1
Menuju Teologi Anti-korupsi:
Refleksi terhadap Narasi Kejadian 3:1-8
Victor Christianto1, email: victorchristianto@gmail.com
“A major fact of our present civilization is that more and more sin becomes collective, and the individual is forced to participate in collective sin.”(Suatu fakta besar dari peradaban kita kini adalah semakin banyak dosa kolektif dan individu digiring untuk mengambil bagian di
dalamnya.) – Jacques Ellul
Abstract
Corruption is an epidemic, systemic, and persistent problem in many countries including Indonesia. Despite news about political corruption that has dominated Indonesia’s media recently, most people agreed that significant improvement has been achieved; even though corruption is still prevalent. In the present article, I discuss some progress to curb corruption by some local governments in Indonesia. These efforts may be copied by other cities too in order to reduce the impact of corruption and to improve public service and transparency. Another possible approach to reduce the desire for corruption is to formulate a theology of anti-corruption. Since most of Indonesia’s people belong to religious people, then a theology-based ethics is likely to be considered seriously by most of Indonesia’s people rather than a philosophical-based ethics which often lack moral basis. It is my hope that a more realistic theology of anti-corruption will be developed in the near future, and that it can be promoted by many spiritual and religious leaders in Indonesia.
1. Pendahuluan
Korupsi merupakan suatu persoalan yang epidemik, sistemik, dan persisten di banyak
negara termasuk Indonesia. Menurut suatu survei, korupsi justru cenderung tinggi di negara-negara yang religius, termasuk di antaranya India, Nigeria dan Indonesia. Mengutip Heather
Marquette: “… the fact that many of the most corrupt countries in the world also rank highly in
1
2
terms of religiosity.”2 Dengan kata lain, religiusitas dari kebanyakan warga negara tampaknya tidak memberikan kontribusi untuk mencegah korupsi. Karena itu tampaknya cukup beralasan
untuk mengkaji bagaimana dan sejauh mana religiusitas dapat berkontribusi bagi pencegahan tindakan korupsi. Biasanya memang pencegahan korupsi dihubungkan dengan kesadaran moral dan kesadaran etis, tapi persoalannya adalah bahwa kesadaran moral dan etis cenderung
berbeda-beda untuk setiap orang dan agak subyektif. Jadi perlu dicari landasan moral yang lebih kokoh, yaitu teologi. Karena itu dalam makalah ini, akan dirumuskan suatu kerangka (draft) konsep
teologi anti-korupsi, berdasarkan narasi Kejadian 3:1-8. Karena teks ini membahas mengenai asal-usul dosa maka kiranya cocok untuk dihubungkan dengan asal-usul serta motivasi orang
untuk melakukan korupsi.
2. Definisi Korupsi dan Hubungannya dengan Teologi
Salah satu definisi tentang korupsi diberikan oleh Volster (2011) sebagai berikut: “corruption is the misuse of a public office or a position of authority for private material or social gain at the expense of other people.” (korupsi adalah penggunaan yang salah dari kantor publik
atau jabatan yang berkuasa untuk memperoleh manfaat material atau sosial atas biaya yang dipikul oleh orang lain.)3
2
Heather Marquette, “Finding God or Moral Disengagement in the fight against corruption in developing countries?
Evidence from India and Nigeria,”Public. Admin. Dev. 2011, DOI: 10.1002/pad.1605 [jurnal on-line]; diambil dari
http://r4d.dfid.gov.uk/pdf/outputs/religiondev_rpc/marquette-12.pdf; Internet; diakses 23 April 2014. Lihat juga Heather Marquette, “Corruption, Religion and Moral Development,” Working Paper 42 – 2010, Religions and Development [artikel on-line], diambil dari
http://www.religionsanddevelopment.org/files/resourcesmodule/@random454f80f60b3f4/1274702497_Working_Pa per_42_complete_for_web.pdf; Internet; diakses 23 April 2014.
