TRANSFORMASI NILAI-NILAI RELIGI SEBAGAI KEARIFAN LOKAL
MASYARAKAT PANJI
(Studi Etnografi Di Desa Riding Panjang, Kecamatan Belinyu, Kabupaten
Bangka)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Departemen Pendidikan Kewarganegaraan
Oleh:
SUZANA PARANITA NIM. 1302479
DEPARTEMEN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
TRANSFORMASI NILAI-NILAI RELIGI SEBAGAI KEARIFAN LOKAL
MASYARAKAT PANJI
(Studi Etnografi Di Desa Riding Panjang, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka)
Oleh Suzana Paranita
S.Pd. UNSRI Palembang, 2012
Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Sekolah Pascasarjana
©Suzana Paranita 2015 Universitas Pendidikan Indonesia
Juni 2015
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ... v
ABSTRAK ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR BAGAN ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 9
1.3 Rumusan Masalah ... 10
1.4 Tujuan ... 11
1.4.1 Tujuan Umum ... 11
1.4.2 Tujuan Khusus ... 11
1.5 Manfaat ... 11
1.5.1 Segi Teori ... 11
1.5.2 Segi Praktik ... 12
1.6 Struktur Organisasi Tesis ... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Transformasi Budaya ... 14
2.2.1 Pengertian Budaya ... 16
2.2.2 Manusia dan Kebudayaan ... 20
2.2.3 Masyarakat Panji ... 23
2.2.4 Kebudayaan Masyarakat Panji ... 24
2.3 Sistem Religi Masyarakat Panji ... 25
2.3.1 Sistem Religi ... 25
2.3.2 Nilai Religi ... 28
2.3.3 Upacara-Upacara Kegamaan Masyarakat Panji ... 31
2.4 Kearifan Lokal ... 33
2.4.1 Pengertian Kearifan Lokal ... 33
2.4.2 Kearifan Lokal di Indonesia ... 37
2.4.3 Budaya Masyarakat Panji Wujud Kearifan Lokal... 39
2.5 Penelitain Terdahulu ... 41
2.6 Kerangka Penelitian ... 54
BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Subjek Penelitian ... 55
3.1.1 Lokasi Penelitian ... 55
3.1.2 Subjek Penelitian ... 56
3.2 Desain Penelitian ... 57
3.3 Metode Penelitian... 58
3.4 Penjelasan Istilah ... 61
3.5 Instrumen Penelitian... 64
3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 65
3.6.1 Observasi ... 65
3.6.2 Wawancara ... 66
3.6.3 Dokumentasi ... 67
3.7 Teknik Analisis Data ... 68
3.7.1 Reduksi Data ... 68
3.7.3 Pengambilan Kesimpulan/Verifikasi Data ... 69
3.8 Uji Keabsahan Data... 70
3.8.1 Uji Kredibilitas ... 70
3.8.2 Uji Transferability ... 72
3.8.3 Uji Depenability ... 73
3.8.4 Uji Konfirmability ... 73
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 74
4.1.1 Keadaan Geografis Desa Riding Panjang Belinyu ... 74
4.1.2 Masyarakat Panji ... 76
4.1.3 Tingkat Pendidikan Masyarakat Panji di Desa Riding Panjang ... 78
4.1.3 Agama dan Kepercayaan Masyarakat Panji di Desa Riding Panjang . 79 4.2 Hasil Penelitian dan Pembahasan... 81
4.2.1 Masyarakat Panji Memaknai Sistem Religi Sebagai Salah Satu Dari Kearifan Lokal Mereka... 84
4.2.2 Transformasi Nilai-Nilai Ketuhanan Sebagai Kearifan Lokal Masyarakat Panji Disosialisasikan di Dalam Pendidikan ... 109
4.2.3 Tarik Ulur Persepsi Budaya Masyarakat Panji Dalam Mentrasformasikan Nilai-Nilai Ketuhanan... 129
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 5.1 Simpulan ... 148
5.1.1 Simpulan Umum ... 148
5.1.2 Simpulan Khusus ... 149
5.2 Implikasi ... 150
DAFTAR PUSTAKA ... 154
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel. 4.1 Masyarakat Panji Memaknai Sistem Religi Sebagai
Salah Satu Dari Kearifan Lokal Mereka ... 98
Tabel. 4.2 Triangulasi Masyarakat Panji Memaknai Sistem Religi Sebagai
Salah Satu Dari Kearifan Lokal Mereka ... 99
Tabel. 4.3 Transformasi Nilai-Nilai Ketuhanan Sebagai Kearifan Lokal Masyarakat Panji Disosialisasikan Di Dalam
Pendidikan ... 119
Tabel. 4.4 Triangulaasi Transformasi Nilai-Nilai Ketuhanan Sebagai Kearifan Lokal Masyarakat Panji Disosialisasikan Di Dalam
Pendidikan ... 121
Tabel. 4.5 Tarik ulur persepsi budaya masyarakat Panji
dalam mentrasformasikan nilai-nilai Ketuhanan ... 136
Tabel. 4.6 Triangulasi tarik ulur persepsi budaya masyarakat Panji
DAFTAR BAGAN
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Matrik Instrumen Penelitian
Lampiran 2 Format Observasi Lapangan
Lampiran 3 Pedoman Wawancara
Lampiran 4 Rangkuman Hasil Wawancara
Lampiran 5 Filed Note
Lampiran 6 Dokumentasi
Lampiran 7 Paradigma Penelitian
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang beranekaragam suku bangsa, bahasa,
etnis, agama serta adat istiadat yang masing-masing memiliki keunikan.
Keanekaragaman kebudayaan Indonesia itulah yang menjadi daya tarik bangsa
lain dari belahan dunia untuk mengetahuinya bahkan tidak sedikit mereka juga
mempelajarinya.
Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan
kelompok suku bangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai
kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari
berbagai kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada didaerah tersebut. Oleh
karenanya tidak dipungkiri setiap suku memiliki kebudayaan yang berbeda.
Sebagaimana yang dikemukakan Boas (1938, hlm.159) bahwa:
Culture may be defined as the totality of the mental and physical reactions and activities that characterize the behavior of the individuals composing a social group collectively and individually in relation to their natural environment, to other groups, to members of the group itself and of each individual to himself.
Boas mendefinisikan bahwa budaya merupakan keseluruhan dari reaksi mental,
fisik dan aktifitas karakter perilaku dari individu yang mengubah suatu kelompok
sosial secara bersama dan secara individu dalam hubungannya terhadap
lingkungan alami, kelompok yang lain, kelompoknya, dan terhadap dirinya
sendiri. Adapun, Geertz (1973, hlm.89) memberikan pengertian bahwa:
Culture is an historically transmitted pattern of meanings embodied in symbols, a system of inherited concepts expressed in symbolic forms by means of which men communicate, perpetuate, and develop their knowledge about and their attitudes toward life.
Dalam hal ini, kebudayaan menurut Geertz sesuatu yang semiotik, yaitu hal-hal
berhubungan dengan simbol dan dikenal serta diberlakukan oleh masyarakat
bersangkutan. Sementara, menurut Peursen (1976, hlm.10) kebudayaan diartikan
Dari beberapa pendapat yang telah dijabarkan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan simbol yang mempunyai makna dan
merupakan sistem pengetahuan yang meliputi ide dan gagasan yanng dijadikan
sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat.
Adapun fungsi kebudayaan sebagaimana diungkapkan Malinowski (dalam
Koentjaraningrat, 1987, hlm. 171) bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari
sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh
kehidupannya. Sementara itu, Alfan (2013, hlm.85) mengemukakan kebudayaan
berfungsi mengatur agar manusia dapat memahami cara bertidak, berbuat,
menentukan sikap saat berhubungan dengan orang. Hal ini menunjukkan bahwa
kebudayaan berfungsi sebagai kontrol bagi manusia dan pemuas kebutuhan naluri
manusia. Maka dari itu, keanekaragama dan keunikan kebudayaan Indonesia
harus tetap dijaga dan dilestarikan. Karena selain berfungsi sebagai pemuas
kebutuhan naluri manusia, kebudayaan Indonesia juga mempunyai keunggulan
dibandingkan dengan negara lain, dimana Indonesia mempunyai potret
kebudayaan yang lengkap dan bervariasi sebagai bagian dari kebudayaan
nasional.
