BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gigi berperan penting dalam pada proses pengunyahan, berbicara dan estetis.
Berbagai penyakit maupun kelainan gigi dan mulut dapat mempengaruhi berbagai
fungsi rongga mulut. Salah satunya adalah kelainan susunan gigi atau disebut
maloklusi.1 Maloklusi adalah penyimpangan susunan gigi dan atau malrelasi
lengkung gigi (rahang) yang tidak sesuai, baik secara estetis maupun fungsional dari
oklusi normal.1,2,3 Oklusi dikategorikan normal bila susunan gigi teratur dalam
lengkung rahang atau hubungan gigi atas dan gigi bawah harmonis dan seimbang,
tulang rahang, tulang tengkorak dan otot sekitarnya dapat membentuk keseimbangan
fungsional sehingga menghasilkan estetis yang baik. Gigi berjejal (crowded), gingsul
(caninus ectopic), gigi tonggos (disto oklusi), gigi cakil (mesio oklusi), gigitan silang
(crossbite), gigi jarang (diastema) merupakan jenis maloklusi.4 Selain itu, terdapat
juga jenis maloklusi protrusi bimaksiller dento-alveolar.5 Protrusi bimaksiler adalah
suatu maloklusi yang memperlihatkan inklinasi anterior yang berlebihan dari
insisivus rahang atas dan rahang bawah. Orang dengan protrusi bimaksiler biasanya
mengalami kesulitan menutup bibir dan mengalami gigi berjejal, serta profil wajah
tidak estetis.5,6
Maloklusi disebabkan oleh beberapa faktor berbeda, yaitu genetik dan
lingkungan. Menurut Proffit, secara umum maloklusi disebabkan karena 1) faktor
luar/ekstrinsik, yaitu herediter, kelainan kongenital, perkembangan dan pertumbuhan
yang salah saat pre dan postnatal, penyakit sistemik, kebiasaan jelek, dan 2) faktor
dalam/intrinsik, yaitu anomali jumlah gigi, anomali ukuran gigi, anomali bentuk gigi,
frenulum labii tidak normal, kehilangan dini gigi desidui, terlambat erupsi gigi
permanen, erupsi abnormal, ankilosis, karies gigi dan restorasi tidak baik.4
Hasil penelitian Marpaung tahun 2006 menunjukkan prevalensi maloklusi
penelitian Dewi tahun 2007 menunjukkan prevalensi maloklusi remaja SMU di kota
Medan dengan menggunakan indeks HMA sebanyak 60,5% dengan jenis maloklusi
yang terbanyak adalah gigi berjejal, baik pada segmen anterior rahang bawah
(41,89%) maupun rahang atas (30,75%).4
Maloklusi tidak membahayakan hidup seseorang, namun sangat berdampak
terhadap ketidaknyamanan, keadaan sosial dan keterbatasan fungsi.7 Dampak
maloklusi berupa terganggunya faktor estetis, fungsi dan bicara, serta tidak hanya
berdampak terhadap susunan gigi geligi, namun juga mempengaruhi penampilan
wajah.8 Banyak faktor yang berpengaruh terhadap persepsi estetis wajah, yaitu
susunan gigi anterior, warna, bentuk dan posisi gigi, ketebalan bibir, kesimetrisan
gingiva atau kontur gingiva, profil bibir, overjet dan lain-lain.9
Penampilan wajah yang tidak menarik dapat mempengaruhi perkembangan
psikologi seseorang, terutama pada usia remaja. Remaja lebih mengutamakan daya
tarik fisik dalam bersosialisasi. Penampilan wajah yang kurang baik dapat
menyebabkan rasa tertekan sehingga menurunkan fungsinya dalam kehidupan sosial,
keluarga, pekerjaan dan aktivitas sekolah karena malu bertemu dengan orang lain
atau merasa diejek.Hal ini dapat mengganggu psikososialnya. Mereka akan merasa
rendah diri, menganggap dirinya tidak berharga, terganggu prestasi akademisnya atau
sengaja tidak masuk sekolah.4,10 Hal ini didukung oleh hasil penelitian Bull dan
Rumsey di New York pada tahun 1988 menunjukkan bahwa penampilan dentofasial
merupakan kunci penentu menarik atau tidaknya seseorang, dimana kelompok yang
mengalami maloklusi cenderung merasa sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan
sekolahnya.11
Penampilan wajah dan susunan gigi merupakan bagian terpenting dari
penampilan fisik remaja, karena masa remaja merupakan tahap perkembangan
psikososial yang pesat. Penampilan fisik, terutama dentofasial muncul sebagai pusat
pencarian jati diri mereka. Kemudian, mulai muncul kepedulian akan tanggapan
orang lain tentang penampilan dan identitas dirinya. Pandangan dari orang lain ini
Dampak maloklusi terhadap kualitas hidup remaja berbeda antara remaja
yang satu dengan yang lain, hal ini dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi seperti
umur, jenis kelamin dan kelas sosial.4 Orang dengan usia yang semakin bertambah
akan semakin memperhatikan kondisi gigi dan mulutnya. Perempuan lebih
memperhatikan gigi-geligi mereka dibandingkan laki-laki.14 Pada kelas sosial yang
semakin tinggi, maka kualitas hidupnya akan semakin baik, karena pengetahuan,
sikap dan perilaku mencari perawatan kesehatan gigi juga lebih baik.4
Hasil penelitian Dewi mengenai hubungan jenis kelamin dengan kualitas
hidup menunjukkan adanya hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan
ketidaknyamanan psikis, ketidakmampuan psikis dan ketidakmampuan sosial.