3
J.M. Vorster, “Managing corruption in South Africa: The ethical responsibility of Churches,” Scriptura 109(2012),
3
Definisi lain tentang korupsi yang agak lebih lengkap diberikan oleh WordWeb dictionary meliputi beberapa kemungkinan arti yaitu:4
a. Lack of integrity or honesty (especially susceptibility to bribery); use of a position of trust for dishonest gain;
b. In a state of progressive putrefaction;
c. Decay of matter (as by rot or oxidation);
d. Moral perversion; impairment of virtue and moral principles;
e. Destroying someone’s (or some group’s) honesty or loyalty; undermining moral integrity; f. Inducement (as of public official) by improper means (as bribery) to violate duty (as by
committing a felony);
g. (linguistics) a word adopted from another language in an altered form.
Jelas dari d dan e, bahwa korupsi berkaitan erat dengan prinsip-prinsip moral dan integritas moral. Di sinilah tampaknya teologi dapat berperan, yaitu memberikan arahan untuk
tindakan dan pertimbangan moral. Tentunya rumusan teologi anti-korupsi tidak dimaksudkan untuk menggantikan langkah-langkah kebijakan untuk mengurangi korupsi seperti kerangka
kerja anti-korupsi nasional, pemantauan dan evaluasi dari status implementasi, hukuman yang keras bagi pelanggar (koruptor), dan keterlibatan dan dukungan masyarakat secara aktif.5
Dalam beberapa tahun terakhir ini telah muncul beberapa studi yang membahas hubungan antara teologi dan gerakan anti-korupsi. Misalnya Geo-Sung Kim menulis disertasinya
Skriflig/ In Luce Verbi 47(1), Art. #676, 8 pages [jurnal on-line]; diambil dari
http://www.indieskriflig.org.za/index.php/skriflig/article/download/676/2385; Internet; diakses 23 April 2014.
4
Antony Lewis, WordWeb Dictionary software, 2010.
5
Hae-yong Song, “Anti-Corruption Policy Implementation in Korea,” [artilkel on-line], diambil dari
4
tentang bagaimana membangun hubungan antara Kekristenan dengan gerakan anti-korupsi.6 Dalam ranah teologi praktis, Coetzer & Snell mengusulkan penggunaan Terapi Perilaku-Kognitif
Religius (Religious Cognitive-Behavioral Therapy) dalam konseling pastoral, dengan harapan dapat mendorong perilaku etis.7
Sementara itu Theron menyoroti peran yang mungkin dimainkan kebudayaan dalam
mendorong perilaku korupsi. Ia juga menyatakan bahwa “it is possible to use the reformed theological paradigm to evaluate cultural aspects in Sub-Saharan African context.” (adalah
mungkin untuk menggunakan paradigma teologi reformed untuk mengevaluasi aspek-aspek kultural dalam konteks Afrika Sub-Sahara.)8 Theron juga menyatakan bahwa masyarakat Afrika memiliki pandangan hidup spiritual, yaitu bahwa setiap peristiwa memiliki penyebab spiritual.
Karena dunia spiritual tidak dapat diprediksi, maka banyak orang hidup dalam ketakutan dan mereka mencoba untuk mengendalikan dunia spiritual melalui ritual-ritual. Pandangan dunia
spiritual juga memberikan semacam pelarian terhadap perilaku yang tidak etis, karena seolah-olah dunia spiritual dapat disalahkan untuk tindakan-tindakan seseorang.9 Menurut Theron warisan cultural tersebut mesti dievaluasi secara kritis dalam terang ajaran Alkitab. Selanjutnya
Theron mengusulkan bahwa nilai-nilai kultural komunal seperti Ubuntu dapat dibandingkan dengan koinonia. Ubuntu memuat gagasan-gagasan antara lain kemanusiaan, perilaku moral
6
Geo-Sung Kim, “Bridging Christianity and Anti-corruption Movement: Christian Ethical Reflections on Sustainable Integrity System” (Ph.D. diss, Yonsei University, 2009), 217 pp.
7
W. Coetzer & L.E. Snell, “A Practical-Theological Perspective on Corruption: Towards a Solution-Based
Approach in Practice,” Acta Theologica 2013 33(1):29-53 [jurnal on-line]; diambil dari
www.ajol.info/index.php/actat/article/download/92852/82276; Internet; diakses 23 April 2014.
8
Theron, 4.
