• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Bahasa Jawa dalam perayaan Ekaristi di Stasi Santo Fransiskus Xaverius Kemranggen, Paroki Santo Yohanes Rasul Kutoarjo.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggunaan Bahasa Jawa dalam perayaan Ekaristi di Stasi Santo Fransiskus Xaverius Kemranggen, Paroki Santo Yohanes Rasul Kutoarjo."

Copied!
183
0
0

Teks penuh

(1)

Judul skripsi PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI DI STASI SANTO FRANSISKUS XAVERIUS KEMRANGGEN, PAROKI SANTO YOHANES RASUL KUTOARJO dipilih berdasarkan rasa keingintahuan penulis akan tanggapan umat mengenai penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi. Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen, Paroki Kutoarjo salah satu Gereja yang sampai saat ini masih mempertahankan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi.

Penulis ingin menguraikan inkulturasi yang digunakan sebagai sarana penghayatan iman umat dalam Gereja. Penulisan skripsi ini bertolak dari Sacrosanctum Concilium (SC) no. 36 yang menyatakan bahwa penggunaan bahasa setempat akan lebih bermanfaat bagi umat. Gereja menyatakan keterbukaan dirinya akan dunia luar dengan inkulturasi sebagai pemanfaatan budaya setempat untuk mempermudah menyampaikan kabar gembira dari Tuhan. Persoalan pokok dalam penulisan skripsi ini ialah tanggapan umat mengenai penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi di zaman sekarang, terutama yang dihadapi oleh kaum muda. Kaum muda di zaman sekarang ini cenderung kurang memperhatikan budaya sendiri, mereka lebih mudah mengikuti perkembangan zaman. Diperlukan kesadaran kaum muda untuk tetap berpegang pada kebudayaan supaya tidak hilang tergerus oleh perkembangan zaman. Untuk mengkaji permasalahan tersebut maka diperlukan data yang akurat untuk dapat memperoleh gagasan-gagasan sebagai upaya untuk dapat membantu meningkatkan penghayatan kaum muda dalam Perayaan Ekaristi.

(2)

The title of this undergraduate thesis is USING JAVANESE LANGUAGE IN EUCHARIST CELEBRATION IN ST. FRANCIS XAVIER DISTRICT KEMRANGGEN, ST. JOHN PARISH, KUTOARJO was selected to satisfy the writer’s curiosity of people’s response about the use of Javanese in the celebration of the Eucharist. St. Francis Xavier District Kemranggen is one of the Church until today which still maintains the Javanese in the celebration of the Eucharist.

The writer would like to explain the inculturation used as a means of appreciation of the faith of the Church. This was based on Sacrosanctum Concilium (SC) no. 36 which states that the use of local languages will be more beneficial to the people. The Church expresses her openness to the outside world as the inculturation of the local cultural use to facilitate to convey the good news of God.

A key issue in this undergraduate thesis is the notion of people's use of Javanese in the celebration of the Eucharist today, particularly that of young people. Young people these days tend to pay less attention to their own culture, and they are easier to keep abreast of the times. Needed awareness of young people need to be aware of sticking on their own culture so that it does not disappear the times. To solve the problems it is necessary to gain accurate data in order to obtain ideas in an effort to help increassing the appreciation of young people of the Eucharist.

(3)

PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI DI STASI SANTO FRANSISKUS XAVERIUS KEMRANGGEN,

PAROKI SANTO YOHANES RASUL KUTOARJO S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Anastasia Ranasita Windi Hartoyo NIM: 121124060

PROGRAM STUDI

PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada

(7)

v MOTTO

“Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan

buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku diberikan-Nya kepadamu”

(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaiamana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 26 Januari 2017 Penulis

(9)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Anastasia Ranasita Windi Hartoyo

Nomor Mahasiswa : 121124060

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan wewenang kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah penulisan yang berjudul “PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI DI

STASI SANTO FRANSISKUS XAVERIUS KEMRANGGEN, PAROKI SANTO YOHANES RASUL KUTOARJO” beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian penulis memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu minta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 26 Januari 2017 Yang menyatakan,

(10)

viii ABSTRAK

Judul skripsi PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN

EKARISTI DI STASI SANTO FRANSISKUS XAVERIUS

KEMRANGGEN, PAROKI SANTO YOHANES RASUL KUTOARJO dipilih berdasarkan rasa keingintahuan penulis akan tanggapan umat mengenai penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi. Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen, Paroki Kutoarjo salah satu Gereja yang sampai saat ini masih mempertahankan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi.

Penulis ingin menguraikan inkulturasi yang digunakan sebagai sarana penghayatan iman umat dalam Gereja. Penulisan skripsi ini bertolak dari Sacrosanctum Concilium (SC) no. 36 yang menyatakan bahwa penggunaan bahasa setempat akan lebih bermanfaat bagi umat. Gereja menyatakan keterbukaan dirinya akan dunia luar dengan inkulturasi sebagai pemanfaatan budaya setempat untuk mempermudah menyampaikan kabar gembira dari Tuhan.

Persoalan pokok dalam penulisan skripsi ini ialah tanggapan umat mengenai penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi di zaman sekarang, terutama yang dihadapi oleh kaum muda. Kaum muda di zaman sekarang ini cenderung kurang memperhatikan budaya sendiri, mereka lebih mudah mengikuti perkembangan zaman. Diperlukan kesadaran kaum muda untuk tetap berpegang pada kebudayaan supaya tidak hilang tergerus oleh perkembangan zaman. Untuk mengkaji permasalahan tersebut maka diperlukan data yang akurat untuk dapat memperoleh gagasan-gagasan sebagai upaya untuk dapat membantu meningkatkan penghayatan kaum muda dalam Perayaan Ekaristi.

(11)

ix ABSTRACT

The title of this undergraduate thesis is USING JAVANESE LANGUAGE IN EUCHARIST CELEBRATION IN ST. FRANCIS XAVIER DISTRICT KEMRANGGEN, ST. JOHN PARISH, KUTOARJO was selected to satisfy the writer’s curiosity of people’s response about the use of Javanese in the celebration of the Eucharist. St. Francis Xavier District Kemranggen is one of the Church until today which still maintains the Javanese in the celebration of the Eucharist.

The writer would like to explain the inculturation used as a means of appreciation of the faith of the Church. This was based on Sacrosanctum Concilium (SC) no. 36 which states that the use of local languages will be more beneficial to the people. The Church expresses her openness to the outside world as the inculturation of the local cultural use to facilitate to convey the good news of God.

A key issue in this undergraduate thesis is the notion of people's use of Javanese in the celebration of the Eucharist today, particularly that of young people. Young people these days tend to pay less attention to their own culture, and they are easier to keep abreast of the times. Needed awareness of young people need to be aware of sticking on their own culture so that it does not disappear the times. To solve the problems it is necessary to gain accurate data in order to obtain ideas in an effort to help increassing the appreciation of young people of the Eucharist.

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Bapa karena kasih dan penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI DI STASI SANTO FRANSISKUS XAVERIUS KEMRANGGEN, PAROKI SANTO YOHANES RASUL KUTOARJO. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk mengetahui pandangan umat terhadap penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen. Bahasa Jawa yang merupakan bahasa sehari-hari menjadi sarana untuk mempermudah umat dalam berkomunikasi lebih mendalam kepada Allah ditengah arus kebudayaan lain pada zaman sekarang ini.

Tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. B.A. Rukiyanto, SJ selaku dosen pembimbing utama yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan memberikan masukan-masukan, sehingga penulis dapat termotivasi dalam penulisan skripsi ini. 2. YH. Bintang Nusantara SFK, M.Hum selaku dosen penguji kedua yang telah

memberikan waktu dan senantiasa membimbing dengan penuh kesabaran serta memberi masukan demi penyelesaian penulisan skripsi ini.

3. Drs. L. Bambang Hendarto Y. M.Hum selaku dosen penguji ketiga yang telah menguji dan memberi masukan demi penyelesaian penulisan skripsi ini. 4. Segenap Staf Dosen Prodi Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan

(13)

xi

5. Segenap Staf Sekretariat dan Perpustakaan Prodi Pendidikan Agama Katolik, serta seluruh karyawan bagian lain yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

6. Rm. Y Lasono Wibowo MSC dan Rm. Al Y Sukirdi MSC selaku romo Paroki St. Yohanes Rasul Kutoarjo yang telah memberikan izin dan dukungan untuk mengadakan wawancara kepada umat di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen.

7. Kedua orangtua (Bernadus Hartoyo dan Anastasia Budi Winarti) dan keluarga yang telah memberikan dukungan dan perhatian kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Agustinus Dwi Riyanto sahabat terkasih yang telah memberikan perhatian dan dukungan dalam penulisan skripsi ini.

9. Kepada seluruh umat Stasi St. Fransiskus Xaverius yang telah meluangkan waktu dan bersedia menjadi responden penelitian sehingga penulis dapat memperoleh data untuk dijadikan sumber penelitian.

