• Tidak ada hasil yang ditemukan

nilai RA, spora yang paling luas penyebarannya adalah spora tipe kuning sedangkan spora tipe orange yang paling rendah tingkat penyebarannya. Hasil analisis menunjukkan kekayaan jenis spora FMA pada lokasi Ekateta, Sillu dan Oelnasi. 100, 93,33, dan 93,33

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "nilai RA, spora yang paling luas penyebarannya adalah spora tipe kuning sedangkan spora tipe orange yang paling rendah tingkat penyebarannya. Hasil analisis menunjukkan kekayaan jenis spora FMA pada lokasi Ekateta, Sillu dan Oelnasi. 100, 93,33, dan 93,33"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

EKSPLORASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) PADA RHIZOSFER JAGUNG DI

KABUPATEN KUPANG

The Exploration of Arbuscular Mycorrhizal Fungi (Amf) On The Maize Rhizosfer In Kupang

Regency

Oktafinus Ndapa Ula; Moresi M. Airtur; Peters O. Bako

Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Cendana Kupang, Jl. Adisucipto-Penfui-Kupang, NTT 85001

ABSTRAK

Penelitian ini telah dilaksanakan di kabupaten kupang, yang terdiri dari 3 lokasi sebagai tempat pengambilan sempel dan dilanjutkan di laboratorium Fisika Tanah Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan dan keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula serta tingkat infeksi akar oleh FMA di kecamatan kupang timur kabupaten kupang yang terdiri dari 3 lokasi yaitu Ekateta, Sillu dan Oelnasi. Masing-masing lokasi diambil 3 sampel tanah dan akar tanaman jagung. Isolasi spora FMA dilakukan berdasarkan metode wet sieving (penyaringan basah). Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah densitas spora (jumlah spora per 100 g tanah) dan keanekaragaman jenis FMA yang dikelompokkan berdasarkan karakteristik spora. Kenaekaragaman jenis dihitung dengan menggunakan pendekatan kelimpahan relative / Relative Abundance (RA) dan kekayaan jenis / Species Rinchness (SR). Hasil penelitian menunjukan bahwapada lokasi Ekateta jumlah spora 1037 dengan densitas spora 207 spora / 100 gram tanah, jumlah spora pada lokasi sillu 613 dengan densitas 123 spora/ 100 gram tanah, sedangkan pada lokasi Oelnasi jumlah spora 712 dengan densitas 142 spora/ 100 gram tanah. Pada penelitian ini ditemukan 5 tipe spora FMA. Berdasarkan nilai RA, spora yang paling luas penyebarannya adalah spora tipe kuning sedangkan spora tipe orange yang paling rendah tingkat penyebarannya. Hasil analisis menunjukkan kekayaan jenis spora FMA pada lokasi Ekateta, Sillu dan Oelnasi. 100%, 93,33%, dan 93,33%. Pada pengamatan tingkat infeksi akar ditemukan. Kata kunci: Fungi mikoriza arbukula, Densitas spora, Kelimpahan relatif, Kekayaan jenis, jagung, Infeksi Akar

ABSTRACT

This research has been conducted in Kupang district, which consists of 3 locations as a place of sampling and continued in the Laboratory of Soil Physics, Faculty of Agriculture, University of Nusa Cendana. The aimed of this research is to know the existence and diversity of arbuscular mycorrhizal fungi and the level of infection by AMF in East Kupang subdistrict, Kupang regency and consisting of 3 locations that is Ekateta, Sillu and Oelnasi. Each location was taken 3 soil samples and roots of corn plants. AMF spore isolation was done based on wet sieving method. The variables was observed in this research were density spores (number of spores per 100 g of soil) and the diversity of AMF types grouped by spore characteristics. Type diversity is calculated using by the Relative Abundance (RA) approach and Species Rinchness (SR). The results was showed that the number of spores at the location of Ekateta is 1037 with the density of 207 spores/100 grams of soil, the number of spores at the location of Sillu is 613 socks with the density of 123 spores/100 grams of soil, whereas at the location of Oelnasi the number of spores is 712 with the density of 142 spores/100 grams of soil. In this research was founded 5 types of AMF spores. Based on RA values, the most widespread spores are spore type of yellow while the lowest-grade is spores type of orange were spreading. The results was showed the richness of AMF spores at the locations of Ekateta, Sillu and Oelnasi. 100%, 93.33%, and 93.33%. On observation of root infection rate was found.

