i
SKRIPSI
EFEKTIVITAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG
TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
TERKAIT PENERBITAN KARTU IDENTITAS
PENDUDUK SEMENTARA (KIPS) DI KECAMATAN
DENPASAR BARAT
AYU PUTU VIVI VIHARANI
NIM. 1203005079
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
ii
SKRIPSI
EFEKTIVITAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG
TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
TERKAIT PENERBITAN KARTU IDENTITAS
PENDUDUK SEMENTARA (KIPS) DI KECAMATAN
DENPASAR BARAT
AYU PUTU VIVI VIHARANI
NIM. 1203005068
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
iii
EFEKTIVITAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG
TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
TERKAIT PENERBITAN KARTU IDENTITAS
PENDUDUK SEMENTARA (KIPS) DI KECAMATAN
DENPASAR BARAT
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
AYU PUTU VIVI VIHARANI
NIM. 1203005079
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/
Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, skripsi yang berjudul
“Efektivitas Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Administrasi
Kependudukan Terkait Penerbitan Kartu Identitas Penduduk Sementara (KIPS) Di Kecamatan Denpasar Barat” dapat diselesaikan sebagai tugas akhir mahasiswa sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
Melalui kesempatan ini tidak lupa penulis sampaikan rasa terima kasih
kepada berbagai pihak yang berperan dalam proses penyelesaian skripsi ini,
diantaranya:
1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MH., Dekan Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, SH., MH., Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., MH., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
4. Bapak Dr. I Gede Yusa, SH., MH., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
5. Bapak I Ketut Suardita, S.H., M.H., Ketua Bagian Hukum Administrasi
viii
6. Bapak I Made Tjatrayasa, S.H., M.H., sebagai Pembimbing Akademik
yang telah membimbing penulis dari awal kuliah di Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
7. Bapak Dr. I Nyoman Suyatna, SH., MH., Dosen Pembimbing I atas
waktu, bimbingan, masukan, serta motivasinya selama penyelesaian
skripsi ini.
8. Bapak Cokorde Dalem Dahana, SH.,M.Kn., Dosen Pembimbing II atas
waktu, bimbingan, masukan, serta motivasi yang telah diberikan selama
penyelesaian skripsi ini.
9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang selama
ini telah mendidik dan membimbing penulis selama penulis menjalani
perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
10.Bapak dan Ibu Staf Pegawai Administrasi di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
11.Kedua Orang Tua saya Ayu Putu Lintarini dan Komang Widi Ardana,
adik saya Radhitya Andreyana, dan bibi saya Yunita Aryani atas doa dan
dukungan yang telah diberikan kepada penulis baik secara moral dan
materiil untuk memotivasi penulis dalam menyusun skripsi ini.
12.Kepada sahabat-sahabat penulis Avina Rismadewi, Ayu Ananda,
Anggiana, Ninda Anggita, Ayu Pande, Karina Putri, Ratna Ayu, dan
Wulan Virda, yang telah memberi motivasi dan dukungan, serta telah
menemani dari awal kuliah hingga menyelesaikan jenjang pendidikan
ix
13. Rekan-rekan angkatan 2012 Fakultas Hukum Universitas Udayana, serta
semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan dalam menyelesikan skripsi ini.
Akhir kata, penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan
dalam penulisan hasil penelitian ini, meskipun demikian penulis tetap
bertanggung jawab terhadap isi skripsi ini dan berharap semoga skripsi ini
bermanfaat bagi semua pihak.
Denpasar, 19 Mei 2016
x DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Sampul Depan ... i
Halaman Sampul Dalam ... ii
Halaman Prasyarat Gelar Sarjana Hukum ... iii
Halaman Persetujuan Pembimbing Skripsi ... iv
Halaman Pengesahan Panitia Penguji Skripsi ………... v
Halaman Surat Pernyataan Keaslian ... vi
Kata Pengantar ... vii
Daftar Isi... x
Daftar Tabel………..……….. xiii
Abstrak ... xiv
Abstract... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 5
1.3 Ruang Lingkup Masalah... 6
1.4 Orisinalitas Penelitian ... 6
1.5 Tujuan Penelitian... 8
1.5.1 Tujuan Umum... 8
1.5.2 Tujuan Khusus... 8
xi
1.6.1 Manfaat Teoritis... 8
1.6.2 Manfaat Praktis... 9
1.7 Landasan Teoritis... 9
1.8 Metode Penelitian... 18
1.8.1 Jenis Penelitian... 18
1.8.2 Jenis Pendekatan... 19
1.8.3 Sifat Penelitian... 19
1.8.4 Sumber Data....………... 20
1.8.5 Teknik Pengumpulan Data…... 22
1.8.6 Teknik Penentuan Sampel………...…… 23
1.8.7 Teknik Analisia Data………...………... 24
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENDUDUK…………... 25
2.1.Administrasi Kependudukan…...………... 25
2.2.Tinjauan Tentang Penduduk Pendatang………... 26
2.2.1 Pengertian Penduduk Pendatang………….……… 26
2.2.2 Macam-Macam Penduduk Pendatang..…...……… 29
2.2.3 Perbedaan Penduduk Pendatang dengan Penduduk Asli………... 31
2.3.Pengertian Kartu Identitas Penduduk Sementara………. 33
BAB III PROSES PENERBITAN KARTU IDENTITAS PENDUDUK SEMENTARA………..……… 35
xii
3.2.Pengurusan dan Penerbitan Kartu Identitas Penduduk
Sementara……… 38
BAB IV PENERBITAN KARTU IDENTITAS PENDUDUK SEMENTARA………... 51
4.1 Kewajiban Pemerintah Desa dan Kelurahan dalam Penerbitan Kartu Identitas Penduduk Sementara………... 51
4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerbitan Kartu Identitas Penduduk Sementara di Kecamatan Denpasar Barat.……… 55
BAB V PENUTUP ... 59
5.1 Simpulan ... 59
5.2 Saran ... 60
DAFTAR PUSTAKA………... 61
DAFTAR INFORMAN………... 65
xiii DAFTAR TABEL
Halaman
xiv ABSTRAK
Setiap penduduk yang berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan migrasi, wajib untuk mengurus dan memiliki dokumen kependudukan. Dokumen kependudukan ini berfungsi memberikan identitas bagi penduduk pendatang yang berada di daerah baru. Di Kecamatan Denpasar Barat, dokumen kependudukan bagi penduduk pendatang yang berkewarganegaran Indonesia dinamakan Kartu Identitas Penduduk Sementara (KIPS), dan hal tersebut wajib dimiliki oleh penduduk pendatang. Pengurusan dan penerbitan KIPS seharusnya tidak boleh dikenakan biaya, namun kenyataannya masih terdapat pelanggaran, dan hal tersebut telah menyalahi ketentuan dalam Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian hukum empiris. Peneliatian hukum empiris ini ditekankan pada penelitian terhadap efektivitas hukum yang membahas bagaimana hukum beroprasi dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam penyusunannya dilakukan dengan penelitian di lapangan melalui observasi dan wawancara sebagai data primer, dan didukung dengan sumber data sekunder.
