BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak era globalisasi dimulai, perkembangan ekonomi dan perdagangan
yang pesat membuat manusia saling berlomba untuk meningkatkan kualitas
hidupnya, salah satu cara yang ditempuh adalah dengan cara mengembangkan
usahanya. Namun, dalam dunia usaha, suatu perusahaan tidak selalu berjalan
dengan baik, dan acapkali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga
tidak mampu lagi membayar utang-utangnya. Hal ini akan mengakibatkan
timbulnya berbagai masalah utang piutang dalam masyarakat. Tak jarang,
kepailitan merupakan jalan yang dipilih oleh debitur maupun kreditur untuk
menyelesaikan persoalan utang-piutang, karena melalui jalur kepailitan, kreditur
akan memperoleh kepastian hukum dan perlindungan hukum mengenai
piutangnya.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut
UUK dan PKPU), kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah
pengawasan hakim pengawas sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ini.
Apabila hanya seorang kreditur yang ingin mengajukan gugatan atas utang
yang belum dibayar, maka gugatan itu dapat diajukan ke Pengadilan Negeri
dengan alasan debitur telah melakukan wanprestasi. Tetapi, apabila terdapat lebih
lembaga hukum kepailitan yaitu Pengadilan Niaga, yang khusus dibentuk untuk
menangani kasus kepailitan.1
Lembaga hukum kepailitan merupakan perangkat yang disediakan oleh
hukum untuk menyelesaikan utang piutang antara debitur dan kreditur. Filosofi
hukum kepailitan adalah untuk mengatasi permasalahan apabila harta seluruh
harta debitur tidak cukup untuk membayar seluruh utang-utangnya kepada seluruh
krediturnya. Hakikat tujuan adanya kepailitan adalah proses yang berhubungan
dengan pembagian harta kekayaan dari debitur terhadap krediturnya. Kepailitan
merupakan jalan keluar untuk proses pendistribusian harta kekayaan debitur yang
nantinya merupakan budel pailit secara pasti dan adil. Kepailitan merupakan exit
from financial distress yaitu suatu jalan keluar dari persoalan yang membelit
secara finansial sudah tidak bisa diselesaikan.
Perubahan dan penambahan mendasar dalam hubungan dengan ketentuan
kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah adanya Bab Ketiga
tentang Pengadilan Niaga dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang
Kepailitan (selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998).
Pembentukan Pengadilan Niaga ini merupakan langkah diferensial atas peradilan
umum, yang dimungkinkan pembentukannya berdasarkanUndang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 junto Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan diganti dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
2
1
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 1 angka 1.
2
Status pailit bagaikan lubang jarum yang dapat menolong debitur nakal
mengelakkan tanggung jawab untuk membayar utang sepenuhnya. Terlebih-lebih
apabila status tersebut merupakan keinginan debitur sehingga dengan demikian
kepailitan telah memberi waktu bagi debitur untuk menyembunyikan
aset-asetnya.3
Apabila setelah putusan pailit, tidak tercapai kata perdamaian (accord),
maka tahap selanjutnya adalah pengurusan dan pemberesan harta pailit. Tahap
pengurusan harta pailit adalah jangka waktu sejak debitur dinyatakan pailit.
Kurator yang ditetapkan dalam putusan pailit segera bertugas untuk melakukan Pernyataan pailit seorang debitur dilakukan oleh Hakim Pengadilan Niaga
dengan suatu putusan (vonis) dan tidak dengan suatu ketetapan (beschikking). Hal
itu disebabkan suatu putusan menimbulkan suatu akibat hukum baru, sedangkan
ketetapan tidak menimbulkan akibat hukum yang baru tetapi hanya bersifat
deklarator saja.
Putusan pernyataan pailit membawa akibat hukum terhadap debitur. Salah
satu konsekuensi hukum yang cukup fundamental adalah debitur yang semula
berwenang mengurus dan menguasai hartanya menjadi tidak berwenang mengurus
dan menguasai hartanya, yang terhitung sejak pukul 00.00 dari hari putusan pailit
diucapkan. Dalam putusan pailit, pengadilan juga menyatakan pengangkatan
seorang hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan dan pengangkatan
seorang kurator. Sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, yang berhak
berkuasa atas harta pailit debitur adalah kurator.
