• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN POLA ASUH AUTORITATIF DAN EFIKASI DIRI DENGAN MASALAH EMOSI DAN PERILAKU PADA SISWA SISWI SEKOLAH MENENGAH ATAS DI KABUPATEN KLUNGKUNG.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN POLA ASUH AUTORITATIF DAN EFIKASI DIRI DENGAN MASALAH EMOSI DAN PERILAKU PADA SISWA SISWI SEKOLAH MENENGAH ATAS DI KABUPATEN KLUNGKUNG."

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

EFIKASI DIRI DENGAN MASALAH EMOSI DAN

PERILAKU PADA SISWA SISWI SEKOLAH

MENENGAH ATAS DI KABUPATEN KLUNGKUNG

I GUSTI AYU AGUNG MIRAH

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

1

TESIS

HUBUNGAN POLA ASUH AUTORITATIF DAN

EFIKASI DIRI DENGAN MASALAH EMOSI DAN

PERILAKU PADA SISWA SISWI SEKOLAH

MENENGAH ATAS DI KABUPATEN KLUNGKUNG

I GUSTI AYU AGUNG MIRAH NIM 111805102

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

HUBUNGAN POLA ASUH AUTORITATIF DAN

EFIKASI DIRI DENGAN MASALAH EMOSI DAN

PERILAKU PADA SISWA SISWI SEKOLAH

MENENGAH ATAS DI KABUPATEN KLUNGKUNG

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana

I GUSTI AYU AGUNG MRAH NIM 111805102

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

3

LEMBAR PENGESAHAN TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 7 Maret 2016

Pembimbing I, Pembimbing II

dr. I G. Ayu Endah Ardjana, SpKJ(K) Dr. I Made Rustika,MSi.Psikolog NIP.195102101980102001 NIP. 195801211984031002

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Dr. dr. G.N. Indraguna Pinatih, M.Sc,SpGKProf. Dr. dr.A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)

(5)

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 7 Maret 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 970/UN14.4/HK/2016, Tertanggal 29 Februari 2016

Penguji :

Ketua : Dr. dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ (K) Anggota : 1. dr. Nyoman Hanati SpKJ (K)

(6)
(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas asung wara nugraha-Nya maka tesis yang berjudul “Hubungan Pola Asuh Autoritatifdan Efikasi Diri dengan Masalah Emosi dan Perilaku siswa siswi Sekolah Menengah Atas Negeri dan Swasta di Kabupaten Klungkung” dapat diselesaikan. Tesis ini adalah tugas akhir pendidikan sebagai persayaratan memperoleh gelar Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa pada Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat, penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

Yang terhormat Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, selaku Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT, FICS selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K) selaku Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana; Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK selaku Ketua Program Magister Ilmu

Biomedik Kekhususan Combined Degree, Program Pascasarjana Universitas Universitas Udayana. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk penulis dapat menempuh pendidikan di Universitas Udayana.

(8)

7

Ayu Sri Wahyuni, SpKJ selaku Kepala Bagian/ SMF Psikiatri FK UNUD Sanglah dan dr. Wayan Westa, SpKJ (K) selaku Ketua Program Studi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PDS)-1 Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah sekaligus sebagai Ketua PTRM Sandat .

dr. I Gusti Ayu Endah Ardjana,SpKJ(K) selakupembimbing akademis sekaliguspembimbing I atas segala waktu, perhatian, dorongan semangat, masukan, arahan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Dr. I Made Rustika,Msi Psikolog selaku pembimbing II atas segala waktu, perhatian,dorongan semangat, masukan, arahandan bimbinganyang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Seluruh staf pengajar di bagian Psikiatri FK UNUD dan staf pengajar Program Magister Ilmu Biomedik Kekhususan Kedokteran Klinik (Combined Degree)Program Pascasarjana Universitas Udayana angkatan pertama atas ilmu dan motivasi yang diberikan dalam menyelesaikan tesis ini.

Pada kesempatan inipenulis menyampaikan ucapan terima kasih yang Tulus disertai penghargaan kepada Kepala Sekolah Menengah Atas (SMA)I Semarapura dan Banjaranglan, SMA 2 Semarapura, SMA PGRI Pariwisata Semarapura, SMA Pariwisata Saraswati Semarapura dan Madrasah Aliyah Diponegoro Semarapura, serta seluruh siswa siswi Sekolah Menengah Atas baik negeri maupun swasta di kecamatan Banjarangkan dan kecamatan Semarapura Kabupaten Klungkung.

(9)

orangtua yang saya cintai, I Gusti Putu Mawa, SH (Alm) dan I Gusti Ayu Kartini, yang paling saya sayangi, suami I Gusti Ngurah Wiyasa, SH dan ketiga buah hati I Gusti Ayu Agung Intan Maharani Wira Putri, I Gusti Ngurah Agung Mahendra Wira Utama, dan I Gusti Ngurah Agung Indra Maheswara Wira Utama atas segala pengorbanan, dukungan moril dan materiil. Tanpa kalian, penulis bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa.

Penulis telah berusaha membuat tesis ini dengan sebaik-baiknya namun tetap menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan baik dari aspek materi dan penyajiannya. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan tesis ini.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa akan selalu melimpahkan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.

(10)

9

ABSTRAK

Latar Belakang: Masalah Emosi dan Perilaku pada remaja merupakan masalah yang cukup serius, karena berdampak terhadapperkembangannya, serta dapat menimbulkan hendaya dan menurunkan produktivitas serta kualitas hidupnya. Pola asuhAutoritatifdan efikasi diri yang tinggi akan menurunkan masalah emosi dan perilaku remaja. Tujuan: Mengetahui hubungan pola asuh autoritatif dan efikasi diri dengan masalah emosi dan perilaku siswa-siswi di Sekolah Menengah Atas Kabupaten Klungkung. Metodelogi: Penelitian ini adalah penelitian non eksperimental observasional dengan rancangan cross sectional. Analisis bersifat deskriptif analitik. Pengambilan sampel secara acak sederhana. Alat Ukur dengan menggunakan kuesionerPola Asuh Autoritatif,Kuesioner Efikasi Diri dan kuesioner strength and difficulty quisioner (SDQ). Data dianalisis menggunakan uji pearson dengan regresi linier. Subjek penelitian yang dianalisis sebanyak 120 orang.Hasil Pola AsuhAutoritatif berhubungan negatif dengan masalah emosi dan perilaku dengan nilai (r=-0,384, p=0,000). Efikasi diri berhubungan negatif dengan masalah emosi dan perilaku dengan nilai (r=-0,311, p=0,000). Hasil análisis regresi linier menunjukkan R=0,430 (F=13,295;p=0,000) dengan demikian Pola asuh autoritatif dan efikasi diri bersama-sama berperan terhadap masalah emosi dan perilaku. Nilai koefisien determinasi sebesar 0,185 menunjukkan sumbangan efektif dari pola asuh autoritatif dan efikasi diri terhadap masalah emosi dan perilaku sebesar 18.5%.Nilai beta terstandarisasi pada pola asuh autoritatif dengan masalah emosi dan perilaku sebesar -0,315 (p=0,001), sedangkan pada efikasi diri dengan masalah emosi dan perilaku sebesar -0,205 (p= 0,022). Dengan demikian dapat disebutkan peran pola asuh autoritatiflebih besar dari pada efikasi diri terhadap masalah emosi dan perilaku.

(11)

ABSTRACT

CORRELATION OF AUTHORITATIVE PARENTING AND SELF EFFICACY TO THE PROBLEM OF EMOTIONAL AND BEHAVIORAL

AMONG HIGHSCHOOL STUDENTS IN KLUNGKUNG DISTRICT

Background: Emotional and behavioral problems in adolescentsare significant due to their potential effectson development, and these problems may lead to disability and the decrease inproductivity. Authoritativeparenting and high self efficacy might play role of thedecrease inthese emotional and behavioralproblems. Aim: To determine the correlation of authoritativeparenting and self efficacy, and emotional and behavioral problems among highschool students in Klungkung district.Methods: The research was an observational non experimental one with cross sectional design, with descriptive analysis. Sampels were obtained by simple random sampling. Instruments used were the authoritativeparenting questionnaire, self efficacy questionnaires, and Strength and Difficulty Questionnaire (SDQ). Data were analysed by pearson test using linear regression.Results: A number of 120 sampels were analysed. authoritativeparenting was negatively correlated to emotion and behavioral problems(r=-0.384, p=0.000). Self efficacy was negatively correlated to emotional and emotional problems (r=-0.311, p=0.000). Linear regression analysis showed a value of R=0.430 (F=13.295;p=0.000), and as such, athoritative parenting and self efficacy simultaneously played role in emotional and behavioral problems. A determination coefficient of 0.185 showed the effective role of authoritativeparenting and self efficacy on emotional and behavioral problems of 18.5%. The standardized beta value ofautoritatifparenting and emotional and behavioral problem was -0.315 (p=0.001), while for self efficacy and emotional and behavioral problem was-0.205 (p= 0.022). It was concluded authoritativeparenting played more significant role on emotional and emotional problemsthan self efficacy.

