BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Indeks Pembangunan Manusia 2.1.1.1Definisi Pembangunan Manusia
UNDP (United Nation Development Programme) mendefenisikan pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan
bagi penduduk. Dalam konsep tersebut penduduk ditempatkan sebagai tujuan
akhir (the ultimated end) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana (principal means) untuk mencapai tujuan itu. Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan manusia, empat hal pokok yang perlu diperhatikan adalah
produktivitas, pemerataan, kesinambungan, pemberdayaan (UNDP, 1995). Secara
ringkas empat hal pokok tersebut mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Produktivitas
Penduduk harus dimampukan untuk meningkatkan produktivitas dan
berpartisipasi penuh dalam proses penciptaan pendapatan dan nafkah.
Pembangunan ekonomi, dengan demikian merupakan himpunan bagian
dari model pembangunan manusia.
2. Pemerataan
Penduduk harus memiliki kesempatan atau peluang yang sama untuk
mendapatkan akses terhadap semua sumber daya ekonomi dan sosial.
Semua hambatan yang memperkecil kesempatan untuk memperoleh akses
kesempatan yang ada dan berpartisipasi dalam kegiatan produktif yang
dapat meningkatkan kualitas hidup.
3. Kesinambungan
Akses terhadap sumber daya ekonomi dan sosial harus dipastikan tidak
hanya untuk generasi-generasi yang akan datang. Semua sumber daya
fisik, manusia, dan lingkungan selalu diperbaharui.
4. Pemberdayaan
Penduduk harus berpartisipasi penuh dalam keputusan dan proses yang
akan menentukan (bentuk/arah) kehidupan mereka, serta untuk
berpartisipasi dan mengambil manfaat dari proses pembangunan.
Sebenarnya paradigma pembangunan manusia tidak berhenti sampai
disana. Pilihan-pilihan tambahan yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat
luas seperti kebebasan politik, ekonomi dan sosial, sampai kesempatan untuk
menjadi kreatif dan produktif, dan menikmati kehidupan yang sesuai dengan
harkat pribadi dan jasmani hak-hak azasi manusia merupakan bagian dari
paradigma tersebut. Dengan demikian, paradigma pembangunan manusia
memiliki dua sisi. Sisi pertama berupa informasi kapabilitas manusia seperti
perbaikan taraf kesehatan, pendidikan dan keterampilan. Sisi lainnya adalah
pemanfaatan kapabilitas mereka untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat produktif,
kultural, sosial dan politik. Jika kedua sisi itu tidak seimbang maka hasilnya
adalah frustasi masyarakat.
Konsep pembangunan manusia dalam pengertian di atas jauh lebih baik
dari pada teori-teori pembangunan ekonomi yang konvensional termasuk model
kesejahteraan dan pendekatan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Model
pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan peningkatan pendapatan dan produksi
nasional (GNP). Pembangunan manusia terutama sebagai input dari proses
produksi (sebagai suatu sarana bukan tujuan). Pendekatan kesejahteraan melihat
manusia sebagai agen perubahan dalam pembangunan. Pendekatan kebutuhan
dasar memfokuskan pada penyediaan barang dan jasa kebutuhan hidup.
Untuk dapat membuat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) maka UNDP
mensponsori sebuah proyek tahun 1989 yang dilaksanakan oleh tim ekonomi dan
pembangunan, tim tersebut menciptakan kemampuan dasar. Kemampuan dasar itu
adalah umur panjang, pengetahuan dan daya beli. Umur panjang yang
dikuantifikasikan dalam umur harapan hidup saat lahir atau sering disebut Angka
Harapan Hidup/AHH (e0). Pengetahuan dikuantifikasikan dalam kemampuan
baca tulis/angka melek huruf dan rata-rata lama bersekolah. Daya beli
dikuantifikasikan terhadap kemampuan mengakses sumberdaya yang dibutuhkan
untuk mencapai standar hidup yang layak.
Nilai IPM suatu negara atau wilayah menunjukkan seberapa jauh negara
atau wilayah itu telah mencapai sasaran yang ditentukan yaitu angka harapan
hidup 85 tahun, pendidikan dasar bagi semua lapisan masyarakat (tanpa
terkecuali), dan tingkat pengeluaran dan konsumsi yang telah mencapai standar
hidup yang layak. Semakin dekat nilai IPM suatu wilayah terhadap angka 100,
semakin dekat jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sasaran itu.
Karena hanya mencakup tiga komponen, maka IPM harus dilihat sebagai
penyederhanaan dari realitas yang kompleks dari luasnya dimensi pembangunan
analisis yang dapat mengungkapkan dimensi-dimensi pembangunan manusia yang
penting lainnya (yang tidak seluruhnya dapat diukur) seperti kebebasan politik,
kesinambungan lingkungan, kemerataan antar generasi.
Indeks Pembangunan Manusia merupakan alat ukur yang peka untuk dapat
memberikan gambaran perubahan yang terjadi, terutama pada komponen daya
beli yang dalam kasus Indonesia sudah sangat merosot akibat krisis ekonomi yang
terjadi sejak pertengahan tahun 1997. Krisis ekonomi dan moneter tersebut
berdampak pada tingkat pendapatan yang akibatnya banyak PHK dan kesempatan
kerja yang kemudian dipengaruhi tingkat inflasi yang tinggi selama tahun
1997-1998. Tingkat kesempatan kerja dalam konteks pembangunan manusia merupakan
terputusnya jembatan yang menghubungkan antara pertumbuhan ekonomi dengan
upaya peningkatan kapasitas dasar penduduk.