Keywords : Arbuscular Mycorrhizal Fungi, Density spores, Relative Abundance, Species Rinchness, Maize, Root Infection

PENDAHULUAN

(2)

Terdapat 7 type mikoriza yang telah berhasil diidentifikasi sampai dengan saat ini. Salah satunya adalah fungi mikoriza arbuskula (FMA). FMA umumnya terbentuk dari simbiosis mutualisme antara jamur dari kelompok Zygomycetes dan Glomales dengan berbagai jenis tanaman. FMA dapat ditemukan hampir pada sebagian besar tanah, dan umumnya tidak mempunyai inang yang spesifik sehingga dikatakan mempunyai spesifitas yang rendah. FMA diduga dapat berasosiasi dengan lebih dari 80% jenis tanaman, dimana setiap jenis tanaman dapat berasosiasi dengan satu atau lebih jenis FMA. Tetapi tidak semua tanaman dapat memberikan respon yang sama terhadap inokulasi FMA (Sieverding, 1991; Smith and Read, 2008).

Fungi mikoriza arbuskula (FMA) memegang peranan penting dalam penyediaan nutrisi bagi tanaman baik pada lahan pertanian maupun pada ekosistem alami, selain itu fungi mikoriza berperan sebagai fasilitator penyediaan berbagai unsur hara bagi tanaman. Selain peningkatan penyerapan unsur hara P, mikoriza dilaporkan dapat meningkatkan penyerapan hara N, K, Cu, dan Zn (Marschner and Dell 1994; Plassard and Dell, 2010). Manfaat lain yang dapat diberikan melalui aplikasi FMA adalah dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit, dan dapat meningkatkan stabilitas agregat tanah (Marchner and Dell; Smith and Read, 2008). Dengan demikian, FMA memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai pupuk hayati.

Beberapa jenis jamur dapat berperan sebagai FMA. Setiap jenis FMA memiliki kemampuan yang berbeda–beda di dalam membantu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Sehingga pemilihan isolat mikoriza yang benar-benar kompatibel dengan tanaman yang dibudidayakan perlu. Dalam aplikasi sebagai pupuk hayati, penggunaan mikoriza indigen mempunyai peluang keberhasilan yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan mikoriza eksogen. Hal ini karena mikoriza indigen telah beradaptasi kondisi setempat.

Peluang pemanfaatan FMA, terutama FMA indigen sebagai pupuk hayati pada lahan kering di NTT sangat besar. Hal ini dikarenakan bahwa keefektifan fungsi dan kerja FMA sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan dimana FMA tersebut berada. FMA indigen lahan kering NTT adalah FMA yang telah beradaptasi dengan kondisi lingkunan di NTT sehingga diasumsikan memiliki efektivitas yang tinggi jika diaplikasikan pada lahan pertanian setempat. Penggunaan FMA indigen di lahan kering di NTT dapat mengatasi berbagai permasalahan di lahan kering di Nusa Tenggara Timur (NTT), salah satunya adalah meningkatkan produktivitas tanaman yang rendah.

Jagung merupakan tanaman pangan penting bagi sebagian masyarakat di NTT. Badan Pusat Statistik NTT (2015) melaporkan, rata-rata produktivitas jagung di NTT adalah 2,52 ton ha-1. Produktivitas ini masih jauh di bawah potensi hasil dari berbagai varietas unggul jagung yang telah dikembangkan saat ini yang dapat mencapai 7,0-8,0 ton ha-1 (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan). Oleh karena itu, perlu adanya upaya peningkatan produksi. Salah satu alternatif adalah dengan aplikasi FMA pada lahan pertanaman jagung.

Tanaman jagung cocok sebagai inang karena diketahui dapat terinfeksi oleh mikoriza. Hasil penelitian Sufaati dkk (2010), menunjukan bahwa terdapat infeksi FMA pada tanaman non-legum yang digunakan dalam penelitian, yakni jagung, tomat, cabai, sawi dan kubis dimana tanaman jagung paling kompatibel dengan FMA dengan tingkat persentase infeksinya ialah 98%, sedangkan kubis berada pada tingkat persentase infeksi yang rendah yaitu 10,64%.

