BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.1.1 Definisi Penyakit DBD
Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue
dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Penyakit
ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian, serta sering
menimbulkan wabah. Jika nyamuk menggigit orang dengan demam berdarah, virus
dengue masuk ke tubuh nyamuk bersama darah yang dihisapnya. Di dalam tubuh
nyamuk, virus berkembang biak dan menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk dan
sebagian besar berada di kelenjar liur. Selanjutnya ketika nyamuk menggigit orang
lain, air liur bersama virus dengue dilepaskan terlebih dahulu agar darah yang akan
dihisap tidak membeku, dan pada saat inilah virus dengue ditularkan ke orang lain
(Soegijanto, 2006).
Demam Dengue (Dengue Fever) adalah penyakit febris - virus akut, seringkali
ditandai dengan sakit kepala, nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam, dan leukopenia
sebagai gejalanya sedangkan penyakit DBD (Dengue Haemoragick Fever/DHF)
ditandai dengan empat gejala klinis utama, yaitu demam tinggi, fenomena haemoragi,
sering dengan hepatomegali, dan pada kasus berat disertai tanda-tanda kegagalan
Syok ini disebut Dengue Shock Syndrome (DSS) dan sering menyebabkan fatal
(WHO, 1999).
2.1.2 Etiologi
DBD disebabkan oleh virus dengue yang temasuk kelompok B Arthropoda
borne virus (Arboviroses). Dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan
mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu : DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 (Soedarto,
2010).
Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang
bersangkutan sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang
sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe yang
lain tersebut. Dengan kata lain, infeksi oleh satu serotipe virus dengue menimbulkan
imunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut, tetapi tidak ada ”cross protective”
terhadap serotipe virus yang lain (Soegijanto, 2006).
Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau
4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di
berbagai daerah di Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan
diasumsikan banyak menunjukkan manifestasi klinis yang berat. Serotipe DEN-3
berasal dari Asia, ditemukan pada populasi dengan tingkat imun rendah dengan
tingkat penyebaran yang tinggi (Depkes RI, 2004a).
2.1.3 Patogenesis dan Patofisiologi
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes
limfaticus, sumsum tulang, serta paru-paru. Sel-sel monosit dan makrofag
mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tesebut akan
difagosit oleh sel monosit perifer (Soegijanto, 2006).
Virus dengue mampu bertahan hidup dan mengadakan multiplikasi di dalam
sel. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus, genomnya masuk ke
dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk
komponen-komponennya, baik komponen antara maupun komponen struktural virus. Setelah
komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangan
virus dengue terjadi di sitoplasma sel (Soegijanto, 2006).
Menurut Gubler dalam Soegijanto (2006), patofisiologi primer DBD dan DSS
adalah peningkatan akut permebilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma
ke dalam ruang ekstravaskuler sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan
penurunan tekanan darah. Volume plasma menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus
berat, hal ini didukung penemuan post-mortem meliputi efusi serosa, efusi pleura,
hemokonsentrasi, dan hipoproteinemi. Perubahan hemostasis pada DBD dan DSS
melibatkan 3 faktor yaitu perubahan vaskuler, trombositopeni, dan kelainan
koagulasi. Hampir semua penderita DBD mengalami peningkatan fragilitas vaskuler
dan trombositopeni, serta banyak di antara penderita menunjukkan koagulogram yang
abnormal.
Pada autopsi, semua pasien yang telah meninggal karena DBD menunjukkan
suatu tingkatan hemoragi. Berdasarkan frekuensi hemoragi ditemukan pada kulit dan
serosa dengan kandungan protein tinggi umumnya terdapat pada rongga pleural dan
abdomen (WHO, 2004).
2.1.4 Tanda dan Gejala Klinik
Menurut Soegijanto (2006), gejala klinik utama pada DBD adalah demam dan
manifestasi perdarahan. Untuk menegakkan diagnosis klinis DBD, WHO dalam
Soegijanto (2006) menentukan beberapa patokan gejala klinis dan laboratorium
meliputi :
a) Gejala Klinis :
- Demam mendadak yang berlangsusng selama 2-7 hari
- Manifestasi perdarahan
o Uji torniquet positif
o Perdarahan spontan berbentuk peteki, purpura, ekimosis, epistaksis,
perdarahan gusi, hematemesis, melena
- Hepatomegali
- Renjatan, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg) atau nadi
tak teraba, kulit dingin, dan anak gelisah
b) Laboratorium
- Trombositopeni (< 100.000 sel/ml)
- Hemokonsentrasi (kenaikan Ht ≥ 20%)
Bila patokan hemokonsentrasi dan trombositopeni menurut kriteria WHO
pengawasan. Untuk mengantisipasi hal ini, Kelompok Kerja DBD sepakat jumlah
trombosit < 150.000 sel/ml sebagai batas tombositopeni.
Selain patokan trombositopeni dan hemokonsentrasi, diagnosis laboratoris
DBD juga dapat ditegakkan melalui pemeriksaan serologis. Pemeriksaan serologis
didasarkan atas timbulnya antibodi pada penderita yang terjadi setelah infeksi.
Pemeriksaan serologis terdiri dari (Depkes RI, 2007) :
a) HI (Haemaglutination Inhibition)
Pemeriksaan HI sampai saat ini dianggap sebagai gold standard. Namun
pemeriksaan ini memerlukan dua sampel darah (serum) dimana spesimen kedua
harus diambil pada fase konvalensen (penyembuhan) sehingga tidak dapat
memberikan hasil yang cepat. Konfirmasi serologi tergantung pada kenaikan titer
yang jelas (4 kali atau lebih) antibodi spesifik dari sampel serum antara fase akut
dan fase konvalensen.
b) ELISA (IgM/IgG)
Infeksi dengue dapat dibedakan dengan menentukan rasio limit antibodi dengue
IgM terhadap IgG. Uji antibodi dengue IgM dan IgG dapat dilakukan hanya
dengan menggunakan satu sampel darah (serum) saja, yaitu darah akut sehingga
hasilnya lebih cepat didapat. Saat ini tersedia Dengue Rapid Test dengan prinsip
WHO dalam Soegijanto (2006) membagi derajat DBD dalam 4 (empat)
tingkat, yaitu sebagai berikut:
- Derajat I : Demam dan tourniquet positif.
- Derajat II : Demam dan perdarahan spontan, pada umumnya di kulit dan atau
pendarahan lain.