Pengurusan dan penerbitan KIPS di Kecamatan Denpasar Barat secara praktek telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, namun masih terdapat faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap penerapan ketentuan undang-undang tersebut. Oleh karena itu, diharapkan adanya revisi terhadap kebijakan yang khusus mengatur mengenai KIPS ini, sehingga terdapat kepastian hukum terkait pengurusan dan penerbitan KIPS di Kecamatan Denpasar Barat.
xv
ABSTRACT
Any residents who were in the unitary State of the Republic of Indonesia are doing migration, obliged to take care of and have residency documents. This residency document function gives the identity of the entrant for the population residing in the area recently. In district West of Denpasar, the residency documents for residents of the indonesian entrants called a temporary resident identification card (KIPS), and it is owned by expatriate residents is mandatory. The management and publishing of KIPS should not be charged, but in fact there are still violations, and it would have been contrary to the Law Number 23 of 2006 About the residency Administration and the provisions of Act No. 24-2013 about changes in the Law Number 23 of 2006 About the residency Administration.
The type of research used in the preparation of this thesis is the empirical legal research. Law empirical research is emphasised in the study of the effectiveness of the law which discusses how the legal operations in the community. Therefore, the authors conducted with research in the field through observation and interviews as the primary data, and supported with secondary data sources.
The management and publishing of KIPS in Denpasar Western practices were in accordance with the Law Number 23 of 2006 About the residency Administration and the provisions of Act No. 24-2013 about changes in the Law Number 23 of 2006 About the administration of the Settlement, but there are still factors that led to the breach of the application of the provisions of the Act. Therefore, the expected presence of specific policies governing this, so there is KIPS rules which clearly sets out the arrangements and issuance of KIPS in district West of Denpasar.
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang menduduki peringkat
kepadatan penduduk tertinggi tahun 2015. Berdasarkan CIA World Factbook tahun
2015, Indonesia menduduki peringkat nomor 4 penduduk terpadat di dunia, dengan
jumlah penduduk mencapai 255.993.674 jiwa.1 Dengan kepadatan penduduk yang
cukup tinggi, tentu banyak dampak yang ditimbulkan, seperti tingkat kemiskinan dan
angka pengangguran yang tinggi. Tidak hanya itu, peningkatan penduduk yang pesat
juga menimbulkan dampak yang negatif bagi lingkungan seperti semakin kurangnya
ketersediaan lahan karena kebutuhan penduduk akan tempat tinggal, hingga
kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh tingkat polusi yang tinggi dan limbah
yang berasal dari rumah tangga, pabrik, industri dan lain-lain.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika perkembangan penduduk antara
lain2 : https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/print_id.html (diakses pada Kamis, 8 Oktober 2015 pukul 17:46 WITA).
2
2
Ketiganya merupakan faktor yang mempengaruhi dinamika perkembangan penduduk.
Mengenai faktor kematian (mortalitas) merupakan salah satu faktor yang dapat
menghambat pertumbuhan penduduk, namun faktor ini tidak terlalu dapat menekan
kepadatan penduduk karena faktor kematian merupakan hal yang terjadi secara
alamiah. Adapun faktor kelahiran (fertilitas) merupakan faktor alami yang
menyebabkan tingginya pertumbuhan penduduk, mengingat angka kelahiran di
Indonesia rata-rata setiap tahunnya mencapai 1,49 persen pertahun yang apabila
diakumulasikan dengan angka, maka kelahiran bayi di Indonesia menyentuh angka
4.880.951 orang pertahun3. Namun sekalipun kelahiran merupakan faktor alami yang
menyebabkan laju pertumbuhan semakin pesat, hal ini dapat ditangani dengan
program Keluarga Berencana (KB) untuk menekan adanya jumlah kelahiran yang
tinggi.
Selanjutnya, faktor yang mempengaruhi dinamika perkembangan penduduk
adalah migrasi. Migrasi adalah bagian dari mobilitas penduduk. Pada studi geografi,
mobilitas biasanya mengacu pada perpindahan atau pergerakan, maka dapat
dikatakan bahwa mobilitas penduduk adalah perpindahan dan/atau gerakan individu
maupun kelompok dari suatu daerah ke daerah lain. Mobilitas penduduk
dikategorikan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu mobilitas non-permanen dan
permanen. Mobilitas non-permanen ini biasanya seperti perjalanan wisata atau
3Indra Akuntono, 2015, Mengkhawatirkan, Angka Kelahiran di Republik Indonesia Tiap
Tahun Setara Jumlah Penduduk Singapura, dalam URL
:http://nasional.kompas.com/red/2015/09/29/13574351/Mengkhawatirkan.Angka.Kelahiran.di.RI.Tiap.
3
liburan, sedangkan mobilitas permanen merupakan perpindahan penduduk ke suatu
daerah dengan tujuan untuk menetap di daerah tersebut, atau dengan kata lain disebut
migrasi4.
Rozy Munir memberikan pengertian mengenai migrasi yaitu perpindahan
penduduk dengan tujuan menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas
politik atau negara atau batas administratif atau batas bagian suatu negara.5 Adapun
beberapa jenis migrasi antara lain seperti migrasi sirkuler, migrasi parsial, migrasi
masuk, migrasi keluar, dan yang paling sering terjadi yaitu urbanisasi dan
transmigrasi.
Adanya migrasi penduduk disebabkan oleh 2 faktor berupa faktor pendorong
dan faktor penarik. Faktor pendorong migrasi antara lain6 :
a. Makin berkurangnya sumber daya alam;
b. Menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal dikarenakan masuknya teknologi yang menggunakan mesin;
c. Adanya tekanan atau diskriminasi politik, agama, suku di daerah asal; d. Terjadinya ketidak cocokan dengan budaya atau kepercayaan di daerah asal; e. Alasan pekerjaan atau perkawinan yang menyebabkan tidak bisa
mengembangkan karier pribadi;
f. Timbulnya bencana alam seperti banjir, kebakaran saat kemarau, ataupun wabah penyakit.