Remaja perempuan lebih banyak mengeluh dibandingkan laki-laki (p<0,05). Ini
disebabkan karena perempuan lebih sensitif terhadap perubahan dalam hidupnya,
terutama masalah estetis.4 Penelitian Anosike dkk juga menunjukkan perbedaan yang
signifikan berdasarkan jenis kelamin antara maloklusi dengan kualitas hidup, namun
penelitiannya menunjukkan laki-laki lebih perhatian terhadap dirinya (22,3%), lebih
canggung dengan kondisi maloklusi yang terjadi (17%) dan lebih malu terhadap
keadaan rongga mulutnya (18,7%).7
Beberapa alat ukur telah dikembangkan beberapa tahun terakhir ini untuk
pengukuran kualitas hidup yang dihubungkan dengan kesehatan rongga mulut,
meliputi Oral Health-Related Quality of Life (OHRQoL), Condition-Specific Oral
Impacts on Daily Performances (CS-OIDP), Oral Health Impacts Profile (OHIP) dan
14-items short form Oral Health Impact (OHIP-14).15 Indeks tersebut digunakan
untuk mengukur kualitas hidup secara keseluruhan, namun ada indeks yang lebih
spesifik untuk mengukur dampak psikososial dalam bidang ortodonti, yaitu indeks
Psychosocial Impact of Dental Aesthetics Quistionnaire (PIDAQ). Indeks PIDAQ
merupakan suatu alat ukur yang tepat untuk mengetahui dampak psikososial dari
estetika gigi dan mulut pada anak-anak, remaja dan dewasa muda yang mengalami
maloklusi.15,16
Beberapa penelitian telah menggunakan Indeks PIDAQ dengan skala Likert
penelitian terdapat perbedaan dampak psikososial dari estetis gigi, dimana remaja
dengan skor Dental Aesthetic Indeks (DAI) yang lebih tinggi mempunyai skor
dampak yang lebih besar pula. Pada skor DAI 4, skor rerata PIDAQ adalah 24,9 ± 12,
sedangkan pada skor DAI 1, reratanya hanya 14,1 ± 10,2. Sebaliknya, remaja dengan
pertumbuhan gigi yang kurang menarik mempunyai dampak psikososial dan masalah
estetis yang kurang baik.15,17 Penelitian Bellot-Arcis dengan menggunakan Index of
Orthodontic Treatment Need (IOTN) dan PIDAQ menunjukkan bahwa maloklusi
berdampak terhadap status psikososial remaja, dampaknya terus meningkat seiring
keparahan maloklusinya. Pada IOTN –DHC grade 4-5, skor rerata PIDAQ 38,5 (35,6
– 41,3), sedangkan pada grade 1-2, skornya hanya 30,09 (28,6 – 31,6) dan dampak terhadap status psikososial lebih besar pada perempuan.18 Penelitian Khan dan Fida
dengan menggunakan Aesthetic Component of the Index of Orthodontic Treatment
Need (IOTN-AC) dan PIDAQ menunjukkan bahwa terdapat dampak psikososial yang
sangat besar terhadap perubahan estetis dari gigi. Aspek yang terlihat berdampak
sangat signifikan adalah aspek kepercayaan terhadap diri sendiri dan dampak
psikologis.19
Mengingat dampak maloklusi yang dapat mempengaruhi penampilan estetis
dan perkembangan mencari identitas diri remaja, maka perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui akibat maloklusi dan pengaruhnya terhadap psikososial remaja
dalam kehidupannya sehari-hari. Penelitian ini penting dilakukan karena masih
tingginya prevalensi dan keparahan maloklusi, serta dampaknya dalam
mengakibatkan hambatan dalam perkembangan psikologi dan kehidupan sosial.8
Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang dampak
maloklusi anterior terhadap psikososial siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan
SMA Pangeran Antasari dengan menggunakan indeks PIDAQ. Alasan dipilihnya
siswa SMA untuk mewakili remaja karena termasuk dalam batasan usia remaja
pertengahan, dimana terjadi perubahan fisik, mental dan psikososial yang cepat
berdampak pada berbagai aspek kehidupannya. Mereka lebih mementingkan daya
tarik fisik, terutama wajah dalam proses sosialisasi, dan mulai mengembangkan
dengan teman sebaya. Peneliti menggunakan dua sekolah sebagai parameter, yaitu
SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari.