- Derajat III : Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai
hepatomegali, dan ditemukan gejala-gejala kegagalan sirkulasi meliputi nadi yang
cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg), atau hipotensi disertai
ekstremitas dingin dan gelisah.
- Derajat IV : Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai
hepatomegali, dan ditemukan gejala renjatan hebat (nadi tak teraba dan tekanan
darah tak terukur).
Dalam pelaksanaan sehari-hari diagnosis DBD dapat ditegakkan jika
didapatkan demam, manifestasi perdarahan, trombositopeni, dan hemokonsentrasi
atau tanda-tanda kebocoran plasma lainnya seperti efusi pleura, ascites, dan
hipoalbuminemi. Adanya renjatan disertai Ht yang tinggi dan trombostopeni
2.1.5 Siklus Penularan dan Penyebaran Penyakit DBD
Gambar 2.1. Siklus Penularan DBD Sumber : Depkes RI, 2007
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus (Depkes RI,
2004a).
Nyamuk Aedes betina biasanya terinfeksi virus dengue pada saat menghisap
darah dari seseorang yang sedang berada pada tahap demam akut (viraemia). Setelah
melalui periode inkubasi ekstrinsik selama 8 sampai 10 hari, kelenjar ludah Aedes
akan menjadi terinfeksi dan virusnya akan ditularkan ketika nyamuk menggigit dan
mengeluarkan cairan ludahnya ke dalam luka gigitan pada tubuh orang lain. Setelah
masa inkubasi instrinsik selama 3-14 hari (rata-rata selama 4-6 hari) timbul gejala
awal penyakit secara mendadak yang ditandai dengan demam, pusing, myalgia (nyeri
nausea (mual-mual), muntah, dan rash (ruam pada kulit). Viraemia biasanya muncul
pada saat atau persis sebelum gejala awal penyakit tampak dan berlangsung selama
kurang lebih 5 hari setelah dimulainya penyakit. Saat-saat tersebut merupakan masa
kritis dimana penderita dalam masa sangat infektif untuk vektor nyamuk yang
berperan dalam siklus penularan (WHO, 2004).
Lebih jelasnya Depkes RI (2007) menjelaskan mekanisme penularan penyakit
DBD dan tempat potensial penularannya sebagai berikut :
a) Mekanisme Penularan DBD
Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus dengue merupakan
sumber penular DBD. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari. Bila
penderita DBD digigit nyamuk penular maka virus dalam darah akan ikut terhisap
masuk ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan
tersebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk, termasuk di dalam kelenjar liurnya.
Kira-kira 1 minggu setelah menghisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk
menularkan kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan berada
dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu, nyamuk Aedes yang telah
menghisap virus dengue menjadi penular sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi
karena setiap kali nyamuk menusuk (menggigit) sebelum menghisap darah, ia akan
mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya (proboscis) agar darah yang dihisap tidak
membeku. Bersamaan dengan air liur tersebut virus dengue dipindahkan dari nyamuk
b) Tempat Potensial bagi Penularan DBD
Penularan DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk
penularnya. Beberapa tempat yang paling potensial untuk terjadinya penularan DBD
adalah :
- Wilayah yang banyak kasus DBD (rawan/endemis).
- Tempat-tempat umum yang menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang
datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran
beberapa tipe virus dengue yang cukup besar, seperti sekolah, RS/Puskesmas dan
sarana pelayanan kesehatan lainnya, serta tempat umum lainnya (hotel, pertokoan,
pasar, restoran, tempat ibadah, dan lain-lain).
- Pemukiman baru di pinggir kota. Penduduk pada lokasi ini umumnya barasal dari
berbagai wilayah maka ada kemungkinan diantaranya terdapat penderita yang
membawa tipe virus dengue yang berbeda dari masing-masing lokasi.
2.2 Vektor Penular Penyakit DBD
Virus dengue ditularkan dari satu orang ke orang lain oleh nyamuk Aedes dari
subgenus Stegomyia. Aedes aegypti merupakan vektor epidemik yang paling penting
sedangkan spesies lain seperti Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, anggota
kelompok Aedes scutellaris, dan Aedes niveus diputuskan sebagai vektor sekunder.
Walaupun mereka merupakan vektor bagi virus dengue, epidemi yang ditimbulkan
2.2.1 Morfologi dan Metamorfosa Nyamuk Aedes aegypti
Gambar 2.2. Nyamuk Aedes aegypti Sumber : http://pedulidbd.com/tag/aedes-aegypti
Nyamuk Aedes aegypti disebut black-white mosquito karena tubuhnya
ditandai dengan pita atau garis-garis putih keperakan di atas dasar hitam. Di
Indonesia, nyamuk ini sering disebut sebagai salah satu dari nyamuk-nyamuk rumah
(WHO, 2004).
Dalam siklus hidupnya, nyamuk Aedes aegypti dapat dibagi menjadi 4 tahap
yaitu telur, larva/jentik, pupa, dan dewasa sehingga termasuk dalam metamorfosis
sempurna (WHO, 2004).
Telur nyamuk Aedes aegypti di dalam air dengan suhu 20-40oC akan menetas
menjadi larva dalam waktu 1-2 hari. Pada kondisi optimum, larva berkembang
menjadi pupa dalam waktu 4-9 hari, kemudian pupa berkembang menjadi nyamuk
pupa, dan nyamuk dewasa memerlukan waktu kurang lebih 7-14 hari (Soegijanto,
2006).
Gambar berikut menunjukkan siklus hidup nyamuk Aedes aegypti
Gambar 2.3. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti Sumber : Depkes RI, 2007
a) Telur
Telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk elips atau oval memanjang, warna
hitam, ukuran 0,5-0,8 mm, permukaan poligonal, tidak memiliki alat pelampung, dan
diletakkan satu persatu pada benda-benda yang terapung atau pada dinding bagian
dalam tempat penampungan air (TPA) yang berbatasan langsung dengan permukaan
air. Dari telur yang dilepas, sebanyak 85% melekat di dinding TPA sedangkan 15%
lainnya jatuh ke permukaan air.
b) Larva/Jentik
Larva/jentik nyamuk Aedes aegypti berbentuk memanjang tanpa kaki dengan
dan perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit (ecdysis) dan larva yang
terbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II, III, dan IV. Larva instar I tubuhnya
sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada
(thorax) belum begitu jelas, dan corong pernapasan (siphon) belum menghitam.
Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm, duri dada belum jelas, dan
corong pernapasan sudah berwarna hitam. Larva nstar IV telah lengkap struktur
anatominya dan tubuh dapat dibagi menjadi kepala (chepal), dada (thorax), dan perut
(abdomen).
Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang antena tanpa
duri-duri, dan alat-alat mulut tipe pengunyah (chewing). Bagian dada tampak paling
besar dan terdapat bulu-bulu yang simetris. Perut tersusun atas 8 ruas, ruas perut ke-8
memiliki alat untuk bernapas yang disebut corong pernapasan. Corong pernapasan
tanpa duri-duri, berwarna hitam, dan ada seberkas bulu-bulu. Ruas ke-8 juga
dilengkapi dengan seberkas bulu-bulu sikat (brush) di bagian ventral dan gigi-gigi
sisir (comb) yang berjumlah 15-19 gigi yang tersusun dalam 1 baris. Larva ini
tubuhnya langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat fotaksis negatif, dan waktu
istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan bidang permukaan air.
c) Pupa
Pupa nyamuk Aedes aegypti bentuk tubuhnya bengkok dengan bagian
kepala-dada (cephalothorax) lebih besar dibandingkan dengan bagian perutnya sehingga
tampak seperti tanda baca “koma”. Pada bagian punggung (dorsal) dada terdapat alat
yang berguna untuk berenang. Alat pegunyah tersebut berjumbai panjang. Pupa
adalah bentuk tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah bila dibandingkan
dengan larva. Waktu istirahat, posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air.
d) Nyamuk Dewasa
Tubuh nyamuk Aedes aegypti dewasa tersusun atas tiga bagian yaitu kepala,
dada, dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan antena
yang berbulu. Bagian mulut nyamuk betina merupakan tipe penususk-pengisap
(piercing-sucking) dan termasuk lebih menyukai manusia (anthropophagus)
sedangkan nyamuk jantan bagian mulutnya lebih lemah sehingga tidak mampu
menembus kulit manusia karena itu tergolong lebih menyukai tumbuhan
(phytophagus).
Dada nyamuk ini terdiri dari 3 ruas yaitu porothorax, mesothorax, dan
metathorax. Setiap ruas dada memiliki sepasang kaki yang terdiri dari femur (paha),
tibia (betis), dan tarsus (tampak). Pada ruas-ruas kaki ada gelang-gelang putih tetapi
pada bagian tibia kaki belakang tidak ada gelang putih. Pada bagian dada juga
terdapat sepasang sayap tanpa noda-noda hitam. Pada bagian punggung (mesontum)
ada gambaran garis-garis putih yang dapat dipakai untuk membedakan dengan jenis
lain. Gambaran punggung nyamuk Aedes aegypti berupa sepasang garis lengkung
putih pada tepinya dan sepasang garis submedian di tengahnya. Perut terdiri dari 8
ruas dan pada ruas-ruas tersebut terdapat bintik-bintik putih. Waktu istirahat, posisi
2.2.2 Bionomik Vektor
Menurut Sitio (2008), pengetahuan tentang bionomik vektor sangat diperlukan
dalam perencanaan pengendalian vektor. Bionomik vektor meliputi tempat
perindukan (breeding habit), kebiasaan menggigit (feeding habit), kebiasaan istirahat
(resting habit), jarak terbang, dan lama hidup.
a) Tempat Perindukan (Breeding Places)
Tempat perindukan yang paling potensial adalah TPA yang digunakan
sehari-hari seperti drum, tempayan, bak mandi, bak WC, ember, dan sejenisnya. Tempat
perindukan tambahan disebut non-TPA, seperti tempat minum hewan, barang bekas,
vas bunga, perangkap semut, dan lainnya sedangkan TPA alamiah seperti lubang
pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon
pisang, potongan bambu, dan lainnya. Nyamuk Aedes aegypti lebih tertarik
meletakkan telurnya pada TPA berair yang berwarna gelap, paling menyukai warna
hitam, terbuka lebar, dan terutama terletak di tempat-tempat yang terlindung dari
sinar matahari langsung (Soegijanto, 2006).
b) Kebiasaan Menggigit (Feeding Habit)
Berdasarkan pendapat Soegijanto (2006) dan WHO (2004) dapat disimpulkan
bahwa nyamuk Aedes aegypti sangat antropofilik, walaupun ia juga bisa makan dari
hewan berdarah panas lainnya; sebagai hewan diurnal, nyamuk betina memiliki dua
periode aktivitas menggigit dan menghisap darah, yaitu antara pukul 08.00-12.00 dan
15.00-17.00; jika masa makannya terganggu, Aedes aegypti dapat menggigit lebih
c) Kebiasaan Istirahat (Resting Habit)
Nyamuk Aedes aegypti paling suka beristirahat di tempat yang gelap, lembab,
dan tersembunyi di dalam rumah atau bangunan, termasuk kamar tidur, kamar mandi,
kamar kecil, maupun dapur. Dapat juga ditemukan di luar rumah, di tumbuhan, atau
di tempat terlindung lainnya. Di dalam ruangan, permukaan istirahat yang disukainya
adalah di bawah furnitur, benda yang tergantung seperti baju dan korden, serta di
dinding (WHO, 2004).
d) Jarak Terbang
Menurut Sitio (2008) yang mengutip pernyataan Chapman, pergerakan
nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan selanjutnya ke tempat
untuk beristirahat ditentukan oleh kemampuan terbang nyamuk. Pada waktu terbang
nyamuk memerlukan oksigen lebih banyak sehingga penguapan air dari tubuh
nyamuk menjadi lebih besar. Untuk mempertahankan cadangan air di dalam tubuh
dari penguapan maka jarak terbang nyamuk menjadi terbatas. Aktifitas dan jarak
terbang nyamuk dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu: faktor eksternal dan faktor internal.
Eksternal meliputi kondisi luar tubuh nyamuk seperti kecepatan angin, temperatur,
kelembaban, dan cahaya. Adapun faktor internal meliputi suhu tubuh nyamuk,
keadaan energi, dan perkembangan otot nyamuk. Meskipun Aedes aeegypti kuat
terbang tetapi tidak pergi jauh-jauh karena tiga macam kebutuhannya yaitu tempat
perindukan, tempat mendapatkan darah, dan tempat istirahat ada dalam satu rumah.
Keadaan tersebut yang menyebabkan Aedes aegypti bersifat lebih aktif di dalam
km dari tempat perindukannya, hal tersebut disebabkan oleh pengaruh angin atau
terbawa alat transportasi.
e) Lama Hidup
Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki rata-rata lama hidup hanya 8 hari.
