• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Gambaran Penyesuaian Pernikahan Pada Wanita yang Menjalani Commuter Marriage

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Gambaran Penyesuaian Pernikahan Pada Wanita yang Menjalani Commuter Marriage"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia mengalami perkembangan seumur hidupnya. Perkembangan

ini akan dilalui melalui beberapa tahap. Setiap tahap tersebut sangat penting dan

kesuksesan di suatu tahap akan berpengaruh ke tahap selanjutnya. Mulai dari masa

bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga usia lanjut. Tahap yang paling panjang

dilalui oleh manusia adalah masa dewasa (Hurlock, 2006)

Masa dewasa umumnya dibagi tiga periode yaitu masa dewasa awal, dewasa

madya, dan dewasa akhir. Masa dewasa awal biasanya dimulai dari umur 20 hingga

40 tahun. Pada masa ini seseorang akan menghadapi kehidupan baru dan

harapan-harapan sosial baru yang tertuang dalam beberapa tugas perkembangan. Salah satu

tugas perkembangan dewasa awal adalah memilih pasangan hidup dan membentuk

keluarga (Havighurst, dalam Hurlock, 2006). Tugas perkembangan ini dapat dicapai

salah satunya melalui pernikahan.

Pernikahan adalah ikatan yang sah secara sosial dan seksual antara dua orang

dewasa (Weiten & Lloyd, 2006). Melalui proses pernikahan, maka seorang individu

membentuk sebuah lembaga sosial yang disebut keluarga. Dalam keluarga yang baru

(2)

istri. Suami berperan sebagai kepala keluarga, pencari nafkah utama, pendidik,

pelindung, pemberi rasa aman, serta sebagai anggota masyarakat di lingkungannya.

Sedangkan istri mempunyai peranan mengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik

anak, dan sebagai anggota masyarakat sosial di lingkungannya. Terkadang istri juga

berperan sebagai pencari nafkah tambahan bagi keluarganya.

Mencari nafkah biasanya dilakukan seseorang dengan bekerja. Namun terkadang karena alasan tertentu suami tidak bisa tinggal serumah dengan istri dan anak-anaknya. Keadaan pernikahan ini biasa disebut commuter marriage. Gerstel & Gross (dalam Scott, 2002) menyatakan commuter marriage sebagai perkawinan yang terbentuk secara

sukarela dimana pasangan mempertahankan dua tempat tinggal yang berbeda lokasi

geografisnya dan (pasangan tersebut) terpisah paling tidak tiga malam per minggu

selama minimal tiga bulan.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dan mendorong keputusan

melakukan commuter marriage, diantaranya kebutuhan atau krisis finansial, tuntutan profesi, dan melihat adanya kesempatan, misalnya untuk meningkatkan kualitas dan

standar hidup (Rotter, Barnett, & Fawcett, 1998 dalam Glotzer & Federlein, 2007).

Traveling salesman, pekerja migran, tentara yang sedang ditugaskan selalu terlibat dalam hubungan jarak jauh namun menurut Rappoport & Rappoport (1978)

pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak bisa dianggap menjalani commuter marriage. Studi dari University of California, Los Angeles di tahun 2009 menunjukkan bahwa

(3)

Dulunya saya sama suami tinggal serumah karena dia masih kerja di Medan. Dua tahun terakhir dia pindah tugas ke Siantar. Dia konsultan P2KP, kerjanya di bagian pengembangan desa gitu. Sebenarnya dia ngajak saya untuk tinggal disana. Tapi kalau saya ikut, nanti nggak ada yang ngurus ibu saya. Soalnya udah nggak ada siapa-siapa lagi di rumah. Cuma ada saya sama ibu. Waktu ngajak ibu ikut tinggal di Siantar, ibu nggak mau. Makanya saya tinggal berdua sama ibu sekarang. Suami saya tinggal di Siantar.