9
5
yang baik, simpati dalam suka dan duka, murah hati dan perasaan cukup sebagai manusia, dan suatu kapasitas untuk berkorban demi orang lain.10
Meskipun beberapa pendapat tersebut patut diperhatikan, namun diskusi dalam makalah ini akan mengambil pendekatan yang berbeda dengan Kim, Coetzer & Snell atau Theron. Sebelum membahas tentang konsep teologi anti-korupsi, akan dipaparkan sekilas situasi korupsi
di Indonesia saat ini.
3. Sekilas tentang Situasi Korupsi di Indonesia saat ini
Dalam artikelnya berjudul The truth about corruption in Indonesia,11 Wijayanto melaporkan tentang hasil wawancara yang dilakukan oleh Prof. Robert Klitgaard dengan para
pembuat kebijakan, LSM, dan kalangan pengusaha sekitar tahun 2011. Secara mengejutkan, meskipun berita-berita seputar korupsi politik cenderung mendominasi media nasional, banyak
orang sepakat bahwa ada perbaikan signifikan yang telah dicapai, sekalipun korupsi masih merupakan problem yang meluas. Prof. Klitgaard setuju bahwa upaya-upaya untuk
menanggulangi korupsi telah menunjukkan kemajuan.
Pendapat tersebut cukup konsisten dengan survei-survei yang dilakukan oleh berbagai institusi, misalnya Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia dari tahun 2001 hingga 2010 meningkat dari 1.7 menjadi 2.8, hal ini tentu saja cukup menggembirakan.12 Peningkatan ini
dianggap merupakan salah satu yang paling progresif di Asia, dan mungkin disumbangkan
10
Ibid. 7.
11
Wijayanto, “The truth about corruption in Indonesia,” The Jakarta Globe, Jul. 31, 2011 [artikel on-line]; diambil
dari http://www.thejakartaglobe.com/archive/the-truth-about-corruption-in-indonesia/; Internet; diakses April 23,
2014.
12
6
setidaknya sebagian oleh media massa yang aktif serta kerja keras dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Data dari TI juga menunjukkan bahwa pada tahun 2001 hanya 3% dari 91 negara yang lebih buruk daripada Indonesia, sementara tahun 2010 persentil ini meningkat menjadi 40% dari 178 negara. Jelas hal ini cukup membanggakan, walaupun bukan berarti bahwa persoalan
korupsi sudah selesai di Indonesia.
Sekalipun sudah cukup banyak peniup peluit (whistle blower) yang tampil ke media,13
dan juga gencarnya liputan berbagai media akan masalah korupsi, tampaknya korupsi masih merajalela di mana-mana. Sebagai misal, seorang teman lama penulis, yang bekerja sebagai salah satu staf di sebuah Departemen di Jakarta, menceritakan bagaimana seorang eselon
meminta jatah “setoran” lebih dari 100 juta sebulan dari para bawahannya. “Setoran” tersebut kemudian sebagian akan diserahkan kepada pejabat di atasnya. Demikianlah korupsi antara lain dipicu oleh berbagai “setoran wajib” yang harus diberikan layaknya upeti dari pejabat yang lebih
rendah kepada pejabat yang lebih tinggi. Mungkin sudah menjadi rahasia umum, bahwa setoran semacam ini lazim dijumpai di berbagai departemen, termasuk mungkin juga di institusi
kepolisian.
