BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit ( Elaeis guinensis jack) berasal dari Nigeria, Afrika Barat. Kelapa sawit pertama kali dikenalkan di Indonesia oleh pemerintah kolonia Belanda pada tahun 1848. Kelapa sawit pada awal mulanya didatangkan ke Indonesia sebagai tanaman hias di Kebun Raya Bogor (Fauzi, Y. 2006).
Tanaman kelapa sawit baru dapat diproduksi setelah berumur 30 bulan setelah ditanam dilapangan. Buah yang dihasilkan disebut tandan buah segar (TBS) atau fresh fruit buch (FFB). Produktivitas tanaman kelapa sawit meningkat mulai umur 3-14 tahun dan akan menurun kembali umur 15-25 tahun.
TBS diolah dipabrik kelapa untuk diambil minyak dan intinya. Minyak dan inti yang dihasilkan dari pabrik kelapa sawit merupakan produk setengah jadi. Minyak mentah atau crude palm oil (CPO) dan inti kelapa sawit (Kernel) harus diolah lebih lanjut untuk dijadikan produk jadi lainnya.
Perkembangan ini membawa dampak positif bagi dunia industri di Indonesia. Banyak bahan baku kelapa sawit seperti Palm Kernel Oil (PKO), Refined Bleached Deodorised Palm Oil (RBDPO) dan Refined Bleached Deodorised Palm Stearin
didirikannya pabrik kimia oleo (Oleochemical) yang mengolah lenih lanjut minyak kelapa sawit menjadi asam lemak dan gliserin. Oleochemical adalah bahan baku industri yang diperoleh dari minyak nabati, termasuk diantaranya adalah minyak sawit dan minyak inti kelapa sawit. Produksi utama minyak yang digolongkan dalam
oleochemical adalah asam lemak, metil ester, lemak alkohol, asam amino dan gliserin (Tim penulis, PS. 1997).
2.2. Minyak Sawit dan Minyak Inti Kelapa Sawit
Kelapa sawit mengandung kurang lebih 80% perikarp dan 20% buah yang dilapisi kulit yang tipis. Kandungan minyak dalam perikarp sekitar 30%-40%. Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang sangat bernilai sifatnya, yaitu :
1. Minyak sawit (CPO), yaitu minyak yang berasal dari sabut kelapa sawit 2. Minyak inti sawit (CPKO), yaitu minyak yang berasal dari inti kelapa sawit
Pada umumnya minyak sawit mengandung lebih banyak asam-asam palmitat,oleat dan linoleat jika dibandingkan dengan minyak inti sawit. Minyak sawit merupakan gliserida yang terdiri dari berbagai asam lemak, sehingga titik lebur dari gliserida tersebut tergantung pada kejenuhan asam lemaknya. Semakin jenuh asam lemaknya semakin tinggi titik lebur dari minyak sawit tersebut (Rondang, T. 2006).
Tabel 2.1. Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa Sawit dan Minyak Inti Kelapa Sawit
(%) (%)
Asam kaprikat - 3-4
Asam kaproat - 3-7
Asam laurat - 46-52
Asam miristat 1,1-2,5 14-17
Asam palmitat 40-46 6,5-9
Asam stearat 3,6-4,7 1-2,5
Asam oleat 39-45 13-19
Asam linoleat 7-11 0,5-2
(Ketaren, S. 2005)
2.3. Pemurnian Minyak Kelapa Sawit
Tujuan utama proses pemurnian minyak adalah untuk menghilangkan rasa serta bau yang tidak enak, warna yang tidak menarik dan memperpanjang massa simpan minyak sebelum di komsumsi atau digunakan sebagai bahan mentah dalam industri.
(Ketaren, S. 2005).
2.3.1. Degumming
Biasanya proses ini dilakukan dengan cara dehidrasi gum atau kotoran lain agar bahan tersebut lebih mudah terpisah dari minyak, kemudian disusul proses pemusingan (sentifugasi). Caranya ialah dengan melakukan uap air panas kedalam minyak disusul dengan pengaliran air dan selanjutnya disentrifugasi sehingga bagian lendir terpisah dari air (Ketaren, S. 2005).
2.3.2. Bleaching
Pemucatan ialah suatu tahap proses pemurnian untuk menghilangkan zat-zat warna yang tidak disukai dalam minyak. Pemucatan ini dilakukan mencampur minyak dengan sejumlah kecil absorben, seperti tanah serap, lempung aktif dan arang aktif atau juga menggunakan bahan kimia.
Absorben yang digunakan untuk memucatkan minyak terdiri dari tanah pemucat (bleaching earth) dan arang (bleaching carbon). Zat warna dalam minyak akan diserap oleh permukaan absorben dan juga menyerap suspensi koloid (gum dan resin) serta hasil degradasi minyak misalnya peroksida (Ketaren, S. 2005).