10. Teman-teman angkatan 2012 yang selalu memberikan dukungan dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selama ini dengan tulus memberikan bantuan hingga selesainya penulisan skripsi ini.

(14)

xii

semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Yogyakarta, 26 Januari 2017 Penulis

(15)

xiii A. Liturgi dalam Konsili Vatikan II...

1. Konsili Vatikan II membuka Pandangan Baru... 2. Pembaharuan Liturgi... 3. Maksud Pembaharuan Liturgi... B. Inkulturasi dalam Gereja Katolik... 1. Inkulturasi Gereja... 2. Inkulturasi Liturgi... C. Penggunaan Bahasa Jawa dalam Liturgi Gereja Katolik...

(16)

xiv

1. Bahasa Liturgi... 2. Bahasa Jawa sebagai Bahasa Liturgi... a. Bahasa Jawa... b. Asal Mula Penggunaan Bahasa Jawa dalam Liturgi... D. Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi untuk membantu Penghayatan Iman Umat... 1. Perayaan Ekaristi Menurut Konsili Vatikan II... a. Ekaristi sebagai Sumber dan Puncak Kehidupan Gereja... b. Ekaristi sebagai Perayaan Gereja... c. Ekaristi sebagai Pusat Liturgi... d. Ekaristi sebagai Kurban... e. Ekaristi sebagai Perjamuan... f. Ekaristi sebagai Sakramen... 2. Memaknai dan Menghayati Perayaan Ekaristi melalui Bahasa

Jawa... a. Ritus Pembuka... b. Liturgi Sabda... c. Liturgi Ekaristi... d. Ritus Penutup... 3. Partisipasi Umat dalam Ekaristi Bahasa Jawa... E. Tantangan Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi pada

Masa Sekarang... 1. Menghayati Ekaristi dalam Hidup Sehari-hari... 2. Tantangan Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi....

17 BAB III. PENELITIAN TENTANG PENGGUNAAN BAHASA JAWA

DALAM PERAYAAN EKARISTI DI STASI ST.

FRANSISKUS XAVERIUS KEMRANGGEN... 42 A. Gambaran Umum Umat Stasi St. Fransiskus Xaverius

Kemranggen... 1. Sejarah Singkat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen... 2. Letak Geografis Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen... 3. Jumlah Umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen...

43 43

(17)

xv

4. Pelaksanaan Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen... 5. Tantangan yang dihadapi oleh Umat di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen... B. Penelitian Mengenai Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan

Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen, Paroki Kutoarjo... 1. Latar Belakang Fokus Penelitian... a. Keadaan Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen... b. Penelitian yang Relevan... C. Pembahasan Hasil Penelitian tenang Pengunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen…... 1. Hasil Penelitian ...

a. Hasil Penelitian Wawancara... b. Hasil Penelitian (Focused Group Discussion) FGD... 2. Pembahasan Penelitian... a. Pandangan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen tentang Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi... b. Penggunaan Bahasa Jawa dan Penghayatan Perayaan Ekaristi Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen... c. Usulan atau Harapan Umat terhadap Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi di Stasi St. Fransiskus

(18)

xvi

STASI SANTO FRANSISKUS XAVERIUS

KEMRANGGEN... 91 A. Berbagai Upaya untuk Meningkatkan Penghayatan akan

Perayaan... 1. Pentingnya Penjadwalan Misa... 2. Perayaan Ekaristi untuk Kaum Muda... 3. Katekese bagi Kaum Muda dengan Model SCP... B. Katekese bagi Kaum Muda sebagi salah satu Upaya Meningkatkan

Penghayatan akan Perayaan Ekaristi... 1. Pengertian Katekese... 2. Tujuan Katekese... 3. Model Katekese...

a. Tiga komponen utama dalam SCP... b. Langkah-langkah Model SCP... C. Usulan Program Katekese dengan Model SCP... 1. Latar Belakang Pemilihan Program... 2. Tema dan Tujuan Program... 3. Petunjuk Pelaksanaan Program... 4. Penjabaran Program... D. Contoh Satuan Program Katekese Model SCP...

92

(19)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Teks Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru: dengan pengantar dan catatan singkat. (Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende:Arnoldus. 1984/1985, hal. 8.

B. Singkatan Dokumen Gereja

CT :Catechesi Tradendae, Anjuran Apostoik Paus Paulus II kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang Katekese Masa Kini, 16 Oktober 1979.

GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral dalam Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, 7 Desember 1965

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis dalam Konsili Vatikan II tentang Gereja, 21 November 1964

PO : Presbyterium Ordinis, Dekrit dalam Konsili Vatikan II tentang Pelayanan dan Kehidupan para Imam, 7 Desember 1965

SC : Sacrosanctum Concilium, Konstitusi dalam Konsili Vatikan II tentang Liturgi Suci, 4 Desember 1963

C. Singkatan Lain

(20)

xviii Mgr : Monsinyur

MSC : Missionari Sacratissimi Cordies Jesu (Misionaris Hati Kudus Yesus)

OMK : Orang Muda Katolik

PIOM : Pembinaan Iman Orang Muda

PKKI : Pertemuan Kateketik Keuskupan se Indonesia PUMR : Pedoman Umum Misale Romawi

PWI : Panitia Waligereja Indonesia St. : Santa/Santo

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

Pada Bab I ini, penulis akan menjelaskan latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penulisan dan sistematika penulisan.

A. Latar Belakang

Konsili Vatikan II yang diselenggarakan pada tahun 1962 dan berakhir tahun 1965, Paus Yohanes XXIII sebagai pemarkasa diadakannya suatu konsili, namun beliau wafat sebelum konsili tersebut selesai, kemudian di lanjutkan oleh Paus Paulus VI. Paus Yohanes XXIII mempunyai gagasan-gagasan baru mengenai konsili yang akan diadakan, jika pada Konsili Vatikan I diselenggarakan guna memecahkan masalah sengketa doktrin dan yurisdiksi di dalam Gereja, Konsili kedua ini bersifat pastoral (Beding, 1997:21). Konsili ini membawa Gereja ke dalam dunia modern dan masalah yang dihadapi. Paus Yohanes XXIII juga meyakini bahwa Konsili Vatikan II ini menjadi peluang bagi Gereja untuk memahami dan menghadapi dunia yang baru ini dengan terang Injil Yesus Kristus, menyadari tugas perutusan ditengah dunia serta kebudayaan semakin disekularisasikan.

(22)

kebebasan dalam beragama. Pada akhirnya konsili yang dipimpin oleh Paus Paulus VI sebagai pengganti Paus Yohanes XXIII menyadari apa yang menjadi harapan dari Paus Yohanes XXIII yaitu suatu arggiornamento yaitu suatu pembaharuan Gereja dari segi internal (Beding, 1997:21-22).

Sacrosanctum Concilium (SC) Salah satu konstitusi yang dihasilkan

oleh Konsili Vatikan II yang berbicara mengenai pembaharuan liturgi dengan tujuan supaya umat senantiasa dapat memahami dan memperoleh berkah dari apa yang umat rayakan secara bersama-sama, pemaharuan yang dimaksud ialah unsur-unsur yang disesuaikan dengan keadaan umat. Seperti apa yang menjadi keyakinan Paus Yohanes XXIII bahwa kebudayaan semakin disekurarisasikan, tidak luput apabila bermula dari Gereja Lokal, yaitu gereja yang tumbuh dan berakar di tengah-tengah rakyat (Madya Utama,Ig. 2010:26). Di Indonesia perlahan menjadi Gereja Lokal yang mandiri dengan lahirnya biarawan biarawati pribumi, salah satunya yaitu Soegijapranata SJ, beliau merupakan uskup pribumi yang pertama (Beding, 1997:24). Berbicara Gereja Lokal maka tidak lepas dari inkulturasi di mana Gereja Lokal yaitu Gereja yang sungguh-sungguh bertumbuh dari kebudayaan setempat, menghargai nilai-nilai dan tradisi setempat serta bahasa yang diinkulturasikan ke dalam tata cara Katolik.

(23)

dimengerti oleh umat setempat serta sanara pengungkapan iman umat kepada Allah. Demi terjalinnya suatu komunikasi dua arah antara manusia dengan Tuhan maka harus memperhatikan bahasa, walaupun Tuhan maha mengetahui apapun bahasa yang digunakan oleh manusia. Inkulturasi bahasa inilah yang terjadi di Stasi Fransiskus Xaverius Kemranggen, Paroki Kutoarjo, Keuskupan Purwokerto yang mengunakan Bahasa jawa dalam setiap Perayaan Ekaristi maupun ibadat-ibadat lainnya. Melihat kenyataan yang terjadi bahwa kebudayaan setempat khususnya bahasa yang semakin luntur dengan kebudayaan baru, maka menimbulkan masalah tersendiri di dalam Perayaan Ekaristi. Orang tua dirasa masih mahir dalam berbahasa Jawa dan dengan mudah mengerti dan dapat membantu menghayati dalam Perayaan Ekaristi tanpa terkendala bahasa, karena bahasa jawalah yang sejak dulu menjadi bahasa mereka. Namun untuk anak-anak jaman sekarang ataupun umat pendatang, mereka cenderung tidak mengerti arti bahasa jawa yang digunakan dalam Perayaan Ekaristi sehingga tidak sungguh-sungguh memahaminya.