Dampak dari krisis ekonomi pada pembangunan manusia adalah dengan
menurunnya daya beli dan ini juga berarti terjadinya penundaan upaya
peningkatan kapasitas fisik dan kapasitas intelektual penduduk. Penurunan
beberapa komponen IPM sebagai akibat kepekaan IPM sebagai alat ukur yang
dapat menangkap perubahan nyata yang dialami penduduk dalam jangka pendek.
Pembangunan di bidang sosial yang sangat mengesankan adalah upaya
pengendalian jumlah penduduk melalui program keluarga berencana. Upaya ini
secara nyata telah berhasil menurunkan angka kelahiran hingga setengahnya yang
kemudian berpengaruh pada pengurangan laju pertambahan penduduk dalam
konteks Indonesia, sesungguhnya merupakan upaya yang mempercepat terjadinya
ditinjau dari berbagai indikator sosial berada pada tingkatan kualitas yang masih
rendah.
Berdasarkan kajian aspek status pembangunan manusia, tinggi rendahnya
status pembangunan manusia menurut UNDP dapat dibedakan menjadi 3 (tiga)
golongan, yaitu:
1. Tingkatan rendah, jika IPM < 50.
2. Tingkatan menengah, jika 50 < IPM < 80.
3. Tingkatan tinggi, jika IPM > 80.
Namun untuk perbandingan antar daerah di Indonesia, yaitu perbandingan
antar kabupaten/kota, maka kriteria kedua yaitu tingkatan menengah, dipecah
menjadi 2 (dua) golongan, sehingga gambaran status akan berubah menjadi
sebagai berikut:
1. Tingkatan rendah, jika IPM < 50
2. Tingkatan menengah-bawah, jika 50 < IPM < 66
3. Tingkatan menengah-atas, jika 66 < IPM < 80
4. Tingkatan atas, jika IPM > 80
Berdasarkan kajian aspek tingkat pertumbuhannya, IPM dapat digunakan
sebagai ukuran kemajuan pembangunan, melalui 2 (dua) cara, yaitu:
1. Perbandingan Antar Wilayah, yaitu suatu posisi relatif dari satu wilayah
terhadap wilayah yang lain berdasarkan peringkatnya dalam suatu
kawasan tertentu.
2. Pengukuran Tingkat Kemajuan, yaitu untuk mengkaji pencapaian tingkat
kemajuan pencapaian setelah berbagai program diimplementasikan dalam
per tahun (annual reduction shortfall). Semakin besar reduksi shortfall (r) di suatu wilayah menunjukkan semakin besar kemampuan yang dicapai
oleh wilayah tersebut dalam periode tertentu.
Kecepatan pencapaian dalam hal ini mengukur perbandingan antara
capaian yang telah ditempuh dengan capaian yang masih harus (seharusnya)
ditempuh untuk mencapai titik ideal IPM, yakni IPM = 100. Kecepatan
pencapaian = r, terbagi kedalam 4 (empat) tingkatan:
1. Kecepatan pencapaian sangat lambat, jika r < 1,30
2. Kecepatan pencapaian lambat, jika 1,30 < r < 1,50
3. Kecepatan pencapaian menengah, jika 1,50 < r < 1,70
4. Kecepatan pencapaian cepat, jika r > 1,70
2.1.1.2Metode Perhitungan
Adapun komponen IPM disusun dari tiga komponen yaitu lamanya hidup
diukur dengan harapan hidup pada saat lahir, tingkat pendidikan diukur dengan
kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk dewasa (dengan bobot dua
per tiga) dan rata-rata lama sekolah (dengan bobot sepertiga), dan tingkat
kehidupan yang layak yang diukur dengan pengeluaran perkapita yang telah
disesuaikan (PPP rupiah), indeks ini merupakan rata-rata sederhana dari ketiga
komponen tersebut diatas:
IPM = 1
3 (𝑋1 +𝑋2+𝑋3)
Dimana :
𝑋1 = Indeks Harapan Hidup
𝑋3 = Indeks Standar Hidup Layak
Sebelum menghitung IPM, setiap komponen dari setiap indeksnya harus
dihitung terlebih dahulu dengan formula perhitungan sebagai berikut:
𝐼𝑖 = (𝑋(𝑋𝑖 – 𝑋𝑖min) 𝑖𝑚𝑎𝑥– 𝑋𝑖min)
Dimana :
𝐼𝑖 = Indeks komponen IPM ke-i
𝑋𝑖 = Indikator ke-i
𝑋𝑖𝑚𝑖𝑛 = Nilai minimum dari 𝑋𝑖
𝑋𝑖𝑚𝑎𝑥 = Nilai maksimal dari 𝑋𝑖
Sumber: Panduan Kongres Nasional Pembangunan Manusia, 2006
2.1.1.3Komponen-Komponen IPM 1. Lamanya Hidup (Longevity)
Lamanya hidup adalah kehidupan untuk bertahan lebih lama diukur
dengan indikator harapan hidup pada saat lahir (life expectancy at birth) (e0), angka e0 yang disajikan merupakan ekstrapolasi dari angka e0 pada akhir tahun
yang merupakan penyesuaian dari angka kematian bayi (infant mortality rate). Dalam publikasi, angka IMR untuk tingkat provinsi dihitung berdasarkan data
yang diperoleh dalam sensus penduduk tahun 1990, 2000, 2010 serta data
gabungan dari SUPAS 2005 dan SUSENAS 2010.