3
Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-undangan yang
pengurusan dan penguasaan budel pailit, dibawah pengawasan hakim pengawas,
meskipun terhadap putusan tersebut diajukan upaya hukum baik berupa kasasi
ataupun peninjauan kembali.
Walaupun debitur pailit telah kehilangan hak untuk mengurusi harta
pailitnya, namun ia tetap harus ikut serta jika diperlukan dalam pemberesan dan
pengurusan harta pailit, misalnya perlunya kerjasama debitur pailit dalam
memberikan keterangan jelas dan benar pada kurator dalam melakukan
invetarisasi harta pailit, kedatangannya ke Pengadilan Niaga apabila dipanggil
oleh hakim, dan lain sebagainya.
Proses maupun pembagian harta kepailitan bukan merupakan satu hal
yang mudah. Adakalanya dalam proses kepailitan terdapat debitur yang memiliki
itikad yang tidak baik seperti tidak mau melunasi utang-utangnya, berusaha
menyembuyikan harta kekayaan maupun melarikan diri, sehingga menyebabkan
terhambatnya proses pengurusan dan pemberesan harta pailit. Oleh karena itu,
debitur pailit yang tidak beritikad baik dalam pengurusan dan pemberesan harta
pailit dapat ditahan.
Penahanan yang dimaksud dalam kepailitan adalah gizjeling. Gizjeling
merupakan suatu pranata hukum untuk mencegah debitur tidak memenuhi
kewajibannya sekaligus memastikan pelaksanaan pembagian harta kepailitan
berjalan secara adil bagi semua pihak. Pemberlakuan lembaga paksa
badandibentuk sebagai upaya pembaharuan dari lembaga penyanderaan (gijzeling)
yang pernah berlaku di Indonesia dengan tujuan untuk menjamin dan
untuk mengalihkan harta kekayaannya. Lembaga paksa badan tersebut juga
bertujuan sebagai pendorong motivasi debitur untuk melunasi kewajibannya
sehingga hak-hak kemerdekaannya tidak dirampasdan keseimbangan hukum
dapat tercapai.4
Terlepas dari itikad baik yang dimiliki seorang debitur pailit, secara
umum, debitur pailit atas usul hakim pengawas, permintaan kurator, atau atas
permintaan seorang kreditur atau lebih dan setelah mendengar dari hakim
pengawas dapat ditahan.5 Tetapi, telah diatur bahwa hanya permintaan penahanan
yang tercantum dalam ketentuan UUK dan PKPU yang harus dikabulkan.6
Tidak adanya kepastian mengenai jangka waktu penahanan debitur pailit
menyebabkan debitur pailit tidak mendapatkan perlindungan dan kepastian
hukum. Oleh sebab itu, timbul keinginan untuk menganalisis dari segi yuridis
tentang penahanan debitur pailit dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit,
kelemahan apa saja yang terdapat dalam UUK dan PKPU terkait dengan
penahanan debitur pailit.
Hal ini menandakan selain pada ketentuan itu, penahanan seorang debitur
pailit belum pasti dikabulkan, tergantung pada kebijakan hakim pengadilan itu
sendiri. Dalam hal ini, tidak ada kepastian hukum mengenai apa saja kriteria,
selain yang tercantum dalam UUK dan PKPU, yang dapat membuat penahanan
seorang debitur pailit dikabulkan.
4
Penyelesaian Utang-Piutang dengan Paksa Badan,
tanggal 15 Oktober 2014).
5
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 93.
6
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat
dirumuskan 3 (tiga) permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu:
1. Undang Nomor 37 TahunBagaimanakah pengurusan dan pemberesan harta
pailit menurut Undang-2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang?
2. Bagaimanakah pengaturan penahanan debitur pailit dalam kepailitan?
3. Bagaimanakah kepastian hukum dalam implementasi ketentuan penahanan
debitur pailit dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penulisan
Tujuan yang ingin dicapai melalui karya tulis skripsi ini ialah:
a. Untuk mengetahui tentang ketentuan hukum mengenai penahanan debitur
yang tidak beritikad baik dalam kepailitan.
b. Untuk mengetahui ketentuan hukum mengenai perlindungan hukum
terhadap debitur atas ketidakpastian hukum terkait penahanan.
