• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Sikap dan Keterampilan Perawat dalam Penerapan Tindakan Triage di IGD RSUD Dr. Pirngadi Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Sikap dan Keterampilan Perawat dalam Penerapan Tindakan Triage di IGD RSUD Dr. Pirngadi Medan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep Sikap

1.1 Definisi Sikap

Sikap merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai

objek atau situasi yang relatif, yang disertai perasaan tertentu dan memberi dasar

pada orang tersebut untuk membuat respon atau berperilaku dalam acara tertentu

yang telah dipilih (Sunaryo, 2004). Menurut Azwar (2005) mendefenisikan sikap

sebagai suatu pola, tendensi atau kesiapan antisipasif, predisposisi untuk

menyesuaikan diri dalam situasi sosial atau secara sederhana. Sikap adalah respon

secara stimuli sosial yang telah terkondisikan.

Sikap yang terdapat pada diri individu akan memberi warna atau corak

tingkah laku ataupun perbuatan individu yang bersangkutan. Dengan memahami

atau mengetahui sikap individu, dapat diperkirakan respon atau perilaku yang

akan diambil oleh individu yang bersangkutan. Kecenderungan bertindak dari

individu, berupa respon tertutup terhadapa stimulus ataupun objek tertentu adalah

suatu sikap (Sunaryo, 2004).

1.2 Struktur Sikap

Menurut Azwar (1993 dalam Sunaryo, 2004) bahwa sikap memiliki tiga

komponen yang membentuk struktur sikap yang ketiganya saling menunjang,

(2)

1) Komponen Persepsi (perceptual)

Berisi kepercayaan individu yang berhubungan dengan hal-hal bagaimana

persepsi individu terhadap objek sikap, dengan apa yang dilihat dan diketahui

(pengetahuan), pandangan, pikiran, pengalaman pribadi, kebutuhan emosional dan

informasi dari orang lain.

2) KomponenAfektif (affective/emosional)

Komponen ini menunjuk pada dimensi emosional sebjek individu,

terhadap objek sikap baik yang positif (rasa senang). Reaksi emosional banyak

dipengaruhi oleh apa yang kita percayai sebagai sesuatu yang benar terhadap

objek sikap tersebut.

3) Komponen Kognitif(cognitive/perilaku)

Yaitu komponen sikap yang berkaitan dengan predisposisi atau

kecenderungan bertindak terhadap objek sikap yang dihadapinya. Menurut

Notoatmodjo (2003 dalam Sunaryo, 2004) bahwa struktur sikap terdiri dari tiga

komponen pokok yaitu: 1) Komponen kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep

terhadap suatu objek. 2) Komponen yang meliputi kehidupan emosional atau

evaluasi individu terhadap suatu objek sikap. 3) Komponen predisposisi atau

kesiapan/kecenderungan individu untuk bertindak.

1.3 Tingkatan Sikap

Menurut Notoatmodjo (2003), sikap memiliki empat tingkatan dari yang

(3)

1) Menerima (receiving)

Menerima dapat diartikan bahwa orang mau dan memperhatikan stimulus

yang diberikan (objek). Misalnya sikap seseorang terhadap periksa

kehamilannya, dapat diketahui atau diukur dari kehadiran ibu untuk

mendengarkan penyuluhan yang telah diberikan.

2) Merespon (responding)

Menanggapi ini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap

pertanyaan atau objek yang dihadapi apabila ditanya. Menyelesaikan dan

mengerjakan tugas adalah salah satu indikasi dari sikap.

3) Menghargai (valuing)

Menghargai diartikan sebagai subjek atau seseorang memberikan nilai

yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasnya dengan

orang lain dan bahkan mengajak, mempengaruhi atau menganjurkan orang lain

merespon. Pada sikap ini individu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau

mendiskusikan suatu masalah.

4) Bertanggung jawab (responsible)

Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap

apa yang telah diyakininya atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan

segala resiko yang mungkin akan dialaminya, merupakan sikap yang paling

tinggi.