Demikian pula situasi di institusi pengadilan negeri, publik umumnya cukup paham
bahwa di negeri ini berbagai keputusan dapat dibelokkan dan dipelintir demi keuntungan dari pihak “pemesan”, bukan demi keadilan. Fenomena ini mungkin dapat dianggap sebagai pembenaran terhadap pengamatan Pengkotbah (Kohelet) lebih dari 2000 tahun lalu, sebagaimana
tertulis dalam Pengkhotbah 3:16 dan 5:7 sebagai berikut:
13
K. Bertens, Whistle-blowing dan pemberantasan korupsi, dalam Perspektif Etika Baru: 55 esai tentang Masalah
7
“Ada lagi yang kulihat di bawah matahari: di tempat pengadilan, di situ pun terdapat ketidakadilan, dan di tempat keadilan, di situ pun terdapat ketidakadilan.” (3:16)
“Kalau engkau melihat dalam suatu daerah orang miskin ditindas dan hukum serta keadilan diperkosa, janganlah heran akan perkara itu, karena pejabat tinggi yang satu mengawasi pejabat tinggi yang lain, begitu pula pejabat-pejabat yang lebih tinggi
mengawasi mereka.” (5:7)
Kedua ayat di atas tampaknya mencerminkan dosa sosial yang terjadi di banyak negara
sejak jaman dahulu, dan kiranya cukup mencerminkan situasi di berbagai institusi di negeri ini. Dosa sosial tersebut bisa dihubungkan dengan kategorisasi dosa sosial-struktural oleh Gregory Baum dalam Theology and Society. Menurutnya, pertama adalah ketidakadilan dan arus
dehumanisasi yang termanifestasi dalam macam-macam institusi sosial, politis, ekonomis, dan religius. Kedua, simbol-simbol kultural-religius yang melegitimasikan dan mendesakkan situasi tidak adil. Ketiga, kesadaran yang keliru yang terciptakan oleh institusi dan ideologi sedemikian
rupa hingga rakyat secara kolektif terlibat tindakan destruktif. Keempat, keputusan kolektif yang lahir dari kesadaran yang rusak dan menyimpang, yang menambah ketidakadilan dalam
masyarakat dan mengintensifkan arus dehumanisasi.14
Dosa kolektif ini dapat dilihat dampaknya misalnya dalam peredaran volume kendaraan.
Penulis mendengar bahwa ada semacam kesepakatan (MOU) berjangka waktu 20 tahun antara Menperdag dan para pedagang mobil dan motor di Indonesia, yang intinya memberikan suatu kuota untuk menjual mobil dan motor di Indonesia sebanyak sekian juta unit dalam jangka waktu
tersebut. Jika benar ada MOU semacam itu, maka mungkin itu ada kaitannya atau mungkin
14
8
justru salah satu penyebab kenapa kemacetan semakin parah di banyak kota besar Indonesia. Jika tidak ada kemauan baik dari pemerintah untuk mengendalikan volume peredaran dan
perdagangan mobil dan motor maka jelas bahwa 5 tahun dari sekarang problem kemacetan tersebut mungkin sudah tidak akan dapat ditanggulangi lagi karena begitu parahnya. Selain itu meningkatnya secara drastis volume mobil dan motor mengakibatkan keharusan untuk impor
BBM yang melonjak secara signifikan terutama sejak 2012. Jadi dapat disimpulkan bahwa problem kemacetan yang semakin parah serta impor BBM yang meningkat secara signifikan
antara lain dipicu oleh kebijakan yang menyerahkan peredaran mobil dan motor kepada mekanisme pasar secara tidak terkendali (akibat prinsip neoliberalisme). Bahkan impor BBM tersebut kemungkinan besar akan terus memburuk di tahun-tahun mendatang. Yang diperlukan
tampaknya adalah itikad kolektif terutama dari pemerintah untuk memprioritaskan transportasi masal di kota-kota besar di Indonesia, dan tidak menyerah kepada bujukan para pedagang dan
produsen mobil dan motor.
Namun demikian bukan berarti tidak ada kisah-kisah keberhasilan menanggulangi korupsi di Indonesia, meskipun kisah-kisah ini cenderung bersifat lokal dan bukan nasional.