(12)

11 BAB I PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined. 1.1Latar belakang masalah ... Error! Bookmark not defined. 1.2Rumusan Masalah... Error! Bookmark not defined. 1.3 Tujuan Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 1.4Manfaat Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 1.4.1 Manfaat teoritis ... Error! Bookmark not defined. 1.4.2 Manfaat praktis... Error! Bookmark not defined. BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined. 2.1Remaja... ... Error! Bookmark not defined. 2.1.1 Definisi remaja ... Error! Bookmark not defined. 2.1.2 Pertumbuhan dan perkembangan remajaError! Bookmark not defined.

2.1.3 Tahapperkembangan remaja .. Error! Bookmark not defined. 2.1.4 Pembentukan identitas diri remajaError! Bookmark not defined.

2.2Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Psikososial Remaja. Error! Bookmark not defined.

2.2.1 Lingkungan keluarga ... Error! Bookmark not defined. 2.2.2 Lingkungan sekolah ... Error! Bookmark not defined. 2.2.3 Lingkungan teman sebaya ... Error! Bookmark not defined. 2.2.4 Lingkungan masyarakat ... Error! Bookmark not defined. 2.3Masalah Emosi dan Perilaku Remaja ... Error! Bookmark not defined. 2.3.1 Definisi ... Error! Bookmark not defined. 2.3.2 Kriteria diagnosis ... Error! Bookmark not defined. 2.3.3 Faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi dan perilaku

(13)

2.2.3 Deteksi dini masalah emosional dan perilaku pada remaja Error! Bookmark not defined.

2.3Pola Asuh Orang Tua ... Error! Bookmark not defined. 2.2.1 Pengertian pola asuh orang tuaError! Bookmark not defined.

2.2.3 Dimensi pola asuh ... Error! Bookmark not defined. 2.2.2. Jenis-jenis pola asuh orang tuaError! Bookmark not defined.

2.2.4 Pengukuran pola asuh (parenting style)Error! Bookmark not defined.

2.3Efikasi Diri ... Error! Bookmark not defined. 2.3.1 Definisi ... Error! Bookmark not defined. 2.3.2 Sumber dari Efikasi Diri ... Error! Bookmark not defined. 2.3.3 .Perkembangan efikasi individu .... Error! Bookmark not defined. 2.3.4 Komponen efikasi diri ... Error! Bookmark not defined. 2.3.5 Proses yang mempengaruhi efikasi diriError! Bookmark not defined.

2.3.5 Karakteristik individu yang memiliki efikasi diri tinggi dan efikasi diri rendah ... Error! Bookmark not defined. 2.3.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi efikasi diri ... Error! Bookmark not defined.

2.3.7 Pengukuran skala efikasi diri . Error! Bookmark not defined. BAB IIIKERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS ... Error!

Bookmark not defined.

3.1 Kerangka Berpikir ... Error! Bookmark not defined. 3.2KonsepPenelitian ... Error! Bookmark not defined. 3.3Hipotesis Penelitian ... Error! Bookmark not defined.

BAB IVMETODE

PENELITIAN………...Error! Bookmark not defined.

4.1Rancangan Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 4.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 4.3. Penentuan Sumber Data ... Error! Bookmark not defined. 4.3.1 Populasi penelitian ... Error! Bookmark not defined. 4.3.2 Sampel penelitian ... Error! Bookmark not defined. 4.3.3 Kriteria inklusi dan eksklusi penelitianError! Bookmark not defined.

(14)

13

4.4.1 Identifikasi variabel ... Error! Bookmark not defined. 4.4.2 Definisi operasional ... Error! Bookmark not defined. 4.4.3 Instrumen penelitian ... Error! Bookmark not defined. 4.5 Prosedur Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 4.6 . Pengolahan dan Analisis data ... Error! Bookmark not defined. BAB VHASIL PENELITIAN ... Error! Bookmark not defined. 5.1Tahap Uji Coba Skala Efikasi Diri ... Error! Bookmark not defined. 5.2Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... Error! Bookmark not defined. 5.2.1 Uji validitas dan reabilitas skala efikasi diriError! Bookmark not defined.

5.3 Analisis Data dan Hasil Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 5.3.1 Karakteristik Sampel Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 5.3.2 Deskripsi dan kategori data penelitianError! Bookmark not defined.

5.3.4 Uji Normalitas ... Error! Bookmark not defined. 5.3.5 Uji Linieritas ... Error! Bookmark not defined. 5.3.6 Uji multikoliniaritas ... Error! Bookmark not defined. 5.4 Uji Hipotesis ... Error! Bookmark not defined. 5.6 Peran Pola Asuh Autoritatifdan Efikasi Diri dengan Masalah Emosi dan

Perilaku... ... Error! Bookmark not defined. BAB VIPEMBAHASAN ... Error! Bookmark not defined. BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... Error! Bookmark not defined. 7.1 Simpulan ... Error! Bookmark not defined. 7.2 Saran... ... Error! Bookmark not defined. DAFTAR PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined.

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Strategi Pengubahan Sumber Efikasi...34

2.2 Prediksi Tingkah Laku Hasil Kombinasi Efikasi Diri dengan Lingkungan...35

4.3 Interprestasi Skor Penilaian Kuesioner SDQ……….54

4.4 DistribusiItem-ItemSkala Pola Asuh Autoritatif………...……….55

4.5 Distribusi Item-Item Skala Efikasi Diri……….56

5.1 Nomor Item yang gugur pada Skala Efikasi Diri………...61

5.2 Sebaran Skala Efikasi Diri………..………...62

5.3 Karakteristik Subjek Penelitian ………..……..63

5.4 DeskripsiData Penelitian………...66

5.5 Kategori Pola Asuh Autoritatif………...67

5.6 Kategori Efikaasi Diri……….………...67

5.7 Kategori Masalah Emosi dan Perilaku………...68

5.8 Klasifikasi Masalah Emosi dan Perilaku………69

5.9 Uji normalitas Skala Pola Asuh Autoritatif, Efikasi Diri dan Masalah emosi dan Perilaku……….………70

5.10 Uji Linieritas Variable Penelitian………...…71

5.11 Uji Multikolinieritas Variable Penelitian………..72

5.12 Hubungan Pola AsuhAutoritatif, Efikasi Diri dengan Masalah Emosi dan Perilaku………..73

(16)

15

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

3.2 Bagan KonsepPenelitian ... .47

4.1 Bagan Rancangan Penelitian…… ... …...48

4.4 Bagan Hubungan Antar Variabel...………...…52

(18)

17

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Ethical clearent

Lampiran 2 Ijin Penelitian di Komunitas Lampiran 3 Inform Consent

Lampiran 4 Formulir Data Penelitian Lampiran 5 Kuesioner SDQ

Lampiran 6 KuesionerPola Asuh Autoritatif Lampiran 7 Kuesioner Efikasi Diri

Lampiran 8 Kuesioner Efikasi Diri yang sudah divalidasi Lampiran 9 Data Kuesioner Efikasi Diri

Lampiran 10 Uji Validasi dan realibilitas skala efikasi diri Lampiran 11 Data penelitian

Lampiran 12 Uji Normalitas data Lampiran 13 Uji Linieritas data

Lampiran 14 Uji Multikoliniaritas skala

Lampiran 15 Data Deskripsi Masalah Emosi dan Perilaku Lampiran 16 Data DeskripsiPola Asuh Autoritatif

(19)

DAFTAR SINGKATAN

CBCL : Children Social Behaviour Quistionnaire

CBCL : Child Behaviour Checklist

CBSA : Computer Based Screening fo Adolescent

DSM :Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders

ED : Efikasi Diri

ICD :International Statistical Classification of Diseases

MEP : Masalah Emosi dan Perilaku PSC : Pediatric Symptom Checklist

PAA : Pola Asuh Autoritatif

PKK : Program Kesejahteraan Keluarga Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar

RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo SDQ : Strength and Dificulty Questionaire

(20)

BABI

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak kemasa dewasa. Pada masa ini, remaja mengalami perkembangan mencapai kematangan fisik, mental, sosial dan emosional. Remaja berada pada masa peralihan antara masa anak-anak dan masa dewasa, status remaja agak kabur, baik bagi dirinya maupun bagi lingkungannya. Masa remaja biasanya memiliki energi yang besar, emosi yang meningkat, sedangkan pengendalian diri belum sempurna.

Data demografi menunjukkan bahwa jumlah populasi remaja di dunia merupakan populasi yang besar. Pada tahun 2012 jumlah remaja berumur 12-17 tahun sekitar 721 juta dari 6.1 miliar penduduk didunia (Departement of Economic and Social Affairs, 2012). Di Indonesia menurut Biro Pusat Statistik (2010), kelompok umur 10-19 tahun adalah 22 % yang terdiri dari 50.9% remaja laki-laki dan 49,1% remaja perempuan

Remaja yang sedang berada di fase perubahan, sering kali memicu terjadinya konflik dengan lingkungan sekitarnya. Apabila konflik tersebut tidak bisa diatasi dengan baik, maka dalam perkembangannya akan membawa dampaknegatif terutama terhadappematangan karakter remaja dan tidak jarang memicu terjadinya gangguan mental(Wiguna, 2009).