2.3.3. Deodorasi
deodorasi yaitu penyulingan minyak dengan uap panas dalam tekanana atmosfer atau keadaan vakum.
Dalam industri minyak kelapa sawit biasanya dipisahkan antara fase padat dan fase cairnya. Fase padat mengandung sejumlah trigliserida yang lebih besar sedangkan fase cair mengandung trigliserida yang tidak jenuh. Fase padat ini mengandung trigliserida ester palmitat yang lebih besar dibanding asam stearat. Namun dalam industri, fase padat ini lebih populer disebut stearin, sedangkan fase cairnya disebut olein (Lawson, H. 1985).
Bahan baku yang digunakan dalam pabrik fraksinasi minyak kelapa sawit berupa Rifined Bleached Deodorised Palm Oil (RBDPO) yang menghasilkan produk utama Rifined Bleached Deodorised Palm Olein (RBDPL,olein) dan produk samping
Rifined Bleached Deodorised Palm Stearin (RBDPS,stearin). Fraksinasi kering digunakan untuk memisahkan olein sawit dan stearin sawit dari RBDPO yang diolah secara fisik. RBDPO dialirkan keproses fraksinasi untuk mendapatkan beberapa grade olein sawit dan stearin sawit (Iyung, P. 2005).
2.4. Minyak dan Lemak
minyak dan lemak tergantung pada strukturnya,biasanya meningkat dengan jumlah karbon (Rondang, T. 2006).
2.4.1. Sifat Kimia Minyak dan Lemak
Sifat fisiokimia lemak dan minyak berbeda satu sama lain, tergantung pada sumbernya. Secara umum, bentuk trigliserida lemak dan minyak hampir sama, tetapi wujudnya berbeda. Dalam pengertian sehari-hari, disebut lemak jika berbentuk padat pada suhu kamar dan disebut minyak jika berbentuk cair pada suhu kamar.
Lemak dan minyak mempunyai sifat antara lain :
1. Kelarutan
Lemak dan minyak tidak larut dalam air. Lemak dan minyak larut dalam pelarut organik seperti minyak tanah, ester dan karbon tetraklorida. Pelarut-peralut tipe ini dapat digunakan untuk menghilangkan kotoran oleh gemuk pada pakaian. 2. Pengaruh panas
Jika lemak dipanaskan akan terjadi perubahan-perubahan nyata pada titik suhu. a. Titik cair
Lemak mencair jika dipanaskan. Karena lemak adalah campuran trigliserida tidak mempunyai titik cair yang jelas tetapi akan mencair pada suatu rentangan suhu. Suhu pada saat lemak terlihat mulai mencair disebut titik cair. Kebanyakan lemak mencair pada suhu antara 300C dan 400C. Titik cair lemak adalah dibawah suhu udara biasa.
Jika lemak atau minyak dipanaskan sampai suhu tertentu, dia akan mengalami dekomposisi, menghasilkan kabut berwarna biru atau menghasilkan asap dengan bau karakteristik yang menusuk. Kebanyakan lamak dan minyak mulai berasap pada suhu diatas 2000C. Umumnya, minyak nabati mempunyai titik asap lebih tinggi dari pada lemak hewani.
c. Titik nyala
Jika dipanaskan hingga suhu yang cukup tinggi, dia akan nyala. Suhu ini dikenal sebagai titik nyala.
3. Plastisitas
Substansi yang mempunyai sifat plastis akan berubah bentuknya ditekan, dan tetap pada bentuk terakhirnya meskipun sudah tidak ditekan lagi. Lemak bersifat plastis pada suhu tertentu, lunak dan dapat dioleskam. Plastisitas lemak disebabkan karena lemak merupakan campuran trigliserida yang masing-masing mempunyai titik cair sendiri-sendiri, ini berarti bahwa pada suatu suhu, sebagian lemak akan mencair dan sebagian lagi akan dalam bentuk kristal-kristal padat. Lemak yang mengandung kristal kecil-kecil, akibat proses pendinginan cepat selama proses pengolahannya akan memberikan sifat lebih plastis.
4. Ketengikan
a. Oksidasi
Ini terjadi sebagai hasil reaksi trigliserida antara trigliserida tidak jenuh dan oksigen dari udara. Molekul oksigen bergabung pada ikatan ganda molekul trigliserida dan dapat berbentuk berbegai senyawa yang menimbulkan rasa tengik dan tidak sedap. Reaksi ini dipercapat oleh panas, cahaya dan logam-logam dalam konsentrasi amat kecil, khususnya tembaga.
b. Hidrolisa
Enzim lipase menghidrolisis lemak, memecahkan menjadi gliserol dan asam lemak
lipase
Lemak + air Gliserol + Asam lemak
Lipase dapat terkandung secara alami pada lemak dan minyak, tetapi enzim itu dapat diinaktivasi dengan pemanasan. Enzim ini dapat pula dihasilkan oleh mikroorganisme yang terdapat pada bahan makanan berlemak. Asam lemak bebas yang dihasilkan oleh reaksi ini dapat memberikan rasa dan bau tidak sedap.
