• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN TERKAIT PENERBITAN KARTU IDENTITAS PENDUDUK SEMENTARA (KIPS) DI KECAMATAN DENPASAR BARAT.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EFEKTIVITAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN TERKAIT PENERBITAN KARTU IDENTITAS PENDUDUK SEMENTARA (KIPS) DI KECAMATAN DENPASAR BARAT."

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG

TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

TERKAIT PENERBITAN KARTU IDENTITAS

PENDUDUK SEMENTARA (KIPS) DI KECAMATAN

DENPASAR BARAT

AYU PUTU VIVI VIHARANI

NIM. 1203005079

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

ii

SKRIPSI

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG

TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

TERKAIT PENERBITAN KARTU IDENTITAS

PENDUDUK SEMENTARA (KIPS) DI KECAMATAN

DENPASAR BARAT

AYU PUTU VIVI VIHARANI

NIM. 1203005068

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

iii

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG

TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

TERKAIT PENERBITAN KARTU IDENTITAS

PENDUDUK SEMENTARA (KIPS) DI KECAMATAN

DENPASAR BARAT

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

AYU PUTU VIVI VIHARANI

NIM. 1203005079

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)
(5)
(6)
(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/

Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, skripsi yang berjudul

Efektivitas Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Administrasi

Kependudukan Terkait Penerbitan Kartu Identitas Penduduk Sementara (KIPS) Di Kecamatan Denpasar Barat” dapat diselesaikan sebagai tugas akhir mahasiswa sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

Melalui kesempatan ini tidak lupa penulis sampaikan rasa terima kasih

kepada berbagai pihak yang berperan dalam proses penyelesaian skripsi ini,

diantaranya:

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MH., Dekan Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, SH., MH., Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., MH., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

4. Bapak Dr. I Gede Yusa, SH., MH., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

5. Bapak I Ketut Suardita, S.H., M.H., Ketua Bagian Hukum Administrasi

(8)

viii

6. Bapak I Made Tjatrayasa, S.H., M.H., sebagai Pembimbing Akademik

yang telah membimbing penulis dari awal kuliah di Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

7. Bapak Dr. I Nyoman Suyatna, SH., MH., Dosen Pembimbing I atas

waktu, bimbingan, masukan, serta motivasinya selama penyelesaian

skripsi ini.

8. Bapak Cokorde Dalem Dahana, SH.,M.Kn., Dosen Pembimbing II atas

waktu, bimbingan, masukan, serta motivasi yang telah diberikan selama

penyelesaian skripsi ini.

9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang selama

ini telah mendidik dan membimbing penulis selama penulis menjalani

perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

10.Bapak dan Ibu Staf Pegawai Administrasi di lingkungan Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

11.Kedua Orang Tua saya Ayu Putu Lintarini dan Komang Widi Ardana,

adik saya Radhitya Andreyana, dan bibi saya Yunita Aryani atas doa dan

dukungan yang telah diberikan kepada penulis baik secara moral dan

materiil untuk memotivasi penulis dalam menyusun skripsi ini.

12.Kepada sahabat-sahabat penulis Avina Rismadewi, Ayu Ananda,

Anggiana, Ninda Anggita, Ayu Pande, Karina Putri, Ratna Ayu, dan

Wulan Virda, yang telah memberi motivasi dan dukungan, serta telah

menemani dari awal kuliah hingga menyelesaikan jenjang pendidikan

(9)

ix

13. Rekan-rekan angkatan 2012 Fakultas Hukum Universitas Udayana, serta

semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah

memberikan bantuan dalam menyelesikan skripsi ini.

Akhir kata, penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan

dalam penulisan hasil penelitian ini, meskipun demikian penulis tetap

bertanggung jawab terhadap isi skripsi ini dan berharap semoga skripsi ini

bermanfaat bagi semua pihak.

Denpasar, 19 Mei 2016

(10)

x DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Sampul Depan ... i

Halaman Sampul Dalam ... ii

Halaman Prasyarat Gelar Sarjana Hukum ... iii

Halaman Persetujuan Pembimbing Skripsi ... iv

Halaman Pengesahan Panitia Penguji Skripsi ………... v

Halaman Surat Pernyataan Keaslian ... vi

Kata Pengantar ... vii

Daftar Isi... x

Daftar Tabel………..……….. xiii

Abstrak ... xiv

Abstract... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Ruang Lingkup Masalah... 6

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 6

1.5 Tujuan Penelitian... 8

1.5.1 Tujuan Umum... 8

1.5.2 Tujuan Khusus... 8

(11)

xi

1.6.1 Manfaat Teoritis... 8

1.6.2 Manfaat Praktis... 9

1.7 Landasan Teoritis... 9

1.8 Metode Penelitian... 18

1.8.1 Jenis Penelitian... 18

1.8.2 Jenis Pendekatan... 19

1.8.3 Sifat Penelitian... 19

1.8.4 Sumber Data....………... 20

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data…... 22

1.8.6 Teknik Penentuan Sampel………...…… 23

1.8.7 Teknik Analisia Data………...………... 24

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENDUDUK…………... 25

2.1.Administrasi Kependudukan…...………... 25

2.2.Tinjauan Tentang Penduduk Pendatang………... 26

2.2.1 Pengertian Penduduk Pendatang………….……… 26

2.2.2 Macam-Macam Penduduk Pendatang..…...……… 29

2.2.3 Perbedaan Penduduk Pendatang dengan Penduduk Asli………... 31

2.3.Pengertian Kartu Identitas Penduduk Sementara………. 33

BAB III PROSES PENERBITAN KARTU IDENTITAS PENDUDUK SEMENTARA………..……… 35

(12)

xii

3.2.Pengurusan dan Penerbitan Kartu Identitas Penduduk

Sementara……… 38

BAB IV PENERBITAN KARTU IDENTITAS PENDUDUK SEMENTARA………... 51

4.1 Kewajiban Pemerintah Desa dan Kelurahan dalam Penerbitan Kartu Identitas Penduduk Sementara………... 51

4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerbitan Kartu Identitas Penduduk Sementara di Kecamatan Denpasar Barat.……… 55

BAB V PENUTUP ... 59

5.1 Simpulan ... 59

5.2 Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA………... 61

DAFTAR INFORMAN………... 65

(13)

xiii DAFTAR TABEL

Halaman

(14)

xiv ABSTRAK

Setiap penduduk yang berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan migrasi, wajib untuk mengurus dan memiliki dokumen kependudukan. Dokumen kependudukan ini berfungsi memberikan identitas bagi penduduk pendatang yang berada di daerah baru. Di Kecamatan Denpasar Barat, dokumen kependudukan bagi penduduk pendatang yang berkewarganegaran Indonesia dinamakan Kartu Identitas Penduduk Sementara (KIPS), dan hal tersebut wajib dimiliki oleh penduduk pendatang. Pengurusan dan penerbitan KIPS seharusnya tidak boleh dikenakan biaya, namun kenyataannya masih terdapat pelanggaran, dan hal tersebut telah menyalahi ketentuan dalam Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian hukum empiris. Peneliatian hukum empiris ini ditekankan pada penelitian terhadap efektivitas hukum yang membahas bagaimana hukum beroprasi dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam penyusunannya dilakukan dengan penelitian di lapangan melalui observasi dan wawancara sebagai data primer, dan didukung dengan sumber data sekunder.