Selanjutnya faktor-faktor penarik penyebab terjadinya migrasi antara lain7 :
a. Adanya rasa nyaman berada di tempat yang baru atau kesempatan untuk memasuki lapangan pekerjaan yang cocok;
b. Kesempatan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik;
4Munandar Soelaeman, op.cit, hlm. 79.
5Moh. Yasin, Rozy Munir, Dkk, 2000, Dasar-Dasar Demografi, Lembaga Demografi UI,
Jakarta, hlm. 115.
4
c. Kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi; d. Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan; e. Tarikan dari orang yang diharapkan sebagai tempat berlindung;
f. Adanya aktivitas kota besar seperti tempat hiburan dan pusat kebudayaan.
Berkaitan dengan migrasi, perlu diketahui bahwa setiap penduduk yang berada
di wilayah Negara Indonesia yang melakukan migrasi wajib untuk mengurus serta
memiliki dokumen kependudukan, yang dimaksud dalam hal ini merupakan kartu
identitas bagi pendatang. Bagi pendatang yang berada di Kecamatan Denpasar Barat,
salah satu dokumen kependudukan yang wajib untuk dimiliki adalah Kartu Identitas
Penduduk Sementara (selanjutnya disebut KIPS). Saat ini penerbitan KIPS memasuki
fase dilema, hal ini dikarenakan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2013) tidak ada menyebutkan mengenai pungutan biaya terkait penerbitan dokumen
kependudukan bagi penduduk di luar Kartu Tanda Penduduk (selanjutnya disebut
KTP). Namun kenyataannya bagi penduduk pendatang yang menetap sementara,
untuk mendapatkan KIPS justru dikenakan sejumlah biaya, hal ini tentu telah
menyalahi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 79A Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2013 yang dinyatakan bahwa, pengurusan dan penerbitan Dokumen
Kependudukan tidak dipungut biaya. Biaya yang dikenakan pun beragam, hal ini
dapat dilihat dari salah satu kutipan berita di website Tribun Bali yakni8 :
8
5
“… mengatakan pembayaran Kipem tidak sama, bahkan antara orang Bali
sekalipun. Untuk orang Bali, ada Rp 10 ribu, ada juga yang Rp 20 ribu per
kepala. Tapi untuk orang luar bali lebih mahal lagi, Rp 120 ribu per kepala”
Ketidaksesuaian antara ketentuan dalam Pasal 79A Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2013 dengan fakta yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, hal inilah yang
menjadi pokok penelitian ini. Berdasarkan latar belakang seperti yang diuraikan di
atas, maka peneliti ingin mengkaji tentang “Efektivitas Pelaksanaan
Undang-Undang Tentang Administrasi Kependudukan Terkait Penerbitan Kartu
Identitas Penduduk Sementara (KIPS) di Kecamatan Denpasar Barat”
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat
dikemukakan beberapa masalah yang menjadi pokok bahasan di dalam penulisan ini
anatara lain :
1. Bagaimana pengurusan dan penerbitan KIPS di Kecamatan Denpasar Barat
terkait dengan Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan ?
2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi proses penerbitan KIPS di
Kecamatan Denpasar Barat terkait dengan Undang-Undang tentang
6
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Untuk membatasi agar permasalahan yang dibahas tidak mencakup bidang
yang terlalu luas serta tidak menyimpang dari pokok permasalahan, maka diperlukan
batasan-batasan terhadap ruang lingkup pembahasan pada penulisan ini. Adapun
ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas antara lain :
1. Pengurusan dan penerbitan KIPS di Kecamatan Denpasar Barat terkait dengan
Undang-Undang tentng Administrasi Kependudukan.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penerbitan KIPS di Kecamatan
Denpasar Barat terkait dengan Undang-Undang tentang Administrasi
Kependudukan.
1.4. Orisinalitas
Sejuah ini penelitian tentang “Efektivitas Undang-Undang Tentang
Administrasi Kependudukan Terkait Penerbitan Kartu Identitas Penduduk
Sementara (KIPS) di Kecamatan Denpasar Barat” belum pernah dilakukan.
Secara spesifik tidak ada penelitian yang mengangkat mengenai pembuatan KIPS ini,
namun penulis menemukan penelitian sejenis dengan penelitian yang diajukan.
Penelitian tersebut dapat diuraikan dalam paparan di bawah :
1. Tesis oleh Yuliastuti Fajarsari dari Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta, tahun 2010, dengan judul
“Implementasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang
7
diuraikan permasalahan mengenai implementasi Undang-Undang No. 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan di Kota Surakarta,
kesesuaian implementasi kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan
pendaftaran penduduk di Kota Surakarta dengan Undang-Undang No. 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dan faktor-faktor yang
mempengaruhi efektif atau tidak efektifnya implementasi Undang-Undang
No. 23 Tahun 2006 berkaitan dengan pendaftaran penduduk di Kota
Surakarta.
2. Penelitian oleh Irfan Fajri dari Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus,
tahun 2012, dengan judul “Implementasi Program e-KTP Dalam Rangka
Tertib Administrasi Kependudukan Di Kabupaten Pati”. Dalam
penelitian tersebut diuraikan permasalahan mengenai implementasi program
e-KTP di Kabupaten Pati dalam rangka tertib administrasi kependudukan,
tanggapan masyarakat terhadap program e-KTP tersebut, dan kendala-kendala
yang timbul pada implementasi program e-KTP tersebut
3. Penelitian oleh Noviana Adibtasari dari Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya, tahun 2014, dengan judul “Implementasi Pasal 7 Ayat (1) Huruf
C Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan Terkait Kewenangan Walikota Untuk Melakukan
Pengaturam Teknis Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Di
Kota Malang”. Dalam penelitian tersebut diuraikan permasalahan mengenai
8
Administrasi Kependudukan di Kota Malang serta hambatan dan upaya yang
dapat dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan administrasi
kependudukan di Kota Malang.
1.5. Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas
Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan terkait penerbitan KIPS di
Kecamatan Denpasar Barat.
1.5.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengurusan dan penerbitan KIPS di Kecamatan
Denpasar Barat terkait dengan Undang-Undang tentang Administrasi
Kependudukan.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses
penerbitan KIPS di Kecamatan Denpasar Barat terkait dengan
Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan.
1.6. Manfaat Penelitian
1.6.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai ilmu yang bermanfaat serta
9
bidang Hukum Kependudukan terkait keefektivitasan pelaksanaan
Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan.
1.6.2. Manfaat Praktis
1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat dan
Pemerintah Daerah khususnya bagi pemerintah desa dan kelurahan
dalam melakukan setiap tindakan terkait pengurusan dan penerbitan
KIPS.
2. Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran
untuk diadakannya penelitian lebih lanjut, serta dapat digunakan
sebagai bahan acuan pertimbangan, maupun penyempurnaan bagi
penelitian selanjutnya.
1.7. Landasan Teoritis
Sehubungan dengan penelitian yang diajukan, maka dipandang perlu untuk
membahas mengenai landasan teori yang digunakan. Beberapa teori yang digunakan
dalam penelitian ini antara lain :
1. Teori Negara Hukum
Istilah rechtsstaat yang diterjemahkan sebagai negara hukum oleh
Philipus M. Hadjon mulai populer di Eropa sejak abad ke-19. Cita negara hukum
itu untuk pertama kalinya dicetuskan oleh Plato dan kemudian pemikiran tersebut
dipertegas oleh Aristoteles. Menurut Aristoteles, yang memerintah dalam suatu
10
menentukan baik atau buruknya suatu hukum. Aristoteles juga mengemukakan
tiga unsur dari pemerintahan berkonstitusi yaitu9 :
1. Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum;
2. Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan
ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara
sewenang-wenang;
3. Pemerintahan berkonstitusi yang dilaksanakan atas kehendak rakyat.
Konsep rechtsstaat menurut Philipus M. Hadjon lahir dari suatu perjuangan
menentang absolutisme, sehingga sifatnya revolusioner. Adapun ciri-ciri
rechtsstaat adalah sebagai berikut :
1. Adanya Undang-Undang Dasar atau konstitusi yang memuat
ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat;
2. Adanya pembagian kekuasaan negara;
3. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.
Ciri-ciri rechtsstaat tersebut menunjukan bahwa ide mengenai rechtsstaat
adalah pengakuan dan perlidungan hak-hak asasi manusia yang bertumpu pada
prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya Undang-Undang Dasar memberikan
jaminan atas konstuitusional dan kebebasan tersebut. Pembagian kekuasaan
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penumpukan kekuasaan dalam satu
tangan. Kekuasaan yang berlebihan yang yang dimiliki oleh seorang penguasa
9Ni’Matul Huda, 2005, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press,
11
cenderung bertindak mengekang kebebasan dan persamaan yang menjadi ciri
khas negara hukum.
Selain rechtsstaat terdapat istilah lain dari negara hukum yaitu rule of law.
Konsep rule of law dipelopori oleh A. V. Dicey, yang menurutnya ada 3 ciri-ciri
dari rule of law yaitu10 :
1. Supremasi hukum untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, discretionary authority yang luas dari pemerintah;
2. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court, hal ini berarti tidak ada orang yang berada di atas hukum dan tidak ada peradilan administrasi negara;
3. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan.
Bila dilihat dari kedua konsep negara hukum tersebut, baik rechtsstaat
maupun rule of law sama-sama menekankan pada kebebasan dan perlindungan
terhadap hak asasi manusia sebagai titik sentral untuk menentang
kesewenang-wenangan penguasa, sehingga sulit untuk menarik perbedaan yang hakiki dari
kedua konsep tersebut.
Merujuk pada kepustakaan Indonesia, terlepas dari penamaan Indonesia
sebagai negara hukum dengan sebutan rechsstaat atau rule of law, eksistensi
Indonesia sebagai negara hukum ditandai dengan beberapa unsur pokok, seperti
pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, pemerintahan
diselenggarakan berdasarkan undang-undang, persamaan di depan hukum, adanya
12
peradilan administrasi, dan unsur-unsur lainnya. Negara Indonesia menghendaki
keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat yang mengedepankan asas
kerukunan.11 Berdasarkan asas kerukunan, menurut Philipus M. Hadjon akan
berkembang elemen lain dari konsep negara hukum Pancasila, yaitu terjalinnya
hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara,
penyelesaian sengketa secara musyawarah sedangkan peradilan merupakan sarana
terakhir, dan hak-hak asasi manusia tidak hanya menekankan hak atau kewajiban
tetapi terjalin suatu keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Ciri berikutnya dari negara hukum Pancasila adalah menjamin setiap
orang untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya masing-masing.
Hal ini menunjukan adanya komitmen yang diberikan oleh negara kepada warga
negaranya untuk mengimplementasikan kebebasan dalam memeluk agama serta
beribadah sesuai keyakinan tanpa ada gangguan dari pihak lain. Kebebasan
memeluk agama serta beribadah ini juga diatur dalam Pasal 28E ayat (1) UUD
NRI 1945.
Karakteristik dari negara hukum Pancasila yang lain adalah asas
kekeluargaan sebagai bagian fundamental dalam penyelenggaraan
pemerintahan.12 Adanya asas kekeluargaan ini, memberikan kesempatan bagi
masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraannya sejauh tidak
menggangu hajat hidup orang banyak. Di samping itu, negara hukum Pancasila
11 Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi,
2008, PT Alumni, Bandung, hlm. 52.
13
juga mengedepankan prinsip persamaan sebagai unsur penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Bahkan secara konstutisional Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI
1945) memberikan landasan untuk menghargai dan menghayati prinsip
persamaan, hal ini tercermin dalam Pasal 28D UUD NRI 1945 yaitu :
1. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
2. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
3. Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
4. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Penegakan prinsip persamaan ini menjadi prasyarat untuk mendukung eksistensi
negara hukum Pancasila mengimplementasikan komitmennya dalam
menyejahterahkan kehidupan masyarakat sebagai misi penyelenggaraan
pemerintahan.
2. Teori Kewenangan
Dalam literatur ilmu hukum maupun ilmu pemerintahan sering ditemukan
istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Ketiganya memiliki pengertian
yang berbeda, namun satu sama lain saling berkaitan. Menurut Miriam Budiarjo
kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk
mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa
14
negara.13 Kekuasaan merupakan inti penyelenggaraan negara, agar kekuasaan
dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga negara itu
dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan dimana jabatan-jabatan itu diisi
oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan
konstruksi subyek kewajiban.
Disamping kekuasaan, terdapat kewenangan dan wewenang. Kedua istilah
tersebut sering disejajarkan, kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan
formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan tertentu yang diberikan oleh
undang-undang. Sedangkan wewenang hanya mengenai suatu (bagian) tertentu
saja dari kewenangan. Menurut P. Nicolai, dalam kewenangan terkandung hak
dan kewajiban yakni14 ;
Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu (yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum). Hak berisikan kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.
Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan dapat diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.
Mengenai atribusi, delegasi, dan mandat, H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt
mendefinisikan sebagai berikut15 :
13 Miriam Budiarjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.
35.