Misalnya, akhir bulan Desember tahun lalu penulis mengurus SIM baru, dan ternyata dalam waktu 2 hari sejak pertama kali mengisi formulir, SIM tersebut sudah jadi dan hanya
memerlukan biaya 170 ribu rupiah saja, tanpa pungutan lain-lain dan tanpa proses yang berbelit. Padahal 5-10 tahun lalu, boleh dibilang untuk mengurus SIM di kota yang sama, mungkin mesti lewat jalur calo atau titipan kalau ingin SIM segera jadi dan tidak dipersulit. Mungkin ini salah
satu contoh yang baik bagaimana salah satu institusi di kota penulis berhasil menyediakan layanan publik yang cepat, murah, efisien dan dapat diandalkan. Contoh kemudahan mengurus
9
Contoh yang kedua, masih mengutip Wijayanto, pada tahun 2010 Transparency International (TI) melakukan survei terhadap tingkat korupsi di 50 kota di Indonesia. Yang
menarik dari survei ini adalah bahwa terdapat perbedaan besar antara kota-kota di Indonesia. Misalnya Denpasar, Tegal, Yogyakarta dan Solo adalah termasuk kota-kota yang paling bersih (dari segi korupsi), dengan skor yang yang kurang lebih setara dengan Spanyol, Taiwan, Portugis
dan UEA, jika CPI negara dan kota dapat dibandingkan.15
Perbedaan besar tersebut sebenarnya menunjukkan suatu peluang besar bagi pemerintah
daerah untuk menjadi bersih dari segi korupsi. Pemerintah daerah dapat mencontoh praktek-praktek terbaik yang dapat mengurangi tingkat korupsi di daerahnya masing-masing. Sebagai contoh, berbagai inovasi telah diterapkan di Yogya dan Solo, termasuk kemudahan menjalankan
usaha, di antaranya ijin mendirikan bangunan, membayar pajak lokal, dan memperoleh ijin usaha. Proses pengurusan dilakukan di bawah satu atap dengan cara yang transparan.16
Dua kota di antara yang disebut di atas menerapkan sistem penghargaan (merit system)
untuk para pegawainya. Dengan kata lain, pegawai-pegawai pemerintahan dianggap akuntabel untuk melakukan tugas mereka. Selanjutnya, walikota dari dua kota yang disebut tadi
menggunakan mobil-mobil yang sederhana sehingga menjadi contoh bagi para pegawai pemerintahan yang lain. Tentunya contoh yang baik tersebut dapat juga ditiru dan diterapkan di
kota-kota lain.
Dari dua contoh yang diberikan di atas, jelas bahwa terdapat berbagai peluang bagi pemerintah daerah dan instansi di daerah untuk meningkatkan layanan publik yang akuntabel dan
transparan, serta dapat diandalkan. Persoalannya adalah apakah ada komitmen dari para
15
Wijayanto.
16
10
pimpinan di daerah untuk mulai mengurangi korupsi dan memperbaiki layanan publik tersebut. Di sinilah letak persoalannya, dari mana orang akan memperoleh komitmen dan motivassi
tersebut, jika ternyata banyak juga contoh buruk dari pemerintah pusat yang cenderung men-demotivasi pemerintah daerah? Mungkin kuncinya adalah pertimbangan etika, moral dan teologis. Tapi sebelum kita mempertimbangkan masalah etika dan landasan teologis, ada baiknya
kita menyimak sebentar beberapa mitos dan fakta seputar korupsi.
4. Beberapa Mitos dan Fakta seputar Korupsi17
Berikut ini adalah beberapa mitos dan fakta seputar korupsi berdasarkan suatu situs dari
Irlandia:
Mitos: Korupsi terutama adalah problem Afrika
Fakta: Korupsi terjadi di mana-mana di mana risiko ketahuan kecil, dan peluang akan hasil (rewards) adalah besar. Korupsi pada skala yang mengancam hak-hak manusia dan
pembangunan ekonomi kemungkinan besar terjadi di mana struktur-struktur negara lemah, telah rusak atau sedang berubah cepat.
Mitos: Korupsi adalah problem yang terkait dengan bantuan pembangunan (development aid)
Fakta: Ada 2 sisi dari korupsi: sisi permintaan dan sisi penawaran. OECD memperkirakan bahwa
perusahaan-perusahaan multinasional (MNC) membayar suap hingga sekitar 80 milyar US dollar setiap tahun. Institusi-institusi finansial di negara-negara maju juga berperan dalam memfasilitasi pembayaran yang korup. Bank Dunia memperkirakan bahwa jumlah uang yang dicuci (money
17
Dochas, Corruption: Myths and Facts, URL:
11
laundering) oleh institusi-institusi finansial negara-negara Utara mencapai 1 triliun US dollar
setiap tahun.
Mitos: Kebanyakan negara Afrika diperintah oleh diktator yang korup
Fakta: Demokrasi telah mengubah banyak wajah diktator pemerintahan di Afrika dalam dua
dekade terakhir.