Pengurusan dan penerbitan KIPS di Kecamatan Denpasar Barat secara praktek telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, namun masih terdapat faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap penerapan ketentuan undang-undang tersebut. Oleh karena itu, diharapkan adanya revisi terhadap kebijakan yang khusus mengatur mengenai KIPS ini, sehingga terdapat kepastian hukum terkait pengurusan dan penerbitan KIPS di Kecamatan Denpasar Barat.

(15)

xv

ABSTRACT

Any residents who were in the unitary State of the Republic of Indonesia are doing migration, obliged to take care of and have residency documents. This residency document function gives the identity of the entrant for the population residing in the area recently. In district West of Denpasar, the residency documents for residents of the indonesian entrants called a temporary resident identification card (KIPS), and it is owned by expatriate residents is mandatory. The management and publishing of KIPS should not be charged, but in fact there are still violations, and it would have been contrary to the Law Number 23 of 2006 About the residency Administration and the provisions of Act No. 24-2013 about changes in the Law Number 23 of 2006 About the residency Administration.

The type of research used in the preparation of this thesis is the empirical legal research. Law empirical research is emphasised in the study of the effectiveness of the law which discusses how the legal operations in the community. Therefore, the authors conducted with research in the field through observation and interviews as the primary data, and supported with secondary data sources.

The management and publishing of KIPS in Denpasar Western practices were in accordance with the Law Number 23 of 2006 About the residency Administration and the provisions of Act No. 24-2013 about changes in the Law Number 23 of 2006 About the administration of the Settlement, but there are still factors that led to the breach of the application of the provisions of the Act. Therefore, the expected presence of specific policies governing this, so there is KIPS rules which clearly sets out the arrangements and issuance of KIPS in district West of Denpasar.

(16)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang menduduki peringkat

kepadatan penduduk tertinggi tahun 2015. Berdasarkan CIA World Factbook tahun

2015, Indonesia menduduki peringkat nomor 4 penduduk terpadat di dunia, dengan

jumlah penduduk mencapai 255.993.674 jiwa.1 Dengan kepadatan penduduk yang

cukup tinggi, tentu banyak dampak yang ditimbulkan, seperti tingkat kemiskinan dan

angka pengangguran yang tinggi. Tidak hanya itu, peningkatan penduduk yang pesat

juga menimbulkan dampak yang negatif bagi lingkungan seperti semakin kurangnya

ketersediaan lahan karena kebutuhan penduduk akan tempat tinggal, hingga

kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh tingkat polusi yang tinggi dan limbah

yang berasal dari rumah tangga, pabrik, industri dan lain-lain.

Faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika perkembangan penduduk antara

lain2 : https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/print_id.html (diakses pada Kamis, 8 Oktober 2015 pukul 17:46 WITA).

2

(17)

2

Ketiganya merupakan faktor yang mempengaruhi dinamika perkembangan penduduk.

Mengenai faktor kematian (mortalitas) merupakan salah satu faktor yang dapat

menghambat pertumbuhan penduduk, namun faktor ini tidak terlalu dapat menekan

kepadatan penduduk karena faktor kematian merupakan hal yang terjadi secara

alamiah. Adapun faktor kelahiran (fertilitas) merupakan faktor alami yang

menyebabkan tingginya pertumbuhan penduduk, mengingat angka kelahiran di

Indonesia rata-rata setiap tahunnya mencapai 1,49 persen pertahun yang apabila

diakumulasikan dengan angka, maka kelahiran bayi di Indonesia menyentuh angka

4.880.951 orang pertahun3. Namun sekalipun kelahiran merupakan faktor alami yang

menyebabkan laju pertumbuhan semakin pesat, hal ini dapat ditangani dengan

program Keluarga Berencana (KB) untuk menekan adanya jumlah kelahiran yang

tinggi.

Selanjutnya, faktor yang mempengaruhi dinamika perkembangan penduduk

adalah migrasi. Migrasi adalah bagian dari mobilitas penduduk. Pada studi geografi,

mobilitas biasanya mengacu pada perpindahan atau pergerakan, maka dapat

dikatakan bahwa mobilitas penduduk adalah perpindahan dan/atau gerakan individu

maupun kelompok dari suatu daerah ke daerah lain. Mobilitas penduduk

dikategorikan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu mobilitas non-permanen dan

permanen. Mobilitas non-permanen ini biasanya seperti perjalanan wisata atau

3Indra Akuntono, 2015, Mengkhawatirkan, Angka Kelahiran di Republik Indonesia Tiap

Tahun Setara Jumlah Penduduk Singapura, dalam URL

:http://nasional.kompas.com/red/2015/09/29/13574351/Mengkhawatirkan.Angka.Kelahiran.di.RI.Tiap.

(18)

3

liburan, sedangkan mobilitas permanen merupakan perpindahan penduduk ke suatu

daerah dengan tujuan untuk menetap di daerah tersebut, atau dengan kata lain disebut

migrasi4.

Rozy Munir memberikan pengertian mengenai migrasi yaitu perpindahan

penduduk dengan tujuan menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas

politik atau negara atau batas administratif atau batas bagian suatu negara.5 Adapun

beberapa jenis migrasi antara lain seperti migrasi sirkuler, migrasi parsial, migrasi

masuk, migrasi keluar, dan yang paling sering terjadi yaitu urbanisasi dan

transmigrasi.

Adanya migrasi penduduk disebabkan oleh 2 faktor berupa faktor pendorong

dan faktor penarik. Faktor pendorong migrasi antara lain6 :

a. Makin berkurangnya sumber daya alam;

b. Menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal dikarenakan masuknya teknologi yang menggunakan mesin;

c. Adanya tekanan atau diskriminasi politik, agama, suku di daerah asal; d. Terjadinya ketidak cocokan dengan budaya atau kepercayaan di daerah asal; e. Alasan pekerjaan atau perkawinan yang menyebabkan tidak bisa

mengembangkan karier pribadi;

f. Timbulnya bencana alam seperti banjir, kebakaran saat kemarau, ataupun wabah penyakit.

Selanjutnya faktor-faktor penarik penyebab terjadinya migrasi antara lain7 :

a. Adanya rasa nyaman berada di tempat yang baru atau kesempatan untuk memasuki lapangan pekerjaan yang cocok;

b. Kesempatan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik;

4Munandar Soelaeman, op.cit, hlm. 79.