(Komunikasi personal, 1 Desember 2013)

Jumlah pasangan commuter sekarang ini semakin meningkat. Di tahun 2005, ada sekitar 3.5 juta pasangan di Amerika yang menjalin commuter marriage. Jumlah ini meningkat dua kali lipat sejak 1990 ketika U.S. Census Bureau memperkirakan ada 1.7 juta pasangan menikah yang tingal terpisah karena alasan tertentu dan bukan

karena perceraian. Di Indonesia, comuter marriage telah terjadi bertahun-tahun lalu, namun semakin pesat setelah tahun 2000, dimana semakin banyak kaum perempuan

yang memperoleh pendidikan tinggi, serta mendapat kesempatan meniti karir yang

tak terbatas (Dewi, 2013).

Ada kelebihan dan kekurangan pada commuter marriage. Salah satu kelebihan commuter marriage menyediakan pemenuhan dua kebutuhan utama: personal fulfillment dan emotional intimacy. Personal fulfillment benar-benar tinggi pada pasangan commuter marriage. Ketika pasangan pergi bekerja, konsentrasi bisa tercapai. Akhir pekan dapat dihabiskan untuk aktifitas-aktifitas dengan keluarga

(Farris, 1978). Bahkan, pasangan commuter dengan dual-karir lebih puas dengan pekerjaan mereka dibandingkan pasangan dual-karir yang tinggal serumah

(Ben-Zeey, 2013). Keintiman emosional ini juga terlihat dari rasa rindu yang mendalam

(4)

hubungan dan mengingatkan individu apa yang paling dia cintai dari pasangannya

(Tessina dalam Wright, 2013).

Kelebihan lain dalam commuter marriage adalah banyaknya kesempatan yang dapat digali oleh pasangan commuter marriage secara individual seperti mengembangkan reliance, determination, confidence, esteem, self-motivation, dan self-nurturing. (Tessina, dalam Wright, 2013).

Selain kelebihan-kelebihan yang telah dipaparkan sebelumnya, commuter marriage juga memiliki kekurangan. Kekurangan pada pernikahan ini adalah tingginya emosi yang meliputi kemarahan, kecemasan, kesepian, kelelahan, dan

kurangnya dukungan dibandingkan pernikahan biasa pada umumnya (Chang &

Browder-Wood, 1996). Kekurangan ini paling dirasakan oleh istri. Istri yang

ditinggal di rumah sendirian memiliki beban dan tangung jawab hampir sama dengan

orangtua tunggal dimana ia dihadapkan dengan urusan rumah tangga yang cukup

kompleks seorang diri. Kelelahan fisik yang dialaminya inilah yang dapat berakibat

terhadap kelelahan psikis sehingga berujung pada tingginya emosi seperti agresivitas

(Margiani & Ekayati, 2013).

Kehadiran anak dalam commuter marriage meningkatkan tanggung jawab dan

pembagian kerja menurut gender di rumah sehingga membutuhkan peran dengan waktu

yang intensif dari pasangan yang tinggal bersama anak. Umumnya bila anak masih balita,

masih menyusu maka istri yang tinggal bersama dengan anak. Peran istrilah yang paling

(5)

menyelesaikannya sendirian tanpa kehadiran suami. Masalah ini juga semakin parah jika

tidak ada keluarga besar yang siap membantu, maka istri akan repot mengasuh anak

balitanya sendirian (Dewi, 2013).

Perasaan saya galau, sedih, kesepian, nggak semangat kalau lagi pisah sama suami. Saya juga susah tidur, perasaan nggak tenang, capek juga karena urusan rumah jadi tanggung jawab saya sepenuhnya. Pekerjaan rumah memang biasanya kerjaan istri tapi kan kalau ada suami setidaknya bisa bantu-bantu walaupun sedikit. Apalagi masalah anak. Repot karena harus mengurus sendirian. Dia juga sering tanya soal papanya yang jarang ada di rumah. Untungnya suami saya bisa pulang tiap weekend. Selama dua hari itu bisa sedikit tenang lah.

