• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara religiusitas dan komunikasi seksual pada perempuan dewasa yang telah menikah.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara religiusitas dan komunikasi seksual pada perempuan dewasa yang telah menikah."

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

Chaterine Devinda Putri

ABSTRACT

This study aims to determine the relationship between religiosity and sexual communication. The subjects are 140 married women. The hypothesis said that there was significant negative correlation between religiosity and sexual communication in married women. The higher the religiosity, the lower of sexual communication, and vice versa. The sampling method used in this study was incidental sampling technique. The instruments to collect data were Religion Scale and Sexual Communication Scale in Likert’s model. The religion scale had an Alpha Cronbach coefficient of 0.924 and the sexual communication scale had an Alpha Cronbach coefficient of 0.890. The assumption tests that used were the normality and linearity tests. The results indicate that data have a normal distribution and have a linear relationship between religiosity and sexual communication in married women. The hypothesis was tested with Pearson Product Momen correlation. The results shows the significant coefficient of correlation of 0.204. It means that there is significant positive correlation between religiosity and sexual communication in married women. Therefore, the hypothesis that there is a significant negative correlation between religiosity and sexual communication is rejected.

(2)

Chaterine Devinda Putri

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara religiusitas dan komunikasi seksual. Subyek penelitian adalah 140 perempuan dewasa yang telah menikah. Hipotesis dalam penelitian ini yaitu terdapat korelasi negatif yang signifikan antara religiusitas dan komunikasi seksual pada perempuan dewasa yang telah menikah. Semakin tinggi religiusitas, maka komunikasi seksual semakin rendah, begitu sebaliknya. Metode sampling yang digunakan adalah teknik sampling insidental. Data dikumpulkan menggunakan Religion Scale dan Skala Komunikasi Seksual dengan model penskalaan Likert. Religion Scale memiliki koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,924 dan Skala Komunikasi Seksual memiliki koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,890. Uji asumsi yang digunakan adalah uji normalitas dan uji linearitas. Hasil menunjukkan bahwa data memiliki distribusi normal dan memiliki hubungan yang linear antara religiusitas dan komunikasi seksual pada perempuan dewasa yang telah menikah. Uji hipotesis yang digunakan adalah Pearson Product Momen. Hasil penelitian menunjukkan nilai korelasi yang cukup signifikan sebesar 0,204. Dengan demikian, terdapat korelasi positif yang cukup signifikan antara religiusitas dan komunikasi seksual. Maka, hipotesis yang berbunyi ada korelasi negatif yang signifikan antara religiusitas dan komunikasi seksual pada perempuan dewasa yang telah menikah, ditolak.

(3)

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DAN KOMUNIKASI SEKSUAL PADA PEREMPUAN DEWASA YANG TELAH MENIKAH

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Chaterine Devinda Putri

NIM : 109114136

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

MOTTO

Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carila

h, maka kamu akan mendapat;

ketu

klah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Matius 7:7

Santa Maria, Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan waktu

kami mati, Amin.

Kesatria Cahaya sering merasa takut, tetapi hal itu biasa terjadi dalam diri

seorang kesatria.(Paulo Coelho)

Keajaiban hanya bisa difahami oleh mereka yang memiliki sistem makna.

(Ayu Utami)

Keluarlah maka kau akan mendapat banyak inspirasi. (Unknown)

Freedom

I let go of fear and the peace came quickly

Freedom

I was in the dark and then it hit me

I choose suffering and pain in the falling rain

I know, I gotta get out into the world again

I got this new beginning and I will fly like a cannonball!

I ll fly I ll fly like a cannonball!

