mengimplikasikan bahwa budaya kolektivisme mungkin tidak akan mempunyai individualisme.

Evaluasi sindrom budaya Triandis

(15)

memadai. Karena di sana ada sedikit overlap antara sindrom satu dengan sindrom lain maka sindrom itu menempati peringkat tinggi pada eksklusivitas…….

Dalam kaitannya dengan aplikasinya kepada berbagai metode penelitian, definisi sindrom Triandis meskipun secara konseptual terlihat bagus ternyata hanya memberikan sedikit panduan terhadap pengukuran. Karena sindrom Triandis tidak mempunyai ukuran formal atau metode yang dispesifikasikan, maka bentuknya yang sekarang tidak akan memungkinkan aplikasinya kepada metode penelitian kuantitatif. Sindrom Triandis adalah kaya makna dan mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih lanjut untuk dapat semakin memenui persyaratan.

Atas dasar alasan ini, maka sindrom Triandis akan mencatatkan skor rendah pada aplikabilitas metode penelitian.

Dalam mengidentifikasi tema dominan, sindrom ini adalah cukup bermanfaat. Tetapi ia akan tidak tepat dalam mengidentifikasi tema dominan karena kekurangan peringkat ordinal. Oleh sebab itu, mengidentifikasi tema dominan dari sindrom yang kaya tetapi tersebar (difus) akan menjadi sangat problematis. Membandingkan tema dengan menggunakan sindrom Triandis akan menjadi sangat sulit. Oleh sebab itu, sindrom Triandis akan mendapatkan skor rendah pada kemampuannya dalam menjelaskan perubahan budaya.

Secara ringkas, Triandis menyajikan suatu interpretasi yang unik dan menarik dari tipologi budaya melalui sindromnya. Sindrom ini adalah kaya dengan makna dan akan memperkaya wawasan sebelumnya dan seringkali ditarik dari pengetahuan mendalam atas sejarah budaya. Sindrom ini adalah embrionik dan jika dikembangkan lebih lanjut dapat menjadi lahan yang subur untuk wawasan ke arah budaya.

Dimensi budaya dari Trompenaars

(16)

(1993) mengidentifikasi 7 dimensi mendasar dari budaya. Definisi Trompenaars atas budaya adalah generik lintas budaya organisasi dan kebangsaan sehingga disana seringkali ada kerancuan. Lima dari dimensinya adalah identik dengan sistem sosial dari Parson (1951); yaitu afektivitas vs netralitas afektif, orientasi diri vs orientasi kolektif dan universalisme vs partikularisme, Askripsi vs prestasi dan spesivitas vs difusitas

Universalisme vs partikularisme

Budaya Universalisme akan berpihak kepada perilaku berbasis aturan yang diimplikasikan secara ketat, yang merefleksikan suatu ketidak percayaan umum dalam humanitas, sedangkan budaya partikularis akan cenderung lebih difokuskan kepada hakikat luar biasa dari keadaan yang ada sekarang. Zurcher dkk telah mendukung klasifikasi ini. Dimensinya mempertentangkan besaran dimana seorang responden akan bersedia untuk menginterpretasikan aturan yang dibentuk secara sosial dalam selera salah satu pihak sampai luasan yang akan melampui dimensi individualisme yang telah dijelaskan di depan. Dimensi ini akan menemukan aplikasinya dalam berbagai aspek bisnis internasional yang mencakup: peran dari kepala bagian, evaluasi kerja, dan penghargaan.

Individualisme vs kolektivisme

(17)

Netral vs afektif

Dimensi ini akan mencakup jelajah perasaan yang diekspresikan. Akal sehat dan emosi keduanya akan memainkan peranan penting dalam hubungan antar manusia. Yang mana dari keduanya yang akan dominan, hal itu akan tergantung kepada apakah anggota itu adalah afektif (menonjolkan perasaan atau emosi) ataukah netral (tidak menonjolkan perasaan). Anggota dari budaya netral akan menjaga perasaan dan ekspresi secara hati-hati karena sikap ekspresif dan demonstratif akan dapat mencitrakan tidak dominannya akal sehat. Sedangkan orang dalam budaya afektif akan cenderung lebih demonstratif.

Trompenaars telah menambahkan humor dan komunikasi (baik lisan maupun tulisan) sebagai satu konteks untuk memahami dimensi Parson dari budaya afektif dan netral. Humor adalah bersifat subyektif dan bergantung kepada individu yang akan menentukan apa saja yang dianggap lucu dan menyenangkan sehingga afektif akan lebih dekat kepada sikap arbitrer.