Mitos: Para donor, seperti Irish Aid, menggelontorkan uang ke negara-negara berkembang tanpa memonitor bagaimana dana-dana tersebut digunakan
Fakta: Semua donor memiliki sistem manajemen dan audit untuk memonitor penggunaan bantuan (aid).
Mitos: Adalah lebih baik untuk menyalurkan bantuan melalui LSM (NGO) daripada pemerintah,
yang mungkin akan memboroskannya
Fakta: Sebuah studi yang dilakukan OECD pada 2006 menemukan tidak ada bukti bahwa
bantuan yang disalurkan melalui pemerintah di negara-negara berkembang adalah lebih arau kurang rawan dibandingkan bantuan yang diberikan melalui saluran-saluran lain.
Mitos: Korupsi adalah masalah kultural
Fakta: Korupsi terjadi di mana saja di tempat terdapat campuran yang tepat dari kesempatan dan kecenderungan, khususnya di mana mereka yang ada dalam posisi yang berkuasa dan berpengaruh dapat mengambil keuntungan atas orang-orang lainnya demi kepentingan mereka
sendiri.
12
Fakta: Kaitan antara pembangunan dan korupsi telah diketahui selama lebih dari 20 tahun.
Mitos: Masyarakat di negara-negara berkembang hanya dapat melakukan sedikit untuk
menanggulangi korupsi
Fakta: Transparansi adalah musuh terbesar dari korupsi: Jika diberikan informasi dan dukungan yang tepat, partai-partai politik dan organisasi-organisasi lokal dapat melakukan pekerjaan besar
untuk memantau pengeluaran publik dan administrasi yang akuntabel.
Setelah kita mempertimbangkan berbagai mitos dan fakta di atas, maka kini kita akan
membahas suatu kerangka pemikiran teologis berdasarkan narasi Kejadian 3:1-8 yang kiranya akan bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran moral dan etis untuk mencegah tindakan korupsi. Karena Kitab Kejadian diterima baik oleh umat Kristen, Katolik dan Muslim, maka
pengaruhnya mungkin akan cukup luas dibandingkan jika kita mengutip Perjanjian Baru.
5. Menuju Teologi Anti-Korupsi: Renungan terhadap narasi Kejadian 3:1-8
Pernahkah kita merasa bahwa Tuhan tidak adil dan tidak baik kepada kita? Mungkin kita melihat bahwa banyak orang lain yang hidup berkelimpahan walaupun hidupnya tidak mengenal
Tuhan, kita lalu ingin protes terhadap Tuhan atau ingin meniru perbuatan banyak orang yang jahat yang cenderung korup atau mencari jalan pintas dalam memperkaya diri. Ada beberapa
filsuf dan teolog yang membahas pertanyaan berikut: Jika Tuhan itu Mahabaik dan Mahakuasa, mengapa Ia membiarkan penderitaan di dunia? Semua ini berasal dari gagasan bahwa Tuhan itu
13
Kita membaca dalam Kejadian 3:1, bahwa ular membuka percakapan dengan perempuan di taman Eden. Disebutkan bahwa ular itu berkata kepada perempuan itu: “Tentulah Allah
berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?” Di sini kita mendapati bagaimana ular itu berupaya menipu perempuan itu dengan cara mengganti firman Allah menjadi berkesan bahwa seolah-olah Allah melarang manusia memakan buah dari semua
pohon dalam taman Eden. Padahal Allah tidak pernah melarang manusia untuk memakan buah dari semua pohon di dalam taman itu. Di sinilah terletak kecerdikan ular, yang disebut sebagai
yang paling cerdik dari segala binatang di darat. Dalam kalimat pertama pada Kejadian 3 ini ular telah dengan cerdik menanamkan gagasannya bahwa Allah tidak baik dan murah hati kepada
manusia.
Perempuan itu, yang mulai terpengaruh dengan bujukan ular, menjawab bahwa buah pohon-pohonan dalam taman Eden boleh dimakan, kecuali buah pohon yang di tengah-tengah
taman.
Ular kemudian melancarkan tipuannya yang kedua, yaitu bahwa mereka tidak akan mati ketika makan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat, melainkan menjadi seperti Allah,
mengetahui apa yang baik dan yang jahat.
