• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Spiritualitas 1.1 Defenisi Spiritualitas - Tingkat Spiritualitas dan Kecemasan Ibu Primigravida di RSUD Dr. Pirngadi Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Spiritualitas 1.1 Defenisi Spiritualitas - Tingkat Spiritualitas dan Kecemasan Ibu Primigravida di RSUD Dr. Pirngadi Medan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 1. Spiritualitas

1.1Defenisi Spiritualitas

Spiritualitas didefinisikan sebagai kesadaran dalam diri seseorang dan rasa

keterhubungannya dengan sesuatu yang lebih tinggi, alami, dan tujuan yag lebih

besar dari diri sendiri. Spiritualitas menawarkan pengertian keterhubungan secara

intrapersonal (keterhubungan dengan diri sendiri), interpersonal (keterhubungan

dengan orang lain), dan transpersonal (yang tidak terlihat, Tuhan atau kekuatan

yang lebih tinggi) (Milner-Williams, dalam Potter Perry, 2010).

Menurut Mickley, et al (dalam Hamid, 2009) menyatakan bahwa

spiritualitas diartikan multidimensi yang terdiri dari dimensi eksistensial dan

dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan,

sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan

Tuhan. Sementara itu Stoll (1989 dalam Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995)

menyatakan bahwa spiritualitas merupakan suatu konsep dua dimensi yaitu

dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal merupakan hubungan

individu dengan Tuhan Yang Maha Esa yang menuntun kehidupan seseorang,

sedangkan dimensi horizontal merupakan hubungan seseorang dengan diri sendiri,

orang lain, dan lingkungan.

1.2Aspek Spiritualitas

Kebutuhan spiritual adalah harmonisasi dimensi kehidupan. Kebutuhan

(2)

dan Tuhan. Ada 5 dasar kebutuhan spiritual manusia yaitu: arti dan tujuan hidup,

perasaan misteri, pengabdian, rasa percaya dan harapan di waktu kesusahan

(Hawari, 2002). Menurut Burkhardt (dalam Hamid, 2009) spiritualitas meliputi

aspek sebagai berikut:

1) Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian

dalam kehidupan.

2) Menemukan arti dan tujuan hidup.

3) Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan

dalam diri sendiri.

4) Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang

Maha Tinggi.

Menurut Schreurs (dalam Potter Perry, 2010) spiritualitas terdiri dari tiga

aspek yaitu aspek eksistensial, aspek kognitif, dan aspek relasional. Pada aspek

eksistensial, seseorang belajar untuk “mematikan” bagian dari dirinya yang

bersifat egosentrik dan defensif. Aktivitas yang dilakukan seseorang pada aspek

ini dicirikan oleh proses pencarian jati diri (true self). Pada aspek kognitif

aktivitas spiritual seseorang merupakan kegiatan pencarian pengetahuan spiritual.

Seseorang mencoba untuk menjadi lebih reseptif terhadap realitas transenden.

Biasanya dilakukan dengan cara menelaah literatur atau melakukan refleksi atas

suatu bacaan spiritual tertentu, melatih kemampuan untuk konsentrasi, juga

dengan melepas pola pemikiran kategorikal yang telah terbentuk sebelumnya agar

dapat mempersepsi secara lebih jernih pengalaman yang terjadi serta melakukan

(3)

dimana seseorang merasa bersatu dengan Tuhan. Pada aspek ini seseorang

membangun, mempertahankan, dan memperdalam hubungan personalnya dengan

Tuhan.

1.3Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas

Menurut Taylor (1997) dan Craven & Hirnle (1996) dalam Hamid (2009),

faktor penting yang dapat mempengaruhi spiritual seseorang adalah:

a. Tahap perkembangan

Spiritual berhubungan dengan kekuasaan non material, seseorang harus

memiliki beberapa kemampuan berfikir abstrak sebelum mulai mengerti spiritual

dan menggali suatu hubungan dengan yang Maha Kuasa. Hal ini bukan berarti

bahwa keSpiritual tidak memiliki makna bagi seseorang.

b. Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan terdekat dan pengalaman pertama anak

dalam mempersepsikan kehidupan di dunia. Pandangan anak pada umunya

diwarnai oleh pengalaman mereka dalam berhubungan dengan saudaranya dan

orang tua. Oleh karena itu peran orang tua sangat penting untuk perkembangan

spiritualitas anak.

c. Latar belakang etnik dan budaya

Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial

budaya. Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual

keluarga. Anak belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama, termasuk nilai

moral dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk kegiatan

(4)

d. Pengalaman hidup sebelumnya

Pengalaman hidup baik yang positif maupun negatif dapat mempengaruhi

Spiritual sesorang dan sebaliknya juga dipengaruhi oleh bagaimana seseorang

mengartikan secara spiritual pengalaman tersebut. Peristiwa dalam kehidupan

seseorang dianggap sebagai suatu cobaan yang diberikan Tuhan kepada manusia

menguji imannya.

e. Krisis dan perubahan

Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalam spiritual seseorang.

Krisis sering dialami ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan, proses

penuaan, kehilangan dan bahkan kematian, khususnya pada pasien dengan

penyakit terminal atau dengan prognosis yang buruk. Perubahan dalam kehidupan

dan krisis yang dihadapi tersebut merupakan pengalaman spiritual yang bersifat

fisikal dan emosional.

f. Asuhan Keperawatan yang Kurang Sesuai

Ketika memberikan asuhan keperawatan kepada klien, perawat diharapkan

untuk peka terhadap kebutuhan spiritualitas klien, tetapi dengan berbagai alasan

ada kemungkinan perawat menghindar untuk memberikan asuhan keperawatan

spiritualitas. Hal tersebut terjadi karena perawat merasa kurang nyaman dengan

kehidupan spiritualnya, kurang menganggap penting kebutuhan spiritualitas, tidak

mendapatkan pendidikan tentang aspek spiritualitas dalam keperawatan atau

merasa bahwa pemenuhan kebutuhan spiritualitas klien bukan merupakan

(5)

Asuhan keperawatan untuk kebutuhan spiritualitas mengalir dari sumber

spiritualitas perawat. Perawat tidak dapat memenuhi kebutuhan spiritualitas tanpa

terlebih dahulu memenuhi kebutuhan spiritualitas mereka sendiri. Perawat yang

bekerja digaris terdepan harus mampu memenuhi semua kebutuhan manusia

termasuk juga kebutuhan spiritualitas klien. Berbagai cara perawat untuk

memenuhi kebutuhan klien mulai dari pemenuhan makna dan tujuan spiritualitas

sampai dengan menfasilitasi untuk mengekspresikan agama dan keyakinannya.

g. Isu Moral Terkait Terapi

Prosedur medik sering kali dapat dipengaruhi oleh pengajaran agama,

misalnya transplantasi organ, pencegahan kehamilan, dan sterilisasi. Tidak jarang

terapi medis yang diberikan tidak sesuai atau tidak dapat diterima oleh sebagian

kepercayaan klien sehinggan timbul konflik.

h. Terpisah dari ikatan spiritual

Ketika individu mengalami penyakit akut sering kali individu merasa

terisolasi dan kehilangan kebebasan peribadi dan sistem dukungan sosial. Sebagai

contoh pasien yang sedang dirawat di rumah sakit terhalang untuk menghadiri

kegiatan keagamaan atau tidak dapat berkumpul dengan keluarga dan teman

dekat. Terpisahnya klien dari ikatan spiritual dapat beresiko terjadinya perubahan

fungsi spiritualnya.

1.4Karakteristik Spiritualitas

Spiritualitas memiliki beberapa karakteristik, adapun karakteristik

(6)

a. Hubungan dengan diri sendiri

Merupakan kekuatan dari dalam diri seseorang yang meliputi pengetahuan

diri yaitu siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya dan juga sikap yang

menyangkut kepercayaan pada diri sendiri, percaya pada kehidupan atau masa

depan, ketenangan pikiran, serta keselarasan dengan diri-sendiri. Kekuatan yang

timbul dari diri seseorang membantunya menyadari makna dan tujuan hidupnya,

diantaranya memandang pengalaman hidupnya sebagai pengalaman yang positif,

kepuasan hidup, optimis terhadap masa depan, dan tujuan hidup yang semakin

jelas (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995).