SMA Global Prima Nasional Plus merupakan sekolah bergengsi dengan
reputasi tinggi dan berkualitas dengan taraf nasional plus. Kurikulum yang diterapkan
adalah gabungan kurikulum nasional dan internasional. Sekolah ini menggunakan
bahasa Inggris (70%), Indonesia (20%) dan Mandarin (10%) sebagai bahasa
pengantar dengan guru yang berkualifikasi S1/S2 dari dalam maupun luar negeri.
Jumlah murid tiap kelas tidak terlalu banyak sehingga proses belajar lebih efektif dan
ditunjang oleh fasilitas yang unggul, seperti ruang full AC, kolam renang, tempat
bermain, laboratorium sains, laboratorium komputer, klinik, perpustakaan, wi-fi,
ruang tari, lapangan olahraga dan auditorium. Kebanyakan murid di sekolah ini
berasal dari golongan status sosial-ekonomi yang relatif menengah ke atas karena
uang sekolah 2 kali lipat lebih tinggi dari sekolah nasional biasa, seperti SMA
Pangeran Antasari yang mempraktikkan 100% kurikulum nasional dengan bahasa
pengantar bahasa Indonesia. Jumlah murid tiap kelas lebih banyak sehingga proses
belajar-mengajar kurang efektif. Fasilitasnya juga terbatas, hanya seperti lapangan
olahraga, ruang komputer, perpustakaan dan ruang kelas tanpa pendingin udara.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ada perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial
pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari.
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui persentase maloklusi anterior pada siswa SMA Global
Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari.
2. Untuk mengetahui dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial
dari aspek kepercayaan diri terhadap gigi geligi pada siswa SMA Global Prima
3. Untuk mengetahui dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial
dari aspek sosial pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran
Antasari.
4. Untuk mengetahui dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial
dari aspek psikososial pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA
Pangeran Antasari.
5. Untuk mengetahui dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial
dari aspek estetis pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran
Antasari.
6. Untuk mengetahui perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status
psikososial berdasarkan jenis kelamin pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus
dan SMA Pangeran Antasari.
7. Untuk mengetahui perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status
psikososial berdasarkan sekolah pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dengan
SMA Pangeran Antasari.
1.4 Hipotesis Penelitian
1. Tidak ada perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial
berdasarkan jenis kelamin pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA
Pangeran Antasari.
2. Tidak ada perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial
berdasarkan sekolah pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dengan SMA
Pangeran Antasari.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan peneliti mengenai
dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial pada siswa SMA di Medan
sehari-hari bahwa penampilan gigi geligi berpengaruh terhadap perkembangan
psikososial remaja.
2. Bagi institusi pendidikan
Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan mengenai dampak maloklusi
anterior terhadap status psikososial remaja SMA dan sebagai kontribusi untuk
perkembangan ilmu kedokteran gigi.
3. Bagi peneliti lain
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan bacaan dan acuan bagi
peneliti lain untuk dikembangkan lebih lanjut.
4. Bagi remaja dan masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan gambaran kepada remaja dan
masyarakat mengenai dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial dan
memberikan pengetahuan pengetahuan kepada remaja dan masyarakat bahwa
pentingnya perawatan ortodonti untuk meningkatkan status psikososial remaja
sehingga dapat dilakukan pencegahan maloklusi yang lebih parah agar tidak terjadi