Di sini ular tidak saja membelokkan perintah Allah, melainkan ia membantah perintah
Allah seolah-olah manusia tidak akan mati ketika makan buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat. Ular juga memberikan impian bahwa manusia akan menjadi seperti Allah. Dengan kata lain, ular mengatakan bahwa Allah berbohong kepada manusia dan menyembunyikan
14
Di sini lalu perempuan itu mempercayai perkataan ular bahwa mereka akan menjadi seperti Allah. Lalu disebutkan bahwa perempuan itu mulai melihat bahwa buah pohon itu baik
untuk dimakan dan sedap kelihatannya, dan menarik hati karena memberi pengertian.
Itulah kisah kejatuhan manusia dalam dosa menurut narasi Kejadian 3:1-8. Beberapa teolog mengatakan bahwa kisah ini mewakili pengalaman manusia jatuh dalam dosa sepanjang
sejarah. Ada beberapa ciri dari bujukan ular yang mewakili Iblis, yang dapat membawa manusia kepada dosa:
- Anggapan bahwa Allah itu tidak baik dan cenderung selalu melarang manusia.
- Anggapan bahwa manusia tidak akan mati ketika melawan perintah Allah.
- Anggapan bahwa Allah berbohong kepada manusia dan menyembunyikan kebenaran.
- Anggapan bahwa menjadi seperti Allah adalah suatu keinginan yang wajar.
- Anggapan bahwa memiliki pengertian dan pengetahuan itu selalu baik, tidak peduli
apakah caranya melanggar perintah Allah.
Di antara kelima anggapan tersebut, tampaknya yang paling menentukan adalah
anggapan bahwa Allah itu tidak baik kepada manusia. Bukankah kerap terjadi bahwa jika kita merasa tidak dipedulikan oleh Allah, maka kita merasa berhak untuk melakukan apa saja,
termasuk berbuat dosa? Jadi perasaan sebagai orang yang paling sengsara itulah yang mendorong kita untuk mengabaikan Tuhan dalam hidup kita, padahal Tuhan senantiasa mengasihi dan melimpahkan kebaikan kepada kita. Karena itu kita mesti waspada jika kita mulai merasa
sebagai orang yang paling menderita di dunia, dan bahwa banyak orang lain yang lebih beruntung. Itu adalah tanda-tanda bujukan Iblis agar kita lalu jatuh dalam dosa, misalnya mulai
15
manusia yang pertama dalam dosa disebabkan oleh korupsi, jika korupsi dapat diartikan termasuk dalam mengambil apa yang bukan hak sebenarnya.
Sebaliknya, daripada bersikap seolah-olah Allah tidak mempedulikan kita, lebih baik jika kita terus bersyukur atas kebaikan dan pemeliharan Tuhan dalam hidup kita. Dengan sikap bersyukur kita akan terus menjaga iman kita bahwa Tuhan sungguh-sungguh baik kepada kita
dan mempedulikan kita, betapapun kesulitan yang kita alami. Lihatlah misalnya kisah Ayub yang tidak mau mengumpat Tuhan sekalipun seluruh harta dan anak-anaknya direnggut daripadanya,
dan ia juga mendapat penyakit kulit yang parah di sekujur tubuhnya. Itulah sebabnya dalam banyak bagian di Alkitab ditekankan untuk senantiasa bersyukur kepada Tuhan. Sikap bersyukur
ini berhubungan erat dengan sukacita yang dari Tuhan. Itulah sikap iman yang sejati.
Memang tidak setiap kali Tuhan melepaskan kita dari semua kesulitan dan problem yang kita hadapi, tapi kita bisa berdoa kepada Tuhan agar diberikan kekuatan dan ketabahan dalam menjalani setiap kesulitan tersebut. Itulah sebabnya kita patut senantiasa bersyukur kepada
Tuhan, dan tidak sekali-kali berpikiran bahwa Tuhan tidak baik dan tidak mempedulikan kita. Sebagai penutup, perkenankan saya mengajak kita semua merenung: Sudahkah kita mengucap
syukur kepada Tuhan atas kebaikan-Nya hari ini?