Kepercayaan (Faith). Menurut Fowler dan keen (1985 dalam Astria, 2009) kepercayaan bersifat universal, dimana merupakan penerimaan individu

terhadap kebenaran yang tidak dapat dibuktikan dengan pikran yang logis.

Kepercayaan dapat memberikan arti hidup dan kekuatan bagi individu ketika

mengalami kesulitan atau stress. Mempunyai kepercayaan berarti mempunyai

komitmen terhadap sesuatu atau seseorang sehingga dapat memahami kehidupan

manusia dengan wawasan yang lebih luas.

Harapan (Hope). Harapan merupakan suatu proses interpersonal yang terbina melalui hubungan saling percaya dengan orang lain, termasuk dengan

Tuhan. Harapan sangat penting bagi individu untuk mempertahankan hidup, tanpa

harapan banyak orang menjadi depresi dan lebih cenderung terkena penyakit

(7)

Makna atau arti dalam hidup (Meaning of live).

Merasakan hidup sebagai suatu pengalaman yang positif seperti

membicarakan tentang situasi yang nyata, membuat hidup lebih terarah, penuh

harapan tentang masa depan, merasa mencintai dan dicintai oleh orang lain

(Puchalski, 2004).

b. Hubungan dengan orang lain

Hubungan dengan orang lain lahir dari kebutuhan akan keadilan dan

kebaikan, menghargai kelemahan dan kepekaan orang lain, rasa takut akan

kesepian, keinginan dihargai dan diperhatikan, dan lain sebagainya. Dengan

demikian apabila seseorang mengalami kekurangan ataupun mengalami stres,

maka orang lain dapat memberi bantuan psikologis dan sosial (Carm & Carm,

2000).

Hubungan ini terbagi atas harmonis dan tidak harmonisnya hubungan

dengan orang lain. Keadaan harmonis meliputi pembagian waktu, ramah dan

bersosialisasi, mengasuh anak, mengasuh orang tua dan orang yang sakit, serta

meyakini kehidupan dan kematian. Sedangkan kondisi yang tidak harmonis

mencakup konflik dengan orang lain dan resolusi yang menimbulkan

ketidakharmonisan, serta keterbatasan hubungan (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson,

1995).

Maaf dan pengampunan (forgiveness). Dengan pengampunan, seorang individu dapat meningkatkan koping terhadap stres, cemas, depresi dan tekanan

emosional, penyakit fisik serta meningkatkan perilaku sehat dan perasaan damai

(8)

Cinta kasih dan dukungan sosial (Love and social support). Keinginan untuk menjalin dan mengembangkan hubungan antar manusia yang positif

melalui keyakinan, rasa percaya dan cinta kasih. Teman dan keluarga dekat dapat

memberikan bantuan dan dukungan emosional untuk melawan banyak penyakit

dan situasi krisis. (Hart, 2002 dalam Kozier erb & Wilkinson, 1995).

c. Hubungan dengan alam

Harmoni merupakan gambaran hubungan seseorang dengan alam yang

meliputi pengetahuan tentang tanaman, pohon, margasatwa, iklim dan

berkomunikasi dengan alam serta melindungi alam tersebut (Kozier, Erb, Blais &

Wilkinson, 1995).

Kedamaian (Peace). Kedamaian merupakan keadilan, rasa kasihan dan kesatuan. Dengan kedamaian seseorang akan merasa lebih tenang dan dapat

meningkatkan status kesehatan (Hamid, 2009).

Rekreasi (Joy). Rekreasi merupakan kebutuhan spiritual seseorang dalam menumbuhkan keyakinan, rahmat, rasa terima kasih, harapan dan cinta kasih.