(21)

hendaya dan menurunkan produktivitas serta kualitas hidup mereka. Satu setengah juta anak dan remaja di Amerika Serikat dilaporkan oleh orang tuanya memiliki masalah emosional, perkembangan dan perilaku yang persisten (Blanchard et al, 2006).

Pada studi dibeberapa negara di dunia, didapatkan prevalensi gangguan emosi dan perilakupada remaja berkisar 16,5% sampai 40,8 % dan di India berkisar 13,7% sampai 50%(Pathaket al, 2011).Singapura, 12,5 % anak usia 6-12 tahun memiliki masalah emosi dan perilaku(Woo et al, 2007).

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007, prevalensi gangguan mental dan emosional 11,6 % dan terbanyak didaerah pedesaan sedangkan padatahun 2013 prevalensi tidak jauh berbeda, namun terdapat pergeseran tempat menjadi dikota lebih tinggi dari pada pedesaan( Balitbangkes RI, 2013).

Penelitian di Poliklinik Jiwa Anak dan Remaja Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo (RSCM) didapatkan bahwa proporsi terbesar dari masalah emosi dan perilakupada anak usia sekolah, 54,81% masalah dengan teman sebaya dan 42,2% dengan masalah emosional. Masalah dengan teman sebaya lebih banyak terdapat pada anak berusia < 12 tahun (39,1%) dan pada anak yang berusia > 12 tahun lebih banyak mengalami masalah emosi (33,5 %) (Wiguna et al, 2010).

(22)

3

sebaya yang inadekuat serta kemiskinan. Masalah emosi dan perilaku yang terjadi berdampak terhadap tumbuh kembang dan kehidupan anak sehari-hari. Gangguan perkembangan kognitif, kesulitan belajar karena mereka tidak mampu berkonsentrasi terhadappelajaran, kemampuan mengingat yang buruk atau bertingkah yang tidak sesuai didalam lingkungan sekolah,meningkatkan angka kenakalan dan kriminalitas dimasa mendatang hingga bunuh diri (Wigunaet al, 2010).

Pada tahun 2010, Word Health Organization (WHO) melaporkan angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1.8 per 100.000 jiwa. Pada tahun 2012 meningkat menjadi 4,3 per 100.000 jiwa atau sekitar 10.000 per tahun (Beritasatu, 2014)MenurutKusumawardani (2014)bunuh diri merupakan penyebab utama kematian remaja di Indonesia. Bunuh diri terjadi karena rasa putus asa yang dikaitkan dengan gangguan depresi, yang terjadi karena masalah emosional remaja yang tidak tertanganiKenakalan remaja yang merupakan perilaku menyimpang seperti tawuran antar pelajar, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang lainnya, seks pranikah terjadi peningkatan dari tahun ke tahun. MenurutSyarief (2013)salah satu penyebabnya adalah faktor keluarga, dimana orang tua terlalu sibuk dan kurangnya komunikasi

(23)

dan perilaku remaja(Mulyati, 2014). Faktor protektif berperan menyebabkan tidak terjadinya masalah emosional dan perilaku pada individu yang terpapar faktor risiko.

Hubungan yang dekat antara orang tua dan anak sejak kanak- kanak sampai remaja sangat mempengaruhi perkembangan remaja karena hubungan ini merupakan contoh yang akan dibawa remaja secara terus-menerus yang akan mempengaruhi pembentukan hubungan baru (Santrock, 2007).

Peran orang tua dalam menjalani masa tumbuh kembang anak sangat penting. Orang tua berperan dalam pembentukan perilaku, watak, moral dan pendidikan anak. Pada keluarga yang menerapkan pola asuh yang autoritatif,merupakansebuah keluarga hangat, penuh penerimaan, mau saling mendengar, peka terhadap kebutuhan anak, mendorong anak untuk berperan serta dalam mengambil keputusan didalam keluarga. Pola asuh yang hangat ini mengakibatkan anak merasa dekat dan nyaman dengan orang tuanya, sehingga bila mempunyai suatu masalah anak akan berani mengungkapkannya pada orang tuanya, sehingga akan menurunkan masalah emosional dan perilaku. Anak dengan pola asuh ini berkompeten secara sosial, energik, bersahabat, ceria, memiliki keingintahuan yang besar dapat mengontrol diri, memiliki harga diri yang tinggi, serta memiliki prestasi yang tinggi (Baumrid,2008).

(24)

5

dengan kemampuannya untuk melakukan suatu tindakan yang ada hubungannya dengan tugas khusus atau situasi khusus. Remaja yang mempunyai efikasi diri yang tinggi akan merasa yakin bisa menghadapi berbagai masalah yang dihadapinya dan tidak mengalami stres, cemas, depresi ataupun terlibat dalam berbagai kenakalan remaja(Bandura, 1997).Pada remaja yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan terhindar dari masalah emosional dan perilaku, karena dengan efikasi yang tinggi remaja sangat yakin mampu mengatasi masalah dan hambatan yang dihadapinya dengan baik sehingga perasaan tertekan dapat diatasi (Rustika, 2014).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Shiomi & Matshushima (2003) didapatkan efikasi diri berhubungan negatif dengan stres individu dan berhubungan positif dengan koping stres individu. Berbagai penelitian yang meneliti hubungan antara efikasi diri dan depresi, menemukan bahwa efikasi diri berhubungan negatif dengan depresi. Menurut Melvin, et al.(2010) peningkatan efikasi diri memberikan luaran yang baik pada remaja yang mengalami depresi

Berdasarkan Rikesda Bali tahun 2013,prevalensi gangguan mental dan emosi di Kabupaten Klungkung sebesar 9,5 %, terjadi peningkatan dari hasil Riskesda tahun 2007 sebesar 6,1 % dan menempati urutan kedua setelah Bangli 12,5%. Angka tersebut berada diatas angka prevalensi gangguan mental dan emosional di Bali (4,4%) (Pranataet al, 2013)

(25)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan pernyataan sebagai berikut: Apakah pola asuh autoritatifdan efikasi diri berhubungan dengan masalah emosional dan perilaku remaja Sekolah Menengah Atasdi Kabupaten Klungkung?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1. Mengetahui hubungan antara pola asuh autoritatiforang tua dengan masalah emosional dan perilaku siswa siswi Sekolah Menengah Atas di Kabupaten Klungkung?

1.3.2 Mengetahui hubungan antara efikasi diri dengan masalah emosinal dan perilaku siswa siswi Sekolah Menengah Atasdi Kabupaten Klungkung 1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi untuk berkembangnya ilmu pengetahuan khususnya dalam ilmu kedokteran jiwa dan psikologi.

1.4.2 Manfaat praktis

(26)

7

b. Bagi guru agar dalam proses belajar dan mengajar dapat menerapkan pola asuh yang baik sehingga murid akan merasa lebih nyaman berinteraksi dengan guru. Lebih mengintensifkan pengawasan pada siswa siswinya dan meningkatkan tindakan promotif, preventif gangguan emosional dan perilaku dengan melakukan skrening secara rutin.

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Remaja

2.1.1 Definisi remaja

WHO mendifinisikan tentang remaja lebih bersifat konseptual terdiri dari tiga kriteria yaitu biologis, psikologis dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap didefinisikan sebagai suatu masa dimana:(1) Individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder sampai saat mencapai kematangan seksual,(2) Individu mengalami perkembangan psikologisdan pola identifikasi dari kanak-kanak sampai dewasa(3) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri(Sarwono, 2013).

Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence,berasal dari Bahasa Latin adolescence yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”.Menurut Hurlock (2008) anak dianggap sudah dewasa apabila sudah

mampu mengadakan reproduksi. Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence

(28)

2

dengan pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan emosional. Hal ini dikarenakan secara proses pertumbuhan otak pada remaja mencapai kesempurnaan dimana sistem syaraf yang memproses informasi berkembang secara cepat (Soetjiningsih, 2004).

2.1.2 Pertumbuhan dan perkembangan remaja

Remaja merupakan masa peralihan darimasa kanak-kanak ke masa dewasa, sehingga banyak perubahan pada diri seseorang sebagai tanda keremajaan. Pada masa ini terjadi pertumbuhan, timbul ciri-ciri seks sekunder, tercapai fertilitas dan terjadilah perubahan-perubahan kognitif dan psikologis (Damayanti, 2011).