5. Saponifikasi
Trigliserida bereaksi dengan alkali membentuk sabun dan gliserol. Proses ini dikenal sebagai saponifikasi ( Gaman, B. 1992 ).
Pada umumnya asam lemak jenuh dari minyak mempunyai rantai lurus monokarboksilat dengan jumlah atom karbon yang genap. Reaksi yang penting pada minyak dan lemak adalah reaksi hidrolisa, oksidasi, hidrogenasi dan esterifikasi.
1. Hidrolisa
Dalam reaksi hidrolisa, minyak atau lemak akan diubah menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol. Reaksi hidrolisa yang dapat mengakibatkan kerusakan minyak atau lemak terjadi karena terdapatnya sejumlah air dalam minyak atau lemak tersebut.
Mekanisme oksidasi yang umum dari minyak dan lemak adalah sebagai berikut: Inisiasi (initiation)
RO(OH)2 RH + O2
Perambatan (propagation)
R
Penghentian (termination)
R + RO2
Proses hidrogenasi sebagai suatu proses industri bertujuan untuk menjenuhkan ikatan rangkap dari rantai karbon asam lemak pada minyak atau lemak. Reaksi hidrogenasi ini dilakukan dengan menggunakan hidrogen murni dan ditambahkan serbuk nikel sebagai katalisator. Setelah proses hidrogenasi selesai, minyak dipisahkan dari katalisator dipisahkan dengan cara penyaringan. Hasilnya adalah minyak yang bersifat plastis atau keras, tergantung pada derajat kejenuhanya.
Hidrogen akan diikat oleh asam lemak yang tidak jenuh, yaitu pada ikatan rangkap, membentuk radikal kompleks antara hidrogen, nikel dan asam lemak tak jenuh. Setelah terjadi penguraian nikel dan radikal asam lemak, akan dihasilkan suatu tingkat kejenuhan yang tinggi. Radikal asam lemak dapat terus bereaksi dengan hidrogen,membentuk asam lemak jenuh.
R CH CH CH2 COOH H2 R CH2 CH
Nikel merupakan katalis yang sering digunakan dalam proses hidrogenasi,sedangkan plladium, platina dan copper chromite jarang dipergunakan. Hal ini disebabkan nikel lebih ekonomis dan lebih efisien dari pada logam lainnya. Untuk keperluan minyak makan sebelum dilakukan hidrogenasi, minyak harus bebas dari sabun, kering dan mempunyai kandungan asam lemak bebas serta kandungan fosfatida yang rendah.
4. Esterifikasi
R C OR' R'' OR'''
Asam-asam lemak yang ditemukan dialam biasanya merupakan asam-asam monokarboksilat dengan rantai yang tidak bercabang dan mempunyai jumlah atom karbon genap. Asam-asam lemak yang ditemukan dialam dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh (Winarno, F. 1992)
Semakin panjang rantai atom C asam lemak semakin tinggi titik cairnya. Namun apabila ada ikatan tak jenuhnya, maka titik cair rantai C asam lemak yang sama akan turun. Dengan prinsip perbedaan titik cair asam-asam lemak ini trigliserida dapat dipisahkan secara fisis antara komponen minyak dan lemaknya. Komponen minyak umumnya terdiri dari trigliserida yang memiliki banyak asam-asam lemak yang tak jenuh, sedangkan komponen lemak memiliki asam-asam lemak jenuh. Misalnya minyak kelapa sawit (crude palm oil) dapat dipisahkan secara pendinginan (winterisasi) antara bagian yang banyak mengandung asam lemak tak jenuh (oleat) yaitu yang berupa minyak dan yang banyak mengandung asam lemak jenuh (stearat) yaitu yang berupa lemak yang banyak dijual dipasaran dalam negeri sebagai minyak padat dengan berbagai merek. Bagian minyak karena banyak mengandung oleat disebut minyak olein sedangkan lemak yang padat karena banyak mengandung stearat disebut stearin
Asam lemak bersama-sama dengan glikol,merupakan penyusun utama minyak nabati atau lemak dan merupakan bahan baku lipida pada makluk hidup. Asam ini mudah dijumpai dalam minyak masak (goreng), margarin, atau lemak hewan dan menentukan minyak gizinya. Secara alamia, asam lemak bisa berbentuk bebas (karena lemak yang terhidrolisis) maupun terikat sebagai gliserida. Asam lemak merupakan salah satu basic oleochemical (Rondang, T. 2006).