Pada manusia sebagai faktor sosial, pembentukan sikap tidak lepas dari

(4)

individu, sehingga apa yang datang dari dirinya (internal) juga mempengaruhi

pembentukan sikap (Notoadmodjo, 2003).

1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan dan Pengubahan Sikap

Manusia sebagai faktor sosial, pembentukan sikap tidak lepas dari

pengaruh interaksi satu sama lainnya (eksternal). Disamping itu manusia juga

individu, sehingga apa yang datang dari dalam dirinya (internal) juga

mempengaruhi pembentukn sikap (Notoadmojo, 2003).

1) Faktor Internal

Dalam hal ini individu menerima, mengolah dan memilih segala sesuatu

yang datang dari luar, serta menentukan mana yang akan diterima dan mana yang

akan ditolak. Faktor internal menyangkut motivasi dan sikap yang bekerja dalam

diri individu pada saat itu, serta mengarahkan minat, perhatian (psikologis) juga

perasaan sakit,lapar dan haus (faktor fisiologis).

2) Faktor Eksternal

Merupakan stimulus untuk membentuk dan menentukan sikap. Stimulus

tersebut dapat bersifat langsung, misalnya individu dengan individu, individu

dengan kelompok. Dapat juga bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara

seperti alat komunikasi dan sebagainya.

1.5 Pembentukan dan Perubahan Sikap

Menurut Wirawan (2000, dalam Sunaryo, 2004) ada beberapa cara untuk

(5)

1) Adopsi

Adopsi adalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap melalui

kejadian yang terjadi berulang dan terus menerus sehingga lama kelamaan secara

bertahap hal tersebut akan diserap oleh individu dan akan mempengaruhi

pembentukan serta perubahan sikap individu.

2) Diferensiasi

Diferensiasi adalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap karena

sudah dimilikinya pengetahuan, pengalaman, intelegensi dan bertambahnya umur.

Oleh karena itu hal-hal yang terjadi dianggap sejenis, sekarang dipandang

tersendiri dan lepas dari sejenisnya sehingga membentuk sikap tersendiri.

3) Integrasi

Integrasi adalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap yang terjadi

secara bertahap, diawali dari bermacam-macam pengetahuan dan pengalaman

yang berhubungan dengan objek sikap tertentu sehingga akhirnya terbentuk sikap

terhadap objek tersebut.

4) Trauma

Trauma adalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap melalui

kejadian secara tiba-tiba dan mengejutkan. Sehingga menimbulkan kesan

mendalam dalam diri individu. Kejadian tersebut akan mengubah sikap individu

terhadap kejadian sejenis.

(6)

Generalisasi adalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap karena

pengalaman traumatik pada diri individu yang dapat menimbulkan sikap negatif

terhadap semua hal yang sejenis.

1.6 Pengukuran Sikap

Mengukur sikap tidak lain adalah mencoba membentuk peringkat sikap

seseorang menurut ciri-ciri yang sudah ditetapkan. Pada umumnya pengukuran

sikap dapat dibagi dalam tiga cara yaitu: wawancara, observasi dan kuesioner.

Setiap cara memiliki keuntungan dan keterbatasan sehingga peneliti perlu

mempertimbangkan cara yang sesuai dengan tujuan penelitian sikap (Gayatri,

2004).

Skala yang digunakan dapat berupa skala nominal, ordinal maupun

interval. Skala sikap yang sering digunakan adalah: pertama skala mode

Thrustone, dengan skala ini responden diminta untuk menyatakan setuju atau

tidak setuju terhadap deretan pernyataan mengenai objek sikap. Skala yang kedua

adalah model Likert, dengan skala ini responden diminta untuk membubuhkan

tanda cek pada salah satu dari lima kemungkinan jawaban yang tersedia “sangat

setuju”, “setuju”, “tidak tentu”, “tidak setuju”, “sangat tidak setuju. Peneliti dapat

menyingkatnya menjadi empat tingkatan sesuai dengan keinginan dan

kepentingan peneliti yang mencipatakn instrumen tersebut, seperti selalu, sering,

kadang-kadang, tidak pernah. Ketiga adalah semantic differensial (perbedaan

semantik). Dengan instrumen ini responden diminta untuk menetukan peringkat

(7)

“baik-tidak baik”, “berharga-tidak berharga”, dan sebagainya. Keempat adalah

skala Guttman, merupakan semacam pedoman wawancara/kuesioner terbuka yang

dimaksud untuk membuka sikap. Kelima adalah skala Inkeles,merupakan jenis

kuesioner tertutup seperti tes prestasi belajar dalam bentu pilihan ganda

(Arikunto, 2006).