Kebudayaan nasional merupakan kebudayaan yang diakui sebagai
identitas nasional yang harus dihormati dan dijaga serta perlu dilestarikan.
Adapun tentang kebudayaan nasional dimuat pada Pasal 32 UUD 1945 ayat (1): “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangan
nilai-nilai budayanya”. Berdasarkan pasal 32 ayat (1) tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, kebudayaan daerah merupakan bagian dari kebudayaan
nasional.
Adapun menurut Nuraeni dan Alfan (2013, hlm.26) “kebudayaan sebagai identitas nasional menunjukkan betapa kebudayaan aspek yang sangat penting
bagi suatu bangsa, karena jelas bahwa kebudayaan juga merupakan jati diri dari
bangsa tersebut”. Sehubungan dengan kebudayaan nasional sebagai identitas,
dimana kebudayaan yang berasal dari berbagai suku dan etis di seluruh wilayah
nusantara, maka semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan sebagai semboyan
persamaan pandangan hidup yang berkaitan dengan nilai kebajikan dan
kebijaksanaan (virtue and wisdom) (Alfan, 2013, hlm.157).
Namun pada kenyataannya saat ini, kebudayaan lokal semakin
termarginalisasi. Adapun faktor yang menyebabkan termarginalisasinya budaya
lokal yaitu rendahnya kesadaran masyarakat dan anak bangsa akan pentingnya
menjaga dan melestarikan budaya lokal. Sebagaimana dikemukakan
Nuraeni&Alfan (2012, hlm.110) ”...yang menjadi masalah saat ini kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya peranan budaya lokal sebagai identitas
bangsa yang harus terus dijaga keaslian ataupun kepemilikannya”. Hal ini disebabkan, adanya anggapan bahwa budaya lokal lebih bersifat statis
dibandingkan budaya global yang lebih bersifat dinamis atau mengikuti
perkembangan zaman. Oleh karenanya, tidak jarang mengakibatkan budaya lokal
terlupakan, sehingga cenderung masyarakat pengguna kebudayaan itu sendiri
tidak lagi mengenal budaya lokalnya. Dimana masyarakat mengalami disorientasi
terhadap budaya lokal yang dianggap kuno dan tidak sesuai dengan
perkembangan zaman.
Faktor lainnya yang menyebabkan termarginalisasinya budaya lokal, yaitu
globalisasi. Globalisasi menyebabkan masyarakat tidak begitu peduli dengan
kebudayaan lokal. Hal ini menunjukkan bahwa masuknya budaya asing ke
Indonesia melalui media massa (elektronik, cetak) serta melalui dunia maya
(internet) sangat mempengaruhi perkembangan budaya lokal masyarakat
Indonesia. Kehadiran teknologi informasi dan komunikasi mempercepat
akselerasi proses globalisasi. Sebagaimana dikemukakan Kalidjernih (2011,
hlm.55) proses globalisasi telah memperlemah atau melonggarkan bentuk-bentuk
identitas kultural suatu bangsa. Adapun, Jeniarto (2013, hlm.23) mengatakan:
Efek dari perjumpaan antar manusia yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi adalah kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan cara pikir suatu masyarakat, termasuk kemungkinan pengaruhnya terhadap local wisdom.
Selain itu, Alfan (2013, hlm.85) mengemukakan terdapat tiga sebab perubahan
kebudayaan, yaitu:
hidup. Ketiga, adanya difusi kebudayaan, penemuan-penemuan baru khususnya teknologi dan komunikasi.
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa globalisasi
merupakan salah satu faktor penyebab termarginalisasinya budaya lokal yang
mengakibatkan perubahan cara berpikir masyarakat yang pada akhirnya
berdampak pada budaya lokal. Hal ini memperjelas, globalisasi memberikan
pengaruh bagi kebudayaan bangsa Indonesia, sehingga nilai budaya lokal yang
mengandung pedoman etika, pandangan hidup, tradisi, falsafah yang merupakan
bagian dari kebudayaan nasional sebagai identitas akan terkikis.
Proses globalisasi yang mengarah pada pembunuhan kebudayaan harus
dilawan, karena itu akan menjadi faktor pelenyapan atas sumber lokal yang
diawali dengan krisis identitas lokal. Selain itu, globalisasi akan membuat dunia
menjadi seragam, menghapus identitas dan jati diri suatu masyarakat, yang pada
akhirnya kebudayaan lokal akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan
budaya global. Adapun yang dikemukakan Zuriah (2012, hlm.171) bahwa:
Kemajemukan atau heterogenitas bangsa Indonesia yang langka dimiliki oleh negara lain tersebut, menjadi modal sosial dengan konstruksi budayanya yang berbasis kearifan lokal. Heterogenitas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beradab tentunya harus dijaga dan dilestarikan sebagai khasanah budaya nasional.
Untuk itulah pendekatan pada aspek budaya sangat perlu dilakukan untuk
menciptakan kesadaran bersama untuk penguatan budaya lokal, sebab budaya
lokal memiliki nilai-nilai kearifan lokal didalamnya. Sebagaimana dikemukakan
Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986, hlm.40) unsur budaya daerah potensial
sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai
sekarang. Selain itu, “kearifan dapat dipahami sebagai suatu pemahaman kolektif, pengetahuan dan kebijaksanaan yang mempengaruhi suatu keputusan
penyelesaian atau penanggulangan suatu masalah kehidupan” (Marfai, 2013, hlm.33).
Selanjutnya, Nuraeni dan alfan (2012, hlm.68) mengemukakan secara
substansial kearifan lokal adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat,
nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah laku
kebudayaan yang harus digali dan dianalisis mengingat faktor perkembangan
budaya yang pesat. Sebab kearifan lokal bangsa Indonesia sesugguhnya adalah
causa prima (sebab keberadaan) dari nilai-nilai luhur Pancasila. Oleh sebab itu,
jika nilai-nilai kearifan lokal makin berkurang atau makin hilang, maka nilai-nilai
Pancasila juga makin menghilang. Karena, Pancasila pada hakikatnya bukan
hanya hasil perenungan atau pemikiran seseorang, namun Pancasila diangkat dari
nilai-nilai adat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai religius yang terdapat dalam
pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara
(Budimansyah, 2008, hlm.14). Adapun Dewantara (2013, hlm.10) mengemukakan
Nilai-nilai Pancasila merupakan norma kehidupan berupa nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis yang termanifestasi pada budaya dan kearifan lokal. Meskipun bersifat sangat baik, dalam praktek nyata kehidupan tergantung dari para pelaku yang bersangkutan. Apabila Pancasila yang merupakan ajaran ideologis idealistik yang diyakini kebenarannya dan dilaksanakan oleh segenap bangsa Indonesia maka akan terwujud kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan lebih baik.
Berdasarkan yang dikemukakan Dewantara, dapat dikatakan bahwa nilai-nilai
Pancasila adalah norma kehidupan yang termanifestasi pada budaya dan kearifan
lokal yang tidak lain dan tidak bukan dari pandangan hidup masyarakat Indonesia
yang telah menjadi tradisi dalam kehidupan bangsa Indonesia. Oleh sebab itu,
salah satu bentuk pelestarian nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sosial dapat
dilakukan dengan menjaga budaya lokal yang mengandung nilai-nilai kearifan
lokal dan diharapkan nilai-nilai luhur dari setiap keanekaragaman kearifan lokal
tersebut dapat memberi arahan bagi perwujudan identitas nasional dan jati diri
bangsa yang sesuai dengan Pancasila. Selain itu, dengan menjaga budaya lokal
yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal dapat menyadarkan masyarakat bahwa
nilai Pancasila harus tetap dilestarikan dan dihidupkan kembali melalui nilai-nilai
budaya lokal yang tentunya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung setiap wilayah di provinsi ke-33
ini memiliki kebudayaan yang berbeda. Di bagian utara, yang masuk dalam
wilayah administratif kabupaten Bangka kecamatan Belinyu, memiliki tiga
masyarakat yakni masyarakat Panji, Lum dan Sekak. Masyarakat Panji umumnya
sebagian masyarakat Panji juga mendiami di desa-desa lainnya seperti Desa
Lumut dan Desa Gunung Pelawan. Keunikan masyarakat Panji dalam budayanya
yaitu sistem religi masyarakat setempat. Namun, saat ini budaya lokal masyarakat
Panji juga telah banyak ditinggalkan, hanya sebagian kecil dari komunitas itu
masih melaksanakan budaya lokal sampai sekarang. Hal ini tentunya tidak bisa
dibiarkan begitu saja, sebab sebagaimana yang dikemukakan Suyitno (2012,
hlm.2) “kehidupan masyarakat yang memiliki karakter dan budaya yang kuat akan semakin memperkuat eksistensi suatu bangsa dan negara”. Maka dari itu, masyarakat Panji jangan sampai kehilangan budaya lokalnya, sebab budaya lokal
masyarakat Panji merupakan ciri khas dan identitas mereka yang tentunya setiap
budaya lokal Panji memiliki nilai-nilai yang diakui sebagai pedoman masyarakat
setempat dalam kehidupannya. Sebagaimana yang dikemukakan Yudhasari (2011,
hlm.15) bahwa:
Mengeksplorasi terhadap adanya praktik budaya membuat kita sadar akan adanya nilai atau norma yang menjadi tradisi dalam sebuah masyarakat. Ketika tradisi diagungkan, nilai tersebut akan menjadi normatif dalam bentuk budaya yang dianut dan dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Nilai-nilai budaya yang berusaha dipertahankan oleh masyarakat akhirnya akan menjadi sebuah tradisi sekaligus merupakan identitas budaya bagi masyarakat tersebut. Adapun nilai yang terdapat dalam budaya lokal disebut sebagai suatu bentuk kearifan lokal.