14 Ridwan H.R., 2011, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm. 99.
15
a. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursogaan, (Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan);
b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursogaan aan een ander, (Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya);
c. Mandaat : een bestuursogaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander, (Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya).
Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, mengetahui sumber dan cara
memperoleh wewenang organ pemerintahan sangat penting karena berkenaan dengan
pertanggungjawaban hukum dalam penggunaan wewenang. Setiap pemberian
kewenangan kepada pejabat pemerintahan tertentu, tersirat di dalamnya
pertanggungjawaban dari pejabat bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut tampak
bahwa wewenang yang diperoleh berdasarkan atribusi bersifat asli yang berasal dari
peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat
menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada. Kemudian
pada delegasi, tidak ada penciptaan wewenang, yang ada hanya pelimpahan
wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat yang lain. Sementara dalam hal
mandat, penerima mandat hanya bertindak untuk dan atas pemberi mandat.
3. Teori Penegakan Hukum
Hukum adalah sarana yang di dalamnya terkandung nilai-nilai atau
konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan, sosial, dan sebagainya.
Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan
16
usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan.16 Kemudian
menurut Soerjono Soekanto, secara konsepsional maka inti dan arti dari
penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,
memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.17
Jika hakikat penegakan hukum adalah mewujudkan nilai-nilai atau
kaidah-kaidah yang memuat keadilan dan kebenaran, makan penegakan hukum bukan
saja menjadi tugas para penegak hukum yang telah dikenal secara konvensional,
tapi masyarakat pun dilibatkan di dalamnya. Penegakan hukum merupakan
sebuah proses, sehingga keberhasilan dari penegakan hukum tersebut dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Menurut Soerjono Soekanto ada lima faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum antara lain18 ;
1. Faktor hukumnya sendiri, yang dalam hal ini dibatasi oleh undang-undang; 2. Faktor penegakan hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum;
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan;
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
16 Satjipto Rahardjo, tanpa tahun terbit, Masalah Penegakan Hukum suatu Tinjauan Sosiologis,
Sinar Baru, bandung, hlm. 15.
17 Soerjono Soekanto, 2010, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 1.
17
Kelima faktor di atas saling berkaitan satu sama lain, karena merupakan
esensi serta tolok ukur dari sebuah penegakan hukum. Adapun Satjipto Rahardjo
mengemukakan pendapat bahwa agar hukum dapat berperan dengan baik di
masyarakat maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut19 :
1. Mengenal problem yang dihadapi sebaik-baiknya, termasuk dalam mengenali dengan seksama mengenai masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari penggarapan tersebut;
2. Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting dalam social engineering itu hendak diterapkan pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan majemuk seperti tradisional, odern, dan perencanaan. Pada tahap ini dipilih nilai-nilai sektor mana yang dipilih;
3. Membuat hipotesa dan memilih yang mana paling layak untuk digunakan; 4. Mengikuti jalannya penerapan hukum dan mengukur efek-efeknya.
Dalam suatu negara hukum, penegakan hukum adalah salah satu hal yang
sangat penting terutama apabila hal tersebut menyangkut masyarakat, maka
sangat diperlukan adanya pengawasan terhadap penegakan hukum guna
memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Oleh karena itu dalam suatu
penegakan hukum, untuk mecegah terjadinya kesewenang-wenangan atau bahkan
pelanggaran norma yang dilakukan oleh pemerintah, maka diperlukan adanya
pengawasan dan penegakan sanksi. Menurut Philipus M. Hadjon, instrument
penegakan Hukum Administrasi Negara meliputi pengawasan dan penegakan
sanksi.20 Pengawasan merupakan langkah preventif untuk memaksakan
kepatuhan, sedangkan pemberian sanksi merupakan langkah represif untuk
memaksakan kepatuhan. Jadi dapat dikatakan bahwa, pengawasan dalam suatu
18
penegakan hukum bertujuan agar pemerintah menjalankan tugasnya sesuai
norma-norma hukum, dan apabila hal tersebut dilanggar maka upaya represif
melalui pemberian sanksi akan dilakukan untuk mengembalikan keadaan seperti
sebelum pelanggaran norma itu terjadi.
1.8. Metode Penelitian
1.8.1. Jenis Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum
empiris.Penelitian hukum empiris adalah penelitian hukum menyangkut
pemberlakuan atau implementasi hukum normatif pada setiap hukum tertentu.21
Peneliatian empiris ini ditekankan pada penelitian terhadap efektivitas hukum.
Penelitian terhadap efektivitas hukum merupakan penelitian yang membahas
bagaimana hukum beroprasi dalam masyarakat.22 Adapun faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat antara lain23 :
1. Kaidah hukum/peraturan itu sendiri;
2. Petugas/penegak hukum;
3. Sarana/fasilitas yang digunakan oleh penegakan hukum;
4. Kesadaran masyarakat.
1.8.2. Jenis Pendekatan
21Abdukadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 134.
22 H. Zainuddin Ali, 2014, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Kelima, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 31.
19
Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
1. Pendekatan Undang-Undang (The Statute Approach)
Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach), adalah pendekatan
dengan berdasarkan kepada perundang-undangan, norma hukum dalam
hukum positif Indonesia yang berkaitan dengan pembuatan KIPS di
Kecamatan Denpasar Barat. Dikatakan bahwa pendekatan
Perundang-undangan berupa legislasi dan regulasi yang dibentuk oleh lembaga Negara
atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.24
2. Pendekatan kasus (The Case Approach)
Pendekatan Kasus adalah melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang
berkaitan dengan isu yang di hadapi yang telah menjadi putusan yang telah
mempunyai kekuatan yang tetap.
1.8.3. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian bersifat deskriptif ini bertujuan
menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok
tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada
tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.25
24Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar MetodePenelitian Hukum, Rajawali Press,
Jakarta, hlm. 72.
25Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum
20
1.8.4. Sumber Data
Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris ada dua jenis yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian
lapangan yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama dilapangan
yaitu dari wawancara dengan para informan.26 Data ini di peroleh dengan
mengadakan penelitian secara langsung di lapangan melalui wawancara dengan
pihak-pihak yang bertanggung jawab dari instansi terkait yakni Kantor Kelurahan
Pemecutan, Kantor Desa Pemecutan Kelod, Kantor Desa Dauh Puri Kangin, Kantor
Desa Dauh Puri Klod, dan Kantor Kelurahan Padangsambian.