2. Konsep Keterampilan

2.1 Definisi Keterampilan

Keterampilan adalah kemampuan seseorang menerapkan pengetahuan

kedalam bentuk tindakan. Keterampilan seorang karyawan diperoleh melalui

pendidikan dan latihan. Menurut Garry Dessler, pelatihan memberikan pegawai

baru atau yang ada sekarang keterampilan yang mereka butuhkan untuk

melaksanakan pekerjaan. Ada beberapa manfaat yang diperoleh dengan adanya

pendidikan dan latihan yakni : a) membantu individu untuk dapat membuat ke

putusan dan pemecahan masalah secara lebih baik; b) internalisasi dan

operasionalisasi motivasi kerja, prestasi, tanggung jawab, dan kemajuan; c)

mempertinggi rasa percaya diri dan pengembangan diri; d) membantu untuk

mengurangi rasa takut dalam menghadapi tugas-tugas baru (Justine Sirait, 2006).

2.2 Tingkat Keterampilan

a. Persepsi

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang

akan diambil merupakan praktek tingkat pertama.

(8)

Yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar(dalam hal

ini adalah prosedur tetap/ protap), ini merupakan indikator praktek tingkat ke dua.

c. Mekanisme

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara

otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan sebuah kebiasaan, maka ia sudah

mencapai tingkatan praktek yang ketiga.

d. Adaptasi

Merupakan suatu praktek atau tindakan yang berkembang denganbaik,

artinya tindakan tersebut sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran

tindakan tersebut. (Justine sirait, 2006)

Dan tingkatan keterampilan yang keempat ini yang berhubungan langsung dengan

perawat serta perkembangannya dapat berjalan secara alami dan dapat dipelajari

pada setiap orang.

Sementara menurut Rober L. Katz (dalam Suprapto, 2009) keterampilan

dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu:

a. Keterampilan teknis (Technical skill)

Merupakan suatu kemampuan untuk menggunakan keahlian khusus

dalam melakukan tugas tertentu.

b. Keterampilan manusiawi (Human Skills)

Kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain disebut human skill.

Di tempat kerja keterampilan tersebut muncul dalam bentuk rasa percaya,

antusias, keterlibatan secara tulus dalam hubungan inter personal.

(9)

Adalah keterampilan dalam mengkoordinasikan, mengintegrasikan dan

mengaktifkan organisasi. Biasanya jenis keterampilan ini banyak dimiliki oleh

seorang menejer yang sudah

berpengalaman dalam bidang tertentu dan digunakan untuk membuat suatu

keputusan mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi.

3. Konsep Triage

3.1 Definisi Triage

Triage berasal dari bahasa prancis yaitu “Trier” bahasa Inggris triage

diturunkan kedalam bahasa Indonesia triase yang berarti sortir atau membagi

kedalam tiga kelompok (Department of Emergency Medicine Singapore General

Hospital (DEM SGH, 2005). Triage mulai digunakan di unit gawat darurat pada

akhir tahun 1950 dan awal tahun 1960. Penggunaan triage di unit gawat darurat

disebabkan oleh peningkatan jumlah kunjungan ke unit gawat darurat yang dapat

mengarah pada lamanya waktu tunggu penderita dan keterlambatan di dalam

penanganan kasus-kasus kegawatan.