Dengan rekreasi seseorang dapat menyelaraskan antara jasmani dan rohani

sehingga timbul perasaan kesenangan dan kepuasaan dalam pemenuhan hal-hal

yang dianggap penting dalam hidup seperti nonton televisi, dengar musik, olah

raga dan lain-lain (Puchalski, 2004).

d. Hubungan dengan Tuhan

Meliputi agama maupun tidak agamais. Keadaan ini menyangkut

sembahyang dan berdoa, keikutsertaan dalam kegiatan ibadah, perlengkapan

(9)

Dapat disimpulkan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan Spiritual apabila

mampu merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di

dunia/kehidupan, mengembangkan arti penderitaan serta meyakini hikmah dari

satu kejadian atau penderitaan, menjalin hubungan yang positif dan dinamis,

membina integritas personal dan merasa diri berharga, merasakan kehidupan yang

terarah terlihat melalui harapan dan mengembangkan hubungan antar manusia

yang positif (Hamid, 2009).

1.5 Spiritualitas Ibu Hamil

Faktor spiritualitas merupakan unsur penting dari kesehatan dan

kesejahteraan. Para penyelenggara perawatan kesehatan semakin sadar untuk

memusatkan perhatian pada hubungan antara siritualitas dan kesehatan (Young,

2007). Pemenuhan kebutuhan spiritualitas pada individu didasarkan pada

kebutuhan spiritualitas individu yang terdiri dari kebutuhan spiritualitas yang

berkaitan dengan Tuhan, hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan orang

lain, dan hubungan dengan lingkungan (Bukhardt 1993 dalam Kozier, Erb, &

Blais, 1995).

Menurut Hawari (2006) pada saat cemas salah satu respon individu yaitu

mencari dukungan dari keyakinan agamanya. Hal ini sesuai dengan peneltian

yang dilakukan oleh Darwanti dkk (2007) mengenai pengaruh bimbingan rohani

terhadap kecemasan ibu yang akan melakukan persalinan kala I. Dalam penelitian

tersebut diperoleh kesimpulan bahwa klien yang mendapat bimbingan rohani

tingkat kecemasannya terhadap persalinan mejadi menurun. Sebaliknya klien

(10)

akan pentingnya keyakinan agama dalam penurunan kecemasan juga diperkuat

oleh penelitian yang dilakukan Maimunah & Retnowati (2011) mengenai

pengaruh relaksasi dzikir untuk kecemasan. Hasil penelitian mereka terhadap

sepuluh ibu hamil yang sedang mengalami kecemasan melaporkan bahwa

kecemasan ibu berkurang dan ibu menjadi lebih rileks setelah diberikannya terapi

dzikir. Hasil penelitian ini juga menguatkan penelitian-penelitian sebelumnya

yang telah membuktikan bahwa terapi berbasis keyakinan agama yang dimiliki

dapat membantu meningkatkan kesehatan mental seseorang (Trimulyaningsih

dalam Maimunah & Retnowati, 2011). Nilai-nilai spiritual yang ditanamkan dapat

memberikan kekuatan atau energi untuk beradaptasi terhadap stress fisik maupun

emosional. (Darwanti dkk, 2007).

Selain dari keterhubungan dengan Tuhan, spiritualitas juga merupakan

menggambarkan keterhubungan dengan manusia (Bukhardt 1993 dalam Kozier,

Erb, & Blais, 1995). Salah satu bentuk spiritualitas dalam keterhubungan dengan

manusia khususnya ibu hamil adalah adanya dukungan keluarga pada saat

kehamilan dan persalinan. bagi ibu hamil dukungan dari keluarga sangat penting,

mendapat dukungan pada saat kehamilan dan persalinan merupakan faktor

penting dalam menciptakan pengalaman persalinan yang positif bagi ibu (Junita,

2004 dalam Tursilowati, 2007). Pernyataan ini sesuai dengan penelitian yang telah

dilaporkan oleh Pitt (1994) bahwa dukungan sosial yang diterima oleh individu

akan berpengaruh bagi individu tersebut untuk mengurangi tingkat kecemasan, hal

ini dikarenakan keyakinan akan adanya orang terdekat membuat individu nyaman

(11)