Sedangkan data sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian
kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya,
melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk
bahan-bahan hukum.27 Data sekunder dalam penelitian ini adalah :
a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan;
b. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan;
c. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2000 tentang
Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 6 Tahun 1996
21
tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dalam Kerangka
Sistem Informasi Manajemen Kependudukan (SIMDUK);
d. Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 470/1159/B.T.Pem Perihal
Pedoman Operasional Pendaftaran Penduduk di Provinsi Bali;
e. Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 470/7587/B.Tapem perihal
Pedoman Pendaftaran Penduduk Pendatang;
f. Keputusan Walikota Denpasar Nomor 593 Tahun 2000 tentang
Penertiban Penduduk Pendatang di Kota Denpasar;
g. Keputusan Walikota Denpasar Nomor 610 Tahun 2002 tentang
Perubahan Keputusan Walikota Denpasar Nomor 593 Tahun 2000
tentang Penertiban Penduduk Pendatang di Kota Denpasar;
h. Kesepakatan Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota Se-Bali Nomor
153 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Tertib Administrasi
Kependudukan di Provinsi Bali;
i. Keputusan Walikota Denpasar Nomor 585 Tahun 2002 tentang
Perubahan Lampiran Keputusan Walikota Denpasar Tanggal 13
Desember 2001 Nomor 1002 Tahun 2001 tentang Standarisasi
Pungutan Desa/Sumbangan Keluharan di Kota Denpasar;
j. Keputusan manggala Parum Bendesa Desa Pakraman Kota Denpasar
Nomor 005/PBDA/XI/2002 tentang Standarisasi Pungutan Desa
Pakraman atas Biaya Administrasi Penduduk Pendatang di Kota
22
k. Keputusan Bendesa Desa Pakraman Padangsambian Nomor
05/KEP/DP.Pds/14 tentang Kontribusi Biaya Ketertiban dan Keamanan
Sosial di Wilayah Desa Pakraman Padangsambian.
1.8.5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian hukum empiris dikenal teknik-teknik untuk mengumpulkan
data yaitu : studi dokumen, wawancara, observasi, dan penyebaran
kuisioner/angket.28 Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam skripsi
ini antara lain adalah :
a. Teknik Studi Dokumen
Studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap
penelitian ilmu hukum, baik dalam penelitian hukum normatif maupun
penelitian hukum empiris, karena meskipun aspeknya berbeda namun
keduanya adalah penelitian ilmu hukum yang selalu bertolak dari premis
normatif. Studi Dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan
dengan permasalahan penelitian.29
b. Teknik Wawancara (Interview)
Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim
digunakan dalam penelitian hukum empiris. Wawancara adalah salah satu
instrument mengumpulkan data dengan mengajukan sejumlah pertanyaan
yang di sampaikan secara lisan. Dalam kegiatan ilmiah, wawancara dilakukan
23
bukan sekedar bertanya pada seseorang, melainkan dilakukan
pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan
dengan masalah penelitian kepada responden maupun informan.
c. Teknik Observasi
Merupakan teknik pengumpulan data dengancara melakukan pengamatan atau
observasi dari peneliti.Pengamatan dalam penilitian ilmiah di tuntut harus
memenuhi syarat-syarat tertentu seperti validitas dan realibilitasnya, sehingga
hasil pengamatan sesuai dengan kenyataan yang menjadi sasaran
pengamatan.30
1.8.6. Teknik Penentuan Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dianggap mewakili populasi atau
yang menjadi objek penelitian.31 Dalam penelitian ini, maka teknik pengambilan
sampel yang digunakan adalah teknik non probability sampling. Teknik non
probability sampling digunakan dalam hal32 :
- Data tentang populasi sangat langka atau tidak diketahui secara pasti jumlah
populasinya;
- Penelitian bersifat studi eksploratif atau deskriptif;
- Tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi tentang populasinya.
Teknik non probability sampling, dibagi menjadi empat macam yaitu, quota
sampling, accidental sampling, purposive sampling, dan snowball sampling.
30Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit, hlm.72. 31
H. Zainuddin Ali,op.cit.hlm. 98.
24
Penelitian ini menggunakan purposive sampling. Pengambilan sampel berdasarkan
purposive sampling dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel ditentukan
sendiri oleh peneliti yang mana pemilihan sampel didasarkan pada pertimbangan
bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang
merupakan ciri utama dari populasinya.
1.8.7. Teknik Analisa Data
Setelah data-data baik primer maupun sekunder yang dibutuhkan terkumpul,
maka bahan hukum tersebut akan diolah dan dianalisa dengan menggunakan teknik
pengolahan data secara kualitatif yaitu menguraikan data secara bermutu dalam
bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga
memudahkan pemahaman dan interprestasi data.33
Setelah melalui proses pengolahan dan analisa, selanjutnya data tersebut
disajikan secara deskriptif analisis yaitu penyajian yang menggambarkan secara
lengkap tentang aspek-aspek hukum permasalahan yang diteliti dan selanjutnya
dianalisa kebenarannya serta menyusun dan memilih data yang berkualitas untuk
menjawab permasalahan yang diajukan.34
33 Abdulkadir Muhammad, op.cit.hlm. 170.
34 Ronny Hanititijo Soemitro, 1990, Metodalogi Penelitian Hukum dan Jurimeter, Cet. IV,
25 BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENDUDUK
2.1.Administrasi Kependudukan
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006), administrasi kependudukan adalah rangkaian penataan dan penertiban dalam
penerbitan dokumen dan Data Kependudukan melalui Pendaftaran Penduduk,
Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan serta
pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan dokumen kependudukan sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 adalah dokumen
resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum
sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari pelayanan Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil. Terdapat beberapa jenis dokumen kependudukan sebagaimana
diatur dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 antara lain
biodata penduduk, Kartu Keluarga (selanjutnya disebut KK), KTP, surat keterangan
kependudukan, dan akta pencatatan sipil.
Sedangkan pengertian data kependudukan berdasarkan dalam Pasal 1 ayat (9)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 adalah data perseorangan dan/atau agregat
yang terstruktur sebagai hasil dari kegiatan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan
26
yang meliputi data perseorangan diatur dalam Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2013 antara lain, nomor KK, NIK, nama lengkap, jenis kelamin,
tempat lahir, tanggal/bulan/tahun lahir, golongan darah, agama, status perkawinan,
status hubungan dalam keluarga, cacat fisik dan/atau mental, pendidikan terakhir,
jenis pekerjaan, NIK ibu kandung, nama ibu kandung, NIK ayah, nama ayah, alamat
sebelumnya, alamat sekarang, kepemilikan akta kelahiran, nomor akta kelahiran,
kepemilikan akta perkawinan, nomor akta perkawinan, tanggal perkawinan,
kepemilikan akta perceraian, nomor akta perceraian, tanggal perceraian, sidik jari, iris
mata, tanda tangan, dan elemen data lainnya yang merupakan aib seseorang.