Untuk dapat digunakan sebagai pupuk hayati perlu adanya eksplorasi terhadap FMA. Eksplorasi merupakan langkah awal untuk mengetahui dan memperoleh gambaran keanekaragaman FMA yang ada di suatu lokasi. Keanekaragaman dan penyebaran mikoriza dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sehingga kondisi lingkungan yang berbeda dapat memberikan informasi populasi yang berbeda. Dibandingkan dengan ekosistem alami, keanekaragaman dan penyebaran mikoriza pada ekositem pertanian sangat berbeda. Hal ini karena aktivitas pertanian seperti input pupuk anorganik dan pestisida serta intensitas pengolahan tanah dapat mempengaruhi perkembangan mikoriza (Sieverding, 1991). Input pupuk anorganik yang tinggi dapat menurunkan efektifitas mikoriza. Penggunaan pestisida secara terus menerus dilaporkan dapat berdampak pada kehidupan mikroba tanah secara umum, termasuk mikoriza. Intensitas pengolahan tanah yang tinggi, dapat berdampak pada kerusakan hifa eksternal mikoriza. Penelitian ini bertujuan untuk Megetahui keberadaan dan keragaman spora FMA sertatingkat infeksi FMA pada rhisosfer tanaman jagung di desa (Ekateta, Sillu dan Oelnasi), kabupaten Kupang

METODE PENELITIAN

(3)

spidol, hands sprayer, sekop, saringan (500 µm, 297 µm, 150 µm, 45 µm), pinset, Erlenmeyer, gelas ukur, pipet tetes,sentrifuge, tabung sentrifuge, cawan petri, mikroskop stereo, mikroskop binokuler, sendok pengaduk, preparat, timbangan, kalkulator dan alat tulis dan tabung. Bahan yang di gunakan dalam penelitian ini yaitu kertas saring, kertas label, tanah, larutan tripan blue 0,05%, larutan KOH 10%,air, tisu, aquades, dan buku panduan mikorisa.

Hasil isolasi spora dari sampel tanah yang diambil kemudian dihitung densitasnya (jumlah spora per 100 gram tanah), dan densitas spora pada masing-masing lokasi akan dirata-ratakan dengan menggunakan nilai rata-rata dan standar eror. Spora yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan warna, bentuk,ukuran, tampilan permukaan spora ada tidaknya subtending hifa. Keanekaragaman spora dihitung dengan menggunakan parameter kelimpahan relatif atau relative abundance (RA), dan kekayaan spora atau species richness (SR).

RA = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑝𝑜𝑟𝑎 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠(𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑙𝑜𝑘𝑎𝑠𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢)

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑠𝑝𝑜𝑟𝑎 (𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑙𝑜𝑘𝑎𝑠𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡) 𝑥 100 %

SR = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠(𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑙𝑜𝑘𝑎𝑠𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢)

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑙𝑜𝑘𝑎𝑠𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡 𝑥 100 %

Pada masing-masing lokasi diambil 3 titik sampel secara diagonal dengan total sampel untuk ke tiga lokasi 9 sampel (3 x 3 ). Pada setiap lahan, juga diambil sampel tanah komposit untuk keperluan analisis sifat fisik tanah dan sifat kimia tanah (N, P, K, KTK, tekstur, C-organik dan pH tanah). Tanah sekitar daerah perakaran jagung dibersihkan dari serasah dan digali sampai dengan kedalaman ± 20 cm, tanah yang diambil kemudian dicampur merata dan ± 3 kg tanah dimasukkan ke dalam kantong sampel yang telah disiapkan, diikat dan diberikan label. Pengambilan sampel akar jagung dilakukan dengan cara; Akar tanaman jagung digali; Sampel akar dimasukkan kedalam plastik sampel dan diberi label; Sampel akar yang diambil akan digunakan untuk pengamatan tingkat infeksi akar oleh FMA.