Difus vs spesifik

Budaya DIFUS (konteks rendah) dan spesifik (konteks tinggi) akan menggali cara-cara dimana individu akan terlibat dalam area spesifik dari komunikasi (berbagi pengetahuan dalam level tinggi akan diperlukan). Dalam budaya spesifik, hubungan tugas akan dipisahkan dari urusan lain. Dalam budaya spesifik, seorang atasan dan bawahan akan mempunyai dasar komunikasi tacit untuk setting kerja yang akan berbeda dari setting sosial yang akan mengindikasikan adaptabilitas dan fleksibilitas. Pada budaya difus, CEO tidak hanya akan menjalankan perusahaan, tetapi juga akan membagi nilai perusahaan kepada semua setting sosial dan kerja organisasional. Prestasi vs askripsi

(18)

beberapa masyarakat yang lain, anggotanya akan mendapatkan status sesuai dengan usia, kelas sosial, jenis kelamin dan pendidikan.

Sikap terhadap waktu

Persepsi waktu akan dapat berkisar dari sekuential (rangkaian linier dari perjalanan waktu) sampai dengan sinkronik (masa lalu, sekarang dan masa mendatang saling berkaitan). Orientasi waktu dari masa lalu, sekarang dan masa depan adalah dimensi penting dari budaya yang akan memungkinkan anggota dari budaya tertentu mengkoordinasikan aktivitas (Durkheim 1960). Konstruk ini mempunyai implikasi untuk individu dan kelompok, karena waktu pertemuan yang telah disepakati barangkali akan dapat ditepati.

Waktu yang dialokasikan untuk menyelesaikan suatu tugas akan dapat menjadi sangat penting perannya. Oleh sebab itu, tergantung kepada sikap individual terhadap waktu, manajer akan dapat merencanakan laporan harian, mingguan, atau bulanan.. Sikap terhadap lingkungan

Trompenaars telah mengidentifikasi sikap terhadap lingkungan sebagai variabel budaya utama. Masyarakat akan mempunyai dua orientasi utama terhadap alam atau lingkungan; yaitu yang pertama: mereka percaya bahwa mereka dapat dan harus mengontrol alam sekitar dengan memaksakan kemauan mereka kepada alam/lingkungan atau yang kedua: mereka percaya bahwa manusia adalah bagian dari lingkungan dan harus mengikuti hukum, arah, dan kekuatannya. Jenis budaya yang pertama akan cenderung mengidentifikasikan diri dengan mekanisme; yaitu organisasi akan dikonsepsikan sebagai mesin yang akan mematuhi apa yang diinginkan oleh sang operator dan hal ini dapat dideskripsikan sebagi inner directed atau dikendalikan dari dalam.

(19)

dalam beberapa hal tampaknya akan overlap dengan dimensi penghindaran ketidakpastian dari Hofstede.

Evaluasi dimensi budaya Trompenaars

Suatu pengukuran atas dimensi budaya Trompenaars memperlihatkan bahwa dimensi ini mencatatkan skor rendah pada simplisitas. Secara intuitif, tujuh dimensi budaya Trompenaars haruslah mudah untuk diaplikasikan. Tetapi dalam kenyataannya, ketujuh dimensi ini adalah konstruk yang kompleks. Sebagai contoh, sikap terhadap lingkungan tampaknya simpel (sederhana), tetapi ternyata tema yang mendasarinya adalah sulit untuk dipahami dan diaplikasikan.

Dimensi budaya Trompenaars mencatatkan skor tinggi pada ekshaustivitas tetapi rendah pada eksklusivitas. Dua konsep adalah mirip; yaitu sikap terhadap lingkungan dan individualisme. Sikap terhadap lingkungan akan ditarik dari lokus kontrol dimana faktor internal (apa yang ada dalam diri seseorang) akan mempunyai kontrol terhadap apa yang ada dalam diri seseorang, suatu konsep yang mirip dengan individualisme.

Dalam mengukur aplikasinya kepada berbagai unit analisis, dimensi Trompenaars barangkali dapat diaplikasikan secara bebas kepada berbagai level analisis. Stabilitas dalam aplikasi karakteristik psikologis ini kepada level abstraksi yang lebih tinggi (dari level individu sampai ke level nasional) masih belum teruji dan akan memapar tantangan untuk penelitian ke depan. Oleh sebab itu klasifikasi ini mencatatkan skor moderat (menengah) dalam menstransendensikan level analisis.