Kemudian yang dimaksud data agregat diatur dalam Pasal 58 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013, meliputi data perseorangan yang berupa data
kuantitatif dan data kualitatif.
2.2.Tinjauan tentang Penduduk Pendatang
2.2.1.Pengertian Penduduk Pendatang
Salah satu unsur yang harus ada dalam sebuah negara adalah penduduk atau
masyarakat. Penduduk merupakan semua orang yang pada suatu waktu mendiami
wilayah negara.Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006, penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan orang asing yang
bertempat tinggal di Indonesia. Kemudian, yang dimaksud dengan Warga Negara
Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23
27
yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara Indonesia. Selanjutnya
yang disebut sebagai orang asing sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, orang asing adalah orang bukan Warga Negara
Indonesia.
Secara sosiologis, penduduk dinamakan sebagai masyarakyat, yaitu
sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh suatu rasa persamaan dan yang
bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu. Menurut Soepomo, penduduk ialah
orang yang dengan sah bertempat tinggal tetap dalam suatu negara. Sah artinya tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan mengenai masuk dan mengadakan tempat
tinggal tetap dalam negara yang bersangkutan.35
Dalam ilmu kependudukan, penduduk memiliki pengertian yaitu jumlah orang
yang bertempat tinggal di suatu wilayah pada waktu tertentu dan merupakan hasil
dari proses demografi yaitu fertilitas, mortalitas, dan migrasi.36 Sehubungan dengan
migrasi, penduduk yang melakukan perpindahan ke suatu daerah yang baru,
penduduk itu disebut dengan penduduk pendatang. Bila dikaji melalui
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, tidak ada
dijelaskan mengenai penduduk pendatang, yang ada hanyalah penduduk, dan yang
meliputi penduduk adalah WNI dan orang asing. Jadi apabila dikaitkan dengan
konteks penduduk pendatang, maka dalam hal ini yang dapat dikatakan sebagai
penduduk pendatang adalah orang asing tersebut.
35
Soepomo dalam Trianto dan Titik Triwulan, 2007, Falsafah Negara dan Pendidikan
Kewarganegaraan,Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hlm. 177
28
Namun, pengertian mengenai penduduk pendatang tidak hanya terbatas pada
orang asing yang dalam hal ini bukan Warga Negara Indonesia, tetapi orang yang
merupakan Warga Negara Indonesia yang tinggal di suatu daerah asal kemudian
pindah ke daerah lain yang masih menjadi lingkup dari Negara Indonesia pun dapat
dikatakan sebagai penduduk pendatang di daerah barunya. Sehubungan dengan
pengertian penduduk pendatang, terdapat beberapa aturan yang mengatur mengenai
penduduk pendatang, dan memberikan pengertian mengenai penduduk pendatang
antara lain :
1. Berdasarkan Pasal 1 Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 470/1159/B.T.Pem
Perihal Pedoman Operasional Pendaftaran Penduduk di Propinsi Bali,
Tanggal 27 Pebruari 2002, penduduk pendatang adalah penduduk yang datang
akibat mutasi kepindahan dari luar daerah dan telah memenuhi syarat-syarat
yang telah ditetapkan;
2. Berdasarkan Pasal 1 Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 470/7587/B.Tapem
Perihal Pedoman Pendaftaran Penduduk Pendatang, Tanggal 14 Nopember
2002, penduduk pendatang adalah penduduk yang datang akibat mutasi
kepindahan antar Kabupaten/Kota atau Provinsi Bali.
3. Berdasarkan Pasal 1 huruf (a) Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan
Bupati/Walikota Se-Bali Nomor 153 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Tertib
Administrasi Kependudukan di Provinsi Bali, penduduk pendatang adalah
penduduk yang datang dari luar Provinsi Bali untuk tinggal menetap atau
29
Dari beberapa pengertian dari penduduk pendatang, maka dapat disimpulkan bahwa
penduduk pendatang adalah penduduk yang datang akibat mutasi kepindahan dari
luar daerah Provinsi Bali untuk tinggal menetap atau sementara, dengan telah
memenuhi syarat-syarat yang yang telah ditetapkan.
2.2.2.Macam-macam Penduduk Pendatang
Penduduk pendatang yang berada di Kota Denpasar dapat dibagi menjadi
beberapa jenis. Berdasarkan Pasal 2 Surat Edaran Gubernur Bali Nomor
470/7587/B.Tapem, penduduk pendatang terdiri atas WNI dan WNA yang dapat
dibedakan menjadi ;
Pendatang menetap, yaitu pendatang dengan lama tinggal minimal tiga
tahun.
Pendatang tinggal sementara, yaitu pendatang dengan lama tinggal
paling lama satu tahun.
Selanjutnya, berdasarkan Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan
Bupati/Walikota Se-Bali Nomor 153 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Tertib
Administrasi Kependudukan di Provinsi Bali, jenis penduduk pendatang dibedakan
menjadi penduduk pendatang tinggal sementara dan penduduk pendatang tinggal
menetap, yang dijelaskan sebagai berikut:
1. Pasal 1 huruf (b), penduduk pendatang tinggal sementara adalah Warga
30
tetapnya dengan Kartu Identitas Penduduk Sementara (KIPS) atau Surat
Tanda Pendaftaran Penduduk Tinggal Sementara (STPPTS);
2. Pasal 1 huruf (c), penduduk pendatang tinggal menetap terdiri atas :
- Pendatang dengan mempunyai pekerjaan tetap
- Pendatang yang mempunyai tempat tinggal tetap
- Mutasi/perpindahan TNI/Polri, PNS, mahasiswa dan pelajar
Yang dimaksud dengan pekerja tetap dalam hal ini diatur dalam Pasal 1 huruf
(d) yakni, pekerja tetap adalah pekerja yang bekerja dalam hubungan kerja
pada pengusaha dengan menerima upah/gaji atau bekerja sendiri dengan
memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal.
Kemudian yang dimaksud dengan tempat tinggal tetap dalam hal ini diatur
dalam Pasal 1 huruf (e) yakni, tempat tinggal tetap adalah tempat
tinggal/tempat kedudukan/alamat dari tempat mana seseorang melaksanakan
hak dan kewajiban keperdataannya sebagai penduduk baik yang menjadi hak
milik maupun hak pakai dengan bukti yang sah.