Menurut Brooker (2008) dalam prinsip triage diberlakukan sistem

prioritas, prioritas adalah penentuan/penyeleksian mana yang harus didahulukan

mengenai penanganan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbul

dengan seleksi pasien berdasarkan: 1) Ancaman jiwa yang dapat mematikan

dalam hitungan menit, 2) dapat mati dalam hitungan jam, 3) trauma ringan, 4)

(10)

Triage juga diartikan sebagai suatu tindakan pengelompokan penderita

berdasarkan pada beratnya cedera yang diprioritaskan ada tidaknya gangguan

pada airway (A), breathing (B), dan circulation (C) dengan mempertimbangkan

sarana, sumberdaya manusia, dan probabilitas hidup penderita.

Triage adalah proses khusus memilah pasien berdasarkan beratnya cedera

atau penyakit untuk menentukan prioritas perawatan gawat darurat medik, artinya

memilih berdasarkan prioritas atau penyebab ancaman hidup. Tindakan ini

berdasarkan prioritas ABCDE. Prioritas I (prioritas tertinggi) warna merah untuk

berat dan biru untuk sangat berat. Mengancam jiwa atau fungsi vital, perlu

resusitasi dan tindakan bedah segera, mempunyai kesempatan hidup yang besar.

Penanganan dan pemindahan bersifat segera yaitu gangguan pada jalan nafas,

pernafasan dan sirkulasi. Contohnya sumbatan jalan nafas, tension pneumothorax,

syok hemoragik, luka terpotong pada tangan dan kaki, cumbutio (luka bakar)

tingkat II dan III >25%. Prioritas ke II (medium) warna kuning, potensial

mengancam nyawa atau fungsi vital bila tidak segera ditangani dalam jangka

waktu singkat. Penanganan dan pemindahan bersifat jangan terlambat. Contoh

patah tulang besar, combutio (luka bakar) tingkat I dan II <25%, trauma

thorax/abdomen, laserasi luas, trauma bola mata. Prioritas III (rendah) warna

hijau, perlu penanganan seperti pelayanan biasa, tidak perlu segera. Penanganan

dan pemindahan bersifat terakhir. Contoh luka superficial, luka-luka ringan.

Prioritas 0 warna hitam, kemungkinan untuk hidup sangat kecil, luka sangat

parah, hanya perlu suportif. Contoh henti jantung kritis, trauma kepala berat

(11)

3.2 Tujuan triage

Menurut Kartkawati (2011) ada empat tujuan triage, yaitu:

1) Mengidentifikasi kondisi yang mengancam nyawa.

2) Memprioritaskan pasien menurut kondisi keakutannya.

3) Menempatkan pasien sesuai dengan keakutannya berdasarkan pada

pengkajian yang tepat dan akurat.

4) Menggali data yang lengkap tentang keadaan pasien.

3.3 Prinsip Triage

Menurut Kartikawati (2011) prinsip triage adalah sebaga berikut:

1) Triage harus dilakukan dengan segera dan singkat.

2) Kemampuan untuk menilai dan merespons dengan cepat kemungkinan yang

dapat menyelamatkan pasien dari kondisi sakit atau cedera yang

mengancam nyawa dalam departemen gawat darurat.

3) Pengkajian harus dilakukan secara adekuat dan akurat.

4) Keakuratan dan ketepatan data merupakan kunci dalam proses pengkajian.

5) Keputusan dibuat berdasarkan pengakajian.

6) Keselamatan dan keefektifan perawatan pasien dapat direncanakan jika

terdapat data dan informasi yang akurat dan adekuat.

7) Intervensi yang dilakukan berdasarkan kondisi keakutan pasien.

8) Tanggung jawab yang paling utama dari proses triage yang dilakukan

(12)

perawatan sesuai dengan prioritas pasien. Hal ini termasuk intervensi

terapeutik dan prosedur diagnostik.

9) Tercapainya kepuasan pasien.

a. Perawat triage harus menjalankan triage

b. Secara simultan, cepat, dan langsung sesuai keluhan pasien.

c. Menghindari keterlambatan dalam perawatan pada kondisi yang kritis

d. Memberikan dukungan emosional pada pasien dan keluarga.

10) Penempatan pasien yang benar pada tempat yang benar saat waktu yang

benar dengan penyedia pelayanan yang benar.