Tanah yang telah diambil akan diekstraksi dan dilakukan proses isolasi mikoriza; Proses isolasi mikoriza diawali Tanah ditimbang sebanyak 100 g disuspensikan dengan air sebanyak 800 ml, diaduk selama ± 7 menit; Tanah yang telah diaduk didiamkan selama ± 1 menit hingga partikel-partikel tanah mengendap; Larutan tanah kemudian dituangkan secara perlahan pada saringan yang telah disusun secara bertingkat dengan ukuran

terbesar pada posisi di atas (500 μm, 297 μm, 150 μm dan 45 μm). Proses ini diulang hingga ± 7 kali atau

sampai larutan terlihat bening; Hasil saringan dituangkan ke dalam tabung sentrifuse berukuran 50 ml, dengan cara disemprot perlahan dengan botol yang berisi aquades; Ditambahkan aquades ke tabung sentrifuge hingga mencapai volume ± 40 ml; Tabung yang telah di isi larutan tanah disentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit. Setelah 5 menit disentrifuse, supernatan atau bagian yang terapung pada tabung sentrifuse dibuang, kemudian larutan sukrosa 60% ditambahkan lalu disentrifuse lagi dengan kecepatan 2500 rpm selama 2 menit; Supernatan (larutan sukrosa berisi spora) yang sudah disentrifuse kemudian diambil secara perlahan dengan menggunakan syringe (tabung suntik) yang telah disambungkan dengan selang putih berukuran kecil. Larutan tersebut lalu ditempatkan pada saringan 45 μm dan dibilas dengan air destilasi untuk membersihkan spora dari larutan gula; Spora yang terapung dalam saringan dituangkan ke dalam penyaring porselen yang telah dilapisi dengan kertas saring Whatman No. 41. Kertas saring yang sudah terisi spora kemudian ditempatkan ke dalam cawan petri, diberikan label, lalu diamati di bawah mikroskop; Spora yang masih bercampur partikel tanah lalu dimurnikan dengan cara mengambil spora dengan menggunakan lidi runcing, dan ditempatkan ke dalam cawan petri yang dilapisi kertas dan berisi potongan-potongan kertas yang diberi nomor berdasarkan pengelompokkan spora. Dalam pengelompokkan, spora-spora tersebut dipilahkan atau dipisahkan berdasarkan warna dan tampilan permukaan spora. Sedangkan akar jagung yang diambil diamati tingkat infeksi FMA; proses pengamatan tingkat infeksi akar diawali dengan akar jagung dicuci dengan air sampai bersih kemudian dikeringkan dengan tissue; Akar lalu dipotong dengan ukuran 1-2 cm, dan diletakkan dalam botol-botol kaca kecil; Sepuluh persen KOH lalu ditambahkan kedalam botol-botol sampai akar menjadi tenggelam; Kemudian botol ditutup dengan aluminium foil, dipanaskan pada hotplate dengan suhu 110ºC selama 5; Setelah 5 menit, botol kaca diangkat dari hotplate kemudian didinginkan. Larutan KOH dibuang, akar lalu

(4)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Umum dan Penunjang

Tabel 4.1. Gambaran Umum Lokasi Pengambilan Sampel Tanah dan Akar Tanaman Jagung

No Lokasi Koordinat

61 2 Kali Urea dan Sp36 Rumput-Rumputan Bidara

3 Oelnas i

10o2.593’ LS-123o58.000’ BT

440 2kali Sp36 Rumput-rumputan dan Lontar

Tanah yang telah diambil kemudian diestrak untuk memisahkan spora dengan tanah, dimana proses ekstraksi berlangsung dari tanggal 29 Mei 2017- 26 Juni 2017. Setelah ekstraksi dilakukan proses isolasi dan pemurniaan yang berlangsung dari tanggal 9 Juni– 4 September 2017. Sedangkan akar tanaman jagung diambil di lakukan analisis dan di laborotrium untuk mengamati tingkat infeksi akar oleh FMA. Pengamatan tingkat infeksi akar telah dilakukan pada tangnggal 6 September-15 September 2017.