(20)

Dimensi Trompenaars adalah cukup terbatas dalam kemampuannya untuk mengidentifikasi tema dominan, karena dimensi itu diarahkan kepada psikologi individu. Oleh sebab itu, dalam kriteria ini (yaitu kriteria kemampuan untuk mengidentifikasi tema dominan), dimensi Trompenaars mencatatkan skor rendah. Dalam menjelaskan perubahan kultural, konsep ini kekurangan akurasi ukuran dalam dan lintas dimensi. Secara khusus, dimensi yang hanya mendasarkan sepenuhnya kepada ukuran subyektif (misalnya sikap terhadap waktu dan lingkungan) akan sedikit bermanfaat dalam menjelaskan perubahan. Oleh sebab itu, peringkat rendah akan diberikan kepada kemampuan dimensi Trompenaars dalam menjelaskan perubahan budaya..

Bentuk realitas sosial dari Fiske

Fiske telah menyajikan sekumpulan bukti bukti induktif pada berbagai subyek dari lima budaya yang didukung oleh kerja penelitian bidang etnografik dan sembilan belas studi eksperimental menggunakan tujuh metode yang berbeda. Dia mengusulkan teori bentuk elementer dari perilaku sosial yang menyatakan bahwa orang–orang dalam semua budaya akan mempergunakan empat moda mental elementer atau model relasional yaitu communal sharing atau CS authority ranking atau AR equality matching atau EM dan market pricing atau MP.

Model psikologis ini adalah mirip dengan model empat skala klasik dari Steven (1958). Model psikologis dari Fiske mempunyai property aksiomatik formal yaitu property CS yang akan berkorespondensi dengan struktur dari relasi ekivalensi sedangkan AR akan didefinisikan sebagai penataan linear sedangkan EM akan mempunyai struktur dari kelompok Abelian yang tertata dan MP akan terformalisasi secara aksiomatik dalam bidang Archimedean.

Communal sharing atau CS

(21)

mengabaikan identitas individu yang tegas. Dalam konteks CS, orang-orang akan memperlakukan obyek material sebagai hal yang mereka miliki bersama. Kepemilikan bersama ini adalah hal yang umum dalam banyak masyarakat

Pengambilan keputusan dalam CS akan didasarkan kepada kesepakatan atau consensus. Ide untuk kelompok akan dikontribusikan dari satu posisi uniformitas yang akan menyatukan atribut individual dari anggota kelompok. CS akan membentuk bagaimana manusia akan berperilaku dalam kelompok dan juga akan menjadi basis untuk menyusun kelompok sosial. CS akan dapat mengasumsikan bentuk motif, nilai, norma standar moral, dan ideology. Deksripsi Fiske atas CS adalah sangat mirip dengan konstruk kolektivisme dari Hofstede dan Triandis

Pemeringkatan otoritas atau AR

Hubungan AR akan didasarkan kepada suatu model asimetri antar manusia yang tersusun secara linear oleh dimensi sosial hirarkial. Hubungan AR akan diurutkan sedemikian rupa sehingga seseorang akan diperingkat di atas atau di bawah orang yang lainnya. Dalam konformitas dengan urutan ini, orang yang berada pada peringkat atas akan mempunyai prestise, privilege, dan prerogative yang tidak dimiliki oleh orang yang berada pada peringkat bawah.

Tetapi, sebaliknya, orang yang berada di peringkat bawah akan layak mendapatkan perlindungan dari orang yang berada di peringkat atas. Oleh sebab itu, hubungan semacam ini bukanlah peringkat linier, tetapi inklusi hirarkis. Orang yang berada pada peringkat atas akan dibebaskan (mempunyai kewenangan) untuk mengambil keputusan, tetapi mereka itu akan dibebani dengan tanggungjawab atas keputusan yang diambilnya.

(22)

refleksif transitif dan antisimetrik. AR akan menghormati relasi identitas, dimana dua orang yang berbeda tidak dapat saling melompati peringkat yang lainnya.

Jika P mempunyai peringkat di bawah O pada sistem relasional yang sama maka O akan mempunyai peringkat di atas P dan P dan O adalah orang yang berbeda, karena mereka dibedakan oleh peringkat. Teori Model relasional menyatakan bahwa pada saat manusia berpikir dalam kaitannya dengan struktur yang tersusun secara linier maka mereka itu akan memperlakukan peringkat yang lebih atas sebagai superior. Konsep AR dari Fiske adalah mirip dengan konsep jarak kekuasaan Hofstede yang merepresentasikan penghargaan terhadap otoritas, suatu pendapat yang didukung oleh Triandis.

Equality matching atau EM

Hubungan EM akan didasarkan kepada model kesetimbangan dan korespondensi satu satu atau suatu jenis resiprositas. Orang dalam hubungan EM akan mempertahankan kesetimbangan itu dan akan terkait dengan luasan ketidasetimbangan dari hubungan. Ketidaksetimbangan dalam hubungan EM akan sering dikoreksi oleh aksi penyeimbangan ulang hubungan yang ada dengan membandingkan dan mempertentangkan obyek dalam korespondensi satu satu. Ide pokok yang mendasari aksi ini adalah bahwa semua manusia yang terlibat dalam hubungan EM akan diwajibkan untuk mengoreksi ketidaksetimbangan atau ketidaksetaraan dalam distribusi. Kesetaraan egaliter ini telah mendapatkan tempat secara universal dan dapat ditemukan di seluruh penjuru dunia dengan label yang berbeda beda. RCA adalah contoh jelas dari transaksi EM.