(24)

menghayati imannya di tengah arus budaya modern yang semakin menggerus kebudayaan setempat.

Untuk dapat mengetahui tanggapan umat terhadap penggunaan Bahasa Jawa dalam perayaan Ekaristi di Paroki Kutoarjo khususnya di Stasi Kemranggen. Penulis mengemukakan gagasan-gagasan sesuai dengan kenyataan yang dialami oleh umat setempat, sehingga penulis mengambil judul: PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI DI STASI SANTO FRANSISKUS KEMRANGGEN, PAROKI KUTOARJO

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pandangan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen mengenai Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi?

2. Apakah penggunaan Bahasa Jawa dapat membantu penghayatan umat dalam mengikuti Perayaan Ekaristi?

3. Apakah yang menjadi harapan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen terhadap penggunaan Bahasa Jawa?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pendapat umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen mengenai Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi.

(25)

3. Mengetahui harapan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen terhadap penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi.

D. Manfaat Penelitian

1. Dapat mengetahui pandangan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen mengenai Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi.

2. Dapat mengetahui penghayatan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen dalam mengikuti Perayaan Ekaristi dengan menggunakan Bahasa Jawa, sehingga Perayaan Ekaristi sungguh dirayakan oleh seluruh umat yang hadir.

3. Mengetahui yang menjadi harapan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen terhadap penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi.

E. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan ialah dengan metode pendekatan deskriptif analisis yaitu memaparkan, menguraikan dan menganalisis data yang ada, untuk melengkapi data digunakan metode penelitian kualitatif. Data diperoleh melalui pengalaman dan wawancara untuk dapat membantu memperoleh data dari lapangan.

F. Sistematika Penulisan

(26)

BAB I: Pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II: Bagian ini memaparkan unsur-unsur peranan penggunaan bahasa dalam Perayaan Ekaristi meliputi dua hal pokok yaitu: liturgi dalam Konsili Vatikan II, inkuturasi dalam Gereja Katolik, Penggunaan Bahasa Jawa dalam Liturgi Gereja Katolik, Penggunaan Bahasa Jawa dalam liturgi Gereja Katolik dan Penghayatan Ekaristi, Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi untuk Membantu Penghayatan Iman umat dan tantangan penggunaan Bahasa Jawa dalam masa sekarang.

BAB III: Bab ini berisi Penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen yang meliputi: gambaran umum umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen, penggunaan bahasa Jawa dalam Ekaristi dan penelitian serta pembahasannya.

BAB IV: Bab ini memaparkan mengenai usulan program untuk meningkatkan penghayatan umat dalam mengikuti Ekaristi.

(27)

BAB II

PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI

Pada Bab II menguraikan penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi yang meliputi dua hal pokok yaitu: penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi dan penghayatan Sakramen Ekaristi. Berawal dengan penelitian yang sudah ada sebelumnya. Selanjutnya pembahasan tentang penggunaan Bahasa Jawa meliputi: liturgi dalam Konsili Vatikan II, inkulturasi dalam Gereja Katolik. Pembahasan tentang penghayatan Sakramen Ekaristi meliputi: Penggunaan Bahasa Jawa dalam Liturgi Gereja Katolik, Penggunaan Bahasa Jawa dalam liturgi Gereja Katolik dan Penghayatan Ekaristi, Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi untuk Membantu Penghayatan Iman umat dan tantangan penggunaan Bahasa Jawa dalam masa sekarang. Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi dan penghayatannya.

A. Liturgi dalam Konsili Vatikan II

1. Konsili Vatikan II membuka Pandangan Baru

(28)

kembali Gereja-Gereja Protestan. Gereja ingin melahirkan kesetiakawanan kepada kaum miskin dan menjadi Gereja kaum miskin.

Gereja hadir bukan untuk dirinya sendiri malainkan terbuka untuk setiap orang. Konsili yang diselenggarakan tidak hanya memecahkan doktrin-doktrin dalam Gereja. Paus Yohanes XXIII berpandangnya membawa Gereja kepada dunia luar dan masalah-masalahnya. Para peserta konsili membuka konsili dengan membahas mengenai pembaharuan liturgi. Upaya pembaharuan liturgi pada saat itu sudah mulai ditangani, sehingga mengawali konsili dengan pembaharuan liturgi menjadi keuntungan yaitu karena merupakan pembaharuan gerejawi yang serentak dirasakan oleh seluruh umat Katolik sedunia.

2. Pembaharuan Liturgi

Sacrosanctum Concilium sebagai salah satu dokumen yang dihasilkan

(29)

pembaharuan liturgi ialah Tahta Apostolik dengan menurut kaidah-kaidah (SC 22).

Pembaharuan dalam Sacrosanctum Concilium antara lain dengan membacakan Kitab Suci dengan jelas, dan mazmur dinyanyikan. Melalui pembacaan Kitab Suci maka umat dapat menghaturkan permohonan, doa dan mahda-mahda liturgi (SC 24). Peninjauan buku-buku liturgi (SC 25). Liturgi sebagai suatu perayaan bersama sebagai sakramen kesatuan, hendaknya umat ikut serta secara aktif (SC 26). Petugas misa harus sungguh-sungguh menghayati sepenuh hati apa yang menjadi tugas dan tanggungjawab demi kelancaran Perayaan Liturgi (SC 29). Keaktifan umat dengan aklamasi, jawaban-jawaban, pendarasan mazmur. Saat hening dan khidmat (SC 30). Penggunaan bahasa pribumi yang dirasa lebih bermanfaat bagi umat dalam menghayati apa yang mereka rayakan bersama-sama (SC 36)

Kata liturgi berasal dari kata Yunani leitorgia yang berarti pelayanan kepada masyarakat. Artinya bahwa Allah mengikutsertakan manusai dalam misteri Paskah melalui pewartaan dan tanda sakramental. Dengan demikian, seseorang yang telah diselamatkan mampu mengucapkan syukur kepada Allah. Dokumen SC menegaskan kembali bahwa liturgi bukan hanya sebagai kegiatan manusia melaikan suatu karya Allah “melalui liturgilah, terutama dalam kurban Ilahi Ekaristi, terlaksana karya penebusan”. Segala karya

(30)

perayaan bersama dimana karya penyelamatan Allah dikenangkan, dengan ibadat maka karya Allah terlaksana (Rukiyanto, 2012: 145-150).

Paus Fransiskus dalam homilinya, mengenang 50 tahun setelah Konsili Vatikan II menegaskan maksud dari pembaharuan liturgi, melalui liturgi diharapkan setiap umat beriman sungguh mendengarkan suara Tuhan yang senantiasa menuntun kearah kebenaran dan kesempurnaan dalam beriman Kristen. Pembaharuan liturgi bermaksud untuk mengaitkan liturgi dengan kehidupan sehari-hari, liturgi dengan Sabda Tuhan. Sehingga apa yang telah didengarkan, dihayati dan diperoleh dalam liturgi senantiasa diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Liturgi menjadi lebih sederhana dan melibatkan umat untuk turut serta merayakan liturgi.

Dalam Sacrosanctum Concilium, Konstitusi Konsili Vatikan II tentang Liturgi Suci, artikel 50 dijelaskan mengenai pembaharuan liturgi dengan lebih sederhana dan mudah ditangkap oleh umat.

Tata perayaan Ekaristi hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa sehingga lebih jelaslah makna setiap bagiannya serta hubungannya satu dengan yang lain. Dengan demikian, umat beriman akan lebih mudah ikut serta dengan khidmat dan aktif.maka dari itu hendaknya upacara-upaara disederhanakan, dengan tetap mempertahankan hal-hal yang pokok. Hendaknya dihilangkan saja semua pengulangan dan tambahan yang kurang berguna, yang muncul dalam perjalanan sejarah. Sementara beberapa hal, yang telah memudar karena dikikis waktu hendaknya dihidupkan lagi selaras dengan kaidah-kaidah semasa para Bapa Gereja, bila itu tampaknya memang berguna atau perlu.

(31)

umat, sehingga umat diharapkan akan lebih berperan aktif dalam setiap ritus perayaan. Demi terwujudnya peran serta oleh seluruh umat yang mengikuti perayaan Ekaristi maka dibutuhkan kesederhanaan sehingga mudah dimengerti dan diserap oleh umat. Pembaharuan liturgi ini bertolak dari tuntutan kebutuhan umat dalam merayakan Perayaan Ekaristi sehingga umat dapat mengikuti secara sadar, utuh dan penuh untuk dapat menghidupi seluruh hidup dengan menjadi umat yang ekaristis.

Demi terwujudnya SC 50 maka hal-hal praktis dalam pembaharuan dengan kesederhanaan supaya mudah dimengerti, diawali dengan keberadaan tempat untuk Liturgi Sabda ialah mimbar, sedangkan altar digunakan untuk Liturgi Ekaristi. Kursi pemimpin tempat imam untuk memimpin ritus pembuka ataupun penutup. Sabda Allah dibacakan dengan menghadap arah umat, serta dalam penerimaan komuni disertai kata-kata “Tubuh Kristus” dan umat menjawab dengan “Amin”. Untuk lebih mengidupi peran serta umat,

disediakanlah bahan-bahan perarakan (Cunha, 2012:111-115).