Perhitungan dilakukan secara tidak langsung berdasarkan dua data dasar
yaitu rata-rata jumlah lahir hidup dan rata-rata anak yang masih hidup dari wanita
yang pernah kawin. Untuk mendapatkan Indeks Harapan Hidup dengan
menstandarkan angka harapan hidup terhadap nilai maksimum dan minimumnya,
seperti yang tercantum pada tabel 2.1 di bawah ini:
Tabel 2.1Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM Indikator
Komponen IPM (=X(I))
Nilai Minimum Nilai maksimum Catatan
Angka Harapan PDB per kapita riil
yang disesuaikan
a)
Sumber: BPS, Bappenas, UNDP, 2014
Keterangan: a) Perkiraan maksimum pada akhir Pembangunan Jangka Panjang (PJP) II tahun 2018.
2. Tingkat Pendidikan
Dalam perhitungan IPM, komponen tingkat pendidikan diukur dari dua
indikator, yaitu: angka melek huruf (Lit) dan rata-rata lama sekolah (MYS).
Angka melek huruf adalah persentase dari pendidik usia 15 tahun ke atas yang
bisa membaca dan menulis dalam huruf latin atau huruf lainnya. Rata-rata lama
sekolah, yaitu rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk usia 15
tahun ke atas di seluruh jenjang pendidikan formal yang pernah dijalani atau
sedang menjalani. Indikator ini dihitung dari variabel pendidikan yang tertinggi
yang ditamatkan dan tingkat pendidikan yang sedang ditamatkan dan tingkat
pendidikan yang sedang diduduki. Tabel 2.1 menyajikan faktor konversi dari tiap
jenjang pendidikan, rata-rata lama sekolah (MYS) dihitung berdasarkan formula
sebagai berikut:
MYS = tahun konversi + kelas tertinggi yang pernah diduduki – 1
3. Standar Hidup Layak
Standar hidup dalam perhitungan IPM, didekati dari pengeluaran riil per
kapita yang telah disesuaikan. Untuk menjamin keterbandingan antar daerah dan
antar waktu, dilakukan penyesuaian sebagai berikut:
a. Menghitung pengeluaran per kapita dari modul SUSENAS (= Y).
b. Menaikkan nilai Y sebesar 20% (= Y1), karena berbagai studi
diperkirakan bahwa data dari SUSENAS cenderung lebih rendah dari
20%.
terhadap harga kelompok barang yang sama di daerah yang ditetapkan
sebagai standar.
d. Menghitung nilai riil Y1 dengan mendeflasikan Y1 dengan indeks harga
konsumen (CPI) (= Y2).
e. Membagi Y2 dengan PPP untuk memperoleh Rupiah yang sudah
disetarakan antar daerah (= Y3).
f. Mengurangi nilai Y3 dengan menggunakan formula Atkinson untuk
mendapatkan estimasi daya beli (= Y4). Langkah ini ditempuh
berdasarkan prinsip penurunan manfaat marginal dari pendapatan.
Dimensi lain dari ukuran kualitas hidup manusia adalah standar hidup
layak. Dalam cakupan lebih luas, standar hidup layak menggambarkan tingkat
kesejahteraan yang dinikmati oleh penduduk sebagai dampak semakin
membaiknya ekonomi. UNDP mengukur standar hidup layak menggunakan
Produk Domestik Bruto (PDRB) riil yang disesuaikan. Sedangkan investasi dapat
meningkatkan pendapatan melalui peningkatan modal-modal produksi sehingga
akan meningkatkan daya beli masyarakat.
BPS dalam menghitung standar hidup layak menggunakan rata-rata
pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan dengan formula Atkinson. Rumus
Atkinson yang digunakan untuk penyesuaian rata-rata konsumsi riil secara
matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :
C (I) = C(i) jika C(i) < Z
= Z + 2(C(i) – Z) (1/2) jika Z < C(i) < 2Z
= Z + 2(Z) (1/2)+ 3(C(i) – 2Z) (1/3) jika 2Z < C(i) < 3Z
Dimana:
C (I) = Konsumsi per kapita riil yang telah disesuaikan dengan PPP/unit.
Z = Batas tingkat pengeluaran yang sudah ditetapkan sebagai
Rp 547.500 per kapita per tahun atau Rp 1.500 per kapita
per hari.
2.1.2 Produk Domestik Regional Bruto
Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product) menyatakan pendapatan total dan pengeluaran total nasional atas output barang dan jasa.