Oleh sebab itu, peneliti tertarik melakukan penelitian pada masyarakat Panji,
terutama budaya yang masih dilaksanakan oleh masyarakat panji terkait dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam budaya lokal mereka yaitu nilai religi
masyarakat Panji. Penelitian terfokus pada nilai religi, sebab manusia bertingkah
laku dan berkeyakinan yang berbeda-beda terutama terkait hubungan manusia dan
Tuhannya, paradigma budaya dan agamanya serta sistem kebudayaannya.
Sebagaimana menurut Kahmad (2006:13) bahwa
Pengertian agama itu, mengikuti inti maknanya yang khusus, dapat disamakan dengan kata religion dalam Bahasa Inggris; religie dalam Bahasa Belanda; dan keduanya berasal dari Bahasa Latin, religio, dari akar kata religare, yang berarti ”mengikat”.
Lebih lanjut, dikemukakan Madjid (1995:124), dalam arti teknis dan terminologis,
mempunyai etimologis dan sejarahnya sendiri. Sementara Geertz (1973 hlm.90)
mendefinisikan bahwa:
Religion is a system of symbols which acts to establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in men by formulating conceptions of a general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic.
Geertz mendefinisikan bahwa agama sebuah sistem simbol yang berlaku dan
memotivasi serta merumuskan konsep dan membungkus konsep dengan semacam
pancaran faktualisasi sehingga motivasi itu tampak realitas. Adapun Haviland,
dkk (2008, hlm.297) mengemukakan “Religion is an organized system of ideas
about spiritual reality, or the supernatural, along with associated beliefs
andceremonial practices”. Hal yang hampir sama dikemukakan Alfan, (2013,
hlm.104) secara antropologis „agama sebagai seperangkat upacara yang diberi rasionalisasi mitos dan menggerakkan kekuatan supranatural dengan maksud
mencapai atau menghindari suatu perubahan keadaan pada manusia dan alam‟. Berdasarkan paparan di atas, pemaknaan religi lebih luas yang mencakup
semua keyakinan masyarakat dan hubungan masyarakat dengan Tuhan, tidak saja
menggambarkan agama samawi saja tetapi juga agama ardhi. Adapun pendapat R.
Linton (1984) bahwa budaya materil akan lebih cepat berubah bila dibandingkan
dengan budaya non-materil, termasuk agama. Hal ini menunjukkan bahwa dalam
perkembangannya transformasi aspek religi sangat sulit dilihat bahkan hampir
tidak nampak. Sehubungan dengan nilai religi masyarakat Panji, saat ini sebagian
masyarakat Panji masih melaksanakan upacara ritual adat kuno yang merupakan
warisan leluhur mereka yang merupakan bagian dari budaya lokal masyarakat
Panji. Selain itu, keyakinan dan sifat keyakinan keagamaan masyarakat kian
berubah seiring dengan semakin majunya pengetahuannya. Sebagaimana
diungkapkan Dewi (2012, hlm.114)
Adapun Ali Syar‟iyati (Dewi, 2012, hlm.114) memaparkan bahwa agama dengan semangat yang dikandungnya bisa menjadi faktor yang berperan untuk
mengangkat manusia dari perjalanan hidup yang kian tidak menentu. Namun
fungsi agama telah dirubah oleh orang-orang yang hanya menjadikan agama
sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan akhirat saja dan agama dipisahkan dari
kehidupan, sehingga agama kehilangan makna dan agama telah kehilangan
nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya.
Selanjutnya, Berger (dalam Dewi, 2012, hlm.116) menyebutkan bahwa
modernisasi merupakan kebobrokan yang membawa muatan rasionalisasi dan
sekularisasi. Berger juga melihat bahwa peran agama sudah jauh bergeser dari
kedudukan yang semestinya dalam kehidupan masyarakat moderen. Oleh karena
itu, Berger mendorong manusia untuk dapat keluar dari tirani (penjara) struktur
sosial yang mengikatnya dengan jalan transformasi.
Sehubungan hal tersebut di atas, nilai-nilai religi masyarakat Panji perlu
dikaji karena telah terjadinya transformasi religi, dimana dahulunya bersifat
kepercayaan sekarang lebih kearah tauhid atau agama. Hal ini sejalan, dengan
aspek religiusitas masyarakat Indonesia, dimana masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat yang sangat religius, namun dalam realitasnya masyarakat selalu
bertransformasi terutama dalam sisi bentuk, dari primitif, kepercayaan
berkembang lebih pada kearah tauhid atau agama. Adapun transformasi dapat
dilihat baik dari fisik atau substansi, dimana dahulu bersifat takhayul kini lebih
cenderung kemonotaistik. Oleh sebab itu, apabila tidak mendapat perhatian dari
seluruh elemen masyarakat Panji akan menyebabkan hilangnya budaya mereka
yang memilki nilai religius. Selain itu, mengingat begitu pentingnya nilai religi
yang terkandung dalam budaya lokal masyarakat Panji, tidak menutup
kemungkinan juga transformasi nilai religi masyarakat Panji disosialisasikan
sebagai sarana pembangunan karakter bangsa agar terbentuk “warga negara yang memiliki wawasan global tetapi tidak melupakan tradisi-tradisi lokal sebagai dasar
utama dalam menjalankan hidup berbangsa dan bernegara” (Wahab, 1996, hlm.27), dalam (Yunus, 2014.hlm. 9)
peserta didik, tetapi lebih dari itu yakni menstransfer nilai (transfer of value)”.
Maka dari itu, Pendidikan mempunyai peran dalam mensosialisasikan nilai religi
sebagai kearifan lokal masyarakat Panji. Sebab kearifan lokal tidak hanya sebagai
identitas, tetapi juga memiliki peranan penting dalam menangkal pengaruh
globalisasi, baik globalisasi ekonomi, politik maupun budaya yang dikhawatirkan
dapat merusak nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Untuk itu, peneliti memilih pendekatan ini karena ingin mengetahui secara
langsung dan mendalam mengenai transformasi nilai-nilai religi sebagai kearifan
lokal Masyarakat Panji, dimana masyarakat Panji berusaha mentransformasikan
nilai keislaman masuk dalam budaya lokal mereka agar hidup di dalam
masyarakat Panji. Adapun nilai religi yang hidup dalam budaya lokal Panji
diharapkan dapat menjadi kajian etnopedagogi didalam pendidikan, seperti
pendidikan kewarganegaraan yang merupakan program pembelajaran nilai dan
moral Pancasila yang bermuara pada terbentuknya watak, budaya dan karakter
bangsa Indonesia juga memegang peranan penting, baik di tingkat persekolahan
maupun perguruan tinggi dalam membina nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme
(Maftuh, 2008, hlm.143). Selain itu, menurut Winataputra (2008:31) Pendidikan
kewarganegaraan untuk Indonesia, secara filosofik dan substansif, pedagogis
andragogis, merupakan pendidikan untuk memfasilitasi perkembangan pribadi
peserta didik agar menjadi warga negara Indonesia yang religius.