Dalam pengamatan penunjang ini, tanah yang telah diambil dianalisis kandungan C-Organik, N-total, P-tersedia, bassa tertukar (K-dd), KTK, pH, dan tekstur tanah. Hasil analisis sifat tanah untuk ke tiga lokasi dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2. Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah pada ke tiga lokasi Penelitian

(5)

pemupukan yang tinggi (Lokasi Sillu dan Oelnasi), Kandungan N-totalnya sama dan tergolong rendah (0,16 %). Hal ini diduga pada kedua lokasi ini, walaupun intensitas pemupukan yang tinggi, namun lahan digunakan secara intensif sehingga pengambilan hara N oleh tanaman juga besar. Pada lokasi tanpa pemupukan (Ekateta) memiliki rata-rata N-total yang tergolong rendah (0,13 %). Diduga pada lokasi ini walaupun tidak ada aplikasi pupuk, penggunaan lahannya yang intensif sehingga pengurasan hara oleh tanaman juga besar sehingga N-total yang terkandung dalam tanah menjadi rendah.

Parameter Kandungan P-tersedia tanah, data pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa pada lokasi sillu dan oelnasi tergolong sedang, sedangkan pada lokasi ekateta tergolong sangat rendah. Diduga pada lokasi sillu dan oelnasi melakukan pemupukan pada saat penanaman, sedangkan pada lokasi ekateta tidak dilakukan pemupukan. Hasil penelitian Damayanti dkk(2016) pemberian pupuk P dapat meningkatkan ketersediaan P dan pertumbuhan tanaman. Data pada Tabel 4.2. menunjukan bahwa kandungan K (K-dd) pada ketiga lokasi tergolong sangat tinggi. Tingginya kandungan K-dd pada ketiga lokasi diduga berkaitan dengan hasil pelapukan batuan-batuan mineral yang mengandung K. Selain itu, curah hujan yang rendah menyebabkan pencucian kation-kation termasuk K juga rendah. Secara umum, kandungan K pada tanah-tanah di Pulau Timor relatif tinggi sehingga pemupukan K terkadang tidak dilakukan dalam kegiatan penanaman tanaman di daerah ini. Nilai KTK tanah merupakan sifat kimia tanah yang sangat berkaitan erat dengan kesuburan tanah. Nilai kapasitas tukar kation tanah pada umumnya berkisar antara 25-45 cmol/kg sampai dengan kedalaman 1 meter. Hasil analisis pada Tabel 4.2.menunjukkan bahwa nilai KTK pada lokasi ekateta tergolong sedang, sedangkan pada lokasi sillu dan oelnasi sangat rendah, Nilai KTK tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, tekstur, dan pH tanah (Brady and Weil, 2002). Makin tinggi kandungan bahan organik, umumnya KTK tanah akan meningkat. Makin tinggi pH, KTK akan semakin tinggi. Peningkatan KTK mulai terjadi pada pH mendekati netral dan terus meningkat dengan meningkatnya pH tanah ( Brady and Weil. 2002). Rendahnya KTK pada lokasi sillu dan oelnasi pada lokasi penelitian kemungkinana besar berkaitan dengan pH tanah yang umumnya berada pada kirasan agak masam. Hasil analisis pada Tabel 4.2 menunjukan bahwa nilai pH tanah pada lokasi Ekateta tergolong netral, sedangkan pada lokasi Sillu dan Oelnasi tergolong agak masam yang disebabkan oleh penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus. Triyono dkk,, (2013) menyatakan bahwa Pemberian pupuk anorganik secara terus-menerus dalam jangka panjang akan menaikkan keasaman tanah yang berdampak buruk terhadap mikroorganisme yang ada di dalam tanah dan apabila dibiarkan berlarut-larut maka kesuburan alami tanah akan merosot. Tabel 4.2. menunjukan bahwa tekstur tanah pada ketiga lokasi pengamatan Ekateta, Sillu dan Oelnasi yaitu berdebu.