(32)

3. Maksud Pembaharuan Liturgi

Pembaharuan liturgi dalam Konsili Vatikan II mengubah wajah baru dalam hal liturgi. Pada mulanya seorang imam yang merayakan Misa, sedangkan umat-awam hanya duduk diam sambil berdoa secara pribadi. Seluruh Perayaan Ekaristi dibisikkan oleh pastor dalam Bahasa Latin. Posisi duduk Pastor yang membelakangi umat, rumusan selalu sama dan sudah baku, sehingga imam senantiasa sudah hafal namun ada pula yang masih menggunakan buku misa. Misa berlangsung sangat singkat tidak lebih dari 20 menit karena imam membacakan rumusan dengan terburu-buru (Madya Utama, 2015:11).

Adapun yang menjadi maksud pembaharuan liturgi bukan hanya pembaruan demi pembaharuan melainkan seperti yang dicita-citakan dalam SC 1 antara lain memperkembangkan hidup Kristen bagi umat beriman, menyesuaikan tata hidup dalam dunia sekarang, mengusahakan demi tercapainya kesatuan umat yang percaya kepada Kristus serta memperteguh iman akan Yesus Kristus. Seluruh pembaharuan liturgi pada akhirnya mengarah kepada penghayatan iman umat. Namun perlu disadari pula pembaharuan liturgi bukan hanya mengenai bentuk-bentuk dan naskah liturgi yang diubah melinkan demi keikutsertaan umat secara aktif dalam perayaan liturgi sehingga umat dapat menghidupi kehidupan kristiani dan menemukan sumber serta puncak dalam Perayaan Liturgi (Stolk, 1979:7-9).

(33)

Fransiskus menegaskan kembali pembaharuan liturgi yang tercantum dalam SC 14, pembaharuan liturgi bukan hanya memahami doktrin Gereja ataupun suatu ritus yang harus dipenuhi, melainkan lebih dipahami sebagai sumber kehidupan dalam perjalanan iman seluruh manusia. Liturgi merupakan suatu perayaan kehidupan, merefleksikan kembali apa yang diimani dalam kehidupan sehari-hari kehadapan Allah. Gereja mengundang umatnya supaya apa yang mereka rayakan dan alami dalam kehidupan sehari-hari dapat seimbang (Madya Utama, 2015:25-26).

Dalam hal ini liturgi menunjukan bagaimana mewujudkan dalam hidup sehari-hari apa yang telah diterima dalam iman dan apa yang telah dirayakan. Merayakan sakramen-sakramen terutama dalam Sakramen Ekaristi yang diubah sedemikian dari sebelum Konsili Vatikan II. Umat tidak lagi hanya menghadiri Perayaan Ekaristi yang diyarakan oleh imam melainkan turut terta merayakannya Misa secara bersama-sama. Perubahan Bahasa Latin ke bahasa setempat menyatakan cara Gereja memaknai persekutuan jemaat.

(34)

bahasa lokal dalam liturgi. Di Jawa sudah diterbitkan buku-buku Misa dalam menggunakan Bahasa Jawa. Hal ini menjadi bukti bahwa Gereja Indonesia tergolong cepat dalam mempraktekan dan mensosialisakan pembaharuan liturgi (Martasudjita. 2014:61).

B. Inkulturasi Dalam Gereja Katolik 1. Inkulturasi Gereja

“Inkulturasi gereja adalah suatu usaha untuk mengikutsertakan

manusia dalam karya penciptaan baru dan penyelamatan yang dikerjakan oleh Allah”. Allah senantiasa hadir, berkarya, dihayati dan diungkapkan oleh umat

melalui perbuatan dan perkataan. Dengan demikian sesuatu kebiasan baik dalam peristiwa kehidupan sehari-hari ditafsirkan dengan iman yang ditunjang dengan adat-istiradat yang ada dalam suatu masyarakat. Hal ini dilakukan demi pengungkapan iman melalui kekayaan adat setempat, sehingga umat dapat dengan bebas mengungkapkan iman dan ikut serta dalam karya penyelamaan Allah (Sekretariat PWI Liturgi, 1980: 281)

Dalam seminar inkulturasi yang diadakan di Yogyakarta yang digerakkan dan diatur oleh Fakultas Misiologi di Gregoriana Roma, dirumuskan pengertian inkulturasi sebagai berikut:

(35)

baru persekutuan dan komunikasi dalam kebudayaan dan di luar kebudayaan itu sendiri (Muda, 1992:34).

Pengertian tersebut dikatakan bahwa inkulturasi merupakan relasi dinamis antara keselamatan Kristen dengan berbagai kebudayaan. Di dalamnya terdapat proses dua arah yaitu percampuran antar warta kristen dan kekhasan kristiani dengan kebudayaan. Penerimaan dalam kebudayaan terhadap warta khas kristen, sebagai sikap keterbukaan diantaranya.

“Inkulturasi tidak hanya terbatas pada cara pengungkapan iman,

melainkan harus lebih mendalam yakni pada satu perayaan/selebrasi iman”

(Muda, 1992:87). Seperti yang dihasilkan Konsili Vatikan II dalam SC yaitu usaha inkulturasi liturgi dengan kebudayaan setempat. Hal ini menjadi penekanan kembali penyesuaian inkulturasi dengan berbagai bangsa dan kebudayaan di seluruh dunia. Gereja sangat mendukung penyesuaian liturgi, karena dengan demikian Gereja ikut serta dalam mengambil bagian dalam kebudayaan asal supaya tidak terjadinya kekeliruan dalam liturgi.

(36)

Melalui pengesahan dokumen Sacrosanctum Concilium, Gereja secara resmi menyatakan diri bahwa Gereja tidak terikat hanya pada satu kebudayaan saja, misalnya kebudayaan Romawi/Latin saja yang dipakai dalam seluruh Tata Perayaan Liturgi sebelumnya. Begitu banyak perubahan yang terjadi dalam Liturgi, maka hal ini semakin memanfaatkan harta kekayaan budaya setempat sebagai cara pengungkapan iman (Muda, 1992:87-93).

2. Inkulturasi Liturgi

(37)

secara teologis dan unsur kultural dalam masa sekarang ini (Cunha, 2012:119-122).

Kemungkinan inkulturasi liturgi yang diperbolehkan oleh Gereja Indonesia antara lain musik misalnya dengan mengunakan gamelan dalam budaya jawa, penggunaan bahasa jawa, musik rebana. Gedung Gereja diinkuturasikan dengan ciri budaya setempat misalnya dengan mengusung arsitek lokal, misalnya terdapat tokoh dalam wayang serta ornamen dalam budaya Jawa. Lambang dalam Tabernakel dengan lambang gunungan wayang, serta ritus dalam Perayaan Ekaristi, misalnya dengan menggunakan bahasa setempat, misa syukur. Ruang penyesuaian yang terjadi dalam Gereja antara lain bahasa, musik dan kesenian lainnya, hal ini seperti yang terdapat dalam SC 36, sebagai berikut:

Akan tetapi, dalam Misa. Dalam pelayanan sakramen-sakramen, dan dalam bagian-bagian liturgi lainnya, tidak jarang mengunakan bahasa pribumi dapat sangat bermanfaat bagi umat. Maka seyogyanyalah hal ini diberi kelonggaran yang lebih luas, terutama dalam bacaan-bacaan dan ajakan-ajakan, dalam berbagai doa dan nyanyian

(38)

C. Penggunaan Bahasa Jawa dalam Liturgi Gereja Katolik 1. Bahasa Liturgi

Dalam Sacrosantum Concilium, Konstitusi tentang Liturgi Suci art. 36, dikatakan bahwa Bahasa Latin hendaknya dipertahankan dalam ritus-ritus lain. Namun dalam Misa, dalam pelayanan Sakramen-sakramen, maupun bagian liturgi lainnya, bahasa pribumi lebih bermanfaat dan lebih dikenal oleh umat. Oleh sebab itu maka diberi kelonggaran yang lebih luas. Pengunaan bahasa inilah hendaknya mendapatkan persetujuan ataupun pengesahan dari Tahta Apostolik. Penyesuaian bahasa dengan Gereja setempat dimaksudkan supaya pesan Injil sungguh nyata diterima oleh umat.

(39)

2. Bahasa Jawa sebagai Bahasa Liturgi a. Bahasa Jawa

Magnis Suseno dalam buku Etnologi Jawa mendefinisikan mengenai suku bangsa Jawa yaitu sebagai berikut: Suku Jawa adalah penduduk asli pulau Jawa bagian tengah dan timur, kecuali pulau Madura. Selain itu, mereka yang menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya untuk berkomunikasi juga termasuk dalam suku Jawa. Asal usul suku Jawa berkaitan juga dengan bahasa yang digunakan, yaitu bahasa Jawa. Ada dua jenis bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat Jawa, yaitu: bahasa Jawa Ngoko yaitu bahasa Jawa yang digunakan oleh orang yang sudah akrab, dengan usia yang sepadan ataupun kepada orang yang status sosialnya lebih rendah. Bahasa Jawa Krama digunakan kepada orang yang belum akrab, orang muda kepada orang yang lebih tua ataupun kepada orang yang status sosialnya lebih tinggi (Endraswara, 2015:169).