(23)

Penetapan harga pasar

Penetapan harga pasar atau MP adalah konsep yang diterima luas dalam masyarakat barat dan ia merupakan hal yang mendasar bagi konsepsi cultural dari hubungan dan hakikat manusia. Tetapi, pakar yang lainnya menyatakan bahwa semua perilaku sosial manusia adalah didasarkan kepada perhitungan yang kurang lebih rasional atas rasio biaya = korbanan dalam pertukaran atau transaksi (Blau 1964). Tetapi para pakar yang lainnya telah memperlihatkan bahwa ada perbedaan penting di antara ketiga transaksi.

Blau (1964) telah menganggap strictly economical exchange sebagai ekspresi dari individu yang asosial dan egois. Sahlin (1965) telah menempatkan MP pada suatu kontinum yang mendekati kutub dari resiprositas negative tetapi keduanya mengakui bahwa Mp sebagai jenis interaksi yang berbeda. Polanyi (1947) telah mengklarifikasi bahwa seperti halnya ketiga model yang lainnya, model pertukaran pasar adalah tidak alamiah dan terkait secara inheren dengan transaksi dan produksi material, dimana keempatnya merupakan proses sosial yang dikonstruksi secara cultural.. Polanyi juga mengakui titik krusial dari MP (seperti halnya model yang lainnya) adalah suatu mode relasi dengan orang lain.

Polanyi dkk memfokuskan kepada cara bagaimana MP akan memediasi hubungan dengan membentuk dan memberikan makna terhadap proses pertukaran. Tetapi Fiske (1992) menyatakan bahwa MP adalah tidak terbatas untuk mengorganisasikan transfer obyek atau manfaat.

(24)

Evaluasi bentuk realitas sosial dari Fiske

Bentuk realitas sosial dari Fiske mencatatkan skor rendah pada simplisitas. Dalam berupaya menyeimbangkan antara keselarasan presentasi dan kekayaan isi dari bentuk Fiske, maka kita perlu melakukan kajian lebih lanjut atas bentuk ini sebelum kita dapat memahaminya. Terkait dengan substansi, Fiske telah menyediakan kerangka kerja yang eksklusif untuk studi budaya. Terkait dengan bentuk, bentuk realitas sosial dari Fiske adalah kaya dengan makna dan penuh dengan ide dan berakar mendalam pada teori dan merepresentasikan konstruk global dari hubungan sosial dari manusia. Fiske telah mempergunakan hubungan sebagai basis pemahaman nilai (basis untuk memahami nilai) yang akan memungkinkan aplikasi yang mudah dan universal.

Klasifikasi dari Fiske adalah independen terhadap unit analisis. Bentuk Fiske atau Fiske Form akan dapat diaplikasikan secara sukses terhadap spektrum situasi sosial (termasuk hubungan satu satu antara dua manusia, individu yang membentuk keluarga, dan perbandingan multi bangsa). Kemampuan dari konstruk ini dalam menstransendensikan level analisis adalah karena konstruk inti dari hubungan atau relationship tetap stabil terlepas dari kompleksitas unitnya. Oleh sebab itu Fiske telah memberikan peringkat tinggi kepada kriteria ini.

Dalam kaitannya dengan aplikabilitas metode penelitian, konsep Fiske telah dikembangkan menggunakan pendekatan emik dan etik, sehingga akan memberdayakan para peneliti di masa mendatang dengan berbagai pilihan metode. Meskipun Fiske mendukung bentuk dengan properti aksiomatik, tetapi dia tidak menunjukkan instrumen untuk pengukuran. Berdasarkan kepada landasan aksiomatiknya, maka akan ada potensi besar untuk mengembangkan suatu instrumen yang valid dan terpercaya untuk pengukuran yang valid. Berdasarkan alasan inilah maka kerangka kerja Fiske akan kami berikan skor moderat dalam kaitannya dengan aplikabilitas dari metode yang berbeda.