2. Manfaat penulisan
a. Secara teoritis
1) Untuk mengetahui bagaimana pengaturan penahanan debitur pailit
2) Untuk mengetahui bagaimana kepastian hukum dalam implementasi
ketentuan penahanan debitur pailitdalam UUK dan PKPU.
b. Secara praktis
Sebagai pedoman bagi masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan
dalam hal-hal yang berkaitan dengan segala permasalahan dalam
pengurusan dan pemberesan harta pailit di Indonesia.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Penahanan Debitur Pailit dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit” ini merupakan benar hasil karya sendiri dari penulis sendiri, tanpa meniru karya tulis milik orang lain. Oleh
karenanya, keaslian dan kebenaran ini dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis
sendiri dan telah sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi
secara akademik yaitu kejujuran, rasional, objektif, dan terbuka. Selain itu, semua
informasi di dalam skripsi ini berasal dari berbagai karya tulis penulis lain, baik
yang dipublikasikan ataupun tidak, serta telah diberikan penghargaan dengan
mengutip nama sumber penulis dengan benar dan lengkap.
Karya tulis skripsi ini memiliki kemiripan dengan beberapa skripsi yang
sudah ditulis oleh beberapa mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, yaitu:
1. Nama : Hans Philip Samosir
Judul : Tanggung jawab Kurator dalam Pengurusan
Harta Pailit
2. Nama : Lindia Halim
NIM : 010200161
Judul : Pengajuan permohonan pernyataan pailit atas
debitur kredit sindikasi
Walaupun terdapat sedikit kemiripan dengan beberapa judul di atas,
namun terdapat perbedaan yang signifikan mengenai substansi pembahasan.
Penelitian yang dilakukan dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Penahanan
Debitur Pailit dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit” membahas
bagaimana konsep penahanan debitur pailit dalam pengurusan dan pemberesan
harta pailit, serta analisis yuridis mengenai pemberlakuan penahanan terhadap
debitur pailit dalam praktiknya. Sedangkan kedua judul di atas membahas tentang
hal yang berbeda. Judul pertama membahas lebih sempit, yaitu sebatas tanggung
jawab kurator dalam pengurusan harta pailit. Judul kedua membahas mengenai
pengajuan permohonan pernyataan pailit atas debitur kredit sindikasi.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pailit
Istilah “pailit” dijumpai dalam pembendaharaan bahasa Belanda, Perancis,
Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, “failite” berarti pemogokan atau
kemacetan pembayaran. Dalam bahasa Belanda, digunakan istilah “failliet” yang
bahasa Latin dipergunakan istilah failure dan dalam bahasa Inggris, digunakan
istilah to fail.
Sedangkan, menurut Pasal 1 angka 1 UUK dan PKPU, kepailitan adalah
sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas
sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ini.
Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap
debitur dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1)UUK dan PKPU, antara lain:
“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih krediturnya.”
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menentukan pihak-pihak dapat
mengajukan permohonan pailit :
a. Debitur sendiri
Debitur dapat mengajukan permohonan pailit untuk dirinya sendiri
(voluntary petition), yang biasanya dilakukan dengan alasan bahwa dirinya
maupun kegiatan usaha yang dijalanakannya tidak mampu lagi untuk
melaksanakan seluruh kewajibannya, terutama dalam melakukan
pembayaran utang-utangnya terhadap para krediturnya.
b. Seorang atau beberapa kreditur (Pasal 2 ayat (1));
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, permohonan
pailit pada umumnya diajukan oleh kreditur, baik kreditur yang merupakan
c. Kejaksaan demi kepentingan umum (Pasal 2 ayat (2));
Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa
dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.
d. Bank Indonesia dalam menyangkut debitur yang merupakan bank (Pasal 2
ayat (3));
Pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap suatu bank sepenuhnya
merupakan kewenangan Bank Indonesia. Pengajuan tersebut semata-mata
didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara
keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dipertanggungjawabkan.