(7)

v

SKRIPSI INI KU

PERSEMBAHKAN KEPADA:

BUNDA MARIA PENOLONG ABADI

ORANGTUAKU TERCINTA:

DALIUS & CRESENSIA DENNY

dan

KEDUA ADIKKU:

(8)
(9)

vii

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DAN KOMUNIKASI SEKSUAL PADA PEREMPUAN DEWASA YANG TELAH MENIKAH

Chaterine Devinda Putri

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara religiusitas dan komunikasi seksual. Subyek penelitian adalah 140 perempuan dewasa yang telah menikah. Hipotesis dalam penelitian ini yaitu terdapat korelasi negatif yang signifikan antara religiusitas dan komunikasi seksual pada perempuan dewasa yang telah menikah. Semakin tinggi religiusitas, maka komunikasi seksual semakin rendah, begitu sebaliknya. Metode sampling yang digunakan adalah teknik sampling insidental. Data dikumpulkan menggunakan Religion Scale dan Skala Komunikasi Seksual dengan model penskalaan Likert. Religion Scale

memiliki koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,924 dan Skala Komunikasi Seksual memiliki koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,890. Uji asumsi yang digunakan adalah uji normalitas dan uji linearitas.Hasil menunjukkan bahwa data memiliki distribusi normal dan memiliki hubungan yang linear antara religiusitas dan komunikasi seksual pada perempuan dewasa yang telah menikah. Uji hipotesis yang digunakan adalah Pearson Product Momen. Hasil penelitian menunjukkan nilai korelasi yang cukup signifikan sebesar 0,204. Dengan demikian, terdapat korelasi positif yang cukup signifikan antara religiusitas dan komunikasi seksual. Maka, hipotesis yang berbunyi ada korelasi negatif yang signifikan antara religiusitas dan komunikasi seksual pada perempuan dewasa yang telah menikah, ditolak.

(10)

viii

RELATIONSHIP OF RELIGIOSITY AND SEXUAL COMMUNICATION ON MARRIED WOMEN

Chaterine Devinda Putri

ABSTRACT

This study aims to determine the relationship between religiosity and sexual communication. The subjects are 140 married women. The hypothesis said that there was significant negative correlation between religiosity and sexual communication in married women. The higher the religiosity, the lower of sexual communication, and vice versa. The sampling method used in this study was incidental sampling technique. The instruments to collect data were Religion Scale and Sexual Communication Scale in Likert’s model. The religion scale had an Alpha Cronbach coefficient of 0.924 and the sexual communication scale had an Alpha Cronbach coefficient of 0.890. The assumption tests that used were the normality and linearity tests. The results indicate that data have a normal distribution and have a linear relationship between religiosity and sexual communication in married women. The hypothesis was tested with Pearson Product Momen correlation. The results shows the significant coefficient of correlation of 0.204. It means that there is significant positive correlation between religiosity and sexual communication in married women. Therefore, the hypothesis that there is a significant negative correlation between religiosity and sexual communication is rejected.

(11)
(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih dan penyertaanNya dalam penulisan skripsi ini. Proses penyelesaian yang tidak mudah dan memakan waktu yang panjang ini sungguh mengajarkan kepada penulis bahwa tidak ada yang sia-sia untuk dilakukan. Sekali lagi, syukur kepada Tuhan atas segala berkat kehidupan yang boleh penulis rasakan selama penulis menempuh pendidikan di bangku kuliah.

Dengan penuh kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan. Penulis sangat terbantu dengan segala kebaikan dan kepedulian dari berbagai pihak dalam proses penyeselaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, sekaligus sebagai dosen pembimbing akademik. (terimakasih Pak atas segala nasihat dan motivasi yang bapak berikan kepada saya,

semoga Tuhan memberkati Bapak dan keluarga)

2. Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

(13)

xi

skripsi dan atas segala ilmu yang telah Bapak bagikan kepada saya, kiranya

Tuhan senantiasa memberkati keluarga Bapak)

4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

(terimakasih Pak, Bu, atas ilmu dan pengalaman yang telah diberikan kepada

saya, Yes! I have find my another way in Psychology^^)

5. Semua karyawan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, terutama kepada Mas Gandung dan Ibu Nanik, Mas Mudji (yang selalu menanyakan

soal “mantan” hehe), Mas Donny, dan Pak Gik.

6. Teman-teman bimbingan skripsi: Mbak Martha, Mbak Lana, Mas Baskara, Novia Owe, Dita, Fiona Damanik, dan Didi. (makasih banyak ya atas support teman-teman dalam setiap bimbingan dan kegalauan setelah bimbingan,

sukses selalu!)