Pertumbuhan adalah bertambahnya berat, panjang atau tinggi badan, tulang dan otot-otot menjadi lebih kuat, lingkar tubuh menjadi lebih besar dan organ tubuh menjadi lebih sempurna. Perkembangan lebih mengacu pada perubahan karakteristik dari gejala-gejala psikologis kearah yang lebih maju. Menurut para ahli perkembangan didefinisikan sebagai suatu proses perubahan yang bersifat progresif dan menyebabkan tercapainya kemampuan dan karakteristik psikis yang baru. Perubahan ini dipengaruhi juga oleh perubahan struktur biologis. Menurut Berk perubahan kemampuan dan karakteristik psikis sebagai hasil dari perubahan dan kesiapan struktur biologis disebut dengan istilah” kematangan ” (Ali, 2014).

(29)

membaca. Perkembangan intelektual merupakan pernyataan dari tingkah laku yang adaptif, yang terarah kepada kontak dengan lingkungan dan kepada penyusunan pemikiran (interactionisme theory). Sedangkan tumbuh kembang emosional berkaitan dengan kemampuan membentuk ikatan batin, kasih sayang,mengelola rangsang dari luar serta kemampuan menangani kegelisahan akibat suatu kegagalan (Ali, 2014).

Dalam perjalanan kehidupannya, remaja tidak akan lepas dari berbagai macam konflik dalam perkembangannya. Setiap tingkatan memiliki konflik sesuai dengan kondisi perkembangan remaja pada saat itu. Konflik yang sering di hadapi oleh remaja semakin kompleks seiring dengan perubahan yang mereka alami pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri mereka yaitu dimensi biologis, dimensi kognitif, dimensi moral dan dimensi psikologis (Damayanti, 2011)

2.1.3 Tahap perkembangan remaja

Menurut Soetjiningsih (2004), pada umumnya masa remaja dibagi kedalam empat periode, yaitu periode praremaja, remaja awal,remaja tengah dan remaja akhir. Adapun karakteristik untuk setiapperiode :

(30)

4

dengan yang lain,(4) Mereka mempunyai sifat mendewasakan tokoh-tokoh yang dipandang memiliki kelebihan yang disukainya, (5) Pandangannya lebih banyak diarahkan keluar(ekstrovet) dan kurang bersedia untuk melihat dan mempercayai diri sendiri, (6) Mereka berani menghadapi sesuatu tapi kadang-kadang kurang perhitungan dan terkadang melupakan susila.

Periode remaja pertengahan 14-16 tahun. Pada fase ini dianggap fase negatif atau sikap menolak. Adapun ciri-ciri fase ini antara lain: (1) Bersifat serba ragu, tidak pasti dan tidak senang,tidak setuju dan sebagainya, (2) Anak sering murung, sedih tetapi ia sendiri tidak mengerti apa sebabnya, (3) Sering melamun tak menentu dan terkadang putus asa.

Masa remaja lanjut 17-20 tahun. Pada fase remaja lanjut, ditandai dengan perubahan jasmani yang disebabkan karena pertumbuhan kelenjar-kelenjar baru. Selama periode ini remaja mulai memandang dirinya sebagai orang dewasa dan mulai mampu menunjukkan pemikiran, sikap, perilaku yang semakin dewasa. Orang tua mulai lebih percaya pada mereka. Interaksi orang tua menjadi lebih bagus dan lancar karena mereka telah mempunyai kebebasan penuh serta emosinya mulai stabil (Ali & Ashori, 2014).

2.1.4 Pembentukan identitas diri remaja

Dalam perjalanannya menuju kedewasaan, remaja harus berusaha untuk mempunyai peran sosial. Menurut Erikson, untuk menemukan jati dirinya, remaja harus mempunyai peranan dalam kehidupan sosialnya, berjuang dan mengisi masa remaja dengan hal-hal yang positif yang dapat mengembangkan dirinya (Kaplan

(31)

Pada masa remaja, remaja berusaha melepaskan dirinya dari lingkungan dan ikatan dengan orang tua mereka karena ingin mencari identitas diri. Erikson mengatakan, pencarian identitas diri mulai dirintis seseorang pada usia yang sangat muda, yaitu usia sekitar remaja muda. Pencarian identitas ini berarti pencarian jati diri dimana remaja ingin tahu kedudukan dan peranannya dalam lingkungannya, di samping ingin tahu tentang dirinya sendiri yang menyangkut soal apa dan siapa dia, semua yang berhubungan dengan aku,ingin diselidiki dan dikenalnya (Ali & Ashori, 2014).

Perubahan-perubahan yang diakibatkan terjadinya kematangan seksual dan tuntutan-tuntutan psikososial menempatkan remaja pada satu keadaan yang menurut Erikson disebut sebagai krisis identitas, yaitu suatu tahap untuk membuat keputusan terhadap permasalahan-permasalahan penting yang berkaitan dengan pernyataan tentang identitas dirinya. Keadaan ini cukup kompleks karena melibatkan perkembangan beberapa aspek baik mental, emosional dan sosialnya. Oleh karena itu remaja dihadapkan pada tugas yng sulit karena mereka harus mengkoordinasikan berbagai hal untuk dapat menyelesaikan krisis identitas. Apabila remaja memperoleh peran dalam masyarakat, maka ia akan mencapai

(32)

6

2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Psikososial Remaja.

Proses sosialisasi remaja terjadi di tiga lingkungan utama, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Dalam lingkungan keluarga remaja mengembangkan pemikiran tersendiri yang merupakan pengukuhan dasar emosional dan optimisme sosial melalui interaksi dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Proses sosialisasi ini turut mempengaruhi perkembangan sosial dan gayahidupnya di hari-hari mendatang. Dalam lingkungan sekolah, remaja belajar membina hubungan dengan teman sebayanya yang berasal dari lingkungan keluarga dengan status dan warna sosial yang berbeda. Dalam lingkungan masyarakat anak dihadapkan dengan berbagai situasi dan masalah kemasyarakatan (Ali & Ashori, 2014).

2.2.1 Lingkungan keluarga

Perkembangan psikososial remaja dalam keluarga. Pendidikan moral dalam keluarga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti, (1) Pola asuh orang tua, (2) Kondisi keluarga, (3) Pendidikan norma dan nilai,(4) Hubungan dengan saudara kandung.

Setiap orang tua mempunyai pola asuh yang berbeda–beda. Pola asuh dalam keluarga sangat mempengaruhi proses sosialisasi dan kematangan mental seseorang anak dan remaja(Santrock, 2007).Pada penelitian yang dilakukan Mandeep, et al., (2011), didapatkan pola asuh authoritarian berhubungan sangat signifikan dengan kejadian depresi pada remaja.

(33)

sering bertengkar akan menghambat komunikasi dalam keluarga dan anak akan melarikan diri dari keluarga. Keluarga yang tidak lengkap misalnya karena perceraian, kematian dan keluarga dengan keadaan ekonomi yang kurang dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak (Santrock, 2007).

Pendidikan moral dalam keluarga adalah upaya menemukan nilai-nilai akhlak dan budi pekerti kepada anak dirumah. Budi pekerti mengandung nilai-nilai keagamaan, kesusilaan dan kepribadian yang berhubungan dengan pengembangan diri remaja seperti keberanian, rasa malu, kejujuran dan kemandiriannya (Santrock, 2007).

Remaja cenderung lebih dekat dengan saudara kandung daripada dengan orangtuanya. Rasa kasih sayang, kekompakan dan kedekatan antar saudara mempengaruhi perkembangan jiwa remaja (Santrock, 2007).

2.2.2 Lingkungan sekolah

Lingkungan sekolah merupakan lingkungan sekunder yang dimasuki remaja selain lingkungan rumah. Remaja bersekolah menghabiskan waktu sekitar 6-7 jam disekolahnya, berarti sepertiga waktunya setiap hari dilewatkan disekolah. Sehingga tidak mengherankan jika pengaruh sekolah (akademik, kedisiplinan sekolah, pendidikan agama dan moral , hubungan dengan guru ) sangat berpengaruh terhadapperkembangan emosi dan perilaku remaja (Sarwono, 2013).

2.2.3 Lingkungan teman sebaya

(34)

8

dengan teman sebaya seperti bullying akan mengakibatkan gangguan kesehatan mental (Dooley et al, 2010).

Remaja lebih mengutamakan teman daripada orangtua dan keluarga. Sikap, pembicaraan dan perilaku teman sebaya lebih besar pengaruhnya dari pada keluarga. Dalam kelompok remaja berusaha menemukan jati dirinya. Kelompok sebaya memberikan lingkungan yang dapat membuat remaja melakukan sosialisasi dimana nilai yang berlaku bukanlah nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa melainkan oleh teman seusianya. Apabila nilai yang dikembangkan adalah negatif, maka akan menyebabkan remaja ikut dalam perilaku negative (Santrock, 2007).

2.2.4 Lingkungan masyarakat

(35)

Media masa turut berperan dalam perkembangan jiwa remaja. Kemajuan tehnologi informasi dan komunikasi memberikan keuntungan sekaligus kerugian. Bagi remaja media massa dimanfaatkan sebagai pengisi waktu luang untuk lebih banyak meresap nilai kehidupan yang tidak sesuai dengan kehidupan yang ada, dan dikhawatirkan mempengaruhi perilaku dan gaya hidup remaja (Santrock, 2007).