e. Badan Pengawas Pasar Modal jika debitur merupakan perusahaan efek,
bursa efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian (Pasal 2 ayat (4));
f. Menteri Keuangan dalam hal debitur adalah perusahaan asuransi,
perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang
bergerak di bidang kepentingan publik (Pasal 2 ayat (5));
Setiap orang dapat dinyatakan pailit sepanjang memenuhi ketentuan dalam
Pasal 2 UUK dan PKPU. Debitur secara sumir terbukti memenuhi syarat di atas
dapat dinyatakan pailit, baik debitur perorangan maupun badan hukum. Menurut
Imran Nating, pihak yang dapat dinyatakan pailit antara lain:7
a. Orang-perorangan
Baik laki-laki maupun perempuan, menjalankan perusahaan atau tidak,
yang telah menikah maupun yang belum menikah. Jika permohonan
pernyataan pailit tersebut diajukan oleh debitur perorangan yang telah
menikah, permohonan tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan
suami atau istrinya, kecuali antara suami istri tersebut tidak ada
pencampuran harta.
b. Harta peninggalan (warisan)
Harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia dapat dinyatakan
pailit apabila orang yang meninggal dunia itu semasa hidupnya berada
dalam keadaan berhenti membayar utangnya, atau harta warisannya pada
pada saat meninggal dunia si pewaris tidak mencukupi untuk membayar
utangnya. Dengan demikian, debitur yang telah meninggal dunia masih
saja dinyatakan pailit atas harta kekayaannya apabila ada kreditur yang
mengajukan permohonan tersebut. Akan tetapi permohonan tidak
ditujukan bagi para ahli waris. Pernyataan pailit harta peninggalan
berakibat demi hukum dipisahkan harta kekayaan pihak yang
meninggaldari harta kekayaan para ahli waris dengan cara yang dijelaskan
dalam Pasal 1107 KUHPerdata. Permohonan pailit terhadap harta
peninggalan, harus memperhatikan ketentuan Pasal 210 UUK dan PKPU,
yang mengatur bahwa permohonan pernyataan pailit harus diajukan paling
lambat 90 (sembilan puluh) hari setelah debitur meninggal.
c. Perkumpulan perseroan (holding company)
UUK dan PKPU tidak mensyaratkan bahwa permohonan kepailitan
terhadap holding company dan anak-anak perusahaannya harus diajukan
diajukan dalam satu permohonan, juga dapat diajukan terpisah sebagai dua
permohonan.
d. Penjamin (guarantor)
Penanggungan utang atau borgtocht adalah suatu persetujuan dimana
pihak ketiga guna kepentingan kreditur mengikatkan dirinya untuk
memenuhi kewajiban debitur apabila debitur yang bersangkutan tidak
dapat memenuhi kewajibannya.
e. Badan hukum
Menurut kepustakaan hukum Belanda, istilah badan hukum dikenal
dengan sebutan rechtsperson, dan dalam kepustakaan common
lawseringkali disebut dengan istilah legal entity, juristic person, atau
artificial person. Badan hukum bukanlah makhluk hidup sebagaimana
halnya manusia. Badan hukum kehilangan daya pikir, kehendaknya, dan
tidak mempunyai central bewustzijn. Oleh karena itu, ia tidak dapat
melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri. Ia harus bertindak dengan
perantara orang (natuurlijke personen), tetapi orang yang bertindak itu
tidak bertindak untuk dirinya sendiri melainkan untuk dan atas nam
pertanggungan gugat badan hukum. Pada badan hukum selalu diwakili
oleh organ dan perbuatan organ adalah perbuatan badan hukum itu sendiri.
Organ hanya dapat mengikatkan badan hukum, jika tindakannya masih
f. Perkumpulan bukan badan hukum
Perkumpulan yang bukan berbadan hukum ini menjalankan suatu usaha
berdasarkan perjanjian antaranggotanya, tetapi perkumpulan ini bukan
merupakan badan hukum, artinya tidak ada pemisahan harta perusahaan
dan harta kekayaan pribadi, yang termasuk dalam perkumpulan ini antara
lain:
1) Maatscappen (persekutuan perdata);
2) Persekutuan firma;
3) Persekutuan komanditer.