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai Transformasi Nilai-Nilai Religi Sebagai Kearifan Lokal
Masyarakat Panji (Studi Etnografi di Desa Riding Panjang, Kecamatan
Belinyu, Kabupaten Bangka)
1.2 Identifikasi Masalah
1. Termarginalisasinya budaya lokal yang disebabkan oleh kurangnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya peranan budaya lokal sebagai identitas bangsa
yang harus terus dijaga kemurniannya maupun kepemilikannya sehingga
mengakibatkan nilai-niai kearifan lokal ditelan oleh kekuatan budaya besar
2. Globalisasi menyebabkan masyarakat tidak begitu peduli dengan kebudayaan
lokal, sehingga pergeseran nilai-nilai budaya yang mengakibatkan nilai-nilai
budaya lokal terlupakan dan sekaligus kearifan lokal yang tumbuh dari budaya
masyarakatnya, terutama di perkotaan mengalami degradasi, sehingga
cenderung masyarakat pengguna kebudayaan itu sendiri tidak lagi mengenal
kearifan lokal.
3. Pudarnya pengamalan nilai-nilai kearifan lokal makin berkurang atau makin
hilang, maka nilai-nilai Pancasila juga makin menghilang. Masyarakat seakan
lupa betapa pentingnya nilai-nilai Pancasila yang harus tetap dilestarikan.
Pancasila bukan hanya dihapalkan tetapi harus diamalkan karena Pancasila
diangkat dari nilai-nilai adat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai religius
masyarakat Indonesia
4. Aspek religiusitas masyarakat Indonesia selalu bertransformasi terutama dalam
sisi bentuk yang dahulu primitif, kepercayaan berkembang lebih pada kearah
tauhid atau agama. Karena mengingat begitu pentingnya nilai religi yang
terkandung dalam budaya lokal masyarakat, tidak menutup kemungkinan juga
transformasi nilai religi masyarakat disosialisasikan dalam pendidikan.
1.3 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
“Bagaimana transformasi nilai-nilai religi sebagai kearifan lokal masyarakat
Panji?”
Untuk memudahkan pembahasan hasil penelitian rumusan masalah pokok
tersebut, peneliti membaginya menjadi beberapa sub masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana masyarakat Panji memaknai sistem religi sebagai salah satu dari
kearifan lokal mereka?
2. Bagaimana transformasi nilai-nilai Ketuhanan sebagai kearifan lokal
masyarakat Panji disosialisasikan didalam pendidikan?
3. Bagaimana tarik ulur persepsi budaya masyarakat Panji dalam
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umun
Untuk mengetahui bagaimana transformasi nilai-nilai religi sebagai kearifan
lokal masyarakat panji.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui bagaimana masyarakat Panji memaknai sistem religi sebagai
salah satu dari kearifan lokal mereka
2. Mengetahui bagaimana transformasi nilai-nilai Ketuhanan sebagai
kearifan lokal masyarakat Panji disosialisasikan didalam pendidikan
3. Mengetahui bagaimana tarik ulur persepsi budaya masyarakat Panji
dalam mentrasformasikan nilai-nilai Ketuhanan
1.5 Manfaat
1.5.1 Segi Teori
Dari segi teori penelitian ini akan menggali dan mengkaji transformasi
nilai-nilai religi sebagai kearifan lokal masyarakat Panji.
1.5.2 Segi Praktik
Selain memberikan manfaat dari segi teori, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat dari segi praktik bagi beberapa pihak berikut:
1. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan
dalam menjaga dan mempertahankan budaya lokal sebagai identitas
nasional.
2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat digunakan dalam
pemanfaatan, pelestarian serta pemertahanan kearifan lokal yang
mengandung nilai-nilai Pancasila sehingga dapat diterapkan dalam setiap
aspek kehidupannya.
3. Bagi pendidikan, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sarana
sosialisasi budaya lokal dan sebagai tolak ukur dalam pengambilan
bahwa kearifan lokal merupakan identitas bangsa, sehingga tradisi adat
pada suatu masyarakat tidak dipandang negatif oleh peserta didik.
4. Bagi Peneliti, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pandangan
atau perspektif baru mengenai transformasi budaya lokal yang
mengandung nilai-nilai pancasila sebagai pemersatu bangsa dan dasar
negara karena nilai-nilai dasar Pancasila terkandung dalam tradisi suatu
masyarakat atau suku bangsa.
5. Bagi Pembaca, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai studi lebih
lanjut mengenai hubungan antara pemertahanan budaya masyarakat atau
suku bangsa dengan Pancasila sebagai pemersatu bangsa.
1.6 Struktur Organisasi Tesis
Berikut sistematika penulisan yang disajikan penulis dengan berpedoman
pada kerangka penulisan karya ilmiah.
Bab I, berisikan kajian pendahuluan yang dibagi dalam bentuk sub bab
sebagai berikut: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Rumusan
Masalah, (1.4) Tujuan Penelitian, (1.5) Manfaat Penelitian, dan (1.6) Sistematika
Penulisan.
Bab II, pada bagian ini akan mengkaji secara mendalam mengenai kajian
pustaka yang berisi gambaran (deskripsi), analisis dan rekonseptualisasi dari
penulis yang bersumber dari pendapat para ahli. Bab kajian pustaka ini terdiri dari
beberapa sub bab berikut: (2.1) Transformasi Budaya. (2.2) Kebudayaan
Masyarakat Panji, yang terbagi dalam beberapa poin; (2.2.1) Pengertian Budaya,
(2.2.2) Manusia dan Kebudayaan, (2.2.3) Masyarakat Panji, (2.2.4) Kebudayaan
Masyarakat Panji. (2.3) Sistem Religi Masyarakat Panji, yang terbagi daam
beberapa poin; (2.3.1) Sistem Religi, (2.3.2) Nilai Religi, (2.3.3) Upacara-upacara
Keagamaan Masyarakat Panji. (2.4) Kearifan Lokal, yang terbagi dalam beberapa
poin; (2.4.1) Pengertian Kearifan Lokal, (2.4.2) Kearifan Lokal di Indonesia,
(2.4.3) Budaya Masyarakat Panji Wujud Kearifan Lokal. (2.5) Penelitian
Terdahulu. (2.6) Kerangka Penelitian
Bab III, merupakan bagian tentang metodologi penelitian. Dalam bab ini,
Lokasi dan Subjek Penelitian, (3.2) Desain Penelitian, (3.3) Metode Penelitian,
(3.4) Penjelasan Istilah, (3.5) Instrumen Penelitian, (3.6) Teknik Pengumpulan
Data, (3.7) Analisis Data, dan (3.8) Uji Keabsahan Data.
Bab IV yang merupakan inti dari penelitian ini, dalam bab nya ini akan
membahas mengenai hasil penelitian dan pembahasan yang terdiri (4.1)
Gambaran umum lokasi penelitian, (4.2) Deskripsi hasil penelitian serta
pembahasan hasil penelitian.
Bab V, merupakan bab penutup yang terdiri dari sub bab yaitu, (5.1)
Simpulan, yang akan menyajikan uraian singkat mengenai hasil dan pembahasan
penelitian dalam bentuk rekonseptualisasi penulis, dan (5.2) Implikasi (5.3)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Subjek
3.1.1 Lokasi Penelitian
Lokasi yang dituju oleh peneliti untuk mendapatkan informasi
selengkapnya mengenai transformasi nilai-nilai religi sebagai kearifan lokal
masyarakat Panji yaitu Desa Riding Panjang Kecamatan Belinyu Kabupaten
Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Terdapat beberapa alasan bagi
peneliti untuk menjadikan Desa Riding Panjang sebagai lokasi karena sebagian
masyarakat Panji masih melaksanakan upacara ritual adat kuno, namun saat ini
sifat keyakinan masyarakat mulai berubah lebih kearah tauhid, selain itu peneliti
memilki alasan lain, dimana;
Pertama, ditengah arus globalisasi dan modernisasi masyarakat Panji
khususnya yang mendiami desa Riding Panjang disebagian kampung masih
melaksanakan budayanya yang berkitan dengan sistem religi dibandingkan
dengan masyarakat lainnya. Sebab sebagian masyarakat Panji lainnya telah
meninggalkan budaya lokal yang telah diwarisi secara turun temurun, padahal
budaya lokal tersebut merupakan kearifan lokal yang merupakan identitas dari
masyarakat tersebut.