Selama musim hujan, saat masa bertahan hidup lebih panjang, risiko penyebaran
virus semakin besar. Dengan demikian, diperlukan lebih banyak penelitian untuk
mengkaji survival alami Aedes aegypti dalam berbagai kondisi lingkungan (WHO,
2004).
2.2.3 Pengamatan Kepadatan Populasi Vektor
Untuk mengetahui kepadatan vektor disuatu lokasi dapat dilakukan beberapa
survei meliputi survei nyamuk, survei jentik, dan survei perangkap telur.
a) Survei Nyamuk
Sampling vektor nyamuk dewasa dapat memberikan data yang berharga untuk
mengetahui kecenderungan populasi musiman, dinamika penularan, risiko penularan,
dan evaluasi terhadap usaha pemberantasan nyamuk. Beberapa cara untuk survei
nyamuk dewasa antara lain (Depkes RI, 2007) :
- Landing Bitting Collection
Survei nyamuk dilakukan dengan cara penangkapan nyamuk dengan umpan
orang di dalam atau diluar rumah masing-masing 20 menit per rumah. Angka hasil
tangkapan dengan menggunakan jaring tangan atau aspirator saat nyamuk melekat
- Resting Collection
Pada periode inaktif, nyamuk dewasa istirahat di dalam rumah terutama di
kamar tidur dan di tempat yang gelap seperti tempat gantungan pakaian dan
tempat-tempat terlindung. Jumlah nyamuk dewasa yang tertangkap istirahat dengan aspirator
per rumah disebut resting rate.
b) Survei Jentik
Survei jentik dilakukan dengan cara pemeriksaan terhadap semua tempat air di
dalam dan di luar rumah dari 100 (seratus) rumah yang diperiksa di suatu daerah
dengan mata telanjang untuk mengetahui ada tidaknya jentik. Dalam pelaksanaan
survei ada dua metode yang meliputi (Depkes RI, 2007) :
b.1) Metode Single Larva
Metode ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan
air yang ditemukan ada jentiknya untuk dilakukan identifikasi lebih lanjut jenis
jentiknya.
b.2) Metode Visual
Metode ini dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik di setiap tempat
penyakit DBD, survei jentik yang biasa digunakan adalah cara visual dan ukuran
yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik yaitu :
- Angka Bebas Jentik (ABJ) : persentase pemeriksaan jentik yang dilakukan di
semua desa/kelurahan setiap 3 bulan oleh petugas Puskesmas pada rumah-rumah
penduduk yang diperiksa secara acak.
- House Index (HI) : presentase rumah yang ditemukan jentik terhadap seluruh
rumah yang diperiksa.
- Container Index (CI) : presentase antara kontainer yang ditemukan jentik terhadap
seluruh kontainer yang diperiksa.
- Breteau Index (BI) : jumlah kontainer positif perseratus rumah yang diperiksa.
Angka Bebas Jentik dan House Index lebih menggambarkan luasnya
penyebaran nyamuk di suatu daerah. Tidak ada teori yang pasti yang menyebutkan
Angka Bebas Jentik dan House Index yang dipakai sebagai standard. Hanya saja,
berdasarkan kesepakatan ditetapkan House Index minimal 1%, yang berarti
rumah yang diperiksa jentiknya harus negatif. Ukuran tersebut digunakan sebagai
indikator keberhasilan pengendalian nyamuk penularan DBD (Depkes RI, 2007).
c) Survei Perangkap Telur
Menurut Ditjen PP&PL (2007), survei telur menggunakan ovitrap yaitu
berupa potongan bambu atau kontainer lain yang mudah diperoleh (bekas kaleng susu
dicat hitam, gelas plastik, tempurung kelapa atau lainnya) yang diberi air dan diberi
lubang ±1 cm dari tepi atas untuk menggantung ovitrap pada paku dan untuk
mencegah air agar tidak meluap. Kemudian ovitrap diberi padel yang berupa
potongan bambu atau kain yang berwarna gelap sebagai tempat meletakkan telur bagi
nyamuk. Jumlah pemasangan ovitrap pada setiap rumah adalah 2 buah, 1 buah
dipasang di dalam rumah dan 1 buah lagi dipasang di luar rumah. Jumlah ovitrap
yang dipasang minimal 160 buah di 80 rumah. Pengamatan ada atau tidak adanya
telur dilakukan seminggu sekali dengan cara pemeriksaan adanya telur di padel atau
bisa juga dengan pemeriksaan adanya jentik di dalam ovitrap. Pada waktu
pemeriksaan padel, air di dalam ovitrap dibuang dan diganti air baru. Bila air tidak
diganti maka jentik yang ada akan menetas menjadi nyamuk.
2.3 Epidemiologi Penyakit DBD 2.3.1 Distribusi Penyakit DBD a) Orang (Person)
Umur adalah salah satu faktor yang memengaruhi kepekaan terhadap infeksi
virus dengue. Pada awal epidemi di Filipina, Thailand, Indonesia, dan Malaysia
penyakit DBD kebanyakan menyerang anak-anak dan 95% kasus yang dilaporkan
berumur < 15 tahun. Walaupun demikian, berbagai negara melaporkan bahwa
kasus-kasus dewasa meningkat selama terjadi KLB (Soegijanto, 2006).
Berdasarkan Kemenkes (2010), kasus DBD per kelompok umur di Indonesia
mengalami pergeseran dari tahun 1993-2009. Dari tahun 1993-1998 kelompok umur
terbesar kasus DBD adalah kelompok umur < 15 tahun sedangkan tahun 1999-2009
kelompok umur terbesar kasus DBD cenderung pada kelompok umur ≥ 15 tahun. Hal
Gambar 2.4. Proporsi Kasus DBD Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 1993-2009
Sumber : Ditjen PP&PL Depkes RI, 2009
Sejauh ini tidak ditemukan perbedaan kerentanan terhadap serangan DBD
dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin (gender). Di Filipina dilaporkan bahwa
rasio antar jenis kelamin adalah 1:1. Di Thailand tidak ditemukan perbedaan
kerentanan terhadap serangan DBD antara laki-laki dan perempuan meskipun
ditemukan angka kematian yang lebih tinggi pada anak perempuan, tetapi perbedaan
angka tersebut tidak signifikan (Kusriastuti dalam Duma, 2007).
Distribusi kasus berdasarkan jenis kelamin di Indonesia pada tahun 2008
menunjukkan bahwa proporsi penderita laki-laki dan perempuan hampir sama.