2.3 Masalah Emosi dan Perilaku Remaja

2.3.1 Definisi

Perkembangan emosi dan perilaku adalah suatu proses perkembangan seseorang dalam usaha menyesuaikan diri dengan lingkungan dan pengalaman-pengalamannya. Masalah emosi dan perilaku dapat terjadi jika terdapat sesuatu yang menghambat seseorang dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan dan pengalaman-pengalamannya (Damayanti, 2011).

Secara definitif anak dan remaja dengan gangguan emosi dan perilaku adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya maupun lingkungannnya (Mahabbati, 2006).

(36)

10

emosional dapat mengakibatkan masalah yang serius dalam pendidikan dan hubungan dengan teman sebaya(Daniele et al, 2011).

Masalah ekternalisasi antara lain: temperamen sulit, ketidakmampuan memecahkan masalah, gangguan perhatian, hiperaktifitas, perilaku bertentangan (tidak mau mengikuti peraturan) dan perilaku agresif(Damayanti, 2011). Masalah emosional dan perilaku yang terjadipada usia muda diperkirakan meningkatkan risiko gangguan mental dan perilakupada usia pertengahan, sehingga sangat penting dilakukan deteksi dan penanganan masalah sedini mungkin

2.3.2 Kriteria diagnosis

MenurutInternational Statistical Classification of Diseases (ICD) 10, masalah emosi dan perilakupada anak dan remaja diklasifikasikan kedalam gangguan perilaku dan emosional. Gangguan perilaku meliputi gangguan hiperkinetik, gangguan tingkah laku, gangguan sikap menentang dan gangguan emosi meliputi gangguan depresi, gangguan cemas ( gangguan cemas perpisahan, gangguan anxietas fobik,gangguan persaingan antar saudara,gangguan cemas menyeluruh dan gangguan obsesif kompulsif) (Katona, et al, 2012).

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) 5 tidak mengklasifikasikan gangguan emosi dan perilaku kedalam satu kelompok, namun berdiri sendiri. Pembagian diagnosis menurut DSM 5 : (1) Depressive Disorder and Suicide in Children and Adolescent, (2) Early-Onset Bipolar Dissorder, (3)

(37)

2.3.3 Faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi dan perilaku remaja

Perkembangan emosi dan perilaku remaja dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai macam faktor yang dapat meningkatkan maupun menurunkan risiko masalah psikiatri. Terdapat interaksi yang kompleks dari perubahan fisik biologis, psikologis individu atau perkembangan kognitif dan interaksi dari faktor-faktor sosial (Santrock, 2007).

Faktor penyebab terjadinya masalah perkembangan emosi dan perilakupada anak dan remaja diindikasikan oleh empat faktor utama yaitu biologis dan penyakit, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan pengaruh budaya yang negatif. Faktor-faktor penyebab ini sifatnya kompleks dan tidak mungkin hanya satu faktor saja yang menjadi penyebab timbulnya masalah perkembangan emosi dan perilaku.

Faktor yang menyebabkan masalah emosi dan perilakupada remaja dibedakan menjadi dua yaitu faktor risiko dan faktor protektif (Wiguna , 2010). Adapun yang termasuk faktor risiko, yaitu : faktor Individu, faktor keluarga, faktor sekolah, faktor peristiwa hidup dan faktor sosial (Farrington & Murray, 2010).

Faktor individu seperti faktor genetik/konstitusional, berbagai gangguan mental yang mempunyailatar belakang genetik yang cukup nyata, seperti gangguan tingkah laku, gangguan kepribadian, dan gangguan psikologik lainnya (Vries et al

(38)

12

Faktor keluarga seperti ketidakharmonisan antara orang tua, orang tua dengan penyalahgunaan zat dan gangguan mental, pola asuh orang tua yang cenderung tidak empatik dan authoriter, ketidakdisiplinan merupakan faktor risiko masalah emosi dan perilaku remaja (Farrington &Murray, 2010).

Bullying peer victimization adalah bentuk perilaku pemaksaan atau usaha menyakiti secara psikologik maupun fisik terhadap seseorang/sekelompok orang yang lebih lemah oleh seseorang/sekelompok orang yang lebih kuat. Hazing

adalah kegiatan yang biasanya dilakukan oleh anggota kelompok senior kepada kelompok “junior”. Bullying dan Hazing merupakan suatu tekanan yang cukup seriuspada remaja karena berdampak negatif terhadap perkembangan remaja. Prevalensi kedua kondisi di atas diperkirakan sekitar 10 – 26%. Dalam penelitian tersebut dijumpai siswa yang mengalami bullying menjadi tidak percaya diri, takut datang ke sekolah, kesulitan berkonsentrai sehingga penurunan prestasi belajar. Bullying dan hazing yang terus menerus dapat memicu terjadinya depresi dan usaha bunuh diri. Penelitian yang dilakukan pada remaja Sekolah Menengah Pertama di Yogyakarta mendapatkan hubungan yang positif antara korban

bulliying dengan depresi (Gustina, 2011).

(39)

Faktor protektif merupakan faktor yang memberikan penjelasan bahwa tidak semua remaja yang mempunyai faktor risiko akan mengalami masalah perilaku atau emosi, atau mengalami gangguan jiwa tertentu (Bradley & Hayes, 2007). Rutter (1987), menjelaskan bahwa faktor protektif merupakan faktor yang memodifikasi, merubah, atau menjadikan respons seseorang menjadi lebih kuat menghadapi berbagai macam tantangan yang datang dari lingkungannya. Faktor protektif ini akan berinteraksi dengan faktor risiko dengan hasil akhir berupa terjadi atau tidaknya masalahperilaku atau emosi, atau gangguan mental di kemudian hari (Bradley & Hayes, 2007)

Faktor protektif terdiri dari : (1) Faktor individu, (2) Faktor keluarga (3) Faktor sekolah, (4) Faktor peristiwa hidup, (5) Faktor sosial. Faktor individu terdiri dari temperamen mudah (easy child), kemampuan sosial dan emosional yang baik, gaya hidup optimistik. Keharmonisan keluarga, dukungan keluarga, hubungan kekeluargaan yang tinggi dapat merupakan faktor protektif dari keluarga. Suasana sekolah yang kondusif atau positif menimbulkan rasa memiliki dan hubungan yang baik dengan pihak sekolah. Dukungan selalu diberikan bila dibutuhkan saat menghadapi peristiwa hidup. Berpartisipasi dalam organisasi, kecukupan ekonomi, kekuatan sosial budaya berperan mengurangi masalah emosi dan perilaku remaja (DSG,2015).

(40)

14

upaya penyesuaian diri remaja, (4)Ketrampilan sosial yang baik, (5) Tingkat intelektual yang baik.

Menurut Erickson (dalam Wiguna, 2010) dengan memperkuat faktor protektif dan menurunkan faktor risiko pada seorang remaja, maka akan tercapailah kematangan kepribadian dan kemandirian sosial yang ditandai oleh : (1) Self awareness, yang ditandai dengan rasa keyakinan diri serta kesadaran akan kekurangan dan kelebihan diri dalam konteks hubungan interpersonal yang positif. (2) Role of anticipation and role of experimentation, yaitu dorongan untuk mengantisipasi peran positif tertentu dalam lingkungannya, serta adanya keberanian untuk bereksperimen dengan perannya tersebut yang tentunya disertai kesadaran akan kelebihan dan kekurangan yang ada dalam dirinya. (3) Aprenticeship, yaitu kemauan untukbelajar dari orang lain untuk meningkatkan kemampuan/keterampilan dalam belajar dan berkarya.

2.2.3 Deteksi dini masalah emosional dan perilakupada remaja

Pencegahan dan penanganan masalah emosional dan perilaku secara tepat sejak dini diharapkan dapat membantu remaja untuk perkembangan yang lebih baik bagi masa depannya. Beberapa instrument yang dapat digunakan untuk menjaring masalah emosional adalah Pediatric Symtom Checklist (PSC ), Strength and Difficulties Questionaire (SDQ),Childs Bahaviour Checklist (CBCL),Children Social Behaviour Questionnaire (CSBQ) dan Computer Based Screening for Adolescent (CBSA) (Damayanti, 2011).

(41)

hubungan sosial anak dan remaja (3-17 tahun). SDQ memberikan banyak informasi dan berguna untuk memberikan gambaran singkat dari perilaku anak dan remaja yang berfokus pada kekuatan dan juga kesulitan mereka (Black et al, 2010). Kuesioner singkat sangat berguna ketika digunakan dalam survey berskala besar dimana item sebaiknya terbatas untuk memastikan adanya respon yang dicari (Ulleboet al, 2011).