Hal ini diperkuat juga oleh adanya penelitian oleh Gladieux (Dagun, 1990

dalam Diponegoro dan Hastuti, 2009) mengenai “dukungan suami terhadap

kecemasan ibu hamil” terhadap 26 pasangan suami istri. Hasil penelitiannya

menggambarkan bahwa istri yang mendapat dukungan emosional dari suami lebih

mudah menyesuaikan diri dengan situasi kehamilannya. Penelitian ini didukung

Kartono (1992) bahwa dukungan suami pada ibu hamil sangat berharga, ibu hamil

menginginkan suami melakukan tindakan yang suportif dan memberikan rasa

aman. Diponegoro dan Hastuti (2009) juga melakukan penelitian sejenis

mengenai ‘pengaruh dukungan suami terhadap lama persalinan kala II pada ibu

primipara, hasil penelitian mereka melaporkan bahwa ibu yang mendapat

dukungan dari suami lebih mudah dan cepat dalam melalui persalinan kala II.

Sementara ibu yang tidak mendapat dukungan dari suami lebih lama dalam

melalui persalinan kala II dikarenakan ibu mengalami kecemasan dan merasakan

kurang nyaman dalam melakukan proses persalinan tanpa dukungan dan dorongan

dari suami.

2. Kecemasan

2.1Defenisi Kecemasan

Kecemasan adalah perasaan was-was, khawatir, atau tidak nyaman

seakan-akan terjadi sesuatu yang dirasseakan-akan sebagai ancaman. Kecemasan merupseakan-akan

suatu perasaan yang tidak menyenangkan, yang diikuti oleh reaksi fisiologis

tertentu seperti perubahan detak jantung dan pernafasan. Kecemasan melibatkan

(12)

kata lain kecemasan adalah reaksi atas situasi yang dianggap berbahaya (Purba

dkk, 2008).

2.2 Penyebab Kecemasan

Kecemasan dapat disebabkan oleh adanya perasaan takut tidak diterima

dalam lingkungan tertentu, adanya pengalaman traumatis seperti trauma akan

berpisah, kehilangan atau bencana, adanya rasa frustasi akibat kegagalan dalam

mencapai tujuan, adanya ancaman terhadap integritas diri meliputi

ketidakmampuan fisiologis atau gangguan kebutuhan dasar serta adanya ancaman

terhadap konsep diri; identitas diri, harga diri, dan perubahan peran (Purba dkk,

2008).

2.3 Gejala Kecemasan

Kecemasan ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang

mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas

(Reality Testing Ability/RTA, masih baik), kepribadian masih tetap utuh (tidak

mengalami keretakan kepribadian/ splitting of personality), perilaku dapat

terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal (Hawari, 2006).

Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami

gangguan kecemasan antara lain: cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan

pikirannya sendiri, mudah tersinggung, merasa tegang, tidak tenang, gelisah,

mudah terkejut, takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang,

gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan, gangguan konsentrasi dan

daya ingat, keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang,

(13)

pencernaan, gangguan perkemihan dan sakit kepala (Hawari, 2006). Sue, dkk

(dalam Purba dkk, 2008) menyebutkan bahwa manifestasi kecemasan terwujud

dalam empat hal berikut ini:

a. Manifestasi kognitif, yang terwujud dalam pikiran seseorang, seringkali

memikirkan tentang malapetaka atau kejadian buruk yang akan terjadi.

b. Perilaku motorik, kecemasan seseorang terwujud dalam gerakan tidak

menentu seperti gemetar.

c. Perubahan somatik, muncul dalam keadaaan mulut kering, tangan dan kaki

dingin, diare, sering kencing, ketegangan otot, peningkatan tekanan darah dan

lain-lain. Hampir semua penderita kecemasan menunjukkan peningkatan

detak jantung, respirasi, ketegangan otot dan tekanan darah

d. Afektif, diwujudkan dalam perasaan gelisah, dan perasaan tegang yang

berlebihan.

2.4 Tingkat Kecemasan

Peplau (dalam Stuart dan Sundeen, 1998) mengidentifikasi ansietas dalam

4 tingkatan. Setiap tingkatan memiliki karakteristik lahan persepsi yang berbeda

tergantung pada kemampuan individu dalam menerima informasi/pengetahuan

mengenai kondisi yang ada dari dalam dirinya maupun dari lingkungannya.