(25)

sosial. Para peneliti barangkali akan memilih untuk mengkaji salah satu dari empat bentuk, memilih kombinasi dari keempatnya, dan menginvestigasi bentuk dominan dari keempatnya, dan mengidentifikasi dan menganalisis bentuk yang kurang dominan. Oleh sebab itu, bentuk Fiske akan sangat bermanfaat dalam kaitannya dengan kemampuannya untuk identifikasi tema dominan sehingga dalam kriteria ini (yaitu kriteria identifikasi tema dominan) ia akan mendapatkan peringkat tinggi. Dalam kaitannya dengan kemanfaatan untuk mengkaji perubahan budaya, kerangka kerja Fiske adalah sangat bermanfaat. Menurut model Fiske, relasi dengan masyarakat sejalan dengan waktu akan bergerak dari CS ke MP (Fiske 1992). Tetapi, prediksi ini akan konsisten secara internal jika dioperasikan dalam domain Fiske dan akan membuka peluang penelitian yang sangat menarik bagi para peneliti di masa mendatang.

Manfaat utama dari kerangka kerja Fiske adalah bahwa kerangka kerja ini telah memungkinkan dilakukannya studi pergeseran budaya dan akan memungkinkan dilakukannya studi lintas tema, unit, dan metode. Karena perubahan budaya tetap menjadi paradoks, maka kerangka kerja Fiske akan memungkinkan terungkapnya rahasia yang selama ini masih menjadi misteri dan akan membantu memahami bagaimana dan mengapa sebuah perubahan budaya terjadi atau berlangsung. Oleh sebab itu, bentuk Fiske akan mendapatkan peringkat moderat dalam kemampuannya dalam menjelaskan dan memprediksi perubahan budaya.

KESIMPULAN DAN PENELITIAN KE DEPAN.

(26)

Dalam mengkaji literatur tentang tipologi cultural, paper ini mempertentangkan pendekatan ontologis dengan pendekatan berbasis nilai laten yang lebih mapan. Meskipun perspektif ontologis telah semakin mendapatkan perhatian, tetapi kerangka-kerja ini memerlukan kemajuan yang memadai pada tiga permasalahan sebelum ia mendapatkan kredibilitas yang memadai dalam arus utama literatur. (1) posisi akal pada debat emik etis literatur ontologis mengadopsi sudut pandang emik dan sepenuhnya melepaskan diri dari sudut pandang etik. Sekurangnya, justifikasi teoritis yang memadai akan diperlukan sebelum posisi ini diangkat (11) stabilitas dari ontologi individualis dan (111) kebaruan yang tidak mencukupi. Kerangka-kerja kognitif, sebagaimana yang didefinisikan oleh para pakar ontologism, akan menyediakan pandangan yang serupa dengan pandangan nilai laten atas budaya. Ini adalah kelemahan yang tidak sepele (kecil) dan akan memerlukan perbaikan yang signifikan. Dengan menetapkan nilai berbasis laten sebagai kerangka-kerja untuk analisis, maka paper ini akan mengkaji empat kerangka-kerja dominan dari budaya, yaitu dimensi Hofstede, sindrom Trompenaars, dimensi Triandis, dan bentuk Fiske Untuk melaksanakan suatu evaluasi yang menyeluruh, maka kerangka-kerja ini akan kami analisis. Evaluasi sepanjang lima kriteria akan kami laksanakan yaitu simplisitas atau kesederhanaan, level analisis, metode penelitian, tema dominant, dan perubahan budaya (perubahan kultural).

Suatu keunggulan kerangka-kerja dari setiap kriteria akan menjadi bermanfaat untuk praktik dan penelitian. Dengan menetapkan kriteria evaluasi, paper ini akan mengukur setiap kerangka-kerja terhadap kriteria ini dan mengatur peringkat komparatif yang akan kami sajikan pada tabel di bawah ini.

Tabel pada halaman 14 naskah asli.

(27)

Keterangan:

H: tinggi

M: moderat atau menengah L: rendah

Meskipun pada bagian sebelumnya setiap kerangka-kerja telah dievaluasi terhadap kriteria itu sendiri, tetapi kerangka-kerja ini sekarang akan dipertentangkan dengan setiap kriteria yang lain. Kolom pertama akan mengidentifikasi kriteria dan kolom selanjutnya akan menampilkan pemeringkatan (tinggi, menengah, rendah) untuk masing-masing tipologi budaya

Baris kedua, yaitu simplisitas, akan menangkap parsimony dalam substansi dan bentuk. Terkait dengan simplisitas, Hofstede telah mengesampingkan kerangka-kerja yang lainnya seperti yang dibuktikan oleh adopsi yang luas atas nilai dimensinya. Bentuk Fiske adalah kaya dalam makna dan memerlukan level tertentu pemahaman konseptual sampai dengan aplikasinya. Sedangkan tujuh dimensi dari Triandis telah kehilangan parsimony yang diperlukan