Dahlan mengatakan instrumen skrining sebaiknya memiliki keunggulan relatif yang lebih dibanding metode assesmen lainnya, yaitu: (1) Lebih tidak invasif, (2) Tingkat risiko yang lebih rendah, (3) Tidak memerlukan keahlian khusus, (4) Lebih murah, (5).Waktu untuk memperoleh hasil bisa lebih cepat dan (6) Bisa mendeteksi gangguan lebih dini, tidak hanya mendeteksi gangguan pada tahap lanjut (Dahlan, 2009)

Kuesioner SDQ dapat diisi oleh anak (self reporting) yang sudah dapat memahami maksud pernyataan, biasanya usia diatas 11 tahun.SDQ pertama kali dikembangkan oleh Robert Goodman dan telah divalidasi dalam versi bahasa Indonesia oleh Tjhin Wiguna dan Yohana Hestyanti pada tahun 2005 (Goodman, 1997;Youthinmind, 2009).

(42)

16

skoring, 5) digunakan untuk melakukan deteksi dini, sehingga permasalahan pada anak dapat diketahui sedini mungkin dan memperoleh intervensi secepat mungkin (Dahlan, 2009).

SDQ terdiri dari tiga komponen, yaitu aspek psikologis, impact suplement

dan pertanyaan-pertanyaan follow up. Setiapitempada kuesioner dapat meliputi satu maupun ketiga komponen ini. SDQ versi bahasa Indonesia tidak meliputi

impact suplement. Penilaian SDQ terdapat 25 point penilaian aspek psikologi yang dibagi menjadi 5 (lima) subskala yaitu (1) subskala emotional symptom, (2) subskala conduct problem, (3) subskala hyperactivity-inattention, (4) subskala

peer problem dan (5) subskalaprososial. Subskalaprososial termasuk dalam kelompok subskala kekuatan, sedangkan subskala satu sampai empat merupakan masalah mental dan emosional (total difficuties score) (Goodman , 2003).

(43)

2.3 Pola Asuh Orang Tua

2.2.1 Pengertian pola asuh orang tua

Pengasuhan merupakan tanggung jawab terbesar para orang tua terhadap anak-anak remaja mereka. Pengasuhan anak mulai dari bayi hingga remaja tidak bisa dilakukan tanpa perencanaan yang baik. Tujuan pengasuhan adalah mempersiapkan moral dan spiritual anak guna menghadapi tantangan masa depan. Mentalitas yang baik akan menuntun perjalanan anak untuk selalu tegar dan kuat menantang dunianya, sedangkan spiritual yang baik akan menuntunperjalanan hidup anak senantiasa melakukan tindakan yang terpuji. Artinya menjauhkan diri dari perbuatan yang berpotensi melanggar etika,moral,norma-norma, menimbulkan pertentangan atau bertentangan dengan kepatutan sosial (Surbakti , 2008).

Menurut Diana Baumrid(1991)pola asuh orang tua atau perentyng style

merupakan proses interaksi antara anak dan orang tua dalam pembelajaran pendidikan yang nantinya sangat bermanfaat bagi aspek pertumbuhan dan perkembangan anak.

Menurut Rifa Hidayah (2009)pola asuh adalah perawatan, pendidikan dan pembelajaran yang diberikan orang tua terhadap anak mulai dari lahir hingga dewasa. Sedangkan menurut Theresia (2009)pola asuh adalah pola interaksi orang tua saat berinteraksi dengan anak termasuk cara penerapan aturan, mengajarkan nilai/norma, memberikan perhatian dan kasih sayang serta menunjukkan sikap dan perilaku baik sehingga dijadikan panutan bagi anaknya

(44)

18

atau cara orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Baumrind mengidentifikasikan tiga gaya orang tua yang bervariasi, meliputi tingkat kontrol orang tua terhadap anak, kejelasan komunikasi orang tua dan anak dan tuntutan orang tua kepada anak untuk menjadi matang(Djiwandono, 2002).

2.2.3 Dimensi pola asuh

Menurut Baumrind (dalam Stevens, 2008, ) pola asuh anak digambarkan dalam dua dimensi utama yaitu :

1. Dimensi responsiveness dan acceptance (Warmth)

Dimensi ini menggambarkan situasi atau keadaan dimana orang tua membantu perkembangan anak dan self-assertion dengan menyesuaikan dan mempertimbangkan permintaan anak. Meliputi kehangatan, memberikan dukungan dan komunikasi yang beralasan. Orangtua yang dominan dalam aspek ini menunjukkan sikap ramah, memberikan pujian, dan memberikan semangat ketika anak mengalami masalah. Hal ini membuat anak lebih mudah menerima dan menginternalisasikan standar nilai yang diberikan oleh orangtua. Sebaliknya, orangtua yang tidak dominan dalam aspek ini akan menunjukkan perilaku seolah-olah mereka tidak mencintai atau bahkan menolak kehadiran anak. Hal ini membuat anak merasa tidak perlu mencintai orangtuanya dan mudah mengalami stres.

2. Dimensi demandingness dan control (Striciness)

(45)

mereka memberikan batasan-batasan, menetapkan tuntutan dan harapan serta menunjukkan kekuasaannya pada anak. Kontrol orangtua ini berfungsi sebagai pelindung atau pencegah bagi anak dari perilaku-perilaku yang negatif. Orangtua menerapkan kontrol dalam tingkat relatif rendah akan kurang menuntut tanggung jawab anak, hanya sedikit memberikan pengawasan dan memberikan kebebasan kepada anak untuk mengeksploitasi lingkungannya secara tak terbatas. Sebaliknya, orangtua yang menerapkan kontrol dalam tingkatan tinggi akan membatasi kebebasan anak dengan menentukan banyak tuntutan yang disertai dengan pengawasan.

2.2.2. Jenis-jenis pola asuh orang tua

Berdasarkan kedua dimensi tersebut Baumrind membagi jenis-jenis pola asuh menjadi 4 jenis yaitu : (1) Pola asuh authoriter (autoritatarian parenting),

(2) Pola asuh autoritatif, (3) Pola asuh permissive (4) Pola asuh Neglectful.

(46)

20

Orang tua dengan pola asuhautoritatif memiliki batasan dan harapan yang jelas terhadap tingkah laku anak, mereka berusaha untuk menyediakan panduan dengan menggunakan alasan dan aturan dengan reward dan punishment yang berhubungan dengan tingkah laku anak secara jelas tetapi juga tetap menjalankan kedisiplinan yang tinggi dengan cara yang masuk akal, fleksibel dan terbuka. Orang tua sangat menyadari tanggung jawab mereka sebagai figur yang otoritas, mereka juga tanggap terhadap kebutuhan dan kemampuan anak. Pola asuh ini dapat menjadikan sebuah keluarga hangat, penuh penerimaan, mau saling mendengar, peka terhadap kebutuhan anak, mendorong anak untuk berperan serta dalam mengambil keputusan didalam keluarga. Anak dengan pola asuh ini berkompeten secara sosial, energik, bersahabat, ceria, memiliki keingintahuan yang besar dapat mengontrol diri, memiliki harga diri yang tinggi, serta memiliki prestasi yang tinggi (Baumrid, 2008).

(47)

Pola asuh neglectful, pola asuh dimana orang tua tidak terlihat aktif dalam kehidupan anak. Orang tua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan remaja(Baumrind, 2008). Remaja yang orang tuanya permissive dan tidak peduli biasanya tidak cakap secara sosial,mereka menunjukkan pengendalian diri yang buruk dan tidak menggunakan kebebasan dengan baik (Santrock, 2007) .

2.2.4 Pengukuran pola asuh (parenting style)

Berbagai alat ukur dikembangkan untuk mengukur pola asuh, diantaranya

Parental Authority Questionare (PAQ) yang dikembangkan oleh Buri pada tahun 1991. Skala ini dibuat berdasarkan teori Baumrind dimana pola asuh dibagi menjadi 3 jenis yaitu: authoriter, autoritatifdan permissive. PAQ berisi 30 pertanyaan yang dirancang untuk mengukur pola asuh kedua orang tua dalam otoritas dan penerapan disiplin yang dilakukan orang tua berdasarkan sudut pandang anak (Buri, 1991).

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan skala pola asuh autoritatif yang dibuat olehRustika (2014). Skala ini dipergunakan untuk menentukan taraf pola asuh autoritatif yang diterapkan oleh orang tua subjek penelitian, dikembangkan berdasarkan konsep Baumrind dan Cross (dalam Cross 2009), meliputi empat dimensi, yaitu: (1) Kehangatan interaksi orang tua dengan anak, (2) Tegas dalam mengarahkan perilaku anak, (3) Tanggap memenuhi kebutuhan kasih sayang anak, (4) Menetapkan perilaku yang diharapkan

2.3 Efikasi Diri

(48)

22

menentukan tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan termasuk didalamnya perkiraan berbagai kejadian yang akan dihadapi(Bandura, 1997).

2.3.1 Definisi

Efikasi diri (self efficacy)pertama kali diperkenalkan oleh Albert Bandura, efikasi diri merupakan masalah kemampuan yang dirasakan individu untuk mengatasi situasi khusus sehubungan dengan penilaian atas kemampuan untuk melakukan satu tindakan yang ada hubungannya dengan tugas khusus atau situasi tertentu.(Bandura, 1997).