(40)

berminat dengan liturgi yang menggunakan Bahasa Jawa walaupun mereka orang jawa.

Namun masih banyak pula yang masih mempertahankan penggunaan Bahasa Jawa dalam liturgi. Bahasa yang memang menjadi bahasa sehari-hari yang tentu saja akan lebih mudah umat dalam menghayati Ekaristi. Penggunaan Bahasa Jawa dalam liturgi menyangkut segala aspek mulai dari nyanyian, doa, maupun khotbahnya. Tata Perayaan Ekaristi Bahasa Jawa yang digunakan yaitu Bahasa Jawa Krama Inggil, sedangkan dalam khotbah biasanya menggunakan bahasa yang santai yang biasa digunakan oleh umat.

b. Asal Mula Penggunaan Bahasa Jawa dalam Liturgi

Bahasa sebagai sarana komunikasi bagi manusia mendapatkan perhatian yang tinggi di dalam masyarakat pada umumnya. Begitu juga dalam Gereja yang senantiasa memperhatikan kebutuhan umatnya. Seperti halnya penggunaan bahasa dalam Ekaristi di daerah Jawa yang sampai saat ini masih dipertahankan. Hal ini bermula dari para misionaris sebagai pembawa Agama Katolik yang menyadari bahwa keberhasilan misinya di daerah Jawa tergantung dari penguasaan bahasanya. Romo Van Lith, SJ salah satu misionaris dari Belanda yang datang ke Indonesia pada bulan Oktober 1896, jauh sebelum konsili Vatikan II diadakan.

(41)

misi perutusannya. Beliau mengecam bahwa kemacetan dalam menjalankan misi di Jawa kerena keterbatasan tentang bahasa dan perilaku orang Jawa. Dalam misinya di Muntilan Romo Van Lith menampilkan figur Gereja yang menyatu dan hidup berdampingan dengan umat walaupun di sisi lain ada pula yang menganggapnya terlalu keras kepala.

Beliau juga menerjemahkan buku pelajaran agama dan doa-doa kedalam Bahasa Jawa bukan hanya menerjemahkan dari Bahasa Belanda dan Latin saja melainkan lebih mendalam lagi mengenai makna dan perasaan yang mau diungkapkannya. Hal ini memerlukan waktu yang lama karena beliau harus berkontak langsung dengan masyarakat sampai kraton Yogyakarta (Hendarto, 1990: 114-118).

D. Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi untuk Membantu Penghayatan Iman umat

1. Perayaan Ekaristi menurut Konsili Vatikan II

Istilah Ekaristi yang dihasilkan dalam Konsili Vatikan II terdapat dalam dokumen Sacrosanctum Concilium, Lumen Gentium, Presbyterorum Ordinis. Konsili Vatikan II tidak secara sistematis menyampaikan tema

Ekaristi. SC 47 secara singkat merumuskan mengenai Ekaristi, sebagai berikut:

(42)

kesatuan, ikatan cinta kasih, perjamuan Paskah. Dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dipenuhi jaminan kemuliaan akan datang.

Berdasarkan artikel dari SC dapat diperoleh beberapa kesimpulan pokok dari Ekaristi yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan II.

a. Ekaristi sebagai Sumber dan Puncak Kehidupan Gereja

Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup Gereja, Sacrosanctum Concilium menyebutkan Ekaristi sebagai ”sumber dan puncak” seluruh kegiatan Gereja, walaupun liturgi tidak mencakup seluruh kegiatan Gereja. Liturgi sebagai puncak seluruh kegiatan Gereja dan sebagai sumber daya-kekuatan (SC 10). Liturgi mendorong umat beriman supaya setelah mereka dipuaskan dengan sakramen-sakramen dipersatukan dalam persekutuan, mereka mampu mengamalkan apa yang mereka peroleh kedalam hidup sehari-hari. Liturgi Ekaristi sebagai sumber yang mengalirkan rahmat kepada umatnya. Kerena hidup ialah suatu ibadah maka istilah Perayaan Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup Gereja menunjuk perhatian Konsili Vatikan II yang menghubungkan Ekaristi dengan seluruh spiritualitas hidup Gereja.

Dalam Lumen Gentium (LG), Konstitusi Konsili Vatikan II tentang Gereja, art. 11 menyatakan beberapa hal mengenai Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup Gereja.

(43)

melainkan masing-masing dengan caranya sendiri. Kemudian sesudah memperoleh kekuatan dari tubuh Kristus dalam perjamuan suci, mereka secara konkrit menampilkan kesatuan umat Allah yang oleh sakramen mahaluhur itu dilambangkan dengan tepat dan diwujudkan secara mengangumkan.

Dari artikel diatas terdapat tidak poin pokok mengenai makna Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup Gereja. Pertama, melalui Perayaan Ekaristi umat beriman mempersembahkan Kristus dan diri sendiri sebagai Gereja kepada Allah. Kedua, dalam Ekaristi diharapkan umat beriman berpartisipasi menurut cara dan perannya masing-masing. Ketiga, dalam Perayaan Ekaristi umat beriman memperoleh kekuatan untuk mewujudkan kesatuan umat melalui perutusan (Martasudjita, 2012:16).

b. Ekaristi sebagai Perayaan Gereja

”Melalui liturgi, terutama dalam kuban Ilahi Ekaristi terlaksanalah karya penebusan kita” (SC 2). Ekaristi sebagai karya penebusan (SC 47).

(44)

meskipun sering hanya kecil dan miskin, atau tinggal tersebar, hiduplah Kristus dan berkat kekuatan-Nya terhimpunlah Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik”. Dengan demikian Gereja lahir dari Ekaristi. SC 26 menyebutkan bahwa Ekaristi bukan suatu perayaan perorangan melainkan perayaan bersama yang dirayakan oleh seluruh Gereja (Martasudjita, 2009:298-300).

c. Ekaristi sebagai Pusat Liturgi

Ekaristi sebagai pusat seluruh liturgi memiliki kedudukan khusus dalam beberapa tempat. Karya penebusan terlaksana dalam liturgi terutama dalam kurban Ekaristi (SC 2). Dalam liturgi terutama bagian Ekaristi umat beriman memperoleh rahmat dari Allah (SC 10). Kesatuan umat sebagai Gereja menuntut adanya keikutsertaan penuh dan aktif dalam perayaan liturgi terutama dalam bagian Ekaristi (SC 41). Ekaristi sebagai pusat liturgi menunjukan pemahaman SC yang melihat dari dua sudut pandang antara lain Ekaristi sebagai perwujudan tertinggi dan memandang liturgi lain dari sudut Ekaristi. Selain memberikan Ekaristi sebagai pusat liturgi juga memberikan kedudukan tertinggi pada perayaan Sabda dimana Kitab Suci menjadi pusat, perayaan sakramen lain, dan ibadat harian (Martasudjita, 2009:301).

d. Ekaristi sebagai Kurban

Sacrosanctum Concilium menyebutkan Ekaristi sebagai kurban (SC

(45)

dalam kurban Misa, baik dalam pribadi pelayan” (SC 7). Bapa Konsili

mengutip kata kurban dalam Trente. SC menghubungkan kurban Ekaristi dengan perjamuan malam terakhir yang dilakukan oleh Yesus dan juga kurban salib. Pada perjamuan malam terakhir Yesus sudah mengorbankan Tubuh dan Darah-Nya. Namun hal ini tidak juga berarti bahwa perjamuan malam terakhir ialah perjamuan Ekaristi. Perayaan Ekaristi yang pertama baru terlaksana sesudah Yesus Kristus wafat dan bangkit. Kata kurban Ekaristi yang diadakan oleh Yesus pada perjamuan malam terakhir menunjukkan pada penyerahan diri Yesus kepada Bapa bagi keselamatan dunia. Peristiwa salib Kristus itulah yang dirasakan dan dihadirkan di setiap Perayaan Ekaristi. Maka kesatuan kurban Ekaristi dan kurban salib Kristus. Dalam hal ini maka Ekaristi juga sebagai perayaan kenangan dimana perjamuan malam terakhir dikenang dan diabadikan dalam Perayan Ekaristi (Martasudjita, 2009: 293-295).

e. Ekaristi sebagai Perjamuan

(46)

yang dimaksudkan ialah kurban salib. Namun menurut maknanya, perjamuan Paskah disebut sebagai keseluruhan karya penyelamatan Allah yang wafat dan kebangkitan-Nya sebagai puncaknya (Martasudjita, 2009:297-298).

f. Ekaristi sebagai Sakramen

Kristus “mempercayakan Gereja, mempelai-Nya: sakramen cinta kasih, lambang kesatuan ikatan cinta kasih” (SC 47). Konsili Vatikan II tidak

memisahkan sakramen dan kurban dalam Ekaristi dengan menyatakan bahwa Ekaristi menghadirkan kurban salib Kristus disebut juga sebagai sakramen. Hal ini menjadi suatu pembaharuan, karena sesudah Trente hingga pra-Vatikan II, makna kurban dan sakramen dari Ekaristi dipisahkan. Sejak abad pertengahan, gagasan sakramen dipersempit. Istilah sakramen menunjukkan kehadiran Kristus dalam Sakramen Mahakudus atau hosti yang sudah diberkati. Dalam SC menampilkan pembaharuan akan pendangan mengenai Ekaristi, baik dari isi maupun caranya. Dengan demikian Ekaristi disebut sebagai sakramen cinta kasih, lambang kasatuan dengan Allah dan dengan sesama anggota Gereja (Martasudjita, 2009:297).