Tingkat ansietas yaitu :

1. Ansietas ringan: cemas yang berhubungan dengan ketegangan dalam

kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan

meningkatkan lahan persepsinya. Ansietas dapat memotivasi belajar dan

(14)

2. Ansietas sedang: cemas yang memungkinkan seseorang untuk

memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain.

Sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat

melakukan suatu yang lebih terarah.

3. Ansietas berat: cemas yang sangat mengurangi lahan persepsi seseorang.

Seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang lebih terinci

dan spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal yang lain. Semua perilaku

ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan

banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.

4. Panik : tingkat panik dari suatu ansietas berhubungan dengan terpengarah,

ketakutan, dan teror. Rincian terpecah dari proporsinya. mengalami

kehilangan kendali, orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan

sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi

kepribadian. Dengan panik, terjadi peningkatan aktivitas motorik,

menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi

yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat

ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung

terus-menerus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat

(15)

Rentang Respon kecemasan

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

2.5 Kecemasan Ibu Primigravida

Wanita hamil terutama ibu primigravida (ibu yang hamil pertama kali)

sebagian besar mengalami kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan baik selama

hamil, saat menghadapi persalinan, maupun sesudah mengalami persalinan.

Kecemasan yang mereka rasakan umumnya mulai dari khawatir tidak bisa

menjaga kehamilan, tidak tahu kapan dimulainya persalinan, khawatir keguguran,

khawatir keadaan bayi setelah lahir, tidak memiliki gambaran mengenai persalian,

takut sakit dan nyeri akan melahirkan kelak, bahkan yang lebih ditakutkan lagi

yaitu takut akan komplikasi kematian dan takut persalinan dilakukan dengan tidak

normal (Aprilia, 2010). Selain itu, beberapa keluhan ringan yang sering dirasakan

ibu hamil juga dapat menimbulkan kecemasan, seperti kejang kaki, kelelahan,

kembung, mual muntah, sakit kepala, sakit punggung, sakit gigi, sembelit, sering

buang air kecil, sulit tidur, sesak nafas dan varises (Kasdu dkk, 2004). Puncak

kekhawatiran muncul bersamaan dengan dimulainya tanda-tanda akan

melahirkan. Kontraksi yang lama-kelamaan meningkat menambah beban ibu,

sehingga kekhawatiran pun bertambah. Pada kondisi inilah perasaan khawatir,

(16)

persalinan yang diperkirakan lancar dapat menjadi tidak lancar akibat ibu panik

(Amalia, 2009). Setelah melahirkan ibu primigravida juga dicemaskan oleh

adanya resiko infeksi, takut terjadi perdarahan, dan keadaan bayi setelah melewati

persalinan (Mika, 2010 dalam Maimunah & Retnowati, 2011).

Referensi

Dokumen terkait

1.. Berdasarkan tabel 5.3 hasil penelitian dari 37 responden penelitian di ruang IV Ginekologi RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2015 diperoleh bahwa, responden yang berumur 39-47

Rekomendasi: Berdasarkan hasil penelitian diharapkan bagi peneliti selanjutnya agar memberikan penjelasan tentang histerektomi kepada ibu yang akan dilakukan histerektomi,

Dalam penelitian Chandra (2014), mengatakan bahwa hampir sebagian besar pasien yang akan menjalani operasi mengalami kecemasan karena menganggap tindakan operasi merupakan

1) Setelah dilakukan anestesi umum, pasien ditempatkan dalam posisi dorsal litotomi. Pemeriksaan pelvis bimanual dilakukan sebelum operasi. 2) Jahit labia minora, spekulum

Faktor yang Berhubungan Dengan Tingkat Kecemasan Pasien Preoperasi Bedah Mayor Digestif Di RSUP Dr.. Wahidin

Saya merasa seakan-akan saya pingsan pada saat saya akan menjalani operasi histerektomi. Saya dapat bernapas dengan mudah sebelum saya menjalani

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan tingkat kecemasan dengan mekanisme koping ibu menjelang tindakan kuretase..

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang mengalami kecemasan ringan sebanyak 24 orang (80%), kecemasan sedang sebanyak 6 orang (20%), dan tidak ada pasien yang