5Moh. Yasin, Rozy Munir, Dkk, 2000, Dasar-Dasar Demografi, Lembaga Demografi UI,

Jakarta, hlm. 115.

(19)

4

c. Kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi; d. Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan; e. Tarikan dari orang yang diharapkan sebagai tempat berlindung;

f. Adanya aktivitas kota besar seperti tempat hiburan dan pusat kebudayaan.

Berkaitan dengan migrasi, perlu diketahui bahwa setiap penduduk yang berada

di wilayah Negara Indonesia yang melakukan migrasi wajib untuk mengurus serta

memiliki dokumen kependudukan, yang dimaksud dalam hal ini merupakan kartu

identitas bagi pendatang. Bagi pendatang yang berada di Kecamatan Denpasar Barat,

salah satu dokumen kependudukan yang wajib untuk dimiliki adalah Kartu Identitas

Penduduk Sementara (selanjutnya disebut KIPS). Saat ini penerbitan KIPS memasuki

fase dilema, hal ini dikarenakan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2013) tidak ada menyebutkan mengenai pungutan biaya terkait penerbitan dokumen

kependudukan bagi penduduk di luar Kartu Tanda Penduduk (selanjutnya disebut

KTP). Namun kenyataannya bagi penduduk pendatang yang menetap sementara,

untuk mendapatkan KIPS justru dikenakan sejumlah biaya, hal ini tentu telah

menyalahi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 79A Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2013 yang dinyatakan bahwa, pengurusan dan penerbitan Dokumen

Kependudukan tidak dipungut biaya. Biaya yang dikenakan pun beragam, hal ini

dapat dilihat dari salah satu kutipan berita di website Tribun Bali yakni8 :

8

(20)

5

“… mengatakan pembayaran Kipem tidak sama, bahkan antara orang Bali

sekalipun. Untuk orang Bali, ada Rp 10 ribu, ada juga yang Rp 20 ribu per

kepala. Tapi untuk orang luar bali lebih mahal lagi, Rp 120 ribu per kepala”

Ketidaksesuaian antara ketentuan dalam Pasal 79A Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2013 dengan fakta yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, hal inilah yang

menjadi pokok penelitian ini. Berdasarkan latar belakang seperti yang diuraikan di

atas, maka peneliti ingin mengkaji tentang “Efektivitas Pelaksanaan

Undang-Undang Tentang Administrasi Kependudukan Terkait Penerbitan Kartu

Identitas Penduduk Sementara (KIPS) di Kecamatan Denpasar Barat”

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat

dikemukakan beberapa masalah yang menjadi pokok bahasan di dalam penulisan ini

anatara lain :

1. Bagaimana pengurusan dan penerbitan KIPS di Kecamatan Denpasar Barat

terkait dengan Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan ?

2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi proses penerbitan KIPS di

Kecamatan Denpasar Barat terkait dengan Undang-Undang tentang

(21)

6

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Untuk membatasi agar permasalahan yang dibahas tidak mencakup bidang

yang terlalu luas serta tidak menyimpang dari pokok permasalahan, maka diperlukan

batasan-batasan terhadap ruang lingkup pembahasan pada penulisan ini. Adapun

ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas antara lain :

1. Pengurusan dan penerbitan KIPS di Kecamatan Denpasar Barat terkait dengan

Undang-Undang tentng Administrasi Kependudukan.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penerbitan KIPS di Kecamatan

Denpasar Barat terkait dengan Undang-Undang tentang Administrasi

Kependudukan.

1.4. Orisinalitas

Sejuah ini penelitian tentang “Efektivitas Undang-Undang Tentang

Administrasi Kependudukan Terkait Penerbitan Kartu Identitas Penduduk

Sementara (KIPS) di Kecamatan Denpasar Barat” belum pernah dilakukan.

Secara spesifik tidak ada penelitian yang mengangkat mengenai pembuatan KIPS ini,

namun penulis menemukan penelitian sejenis dengan penelitian yang diajukan.

Penelitian tersebut dapat diuraikan dalam paparan di bawah :

1. Tesis oleh Yuliastuti Fajarsari dari Program Magister Ilmu Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta, tahun 2010, dengan judul

“Implementasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang

(22)

7

diuraikan permasalahan mengenai implementasi Undang-Undang No. 23

Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan di Kota Surakarta,

kesesuaian implementasi kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan

pendaftaran penduduk di Kota Surakarta dengan Undang-Undang No. 23

Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dan faktor-faktor yang

mempengaruhi efektif atau tidak efektifnya implementasi Undang-Undang

No. 23 Tahun 2006 berkaitan dengan pendaftaran penduduk di Kota

Surakarta.

2. Penelitian oleh Irfan Fajri dari Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus,

tahun 2012, dengan judul “Implementasi Program e-KTP Dalam Rangka

Tertib Administrasi Kependudukan Di Kabupaten Pati”. Dalam

penelitian tersebut diuraikan permasalahan mengenai implementasi program

e-KTP di Kabupaten Pati dalam rangka tertib administrasi kependudukan,

tanggapan masyarakat terhadap program e-KTP tersebut, dan kendala-kendala

yang timbul pada implementasi program e-KTP tersebut

3. Penelitian oleh Noviana Adibtasari dari Fakultas Hukum Universitas

Brawijaya, tahun 2014, dengan judul “Implementasi Pasal 7 Ayat (1) Huruf

C Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi

Kependudukan Terkait Kewenangan Walikota Untuk Melakukan

Pengaturam Teknis Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Di

Kota Malang”. Dalam penelitian tersebut diuraikan permasalahan mengenai

(23)

8

Administrasi Kependudukan di Kota Malang serta hambatan dan upaya yang

dapat dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan administrasi

kependudukan di Kota Malang.

1.5. Tujuan Penelitian

1.5.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas

Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan terkait penerbitan KIPS di

Kecamatan Denpasar Barat.

1.5.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengurusan dan penerbitan KIPS di Kecamatan

Denpasar Barat terkait dengan Undang-Undang tentang Administrasi

Kependudukan.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses

penerbitan KIPS di Kecamatan Denpasar Barat terkait dengan

Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan.

1.6. Manfaat Penelitian

1.6.1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai ilmu yang bermanfaat serta

(24)

9

bidang Hukum Kependudukan terkait keefektivitasan pelaksanaan

Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan.

1.6.2. Manfaat Praktis

1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat dan

Pemerintah Daerah khususnya bagi pemerintah desa dan kelurahan

dalam melakukan setiap tindakan terkait pengurusan dan penerbitan

KIPS.

2. Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran

untuk diadakannya penelitian lebih lanjut, serta dapat digunakan

sebagai bahan acuan pertimbangan, maupun penyempurnaan bagi

penelitian selanjutnya.