Oleh karena bukan badan hukum, maka hanya para anggotanya saja yang
dapat dinyatakan pailit. Permohonan pailit terhadap firma dan persekutuan
komanditer harus memuat nama dan tempat kediaman masing-masing
pesero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh utang firma.
g. Bank
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU membedakan antara debitur bank
dan bukan bank. Pembedaan tersebut dilakukan dalam hal siapa yang
dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit. Apabila debitur adalah
bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank
Indonesia, karena bank sarat dengan uang masyarakat yang harus
dilindungi.
h. Perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga
Sebagaimana bank, UUK dan PKPU juga membedakan perusahaan efek
dengan debitur lainnya. Jika menyangkut debitur yang merupakan
perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga
penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. Badan ini dikecualikan oleh
UUK dan PKPU karena lembaga ini mengelola dana masyarakat umum.
2. Penahanan
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa debitur pailit yang
tidak beritikad baik dapat ditahan. Yang dimaksud penahanan terhadap debitur
pailit dalam UUK dan PKPU adalahgizjeling. 8
a. Dalam putusan pailit; atau
Lembaga paksa badan atau
istilahnya disebut gijzeling merupakan lembaga upaya paksa agar debitur
memenuhi kewajibannya.Menurut R. Susilo, gizjeling adalahpenahanan terhadap
pihak yang kalah didalam lembaga permasyarakatan dengan maksud untuk
memaksanya supaya memenuhi putusan hakim.Gijzeling dikenakan terhadap
orang yang tidak atau tidak cukup mempunyai barang untuk memenuhi
kewajibannya.
Penahanan bagi debitur pailit ini ditetapkan :
b. Setiap waktu setelah putusan pailit.
Penahanan tersebut dilaksanakan oleh pihak kejaksaan, di tempat-tempat
sebagai berikut :
a. Dalam penjara; atau
8
b. Di rumah tahanan; atau
c. Di rumah seorang kreditur.
3. Pengurusan
Tahap pengurusan harta pailit adalah jangka waktu sejak debitur
dinyatakan pailit. Pengurusan adalah menginventarisasi, menjaga dan memelihara
agar harta pailit tidak berkurang dalam jumlah, nilai dan bahkan bertambah dalam
jumlah dan nilai.
4. Pemberesan
Pemberesan merupakan salah satu tugas yang dilakukan oleh kurator
terhadap pengurusan harta debitur pailit, dimana pemberesan adalah penguangan
aktiva untuk membayar atau melunasi utang. Pemberesan baru dapat dilakukan
setelah debitur pailit benar-benar dalam keadaan insolvensi.. Insolvensi terjadi
bilamana :
a. Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana
perdamaian.
b. Apabila ada penawaran perdamaian oleh si pailit maupun oleh kurator,
tetapi tidak disetujui oleh para kreditur dalam rapat verifikasi (pencocokan
piutang).
c. Apabila terdapat perdamaian dan disetujui oleh para kreditur dalam rapat
verifikasi tetapi tidak mendapat homogolasi (pengesahan) oleh hakim
F. Metode Penelitian
Pengaturannya terdiri dari :
1. Spesifikasi penelitian
Skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif,bersifat deskriptif dan
menggunakan pendekatan yuridis. Penelitian hukum normatif adalah penelitian
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder
belaka.9Penelitian hukum normatif sendiri mengacu pada berbagai bahan hukum
sekunder, 10 yaitu inventarisasi berbagai peraturan hukum nasional dan
internasional dalam bidang kepailitan, jurnal-jurnal dan karya tulis ilmiah lainnya,
serta artikel-artikel berita terkait. Sedangkan penelitian deskriptif ialah penelitian
yang pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual
dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu.11
2. Data penelitian
Penelitian deskriptif
dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin, tentang penahanan
debitur pailit dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit.
Pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini,
menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) atau studi
dokumen (document study). Metode penelitian kepustakaan dilakukan terhadap
data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.12
9
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, Cet. Ketujuh, Ed. Pertama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 13-14.