Baris ketiga mentransendensikan level analisis dan mengukur kemampuan dari kerangka-kerja untuk diaplikasikan secara bermakna lintas kelompok. Pada kriteria ini, kerangka-kerja Fiske mendapatkan derajad tinggi dari aplikasinya di atas kerangka-kerja yang lainnya. Ini disebabkan terutama karena bentuk Fiske (Fiske form) adalah generic, kaya dengan makna, transitif, dan jelas. Meskipun dimensi dari Triandis telah ditempatkan pada peringkat menengah, tetapi aplikasi dari dimensi ini lintas unit akan cenderung memapar suatu tantangan signifikan terhadap para peneliti. Sindrom Trompenaars barangkali hanya akan digunakan untuk melaksanakan suatu analisis deskriptif. Aplikasi dari dimensi Hofstede hanya akan terbatas untuk membandingkan perbedaan makna antar nilai rerata menggunakan modul nilai survei

(28)

bentuk dominan tertentu dalam budaya. Sedangkan dimensi Hofstede tidak. Meskipun dimensi Hofstede adalah cukup jelas dan langsung untuk diidentifikasi dan diaplikasikan dalam ikatan dari domainnya, tetapi bentuk Fiske akan memungkinkan identifikasi tema dominan dalam suatu budaya dan akan diperingkat tinggi.

Ini adalah inovasi penting dalam analisis budaya dan akan membuka peluang baru yang sangat menarik untuk dilakukan penelitian lanjutan. Sindrom Triandis akan memungkinkan dilakukannya beberapa identifikasi tema, tetapi tidak dalam derajad yang sama dengan Hofstede dan Fiske. Sebaliknya, dimensi Trompenaars hanya akan menawarkan sedikit nilai sepanjang kriteria ini dan akan diperingkat rendah. Baris keenam dan kriteria terakhir akan mengukur kerangka-kerja atas kemampuan mereka dalam membantu memahami perubahan kultural. Berdasarkan fenomena kompleks budaya, menjelaskan perubahan budaya (perubahan kultural) akan menguji lingkup dan besaran dari klasifikasi kultural.

Meskipun gerakan universal ke arah penetapan harga pasar barangkali akan sulit diterima secara intuitif, tetapi kerangka-kerjanya adalah konsisten secara internal dan akan diperingkat sebagai paling bermanfaat dalam menjelaskan dan memprediksi perubahan kultural diantara kerangka-kerja kerangka-kerja yang dikaji. Juga, secara umum (karena alasan konsistensi internal dan penawaran data survey), dimensi Hofstede akan diperingkat kemudian. Secara khusus Hofstede telah menyediakan korelasi demografik dan sosial yang sangat jelas dan validasi silang dengan berbagai studi.

Sebagai contoh, Hofstede telah menemukan korelasi yang sangat kuat antara kekayaan negara dengan individualisme yang mengimplikasikan kausalitas. Meskipun Trompenaars menawarkan sejumlah data, tetapi validitas dan kejelasan dari data itu tidak sepenuhnya memuaskan. Analisis Triandis tetap deskriptif dan bukannya preskriptif dalam sembarang makna saintifik

(29)

setelah diukur dengan kriteria yang ada. Meskipun Fiske muncul sebagai suatu kerangka-kerja yang unggul pada tiga dari lima criteria, tetapi penelitian aplikasinya haruslah mengadopsi kerangka-kerja yang didasarkan kepada tujuan penelitiannya yang hampir menyerupai pilihan atas metode penelitian.

Secara spesifik, jika seorang peneliti berharap untuk mengkaji budaya dari suatu kelompok dengan rujukan (referensi) tertentu terhadap perkembangan historis dan interpretasinya, maka sindrom Triandis tampaknya akan dapat menyediakan suatu perspektif yang lebih mendalam. Serupa dengan itu, suatu studi yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi suatu tema dominan akan cenderung menemukan kerangka-kerja Fiske sebagai basis yang memadai. Tabel ini juga menyediakan ruang untuk perbaikan bentuk Fiske, khususnya setelah ia dikaitkan dengan simplisitas dan aplikasinya terahdap metode penelitian yang berbeda-beda (khususnya penelitian empiris). Bentuk Fiske tentunya akan diuntungkan dari operasionalisasinya dengan penggunaan instrumen yang didesain baik.

Setelah mengkaji dan mengeksplorasi klasifikasi kultural yang memapar alternatif untuk kerangka-kerja Hofstede, paper ini akan mengevaluasi setiap klasifikasi sesuai dengan kriteria. Setelah itu, arahan untuk penelitian ke depan dan kontribusi dari paper ini akan kami bahas

Paper ini memberikan empat kontribusi terhadap literatur.