1.7. Landasan Teoritis

Sehubungan dengan penelitian yang diajukan, maka dipandang perlu untuk

membahas mengenai landasan teori yang digunakan. Beberapa teori yang digunakan

dalam penelitian ini antara lain :

1. Teori Negara Hukum

Istilah rechtsstaat yang diterjemahkan sebagai negara hukum oleh

Philipus M. Hadjon mulai populer di Eropa sejak abad ke-19. Cita negara hukum

itu untuk pertama kalinya dicetuskan oleh Plato dan kemudian pemikiran tersebut

dipertegas oleh Aristoteles. Menurut Aristoteles, yang memerintah dalam suatu

(25)

10

menentukan baik atau buruknya suatu hukum. Aristoteles juga mengemukakan

tiga unsur dari pemerintahan berkonstitusi yaitu9 :

1. Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum;

2. Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan

ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara

sewenang-wenang;

3. Pemerintahan berkonstitusi yang dilaksanakan atas kehendak rakyat.

Konsep rechtsstaat menurut Philipus M. Hadjon lahir dari suatu perjuangan

menentang absolutisme, sehingga sifatnya revolusioner. Adapun ciri-ciri

rechtsstaat adalah sebagai berikut :

1. Adanya Undang-Undang Dasar atau konstitusi yang memuat

ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat;

2. Adanya pembagian kekuasaan negara;

3. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.

Ciri-ciri rechtsstaat tersebut menunjukan bahwa ide mengenai rechtsstaat

adalah pengakuan dan perlidungan hak-hak asasi manusia yang bertumpu pada

prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya Undang-Undang Dasar memberikan

jaminan atas konstuitusional dan kebebasan tersebut. Pembagian kekuasaan

dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penumpukan kekuasaan dalam satu

tangan. Kekuasaan yang berlebihan yang yang dimiliki oleh seorang penguasa

9Ni’Matul Huda, 2005, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press,

(26)

11

cenderung bertindak mengekang kebebasan dan persamaan yang menjadi ciri

khas negara hukum.

Selain rechtsstaat terdapat istilah lain dari negara hukum yaitu rule of law.

Konsep rule of law dipelopori oleh A. V. Dicey, yang menurutnya ada 3 ciri-ciri

dari rule of law yaitu10 :

1. Supremasi hukum untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, discretionary authority yang luas dari pemerintah;

2. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court, hal ini berarti tidak ada orang yang berada di atas hukum dan tidak ada peradilan administrasi negara;

3. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan.

Bila dilihat dari kedua konsep negara hukum tersebut, baik rechtsstaat

maupun rule of law sama-sama menekankan pada kebebasan dan perlindungan

terhadap hak asasi manusia sebagai titik sentral untuk menentang

kesewenang-wenangan penguasa, sehingga sulit untuk menarik perbedaan yang hakiki dari

kedua konsep tersebut.

Merujuk pada kepustakaan Indonesia, terlepas dari penamaan Indonesia

sebagai negara hukum dengan sebutan rechsstaat atau rule of law, eksistensi

Indonesia sebagai negara hukum ditandai dengan beberapa unsur pokok, seperti

pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, pemerintahan

diselenggarakan berdasarkan undang-undang, persamaan di depan hukum, adanya

(27)

12

peradilan administrasi, dan unsur-unsur lainnya. Negara Indonesia menghendaki

keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat yang mengedepankan asas

kerukunan.11 Berdasarkan asas kerukunan, menurut Philipus M. Hadjon akan

berkembang elemen lain dari konsep negara hukum Pancasila, yaitu terjalinnya

hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara,

penyelesaian sengketa secara musyawarah sedangkan peradilan merupakan sarana

terakhir, dan hak-hak asasi manusia tidak hanya menekankan hak atau kewajiban

tetapi terjalin suatu keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Ciri berikutnya dari negara hukum Pancasila adalah menjamin setiap

orang untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya masing-masing.

Hal ini menunjukan adanya komitmen yang diberikan oleh negara kepada warga

negaranya untuk mengimplementasikan kebebasan dalam memeluk agama serta

beribadah sesuai keyakinan tanpa ada gangguan dari pihak lain. Kebebasan

memeluk agama serta beribadah ini juga diatur dalam Pasal 28E ayat (1) UUD

NRI 1945.

Karakteristik dari negara hukum Pancasila yang lain adalah asas

kekeluargaan sebagai bagian fundamental dalam penyelenggaraan

pemerintahan.12 Adanya asas kekeluargaan ini, memberikan kesempatan bagi

masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraannya sejauh tidak

menggangu hajat hidup orang banyak. Di samping itu, negara hukum Pancasila

11 Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi,

2008, PT Alumni, Bandung, hlm. 52.

(28)

13

juga mengedepankan prinsip persamaan sebagai unsur penting dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Bahkan secara konstutisional Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI

1945) memberikan landasan untuk menghargai dan menghayati prinsip

persamaan, hal ini tercermin dalam Pasal 28D UUD NRI 1945 yaitu :

1. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

2. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

3. Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

4. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.

Penegakan prinsip persamaan ini menjadi prasyarat untuk mendukung eksistensi

negara hukum Pancasila mengimplementasikan komitmennya dalam

menyejahterahkan kehidupan masyarakat sebagai misi penyelenggaraan

pemerintahan.

2. Teori Kewenangan

Dalam literatur ilmu hukum maupun ilmu pemerintahan sering ditemukan

istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Ketiganya memiliki pengertian

yang berbeda, namun satu sama lain saling berkaitan. Menurut Miriam Budiarjo

kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk

mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa

(29)

14

negara.13 Kekuasaan merupakan inti penyelenggaraan negara, agar kekuasaan

dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga negara itu

dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan dimana jabatan-jabatan itu diisi

oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan

konstruksi subyek kewajiban.

Disamping kekuasaan, terdapat kewenangan dan wewenang. Kedua istilah

tersebut sering disejajarkan, kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan

formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan tertentu yang diberikan oleh

undang-undang. Sedangkan wewenang hanya mengenai suatu (bagian) tertentu

saja dari kewenangan. Menurut P. Nicolai, dalam kewenangan terkandung hak

dan kewajiban yakni14 ;

Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu (yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum). Hak berisikan kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.

Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan

perundang-undangan dapat diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.

Mengenai atribusi, delegasi, dan mandat, H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt

mendefinisikan sebagai berikut15 :

13 Miriam Budiarjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.

35.

14 Ridwan H.R., 2011, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), PT Raja Grafindo Persada,

Jakarta, hlm. 99.

(30)

15

a. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursogaan, (Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan);

b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursogaan aan een ander, (Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya);

c. Mandaat : een bestuursogaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander, (Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya).

Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, mengetahui sumber dan cara

memperoleh wewenang organ pemerintahan sangat penting karena berkenaan dengan

pertanggungjawaban hukum dalam penggunaan wewenang. Setiap pemberian

kewenangan kepada pejabat pemerintahan tertentu, tersirat di dalamnya

pertanggungjawaban dari pejabat bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut tampak

bahwa wewenang yang diperoleh berdasarkan atribusi bersifat asli yang berasal dari

peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat

menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada. Kemudian

pada delegasi, tidak ada penciptaan wewenang, yang ada hanya pelimpahan

wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat yang lain. Sementara dalam hal

mandat, penerima mandat hanya bertindak untuk dan atas pemberi mandat.

3. Teori Penegakan Hukum

Hukum adalah sarana yang di dalamnya terkandung nilai-nilai atau

konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan, sosial, dan sebagainya.

Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan

(31)

16

usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan.16 Kemudian

menurut Soerjono Soekanto, secara konsepsional maka inti dan arti dari

penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang

terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan sikap

tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,

memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.17

Jika hakikat penegakan hukum adalah mewujudkan nilai-nilai atau

kaidah-kaidah yang memuat keadilan dan kebenaran, makan penegakan hukum bukan

saja menjadi tugas para penegak hukum yang telah dikenal secara konvensional,

tapi masyarakat pun dilibatkan di dalamnya. Penegakan hukum merupakan

sebuah proses, sehingga keberhasilan dari penegakan hukum tersebut dipengaruhi

oleh beberapa faktor. Menurut Soerjono Soekanto ada lima faktor yang

mempengaruhi penegakan hukum antara lain18 ;

1. Faktor hukumnya sendiri, yang dalam hal ini dibatasi oleh undang-undang; 2. Faktor penegakan hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan;

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

16 Satjipto Rahardjo, tanpa tahun terbit, Masalah Penegakan Hukum suatu Tinjauan Sosiologis,

Sinar Baru, bandung, hlm. 15.

17 Soerjono Soekanto, 2010, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 1.

(32)

17

Kelima faktor di atas saling berkaitan satu sama lain, karena merupakan

esensi serta tolok ukur dari sebuah penegakan hukum. Adapun Satjipto Rahardjo

mengemukakan pendapat bahwa agar hukum dapat berperan dengan baik di

masyarakat maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut19 :

1. Mengenal problem yang dihadapi sebaik-baiknya, termasuk dalam mengenali dengan seksama mengenai masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari penggarapan tersebut;

2. Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting dalam social engineering itu hendak diterapkan pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan majemuk seperti tradisional, odern, dan perencanaan. Pada tahap ini dipilih nilai-nilai sektor mana yang dipilih;

3. Membuat hipotesa dan memilih yang mana paling layak untuk digunakan; 4. Mengikuti jalannya penerapan hukum dan mengukur efek-efeknya.

Dalam suatu negara hukum, penegakan hukum adalah salah satu hal yang

sangat penting terutama apabila hal tersebut menyangkut masyarakat, maka

sangat diperlukan adanya pengawasan terhadap penegakan hukum guna

memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Oleh karena itu dalam suatu

penegakan hukum, untuk mecegah terjadinya kesewenang-wenangan atau bahkan

pelanggaran norma yang dilakukan oleh pemerintah, maka diperlukan adanya

pengawasan dan penegakan sanksi. Menurut Philipus M. Hadjon, instrument

penegakan Hukum Administrasi Negara meliputi pengawasan dan penegakan

sanksi.20 Pengawasan merupakan langkah preventif untuk memaksakan

kepatuhan, sedangkan pemberian sanksi merupakan langkah represif untuk

memaksakan kepatuhan. Jadi dapat dikatakan bahwa, pengawasan dalam suatu

(33)

18

penegakan hukum bertujuan agar pemerintah menjalankan tugasnya sesuai

norma-norma hukum, dan apabila hal tersebut dilanggar maka upaya represif

melalui pemberian sanksi akan dilakukan untuk mengembalikan keadaan seperti

sebelum pelanggaran norma itu terjadi.

1.8. Metode Penelitian

1.8.1. Jenis Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum

empiris.Penelitian hukum empiris adalah penelitian hukum menyangkut

pemberlakuan atau implementasi hukum normatif pada setiap hukum tertentu.21

Peneliatian empiris ini ditekankan pada penelitian terhadap efektivitas hukum.

Penelitian terhadap efektivitas hukum merupakan penelitian yang membahas

bagaimana hukum beroprasi dalam masyarakat.22 Adapun faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat antara lain23 :

1. Kaidah hukum/peraturan itu sendiri;

2. Petugas/penegak hukum;

3. Sarana/fasilitas yang digunakan oleh penegakan hukum;

4. Kesadaran masyarakat.

1.8.2. Jenis Pendekatan

21Abdukadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, hlm. 134.

22 H. Zainuddin Ali, 2014, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Kelima, Sinar Grafika, Jakarta,

hlm. 31.

(34)

19

Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

1. Pendekatan Undang-Undang (The Statute Approach)

Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach), adalah pendekatan

dengan berdasarkan kepada perundang-undangan, norma hukum dalam

hukum positif Indonesia yang berkaitan dengan pembuatan KIPS di

Kecamatan Denpasar Barat. Dikatakan bahwa pendekatan

Perundang-undangan berupa legislasi dan regulasi yang dibentuk oleh lembaga Negara

atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.24

2. Pendekatan kasus (The Case Approach)

Pendekatan Kasus adalah melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang

berkaitan dengan isu yang di hadapi yang telah menjadi putusan yang telah

mempunyai kekuatan yang tetap.

1.8.3. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian bersifat deskriptif ini bertujuan

menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok

tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada

tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.25

24Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar MetodePenelitian Hukum, Rajawali Press,

Jakarta, hlm. 72.

25Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum

(35)

20

1.8.4. Sumber Data

Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris ada dua jenis yaitu data

primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian

lapangan yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama dilapangan

yaitu dari wawancara dengan para informan.26 Data ini di peroleh dengan

mengadakan penelitian secara langsung di lapangan melalui wawancara dengan

pihak-pihak yang bertanggung jawab dari instansi terkait yakni Kantor Kelurahan

Pemecutan, Kantor Desa Pemecutan Kelod, Kantor Desa Dauh Puri Kangin, Kantor

Desa Dauh Puri Klod, dan Kantor Kelurahan Padangsambian.