3.4 Tahapan Penilaian Triage

Menurut Oman (2008) penilaian triage terdiri dari :

a. Primary survey prioritas (ABC) untuk menentukan prioritas I dan

seterusnya.

b. Secondary survey pemeriksaan menyeluruh (Head to Toe) untuk

menentukan prioritas I,II,III,0 dan selanjutnya.

c. Monitoring korban akan kemungkinan terjadinya perubahan pada

(A,B,C) derajat kesadaran dan tanda vital lainnya. Perubahan prioritas

karena perubahan kondisi korban. Dalam pelaksanaan penanganan

pasien UGD perawat harus sesuai dengan protap pelayanan triase agar

dalam penanganan pasien tidak terlalu lama.

3.5 Protap dalam Triage

(13)

b. Di ruang triage dilakukan anamnesa dan pemeriksaan singkat dan

cepat (selintas) untuk menentukan derajat kegawatannya oleh perawat.

c. Bila jumlah penderita atau korban lebih dari 50 orang maka triage

dapat dilakukan di luar ruang triage (di depan ruangan IGD).

d. Penderita dibedakan menurut tingkat kegawatannya dengan memberi

kode warnanya berdasarkan klasifikasinya.

Klasifikasi dari triage adalah sebagai berikut:

1) Korban kritis (immediate) diberi label merah/kegawatan yang mengancam

nyawa (PrioritasI) Immediate.

Untuk mendeskripsikan pasien dengan luka parah diperlukan transportasi

segera ke rumah sakit. Kriteria pada pengkajian adalah sebagai berikut.

a. Respirasi >20x/menit.

b. Tidak terabanya nadi radialis.

c. Tidak sadar/penurunan kesadaran.

Misalnya: Tension Pneumothorax, distres pernafasan, perdarahan internal,

dan sebagainya.

2) Tertunda (delay) diberi label kuning/kegawatan yang tidak mengancam

nyawa dalam waktu dekat (Prioritas 2) Delayed.

Untuk mendeskripsikan cedera yang tidak mengancam nyawa dan dapat

menunggu pada periode tertentu untuk penatalaksanaan dan transportasi

dengan kriteria sebagai berikut.

(14)

c. Status mental normal.

Misalnya: perdarahan laserasi terkontrol, fraktur tertutup pada ekstremitas

dengan perdarahan terkontrol, luka bakar <25% luas permukaan tubuh,

dan sebagainya.

3) Korban terluka yang masih dapat berjalan (minor) diberi label hijau/tidak

terdapat kegawatan/penanganan dapat ditunda (Prioritas 3) Minor.

Penolong pertama di tempat kejadian akan memberikan instruksi

verbal untuk pergi ke lokasi yang aman dan mengkaji korban dari trauma,

serta mengirim ke rumah sakit.

Misalnya: laserasi minor, memar dan lecet dan luka bakar superficial

a. Pasien mengalami cedera mematikan dan akan meninggal meski

mendapat pertolongan (Expextant), diberi label hitam Expextant.

Misal: Luka bakar derajat 3 hampir di seluruh tubuh, kerusakan organ

vital dan sebagainya.

b. Penderita atau korban mendapatkan prioritas pelayanan dengan urutan

warna: merah, kuning, hijau, hitam.

c. Penderita atau korban kategori triage merah dapat langsung diberikan

pengobatan di ruang tindakan IGD. Tetapi bila memerlukan tindakan

medis lebih lanjut, penderita/korban dapat dipindahkan ke ruang operasi

atau dirujuk ke rumah sakit lain.

d. Penderita dengan kategori triage kuning yang memerlukan tindakan

(15)

e. Penderita dengan kategori triage hijau dapat dipindahkan ke rawat jalan

atau bila sudah memungkinkan untuk di pulangkan, maka

penderita/korban dapat diperbolehkan untuk pulang.

f. Penderita kategori triage hitam dapat dipindahkan langsung ke kamar

jenazah (Rowles, 2007).