Tujuan GDB adalah meringkas aktivitas ekonomi dalam suatu nilai uang tertentu
selama periode waktu tertentu. Ada dua cara statistik untuk melihat GDP sebagai
pendapatan total dari setiap orang didalam perekonomian dan pengeluaran total
atas output barang dan jasa perekonomian. Setiap transaksi yang mempengaruhi
pengeluaran harus mempengaruhi pengeluaran, dan setiap transaksi yang
mempengaruhi pendapatan harus mempengaruhi pengeluaran. (Mankiw, 2007)
Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu
daerah dalam suatu periode tertentu adalah data Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB
pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah (value added) yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai
barang dan jasa akhir (neto) yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. (Widodo,
Perhitungan Produk Domestik Regional Bruto secara konseptual
menggunakan tiga macam pendekatan, yaitu: pendekatan produksi, pendekatan
pengeluaran dan pendekatan pendapatan (www.bps.co.id). Sebagai berikut:
1. Pendekatan Produksi
Produk Domestik Regional Bruto adalah jumlah nilai tambah atas barang
dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu
daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit
produksi dalam penyajian ini dikelompokkan dalam 9 lapangan usaha
(sektor), yaitu: (1) pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, (2)
pertambangan dan penggalian, (3) industri pengolahan, (4) listrik, gas dan
air bersih, (5) konstruksi, (6) perdagangan, hotel dan restoran, (7)
pengangkutan dan komunikasi, (8) keuangan, real estate dan jasa
perusahaan, (9) jasa-jasa (termasuk jasa pemerintah).
2. Pendekatan Pengeluaran
Produk Domestik Regional Bruto adalah semua komponen permintaan
akhir yang terdiri dari: (1) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan
lembaga swasta nirlaba, (2) konsumsi pemerintah, (3) pembentukan modal
tetap domestik bruto, (4) perubahan inventori dan (5) ekspor neto
(merupakan ekspor dikurangi impor).
3. Pendekatan Pendapatan
Produk Domestik Regional Bruto merupakan jumlah balas jasa yang
diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi
di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas
keuntungan; semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak
langsung lainnya. Dalam definisi ini, PDRB mencakup juga penyusutan
dan pajak tidak langsung neto (pajak tak langsung dikurangi subsidi).
Sementara itu, PDRB berdasarkan penggunaan dikelompokkan dalam 6
komponen, yaitu:
1. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga, mencakup semua pengeluaran
untuk konsumsi barang dan jasa dikurangi dengan penjualan neto barang
bekas dan sisa yang dilakukan rumah tangga selama setahun.
2. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah, mencakup pengeluaran untuk belanja
pegawai, penyusutan dan belanja barang pemerintah daerah, tidak
termasuk penerimaan dari produksi barang dan jasa yang dihasilkan.
3. Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto, mencakup pembuatan dan
pembelian barang-barang modal baru dari dalam daerah dan barang modal
bekas atau baru dari luar daerah. Metode yang dipakai adalah pendekatan
arus barang.
4. Perubahan Inventori. Perubahan stok dihitung dari PDRB hasil
penjumlahan nilai tambah bruto sektoral dikurangi komponen permintaan
akhir lainnya.
5. Ekspor Barang dan Jasa. Ekspor barang dinilai menurut harga free on board (fob).
2.1.3 Ekspor
Ekspor merupakan proses transportasi barang atau komoditas dari suatu
negara ke negara lain, memperhitungkan perdagangan dengan negara lain,
kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean. Ekspor
Menurut Soekartawi (1991) alasan yang mendesak mengapa suatu negara
perlu menggalakkan ekspor adalah untuk meningkatkan kekayaan negara yang
juga berarti meningkatkan pendapatan per kapita. Soekartawi lebih jauh
mengungkapkan bahwa sebagai bagian dari perdagangan internasional ekspor
dimungkinkan oleh berbagai kondisi, antara lain:
adalah penjualan
barang ke luar negeri dengan menggunakan sistem pembayaran, kualitas,
kuantitas dan syarat penjualan lainnya yang telah disetujui oleh pihak eksportir
dan importir.
1. Adanya kelebihan produksi dalam negeri sehingga kelebihan tersebut
dapat dijual ke luar negeri melalui kebijakan ekspor.
2. Adanya permintaan luar negeri untuk suatu produk meskipun untuk
kebutuhan di dalam negeri sendiri belum memadai.
3. Adanya keuntungan yang lebih besar dari penjualan keluar negeri
dibandingkan dengan penjualan di dalam negeri, karena harga pasar dunia
yang lebih menguntungkan.
4. Adanya barter antar produk tertentu dengan produk lain yang diperlukan
dan tidak dapat diproduksi di dalam negeri.
5. Adanya kebijakan ekspor yang bersifat politis.
Secara teoritis menurut Soelistyo dalam Soekartawi (1991) bahwa konsep
perdagangan antar daerah. Barang yang diperdagangkan antar negara tidaklah
didasarkan atas keuntungan alamiah saja tetapi juga atas dasar proporsi dan
intensitas faktor-faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan
barang-barang tersebut.
Negara-negara berkembang juga dapat mengandalkan kelancaran arus
pendapatan devisa dan kegiatan ekonomi yang berasal dari ekspor untuk
meningkatkan kekayaan atau pendapatan negara, yang berarti pula akan
meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat (the export let growth hypothesis). (Soekartawi, 1991)
2.1.4 Tenaga Kerja
Tenaga Kerja adalah semua orang yang bersedia untuk sanggup bekerja.
Pengertian tenaga kerja ini meliputi mereka yang bekerja untuk diri sendiri
ataupun anggota keluarga yang tidak menerima bayaran berupa upah atau mereka
yang sesungguhnya bersedia dan mampu untuk bekerja, dalam arti mereka
menganggur dengan terpaksa karena tidak ada kesempatan kerja. (Sumarsono,
2009)
Tenaga kerja (manpower) adalah seluruh penduduk dalam usia kerja (berusia 15 tahun atau lebih) yang potensial dapat memproduksi barang dan jasa.