Sedangkan data sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian

kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya,

melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk

bahan-bahan hukum.27 Data sekunder dalam penelitian ini adalah :

a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan;

b. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan;

c. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2000 tentang

Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 6 Tahun 1996

(36)

21

tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dalam Kerangka

Sistem Informasi Manajemen Kependudukan (SIMDUK);

d. Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 470/1159/B.T.Pem Perihal

Pedoman Operasional Pendaftaran Penduduk di Provinsi Bali;

e. Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 470/7587/B.Tapem perihal

Pedoman Pendaftaran Penduduk Pendatang;

f. Keputusan Walikota Denpasar Nomor 593 Tahun 2000 tentang

Penertiban Penduduk Pendatang di Kota Denpasar;

g. Keputusan Walikota Denpasar Nomor 610 Tahun 2002 tentang

Perubahan Keputusan Walikota Denpasar Nomor 593 Tahun 2000

tentang Penertiban Penduduk Pendatang di Kota Denpasar;

h. Kesepakatan Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota Se-Bali Nomor

153 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Tertib Administrasi

Kependudukan di Provinsi Bali;

i. Keputusan Walikota Denpasar Nomor 585 Tahun 2002 tentang

Perubahan Lampiran Keputusan Walikota Denpasar Tanggal 13

Desember 2001 Nomor 1002 Tahun 2001 tentang Standarisasi

Pungutan Desa/Sumbangan Keluharan di Kota Denpasar;

j. Keputusan manggala Parum Bendesa Desa Pakraman Kota Denpasar

Nomor 005/PBDA/XI/2002 tentang Standarisasi Pungutan Desa

Pakraman atas Biaya Administrasi Penduduk Pendatang di Kota

(37)

22

k. Keputusan Bendesa Desa Pakraman Padangsambian Nomor

05/KEP/DP.Pds/14 tentang Kontribusi Biaya Ketertiban dan Keamanan

Sosial di Wilayah Desa Pakraman Padangsambian.

1.8.5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian hukum empiris dikenal teknik-teknik untuk mengumpulkan

data yaitu : studi dokumen, wawancara, observasi, dan penyebaran

kuisioner/angket.28 Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam skripsi

ini antara lain adalah :

a. Teknik Studi Dokumen

Studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap

penelitian ilmu hukum, baik dalam penelitian hukum normatif maupun

penelitian hukum empiris, karena meskipun aspeknya berbeda namun

keduanya adalah penelitian ilmu hukum yang selalu bertolak dari premis

normatif. Studi Dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan

dengan permasalahan penelitian.29

b. Teknik Wawancara (Interview)

Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim

digunakan dalam penelitian hukum empiris. Wawancara adalah salah satu

instrument mengumpulkan data dengan mengajukan sejumlah pertanyaan

yang di sampaikan secara lisan. Dalam kegiatan ilmiah, wawancara dilakukan

(38)

23

bukan sekedar bertanya pada seseorang, melainkan dilakukan

pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan

dengan masalah penelitian kepada responden maupun informan.

c. Teknik Observasi

Merupakan teknik pengumpulan data dengancara melakukan pengamatan atau

observasi dari peneliti.Pengamatan dalam penilitian ilmiah di tuntut harus

memenuhi syarat-syarat tertentu seperti validitas dan realibilitasnya, sehingga

hasil pengamatan sesuai dengan kenyataan yang menjadi sasaran

pengamatan.30

1.8.6. Teknik Penentuan Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang dianggap mewakili populasi atau

yang menjadi objek penelitian.31 Dalam penelitian ini, maka teknik pengambilan

sampel yang digunakan adalah teknik non probability sampling. Teknik non

probability sampling digunakan dalam hal32 :

- Data tentang populasi sangat langka atau tidak diketahui secara pasti jumlah

populasinya;

- Penelitian bersifat studi eksploratif atau deskriptif;

- Tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi tentang populasinya.

Teknik non probability sampling, dibagi menjadi empat macam yaitu, quota

sampling, accidental sampling, purposive sampling, dan snowball sampling.

30Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit, hlm.72. 31

H. Zainuddin Ali,op.cit.hlm. 98.

(39)

24

Penelitian ini menggunakan purposive sampling. Pengambilan sampel berdasarkan

purposive sampling dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel ditentukan

sendiri oleh peneliti yang mana pemilihan sampel didasarkan pada pertimbangan

bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang

merupakan ciri utama dari populasinya.

1.8.7. Teknik Analisa Data

Setelah data-data baik primer maupun sekunder yang dibutuhkan terkumpul,

maka bahan hukum tersebut akan diolah dan dianalisa dengan menggunakan teknik

pengolahan data secara kualitatif yaitu menguraikan data secara bermutu dalam

bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga

memudahkan pemahaman dan interprestasi data.33

Setelah melalui proses pengolahan dan analisa, selanjutnya data tersebut

disajikan secara deskriptif analisis yaitu penyajian yang menggambarkan secara

lengkap tentang aspek-aspek hukum permasalahan yang diteliti dan selanjutnya

dianalisa kebenarannya serta menyusun dan memilih data yang berkualitas untuk

menjawab permasalahan yang diajukan.34

33 Abdulkadir Muhammad, op.cit.hlm. 170.

34 Ronny Hanititijo Soemitro, 1990, Metodalogi Penelitian Hukum dan Jurimeter, Cet. IV,

(40)

25 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PENDUDUK

2.1.Administrasi Kependudukan

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2006), administrasi kependudukan adalah rangkaian penataan dan penertiban dalam

penerbitan dokumen dan Data Kependudukan melalui Pendaftaran Penduduk,

Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan serta

pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan dokumen kependudukan sebagaimana diatur

dalam Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 adalah dokumen

resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum

sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari pelayanan Pendaftaran Penduduk dan

Pencatatan Sipil. Terdapat beberapa jenis dokumen kependudukan sebagaimana

diatur dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 antara lain

biodata penduduk, Kartu Keluarga (selanjutnya disebut KK), KTP, surat keterangan

kependudukan, dan akta pencatatan sipil.

Sedangkan pengertian data kependudukan berdasarkan dalam Pasal 1 ayat (9)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 adalah data perseorangan dan/atau agregat

yang terstruktur sebagai hasil dari kegiatan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan

(41)

26

yang meliputi data perseorangan diatur dalam Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 24 tahun 2013 antara lain, nomor KK, NIK, nama lengkap, jenis kelamin,

tempat lahir, tanggal/bulan/tahun lahir, golongan darah, agama, status perkawinan,

status hubungan dalam keluarga, cacat fisik dan/atau mental, pendidikan terakhir,

jenis pekerjaan, NIK ibu kandung, nama ibu kandung, NIK ayah, nama ayah, alamat

sebelumnya, alamat sekarang, kepemilikan akta kelahiran, nomor akta kelahiran,

kepemilikan akta perkawinan, nomor akta perkawinan, tanggal perkawinan,

kepemilikan akta perceraian, nomor akta perceraian, tanggal perceraian, sidik jari, iris

mata, tanda tangan, dan elemen data lainnya yang merupakan aib seseorang.

Kemudian yang dimaksud data agregat diatur dalam Pasal 58 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013, meliputi data perseorangan yang berupa data

kuantitatif dan data kualitatif.