7. Secara khusus untuk Yoga yang telah membantu saya dalam penerjemahan skala dan untuk Engger yang bersedia jadi guru privat saya.

8. Teman-teman Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma angkatan 2010 yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu, selamat berjuang di perjalanan yang baru.

9. Seluruh ibu-ibu responden yang bersedia mengisi kuesioner penelitian saya, terima kasih sekali lagi atas bantuan dan partisipasinya. Tanpa terkecuali kepada para pihak yang bersedia membantu saya dalam menyebarkan kuesioner saya.

(14)

xii

Inda selama ini. Semoga ini menjadi kado terindah untuk segala pengorbanan

kalian)

11.Kedua adik kandung saya, Christian Ronald Putra dan Brigitta Tri Adinda.

(kalian berdua menjadi semangat yang selalu membakarku untuk terus

berjuang)

12.Sahabat saya Gadis Sumatera: Maia Simanungkalit dan Indah Noo, ingatlah bahwa persahabatan yang tulus takkan lekang oleh waktu; Vero,Esri, Cicil, Sr. Petra, Sr. Marcel, Opa, Tyas, Winda, yang setia mendengar keluh kesah dan kecemasan saya selama ini.

13.Para sahabat kecil saya yang selalu ada meski jauh: Ririn, Atik, Selvi, dan Ayu. (melawan keterbatasan walaupun sedikit kemungkinan-takkan menyerah untuk hadapi hingga sedih tak mau datang lagi/Ipank-SahabatKecil)

14.Seluruh keluarga baru saya di Forum Mahasiswa Kabupaten Landak Yogyakarta (FORMAKAL). FORMAKAL UYE!

15.Teman-teman saya di MAGIS 2013, terutama kepada Mbak Tiwi, Kak Kons, Baros, Kak Ance, Mas Giri, Mas Pras, dan Roben. Ad Maiorem Dei Gloriam~ 16.Teman-teman Mitra Perpustakaan, Mbak Lala, Mbak Nissa, Mbak Herlina(makasih Mbak udah bantu mengoreksi skripsiku), Remma, Erni, Yovi, Agnes, Iwan, Mita, Wita, Tuti, Natasha, Septy, dan Singgih. (makasih ya udah dengerin curhatku soal skripsi, dan atas segala bantuan yang takkan

(15)

xiii

17.Cewek-cewek Kost Gifa (kost terakhir selama kuliah): Eliza, Mbak Christyn, Vitha, Vera, Eta, Dewi, Maria, dan Inung. (makasih ya udah bantuin ini itu selama tinggal bareng)

18.Semua orang yang telah dikirim Tuhan untuk menolong saya dan terlebih mendorong saya untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. (Kalian roar biasa!)

19.Dan terakhir buat kekasih saya, Albertus Dwi Kurniawan. Terima kasih karena kamu tak pernah lelah menyemangati saya dalam menyelesaikan skripsi ini, bahkan ketika saya sudah tidak yakin dengan apa yang saya lakukan. Saya akan selalu ingat ucapanmu bahwa “hanya keyakinan yang kita butuhkan untuk hidup”.

Akhir kata, penulis berharap bahwa skripsi yang jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Kiranya, anugerah yang Tuhan berikan pada kita menjadi berkat bagi hidup orang-orang di sekitar kita.

Yogyakarta,

(16)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 8

C. Tujuan ... 8

D. Manfaat ... 8

BAB II LANDASAN TEORI A. Religiusitas ... 10

(17)

xv

2. Jenis Religiusitas ... 12

3. Alat UkurReligiusitas ... 13

4. Tahap Perkembangan Religiusitas………...15

5. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Religiusitas…………18

B. Komunikasi Seksual ... ….20

1. Definisi Komunikasi………....20

2. Komunikasi Seksual……….21

a. Definisi Komunikasi Seksual………...21

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Seksual....23

C. Perempuan Dewasa Menikah ... 24

1. Definisi………24

2. Pola Komunikasi……….26

3. Seksualitas Perempuan Dewasa Menikah………...27

D. Dinamika Hubungan ... 30

E. Hipotesis ... 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 35

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 35

C. Definisi Operasional ... 35

1. Religiusitas………..35

2. Komunikasi Seksual………....36

(18)