2. Memaknai dan Menghayati Perayaan Ekaristi melalui Bahasa Jawa a) Ritus Pembuka

(47)

Ekaristi Bahasa Jawa dalam ritus pembuka terdapat dialog antara imam dan umat “Tuhan sertamu, dan sertamu juga” berubah menjadi “Gusti manunggala, kalian kula sadaya” dimana umat merasa lebih meresapi. Karl Edmund Prier, SJ dalam buku Indonesianisasi, mengungkapkan bahwa pada tahun 1960-an teks Latin diganti dengan Bahasa Jawa supaya liturgi lebih mendekati rakyat (Boelaars,2005:426). Ritus pembuka sebagai penghantar kepada Perayaan Ekaristi juga sebagai menghantar umat untuk masuk kedalam suatu perjamuan. Seruan tobat yang didaraskan, umat cenderung menutup mata dan sungguh mengucapkan“kawula ngakeni” dengan lantang dan juga cepat sehingga beberapa umat yang masih membaca bisa tertinggal begitu juga dalam mendasarkan “kawula pitados”.

Dalam pembukaan atau biasa disebut sebagai ritus pembuka Perayaan Ekaristi terdiri dari beberapa bagian. Hal ini bertujuan supaya dapat mempersatukan umat yang berhimpun untuk dapat mendengarkan sabda Allah dengan khidmat dan merayakan Ekaristi dengan sungguh-sungguh. Mengawalinya dengan membuat dan merenungkan tanda salib yang dilakukan besama-sama. Dalam ritus pembuka ini pula mengajak umat untuk menyadari panggilan Allah dalam satu kesatuan bersama suluruh umat tanpa membedakan satu dengan yang lainnya (Suharyo, 2011:15-24).

(48)

kekeluargaan karena menanggapi panggilan dari Allah. Namun dengan terbentuknya suatu ikatan persaudaraan dan kekeluargaan maka akan mudah membuat umat menyingkirkan mereka yang tidak termasuk kedalamnya. Melalui Imam yang memimpin Ekaristi selalu dituntut untuk menghayati dan dapat mengembangkan semangat persaudaraan di tengah masyarakat.

Sebagai manusia yang datang dan menanggapi undangan dari Allah, maka diharapkan pula bahwa manusia menyadari kelemahannya atas segala dosa-dosanya. Dengan membawa segenap dosa, manusia datang dan berani untuk mengakuinya karena percaya seperti kisah domba yang hilang, Allah akan selalu menanti kedatangan umatnya. Pengakuan atas keberdosaan manusia menyadari bahwa manusia makhluk ciptaan Allah dan mencari kerahiman Allah.

b) Liturgi Sabda

(49)

kedalam bahasa daerah, karena bagi Gereja setempat terjemahan-terjemahan kedalam bahasa setempat sangatlah diperlukan. Hal ini karena Bahasa Indonesia tidak selalu digunakan dalam daerah-daerah tertenu walaupun pada kenyataannya sistem pendidikan menggunakan Bahasa Indonesia. Maka pengungkapan Sabda Allah kedalam bahasa setempat menjadi unsur utama dalam inkulturasi (Boelaars,2005:394).

Penggunaan Bahasa Jawa dalam Liturgi Sabda dirasa sungguh membantu umat untuk mendengarkan, menghayati dan meresapi Sabda Allah. Umat yang telah terbiasa menggunakan Bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari akan lebih mudah untuk memahami isi dari Sabda Allah yang dibacakan dan homili yang disampaikan. Homili yang disampaikan oleh imam menggunakan Bahasa Jawa membantu umat dalam memahami makna Sabda Allah. Beberapa istilah yang tidak biasa dipakai dalam kehidupan sehari-hari yang terdapat dalam Injil dapat dipertegas melalui homili yang dibawakan oleh imam, sehingga apa yang telah didengarkan dapat dengan mudah di pahami dan diresapi sehingga umat dapat menanggapinya dalam permohoman umum. Permohonan umum diselaraskan dengan situasi yang sedang terjadi didalam lingkungan maupun lingkup yang lebih luas.

Umat yang berhimpun dalam Perayaan Ekaristi akan mendapat makanan rohani dengan menyadari bahwa “manusia hidup tidak dari roti saja,

(50)

yang mendengarkan sabdanya seperti yang disabdakan oleh St. Paulus “jadi, iman timbul melalui pendengaran dan pendengaran oleh firman Kristus” (Rm

10:17). Tanggapan terhadap sabda yang diwartakan ialah iman, karena hanya dengan imanlah manusia dapat menyadari kehadiran serta karya Kristus dalam sakramen (Suharyo, 2011:33-53).

Melalui Liturgi Sabda pula umat disadarkan akan kegunaan dari Kitab Suci yang bukan hanya berisi tulisan-tulisan untuk dibaca saja melainkan undangan untuk ditanggapi dengan sepenuh hati dengan iman yang tangguh. Dengan sabda yang dibacakan dalam Perayaan Ekaristi diharapkan dapat meneguhkan ikatan kasih antara Kristus dengan Gereja yang merupakan semua umat yang percaya kepadaNya. Adanya homili setelah pembacaan Sabda Allah sebagai kesaksian dari sang pembawa homili akan cinta kasih yang di terima dari Kristus yang diwartakan. Bacaan-bacaan yang dipilih dalam Perayaan Ekaristi disusun berdasarkan lingkaran tahun liturgi yaitu A, B dan C. Jadi dapat dikatakan bahwa umat yang secara terus menerus mengikuti perayaan Ekaristi dalam 3 tahun maka sudah mendengarkan seluruh isi Kitab Suci. Hal pengulangan ini bukanlah membosankan melainkan sesuatu yang indah. Kisah-kisah tidak hanya perlu dimengerti namun dikenang kembali, dengan kenangan itu pula umat dengan lagi dan lagi diundang untuk merasakan kembali kasih Allah dan menanggapi karyaNya.

(51)

disatukan dengan umat yang merayaan Ekaristi diseluruh dunia. Dengan demikian iman yang ditimbulkan oleh Sabda Allah ialah iman seluruh umat, maka bersama-sama akan mengalami kegembiraan, peneguhan dan penghiburan dari kenangan bersama. Karena kuasa Sabda Allah maka tidak boleh ada orang kritiani yang mengalami kesendirian dalam hidupnya.

Setelah Allah telah berbicara dan memberi pengajaran kepada umatnya maka seluruh umat dengan penuh kepercayaan menanggapi dengan mendaraskan Syahadat. Secara bersama-sama mengucapkan iman akan Yesus Kristus yang merangkum sejarah karya penyelamatan Allah kepada manusia. Setelah mengucapkan Syahadat maka dilanjutkan mengarahkan diri dihadapan Allah dengan menghaturkan doa-doa permohonan yang ditujukan untuk semua kalangan baik itu dalam lingkup Gereja maupun masyarakat.

c) Liturgi Ekaristi

(52)

Tahun 1973 Konggres Liturgi II diputuskan bahwa supaya ada bagian yang khas dalam PWI Liturgi, dalam hal musik (Boelaars,2005:427). Liturgi Ekaristi menjadi pusat perayaan dimana umat mengikutinya dengan khidmat. Oleh karena itu lagu-lagu yang dibawakan dalam Perayaan Ekaristi umumnya lagu dengan aliran keroncong, selendro dan pelog, dimana aliran lagu tersebut yang melekat dengan masyarakat Jawa. Lagu Rama Kawula slendro menjadi lagu yang dinantikan oleh umat dimana umat dengan menutup mata dan menengadahkan tangan memuji dan memuliakan Allah.

Adapun inti dari harapan manusia ialah kepenuhan makna seluruh alam ciptaan dalam Kerajaan Allah. Dimana Allah telah memulai pekerjaan dalam penciptaan alam raya ini dengan sungguh amat baik selanjutnya diharapkan manusia yang akan melanjutkannya dengan baik pula. Dalam harapan umat tidak hanya dijanjikan oleh janji kosong melainkan suatu yang nyata dan sedang terjadi, walaupun tidak semua yang diharapkan akan terlaksana dan nyata namun hal ini menjadikan manusia semakin menghayati dan memberikan kesaksian tentang keutamaan harapan (Suharyo, 2011:59-87).