2.2.Tinjauan tentang Penduduk Pendatang

2.2.1.Pengertian Penduduk Pendatang

Salah satu unsur yang harus ada dalam sebuah negara adalah penduduk atau

masyarakat. Penduduk merupakan semua orang yang pada suatu waktu mendiami

wilayah negara.Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2006, penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan orang asing yang

bertempat tinggal di Indonesia. Kemudian, yang dimaksud dengan Warga Negara

Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23

(42)

27

yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara Indonesia. Selanjutnya

yang disebut sebagai orang asing sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (4)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, orang asing adalah orang bukan Warga Negara

Indonesia.

Secara sosiologis, penduduk dinamakan sebagai masyarakyat, yaitu

sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh suatu rasa persamaan dan yang

bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu. Menurut Soepomo, penduduk ialah

orang yang dengan sah bertempat tinggal tetap dalam suatu negara. Sah artinya tidak

bertentangan dengan ketentuan-ketentuan mengenai masuk dan mengadakan tempat

tinggal tetap dalam negara yang bersangkutan.35

Dalam ilmu kependudukan, penduduk memiliki pengertian yaitu jumlah orang

yang bertempat tinggal di suatu wilayah pada waktu tertentu dan merupakan hasil

dari proses demografi yaitu fertilitas, mortalitas, dan migrasi.36 Sehubungan dengan

migrasi, penduduk yang melakukan perpindahan ke suatu daerah yang baru,

penduduk itu disebut dengan penduduk pendatang. Bila dikaji melalui

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, tidak ada

dijelaskan mengenai penduduk pendatang, yang ada hanyalah penduduk, dan yang

meliputi penduduk adalah WNI dan orang asing. Jadi apabila dikaitkan dengan

konteks penduduk pendatang, maka dalam hal ini yang dapat dikatakan sebagai

penduduk pendatang adalah orang asing tersebut.

35

Soepomo dalam Trianto dan Titik Triwulan, 2007, Falsafah Negara dan Pendidikan

Kewarganegaraan,Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hlm. 177

(43)

28

Namun, pengertian mengenai penduduk pendatang tidak hanya terbatas pada

orang asing yang dalam hal ini bukan Warga Negara Indonesia, tetapi orang yang

merupakan Warga Negara Indonesia yang tinggal di suatu daerah asal kemudian

pindah ke daerah lain yang masih menjadi lingkup dari Negara Indonesia pun dapat

dikatakan sebagai penduduk pendatang di daerah barunya. Sehubungan dengan

pengertian penduduk pendatang, terdapat beberapa aturan yang mengatur mengenai

penduduk pendatang, dan memberikan pengertian mengenai penduduk pendatang

antara lain :

1. Berdasarkan Pasal 1 Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 470/1159/B.T.Pem

Perihal Pedoman Operasional Pendaftaran Penduduk di Propinsi Bali,

Tanggal 27 Pebruari 2002, penduduk pendatang adalah penduduk yang datang

akibat mutasi kepindahan dari luar daerah dan telah memenuhi syarat-syarat

yang telah ditetapkan;

2. Berdasarkan Pasal 1 Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 470/7587/B.Tapem

Perihal Pedoman Pendaftaran Penduduk Pendatang, Tanggal 14 Nopember

2002, penduduk pendatang adalah penduduk yang datang akibat mutasi

kepindahan antar Kabupaten/Kota atau Provinsi Bali.

3. Berdasarkan Pasal 1 huruf (a) Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan

Bupati/Walikota Se-Bali Nomor 153 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Tertib

Administrasi Kependudukan di Provinsi Bali, penduduk pendatang adalah

penduduk yang datang dari luar Provinsi Bali untuk tinggal menetap atau

(44)

29

Dari beberapa pengertian dari penduduk pendatang, maka dapat disimpulkan bahwa

penduduk pendatang adalah penduduk yang datang akibat mutasi kepindahan dari

luar daerah Provinsi Bali untuk tinggal menetap atau sementara, dengan telah

memenuhi syarat-syarat yang yang telah ditetapkan.

2.2.2.Macam-macam Penduduk Pendatang

Penduduk pendatang yang berada di Kota Denpasar dapat dibagi menjadi

beberapa jenis. Berdasarkan Pasal 2 Surat Edaran Gubernur Bali Nomor

470/7587/B.Tapem, penduduk pendatang terdiri atas WNI dan WNA yang dapat

dibedakan menjadi ;

 Pendatang menetap, yaitu pendatang dengan lama tinggal minimal tiga

tahun.

 Pendatang tinggal sementara, yaitu pendatang dengan lama tinggal

paling lama satu tahun.

Selanjutnya, berdasarkan Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan

Bupati/Walikota Se-Bali Nomor 153 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Tertib

Administrasi Kependudukan di Provinsi Bali, jenis penduduk pendatang dibedakan

menjadi penduduk pendatang tinggal sementara dan penduduk pendatang tinggal

menetap, yang dijelaskan sebagai berikut:

1. Pasal 1 huruf (b), penduduk pendatang tinggal sementara adalah Warga

(45)

30

tetapnya dengan Kartu Identitas Penduduk Sementara (KIPS) atau Surat

Tanda Pendaftaran Penduduk Tinggal Sementara (STPPTS);

2. Pasal 1 huruf (c), penduduk pendatang tinggal menetap terdiri atas :

- Pendatang dengan mempunyai pekerjaan tetap

- Pendatang yang mempunyai tempat tinggal tetap

- Mutasi/perpindahan TNI/Polri, PNS, mahasiswa dan pelajar

Yang dimaksud dengan pekerja tetap dalam hal ini diatur dalam Pasal 1 huruf

(d) yakni, pekerja tetap adalah pekerja yang bekerja dalam hubungan kerja

pada pengusaha dengan menerima upah/gaji atau bekerja sendiri dengan

memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal.

Kemudian yang dimaksud dengan tempat tinggal tetap dalam hal ini diatur

dalam Pasal 1 huruf (e) yakni, tempat tinggal tetap adalah tempat

tinggal/tempat kedudukan/alamat dari tempat mana seseorang melaksanakan

hak dan kewajiban keperdataannya sebagai penduduk baik yang menjadi hak

milik maupun hak pakai dengan bukti yang sah.

Selain ketentuan di atas, dijelaskan juga beberapa jenis penduduk pendatang

berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Keputusan Walikota Denpasar Nomor 593 Tahun 2000

tentang Penertiban Penduduk Pendatang Di Kota Denpasar, yakni :

Penduduk pendatang sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 ayat (1) terdiri dari :

(46)

31

d. Penduduk pendatang yang sudah secara pasti dan atau mempunyai pekerjaan tetap seperti TNI-POLRI, Pegawai Negeri Sipil dan karyawan BUMN atau BUMD;

e. Penduduk pendatang yang berstatus Pelajar atau Mahasiswa.