Efikasi diri merupakan keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya dalam melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu(Feist & Feist, 1998).

(49)

kerendahan hati, kesetiaan, pengontrolan diri, keberanian, keadilan, kesabaran, kerajinan, kreatifitas dan kesederhanaan.

Efikasi berhubungan dengan pencapaian, karena pencapaian memerlukan sebuah target maka lahirlah sebuah ekspektasi sebagai bentuk penghargaan dalam mencapai target yang diinginkan. Ekspektasi hasil (outcome expectanties) adalah perkiraan atau estimasi diri bahwa tingkah laku yang dilakukan itu akan mencapai hasil tertentu. Efikasi adalah penilaian diri bagaimana individu menimbang setiapperbuatan yang akan dilakukan, baik dan benar, tepat atau salahnya untuk mendapatkan apa yang diekspektasikan. Bandura mengatakan ekspektasi menentukan perilaku atau kinerja dilakukan atau tidak, oleh karena itu ekspektasi sangat menentukan kontribusi pada perilaku bahkan juga menjadi penentu lama atau tidaknya suatu perilaku dapat dipertahankan dengan masalah. Individu dengan ekspektasi yang tinggi pasti mempunyai perilaku yang mencerminkan sebuah usaha untuk mencapai hal tersebut. Dengan rendahnya ekspektasi, maka individu akan berpikir untuk memberikan kontribusi terhadap sebuah usaha, rendahnya ekspektasi akan memberikan rendahnya tingkat partisipasi individu pada suatu aksi (Bandura, 1997).

2.3.2 Sumber dari Efikasi Diri

(50)

24

pembangkitan positif dapat meningkatkan perasaan atas efikasi diri. Adapun sumber-smber efikasi diri tersebut :

1. Pengalaman keberhasilan dan pencapaian prestasi (Enactive attainment and performance accomplishment) merupakan sumber efikasi diri yang penting, karena bersumber pada pengalaman keberhasilan individu itu sendiri. Pengalaman keberhasilan sangat mempengaruhi efikasi, dapat diambil garis besar bahwa keberhasilan meningkatkan efikasi sedangkan kegagalan akan menurunkan efikasi. Semakin meningkat efikasi individu, maka performanya akan semakin baik. Namun demikian keberhasilan dan kegagalan tidak langsung menghasilkan kenaikan dan penurunan terhadap efikasi diri. Perubahan pada efikasi dihasilkan dari perubahan kognitif yang didapat dari pemahaman terhadap kapabilitas yang mereka miliki setelah keberhasilan atau kegagalan yang dialami dievaluasi.Pada penelitian di Singapura pada 178 mahasiswa jurusan tehnik, ditemukan pengalaman diri sendiri merupakan prediktor utama akademik achievements (Low & Choy, 2013).

Menurut Bandura (dalam Alwisol, 2009) pencapaian keberhasilan akan memberikan dampak efikasi yang berbeda-beda, tergantung proses pencapaiannya: a. Semakin sulit tugasnya, keberhasilan akan membuat efikasi semakin tinggi b. Pekerjaan yang dikerjakan sendiri, lebih meningkatkan efikasi dibanding

kerja kelompok atau dibantu orang lain.

c. Kegagalan dapat menurunkan efikasi bila seseorang merasa telah berusaha sebaik mungkin.

(51)

e. Kegagalan yang terjadi pada individu yang memiliki efikasi yang kuat, dampaknya tidak seburuk bila kegagalan itu terjadi pada seseorang yang keyakinan efikasinya belum kuat.

f. Seseorang yang biasa berhasil, bila sesekali mengalami kegagalan tidak mempengaruhi efikasi.

2. Pengalaman orang lain (Vicarious Experience), yaitu mengamati perilaku dan pengalaman orang lain sebagai proses belajar individu. Kapabilitas seseorang tidak hanya dapat dipelajari melalui pengalaman-pengalaman keberhasilan yang telah dicapai. Membandingkan pengalaman orang lain dengan pengalaman pribadi yang memiliki kemiripan dapat membentuk efikasi pada individu. Proses pengambilan sosial ini karena terdapat kekurangan kemampuan diri untuk menilai secara mandiri kapabilitas yang dimiliki, oleh karena itu proses modeling dilakukan dengan pemikiran bahwa apabila orang lain dapat melakukannya, maka individu itupun dapat melakukannya. Seberapa mirip model dengan individu akan mempengaruhi tingkat efikasi yang dicapai.

3. Persuasi verbal (Verbal persuasion), yaitu individu mendapatkan bujukan atau sugesti untuk percaya bahwa ia dapat mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapinya. Persuasi verbal dapat mengarahkan individu untuk berusaha lebih gigih mencapai tujuan dan kesuksesan. Akan tetapi efikasi diri yang tumbuh dengan cara ini biasanya tidak berlangsung lama, apalagi kemudian individu mengalamai peristiwa traumatis yang tidak menyenangkan.

(52)

26

diri, orang akan cepat menyimpulkan kelelahan, rasa sakit dan perubahan suasana hati sebagai petunjuk tentang efikasi diri. Dalam kaitannya dengan keadaan fisiologis dan suasana hati, efikasi diri dapat meningkat apabila kondisi tubuh meningkat, stres menurun, emosi-emosi negatif berkurang, ada koreksi terhadap keadaan tubuh. Pada waktu sedih penilaian terhadap diri cenderung rendah. Penilaian diri akan positif (taraf efikasi diri tinggi) pada suasana hati gembira, penilaian diri akan negatif (taraf efikasi diri rendah) pada waktu suasana hati sedih.. Mengalami keberhasilan pada waktu suasana hati gembira akan menimbulkan efikasi diri tinggi, sedangkan saat mengalami kegagalan pada waktu suasana hati sedih akan menimbulkan efikasi diri rendah. Orang yang gagal dalam situasi hati gembira cenderung overestimate terhadap kemampuannya, sedangkan orang yang sukses dalam suasana hati sedih cenderung underestimate terhadap kemampuannya (Bandura, 1997).

(53)

Tabel 2. 1 Strategi Pengubahan Sumber Efikasi

Sumber Cara Induksi

Pengalaman Performasi

Partisipant Modeling Meniru model yang berprestasi

Performance desensilization

Menghilangkan pengaruh buruk prestasi masa lalu

Performance Exposure Menonjolkan keberhasilan yang

pernah diraih

Self instructed Melatih diri untuk melakukan

yang terbaik

Pengalaman Vikarius Live modeling Mengamati model yang nyata

Symbolic Modeling Mengamati model simbolik,

film,kronik,cerita

Persuasi Verbal Sugestion Mempengaruhi dengan kata-kata berdasar kepercayaan

Exhortation Nasihat, peringatan yang

mendesak/memaksa

Self-instruction Memerintah diri sendiri

Intrepretive Treatment Interprestasi baru memperbaiki interprestasi lama yang salah Pembangkitan Emosi Attribution Mengubah atribusi,

penanggungjawab suatu kejadian emosional

Relaxation biofeedback Relaksasi

Symbolic desensilization Menghilangkan sikap

emosional dengan modeling simbolik

Symbolic Exposure Memunculkan emosi secara

(54)

28

Efikasi yang tinggi atau rendah, dikombinasikan dengan lingkungan yang responsif atau tidak responsif akan menghasilkan empat kemungkinan prediksi tingkah laku yang dapat digambarkan seperti pada Tabel 2.2(Alwisol, 2009).

Tabel 2.2 Prediksi Tingkah Laku hasil kombinasi efikasi diri dengan lingkungan

Efikasi Lingkungan Prediksi hasil tingkah laku

Tinggi Responsif Sukses, melaksanakan tugas yang sesuai dengan kemampuannya

Rendah Tidak responsif Depresi, melihat orang lain sukses pada tugas yang dianggapnya sulit

Tinggi Tidak responsif Berusaha keras mengubah lingkungan menjadi responsif,melakukan protes, aktivitas sosial, bahkan memaksakan perubahan

Rendah Responsif Orang menjadi apatis, pasrah, merasa tidak mampu

Di sadur dari Alwisol 2009

2.3.3 . Perkembangan efikasi individu

(55)

keras untuk mencapai performa yang berkelanjutan. Pola kausalitas ini akan terus berulang selama masa perkembangan individu.

Manusia lahir tanpa adanya kesadaran tentang konsep diri. Konsep diri dibentuk melalui pengalaman sosial pada lingkungannya. Semakin berkembangnya kesadaran, memahami bahwa setiap aksi menghasilkan respon dari lingkungannya, dan melalui aksi ini manusia mempelajari konsep dirinya. Individu yang mengalami pengalaman secara langsung, segala efek yang timbul dari setiapperbuatan menjadi pembelajaran dalam membentuk diri seseorang. Lingkungan berperan dalam memberikan umpan balik terhadap setiap aksi yang dilakukan. Kesadaran terhadap hubungan antara aksi dan efek menghasilkan keinginan pada setiap individu untuk memastikan sebuah kejadian dapat terjadi. Keadaan ini menghasilkan kemampuan untuk mengontrol kapabilitas diri sebagai model untuk melakukan sebuah aksi untuk mencapai efek yang diinginkan(Bandura, 1997).