(30)

2. Kedua, paper ini menarget kepentingan dari identifikasi tujuan penelitian secara jelas. Kajian kami telah mengarah kepada saran yang sederhana tetapi bermanfaat dalam metode penelitian budaya, yaitu mengadopsi suatu klasifikasi yang didasarkan kepada tujuan penelitian anda. Jika, sebagai contoh, tujuan penelitian yang akan dilaksanakan adalah melaksanakan studi historis atau longitudinal, maka penggunaan sindrom Triandis sepertinya akan menghasilkan analisis yang bermakna. Jika tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis tema budaya dominant, maka suatu aplikasi dari bentuk Fiske (Fiske Form) akan cenderung menghasilkan wawasan yang lebih bermakna daripada yang lainnya. Dan jika para peneliti berharap untuk menggunakan instrumen atau data kolateral, maka korelasi dengan data Hofstede pantas dipertimbangkan. Tampaknya hal yang akan sering diabaikan oleh para peneliti dalam bidang bisnis adalah mengaplikasikan kerangka-kerja Hofstede terhadap setiap permasalahan budaya.

(31)

kesehatan, di sana ada suatu gerakan dari bentuk lain hubungan sosial ke arah penetapan harga pasar. Meskipun tidak menarik secara intuitif (bahwa perawatan kesehatan harus didasarkan kepada beberapa mekanisme pasar, misalnya penetapan harga), tetapi kriteria perubahan budaya ini pada saat dipandang menggunakan lensa Fiske akan menyediakan beberapa area penelitian yang menantang. Dalam cara yang sama, lima kriteria dapat pula digunakan untuk patokan (benchmark) dan untuk mengukur kekuatan dari penelitian terkait budaya. Ini juga konsisten dengan dan mendukung secara langsung karakteristik umum dari penelitian ilmiah. Suatu konsiderasi dari kriteria ini sampai dengan pengembangan suatu kerangka-kerja kultural akan cenderung menghasilkan kerangka-kerja yang lebih kuat dan bermanfaat.

4. Kontribusi keempat dan terakhir dari paper ini adalah menyediakan kepada para peneliti suatu alat taksonomi kultural (dalam bentuk lima kriteria) untuk mensintesis atau mengevaluasi secara kritis dimensi-dimensi yang ada untuk mengembangkan suatu taksonomi yang lebih bermakna dan berguna. Para peneliti yang mengembangkan taksonomi baru juga akan cenderung diuntungkan dari mengarahkan penelitian mereka kepada kriteria ini. Terlebih lagi, kriteria ini dapat pula digunakan untuk mengevaluasi klasifikasi yang telah ada dan klasifikasi yang bakal ada.

Dalam kaitannya dengan arah yang mungkin untuk penelitian ke depan, maka sejumlah jalan dapat diikuti untuk membentuk basis dari pertanyaan penelitian.

1. Pertama, masing-masing dari lima kriteria akan menyediakan kepada para peneliti suatu lahan subur untuk penelitian terkait pertanyaan yang menarik. 2. Area luas kedua untuk penelitian ke depan adalah investigasi ke dalam kerangka-kerja lain yang barangkali akan sangat bermanfaat dalam satu atau lebih kriteria yang diidentifikasi.

(32)

4. Area keempat bagi para peneliti adalah mengaplikasikan berbagai tipologi terhadap permasalahan dengan menggunakan metode penelitian yang berbeda. Hasil dari studi ini akan mengindikasikan apa kombinasi dari metode dan tipologi yang akan memberikan hasil yang akurat.

5. Kelima, kerangka-kerja Fiske telah memunculkan pertanyaan terkait apakah penetapan harga pasar merupakan bentuk dari realitas sosial atau haruskah ia menjadi keadaan akhir dari kontinuum yang berurutan?. Ini akan menjadi pertanyaan yang sangat menarik untuk diteliti dan akan dapat mengarah kepada suatu perbaikan. Ia juga dapat menyediakan sudut pandang baru bagi bentuk Fiske (Fiske form) dan penelitian budaya secara umum.

6. Keenam dan yang terakhir, ada kesempatan untuk perspektif kritis bagi Para strukturalis radikal untuk menantang, menata ulang, mengarahkan ulang, atau mengaplikasikan kerangka-kerja ini dan memperkenalkan level tinggi dari perbaikan kontinyu kerangka-kerja yang ada.

Dalam kata yang singkat, selama orang-orang dari berbagai negara dan kebangsaan bekerja bersama-sama, maka permasalahan budaya (permasalahan kultural) akan terus muncul. Mengabaikan relevansi kultural (dalam bisnis, di tempat kerja, dan dalam penelitian) tidak hanya akan dapat mengurangi luasan dari permasalahan ini dimasa mendatang, tetapi kemungkinan juga akan dapat menghilangkannya. Suatu Studi atas fenomena kompleks dari budaya akan terus memerlukan pengembangan dan penggunaan hipotesis kerangka-kerja kultural.