Sebelum tahun 2000, Indonesia menggunakan patokan seluruh penduduk berusia
10 tahun ke atas (lihat hasil Sensus Penduduk 1980, 1990, 2000). Namun sejak
Sensus Penduduk 2000 dan sesuai dengan ketentuan internasional, tenaga kerja
adalah penduduk yang berusia 15 tahun atau lebih.
Tenaga kerja mencakup penduduk yang sudah/sedang bekerja, sedang
mencari pekerjaan dan melakukan pekerjaan lain seperti bersekolah dan mengurus
rumah tangga. Di Indonesia yang dimaksud tenaga kerja yaitu penduduk yang
berumur 15 tahun atau lebih, Indonesia tidak mengenal batasan umur maksimum
alasannya Indonesia masih belum memiliki jaminan kesehatan nasional. Sebagian
kecil penduduk Indonesia yang menerima tunjangan dihari tua, yaitu pegawai
negeri dan sebagian kecil pegawai perusahaan swasta.
Menurut UU No. 13 tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa
tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat. Secara garis besar penduduk suatu negara dibedakan
menjadi dua kelompok, yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Penduduk
tergolong tenaga kerja jika penduduk tersebut telah memasuki usia kerja.
Kualitas input tenaga kerja, atau sumber daya manusia merupakan faktor
terpenting bagi keberhasilan ekonomi. Hampir semua faktor produksi yang
lainnya, yakni barang modal, bahan mentah serta teknologi, bisa dibeli atau
dipinjam dari negara lain. Tetapi penerapan teknik-teknik produktivitas tinggi atas
kondisi-kondisi lokal hampir selalu menuntut tersedianya manajemen,
ketrampilan produksi, dan keahlian yang hanya bisa diperoleh melalui angkatan
kerja terampil yang terdidik. Ini terlihat jelas bahwa dengan meningkatnya
kualitas tenaga kerja maka akan meningkatkan pula pertumbuhan ekonomi yang
ditandai dengan meningkatnya PDRB disuatu wilayah. (Samuelson dan Nordhaus,
2.1.5 Investasi
Investasi merupakan konsep aliran (flow concept), karena besarnya dihitung selama satu interval periode tertentu. Tetapi investasi akan
mempengaruhi jumlah barang modal yang tersedia (capital stock) pada satu periode tertentu. Tambahan stok barang modal adalah sebesar pengeluaran
investasi satu periode sebelumnya. (Rahardja, 2008)
Investasi (investment) terdiri dari barang-barang yang dibeli untuk penggunaan masa depan. Baik perusahaan maupun rumah tangga membeli
barang-barang investasi. Perusahaan membeli barang-barang investasi untuk
menambah persediaan modalnya dan mengganti modal yang ada setelah habis
dipakai. Rumah tangga membeli rumah baru, yang juga menjadi bagian dari
investasi. Jadi menurut para ekonom investasi adalah menciptakan modal baru
(Mankiw, 2007).
Jumlah barang-barang modal yang diminta bergantung pada tingkat bunga
yang mengukur biaya dari dana yang digunakan untuk membiayai investasi.
Investasi merupakan unsur GDP yang paling sering berubah. Ketika pengeluaran
atas barang dan jasa turun selama resesi, sebagian besar dari penurunan itu
berkaitan dengan anjloknya pengeluaran investasi. Ada tiga bentuk pengeluaran
investasi yakni investasi tetap bisnis, investasi residensial dan investasi
persediaan. Sumber dana untuk investasi bisa berasal dari aset-aset yang dimiliki
saat ini, pinjaman dari pihak lain, ataupun dari tabungan.
Secara lebih khusus lagi, ada beberapa alasan mengapa seorang melakukan
investasi, antara lain adalah:
Seseorang yang bijaksana akan berpikir bagaimana meningkatkan taraf
hidupnya dari waktu ke waktu atau setidaknya berusaha bagaimana
mempertahankan tingkat pendapatannya yang ada sekarang agar tidak
berkurang di masa yang akan datang.
2. Mengurangi tekanan inflasi.
Dengan melakukan investasi dalam pemilikan perusahaan atau obyek lain,
seseorang dapat menghindarkan diri dari resiko penurunan nilai kekayaan
atau hak miliknya akibat adanya pengaruh inflasi.
3. Dorongan untuk menghemat pajak
Beberapa negara di dunia banyak melakukan pemberian fasilitas perpajak
kepada masyarakat yang melakukan investasi pada bidang-bidang usaha
tertentu.
2.1.6 Inflasi
Inflasi adalah kenaikan harga-harga secara umum dan terus-menerus.
Inflasi sering dihitung dengan menggunakan indeks harga konsumen (consumer price index, CPI), indeks harga produsen (producer price index, PPI) atau deflator PDRB (Widodo, 2006). Inflasi merupakan indikator untuk melihat tingkat
perubahan dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara
terus-menerus dan saling pengaruh-mempengaruhi.