Jumlah penderita berjenis kelamin laki-laki adalah 10.463 orang (53,78%) dan
perempuan berjumlah 8.991 orang (46,23%). Hal ini menunjukkan bahwa risiko
terkena DBD untuk laki-laki dan perempuan hampir sama, tidak tergantung jenis
Singapura dan Malaysia pernah mencatat adanya perbedaan angka kejadian
infeksi di antara kelompok etnik. Kelompok penduduk Cina banyak terserang DBD
dari pada yang lain. Penemuan ini dijumpai pada awal epidemi (Soegijanto, 2006).
Mobilitas penduduk juga memegang peranan penting pada transmisi
penularan infeksi virus dengue. Salah satu faktor yang memengaruhi penyebaran
epidemi dari Queensland ke New South Wales pada tahun 1942 adalah perpindahan
personil militer dan angkatan udara karena jalur transportasi yang mereka lewati
merupakan jalur penyebaran virus dengue (Sutaryo, 2005).
b)Tempat (Place)
Penyakit akibat infeksi virus dengue ditemukan tersebar luas di berbagai
negara terutama di negara tropik dan subtropik yang terletak antara 30º Lintang Utara
dan 40º Lintang Selatan seperti Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan Caribbean dengan
tingkat kejadian sekitar 50-100 juta kasus setiap tahunnya (Djunaedi dalam Duma,
2007). Data dari seluruh dunia menunjukkan bahwa Asia menempati urutan pertama
dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya (Kemenkes RI, 2010).
Penyakit DBD dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempat-tempat
dengan ketinggian 1.000 meter dari permukaan laut karena pada tempat yang tinggi
dengan suhu yang rendah, siklus perkembangan Aedes aegypti menjadi tidak
sempurna (Depkes RI, 2004b). Namun, pernah dilaporkan dilaporkan pada ketinggian
2.121 meter di India, pada 2.200 meter di Kolombia yang suhu rata-rata tahunannya
Dibandingkan dengan daerah pedesaan, nyamuk Aedes aegypti memang lebih
banyak di daerah perkotaan. Hal ini disebabkan karena habitat perindukan nyamuk
adalah air yang relatif bersih, yaitu penampungan air untuk keperluan sehari-hari,
barang-barang bekas sepeti botol, ban, kaleng, plastik, dan sebagainya yang
merupakan lingkungan buatan manusia terutama di kota-kota. Namun, dengan
semakin majunya mobilisasi manusia dan pesatnya transportasi, nyamuk juga
berimigrasi sampai ke daerah pedesaan. Selain itu, di daerah pedesaan memang
banyak terdapat nyamuk Aedes albopictus (nyamuk kebun) yang juga dapat
menularkan virus dengue (Nadesul, 2004).
Di India misalnya, Aedes aegypti merupakan vektor di perkotaan dan
populasinya berubah-ubah sesuai dengan curah hujan dan kebiasaan penyimpanan air.
Di negara-negara Asia Tenggara yang curah hujan tahunannya lebih dari 2000 mm,
menjadikan populasi Aedes aegypti lebih stabil di perkotaan, semi perkotaan, dan
pedesaan. Adanya kebiasaan penyimpanan air secara tradisional di Indonesia dan
Thailand menyebabkan kepadatan populasi nyamuk di daerah semi perkotaan lebih
besar dibandingkan dengan daerah perkotaan. Di Singapura, indeks Aedes aegypti
paling tinggi ditemukan di perumahan kumuh (Ditjen PP&PL dalam Sukamto, 2007).
Di Thailand, wabah DBD pertama terjadi di Bangkok dalam pola siklus 2
tahun, kemudian selanjutnya dalam siklus yang tidak teratur dengan area penyebaran
penyakit di seluruh negeri. DBD kemudian menjadi endemik di banyak kota besar di
Thailand dan akhirnya menyebar ke kota-kota kecil dan desa-desa selama periode
Di Indonesia, DBD pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun
1968. Sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (CFR
= 41,5%). Sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia. Persebaran
jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD mengalami peningkatan.
Dari 2 provinsi dan 2 kota pada tahun 1968, menjadi 32 provinsi (97%) dan 382
kabupaten/kota (77%) yang endemis pada tahun 2009 (Kemenkes RI, 2010).
c) Waktu (Time)
Selama abad ke-18, 19, dan awal abad ke-20 epidemi penyakit yang
menyerupai dengue tercatat menyerang seluruh dunia, baik di wilayah tropis maupun
di beberapa wilayah beriklim sedang. KLB penyakit dengue serupa dengan DBD
yang dicatat pertama kali terjadi di Australia tahun 1897. Penyakit perdarahan serupa
juga berhasil dicatat pada tahun 1928 saat terjadi epidemi di Yunani dan kemudian di
Taiwan tahun 1931. Epidemi DBD pertama yang berhasil dipastikan, dicatat di
Filipina tahun 1953-1954. Selama 20 tahun terakhir terjadi peningkatan yang tajam
pada insidensi dan penyebaran penyakit secara geografis. Di beberapa negara Asia
Tenggara saat ini, epidemi terjadi setiap tahun (WHO, 2004).
Awal KLB DBD terjadi setiap lima tahun. Selanjutnya mengalami perubahan
menjadi tiga tahun, dua tahun, dan akhirnya setiap tahun diikuti dengan adanya
kecenderungan peningkatan infeksi virus dengue pada bulan-bulan tetentu
(Soegijanto, 2006).
Terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, WHO mencatat negara
tahun-tahun awal kasus DBD merebak di Indonesia sangat tinggi. Kemudian dari
tahun ke tahun mulai menurun dari 41,4% pada tahun 1968 terus menurun sampai
menjadi 0,89% pada tahun 2009. Meskipun CFR menurun tetapi bila dilihat angka
absolut kematian dalam lima tahun terakhir tetap meningkat (Kemenkes RI, 2010).
Hal tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Gambar 2.5. Jumlah Absolut Kematian DBD dan Angka Kematian di Indonesia Tahun 1968 – 2009
Sumber : Ditjen PP&PL Depkes RI, 2009
Di daerah yang sangat endemik di negara Filipina, Thailand, Myanmar,
Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Vietnam, musim epidemik terjadi saat musim
hujan. Banyaknya penderita sesuai dengan keadaan curah hujan yang hampir setiap
tahun terjadi. Kejadian luar biasa terjadi bulan Mei yang mencapai puncaknya pada
akhir-akhir ini ditemukan kasus DBD di awal bulan Januari. Di Indonesia, epidemik
dimulai sesudah bulan September, dan mencapai puncaknya sekitar bulan Desember
(Soegijanto, 2006).