2.2.3.Perbedaan Penduduk Pendatang dan Penduduk Asli

Mengenai perbedaan antara penduduk pendatang dengan penduduk asli,

Undang-Undang Tentang Administrasi Kependudukan tidak ada menyebutkan

perbedaan antara keduanya, yang disebutkan hanya hak dan kewajiban penduduk,

jadi dalam hal ini, baik WNI maupun orang asing memiliki persamaan hak dan

kewajiban di bidang kependudukan. Adapun dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2006, yang dinyatakan bahwa, setiap penduduk mempunyai hak untuk

memperoleh :

a) Dokumen Kependudukan;

b) Pelayanan yang sama dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil;

c) Perlindungan atas Data Pribadi;

d) Kepastian hukum atas kepemilikan dokumen;

e) Informasi mengenai data hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil atas dirinya dan/atau keluarganya; dan

f) Ganti rugi dan pemulihan nama baik sebagai akibat kesalahan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil serta Penyalahgunaan Data Pribadi oleh Instansi Pelaksana.

Selanjutnya pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dijelaskan

mengenai kewajiban penduduk yakni,

“Setiap Penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan

Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan

memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan

(47)

32

Bila dikaitkan dengan penelitian ini, sekalipun terdapat perbedaan antara

penduduk pendatang dengan penduduk asli, maka perbedaan tersebut tidak secara

langsung dicantumkan dalam kebijakan pemerintah, tetapi dapat dibedakan dari

syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh penduduk pendatang apabila berkeinginan

untuk tinggal di Kota Denpasar. Syarat-syarat tersebut salah satunya diatur dalam

ketentuan Pasal 1 ayat (3) Keputusan Walikota Denpasar Nomor 610 Tahun 2002

tentang Perubahan Keputusan Walikota Denpasar Nomor 593 Tahun 2000 tentang

Penertiban Penduduk Pendatang (selanjutnya disebut Keputusan Walikota Denpasar

Nomor 610 Tahun 2002), yaitu :

Persyaratan penduduk pendatang sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah :

a. Menyerahkan foto copy KTP/Surat Keterangan Pindah; b. Memiliki penjamin;

c. Surat Keterangan Perjalanan dari Kepala Desa/Kelurahan daerah asal penduduk pendatang;

d. Keterangan keahlian/kemampuan/keterampilan penduduk pendatang dari Desa/Kelurahan dan atau Instansi yang berwenang di daerah asalnya;

e. Menyerahkan rekomendasi dari banjar Adat atas nama Desa Pakraman setempat.

Jika dilihat dari ketentuan tersebut, khususnya pada huruf b dan huruf e,

penduduk pendatang harus memiliki penjamin dan memiliki keterangan mengenai

keahlian/kemampuan/keterampilan apabila ingin menetap di Kota Denpasar.Kedua

hal tersebut tidak berlaku bagi penduduk asli. Penduduk asli tidak harus memiliki

penjamin hanya untuk menetap, namun penduduk pendatang wajib memiliki

penjamin, yang bertujuan sebagai penanggung jawab kepada pihak berwajib apabila

(48)

33

berlaku. Penduduk asli juga tidak perlu memiliki keterangan

keahlian/kemampuan/keterampilan, bahkan apabila tidak memiliki hal tersebut

penduduk asli tetap dapat menetap di daerahnya. Sedangkan bagi penduduk

pendatang, mereka wajib memiliki keterangan mengenai

keahlian/kemampuan/keterampilan, hal tersebut bertujuan agar penduduk pendatang

yang menetap tidak serta merta tinggal dan hanya menjadi pengangguran, namun

dapat bekerja sesuai dengan keahlian/kemampuan/keterampilan yang mereka miliki.

2.3.Pengertian Kartu Identitas Penduduk Sementara

Kartu Identitas Penduduk Sementara (KIPS) merupakan salah satu dokumen

kependudukan yang wajib dimiliki oleh penduduk pendatang sementara yang berada

di Kecamatan Denpasar Barat. Pengertian KIPS tercantum dalam Pasal 1 huruf (j)

Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota Se-Bali Nomor 153

Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Tertib Administrasi Kependudukan di Provinsi

Bali, yakni :

“Kartu Identitas Penduduk Sementara disingkat KIPS adalah dokumen

kependudukan sebagai bukti diri yang sah diberikan kepada penduduk

pendatang tinggal sementara.”

Berdasarkan dari ketentuan di atas, maka kepemilikan terhadap KIPS berlaku

bagi penduduk pendatang tinggal sementara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1

huruf (b) Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota Se-Bali

(49)

34

Provinsi Bali, yaitu Warga Negara Indonesia yang tinggal di luar domisili asli atau

tempat tinggal tetapnya dengan Kartu Identitas Penduduk Sementara (KIPS) atau

Surat Tanda Pendaftaran Penduduk Tinggal Sementara (STPPTS). Namun tidak

semua penduduk pendatang tinggal sementara mendapatkan KIPS, ada juga

penduduk pendatang tinggal sementara yang mendapatkan STPPTS dan itu berlaku

bagi penduduk pendatang tinggal sementara yang berasal dari luar Kota Denpasar

namun masih dalam Provinsi Bali. Hal tersebut diatur dalam Pasal 3 ayat (1)

Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota Se-Bali Nomor 153

Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Tertib Administrasi Kependudukan di Provinsi

Bali yang menyatakan bahwa,

“Pendaftaran pendudukan sementara lintas kabupaten/kota yang beridentitas

penduduk Provinsi Bali tidak diberikan KIPS, tetapi diberikan Surat Tanda

Pendaftaran Penduduk Tinggal Sementara (STPPTS), oleh Kepala Desa/Lurah

dengan melampirkan Surat Keterangan Bepergian dari Kepala Desa/Lurah

daerah asal.”

Dari ketentuan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa KIPS hanya berlaku

bagi penduduk pendatang sementara yang berkewarganegaraan Indonesia namun

berasal dari luar Provinsi Bali, sedangkan bagi penduduk pendatang yang

berkewarganegaraan Indonesia yang berasal dari Provinsi Bali namun di luar dari

Referensi

Dokumen terkait

PENGENDALIAN KOLOM DISTILASI PADA HYSYS MENGGUNAKAN ROBUST IMC PADA MATLAB DENGAN HMI PADA APLIKASI PEMROGRAMAN..

Implementasi deteksi wajah (face tracking) dan estimasi jarak pada realtime video menggunakan stereo vision camera yang diusulkan dapat bekerja untuk mendeteksi setiap obyek

Proses indentifikasi anak dengan orang tua dalam pembentukan harga diri seseorang. Keluarga adalah lingkungan pertama yang ditemui oleh individu dan menjadi

Warga Negara Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada

Bakat tidak akan berkembang manakala tidak didukung dengan program pendidikan yang sesuai. Sistem pengayaan dengan mengadakan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler menjadi

Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil di Kabupaten Tanah Laut sudah tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang

Bahwa Pemohon, Pihak Terkait pada akhirnya menilai bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013

Dengan Diundangkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dimana