Pengamatan Utama Densitas Spora

Hasil pengamatan densitas spora disajikan pada Lampiran 4a, sedangkan rata-rata densitas spora yang diperoleh pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Rara-Rata Densitas Spora FMA/100 g Tanah 0

50 100 150 200 250

EKATATA SILU OELNASI

207

123

(6)

Gambar 4.1. Menunjukkan rata-rata densitas spora FMA pada ke tiga lokasi pengambilan sampel relatif bervariasi. Jumlah spora tertinggi terdapat pada lokasi Ekateta yakni 1037 spora dengan densitas 207 spora/100g tanah, diikuti lokasi Oelnasi yakni jumlah spora 712 dengan densitas 142 spora/100g tanah dan lokasi Sillu memiliki jumlah spora FMA terendah yakni 613 spora dengan densitas 123 spora/100g.

Tingginya densitas spora pada lokasi Ekateta disebabkan oleh beberapa kemungkinan, salah satunya P-tersedia pada lokasi Ekateta tergolong sangat rendah. Kandungan P-tersedia yang rendah umumnya dapat berpengaruh positif terhadap perkembangan mikoriza, selai itu juga tidak adanya penggunaann pupuk anorganik, penggunaan pupuk anorganik dapat meningkatkan hara dalam tanah. Meningkatnya ketersdiaan hara umumnya berpengaruh kurang menguntungkan perkembangan mikkoriza. Menurut Smith (1997) dalam

Puspitasari (2012), daerah yang memiliki tingkat kesuburan yang tinggi umumnya jumlah spora yang relatif lebih rendah.

Pengelompokan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

Hasil perhitungan Keanekaragaman spora dengan parameter Relative Abundance (RA) dan Species Richness (SR) disajikan pada Lampiran4b dan Lampiran4d, sedangkan persentase keanekaraman spora dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan Tabel 4.4.

Tabel 4.3. Keanekaragaman Spora Pada Lokasi Penelitian Berdasarkan Parameter Kelimpahan relatif

Tipe Spora Lokasi

Ekateta Sillu Oelnasi

1(Kuning) 35% 33,11% 46,68%

2(Hitam) 11,57% 21,20% 18,96%

3(Orange) 6,75% 5,05% 6,20%

4(Putih) 18,99% 32,30% 19,96%

5(Kemerahan) 14,75% 8,31% 8,32%

Hasil perhitungan keanekaragaman spora yang dapat dilihat pada Tabel 4.3 diatas menunjukkan bahwa pada tiap lokasi memiliki 5 tipe warna spora dan persetase kelimpahan sporanya relatif berbeda. Tipe spora yang paling banyak ditemukan pada lokasi Ekateta, Sillu dan Oelnasi adalah spora tipe kuning, yakni berkisar 35%-46,68%, diikuti tipe spora berwarna putih dengan persentasi 18,99% -32,30%. Sedangkan tipe spora orange ditemukan paling sedikit ditemukan pada ketiga lokasi tersebut, yakni berkisar antara 5,05% - 6,20% yang diikuti oleh tipe spora merah kecoklatan dan hitam dengan persentasi 8,31%-21,20%. Tingginya tipe spora kuning dan putih diduga mampu beradaptasi pada pH agak masam-netral. Hal ini senada dengan Suhardi, 1989

dalam Gaol, 2008), daya adaptasi masing-masing spesies FMA terhadap pH tanah berbeda-beda, karena pH tanah mempengaruhi perkecambahan, perkembangan dan peran mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman.

Tabel 4.4. Keanekaragaman Spora Pada Lokasi Penelitian Berdasarkan Parameter Kekayaan Jenis Spora FMA (SR)

Lokasi SR

Ekateta 100%

Sillu 93,33%

Oelnasi 93,33%

(7)

spora yang Tertingi ditemukan pada lokasi Ekateta yakni 100%, diikuti lokasi Sillu dan Oelnasi yang memiliki persentasi keanekaragaman jenis spora yang sama yakni 93%.

Tabel 4.5. Karakterisasi Spora FMA

Tipe Gambar Deskripsi

Kuning

Spora kuning memiliki ukuran ≥150 µm, berbentuk bulat dan memiliki permukaan yang halus.

Hitam

Spora hitam memiliki ukuran ≥150 µm dan berbentuk yang bulat.