2.3.2 Determinan Penyakit DBD
Timbulnya suatu penyakit, termasuk penyakit DBD dapat diterangkan melalui
konsep segitiga epidemiologi, yaitu adanya faktor pejamu (host), penyebab (agent),
dan lingkungan (environment).
a) Pejamu (Host)
Host merupakan manusia yang peka terhadap infeksi virus dengue. Menurut
Sari dalam T. Azizah (2010), faktor-faktor yang terkait dalam penularan DBD pada
manusia antara lain golongan umur, pendidikan, penghasilan, suku bangsa, kepadatan
penduduk, mobilitas penduduk, tingkat kerentanan, perilaku hidup bersih dan sehat,
serta perkumpulan yang ada di masyarakat.
Golongan umur akan memengaruhi peluang terjadinya penularan penyakit.
Lebih banyak golongan umur < 15 tahun berarti kelompok yang rentan untuk sakit
DBD akan lebih besar. Sementara itu, pendidikan akan memengaruhi cara berpikir
dalam penerimaan penyuluhan dan cara pencegahan/pemberantasan yang dilakukan
sedangkan penghasilan akan memengaruhi kunjungan untuk berobat ke Puskesmas
atau ke Rumah Sakit. Tiap suku bangsa mempunyai kebiasaannya masing-masing
sehingga hal ini juga memengaruhi penularan DBD.
Bila di suatu rumah terdapat nyamuk penular maka akan berpotensi
rumah sekitarnya, atau orang-orang yang berkunjung ke rumah tersebut yang berada
dalam jarak terbang nyamuk. Lebih padat penduduk akan lebih mudah untuk terjadi
penularan DBD karena jarak terbang nyamuk diperkirakan 50 meter. Mobilitas
penduduk akan memudahkan penularan dari satu tempat ke tempat lain.
Kekuatan dalam tubuh individu tidak sama dalam menghadapi suatu penyakit,
ada yang mudah kena penyakit dan ada yang tahan terhadap penyakit. Oleh karena
itu, kerentanan terhadap penyakit akan berbeda pada tiap individu. Melalui perilaku
hidup bersih dan sehat akan mengurangi risiko penularan penyakit DBD.
Perkumpulan yang ada dimasyarakat juga bisa digunakan untuk sarana Penyuluhan
Kesehatan Masyarakat (PKM).
b)Penyebab (Agent)
Agent penyebab penyakit DBD adalah virus dengue yang termasuk kelompok
B-Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus
Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu ; DEN-1,
DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi
terhadap serotipe yang bersangkutan sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap
serotipe lain sangat kurang sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang
memadai terhadap serotipe lain. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang
dilakukan di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan
dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan
dan diasumsikan banyak menunjukkan manifestasi klinik yang berat (Depkes RI,
c) Lingkungan (Environment)
Sukamto (2007) memaparkan determinan lingkungan (environment) antara
lain sebagai berikut:
c.1) Lingkungan Fisik, yang terkait antara lain : macam tempat penampungan air,
ketinggian tempat, hari hujan, kecepatan angin, suhu udara, tata guna tanah,
pestisida yang digunakan, dan kelembaban udara.
Tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti dibedakan berdasarkan bahan
tempat penampungan air (logam, plastik, porselin, fiberglass, semen, tembikar,
dan lain lain), warna tempat penampungan air (putih, hijau, coklat, dan lain-lain),
letak tempat penampungan air (di dalam rumah atau di luar rumah), penutup
tempat penampungan air (ada atau tidak ada), pencahayaan pada tempat
penampungan air (terang atau gelap), dan sebagainya. Di tempat dengan
ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut tidak ditemukan
nyamuk Aedes aegypti.
Curah hujan menambah genangan air sebagai tempat perindukan,
menambah kelembaban udara terutama untuk daerah pantai. Banyaknya hari
hujan akan memengaruhi kelembaban udara. Kecepatan angin juga memengaruhi
suhu udara dan pelaksanaan pemberantasan vektor dengan cara fogging. Suhu
udara memengaruhi perkembangan virus di tubuh nyamuk. Tata guna tanah
menentukan jarak dari rumah ke rumah. Pestisida yang digunakan memengaruhi
c.2) Lingkungan Biologi
Pada lingkungan biologi, yang memengaruhi penularan penyakit DBD
terutama adalah banyaknya tanaman hias dan tanaman pekarangan. Bila banyak
tanaman hias dan tanaman pekarangan, berarti akan menambah tempat yang
disenangi nyamuk untuk beristirahat. Pada tempat-tempat yang demikian, akan
memperpanjang umur nyamuk dan penularan mungkin terjadi sepanjang tahun di
tempat tersebut.
2.4 Pencegahan dan Pengendalian DBD
Cara memotong rantai penularan penyakit DBD masih dengan cara
membasmi vektor karena belum ditemukannya vaksin atau obat yang dapat
membunuh virus dengue. Cara yang tepat guna adalah dengan membasmi jentik
nyamuk yang ada di tempat perkembangbiakannya (Nadesul, 2004).
Menurut Sukowati (2010), beberapa metode pengendalian vektor yang telah
banyak diketahui dan digunakan oleh program pengendalian DBD di tingkat pusat
dan di daerah yaitu manajemen lingkungan, pengendalian biologis, pengendalian
kimiawi, partisipasi masyarakat, perlindungan individu, dan peraturan perundangan.
2.4.1 Manajemen Lingkungan
Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan untuk
mengurangi bahkan menghilangkan habitat perkembangbiakan vektor sehingga akan
baik jika dilakukan oleh masyarakat, lintas sektor, para pemegang kebijakan, dan
lembaga swadaya masyarakat melalui program kemitraan (Sukowati, 2010).
WHO pada tahun 1982 telah menetapkan 3 jenis Manajemen Lingkungan
yaitu :
a) Modifikasi Lingkungan, yaitu pengubahan fisik habitat larva yang tahan lama.
b) Manipulasi Lingkungan, yaitu pengubahan sementara habitat vektor yang
memerlukan pengaturan wadah yang penting dan tidak penting serta manajemen
atau pemusnahan tempat perkembangbiakan alami nyamuk.
c) Perubahan Habitasi atau perilaku vektor, yaitu upaya untuk mengurangi kontak
antara manusia dan vektor.
Program pengendalian nyamuk Aedes aegypti yang dilakukan di Kuba dan
Panama di awal abad ke-20 didasarkan terutama pada manajemen lingkungan.