(56)

30

keluarga, anak dapat belajar sejauh mana kapabilitas yang dimilikinya. Peran teman sebaya dalam membentuk dorongan sosial sangat besar, terkait dengan penerimaan diri dan popularitas(Bandura, 1997).

Sekolah berperan membentuk penerimaan sosial dan diri pada anak. Sekolah juga merupakan tempat anak mengembangkan kompetensi dirinya, baik kognitif, afektif dan psikomotorik. Di sekolah efikasi anak dibentuk melalui banyak cara seperti kompetensi intelektual, modeling anak terhadap gurunya, interaksi anak dengan teman sebayanya, dan mempelajari bagaimana teman-temannya mendapatkan kesuksesan dan kegagalan. Kompleksitas unsur disekolah membentuk motivasi untuk mencapai prestasi akademik, mengembangkan minat pada bidang-bidang akademik dan kebutuhan untuk menjadi populer diantara teman-teman sebaya. Tujuan utama dari pendidikan disekolah adalah kapabilitas pengontrolan diri. Pengontrolan diri membuat anak belajar menentukan tujuan yang akan dicapai dalam hidupnya, bagaimana mencapainya dan metode yang digunakan untuk menyelesaikan masalah ketika menghadapi sebuah tantangan(Bandura, 1997).

(57)

mendapatkan penguatan dan peningkatan efikasi melalui pengalaman yang nyata, remaja menggunakan pengalaman dan pengetahuan mereka untuk mengontrol diri mereka ketika berada dalam situai yang pelik melalui kesabaran dalam berusaha. Kesuksesan ini mengantarkan penguatan kepercayaan efikasi diri pada remaja(Bandura, 1997).

Pada masa dewasa, efikasi diri dibutuhkan untuk dapat menguasai masalah yang timbul dari dorongan sosial yang lebih besar. Interaksi dari faktor–faktor personal dan sosiokultural merupakan kontributor penting dalam perkembangan fase kehidupan seseorang. Individu yang dibentuk dengan baik pada masa anak-anak dan remaja, ketika memasuki masa dewasa akan memiliki efikasi diri yang tinggi tanpa adanya keraguan dalam diri mereka untuk menjalani kehidupan sesuai dengan apa yang ditargetkan(Bandura, 1997).

2.3.4 Komponen efikasi diri

Bandura (1997) mengungkapkan bahwa perbedaan efikasi diri pada setiap individu terletak pada tiga komponen, yaitu magnitude, strength dan generality.

Masing-masing mempunyai implikasi penting di dalam performasi.

(58)

32

2 Strength (kekuatan keyakinan), yaitu berkaitan dengan kekuatan pada keyakinan individu atas kemauannya. Harapan yang kuat dan mantappada individu akan mendorong untuk gigih dalam berupaya mencapai tujuan, walaupun mungkin belum memiliki pengalaman-pengalaman yang menunjang. Sebaliknya pengharapan yang lemah dan ragu-ragu akan kemampuan diri akan mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak menunjang. Dimensi ini biasanya berkaitan langsung dengan dimensi level, semakin tinggi level taraf kesulitan tugas, semakin lemah keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya. 3. Generality (generalitas) , dimensi ini berkaitan dengan cakupan luas bidang tingkah laku dimana individu merasa yakin terhadap kemampuannya. Individu dapat merasa yakin terhadap kemampuan dirinya, tergantung pada pemahaman kemampuan dirinya yang terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu atau pada serangkaian aktivitas dan situasi yang lebih luas dan bervariasi.

2.3.5 Proses yang mempengaruhi efikasi diri

Menurut Bandura (1997) proses psikologis yang turut berperan pada pembentukan efikasi diri dalam diri manusia yaitu proses kognitif, motivasi, afeksi dan proses pemilihan/seleksi.

1. Proses kognitif

(59)

kegagalan dan berbagai hal yang dapat menghambat terjadinya kesuksesan. Bentuk tujuan individu juga dipengaruhi oleh penilaian akan kemampuan diri. Semakin seseorang mempersepsikan dirinya mampu maka individu akan semakin membentuk usaha-usaha dalam mencapai tujuannya dan semakin kuat komitmen individu terhadaptujuannya.

2. Proses motivasi

Pada umumnya, motivasi seseorang dibangkitkan melalui kognitif. Individu memberikan dorongan/motivasi kepada dirinya sendiri dan mengarahkan tindakan melalui tahap-tahappemikiran sebelumnya. Kepercayaan akan kemampuan diri dapat mempengaruhi motivasi dalam beberapa hal yakni menentukan tujuan yang telah ditentukan individu, seberapa besar usaha yang dilakukan, seberapa kuat mereka menghadapi kesulitan-kesulitan dan ketahanan mereka dalam menghadapi kegagalan(Bandura, 1997).

(60)

34

ketiga, goal theory (teori tujuan), dimana dengan membentuk tujuan terlebih dahulu dapat meningkatkan motivasi.

4. Proses afektif

Proses afeksi merupakan proses pengaturan kondisi emosi dan reaksi emosional. Menurut Bandura (1997), keyakinan individu akan coping mereka turut mempengaruhi level stress dan depresi seseorang saat mereka menghadapi situasi yang sulit. Persepsi efikasi diri tentang kemampuan mengontrol situasi cenderung memikirkan hal-hal yang negatif. Individu yang merasa mampu mengontrol situasi cenderung tidak memikirkan hal-hal yang negatif. Individu yang merasa tidak mampu mengontrol situasi cenderung mengalami kecemasan yang tinggi, selalu memikirkan kekurangan mereka, memandang lingkungan sekitar penuh dengan ancaman, membesar-besarkan masalah kecil dan terlalu cemas pada hal-hal kecil yang sebenarnya jarang terjadi.

4. Proses seleksi

(61)

2.3.5 Karakteristik individu yang memiliki efikasi diri tinggi dan efikasi diri

rendah

Karakteristik individu yang memiliki efikasi diri tinggi adalah ketika individu tersebut merasa yakin bahwa mereka : (1) Mampu menangani secara efektif peristiwa dan situasi yang mereka hadapi (2) Tekun dalam menyelesaikan tugas-tugas,(3) Percaya pada kemampuan diri yang mereka miliki,(4) Memandang kesulitan sebagai tantangan bukan ancaman dan suka mencari situasi baru, (5) Menetapkan sendiri tujuan yang menantang dan meningkatkan komitmen yang kuat terhadap dirinya, (6) Menanamkan usaha yang kuat pada apa yang dilakukannya dan meningkatkan usaha saat menghadapi kegagalan, (7) Berfokus pada tugas dan memikirkan strategi dalam menghadapi kesulitan, (8) Cepat memulihkan rasa mampu setelah mengalami kegagalan, dan (9) Menghadapi stresor atau ancaman dengan keyakinan bahwa mereka mampu mengontrolnya (Bandura, 1997).

Individu yang memiliki efikasi diri yang rendah adalah: (1).Individu yang merasa tidak berdaya, cepat sedih, apatis ,cemas, menjauhkan diri dari tugas-tugas yang sulit, cepat menyerah saat menghadapi rintangan. (2).Aspirasi yang rendah dan komitmen yang lemah, beratnya tugas tersebut dan konsekuensi dari kegagalannya, serta lambat untuk memulihkan kembali perasaan mampu setelah mengalami kegagalan (Bandura, 1997).

2.3.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi efikasi diri

Gambar

Tabel 2. 1
Tabel 2.2 Prediksi Tingkah Laku hasil kombinasi efikasi diri dengan

Referensi

Dokumen terkait

Variabel peran guru sekolah merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan perilaku kesehatan gigi pada murid kelas VI MDIM Muhammadiyah Sei Kidaung Kota

Menurut Arikunto (2009:20) objek adalah segala sesuatu yang menjadi titik pusat pengamatan karena penilai menginginkan informasi tentang sesuatu tersebut. Yang menjadi objek

Faktor Penghambat Pelaksanaan Implementasi Ajaran Agama Islam Dalam Kerangka Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Klaten. Pertama, terkait dengan

menit Kemampuan menjawab dan menjelaskan pertanyaan dari dosen terkait bahan kajian/materi pelajaran melalui metode diskusi kelas dengan benar1.

BAB IV Pelaksanaan Peran Kepala Sekolah dalam Manajemen Kesiswaan Kasus di SMPIA 21 Solo Baru .Pembahasan dalam bab ini meliputi persiapan penelitian, pengumpulan data, analisis

bahwa instrumen internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Kurva IDF dari rumus intensitas hujan untuk berbagai periode ulang berdasarkan rumus Sherman ... Kurva IDF dari rumus intensitas hujan untuk berbagai periode

Penentuan kadar air berguna untuk mengetahui mutu dan daya simpan bahan sehingga terhindar dari pengaruh aktivitas mikroba serta digunakan sebagai koreksi rendemen minyak