Kedua, budaya yang masih dilesatrikan dan dijaga nilai-nilai kearifan
lokalnya oleh sebagian masyarakat Panji. Selain itu, adanya perpedaan persepsi,
dalam pemaknaan budaya lokal mereka yang berkaitan dengan sistem religi
dimana dalam prosesnya masih menggunakan simbol dan lantra yang dinilai
bertentangan dengan ajaran agama, sebab mayoritas masyarakat Panji telah
memeluk agama Islam. Sehingga peneliti merasa hal ini menarik untuk dikaji,
bagaimana mereka tetap mempertahankan budaya lokal mereka ditengah
perbedaan persepsi dan perkembangan zaman.
Ketiga, sistem religi yang diangkat dalam penelitian ini karena sistem
religi merupakan salah satu unsur yang sering bermasalah dan sering
menimbulkan pertentangan dibandingkan keenam unsur kebudayaan yang lainnya
teknologi, sistem mata pencaharian dan kesenian). Sehingga peneliti mengangkat
sistem religi yang berkaitan dengan nilai Ketuhanan, sebab saat kearifan lokal
dicanangkan untuk dipertahankan sebagai identitas nasional dan pemerkaya
khasanah budaya Indonesia tetapi kenapa ada kearifan lokal yang mengandung
unsur religi dan tetap mempertahankannya mendapat kritikan padahal kearifan
lokal yang ada dalam suatu budaya lokal merupakan identitas dan jati diri bangsa
yang merupakan causa prima (sebab keberadaan) dari nilai-nilai luhur Pancasila
termasuk sila pertama yang berkaitan dengan nilai Ketuhanan.
Keempat, Masyarakat Panji saat ini sedang menagalami kebingungan,
untuk tetap dapat melestarikan budaya lokal sebagai kearifan lokal mereka. Selain
itu, peneliti menjadikan desa Riding Panjang sebagai lokasi penelitian karena
belum adanya penelitian terdahulu yang melakukan penelitian pada masyarakat
Panji.
Kelima, alasan peneliti memilih SMPN 5 Belinyu sebagai lokasi penelitian
karena di desa Riding Panjang hanya ada satu Sekolah Menengah Pertama
sedangkan dua sekoah lainnnya adalah Sekolah Dasar. Sementara untuk melihat
transformasi nilai-nilai religi sebagai kearifan lokal masyarakat Panji peneliti
lebih memilih SMPN 5 sebab sekolah ini masih tergolong baru karena baru empat
tahun berdiri dan berhasil mengeluarkan lulusan pertaanya pada tahun 2014.
Sehingga, dapat melihat bagaimana pengaruh SMPN 5 terhadap masyarakat Panji
di Desa Riding Panjang. Selain itu, siswa/siswi yang bersekolah di SMPN 5
Belinyu merupakan anak-anak dari masyarakat Panji yang tinggal di Desa Riding
Panjang.
3.1.2 Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah pihak-pihak yang dapat memberikan informasi
secara detail dan mendalam mengenai hal-hal yang akan dicari informasinya oleh
peneliti. Adapun peneliti memilih secara sengaja dengan pertimbangan bahwa
data yang diberikan dapat menjawab pertanyaan penelitian yang ada.
Sebagaimana yang dikemukakan Kuntjara (2006, hlm.55) “Dalam Penelitian
kebudayan yang penting bukan jumlahnya tetapi mutu sampel yang dipakai,
tentang masalah yang dihadapi”. Adapun menurut Sprandley (2007, hlm.68) ada lima persyaratan minimal untuk memilih informan yang baik, yakni:
(a)Enkulturasi penuh, artinya mengetahui budaya miliknya dengan baik, (b)Keterlibatan langsung, artinya ketika informan terlibat dalam suasana budaya, informan mengguanakan pengetahannya untuk membimbing tindakannya, informan meninjau hal-hal yang diketahuinya dan informan menerapkannya setiap hari (c)Suasana budaya yang tidak dikenal, biasanya akan semakin menerima tindak budaya sebagaimana adanya, dia tidak akan basa basi, (d)Memiliki waktu yang cukup, (e)Non-analitis, dimana informan menggunakan bahasa mereka untuk menggambarkan berbagai kejadian dan tindakan dengan cara yang hampir tanpa analisis.
Untuk subjek penelitian ini yaitu masyarakat Panji, Desa Riding Panjang,
Kecamatan Belinyu Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Peneliti mendatangi subjek secara langsung dan mewawancara subjek penelitian.
Peneliti melaukan wawancara dengan mereka melalui pendektan-pendekatan
secara khusus agar mereka dapat memberikan data yang akurat. Adapun subjek
penelitian difokuskan pada masyarakat Desa Riding Panjang yang masih menjaga
warisan budayanya yakni berkaitan dengan sistem religi atau kepercayaan
masyarakat setempat dibandingkan dengan masyarakat Panji di desa-desa lain.
Diantaranya, tetua adat atau orang yang dituakan, masyarakat Panji yang masih
melakukan atau melaksanakan budayanya, pemuka agama desa Riding Panjang,
Budayawan Bangka, wakil dari Pemerintah Kabupaten Bangka, dalam hal ini
Dinas pariwisata dan kebudayaan Bangka, masyarakat Bangka serta guru di SMP
Negeri 5 Belinyu serta beberapa masyarakat Panji lainnya yang ikut terlibat dalam
perayaan budaya lokalnya sebagai data pembanding. Adapun, peneliti dengan
sengaja memilih informan tersebut sebagai subjek penelitian karena peneliti
menganggap jika mereka cukup banyak memiliki pengetahuan dan informasi yang
dapat peneliti gunakan untuk menggali informasi yang dibutuhkan untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang ada.
3.2 Desain Penelitian
Desain dalam penelitian ini dibagi kedalam tiga bagian yaitu dimulai dari
tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan peneltian dan tahapan penyusunan
objek penelitian dan penyusunan proposal. Tahapan selanjutnya yaitu pelaksanaan
penelitian terdiri dari proses pengumpulan data sampai dengan pengolahan data.
Sedangkan tahapan terakhir ialah penyusunan laporan penelitian dari hasil
pengolahan data.
Arikunto (2010, hm.13) mengemukakan alur penelitian apapun jenis
penelitiannya selalu dimulai dari adanya permasalahan atau ganjalan yang
merupakan suatu kesenjangan yang dirasakan oleh peneliti. Kesenjangan tersebut
terjadi karena terdapat perbedaan antara kondisi nyata dengan kondisi harapan.
Dengan adanya kesenjangan maka peneliti berupaya untuk memecahkan
permasalahan yang ada melalui penelitian dengan mencari teori dan penyebab
yang berhubungan dengan keadaan tersebut.
Hasil yang didapatkan dari proses penelitian tersebut dapat digunakan
untuk mengatasi persoalan yang ada sehingga kesenjangan yang ada dapat teratasi
dengan baik dan terdapat kesesuaian antara kondisi nyata dengan kondisi yang
diharapkan.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode etnografi
seperti diungkapkan oleh Sukmadinata (2007, hlm.60) bahwa “penelitian
kualitatif merupakan penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan
menganalisis fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap kepercayaan, persepsi,
pemikiran orang secara individual maupun kelompok”. Selain itu, menurut
Nasution (2003, hlm.5) “penelitian kualitatif pada hakekatnya mengamati orang
dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami
bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya”. Adapun Moleong (2003,
hlm.3) mengatakan jika “penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang
menghasilkan data kualitatif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dan perilaku
orang-orang yang diamati”. Berikutnya, Craswell (2012, hlm.4) mengatakan
pendekatan kualitatif merupakan “metode-metode untuk mengeksplorasi dan
sebagaimana adanya, tanpa dipengaruhi dengan sengaja. Bogdan dan Biklen
(1982, hlm.27) mengemukakan bahwa:
Pengumpulan data kualitatif hendaknya dilakukan sendiri oleh peneliti dan mendatangi sumbernya secara langsung. Dengan begitu data yang didapat oleh peneliti merupakan fakta dari fenomena yang terjadi, sehingga dapat benar-benar menjawab pertanyaan penelitian yang ada.
Berikutnya, Creswell (1998, hlm.15) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai
berikut:
Qualitative research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem, the researcher build a compex, holistic picture, analysis words, report detailed views of informants and conducts the study in a natural setting.