xvi

E. Metode Pengumpulan Data ... 37

1. Religion Scale... 37

2. Survey terhadap Komunikasi Seksual ... 40

3. Skala Komunikasi Seksual ... 41

F. Uji Coba Alat Ukur... 42

1. Validitas………..43

2. Seleksi Item……….43

3. Reliabilitas……….. 45

G. Metode Analisis Data ……….45

1. Uji Asumsi ………..45

a. Uji Normalitas ……….45

b. Uji Linearitas ………...46

2. Uji Hipotesis ... 46

a. Uji Korelasi………..46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subyek Penelitian ... 48

B. Pelaksanaan Penelitian ... 52

C. Deskripsi Data Penelitian ... 52

D. Hasil Penelitian ... 56

1. Uji Asumsi ………..56

a. Uji Normalitas ………...56

(19)

xvii

2. Uji Hipotesis………57

E. Analisis Tambahan ... 59

F. Pembahasan………60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 63

B. Keterbatasan Penelitian ... 63

C. Saran ………...64

DAFTAR PUSTAKA ... 65

(20)

xviii

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Kerangka Berpikir Antara Religiusitas dan Komunikasi

Seksual……….………...34

Bagan 2.Scatter Plot Hubungan Religiusitas dan Komunikasi

(21)

xix

DAFTAR TABEL

Tabel 1.Sistem Penilaian Religion Scale ... 39

Tabel 2.Blue-Print Skala Komunikasi Seksual ... 42

Tabel 3.Sistem Penilaian Skala Komunikasi Seksual ... 42

Table 4.Blue-Print Penulisan Item Setelah Uji Coba ... 44

Tabel 5.Deskripsi Subyek Berdasarkan Usia ... 48

Tabel 6.Deskripsi Subyek Berdasarkan Suku ... 49

Tabel 7.Deskripsi Subyek Berdasarkan Agama ... 49

Tabel 8. Deskripsi Subyek Berdasarkan Jenjang Pendidikan ..…………50

Tabel 9. Deskripsi Subyek Berdasarkan Pekerjaan …..………50

Tabel 10. Deskripsi Subyek Berdasarkan Usia Pernikahan………...51

Tabel 11. Deskripsi Subyek Berdasarkan Jumlah Anak………51

Tabel 12. Skor Subyek Pada Variabel Religiusitas………54

Tabel 13. Skor Subyek Pada Variabel Komunikasi Seksual………..55

Tabel 14. Uji Normalitas………56

Tabel 15. Uji Linearitas………..57

Tabel 16. Uji Hipotesis………...57

(22)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Form Survey Komunikasi Seksual ... 71 Lampiran 2. Hasil Analisis Survey Komunikasi Seksual... 73 Lampiran 3. Skala Uji Coba ... 77 Lampiran 4. Back-Translation Religion Scale ... 86 Lampiran 5. Reliabilitas dan Korelasi Item Total Religion Scale Uji Coba ...89 Lampiran 6. Reliabilitas dan Korelasi Total Skala Komunikasi Seksual

Uji Coba………90

(23)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hubungan seksual yang memuaskan bagi pasangan suami-istri turut mempengaruhi kepuasan terhadap kehidupan pernikahan yang dijalani. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Byers; Byers, Demmons, dan Lawrance; Cupach dan Comstock; Morokoff dan Gillilland; Trudel; Young, Denny, Luquis, dan Young yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kepuasan seksual dengan kepuasan hubungan (dalam Menard & Offman, 2009). Henderson-King dan Veroff (dalam Timm & Keiley, 2011) mengatakan pula bahwa kepuasan seksual memiliki kaitan yang erat dengan kepuasan pernikahan.Selain meningkatkan kepuasan hubungan pernikahan, kepuasan seksual pada pasangan juga menumbuhkan perasaan yang erat di antara pasangan. Penelitian paling baru mengatakan bahwa kepuasan seksual dapat menumbuhkan perasaan yang positif terhadap pasangan, seperti empati, penghargaan positif, dan kohesi (Song, Bergen, & Schumm, 2008). Lee (dalam Song, Bergen, & Schumm, 2008) menyimpulkan bahwa hubungan seksual secara khusus menjadi penting terhadap hubungan pernikahan. Sebagai tambahan, menurut Rosen dan Bachmann (dalam Zygmunt & Nomejko, 2011), kepuasan seksual sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup dan kebahagiaan.