(Komunikasi personal, 14 Desember 2013)

Belum lagi wanita karir yang menjalani commuter marriage, konflik untuk

menyeimbangkan di antara karir atau keluarga menjadi tantangan yang berat. Dirinya

harus mengurus seluruh tugas rumah tangga sendirian dan juga meyelesaikan

pekerjaannya di tempat kerja. Hal ini dapat menyebabkan peran yang berlebihan dan

konflik peran serta dapat mempengaruhi performansi di tempat kerja dan di rumah

(Roehling & Bultman, 2002).Oleh sebab itu kehidupan wanita menjadi lebih kompleks.

Selain beberapa kekurangan di atas, commuter marriage dianggap pernikahan yang tidak lengkap karena kurangnya kebersamaan fisik yang dimiliki pasangan. Dua

individu tidak bisa bersama secara fisik setiap hari seperti kebanyakan pasangan pada

umumnya (Ben-Zeey, 2013).

Iyakan ya, masa udah nikah nggak tinggal serumah. Salah satu tujuan orang nikah kan biar bisa barengan sama pasangan kita. Agak aneh sih, nikah tapi jumpanya cuman sekali-sekali gitu.

(6)

Tidak selalu bisa bersama dengan suaminya membuat wanita suka berpikiran

yang tidak rasional sehingga timbul rasa cemburu. Cemburu adalah sifat mendasar

dari wanita dan secara umum ditakdirkan memiliki karakter setia. Jika sudah

mencintai seorang pria maka seluruh cintanya dicurahkan pada pria tersebut.

Sehingga wanita memiliki kadar cemburu yang lebih tinggi daripada pria. Alasan

utama munculnya kecemburuan ini adalah takut kehilangan, terlebih bila suami tidak

serumah dengannya maka wanita akan dipenuhi pikiran yang irasional (Dewi, 2013).

Penelitian memang menunjukkan bahwa wanita lebih menginginkan

kedekatan dalam hubungan romantisnya dibandingkan pria (DeGenova, 2008). Selain

itu, wanita cenderung suka berpikir dan bercerita mengenai pasangannya (Acitelli,

2001 dalam DeGenova, 2008).

Duncan, Schuman, dan Duncan (dalam Scott, 2002) menyatakan bahwa

kebanyakan wanita merasa kebersamaan dengan suami merupakan aspek yang paling

berharga dalam pernikahan, bahkan lebih penting daripada cinta, pengertian, standar

hidup, dan kesempatan memiliki anak. Padahal dalam commuter marriage wanita tentu kurang mendapatkan kebersamaan dengan suaminya karena jarangnya waktu

yang dapat dihabiskan bersama.

Adanya keterbatasan ataupun kekurangan dalam commuter marriage tersebut membutuhkan prasyarat dan penyesuaian yang berkelanjutan pada pasangan untuk

dapat mencapai pernikahan yang sukses (Glotzer & Federlein, 2007). DeGenova

(2008) mengidentikkan penyesuaian pernikahan sebagai proses adaptasi, modifikasi,

(7)

kepuasan maksimum dalam suatu hubungan. Penyesuaian pernikahan juga diartikan

sebagai proses yang hasilnya ditentukan oleh kepuasan pasangan, konflik, kecemasan

dan ketegangan interpersonal, kelekatan, dan kesatuan pasangan dalam menghadapi

masalah dalam pernikahan (Gong, 2007 dalam Aminjafari, 2012). Adaptasi terhadap

perubahan yang tidak terelakkan dan menjaga stabilitas kesepakatan yang penting

merupakan tantangan yang dihadapi pasangan pernikahan (Sadarjoen, 2005).

Penyesuaian sangat penting dalam suatu pernikahan yang akan berdampak

pada keberhasilan berumah tangga. Penyesuaian pernikahan juga dimaksudkan untuk

mendapatkan kedamaian. Tanpa penyesuaian terhadap perubahan-perubahan dan

perbedaan-perbedaan yang ada akan sulit dicapai kebahagiaan dan sulit

mempertahankan kelangsungan lembaga perkawinan dalam jangka panjang.