Dapat diambil kesimpulan bahwa penelitain kualitatif merupakan
penelitian yang bertujuan memahami realitas sosial yang bersifat naturalistik,
selain itu dalam penelitian kualitatif peneliti bertindak sebagai instrumen dengan
menganalisis kata-kata serta melihat secara mendalam hal-hal yang terjadi. Dapat
dipahami bahwa penelitian kualitatif berusaha mengeksplore masalah sosial
ataupun manusianya itu sendiri dengan menganalisis kata-kata serta melihat
secara rinci hal-hal yang terjadi. Adapun dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif, karena pendekatan kualitatif cocok digunakan untuk
mengamati manusia dan lingkungannya. Dalam Penelitian ini, peneliti akan
mengeksplore fenomena sosial terkait transformasi nilai-nilai religi sebagai
kearifan lokal masyarakat Panji. Selain itu, peneliti mengamati masyarakat Panji
dalam lingkungan hidupnya, peneliti berinteraksi dengan mereka, dan peneliti
berusaha memahami bahasa dan tafsiran serta makna simbol sistem religi mereka.
Peneliti bertindak sebagai instrumen dengan menganalisis kata-kata serta melihat
secara mendalam hal-hal yang terjadi terkait dengan sistem religi masyarakat
Panji.
Adapun yang dikemukakan Le Compte, Preissle, & Tesch, 1993, hal. 5 (dalam
Creswell, 2012, hlm.462) yakni:
Ethnographic designs are qualitative research procedures for describing, analyzing, and interpreting a culture-sharing group’s shared patterns of behavior, beliefs, and language that develop over time. Central to this definition is culture. A culture is “everything having to do with human behavior and belief”
Selain itu, menurut Spradley (2006, hlm. 8) ciri-ciri metode etnografi yaitu
sifatnya yang holistik-integratif, thick description, dan analisis kualitatif dalam
rangka mendapatkan native’s point of view. Teknik pengumpulan data yang utama
adalah observasi partisipan dan juga wawancara mendalam. Lebih lanjut Spradley
(2006, hlm.15) mengemukakan bahwa metode etnografi disebut The
Developmental Research Sequence atau alur penelitian maju bertahap. Metode
etnografi didasarkan atas lima prinsip yaitu tunggal, identifikasi tugas, maju
bertahap, penelitian orisinal dan problem solving.
Dapat disimpulkan bahwa etnografi berusaha menguraikan suatu
kebudayaan bangsa/kelompok dalam hal penafsiran terhadap keyakinan, tingkah
laku, bahasa, norma, dan sistem nilai yang dianut. Selain itu, etnografi merupakan
penelitian untuk mendeskripsikan kebudayaan dengan mempelajari dan
memahami pandangan hidup dan pola budaya yang secara rinci melalui cara
berpikir, berbicara, dan bertingkah laku penduduk asli dalam kurun ruang dan
waktu. Adapun etnografi ini lebih terkhusus pada transformasi nilai-nilai religi
sebagai kearifan lokal masyarakat Panji di desa Riding Panjang. Peneliti
melibatkan diri sendiri yang berperan dalam fokus penelitian agar dapat
memahami situasi dan permasalahan akan keberadaan, peran dan makna budaya
dalam sebuah masyarakat. Penelitian melihat nilai religi yang terdapat pada
budaya lokal Panji, dimana peneliti mencari makna di balik budaya lokal yang
berunsur religi pada masyarakat Panji sehingga, diharapkan bisa memberikan
sumbangan kepada lembaga pendidikan untuk dijadikan kajian etnopedagogi,
karena sebagaimana menurut Alwasilah (2009, hlm.50):
masyarakat. Kearifan lokal adalah koleksi fakta, konsep, keyakinan, dan persepsi masyarakat terhadap lingkungan mereka.
3.4 Penjelasan Istilah
Penjelasan istilah merupakan penjelasan mengenai konsep-konsep pokok
dalam sebuah penelitian. Adapun yang menjadi konsep pokok dalam penelitian ini
yaitu transformasi nilai-nilai religi sebagai kearifan lokal masyarakat Panji berupa
sistem religi atau kepercayaan masyarakat Panji yang merupakan kearifan lokal
setempat. Berikut ini dijabarkan konsep pokok dalam penelitian ini sebagai
berikut:
3.4.1 Kebudayaan Masyarakat Panji
Kebudayaan masyarakat Panji berpendirian terhadap beberapa aspek
diantaranya keyakinan, adat istiadat, sistem hukum serta kebiasaan lainnya yang
diperoleh sebagai anggota masyarakat Panji. Kepercayaan masyarakat Panji akan
adanya Tuhan telah ada sejak dulu dan kepercayaan akan adanya satu Tuhan
sebagai pencipta bumi dan alam jagat raya termaktub dalam lantra–lantra.
Masyarakat Panji juga menyakini akan adanya hari-hari yang baik untuk memulai
suatu aktifitas seperti acara pernikahan, bertani dan sebagainya. Sealin itu terdapat
upacara-upacara adat diantaranya; seperti Nuju Jerami, taber kampung, bulan
purnama ke-15 dan Taber Laut. Berdasarkan beberapa konsep tentang
kebudayaan masyarakat Panji, maka peneliti mengidentifikasi budaya masyarakat
Panji bewujud upacara ritual adat.
Dari beberapa penjelasan tersebut, peneliti mengatakan bahwa dari
keseluruhan berkaitan dengan sistem religi dan mengandung nilai-nilai religi yang
akan digali dan dijadikan landasan penelitian ini.
3.4.2 Kearifan Lokal
Menurut Wales (1961, hlm.18) local genius diberikan pengertian yakni: “The sum of the cultural characteristic which the vast majority of a people have in common as a result of their experience in early life”.
Soebadio (dalam ayatrohaedi, 1986, hlm.18) memberikan pengertian local genius yakni:
menyerap dan mengolah pengaruh kebudayaan yang mendatanginya dari luar wilayah sendiri sesuai dengan watak dan kebuthan pribadinya.
Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986, hlm.40) mengatakan bahwa unsur
budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya
untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah:
1. Mampu bertahan terhadap budaya luar
2. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
3. Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli
4. Mempunyai kemampuan mengendalikan
5. Mampu memberi arah pada perkembangan budaya
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (2011, hlm.7) mengatakan mengenai
kearifan lokal bahwa:
Nilai yang hanya dapat disimpulkan dan ditafsirkan dari ucapan, perbuatan dan materi yang dibuat manusia yang diturunkan melalui suatu aktivitas ritual atau pendidikan. Karena itu, fungsi langsung nilai adalah untuk mengarahkan tingkah laku individu dalam situasi sehari-hari, sedangkan fungsi tidak langsungnya adalah untuk mengekspresikan kebutuhan dasar yang berupa motivasional.
Berdasarkan beberapa konsep mengenai kearifan lokal, maka penulis
mengidentifikasi beberapa indikator kearifan lokal sebagai berikut:
1. Pengetahuan
2. Kemampuan
3. Ucapan
4. Perbuatan
5. Pemanfaatan ruang dan waktu
6. Perpaduan antara nilai budaya dan kepercayaan
7. Pengalaman sudah teruji secara turun temurun
3.4.3 Sistem Religi
Pengunaan istilah religi dan agama pada prinsipnya sama yakni
mengandung arti adanya hubungan antara manusia dengan kekuasan gaib dimana
agama juga berkaitan dengan kepercayaan manusia terhadap yang gaib, yang
super natural dan lain-lain. Sebagaimana menurut Kahmad (2006:13) bahwa:
Bahasa Belanda; dan keduanya berasal dari Bahasa Latin, religio, dari akar kata religare, yang berarti ”mengikat”.
Lebih lanjut, dikemukakan Madjid (1995:124), dalam arti teknis dan
terminologis, ketiga istilah tersebut mempunyai arti yang sama, walaupun
masing-masing mempunyai etimologis dan sejarahnya sendiri. Berdasarkan pemaparan
tersebut, pemaknaan religi lebih luas yang mencakup semua keyakinan
masyarakat dan hubungan masyarakat dengan Tuhan, tidak saja menggambarkan
agama samawi saja tetapi juga agama ardhi.