10
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Cet. Kedua, Ed. Pertama (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 14.
11
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Cet. Kedua, Ed. Pertama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), hlm. 36.
12
Bambang Waluyo, Op. Cit., hlm. 13-14.
Soekanto, data sekunder dalam penelitian hukum terdiri atas tiga bahan hukum,
yaitu:13
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti
undang-undang, peraturan pemerintah, danberbagai peraturan hukum
nasional yang mengikat, antara lain: UUK dan PKPU, Perma Nomor 1
Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan (selanjutnya disebut Perma
Nomor 1 Tahun 2000),Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, serta peraturan-peraturan lainnya.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikanpenjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti: rancangan undang-undang,
hasil-hasil penelitian, hasil-hasil karya dari kalangan hukum, danberbagai karya
tulisilmiah yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan ini.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikanpetunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukumrimer dan sekunder; contohnya
adalah kamusensiklopedia, majalah, dan seterusnya. Selain itu, bahan
tersier ini juga meliputi berbagai bahan primer, sekunder, dan tersier diluar
bidang hukumyang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan,
terutama dari bidang ekonomi.
3. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data diperlukan untuk memperoleh suatu kebenaran
dalam penulisan skripsi, dalam hal ini digunakan metode pengumpulan data
dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan
13
menganalisis data secara sistematis melalui buku-buku, surat kabar, makalah
ilmiah, internet, peraturan perundang-undangan, dan bahan-bahan lain yang
berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.
4. Analisis data
Analisis data penelitian menggunakan analisis normatif kualitatif, yaitu
data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis
secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan
hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif dilakukan
guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif, yaitu data-data yang akan diteliti
dan dipelajari sesuatu yang utuh.
G. Sistematika Penulisan
Untuk menguraikan dan mendeskripsikan isi dan sajian dalam karya
ilmiah ini secara teratur, maka karya tulisan ilmiah ini dibagi kedalam susunan
yang terdiri atas lima bab dan beberapa sub bab tersendiri dalam setiap bab
dengan ruang lingkup pertanggungjawaban sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab pertama yang berisi pendahuluan ini, memaparkan
pengantar untuk dapat memberikan penjelasan singkat dan
pengertian tentang ruang lingkup dan jangkauan daripada
pembahasan karya ilmiah ini, yang meliputi latar belakang
permasalahan, keaslian penulisan, tujuan penulisan,
dan pengumpulan data yang digunakan serta sistematika
penulisannya sendiri.
BAB II PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT
Bab kedua ini akan membahas mengenai pengertian dan
syarat-syarat kepailitan, akibat hukum pernyataan pailit,
pengurusan harta pailit, pemberesan harta pailit, serta
kedudukan hukum debitur setelah berakhirnya pemberesan
harta pailit.
BAB III PENGATURAN PENAHANAN DEBITUR PAILIT
DALAM KEPAILITAN
Bab ketiga ini akan menguraikan lebih lanjut mengenai
keberadaan lembaga paksa badan dalam kepailitan yang
mencakup tinjauan yuridis terhadap keberadaan lembaga
paksa badan dan perbedaan lembaga paksa badan dan
penyanderaan , penahanan debitur pailit menurut UUK dan
PKPUdan akibat hukum penahanan debitur pailit terhadap
pengurusan dan pemberesan harta pailit.
BAB IV KEPASTIAN HUKUM DALAM IMPLEMENTASI
KETENTUAN PENAHANAN DEBITUR PAILIT
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN
2004
Pembahasan dalam bab ini adalah berdasarkan analisis.
kepastian hukum dalam kepailitan, ketentuan mengenai
syarat penahanan debitur pailit, masa penahanan debitur
pailit dan perlindungan hukum terhadap debitur pailit atas
ketidakpastian hukum terkait penahanan yang mencakup
perlindungan terhadap debitur baik dari segi preventif
maupun represif.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab terakhir ini akan memberikan beberapa intisari
kesimpulan berdasarkan hasil pembahasan setiap bab dalam
permasalahan tersebut. Bab ini juga akan memaparkan
beberapa saran yang dapat diberikan sehubungan dengan