Oleh sebab itu, tipologi kultural seperti yang telah kita bahas di sini hanyalah permulaan dalam memberikan perhatian terhadap aspek budaya.

Catatan:

1. Satu contoh dari dominasi Hofstede akan ditemukan dalam daftar SSCI 2. Para pendukung argumen ini antara lain: Calori (1994) Abramson (1996) dll. 3. Pandangan laten vs pandangan ontologis adalah suatu topik yang layak

(33)

4. Empat hasil tambahan juga telah dicapai. Yang pertama, banyak klasifikasi yang telah dipaparkan dalam literatur adalah bukan klasifikasi sistematis dari budaya dan ia juga tidak dapat ditempatkan pada teori tertentu dan tidak pula dapat divalidasi oleh analisis statistik.

5. Ekslusif akan bermakna bagaimana suatu subskala akan didefinisikan secara terpisah.

6. Hofstede dkk telah memperingatkan akan kemungkinan adanya kesalahan ekologis dari menarik kesimpulan antar level analisis. Paper ini menyatakan bahwa suatu skema klasifikasi yang memungkinkan analisis multi level dapat digunakan pada eksaminasi budaya dan ekologis.

7. Definisi Trompenaars atas budaya adalah definisi generik lintas organisasi dan kebangsaan (nasionalitas) yang berbeda, sehingga akan dimungkinkan terjadi kerancuan diantara keduanya

8. Kluckohn juga telah mengidentifikasi dimensi ini sebagai hal yang penting 9. AR akan berlawanan dengan kekuasaan koersif dimana manusia akan

mendominasi manusia lainnya terutama dengan kekuasaan atau dengan ancaman.

10. Meskipun Malinowski (1921) adalah orang yang pertama yang menyerukan perhatian terhadap hal ini, tetapi ini diberi label resiprositas (Polanyi dkk 1947).

11. RCA adalah hal yang sangat umum terjadi di Asia dan Afrika dan akan melibatkan anggota untuk memberikan sumbangan secara adil (sama) dan secara teratur. Dalam budaya kita ARC sering dikenal dengan sebutan arisan atau iuran kelompok.

12. Meskipun Fsike tidak membahas jender secara eksplisit, tetapi suatu pencermatan dan invetigasi yang lebih mendalam telah memperlihatkan bahwa konsep diferensiasi jender akan terkandung di dalamnya.

(34)

kaji. Ini akan menyediakan peluang kepada para peneliti untuk mengkaji bentuk yang dominan atau bentuk yang kurang dominan dalam unit analisis. 14. Parson juga telah membuat klaim yang sama atas gerakan ke arah

universalisme dan prestasi dari partikularisme dan askripsi.

15. Fiske telah memperkirakan (memprediksi) hasil sementara untuk perubahan budaya dan hasil yang diprediksi ini akan didasarkan kepada argumen yang konsisten secara internal (dan akan diperingkat tinggi).

16. Seperti yang telah diidentifikasikan oleh Sekaran (1992), analisis ini adalah teruji, handal, obyektif, dan dapat digeneralisir.. .

Referensi

Dokumen terkait

1) Kepemimpinan Transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Ini berarti semakin baik contoh teladan, dorongan pemimpin untuk

Persamaan dan perbedaan corak Teologi Klasik dan Modern adalahJika dibatasi dengan waktu, maka teologi klasik adalah warisan dari teolgi masa lalu dalam

Metode penelitian yang digunakan merupakan metode deskriptif dengan hasil penelitian yang dianalisa dan dimodelkan menggunakan software DHI Mike 21 dan ArcGis

ampullaria Jack merupakan spesies yang terbanyak (22 buah), diikuti dengan Nepenthes rafflesiana Jack (21 buah), Nepenthes mirabilis (Lour) Druce (17 buah) dan

Hubungan daya terhadap putaran diperlihatkan pada Grafik 2, dimana kurva menunjukkan berbagai putaran dengan daya yang dihasilkan, bisa dilihat dalam Grafik 2 bahwa

Biasanya racun yang dikandung oleh kentang berkadar rendah dan tidak menimbulkan efek yang merugikan bagi manusia.Tetapi kentang yang berwarna hijau, bertunas dan

Iklan Baris Iklan Baris BMW Mobil Dijual AUDI Iklan Baris Iklan Baris Disiarkan oleh:.. PT Media Antarkota Jaya sejak 15 April 1970

Australian and New Zealand Institute for Information Literacy (ANZIIL) dan Council of Australian University Librarians (CAUL) mengembangkan sebuah IL model/standard (yang