(53)

diubah menjadi roti kehidupan dan minuman rohani dimana Yesus sendiri yang menjadi korban keselamatan bagi manusia. Dengan demikian roti dan anggur semakin menyadarkan manusia akan kekayaan alam dan pentingnya memelihara alam raya. Selain dengan menggunakan roti dan anggur, masih ada pencampuran air ke dalam anggur dengan maksud bahwa manusia boleh mengambil keilahian Kristus.

Doa Syukur Agung sebagai puncak dari seluruh perjamuan, didalamnya terdapat suatu kenangan akan malam perjamuan terakhir Yesus dengan para muridnya. Yang dikenangkan ialah sengsara dan kematian Kristus, yang cenderung menyakitkan, namun melalui Ekaristi manusia diajak untuk berani menghadapi dengan tabah kenangan-kenangan yang menyakitkan. Karena dengan kenangan yang menyakitkan manusia diharapkan bisa melihat Allah dalam kegelapan dan mendatangkan perdamaian. Membuat manusia lebih berani dalam menghadapi kegelapan masa lampau yang berlandaskan pada karya keselamatan akan Yesus Kristus yang bangkit dari wafatNya. Melalui tindakan Yesus dalam perjamuan malam terakhir, membantu siapa saja untuk hidup dalam harapan, terutama mereka yang hidupnya tertekan oleh kenangan-kenangan yang menyakitkan ataupun menjadi korban penghianatan.

(54)

persekutuan. Kemudian bagian yang tidak kalah pentingnya ialah penerimaan Tubuh dan Darah Kristus yang dilambangkan dengan roti dan anggur dalam komuni yang juga sebagai suatu persekutuan dengan Allah.

Yesus menyebut Allah sebagai Bapa seluruh umat, sebagai Bapa tentu saja akan selalu mendampingi dan memberi kebutuhan kepada anak-anak-Nya. Oleh karena itu dalam doa Bapa Kami seluruh umat memuji, bersyukur dan memohon kepada Allah Bapa. Kemudian dilanjutkan dengan salam damai sebagai ungkapan kepercayaan seluruh umat akan cinta kasih dari Bapa yang mengikat seluruh umat.

d) Ritus Penutup

Setelah doa sesudah komuni, itu berarti bahwa Liturgi Ekaristi telah selesai dirayakan bersama-sama. Ditutup dengan ritus penutup yang merupakan berkat dan perutusan, seperti halnya Yesus yang mengutus para murid untuk memberikan kesaksian kepada setiap orang begitu juga dengan umat yang telah selesai mengikuti Perayaan Ekaristi. Ekaristi dengan Bahasa Jawa dianggap sungguh menyentuh umat setempat dalam aklamasi dan umat yang menjawab salam dari Allah seperti yang terdapat dalam ritus penutup, sebelum berkat imam menyampaikan salam “Gusti manunggala” dan umat menjawab “kalian kula sedaya” ungkapan salam menyentuh dan

(55)

dengan Bahasa Jawa supaya liturgi lebih mendekati rakyat (Boelaars,2005:426).

Dengan menerima berkat, umat Allah yang berhimpun dianugerahi kesatuan hidup dengan persekutuan dengan Allah. Apa yang telah diperoleh dan dialami selama mengikuti Perayaan Ekaristi juga senantiasa dibagikan kepada sesama. Dengan perutusan membawa umat untuk secara terus menerus meneruskan, meneguhkan dan membagikan kasaksian tentang apa yang telah dialaminya. Perayaan Ekaristi telah selesai namun anugerah kehadiran Yesus terus berlangsung yang menjadi kekuatan dalam menjalani beratnya kehidupan sehari-hari (Suharyo, 2011:97-101).

Dengan demikian Gereja merupakan sang penerima dan pengemban kabar Gembira, walaupun dalam lingkup kecil namun gereja harus senantiasa membagikan tugas pewartaan kepada semua orang. Karena tidak ada satupun yang dapat menghambat penyebaran Sabda Allah. Seperti yang telah diketahui bahwa sejak awal hidup Gereja, murid Kristus telah mengalami penindasan namun mereka tetap menyebarkan pewartaan. Dalam Kis 4:29 dikatakan bahwa para murid tidak meminta supaya mereka tidak dianiaya melainkan meminta keberanian untuk tetap menyebarkan kabar gembira keselamatan.

(56)

yang telah dilakukan oleh Para Rasul, walaupun ditindas namun semangat pewartaannya tidak akan pudar.

3. Partisipasi umat dalam Ekaristi Bahasa Jawa

Penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi membuat umat setempat untuk lebih aktif dalam Ekaristi, dengan penggunaan bahasa sendiri dipandang akan jauh lebih memudahkan umat dalam mengikuti dan menghayati Perayaan Ekaristi. Umat diharapkan akan lebih aktif menggambil bagian dalam liturgi. Segi partisipatif umat menunjuk kepada suatu Ekaristi yang berarti sebuah perayaan bersama. Berikut dijabarkan mengenai peran serta umat dalam Perayaan Ekaristi:

Umat diharapkan mengikuti Perayaan Ekaristi secara aktif dan sadar. Mulai dari persiapan, pelaksanaan dan sampai akhirnya penerapan kedalam hidup bermasyarakat. Partisipasi dimaksudkan pada keikutsertaan umat dari awal Perayaan sampai pada akhir karena Ekaristi merupakan satu kesatuan Perayaan Liturgi yang tidak bisa dipisahkan.

(57)

liturgi antara lain, lektor, pemazmur, paduan suara, pelayan komuni, pemusik, koster, misdinar, kolektan (Martasudjita, 2009:108).

E. Tantangan Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi Pada Masa Sekarang

1. Menghayati Ekaristi dalam Hidup Sehari-hari

Unsur utama dalam ritus penutup ialah berkat dan perutusan, berkat membawa manusia kedalam persekutuan dengan Allah tritunggal, perutusan mengajak umat untuk mewartakan apa yang telah diterima dalam merayakan Ekaristi dan dapat hidup dalam perutusan. pewartaan tersebut bukan hanya pewartaan kedalam akan tetapi menuntut pewartaan keluar yaitu didalam kehidupan sehari-hari. Penghayatan Ekaristi ataupun sakramen-sakramen yang lain berarti suatu pengalaman iman. Dalam menghayati Sakramen Ekaristi tidak hanya menyambut dan menghormati komuni suci melainkan ikut serta dan mengambil bagian dalam perayaan.

Ekaristi merupakan pertemuan pribadi dalam iman dengan Kristus, dalam iman tersebut seseorang dipersatukan dengan Kristus dan dengan sesama. Rasul Paulus menuliskan “Bukankah piala ucapan syukur, yang

diatasnya kita ucapkan syukur, berarti persekutuan dengan darah Kristus? Bukahkan roti yang kita pecah-pecahkan berarti persekutuan dengan tubuh Kristus?” (1Kor 10:16). Ekaristi berarti persekutuan dengan Kristus yang

(58)

semua sakramen merupakan suatu perayaan bersama, dimana yang menjadi pusatnya bukanlah roti dan anggur melainkan Kristus yang karena iman hadir dalam seluruh umat (KWI,1996:412).

Mewujudkan Ekaristi dalam kehidupan sehari-hari bertolak pada paham dan penghayatan akan Allah yang mengasihi dan berbelas kasih kepada seluruh umat manusia bukan Allah yang menghukum mereka yang berbuat dosa. Menghayati kegiatan sehari-hari dengan berpangkal pada kasih Allah, menaburkan suka cita kepada sesama, peduli kepada yang berkekurangan berarti bahwa misteri Ekaristi sungguh terwujud dan diwartakan kepada setiap umat yang melakukan tindakan kasih tersebut. Misteri Allah yang terletak pada perayaan dan penghadiran kasih Allah kepada seluruh umat. Dengan menyadari dan menghayatinya dalam setiap keputusan, perkataan dan perbuatan, maka apa yang sudah di rayakan dalam Ekaristi terwujud dalam kehidupan sehari-hari (Martasudjita, 2016:128).

(59)

mewujudkan dan membagikan kasih Allah kepada sesama. Yesus Kristus sebagai juru selamat manusia, maka seluruh kegiatan, aktifitas serta perilaku umat manusia senantiasa dipusatkan pada usaha memperkenalkan Kristus kepada sesama.