2.5. Bilangan Iodium
Bilangan iod adalah jumlah (gram) iod yang dapat diikat oleh 100 gram lemak. Ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak yang tidak jenuh akan bereaksi dengan iod atau senyawa-senyawa iod. Gliserida dengan tingkat ketidak jenuhan yang tinggi, akan mengikat iod dalam jumlah yang lebih besar.
2 Na2S2O3 + I2 2 Nal + Na2S4O6
Titik akhir titrasi dinyatakan dengan hilangnya warna biru dengan indikator amilum.
Bilangan iod dapat menyatakan derajat ketidakjenuhan dari minyak atau lemak dan dapat juga dipergunakan untuk menggolongkan jenis minyak “pengering” dan minyak “bukan pengering”. Minyak yang mempunyai bilangan iod antara 100 sampai 130 bersifat setengah mengering (Ketaren, S. 2005).
2.6. Penentuan Bilangan Iodium
Asam lemak tidak jenuh dalam minyak dan lemak maupun menyerap sejumlah iod dan membentuk senyawa yang jenuh. Besarnya jumlah iod yang diserap menunjukkan benyaknya ikatan rangkap atau ikatan tidak jenuh.
1. Cara Hanus
Pembuatan Pereaksi Hunus :
Dalam cara Hanus digunakan pereaksi iodium bromida dalam larutan asam asetat glasial (larutan Hunus). Untuk membuat larutan ini, 20 gram bromida dilarutkan dalam 100 ml alkohol murni yang bebas dari asam asetat. Jumlah contoh yang ditimbang tergantung dari perkiraan besarnya bilangan iod, yaitu sekitar 0,5 gram untuk lemak, 0,25 gram untuk minyak dan 0,1 sampai 0,2 garam untuk minyak, dan 0,1 sampai 0,2 gram untuk minyak dengan derajat ketidakjenuhan yang tinggi. Jika ditambahkan 25 ml pereaksi harus ada kelebihan pereaksi sekitar 60 persen.
Prosedur :
Contoh minyak atau lemak dimasukkan kedalam labu erlenmeyer 200 atau 300 ml yang bertutup. Kemudian, dilarutkan dengan 10 ml kloroform atau karbon tetraklorida, dan ditambahkan 25 ml pereaksi. Reaksi dibiarkan selama 1 jam ditempat yang gelap. Sebagian iodium (I2) akan dibebaskan dari larutan (larutan KI 15 persen). Iod yang dibebaskan ditirasi dengan larutan natrium thiosulfat 0,1 N dengan indikator larutan pati. Titrasi untuk blanko dilakkukan dengan cara yang sama.
2. Cara Kaufmann dan Von Hubl
ditempat yang gelap. Larutan ini dititrasi dengan larutan natrium thiosulfat 0,1 N dengan indikator larutan pati. Blanko dikerjakan denngan cara yang sama.
Pada cara Von Hubl digunakan pereaksi yang terdiri dari larutan 25 gram iod di dalam 500 ml etanol dan larutan 30 gram merkuri klorida didalam 500 ml etanol. Kedua larutan ini baru dicampurkan jika akan digunakan, dan tidak boleh berumur labih dari 58 jam. Pereaksi ini mempunyai reaktifitas yang lebih kecil dibandingkan dengan cara-cara lainnya, sehingga membutuhkan waktu reaksi selama 12 sampai 14 jam.
3. Cara Wijs
Pembuatan Pereaksi Wijs :
Pereaksi Wijs yang terdiri dari larutan 16 gram iod monoklorida dalam 1000 ml asam asetat glasial. Cara lain yang lebih baik untuk membuat larutan ini yaitu dengan melarutkan 13 g iod dalam 1000 ml asam asetat glasial , kemudian dialirkan gas klor sampai terlihat perubahan warna yang menunjukkan bahwa jumlah gas klor yang dimasukkan sudah cukup. Pembuatan larutan ini agak sukar, dan bersifat tidak tahan lama. Larutan ini sangat peka terhadap cahaya, panas, dan udara sehingga harus disimpan di tempat yang gelap, sejuk dan tertutup rapat.
Prosedur :
Akhirnya ditambahkan 20 ml larutan kadnium iodida 15 persen dan 100 ml air. Kemudian, botol ditutup serta dikocok dengan hati-hati. Titrasi dilakukan dengan larutan natrium thiosulfat 0,1 N dengan menggunakan indikator larutan pati.
Dari berbagai percobaan ternyata cara Wijs dan Kaufmann hasilnya lebih baik dan praktis.
B = jumlah ml Na2S2O3 untuk titrasi blanko S = jumlah ml Na2S2O3 untuk titrasi contoh N = normalitas larutan Na2S2O3
G = bobot contoh (gram)
12, 69 =