(24)

diperoleh dari rubrik konsultasi seputar seksologi di majalah Kartini (2009), para istri sering mempertanyakan soal kesulitan mencapai orgasme.Salah satu saran yang disampaikan oleh dr. Naek L. Tobing sebagai konsultan pada rubrik tersebut, yaitu mengungkapkan permasalahan seksual secara jujur pada suami. Fakta ini diduga terkait dengan adanya perasaan tidak nyaman untuk berbicara tentang seksualitas pada pasangan (Hickman & Muehlenhard dalam Matlin, 2012). Kalichman (dalam Santrock, 2002) menyatakan pula bahwa sebagian besar individu tidak berkesempatan untuk mengekspresikan pandangan seksual secara terbuka, bahkan kepada pasangan intim. Peneliti menduga bahwa permasalahan ini kemudian memicu munculnya miskomunikasi seksual yang diduga dapat menurunkan tingkat kepuasan seksual.

(25)

Komunikasi seksual menjadi topik yang penting dipelajari karena berkaitan dengan usaha yang dilakukan pasangan untuk mencapai kepuasan seksual. Setiati (2006) mengatakan bahwa kunci keintiman dalam melakukan aktivitas seks adalah sikap keterbukaan pasangan dalam menerima obrolan seputar seks. Disebutkan pula bahwa komunikasi seksual merupakan aspek yang sangat penting bagi perkembangan hubungan (dalam Sprecher & McKinney, 1993). Beberapa studi yang dirangkum dalam Oattes dan Offman (2007) telah menemukan bahwa komunikasi seksual memiliki hubungan yang positif dengan kepuasan seksual dan kesejahteraan hubungan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Wardayati (dalam Intisari-Online, 2011), komunikasi seksual suami-istri penting dilakukan agar pasangan saling memahami kebutuhan seksual mereka. Wardayati (dalam Intisari-Online, 2011) menyebutkan pula bahwa komunikasi seksual yang baik dapat menciptakan kehidupan seksual yang harmonis pada pasangan. Menurut Elizabeth Babin (dalam Kompas, 2012), kepuasan pasangan dipengaruhi oleh kemampuan individu dalam berkomunikasi saat berhubungan seksual. Sebagai tambahan, Haavio-Manila dan Kontula menyebutkan bahwa komunikasi seksual juga dapat dilakukan untuk menolak aktivitas seksual yang tidak diinginkan (dalam Zygmunt & Nomejko, 2011).

(26)

anak, serta dalam relasi berpacaran pada remaja. Hal ini selaras dengan pendapat Menard dan Offman (2009) yang menyebutkan bahwa sebagian besar penelitian di bidang komunikasi seksual berfokus pada komunikasi orangtua-anak yang bertujuan untuk memberikan pendidikan seks. Adapun komunikasi seksual yang dipelajari dalam konteks remaja bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang perilaku seks yang aman guna terhindar dari penyakit menular dan kehamilan yang tidak diinginkan. Peneliti berpendapat bahwa penting untuk mempelajari komunikasi seksual pada konteks hubungan suami-istri terkait dengan tujuannya dalam mencapai kepuasan seksual.

(27)

dengan baik, bergantung pada tingkat harga diri seksual yang dimiliki individu.