Selain ketentuan di atas, dijelaskan juga beberapa jenis penduduk pendatang
berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Keputusan Walikota Denpasar Nomor 593 Tahun 2000
tentang Penertiban Penduduk Pendatang Di Kota Denpasar, yakni :
Penduduk pendatang sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 ayat (1) terdiri dari :
31
d. Penduduk pendatang yang sudah secara pasti dan atau mempunyai pekerjaan tetap seperti TNI-POLRI, Pegawai Negeri Sipil dan karyawan BUMN atau BUMD;
e. Penduduk pendatang yang berstatus Pelajar atau Mahasiswa.
2.2.3.Perbedaan Penduduk Pendatang dan Penduduk Asli
Mengenai perbedaan antara penduduk pendatang dengan penduduk asli,
Undang-Undang Tentang Administrasi Kependudukan tidak ada menyebutkan
perbedaan antara keduanya, yang disebutkan hanya hak dan kewajiban penduduk,
jadi dalam hal ini, baik WNI maupun orang asing memiliki persamaan hak dan
kewajiban di bidang kependudukan. Adapun dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2006, yang dinyatakan bahwa, setiap penduduk mempunyai hak untuk
memperoleh :
a) Dokumen Kependudukan;
b) Pelayanan yang sama dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil;
c) Perlindungan atas Data Pribadi;
d) Kepastian hukum atas kepemilikan dokumen;
e) Informasi mengenai data hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil atas dirinya dan/atau keluarganya; dan
f) Ganti rugi dan pemulihan nama baik sebagai akibat kesalahan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil serta Penyalahgunaan Data Pribadi oleh Instansi Pelaksana.
Selanjutnya pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dijelaskan
mengenai kewajiban penduduk yakni,
“Setiap Penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan
Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan
memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan
32
Bila dikaitkan dengan penelitian ini, sekalipun terdapat perbedaan antara
penduduk pendatang dengan penduduk asli, maka perbedaan tersebut tidak secara
langsung dicantumkan dalam kebijakan pemerintah, tetapi dapat dibedakan dari
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh penduduk pendatang apabila berkeinginan
untuk tinggal di Kota Denpasar. Syarat-syarat tersebut salah satunya diatur dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (3) Keputusan Walikota Denpasar Nomor 610 Tahun 2002
tentang Perubahan Keputusan Walikota Denpasar Nomor 593 Tahun 2000 tentang
Penertiban Penduduk Pendatang (selanjutnya disebut Keputusan Walikota Denpasar
Nomor 610 Tahun 2002), yaitu :
Persyaratan penduduk pendatang sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah :
a. Menyerahkan foto copy KTP/Surat Keterangan Pindah; b. Memiliki penjamin;
c. Surat Keterangan Perjalanan dari Kepala Desa/Kelurahan daerah asal penduduk pendatang;
d. Keterangan keahlian/kemampuan/keterampilan penduduk pendatang dari Desa/Kelurahan dan atau Instansi yang berwenang di daerah asalnya;
e. Menyerahkan rekomendasi dari banjar Adat atas nama Desa Pakraman setempat.
Jika dilihat dari ketentuan tersebut, khususnya pada huruf b dan huruf e,
penduduk pendatang harus memiliki penjamin dan memiliki keterangan mengenai
keahlian/kemampuan/keterampilan apabila ingin menetap di Kota Denpasar.Kedua
hal tersebut tidak berlaku bagi penduduk asli. Penduduk asli tidak harus memiliki
penjamin hanya untuk menetap, namun penduduk pendatang wajib memiliki
penjamin, yang bertujuan sebagai penanggung jawab kepada pihak berwajib apabila
33
berlaku. Penduduk asli juga tidak perlu memiliki keterangan
keahlian/kemampuan/keterampilan, bahkan apabila tidak memiliki hal tersebut
penduduk asli tetap dapat menetap di daerahnya. Sedangkan bagi penduduk
pendatang, mereka wajib memiliki keterangan mengenai
keahlian/kemampuan/keterampilan, hal tersebut bertujuan agar penduduk pendatang
yang menetap tidak serta merta tinggal dan hanya menjadi pengangguran, namun
dapat bekerja sesuai dengan keahlian/kemampuan/keterampilan yang mereka miliki.
2.3.Pengertian Kartu Identitas Penduduk Sementara
Kartu Identitas Penduduk Sementara (KIPS) merupakan salah satu dokumen
kependudukan yang wajib dimiliki oleh penduduk pendatang sementara yang berada
di Kecamatan Denpasar Barat. Pengertian KIPS tercantum dalam Pasal 1 huruf (j)
Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota Se-Bali Nomor 153
Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Tertib Administrasi Kependudukan di Provinsi
Bali, yakni :
“Kartu Identitas Penduduk Sementara disingkat KIPS adalah dokumen
kependudukan sebagai bukti diri yang sah diberikan kepada penduduk
pendatang tinggal sementara.”
Berdasarkan dari ketentuan di atas, maka kepemilikan terhadap KIPS berlaku
bagi penduduk pendatang tinggal sementara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1
huruf (b) Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota Se-Bali
34
Provinsi Bali, yaitu Warga Negara Indonesia yang tinggal di luar domisili asli atau
tempat tinggal tetapnya dengan Kartu Identitas Penduduk Sementara (KIPS) atau
Surat Tanda Pendaftaran Penduduk Tinggal Sementara (STPPTS). Namun tidak
semua penduduk pendatang tinggal sementara mendapatkan KIPS, ada juga
penduduk pendatang tinggal sementara yang mendapatkan STPPTS dan itu berlaku
bagi penduduk pendatang tinggal sementara yang berasal dari luar Kota Denpasar
namun masih dalam Provinsi Bali. Hal tersebut diatur dalam Pasal 3 ayat (1)
Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota Se-Bali Nomor 153
Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Tertib Administrasi Kependudukan di Provinsi
Bali yang menyatakan bahwa,
“Pendaftaran pendudukan sementara lintas kabupaten/kota yang beridentitas
penduduk Provinsi Bali tidak diberikan KIPS, tetapi diberikan Surat Tanda
Pendaftaran Penduduk Tinggal Sementara (STPPTS), oleh Kepala Desa/Lurah
dengan melampirkan Surat Keterangan Bepergian dari Kepala Desa/Lurah
daerah asal.”
Dari ketentuan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa KIPS hanya berlaku
bagi penduduk pendatang sementara yang berkewarganegaraan Indonesia namun
berasal dari luar Provinsi Bali, sedangkan bagi penduduk pendatang yang
berkewarganegaraan Indonesia yang berasal dari Provinsi Bali namun di luar dari