Penyesuaian pernikahan merupakan pondasi untuk menjalankan fungsi-fungsi

pernikahan seperti pengasuhan anak dan mendidik generasi. (Hutapea, 2011)

Bila individu tidak mampu melakukan penyesuaian pernikahan maka dirinya

akan mendapatkan kesulitan dalam mengatasi permasalahan-permasalahan hidup

yang kompleks di kemudian hari Masalah-masalah dalam pernikahan ini jika terus

tidak dapat diatasi akan berujung pada perceraian (Anjani & Suryanto, 2006).

Kualitas kebersamaan yang buruk juga menjadi dampak jika tidak terjadi

penyesuaian pernikahan (DeGenova, 2008). Padahal kebersamaan memainkan peran

yang penting dalam pernikahan. Curran (1983 dalam Sadarjoen, 2005) menyatakan

kurangnya waktu yang dihabiskan bersama pasangan merupakan musuh utama dalam

(8)

dalam aktifitas tertentu berkorelasi secara konsisten dengan penyesuaian pernikahan

(White, 1983 dalam Sadarjoen, 2005). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Aminjafari (2012) menunjukkan adanya penyesuaian yang rendah pada pasangan

dual-earner yang jarang berinteraksi dan menghabisakan waktu bersama.

Commuter marriage sebagai pernikahan yang diidentikkan dengan kurangnya waktu yang dihabiskan bersama pasangan membuat peneliti tertarik untuk meneliti

mengenai gambaran penyesuaian pernikahan pada wanita yang menjalani commuter marriage.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan

penelitian sebagai berikut : “Bagaimana gambaran penyesuaian pernikahan pada

wanita yang menjalani Commuter Marriage?

C. Tujuan penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk memberikan gambaran atau deskripsi

mengenai penyesuaian pernikahan pada wanita yang menjalani commuter marriage

(9)

• Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bukti empriris untuk

penelitian di masa depan khususnya yang berhubungan dengan

penyesuaian diri dan commuter marriage Manfaat Praktis

• Hasil penelitian ini diharapkan menjadi gambaran bagi pasangan

commuter marriage untuk dapat melakukan penyesuaian pernikahan.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bab I Latar Belakang

Pada bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan

2. Bab II Tinjauan Pustaka

Pada bab ini berisi tinjauan pustaka yang digunakan sebagai landasan dalam

penelitian, antara lain teori mengenai penyesuaian pernikahan dan commuter marriage.

3. Bab III Metode Penelitian

Pada bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisi tentang

pendekatan kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan responden,

teknik pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data serta prosedur

(10)

4. Bab IV Analisa dan Pembahasan

Pada bab ini berisi deskripsi data responden, analisa dan pembahasan data

yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data

data penelitian sesuai dengan teori yang relevan

5. Bab V Kesimpulan, Saran, dan Diskusi

Pada bab ini berisi kesimpulan, diskusi dan saran mengenai penelitian secara

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh antara partisipasi penyusunan anggaran terhadap kinerja manajerial, dan menguji pengaruh apakah gaya kepemimpinan

Adapun maksud dan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu untuk menguji apakah Balanced Scorecard yang meliputi empat perspektif yaitu perspektif finansial,

Melihat latar belakang politik yang begitu rumit, yang turut mengiringi perjalanan Lekra sebagai sebuah lembaga, dimulai dari kedekatannya dengan PKI, para pendirinya yang

• Bagian pent ing OLED adalah lapisan elekt rode dan lapisan t ipis yang t erdiri dari molekul-molekul organik sebagai pemancar cahaya dimana keduanya disusun bert umpuk. •

Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk untuk menganalisis pengaruh kinerja keuangan dan corporate social responsibility (CSR) terhadap

Oleh karena itu diperlukan perencanaan dan perancangan sebuah fasilitas olahraga yang berupa Gedung Olahraga dan Wisma Atlet di kawasan sport center Kabupaten Merangin dengan

Mengetahui dan menganalisis kesenjangan antara persepsi manajemen tentang harapan konsumen dengan spesifikasi kualitas jasa yang telah ditetapkan oleh bengkel service mobil

[r]