Pada perekonomian modern inflasi sangat bersifat inersial artinya bahwa
gejala inflasi memang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari gejala
ekonomi tersebut sehingga disebut inflasi inersial. Gejala inflasi inersial bersifat
mengalami perubahan manakala timbul guncangan (shock) pada sisi permintaan agregat atau perubahan harga minyak dunia, pergeseran nilai tukar, kegagalan
panen, dan sebagainya (Yuliadi, 2008). Sama halnya ketika tingkat PDRB
meningkat maka akan meningkatkan jumlah uang yang beredar sehingga akan
meningkatkan angka inflasi.
Ada dua faktor yang menjadi masalah utama yang dapat menyebabkan
inflasi dalam negara berkembang berdasarkan teori strukturalis, yaitu:
1. Ketidakelastisan penerimaan ekspor, yaitu ekspor berkembang secara
lamban dibanding sektor lain dalam perekonomian. Hal ini disebabkan
naiknya harga barang-barang komoditi negara-negara berkembang (hasil
alam), dalam jangka panjang perkembangannya sangat lamban dibanding
harga barang industri.
2. Ketidakelastisan dari supply atau produksi bahan makanan dalam negeri,
berakibat pertumbuhan produksi bahan makanan tidak secepat
pertumbuhan penduduk dan pendapatan, sehingga harga bahan makanan
cenderung untuk meningkat melebihi kenaikan harga barang-barang lain.
Menurut Samuelson dan Nordhaus (2004), efek-efek buruk dari inflasi
yaitu sebagai berikut:
1. Inflasi dan perkembangan ekonomi. Inflasi yang tinggi tingkatnya akan
menggalakkan perkembangan ekonomi. Biaya yang terus menerus naik
menyebabkan kegiatan produktif sangat tidak menguntungkan. Maka
pemilik modal biasanya lebih suka menggunakan uangnya untuk tujuan
ekonomi akan menurun. Sebagai akibatnya lebih banyak pengangguran
akan terwujud.
2. Inflasi dan kemakmuran rakyat. Disamping menimbulkan efek buruk ke
atas kegiatan ekonomi negara, inflasi juga akan menimbulkan efek-efek
terhadap individu dan masyarakat.
3. Inflasi akan menurunkan pendapatan riil orang-orang yang berpendapatan
tetap. Pada umumnya kenaikan upah tidaklah secepat kenaikan
harga-harga. Maka inflasi akan menurunkan upah riil individu-individu yang
berpendapatan tetap. Sehingga daya beli masyarakat juga akan menurun.
4. Inflasi akan mengurangi nilai kekayaan yang berbentuk uang. Sebagian
kekayaan masyarakat disimpan dalam bentuk uang. Simpanan di bank,
simpanan tunai, dan simpanan dalam institusi-institusi keuangan lain
merupakan simpanan keuangan, nilai riilnya akan menurun apabila inflasi
berlaku. Maka mereka akan mengenakan tingkat bunga yang tinggi atas
pinjaman yang diberikan sebagai langkah proteksi dalam menghadapi
penurunan pendapatan riil dan kekayaan.
5. Memperburuk pembagian kekayaan. Telah ditunjukkan bahwa penerima
pendapatan tetap akan menghadapi kemorosotan dalam nilai riil
pendapatannya, dan pemilik kekayaan bersifat keuangan mengalami
penurunan dalam nilai riil kekayaannya. Sebagian penjual/pedagang dapat
mempertahankan nilai riil pendapatannya. Dengan demikian inflasi
menyebabkan pembagian pendapatan diantara golongan berpendapat tetap
dengan pemilik-pemilik harga tetap dan penjual/pedagang akan menjadi
2.1.7 Suku Bunga
Suku bunga merupakan persentase dari pokok utang yang dibayarkan
sebagai imbal jasa (bunga) dalam satu periode tertentu. Menurut Karl dan Fair
(2001), suku bunga adalah pembayaran bunga tahunan dari suatu pinjaman dalam
bentuk persentase, dari pinjaman yang diperoleh dari jumlah bunga yang diterima
tiap tahun dibagi dengan jumlah pinjaman.
Bunga adalah pembayaran yang dilakukan untuk penggunaan uang. Suku
bunga adalah jumlah bunga yang dibayarkan per unit waktu yang disebut sebagai
persentase dari jumlah yang dipinjamkan. Dengan kata lain, orang harus
membayar kesempatan untuk meminjam uang. Biaya peminjaman uang, diukur
dalam dolar per tahun, per dolar yang dipinjam adalah suku bunga. (Samuelson
dan Nordhaus, 2004)
Pembayaran ke atas modal yang dipinjam dari pihak lain, yang dinyatakan
dalam persentase dari modal dinamakan suku bunga (Sukirno, 2005). Pada
umumnya persentase yang dinyatakan menunjukkan suku bunga dari sejumlah
modal di dalam satu tahun. Dengan demikian jika dinyatakan suku bunga adalah
15 persen, maka artinya modal yang dipinjamkan memperoleh suku bunga
sebanyak 15 persen setahun.
2.1.8 Kurs
Kurs (exchange rate) antara dua negara adalah tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan. Kurs
Pertukaran suatu mata uang dengan mata uang lainnya disebut transaksi
valas, foreign exchange transaction (Kuncoro, 1996). Harga suatu mata uang terhadap mata uang lainnya disebut kurs atau nilai tukar mata uang (exchange rate). (Salvatore, 1997)
Mankiw (2007) menambahkan, kurs nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Kurs riil (real exchange rate) adalah harga relatif dari barang-barang di antara dua negara.