Tuhan hadir dan menyapa umatNya dengan berbagai bentuk dalam setiap waktu dan dengan iman seseorang dalam merasakan dan merasa bahwa Tuhan senantiasa tinggal bersama dengan umatNya. Melalui iman memungkinkan bahwa Ekaristi menyatukan seluruh umat dengan Tuhan dan dengan sesama. Gereja merupakan suatu persekutuan umat yang tergantung dari kondisi anggota-anggotanya, Gereja haruslah dapat hidup sebagaimana mestinya sebuah persekutuan umat Allah bukan hanya hidup sebagai tampaknya saja tanpa adanya suatu persekutuan. Untuk mewujudkan hidup Gereja yang ekaristi seperti yang dicita-citakan oleh Gereja ialah dengan menjadi orang beriman yang rendah diri. Kerendahan hati akan kasih Yesus Kristus yang begitu besar yang akan membuat iman semakin bermakna dan berdaya, terutama dalam Ekaristi dimana Yesus Kristus membagikan diriNya kepada seluruh umat. Dengan demikian seperti ketaatan Yesus kepada Bapa begitu juga umatNya yang senantiasa taat seperti Kristus. Ketaatan kepada seseorang merupakan suatu kasih sayang yang murni, seperti Allah Bapa yang membiarkan PuteraNya menderita dengan begitu beratnya untuk menunjukan bukti ketaatNya kepadaNya (Hadisumarta, 2013:87-94).

(60)

bagi keselamatan umat manusia dengan dibagikannya kepada seruruh umat. Kristus telah membagikan diriNya untuk keselamatan manusia, oleh sebab itu manusia yang telah menerima Tubuh dan Darah Kristus juga diharapkan dapat membagikan diri kepada sesamanya tanpa kenal batas. Dalam kehidupan sekarang ini Ekaristi terjadi dalam hidup manusia apabila manusia rela berbagi diri dengan orang lain tanpa pamrih maupun perbedaan, terutama kepada mereka yang membutuhkan. “Lakukanlah ini untuk mengenangkan

Daku” perintah Yesus yang selalau di ucapkan kembali oleh imam setiap kali

dalam perayaan Ekaristi bukan hanya untuk mengenangkan akan peristiwa masa lampau. Hal ini dilakukan imam untuk menghadirkan Yesus di tengah-tengah mereka supaya semua orang yang mengikuti Ekaristi mau berbagi kepada orang lain (Hadisumarta, 2013:100).

2. Tantangan Pengguanaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi

Inkulturasi sebagai upaya gereja untuk mengikutsertakan manusia dalam mengungkapkan iman melalui kekayaan adat istiadat setempat memiliki beberapa tantangan yang harus dihadapai dalam dunia sekarang ini. tantangan tersebut antara lain:

(61)

b. Kurangnya partisipasi umat dalam liturgi, serta kurangnya kesadaran akan penyadaran liturgi kepada umat. Umat beranggapan bahwa liturgi hanyalah sebagai rutinitas sebagai seorang Katolik yang hanya cukup dengan hadir dan merayakan Ekaristi.

c. Berhadapan dengan umat heterogen dari kalangan tua-muda, berpendidikan, sehingga memicu terjadinya perbedaan pendapat. Berhubungan dengan inkulturasi ke dalam adat istiadat setempat maka pihak tua muda yang saling bertentangan. Di pihak kaum dewasa inkulturasi ke dalam budaya setempat dapat membantu pengayatan iman, namun bagi kaum muda untuk saat ini kurang menyentuh hati mereka. d. Dengan perkembangan zaman saat ini menimbulkan krisis identitas oleh

umat akan adat istiadatnya sendiri. Budaya baru yang terus bermunculan dengan mudahnya dari berbagai sudut semakin menggantikan kebudayaan asli karena tergantikan dengan budaya baru yang lebih kekinian.

(62)

BAB III

PENELITIAN TENTANG PENGGUNAAN BAHASA JAWA

DALAM PERAYAAN EKARISTI DI STASI SANTO

FRANSISKUS XAVERIUS KEMRANGGEN

Bab III menguraikan penelitian mengenai pengunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen. Bab ini dibagi menjadi tiga pokok bagian yaitu: gambaran umum umat Stasi Fransiskus Xaverius Kemranggen, penggunaan bahasa Jawa dalam Ekaristi dan penelitian serta pembahasannya. Gambaran umum umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen meliputi: sejarah singkat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen, letak geofrafis, jumlah umat dan tantangan yang dihadapi oleh umat.

(63)

A. Gambaran Umum Umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen 1. Sejarah singkat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen

Pada tahun 1970 untuk pertama kalinya daerah ini kenal dengan Agama Katolik ketika seorang guru Sekolah Dasar yang mempersunting putri dari Bapak Lurah/Kepala Desa Kemranggen. Namun kerena pasangan tersebut tidak menetap di Desa Kemranggen maka Agama Katolik masih kurang berkembang. Awal tahun 1975 barulah mulai diadakan kelompok Misa di salah satu keluarga, walaupun pada saat itu umat yang hadir ialah pendatang dari Purworejo dan Kutoarjo. Pada tahun itu pula dilakukan pembaptisan pertama oleh Romo Yitno, sejak saat itu mulai diadakan kunjungan-kunjungan oleh Romo Yitno dan Romo Sayadi. Di tahun 1983 salah satu keluarga yang kembali kekampung halamannya setelah merantau di Purbalingga. Dari sinilah Agama Katolik mulai berkembang.

(64)

dihadiri oleh simpatisan dan mulai saat itu pula mulai diadakan kunjungan tetap oleh Romo. Pada awal terbentuknya perkumpulan sembahyangan tercatat ada 9 orang yang mengikutinya dan kemudian bertambah menjadi 30 orang, yang terdiri dari orang tua, remaja dan anak-anak Sekolah Dasar.

Pada Januari 1985 diadakan perkawinan secara Katolik pertama yang dihadiri oleh katekumen dan simpatisan yang mulai bertambah banyak dari daerah Kesodan desa Pamriyan. Banyaknya katekumen di daerah Kesodan mereka membentuk kelompok sembahyangan sendiri dan meminta pelajaran agama dari umat di Kemranggen. Perkembangan yang menggembirakan tersebuat tidak selamanya berjalan dengan mulus, banyak hambatan dan ejekan dari orang yang tidak suka dengan penyebaran agama Katolik di daerah Kemranggen. Hal ini dijadikan kekuatan iman untuk menjadi seorang Katolik (Budi Haryanto,V. 2010:27-18).

2. Letak Geografis Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen

(65)

3. Jumlah Umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen

Berdasarkan data Umat tahun 2015 Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen memiliki jumlah 65 umat dari 22KK yang terdiri dari 7 balita, 43 orang tua, 11 remaja, dan 4 anak-anak yang sudah komuni pertama. Pekerjaan utama umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen ialah sebagai petani.

(66)

Namun setelah Romo Nus pindah dari Paroki Kutoarjo, umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen tidak pernah misa mengunakan Bahasa Indonesia. Beberapa umat mengaku kesulitan dalam melantunkan doa, syahadat, nyanyian dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Namun disisi lain para orang tua mengajarkan anak-anaknya doa-doa dengan Bahasa Indonesia dengan alasan mudah dihafal dalam jaman sekarang, begitu pula pada saat menerima pelajaran agama di sekolah. Hal ini menjadi rancu karena dalam mengikuti Ekaristi semua mengunakan Bahasa Jawa.

Ketergantungan dengan Bahasa Jawa membuat umat kurang terbiasa apabila teks misa pada hari raya Natal dan Paskah apabila tidak menggunakan Bahasa Jawa, kemudian salah satu umat menerjemahkan kedalam Bahasa Jawa. Kendala lain yang dihadapi oleh umat yaitu jika ada pastor paroki yang tidak bisa Bahasa Jawa. Pengucapan kata dalam Bahasa Jawa tentu tidak sama dengan tulisan, akan berarti beda jika salah dalam membacanya. Hal ini yang sering dilakukan oleh romo yang tidak mengerti Bahasa Jawa.

5. Tantangan yang dihadapi oleh umat di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen

(67)

bagi kemurnian niat dan sekaligus kekuatan iman untuk menjadi orang Katolik, walaupun tidak semua umat dapat menghadapinya.

Kenyataan yang harus dihadapi oleh umat ialah mengenai jarak rumah umat dengan Gereja dan antar umat yang berjauhan. Umat yang berada di Desa Pamriyan harus menempuh jarak 4 km untuk ke Gereja dengan berjalan kaki dan dari Desa Karang Gedang menempuh jarak 2 km. Umat sendiri menyadari bahwa jarak menjadi salah satu tantangan terbesar untuk bisa berkumpul dan mengadakan doa-doa di luar misa hari minggu yang biasanya dilaksanakan pada malam hari yang dirasa kurang efektif bagi umat yang rumahnya jauh. Jarak dan waktu tempuh menjadi kendala yang paling utama, umat harus menempuh dua jam perjalanan pada siang hari karena misa dimulai dari jam dua siang. Misa di Stasi Kemranggen mendapat jadwal dua kali dalam satu bulan yaitu pada minggu kedua dan keempat, pada minggu biasa diadakan ibadat yang dipimpin oleh salah satu prodiakon dari Stasi Kemranggen. Umat yang rumahnya jauh dan menempuh perjalanan yang panjang harus datang lebih awal untuk istirahat.

Gambar

Tabel. 2
Tabel 3
Tabel. 4 Pandangan umat tentang penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi.
Tabel. 5 Pengunaan Bahasa Jawa dan Penghayatan umat tentang Perayaa Ekaristi
+3

Referensi

Dokumen terkait