3.4.4 Nilai Religi
Notonagoro (dalam Hakam, 2007, hlm.199) nilai religius/nilai Ketuhanan
merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber
kepada kepercayaan atas keyakinan manusia. Selanjutnya menurut
Daryanto&Darmiatun (2013, hlm.70) mengatakan nilai religius merupakan sikap
dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan agama yang dianutnya, toleransi
terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk
agama lain. Lathief (2008, hlm.175) memberikan pengertian religiusitas lebih
melihat aspek yang di dalam lubuk hati, moving in the deep hart, riak getaran hati
nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak merupakan misteri bagi orang
lain. Dengan demikian sikap religius ini lebih mengajuk pada pribadi seseorang
dengan Khaliqnya, bertata laku sesuai dengan karsa Tuhan.
3.4.5 Transformasi Budaya
Transformasi menurut Kuntowijoyo (2006, hlm.56) merupakan konsep
ilmiah atau alat analisis untuk memahami dunia. Karena dengan memahami
perubahan setidaknya dua kondisi/keadaan yang dapat diketahui yakni keadaan
pra perubahan dan keadaan pasca perubahan.
Transformasi ini sendiri sebagai usaha yang dilakukan untuk melestarikan
kearifan lokal agar tetap bertahan dan dapat dinikmati oleh generasi berikutnya.
Transformasi dapat dilihat baik secara fisik ataupun secara substansial. Adapaun
proses transformasi dapat dilakukan melalui bahasa, sikap atau prilaku atau
dengan kata lain proses transformasi dapat dilakukan melalui belajar berupa
sosialisasi. Sedangkan untuk cara mentransformasikan budaya lokal melalui
3.5 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif instrumennya
adalah peneliti itu sendiri yakni peneliti adalah “key instrument” atau merupakan
alat peneliti utama. Peneliti dalam pendekatan kualitatif harus menguasai
metodelogi penelitiannya, pemahaman terhadap bidang yang akan diteliti, dan
kesiapan untuk memasuki objek penelitian. Sebab semua proses penelitian akan
dilakukan oleh peneliti itu sendiri. Sebagaimana yang dikemukakakn Sugiyono
(2011, hlm.222) “dalam penelitian kualitatif yang menjadi instumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri”.
Adapun hal serupa dikemukakan oleh Nasution (2003, hlm.9) “hanya
manusia sebagai instrumen dapat memahami makna interaksi antar manusia,
membaca gerak muka, menyelami perasaan dan nilai yang terkandung dalam
ucapan atau perbuatan responden. Walaupun digunakan alat rekam atau kamera
peneliti tetap memegang peran utama sebagai alat penelitian.” Selanjutnya
menurut Kuntjara (2006, hlm.59) “pengamatan dalam metode penelitian kualitatif
meliputi keseluruhan keajadian, kelakukan, dan benda-benda yang ada pada latar
peneliti tempat subjek berada sebagaimana yang diamati peneliti sendiri”.
Walaupun peneliti dalam pendekatan kualitatif sebagai instrumen utama,
tetapi peneliti dalam pendekatan kualitatif merupakan subjek yang tidak memiliki
pengaruh dan hanya bertindak sebagai pengamat fenomena yang ada saja. Oleh
sebab itu, dalam penelitian ini peneliti menggunakan lembar observasi dan
pedoman wawancara sebagai penunjang dalam mencari data-data yang dapat
digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Lembar observasi
meliputi semua pengamatan dan pengalaman peneliti ketika di lapangan, hal ini
guna melakukan pengamatan langsung terhadap transformasi nilai-nilai religi
sebagai kearifan lokal yang masih dilaksanakan oleh masyarakat Panji yakni
melihat bagaimana mereka melaksanakan budaya lokalnya yakni sistem religi atau
kepercayaan mereka dengan cara memperhatikan pola tingkah laku dan tata cara
dalam melakukan dan melaksanakannya terutama sistem religi. Adapun pedoman
wawancara guna menggali informasi yang dibutuhkan yakni lebih mendalami
hal-hal mengenai bagaimana kearifan lokal pada masyarakat Panji dan nilai-nilai apa
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa dalam penelitian kualitatif
instrumen penelitiannya dilakukan oleh manusia. Oleh karena itu, peneliti sebagai instrumen juga harus “divalidasi” seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang akan terjun ke lapangan, sebab peneliti merupakan instrumen
kunci dalam penelitian kualitatif.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperolah data yang sesuai dengan tujuan penelitian dan agar
hasil penelitian tersebut dapat dipertanggung jawabkan maka diperlukan
pengumpulan data secara sistematis. Dan dalam penelitian kualitatif,
pengumpulan data dilakukan di dalam “natural setting” (kondisi yang alamiah).
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
teknik pengumpulan data triangulasi, yaitu usaha mengecek kebenaran data atau
informasi yang diperoleh peneliti. Sugiyono (2011, hlm.241) menyatakan bahwa “Triangulasi teknik, berarti peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber data yang sama”. Selain itu,
Kuntjara (2006, hlm.96) mengungkapkan “pengumpulan dan perekaman data
kualitatif sering dicurigai mengandung banyak bias. Untuk itu perlu dilakukan
triangulasi yaitu pengumpulan informasi dari berbagai tempat dan individu
dengan berbagai cara”. Dapat disimpulakan, triangulasi dapat meningkatkan
kedalaman pemahaman peneliti. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan
dalam melaksanakan penelitian ini yaitu teknik observasi, wawancara dan
dokumentasi.
3.6.1 Teknik Observasi
Teknik observasi yaitu suatu pengumpulan data dengan mengadakan
pengamatan langsung terhadap suatu obyek penelitian. Creswell (2012, hlm.267) menyatakan “observasi yang dilakukan dalam penelitian kualitatif merupakan observasi yang didalamnya peneliti lngsung turun kelapangan untuk mengamati
perilaku dan aktivitas individu-individu di lokasi penelitian”. Selanjutnya,
menurut Kuntjara (2006, hlm.60) “pengamatan kulitatif peneliti terlibat,
dan perolehan data. Dapat disimpulkan bahwa observasi dilakukan untuk
memperoleh gambaran nyata suatu peristiwa atau kejadian untuk menjawab
pertanyaan penelitian. Maka proses observasi merupakan proses yang dilakukan
sendiri oleh peneliti untuk melihat fenomena-fenomena yang terjadi di lapangan.
Observasi ini meliputi semua pengamatan dan pengalaman peneliti ketika di
lapangan.
Teknik ini digunakan untuk melakukan pengamatan langsung terhadap
budaya lokal yang masih dilaksanakan oleh masyarakat Panji yakni melihat
bagaimana mereka melaksanakan sistem religinya terutama budaya lokal mereka
seperti upacara adat dengan cara memperhatikan pola tingkah laku dan tata cara
dalam melakukan dan melaksanakan budaya lokal tersebut. Selain itu, peneliti
berusaha melihat nilai-nilai apa saja yang terkandung dari sistem religi
masyarakat setempat.
3.6.2 Teknik Wawancara
Wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan berita, data, atau fakta
di lapangan. Sebagaimana yang dikemukakan Sugiyono (2011, hlm.137):
“Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang digunakan apabila ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit atau kecil”.
Selanjutnya menurut Moleong (2004, hlm.186) “wawancara merupakan
percakapan dengan maksud tertentu, percakapan itu dilakukan oleh dua pihak
yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu”. Dalam penelitian
ini peneliti melakukan wawancara dengan tetua adat masyarakat Panji Desa
Riding Panjang, Kecamatan Belinyu Kabupaten Bangka. Selain itu, peneliti juga
melakukan wawancara dengan masyarakat Panji yang masih melakuakan
budayanya terutama yang berkaitan dengan sistem religi seperti upacara-upacara
adat, pemuka agama Riding Panjang, budayawan bangka dan peneliti juga
mewawancarai pemerintah setempat, dalam hal ini pemerintah kabupaten Bangka
budayawan Bangka. Lalu peneliti juga mewawancarai sebagian masyarakat
Bangka.
Adapun alasan peneliti melakukan wawancara kepada mereka atas dasar
mereka cukup banyak memiliki pengetahuan yang dapat peneliti gunakan sebagai
sumber dalam menggali informasi yang dibutuhkan. Melalui wawancara ini,
peneliti ingin lebih mendalami hal-hal mengenai bagaimana transformasi yang
terjadi pada budaya lokal yang merupakan kearifan lokal masyarakat Panji
terutama dalam sistem religi masyarakat Panji dan bagaimana masyarakat Panji
memaknai sistem religi mereka berkaitan dengan nilai-nilai Ketuhanan pada
sistem religi mereka serta bagaimana persepsi masyarakat tentang budaya lokal
masyarakat Panji saat ini.