Orange

Spora orange sedang memiliki ukuran

150µm danmemiliki permukaan yang halus

Putih

(8)

Merah Kecoklatan

Spora kemerahan memiliki ukuran ≥297 dan berbentuk bulat. Spora yang berukuran spora yang besar memiliki permukaan yang kasar dan memiliki sunstending hifa berbentuk bulbous

Tingkat Infeksi Akar

Gambar 4.2. Rata-rata tingkat infeksi akar oleh FMA

Hasil pengamatan rata-rata semua akar yang diamati dari setiap lokasi terdapat infeksi oleh FMA. Dari tabel diatas hasil tingkat infeksi FMA sangat berfariasi pada setiap lokasi pengambilan sampel. Pada lokasi ekateta tingkat infeksi paling besar yaitu 67,43% dan lokasi sillu (62,833%) merupakan tingkat infeksi FMA paling rendah. Hal ini diketahui dari adanya penetrasi hifa FMA pada akar yang diteliti. Selain adanya hifa ditemukan juga arbuskula dan vesikula

Struktur umum dari FMA terdiri dari dua organ yang terdapat dalam jaringan akar yang terinfeksi yaitu vesikula dan arbuskula. Vesikula adalah struktur yang mengembung yang dibentuk pada hifa utama berfungsi sebagai organ simpan. Struktur ini mengandung minyak kadang-kadang berupa satu globul tunggal pada akar tua juga berfungi sebagai spora istirahat Hudson (1986)

Dijelaskan oleh Setiadi (1989), simbiosis yang terjadi antar FMA dengan tanaman adalah saling menguntungkan. Fungi memperoleh karbohidrat dari tanaman dengan cara membantu meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan tanaman akan tahan terhadap serangan patogen. Peningkatan penyerapan unsur hara oleh mikoriza dimungkinkan karena akar yang bermikoriza memiliki hifa yang berasal dari fungi pembentuk mikoriza. Akar yang terinfeksi oleh FMA ini, umumnya pada akar muda atau rambut akar. Rambut akar atau bulu-bulu akar merupakan struktur yang membantu dalam kegiatan absorbsi dengan meningkatkan pertumbuhan akar dan meningkatkan hubungan dengan partikel-partikel tanah. Tumbuhan dapat menyerap air melalui rambut akar. Air dan mineral diserap oleh akar-akar muda melalui sel epidermis yang terletak diantara

60.000 61.000 62.000 63.000 64.000 65.000 66.000 67.000 68.000

Ekateta Sillu Oelnasi

67.433

62.833

(9)

rambut-rambut akar dan bagian akar diantara ujung akar dan daerah rambut akar, dimana FMA melakukan infeksi disekitarnya.

Infeksi mikoriza pada tanaman dapat meningkatkan translokasi hara ke bagian atas tanaman, sehingga terjadi laju peningkatan fotosintesis dan penggunaan asimilat dalam tajuk serta peningkatan suplai fotosintat dari daun ke akar. Pembentukan mikoriza dimungkinkan karena adanya eksudat akar yang merangsang pertumbuhan FMA. Peningkatan kecepatan fotosintesis juga akan meningkatkan kandungan dan kelebihan karbohidrat, yang disebarkan ke perakaran tanaman, selanjutnya meningkat infeksi FMA pada akar tanaman. Terdapat dua pola interaksi yang dilakukan oleh FMA pada akar inang yakni pola infeksi primer dan pola infeksi sekunder. Infeksi primer akan muncul pada anakan yang baru ditulari. Pada saat daun pertama muncul, hifa akan terbentuk pada induk akar dan pada saat ini belum terjadi penetrasi intraseluler. Penetrasi intraseluler dan akan terbentuk pada saat protoxylem muncul didalam xylem. Infeksi sekunder akan terjadi pada akar yang baru tumbuh atau pada jaringan yang lebih tua tetapi belum suberisasi. Hal ini terus menjadi bersamaan dengan pertumbuhan tanaman (Setiadi, 1989)