6. Implikasi: 5 perintah untuk Etika bisnis
Setelah kita memahami bagaimana seharusnya kita bersyukur atas kebaikan Tuhan alih-alih mencurigai bahwa Tuhan bertindak tidak adil kepada kita, maka ada baiknya sebagai penutup
tulisan ini kita mengutip 5 perintah untuk Etika bisnis menurut Jerry White, sebagai berikut:18
18
16
a. Batu timbangan yang benar: “Haruslah ada padamu batu timbangan yang utuh dan tepat…” (Ul. 25:35-15)
b. Kejujuran total: hal ini dapat dikaitkan dengan integritas karakter pejabat publik. c. Hukum melayani: dalam bidang layanan publik perlu diterapkan prinsip kepemimpinan
pelayan (servant leadership). Lihat Mark. 9:35; juga Luk. 22:26 (“….yang terbesar di
antara kamu hendaklah menjadi sebagain yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan.”). Dalam bidang kepemimpinan pelayan ini ada buku yang baik ditulis oleh
Greenleaf.
d. Tanggungjawab pribadi: setiap aspek dari layanan publik mesti akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan.
e. Keuntungan yang wajar: dalam dunia usaha maupun BUMN, tidak etis untuk menerapkan target keuntungan yang spektakuler hanya untuk mencapai target laba
tahunan tertentu, bahkan sekalipun perusahaan atau BUMN tersebut mencapai situasi monopolis atau oligopolis dalam bidang industri tertentu.
Demikianlah beberapa pokok pemikiran penulis, dengan harapan akan dapat memotivasi
karya-karya berikutnya dalam rangka merumuskan teologi anti-korupsi khususnya untuk konteks Indonesia.
7. Penutup
Dalam makalah ini, penulis membahas beberpa kemajuan yang beberapa dicapai
17
memperbaiki layanan publik dan transparansi birokrasi. Pendekatan lain yang mungkin dilakukan adalah dengan cara mengurangi niat untuk korupsi dengan cara merumuskan dan
mempromosikan suatu teologi anti-korupsi. Karena kebanyakan masyarakat Indonesia adalah religius, maka etika anti-korupsi yang berdasarkan teologi dan keyakinan religius mungkin lebih akan dipertimbangkan secara serius oleh masyarakat Indonesia, daripada etika yang dirumuskan
berdasarkan pemikiran filsafat etika. Adalah merupakan harapan penulis bahwa teologi anti-korupsi akan dapat dikembangkan dalam waktu dekat, dan kemudian disosialisasikan oleh
banyak pemimpin religius dan spiritual di Indonesia. Makalah ini adalah salah satu upaya awal ke arah itu.
Data penulis
Ir. Victor Christianto saat ini adalah staf pengajar di Institut Pertanian Malang sekaligus
mahasiswa program MTh. di Sekolah Tinggi Teologi Satyabhakti, Malang (www.sttsati.org). Ia pernah menempuh studi gravitasi dan kosmologi di Institute of Gravitation and Cosmology di
Peoples’s Friendship University of Russia, Moscow (Desember 2008-Juni 2009), sebelum beralih fokus ke teologi. Bidang minatnya meliputi antara lain: teologi, sejarah Kekristenan Perdana, Naskah-naskah Laut Mati, energi dan kosmologi. Ia telah menerbitkan 3 buku spiritual,
yaitu: Grace for you: 44 Guides for Living Inspired by Jesus Christ (2013), A.L.I.C.E. with Jesus: A LIfe-Changing Experience with Jesus (2014), dan Drink the New Wine (2014). Ketiga
buku tersebut diterbitkan oleh Blessed Hope Publishing, Germany, dan dapat diperoleh di
http://www.morebooks.de. Kesibukan saat ini di antaranya adalah menulis buku dan mengelola
18
Document history: Versi 1.0: 26 Februari 2014; versi 1.1: 30 April 2014; versi 1.2: 11 Mei 2014 Victor Christianto
Cellular phone: 0878-59937095 Email: victorchristianto@gmail.com
URL: http://www.sciprint.org
URL: http://independent.academia.edu/VChristianto
URL: http://www.vixra.org/author/Victor_Christianto