Dalam sistem kurs bebas nilai kurs yang mengalami depresiasi atau
apresiasi akan mendorong terjadinya arus perubahan ekspor dan impor barang dan
jasa dari suatu negara ke negara lainnya sehingga akan tercapai keseimbangan
nilai kurs dimana nilai ekspor sama dengan nilai impornya. (Yuliadi, 2008)
Perubahan nilai tukar dianggap penting, karena dapat berdampak pada
harga komoditas ekspor dan impor, upah tenaga kerja relatif, suku bunga, jumlah
pengangguran, dan tingkat produksi (Saeed et al, 2012), sehingga perlu adanya
upaya menstabilkan nilai tukar di suatu negara. Secara umum menunjukkan
bahwa determinasi nilai tukar ditentukan oleh variabel-variabel makroekonomi,
seperti supply uang diferensial, suku bunga diferensial, PDB riil diferensial, dan inflasi diferensial.
Oleh karena penentuan nilai tukar mata uang dalam sistem mengambang
bebas ditentukan oleh mekanisme pasar, maka hal tersebut akan sangat
bergantung pada kekuatan faktor-faktor ekonomi yang diduga dapat
mempengaruhi kondisi permintaan dan penawaran valuta asing di pasar valuta
asing (Madura, 2000). Faktor-faktor tersebut, antara lain adalah:
2. Perbedaan tingkat suku bunga antara kedua negara.
3. Perbedaan tingkat pendapatan nasional (Gross Domestik Product, GDP) antara kedua negara.
2.2 Landasan Penelitian Terdahulu
Pratowo (2009) meneliti tentang seberapa besar variabel Belanja Daerah,
Gini Rasio, Pengeluaran Non Makanan, dan Rasio Ketergantungan berpengaruh
terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Propinsi Jawa Tengah. Penelitian ini
menganalisis dengan data sekunder maka di dapat hasil penelitian tersebut bahwa
Belanja Daerah dan Pengeluaran non Makanan secara signifikan berpengaruh
positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia, sedangkan Gini Rasio dan Rasio
Ketergantungan secara signifikan berpengaruh negatif terhadap Indeks
Pembangunan Manusia.
Setiawan dan Hakim (2013) meneliti tentang Indeks Pembangunan
Manusia Indonesia dengan variabel yang digunakan Produk Domestik Bruto
(PDB), Pajak Pendapatan (PPN), Dummy Desentralisasi (DD), dan Dummy Krisis Ekonomi (DK). Data yang digunakan adalah data sekunder. Hasil penelitian tersebut adalah Produk Domestik Bruto (PDB) secara signifikan berpengaruh
positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia sedangkan Pajak Pendapatan
(PPN) secara signifikan berpengaruh negatif terhadap Indeks Pembangunan
Manusia.
Saddewisasi dan Ariefiantoro (2011) meneliti tentang Analisis
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Di Kota
selama tiga tahun terakhir (2006-2008) pengaruh variabel Kesehatan, Pendidikan,
Standar Hidup Layak dan Ketenagakerjaan terhadap Indeks Pembangunan
Manusia Kota Semarang secara umum belum mengalami perubahan yang berarti.
Mirza (2012) meneliti tentang Pengaruh Kemiskinan, Pertumbuhan
Ekonomi, dan Belanja Modal Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Di Jawa
Tengah Tahun 2006-2009. Data yang digunakan adalah data sekunder, hasil
penelitiannya adalah bahwa Pertumbuhan Ekonomi dan Belanja Modal secara
signifikan berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia, sedangkan
Kemiskinan secara signifikan berpengaruh negatif terhadap Indeks Pembangunan
Manusia.
Badrudin (2011) meneliti tentang Pengaruh Pendapatan dan Belanja
Daerah Terhadap Pembangunan Manusia Di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Dari hasil penelitian tersebut didapat kesimpulan bahwa variabel
Pengeluaran Pemerintah pada sektor pendidikan, kesehatan dan infrastuktur tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap pembangunan manusia di Provinsi DI
Yogyakarta. Keberhasilan pembangunan manusia lebih banyak ditentukan oleh
sense of education masyarakat yang dilakukan secara mandiri dan sangat dipengaruhi oleh kondisi dan kekuatan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat itu
sendiri.
Kusumawardhani, et al (2012) meneliti tentang Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi PDB Indonesia Dengan Persamaan Simultan 2SLS. Penelitian ini
menggunakan data PDB tahunan statistik Indonesia dari tahun 1991 sampai
bahwa PDB yang diduga pajak dan kurs berpengaruh signifikan terhadap investasi
di Indonesia.
Yasinta A, et al (2008) meneliti tentang Pemodelan PDRB Jawa Timur
Dengan Pendekatan Sistem Persamaan Simultan. Data yang digunakan adalah
data sekunder yang meliputi data PDRB atas dasar harga konstan 2000, data upah
sektor pertanian, data pengeluaran untuk belanja pegawai; belanja barang dan
jasa; belanja modal, serta data jumlah tenaga kerja per sektor (1992-2007). Hasil
dari penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang paling berpengaruh dalam
persamaan adalah sektor tenaga kerja, dimana variabel tenaga kerja memiliki nilai
elastisitas yang lebih besar dari pada variabel-variabel yang lainnya.