Aktivitas semacam itu tetap dapat diterapkan pada tempat dengan penyakit dengue
bersifat endemik (WHO, 2004).
Aspek manajemen lingkungan menyangkut empat bidang yaitu planning,
organizing, actuating, dan controlling. Dalam penelitian Widiyanto (2007) di
Kabupaten Banyumas, keempat bidang tersebut direduksi menjadi 3 bagian yaitu
program (pembentukan dan pelaksanaan program kerja); regulasi; dan teknis
operasional yang terdiri dari pemeriksaan jentik berkala (PJB), penyuluhan, fogging,
penyelidikan epidemiologi, dan abatisasi. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan
bahwa masih ditemukannya warga yang positif mengalami DBD disebabkan karena
Propinsi dan Kabupaten/Kota, sementara di tingkat Puskesmas masih belum efektif.
Padahal Puskesmas merupakan ujung tombak dari pelaksanaan program kesehatan
masyarakat.
2.4.2 Pengendalian Biologis
Pengendalian secara Biologis merupakan upaya pemanfaatan agent biologi
untuk pengendalian vektor DBD. Beberapa agen biologis yang sudah digunakan dan
terbukti mampu mengendalikan populasi larva vektor DBD adalah dari kelompok
predator, seperti bakteri, cyclop (Copepoda), dan ikan pemakan jentik (Sukowati,
2010).
Bakteri Bacillus thuringiensis serotipe H-14 (Bt.H-14) dinilai efektif untuk
mengendalikan nyamuk. Bakteri tersebut tidak memengaruhi sepesies lain. Bt.H-14
didapati sangat efektif terhadap Anopheles stephensi dan Aedes aegypti. Terdapat
berbagai formula produk Bt.H-14 yang diproduksi oleh beberapa perusahaan besar
untuk mengendalikan vektor nyamuk. Produk tersebut meliputi bubuk yang
dilarutkan dan berbagai formula yang bereaksi lambat seperti briket, tablet, dan
butiran. Saat ini diharapkan adanya perkembangan lebih lanjut dari formula yang
lambat reaksinya. Bt.H-14 memiliki tingkat racun yang sangat rendah terhadap
mamalia dan mulai dikembangkan sebagai bahan pengendali nyamuk dalam wadah
penampungan air di rumah (Suroso dalam Sukamto, 2007).
Catatan tentang peranan pemangsa jenis Copepod cruistaceans (sejenis ketam
laut) dibuat antara tahun 1930-1950. Namun, evaluasi ilmiahnya dilakukan hanya di
dapat memengaruhi 99,3% tingkat kematian larva Aedes (stegommyia) dan 1,9 %
terhadap larva Culex quinquefasciatus dan Toxorhynchities amboinensis. Pelepasan
predator ini di Queensland bagian Utara dan Selatan, serta Thailand menunjukkan
hasil yang beragam. Namun, di Vietnam hasilnya lebih sukses karena mampu
memberantas Aedes aegypti di satu desa. Walaupun faktor kelangkaan bahan pangan
serta melakukan pembersihan wadah secara teratur dapat mencegah kelangsungan
hidup Copepods. Mereka cocok untuk wadah besar yang tidak dibersihkan secara
teratur seperti tangki beton, drum besar, atau ban. Mereka juga dapat digunakan
bersamaan dengan Bt.H-14. Copepods berperan dalam pengendalian vektor dengue,
akan tetapi masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut terhadap kemungkinan
penggunannya (WHO, 2004).
Ikan Larvivorus (Gambusia affinis dan Poecilia reticulata) telah banyak
digunakan untuk mengendalikan jentik Aedes aegypti di tempat penyimpanan air
yang besar di banyak negara di Asia Tenggara. Kemampuan dan efisiensi dari
tindakan pengendalian ini tergantung pada jenis penampungan airnya (Suroso dalam
Sukamto, 2007).
2.4.3 Pengendalian Kimiawi
Pengendalian secara kimiawi masih paling populer baik bagi program
pengendalian DBD dan masyarakat. Penggunaan insektisida dalam pengendalian
vektor DBD bagaikan pisau bermata dua, artinya bisa menguntungkan sekaligus
dan cakupan akan mampu mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatif
terhadap lingkungan dan organisme yang bukan sasaran (Sukowati, 2010).
Penggunaan insektisida dalam jangka tertentu secara terus menerus akan
menimbulkan resistensi vektor. Insektisida untuk pengendalian DBD harus digunakan
dengan bijak dan merupakan senjata pamungkas (WHO, 2004).
2.4.4 Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat merupakan proses panjang dan memerlukan ketekunan,
kesabaran, dan upaya dalam memberikan pemahaman dan motivasi kepada individu,
kelompok, masyarakat, bahkan pejabat secara berkesinambungan. Program yang
melibatkan masyarakat adalah mengajak masyarakat mau dan mampu melakukan 3M
Plus atau PSN dilingkungan mereka. Istilah tersebut sangat populer dan mungkin
sudah menjadi trade mark bagi program pengendalian DBD. Namun, karena
masyarakat kita sangat heterogen dalam tingkat pendidikan, pemahaman, dan latar
belakang, kegiatan ini belum mampu mandiri dalam pelaksanaannya (Sukowati,
2010).
Mengingat kenyataan tersebut maka penyuluhan tentang vektor dan metode
pengendaliannya masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat secara
berkesinambungan. Penggerakan masyarakat tidak mungkin dapat berhasil dengan
baik tanpa peran dari pemerintah daerah dan lintas sektor terkait seperti pendidikan,
agama, LSM, dan lain-lain. Program tersebut akan dapat mempunyai daya ungkit
dalam memutus rantai penularan bilamana dilakukan oleh masyarakat dalam program
2.4.5 Perlindungan Individu
Untuk melindungi pribadi dari risiko penularan virus DBD dapat dilakukan
secara individu dengan menggunakan repellent dan menggunakan pakaian yang
mengurangi gigitan nyamuk. Baju lengan panjang dan celana panjang bisa
mengurangi kontak dengan nyamuk meskipun sementara. Untuk mengurangi kontak
dengan nyamuk, di dalam keluarga bisa memasang kelambu pada waktu tidur dan
kasa anti nyamuk (Sukowati, 2010).
Insektisida rumah tangga seperti semprotan aerosol, obat nyamuk bakar,
vaporize mats (VP), dan repellent oles bisa digunakan oleh individu. Pada 12 tahun
terakhir dikembangkan kelambu berinsektisida atau dikenal sebagai insecticide
treated nets (ITNs) dan tirai berinsektisida yang mampu melindungi gigitan nyamuk
(WHO, 2004).