3.6 Proses triage

Proses triage mengikuti langkah-langkah proses keperawatan yaitu:

pengkajian, penetapan diagnosa, perencanaan, intervensi dan evaluasi.

a. Pengkajian

Pengkajian awal dimulai ketika perawat triage memeriksa pasien, perawat

harus memeriksa dengan jelas, mendengarkan suara yang tidak umum dan harus

waspada terhadap berbagai bau. Perawat triage yang telah berpengalaman cukup

melihat pasien sekali saja dan berdasarkan pada penampilan umum, perawat

triage dapat memutuskan apakah penanganan dilakukan dengan segera atau

tidak berdasarkan kategori triage yang telah ditentukan. Dalam beberapa kasus,

triage dianggap telah dilakukan dan pasien segera dikirim ke ruang perawatan.

Jika pasien stabil, proses triage dilanjutkan. Ada beberapa yang dapat dilakukan

oleh perawat triage dalam melakukan pengkajian antar-ruang (pandangan

sekilas) pada saat pasien datang. Adapun beberapa hal yang dapat dilakukan

(16)

Tabel 2.1 pengkajian antar-ruang.

Sementara pada anak-anak, Emergency Nursing Pediatric Course

memberikan panduan pada perawat triage dalam melakukan pengkajian antar

ruang yaitu sebagai berikut:

Tabel 2.2 Pengkajian antar-ruang pada pasien anak

Cara Hasil Temuan

Penampilan Keadaan otot

Pandangan mata Tangisan, ucapan Status pernapasan Gangguan pada hidung

Retraksi intercostae

Tingkat kesadaran: interaksi dengan perawat, tidak sadar, menangis.

Keluhan nyeri: wajah tampak meringis, tangan tampak menggenggam.

Warna dan keadaan kulit.

Penyakit kronis: kanker, penyakit paru kronis, dan lain-lain.

Keadaan tubuh: bengkak.

Perilaku umum: takut, marah, sedih, biasa. Adanya alat bantu medis, balutan dan lain-lain. Pakaian: bersih, kotor, dan lain-lain.

Mendengar Suara napas abnormal.

Cara berbicara, intonasi, bahasa. Interaksi dengan orang lain.

Mencium Bau keton, urine, alkohol, sisa muntahan.

(17)

Cara Hasil Temuan

Sirkulasi kulit Pucat

Sianosis

Mottling

Dalam melakukan triage, perawat juga harus memperhatikan pengontrolan

infeksi dalam situasi apapun dimana kontak dengan darah dan cairan tubuh bisa

terjadi. Membersihkan tangan dengan sabun atau pembersih tangan setiap kali

kontak dengan pasien merupakan langkah penting untuk mengurangi penyebaran

infeksi.

b. Diagnosa

Dalam triage diagnosa dinyatakan sebagai ukuran yang mendesak, Apakah

masalah termasuk ke dalam kondisi Emergency (mengancam kehidupan,

anggota badan, atau kecacatan). Urgen (mengancam kehidupan, anggota badan,

atau kecacatan) atau nonurgen. Diagnosa juga meliputi penentuan kebutuhan

pasien untuk perawatan seperti dukungan, bimbingan, jaminan, pendidikan,

pelatihan, dan perawatan lainnya yang memfasilitasi kemampuan pasien untuk

mencari perawatan.

c. Perencanaan

Dalam triage rencana harus bersifat kolaboratif, perawat harus dengan

seksama menyelidki keadaan yang berlaku dengan pasien. Mengidentifikasi

(18)

diterima pasien. Hal ini sering membutuhkan proses negosiasi, didukung dengan

pendidikan perawat. Dalam hal ini perawat bertugas untuk bertindak

berdasarkan kepentingan terbaik pasien dan kondisi pasien. Kolaborasi juga

perlu dilakukan dengan tim kesehatan lainnya.

d. Intervensi

Dalam analisis akhir, bisa memungkinkan bahwa perawat tidak dapat

melakukan apa-apa untuk pasien. Oleh karena itu harus ada pendukung lain yang

tersedia, misalnya dokter untuk menentukan tindakan yang diinginkan. Untuk

itu, perawat triage harus mengidentifikasi sumber daya untuk menangani pasien

dengan tepat. Oleh karena itu perawat triage juga memiliki peran penting dalam

kesinambungan perawatan pasien. Protokol triage atau protap tindakan juga

dapat dipilih dalam pelaksanaan triage.