Tabel 2.2 Theorical Maping
N
(2009)/ Analisis
Faktor-Faktor
Yang Berpengaruh
Terhadap IPM
Sumber: Jurnal
Bagaimakah
Pengaruh Belanja
Daerah, Gini
Rasio, Proporsi
Pengeluaran Non
Manusia di Provinsi
Jawa Tengah?
a.Belanja Daerah
diduga berpengaruh
positif terhadap IPM.
b.Gini Rasio diduga
berpengaruh negatif
terhadap IPM.
c.Proporsi
Pengeluaran Non
Makanan diduga
negatif terhadap IPM.
log(IPMit)
Belanja Daerah dan
Pengeluaran Non
Makanan secara
signifikan berpengaruh
positif terhadap Indeks
Pembangunan Manusia,
sedangkan Gini Rasio
dan Rasio
Ketergantungan
secara signifikan
berpengaruh negatif
terhadap Indeks
Pembangunan
N
Setiawan & Abdul
Hakim (2013)/
Domestik Bruto
(PDB) Pajak
IPM di Indonesia?
Produk Domestik
Bruto (PDB) dan
Pajak Pendapatan
(PPN) berpengaruh
Produk Domestik
Bruto (PDB) secara
signifikan berpengaruh
positif terhadap IPM
sedangkan Pajak
Pertambahan (PPN)
secara signifikan
berpengaruh negatif
terhadap IPM.
3 Wyati Saddewisasi
& Teguh
Hidup Layak dan
Ketenagakerjaan
Selama tiga tahun
terakhir (2006-2008)
pengaruh variabel
Kesehatan, Pendidikan,
Standar Hidup Layak
dan Ketenagakerjaan
terhadap IPM Kota
Semarang secara umum
belum mengalami
perubahan yang berarti.
4 Denni Sulistio
Di Jawa Tengah
Tahun 2006-2009
terhadap IPM di
Jawa Tengah?
Kemiskinan,
Pertumbuhan
Ekonomi dan
Belanja Modal
berpengaruh secara
signifikan terhadap
IPM.
Pertumbuhan Ekonomi
dan Belanja Modal
secara signifikan
berpengaruh positif
terhadap IPM
sedangkan kemiskinan
secara signifikan
berpengaruh negatif
N
Daerah Terhadap
Pembangunan
berpengaruh secara
signifikan terhadap
Pemerintah pada sektor
Pendidikan, Kesehatan
dan Infrastruktur tidak
berpengaruh secara
signifikan terhadap
pembangunan manusia
di Provinsi DI
Yogyakarta.
Keberhasilan
pembangunan manusia
lebih banyak ditentukan
oleh sense of education
masyarakat yang
dilakukan secara
mandiri dan sangat
dipengaruhi oleh
kondisi dan kekuatan
ekonomi, sosial dan
budaya masyarakat itu
sendiri.
Persamaan Simultan
2SLS
Sumber: Jurnal
Bagaimanakah
Pengaruh Pajak,
PDB dan Kurs
Terhadap Investasi?
Investasi dipengaruhi
oleh PDB, Pajak dan
Kurs.
N
PDRB di Jawa Timur
berpengaruh secara
Faktor yang paling
berpengaruh dalam
persamaan adalah
sektor tenaga kerja
dimana variabel tenaga
kerja nilai elastisitas
yang lebih besar dari
pada variabel-variabel
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu, yaitu:
1. Variabel penelitian
Pada penelitian ini penulis menggunakan variabel-variabel penelitian
seperti ekspor, inflasi serta suku bunga yang tidak ada satupun penelitian
terdahulu yang menggunakan variabel-variabel tersebut.
2. Waktu Penelitian
Pada penelitian ini penulis menggunakan periode penelitian dari tahun
1994 sampai dengan 2013 dimana tidak ada satupun penelitian terdahulu
yang menggunakan periode penelitian ini.
2.3 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan skema/kerangka sederhana untuk
memberikan gambaran mengenai penelitian yang akan dilakukan secara
keseluruhan agar dapat diketahui secara jelas dan terarah. Kerangka konseptual
pada persamaan simultan ini menggambarkan pengaruh antara variabel-variabel
eksogen terhadap variabel-variabel endogen. Secara sistematis dapat dilihat pada
gambar berikut:
Suku Bunga Ekspor
Tenaga Kerja
Indeks Pembangunan
Manusia Inflasi
PDRB
Kurs
Keterangan:
1. Variabel Eksogen : Tenaga Kerja
Ekspor
Suku Bunga
2. Variabel Endogen : PDRB
Kurs
Inflasi
Investasi
Indeks Pembangunan Manusia
2.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian yang dapat diambil dari penelitian diatas adalah
sebagai berikut:
1. Tenaga kerja berpengaruh terhadap PDRB di Provinsi Riau.
2. PDRB, ekspor dan suku bunga berpengaruh secara simultan terhadap
inflasi di Provinsi Riau.
3. PDRB dan suku bunga berpengaruh secara simultan terhadap kurs di
Provinsi Riau.
4. Suku bunga, inflasi dan kurs berpengaruh secara simultan terhadap
investasi di Provinsi Riau.
5. PDRB dan investasi berpengaruh secara simultan terhadap Indeks