2.4.6 Peraturan Perundangan
Peraturan perundangan diperlukan untuk memberikan payung hukum dan
melindungi masyarakat dari risiko penularan DBD. Seperti telah dipaparkan di atas
bahwa DBD termasuk salah satu penyakit yang berbasis lingkungan sehingga
pengendaliannya tidak mungkin hanya dilakukan oleh sektor kesehatan. Seluruh
negara seharusnya mempunyai undang-undang tentang pengawasan penyakit yang
berpotensi wabah seperti DBD dengan memberikan kewenangan kepada petugas
kesehatan untuk mengambil tindakan atau kebijakan untuk mengendalikannya
Salah satu negara yang mempunyai undang-undang dan peraturan tentang
vektor DBD adalah Singapura yang mengharuskan masyarakat untuk menjaga
lingkungannya agar bebas dari investasi larva Aedes. Adanya peraturan dan
pelaksanaan aturan tersebut menyebabkan epidemi DBD di negara tersebut dapat
dikendalikan (Sukowati, 2010).
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sudah mempunyai
peraturan serupa tetapi penerapannya masih belum dapat dijalankan. Untuk itu, perlu
dilakukan sosialisasi peraturan daerah dan penyuluhan tentang memelihara
lingkungan yang bebas dari larva nyamuk secara bertahap. Hal ini mengingat
pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar
rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu. UUD 1945
mengamanatkan bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia dan dinyatakan juga
bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat (Sukowati, 2010).
2.5 Landasan Teori
Segitiga Epidemiologi (Trias Epidemiologi) merupakan konsep dasar
epidemiologi yang memberikan gambaran tentang hubungan antara tiga faktor utama
yang berperan dalam terjadinya penyakit atau masalah kesehatan. Teori Segitiga
Epidemiologi yang dikemukakan oleh Gordon dan Le Richt pada tahun 1950
menyebutkan bahwa timbul atau tidaknya penyakit pada manusia dipengaruhi oleh
(environment) yang digambarkan sebagai segitiga. Timbulnya penyakit berkaitan
dengan gangguan interaksi antara ketiga faktor ini.
Faktor-faktor dalam trias epidemiologi terus menerus dalam keadaan
berinteraksi satu sama lain. Keterhubungan antara pejamu, penyebab, dan lingkungan
merupakan satu kesatuan yang dinamis yang berada dalam keseimbangan
(equilibrium) pada seorang individu yang sehat. Jika terjadi gangguan terhadap
keseimbangan hubungan segitiga inilah yang akan menimbulkan status sakit sehingga
akan timbul penyakit secara individu maupun keseluruhan populasi yang mengalami
perubahan tersebut (Bustan, 2006).
Kejadian penyakit DBD yang menggambarkan hubungan penyebab (agent),
pejamu (host), lingkungan (environment), dan vektor dapat digambarkan seperti
gambar berikut :
Gambar 2.6. Model Klasik Kausasi Segitiga Epidemiologi Sumber : Murti, 2003
Vektor Agen
Agen merupakan entitas yang diperlukan untuk mengakibatkan penyakit pada
pejamu yang rentan. Agen klasik bersifat biologis (misalnya virus, bakteri, parasit).
Agen memiliki sejumlah karakteristik antara lain: Infektifitas yakni kemampuan agen
untuk mengakibatkan infeksi pada pejamu yang rentan; Patogenesitas yakni
kemampuan agen untuk mengakibatkan penyakit di dalam pejamu; dan Virulensi
yakni beratnya penyakit yang diakibatkan agen di dalam pejamu (Murti, 2003).
Pejamu merupakan organisme yang rentan oleh pengaruh agen. Faktor
endogen pejamu mencakup umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan, profil genetik, latar
belakang keluarga, penyakit terdahulu, status imunitas, dan sebagainya. Lingkungan
merupakan kondisi atau faktor berpengaruh yang bukan bagian dari agen maupun
pejamu tetapi mampu mempromosikan paparan agen dan interaksinya dengan
pejamu. Sementara itu, vektor dapat ikut mengambil bagian bagi transmisi paparan
agen. Pejamu (manusia), agen (virus), vektor (nyamuk Aedes aegypti), dan
lingkungan (genangan air hujan, iklim, dan perumahan), saling berinteraksi untuk
menghasilkan kejadian DBD (Murti, 2003).
Untuk memprediksi pola penyakit, model ini menekankan perlunya analisis
dan pemahaman masing-masing komponen. Peneliti merumuskan
komponen-komponen yang berpengaruh terhadap kejadian DBD di Kecamatan Medan Tembung
antara lain sebagai berikut :
a) Pejamu (Host)
Pejamu adalah manusia atau organisme yang rentan oleh pengaruh agent.
kebiasaan membersihkan tempat penampungan air, menutup tempat penampungan
air, menabur bubuk abate, menggantung pakaian, kebiasaan tidur, dan pemakaian
obat anti nyamuk/repellent yang berhubungan dengan kejadian DBD di Kecamatan
Medan Tembung.
b) Penyebab (Agent)
Agent penyakit DBD adalah virus dengue yang termasuk kelompok
Arboviroses, anggota dari genus Flavivirus, dan famili Flaviviridae. Virus ini
ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan juga nyamuk Aedes albopictus yang
merupakan vektor infeksi DBD. Dalam penelitian ini, yang diteliti dari faktor agent
adalah keberadaan jentik nyamuk yang mengindikasikan adanya vektor DBD di
Kecamatan Medan Tembung.
c) Lingkungan (Environment)
Lingkungan adalah kondisi atau faktor berpengaruh yang bukan bagian dari
agent maupun host, tetapi mampu menginteraksikan agent dan host. Dalam penelitian
ini, yang berperan sebagai faktor lingkungan meliputi tata rumah, tempat
penampungan air, bukan tempat penampungan air, tempat penempungan air alami,
kawat kasa pada ventilasi, dan tanaman hias/tumbuhan di sekitar rumah yang
berhubungan dengan kejadian DBD di Kecamatan Medan Tembung.
Berdasarkan konsep penyebab penyakit yang menyatakan bahwa penyakit
dipengaruhi oleh faktor host, agent, dan environment maka pendekatan yang cocok
untuk mengetahui penyebab penyakit DBD pada penelitian ini adalah model segitiga
2.6 Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori maka peneliti merumuskan kerangka konsep