e. Evaluasi

Langkah terakhir dalam proses keperawatan adalah evaluasi. Dalam

konteks organisasi keperawatan evaluasi adalah dukungan dari apakah tindakan

yang diambil tersebut efektif atau tidak, jika pasien tidak membaik, perawat

memiliki tanggung jawab untuk menilai pasien kembali, mengkonfirmasikan

diagnosa urgen, merevisi rencana keperawatan jika diperlukan, merencanakan,

dan mengevaluasi kembali. Pertemuan ini bukan yang terakhir, sampai perawat

memiliki keyakinan bahwa pasien akan kembali atau mencari perawatan yang

tepat jika kondisi mereka memburuk atau gagal untuk meningkatkan seperti

yang diharapkan. Sebagai catatan akhir, sangat penting bagi perawat triage

(19)

dibuat, maka lakukan kolaborasi dengan tenaga medis atau dokter yang bertugas

daengan waktu yang bersamaan. Perlu diingat bahwa perawat triage harus selalu

bersandar pada arah keselamatan pasien.

f. Dokumentasi triage

Proses pencatatan triage harus jelas, singkat dan padat. Tujuan

dokumentasi triage adalah mendukung keputusan triage, sebagai alat

komunikasi antar petugas tim kesehatan di unit gawat darurat (dokter, perawat,

ahli radiologi) dan sebagai bukti aspek mediko-legal. Pencatatan dilakukan

dengan data yang mencakup bagian dasar dari pendokumentasian triage yang

meliputi: waktu dan tanggal kedatangan di UGD, cara kedatangan, usia pasien,

waktu/jam wawancara triage, riwayat alergi (obat, makanan, latex), riwayat

pengobatan yang sedang dijalani, tingkat kedaruratan, TTV, tindakan

pertolongan pertama yang dilakukan, pengkajian nyeri, keluhan utama, riwayat

keluhan utama, pengkajian subjektif dan objektif, riwayat kesehatan yang

berhubungan, waktu terakhir menstruasi, riwayat imunisasi termasuk imunisasi

tetanus terakhir, tes diagnostik yang dianjurkan, pengobatan yang diberikan pada

saat triage, tanda tangan perawat yang melakukan triage, disposisi dan

Gambar

Tabel 2.2 Pengkajian antar-ruang pada pasien anak

Referensi

Dokumen terkait

Bersamaan dengan ini Kami Menyampaikan Kepada Saudara untuk Membawa dan Memperlihatkan bukti- bukti Asli kualifikasi Perusahaan dan Menyertakan Bukti Penawaran Asli, sesuai

Pada penelitian ini akan dilakukan biosintesis nanopartikel perak menggunakan ekstrak air rimpang lengkuas sebagai bioreduktor pada suhu ruang dengan bantuan shaker

Untuk mengalisis data tersebut, dari jawaban responden sebanyak 40 orang atau 66,66 persen memberikan jawaban (a) sering, sesuai dengan metode penafsiran yang digunakan jika jawaban

Hasil analisa menggunakan Spektroskopi Serapan Atom (SSA) menunjukkan bahwa zeolit alam Karangnunggal yang diaktivasi dengan H 2 SO 4 dapat digunakan untuk menyerap Fe 3+

Melalui pemahaman tentang perilaku konsumen dalam memilih beralih dari produk lama ke produk baru tersebut diharapkan pemasar mampu untuk menciptakan strategi dan

Dalam Implementasi kurikulum berbasis kompetensi mata kuliah KBKR pada mahasiswa semester 2 prodi kebidanan DIII di STIKES’ Aisyiyah tahun akademik 2011/2012 dalam proses

Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data yang dilakukan menunjukkan bahwa, tingkat kemampuan siswa dalam menyusun kalimat menjadi paragraf bidang studi Bahasa

Oleh yang sedemikian, strategi berpusatkan pelajar dalam pembelajaran bahasa asing amat penting.Hal ini disebabkan penglibatan dalam sesi pembelajaran membantu