PENUTUP Kesimpulan

Dari hasil yang ada dapat disimpulkan bahwa; Pada penelitian ini ditemukan tipe spora yang dibedakan berdasarkan warna, yaitu spora kuning, hitam, orange, putih dan kemerahan, dengan kelimpahan relatif yang bervariasi antar ke tiga lokasi; Spora tipe kuning memiliki kemampuan menyebar yang tinggi, sedangkan spora dengan kemampuan penyebaran yang rendah adalah orange; Kekayaan jenis spora FMA pada penelitian ini tidak jauh berbeda antar lokasi Ekateta, Sillu dan Oelnasi; Rata-rata densitas spora FMA tertinggi adalah pada Ekateta yaitu 207 spora per 100 g tanah, dan yang terendah adalah pada lokasi Sillug yakni dengan rata-rata densitas spora 123 spora per 100 g tanah; Rata-rata tingkat infeksi akar tertinggi adalah pada lokasi Ekateta 67,43% dan yang terendah adalah lokasi Sillu dengan rata tingkat infeksi akar 58,22%.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai aplikasi koleksi FMA yang diperoleh pada tanaman jagung untuk melihat efektivitas mikoriza yang diperoleh

DAFTAR PUSTAKA

Brady, N.C. and R.R. Weil, 2002. The nature and properties of soils. 31th ed. Prentice-Hall, Upper Saddle River, New York. 511 p.

Brundrett, M.C., N. Bougher, B. Dells, T. Grove, And N. Malajczuk. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. ACIAR. Canberra.

Gaol, E.S.L. 2008. Keberadaan dan Status Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) pada Beberapa Vegetasi di Tanah Berkapur. (Studi Kasus di Desa Ria-Ria, Kecamatan Sipoholon, Kab. Tapanuli Utara, Prop. Sumatera Utara). Skripsi. Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.

Hudson, H. J. 1986. Fungal Biology. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Plassard C, Dell B (2010) Phosphorus nutrition of mycorrhizal trees. Tree Physiology.

Setiadi, Y. 1989. Pemanfaatan Mikroorganisme dalam Kehutanan. PAU Bioteknologi. Institut

Sieverding E. 1991. Vesicular Arbuscular Mycorrhiza Management in Tropical Agrosystem. Eschborn: Deutsche GTZ GmbH.

Smith, S.E. and Read, D.J. 2008. Mycorrhizal Symbiosis. 3rd eds. Elseiver.Amsterdam.

Sufaati, S., Suharno dan Iriandi H. B. 2010. “Endomikoriza yang Berasosiasi dengan Tanaman Pertanian Nonlegum di Lahan Pertanian Daerah Transmigrasi Koya Barat, Kota Jayapura” Jurnal Biologi Papua.

(10)

Tim karya Tani Mandiri, 2012. Sistematika dan botani tanaman jagung. Makalah Budidaya Tanaman Jagung. Nuansa Aulia, Bandung.

Gambar

Tabel 4.1. Gambaran Umum Lokasi Pengambilan Sampel Tanah dan Akar Tanaman Jagung
Gambar 4.1. Rara-Rata Densitas Spora FMA/100 g Tanah
Tabel 4.3. Keanekaragaman Spora Pada Lokasi Penelitian Berdasarkan Parameter Kelimpahan relatif
Tabel 4.5. Karakterisasi Spora FMA
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pemasaran Internal adalah menjual pekerjaan kepada karyawan dan dosen serta mahasiswa sebelum mereka dapat menjual jasanya kepada langganan dengan pengetahuan melalui

Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan rata- rata nilai posttest membuktikan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara Penggunaan Multimedia Interaktif

Pada penelitian ini dilakukan analisis zat wama merah dan kuning dalam minuman tidak herlabel dengan metode spektrofotometri.. Sebelum dilakukan analisis terhadap

1) Harus tersedia dan selalu terpelihara serta dalam keadaan bersih. 2) Lantai terbuat dari bahan yang kuat, kedap air, tidak licin, berwarna terang, dan

Agar topologi star ini dapat berfungsi dengan baik untuk mengirimkan data hasil monitoring, maka data yang akan dikirimkan oleh node End-Device disimulasikan dengan data

Dari gambar 2 masing-masing server berfungsi sebagai server master dan slave, setiap server melakukan replikasi basis data, jadi untuk melakukan

Dalam hal terdapat perbedaan data antara DIPA Petikan dengan database RKA-K/L-DIPA Kementerian Keuangan maka yang berlaku adalah data yang terdapat di dalam database

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)