Beberapa penelitian lain mengenai komunikasi seksual menemukan bahwa kemampuan komunikasi seksual pada wanita lebih rendah dibandingkan pria. Sebagaimana dalam penelitian Brehm et al., O’Sullivan dan Gaines (dalam Matlin, 2012), kebanyakan perempuan mengatakan bahwa mereka kesulitan untuk mengkomunikasikan pesan seksual secara verbal. Padahal untuk dapat mengalami kepuasan seksual, penting bagi seorang perempuan untuk dapat berterusterang kepada suaminya mengenai apa yang dibutuhkan agar dapat terangsang (dalam Maslan, 2010). Sebaliknya, laki-laki lebih percaya diri untuk mengungkapkan kebutuhan seksual mereka dibandingkan dengan perempuan (Rosenthal et al. dalam Oattes & Offman, 2007).

(28)

Peneliti menduga bahwa terdapat faktor lain yang dapat memprediksi kemampuan perempuan dalam melakukan komunikasi seksual. Ketika bercermin pada konteks sosial-masyarakat saat ini, peneliti melihat bahwa topik mengenai seksualitas memang masih dianggap tidak pantas untuk diperbincangkan secara terbuka. Segala sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas menjadi hal yang tabu untuk diketahui terutama bagi individu yang belum mencapai usia dewasa. Sebagaimana yang ditemukan Pratiwi (2009) di Yogyakarta, dimana anak-anak usia sekolah dasar menunjukkan ekspresi ketidaknyamanan dan ketertutupan selama berbicara mengenai seksualitas. Salah seorang responden pada penelitian Pratiwi tersebut menyebutkan kata “burung” untuk menamai alat kelamin laki-laki, dan “kupu-kupu” sebagai

nama alat kelamin perempuan. Keadaan tersebut muncul akibatperasaan maluketika membicarakan seksualitas yang berkembang didalam diri individu sejak kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat Tukker (2013) dimana banyak anak kecil yang memperoleh pemahaman akan seks sebagai sesuatu yang salah dan memalukan. Pemahaman ini bersumber pada norma sosial yang berlaku didalam masyarakat, khususnya norma agama sebagai hasil konstruksi dari kehidupan religius.

(29)

danNorton, pandangan sebagian orang terhadap seks sangat didominasi oleh ideologi agama (dalam Ashdown, Hackathorn, & Clark, 2011). Religiusitas individu tidak hanya dapat memprediksi perilaku individu dalam berhubungan intim, melainkan dapat memprediksi perilaku seksual tertentu, seperti masturbasi (Davidson, Darling, & Norton,1995). Selain itu, penelitian Woo dan Brotto (2012) terhadap wanita Asia Timur dan Euro-Kanada telah menemukan bahwa level yang tinggi pada religiusitas menyebabkan tingginya level sex guilt yang kemudian menyebabkan hasrat seksual menjadi rendah. Berdasarkan temuan-temuan tersebut, peneliti menduga bahwa religiusitas juga berhubungan dengan perilaku individu dalam komunikasi seksual.

(30)

seksual, terutama pada perempuan yang secara sosial tidak mudah untuk mengekspresikan seksualitasnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah religiusitas pada perempuan dewasa yang telah menikah memiliki hubungan dengan kemampuan dalam melakukan komunikasi seksual?

C. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah sisi religiusitas perempuan dewasa yang telah menikah memiliki hubungan dengan kemampuan dalam melakukan komunikasi seksual.

D. Manfaat 1. Teoritis

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan di bidang ilmu psikologi, terutama Psikologi Sosial, Psikologi Klinis, dan Psikologi Perkembangan mengenai religiusitas dan komunikasi seksual. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya dalam bidang komunikasi seksual.

2. Praktis

(31)

memberikan pemahaman bagi pasangan suami istri dalam masalah seksualitas.

(32)

10

BAB II

LANDASAN TEORI

A. RELIGIUSITAS 1. Definisi Religiusitas

Pemahaman mengenai konsep religiusitas didahului dengan pengetahuan yang terkait dengan konsep kepercayaan atau agama. Agama didefinisikan sebagai relasi manusia dengan Tuhan sebagaimana didalam penghayatan manusia (Dister, 1988). Menurut Dister (1988), agama dipandang pula sebagai suatu sikap yang dihayati manusia secara lahir dan batin. Kemudian, Glock dan Stark mendefinisikan agama sebagai simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang menuju pada suatu makna tertinggi dan disusun dalam suatu lembaga (dalam Ancok, 1994).