3.6.3 Teknik Dokumentasi
Teknik dokumentasi yakni teknik mengumpulkan data yang dilakukan
dengan mengumpulkan bahan-bahan tertulis. Menurut Arikunto (2006, hlm.158), “Dokumentasi dari asal katanya dokumen, yang artinya barang-barang tertulis. Didalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-benda
tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat,
catatan hariannya dan sebagainya”.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa teknik dokumentasi
merupakan teknik mengumpulkan data yang bersumber dari catatan, buku-buku
serta dokumen lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian. Adapun
menurut Creswell (2012, hlm.267)
Pengumpulan data dalam kualitatif melalui dokumen dapat dilakukan melalui dokumen publik (seperti koran, majalah, laporan kantor) ataupun dokumen privat (buku harian, diary, surat, email) dan materi audio visual berupa foto, objek-objek, seni, video tape atau segala jenis suara atau bunyi.
Di dalam penelitian ini teknik dokumentasi penulis gunakan untuk
mendapatkan data tentang kearifan lokal dalam sistem religi masyarakat Panji
yakni materi audio visual berupa foto, video dan segala jenis yang berhubugan
3.7 Teknik Analisa Data
Teknik analisa data merupakan teknik yang digunakan untuk mengolah
data yang telah dikumpulkan dan diklasifikasi sesuai dengan tujuan penelitian,
teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa data
deskriptif kualitatif. Miles dan Hubberman (dalam Sugiyono 2011, hlm.246)
mengemukakan bahwa ”Aktivitas dalam analisa data kualitatif dilakukan secara
Interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya
sudah jenuh”. Menurut mereka ada tiga tahap analisis yaitu reduksi data,
penyajian data, penarikan kesimpulan.
3.7.1 Reduksi Data
Reduksi data yakni suatu bentuk analisis yang menggolongkan, memilih,
membuang yang tidak perlu, dan mengelompokkan data sedemikian rupa
sehingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. Sebagaimana yang
dikemukakan Sugiyono (2011, hlm.247) “Reduksi data merupakan merangkum,
memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema
dan polanya, dengan demikian data yang direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas”.
Selama pengumpulan data berlangsung terjadilah tahap reduksi,
selanjutnya reduksi data atau proses transformasi ini berlanjut terus sesudah
penelitian lapangan sampai laporan akhir tersusun. Pelaksanaannya dengan
melakukan pengelompokan berdasarkan aspek-aspek permasalahan penelitian.
Dalam penelitian ini aspek yang direduksi yaitu transformasi nilai-nilai religi
kearifann lokal masyarakat Panji serta bagaimana mereka memaknai nilai religi
tersebut dan bagaimana merka menyikapi pro dan kontra transformasi nilai religi
kearifan lokal tersebut.
3.7.2 Penyajian Data
Penyajian data merupakan alur yang paling penting dan berada pada
urutan kedua dari kegiatan analisis. Pembatasan suatu penyajian sebagai
sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan
akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja
selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. Setelah dilakukan
reduksi data terhadap data yang dikumpulkan, penulis menyajikan data dalam
bentuk deskripsi yang berdasarkan aspek-aspek yang diteliti dan disusun
berturut-turut.
3.7.3 Pengambilan Kesimpulan / Verifikasi
Setelah dilakukan reduksi data dan penyajian data, maka langkah terakhir
merupakan pemahaman terhadap data yang telah dikumpulkan. Sebagaiman
menurut Miles and Huberman (dalam Sugiyono, 2011, hlm.252) “langkah ketiga
dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi”.
Selanjutnya Miles and Huberman (dalam Sugiyono, 2011, hlm.252)
mengemukakan penarikan kesimpulan/ verifikasi yaitu :
Kesimpulan awal dalam penganalisisan kualitatif masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan dengan bukti-bukti kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung dengan bukti yang valid saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
Dalam hal ini pengambilan kesimpulan dilakukan secara bertahap, yang
pertama yaitu kesimpulan sementara, namun dengan bertambahnya data maka
perlu dilakukan verifikasi data, yaitu dengan cara mempelajari kembali data-data
yang ada atau yang direduksi maupun yang disajikan. Setelah itu, peneliti dapat
mengambil kesimpulan akhir. Adapun ketiga tahap tersebut dapat digambarkan
pada gambar 3.1 berikut:
Pengumpulan data
Reduksi data
Penarikan
kesimpulan/verifikasi penyajian
Gambar 3.1
Komponen Analisis Data Model Miles & Huberman (dalam Emzir, 2010,
hlm.134)
3.8 Uji Keabsahan Data
3.8.1 Uji Kredibilitas
Pada penelitian kualitatif juga dikenal dengan uji validitas sama halnya
dengan penelitian kuantitaif. Uji validitas dalam penelitian kualitatif dikenal
dengan uji kredibilitas. Menurut Moleong (2004, hlm.326) uji kredibilitas terdiri
atas:
1) Perpanjangan Keikutsertaan
Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan
data. Perpanjangan keikutsertaan peneliti akan memungkinkan
peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan. Perpanjangan
keikutsertaan berarti peneliti tinggal di lapangan penelitian sampai
kejenuhan pengumpulan data tercapai. Jika hal itu dilakukan maka
akan;
(1) membatasi gangguan dari dampak peneliti pada konteks;
(2) membatasi kekeliruan (biases) peneliti;
(3) mengkonpensasikan pengaruh dari kejadian-kejadian yang tidak
biasa atau pegaruh sesaat.
2) Ketekunan Pengamatan
Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara
lebih cermat. Ketekunan pengamatan berarti mencari secara konsisten
interprestasi dengan berbagai cara dalam kaitan dengan proses analisa
yang konstan atau tentatif. Mencari apa yang dapat diperhitungakan
dan tidak dapat. Ketekuanan pengamatan bermaksud menemukan
ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan
persoalan yang sedang dicari kemudian memusatkan diri pada hal
tersebut secara rinci dengan kata lain ketekunan pengamatan
3) Triangulasi
Triangulasi dalam pengujian kreadibilitas berarti pengecekan
data dari berbagai sumber. Dengan kata lain, Triangulasi adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain, di
luar data tersebut untuk keperluan pengeckan atau sebagai pembanding
terhadap data itu. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan
ialah pemeriksaa melalui sumber lainnya. Triangulasi dengan sumber
berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu
informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam
penelitian kualitatif.
4) Pemeriksaan Sejawat (Member Check)
Member check adalah, proses pengecekan data yang diperoleh
peneliti kepada pemberi data (Sugiyono, 2011, hlm.276). Teknik ini
dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhir
yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekan-rekan sejawat.
Teknik mengandung beberapa maksud sebagai salah satu teknik
pemeriksaan keabsahan data. Tujuannya untuk mengetahui seberapa
jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh
pemberi data (Sugiyono, 2011, hlm.276)
5) Kecukupan Refrensi
Kecakupan referensi maksudnyya adanya pendukung utntuk
membuktikan data yang telah diperoleh oleh peneliti. Keabsahan data
hasil penelitian juga dilakukan dengan meperbanyak refrensi yang
dapat menguji dan mengoreksi hasil penelitian yang telah dilakukan,
baik refrensi yang bersala dari orang lain maupun refrensi yang
diperoleh selama penelitian seperti gambar video dilapangan, rekaman
wawancara, maupun catatan-catatan harian di lapangan.
6) Kajian Kasus Negatif
Dengan kajian kasus negatif maka peneliti akan mencari tahu secara
mendalam mengapa masih terdapat data yang berbeda. Kajian kasus
tidak sesuai dengan pola dan kecenderungan informasi yang telah
dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan pembanding.
7) Pengecekan Anggota
Pengecekan dengan anggota sangat penting dalam proses pengumpulan
data untuk pemeriksaan derajat kepercayaan. Yang dicek dengan
anggota yang terlibat meliputi data, kategori analitis, penafsiran, dan
kesimpulan. Anggota yang terlibat yang mewakili rekan-rekan mereka
dimanfaatkan untuk memberikan reaksi dari se