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, kepercayaan atau agama merupakan suatu lembaga sosial berbentuk simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang berusaha untuk mengatur sikap dan cara hidup yang dihayati secara lahir batin sebagai relasi antara manusia dengan Tuhan.

(33)

Keempat, agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan. Keempat motif beragama tersebut menjadi dasar perilaku religius individu.

Hardjana (1993) menyebutkan bahwa terdapat enam faktor utama yang mendorong individu untuk beragama. Pertama, manusia ingin mendapatkan keamanan dari malapetaka yang tak dapat dikuasai. Kedua, untuk mencari perlindungan dalam menghadapi ketidakpastian hidup. Ketiga, agama dijadikan acuan dalam mencari kejelasan atas makna hidup dan alam raya. Keempat, agama digunakan dalam memperoleh pembenaran akan segala praktik kehidupan yang baik. Kelima, melalui agama individu dapat meneguhkan tata nilai kehidupan. Terakhir, memeluk agama merupakan alasan individu untuk memuaskan hasrat jiwa yang paling dalam: menemukan Tuhan didalam hidup.

Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti melihat bahwa secara psikologis terdapat faktor-faktor terkait kebutuhan intelektual, fisik, dan sosial-emosi yang mendorong individu untuk memeluk agama dengan tujuan mencapai kesejahteraan pribadi.

(34)

abstrak (dalam Ratnawati, 2002). De Visser, Smith, Richters, dan Rissel (2007) mendefinisikan religiusitas sebagai suatu kekuatan dari keyakinan religius yang dicerminkan kedalam sikap (memandang agama sebagai sesuatu yang penting) dan perilaku (frekuensi kehadiran di gereja). Selain itu, menurut Rodolpho, Penteado, Borges, dan Alvarez (2013), religiusitas adalah konsep menyeluruh mengenai kapasitas untuk menghidupi pengalaman keagamaan yang meliputi kedekatan dengan Tuhan.

Dapat disimpulkan bahwa religiusitas merupakan sikap yang berasal dari keyakinan individu terhadap pengalaman keagamaan yang menimbulkan rasa kedekatan dengan Tuhan sebagai pribadi yang abstrak dan mendorong individu untuk mencari makna eksistensinya.

2. Jenis Religiusitas

(35)

status, bertahan melawan kenyataan, atau memberi sanksi pada suatu cara hidup (Allport dalam Crapps, 1993). Allport (dalam Elias, 1975) membedakan individu yang berorientasi intrinsik sebagai individu yang menghidupi agama, dan individu dengan orientasi ekstrinsik sebagai individu yang memanfaatkan agama.

Berdasarkan pada konsep religiusitas intrinsik dan ekstrinsik, maka pengukuran terhadap tingkat religiusitas dilakukan dengan menggunakan

Religion Scale (Bardis, 1961). Religion scale ini dimaksudkan untuk mengukur sikap terhadap keyakinan dan praktik-praktik religius (Kauffman dalam King & Crowther, 2004).

3. Alat Ukur Religiusitas

(36)

Sikap religiusitas yang berorientasi intrinsik dan ekstrinsik secara tersirat dapat ditemukan pada setiap item religion scale. Terdapat 6 butir item yang dapat digolongkan kedalam religiusitas intrinsik (1, 5, 7, 11, 13, & 23), dan ke-18 butir item sisanya dapat digolongkan kedalam religiusitas ekstrinsik (2, 3, 4, 6, 8, 9, 10, 12, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, & 24). Item-item yang cenderung berorientasi intrinsik memiliki makna yang menunjukkan bahwa individu dengan orientasi tersebut memandang agama sebagai iman yang bernilai pada diri sendiri, menuntut keterlibatan, dan mengatasi kepentingan diri. Sedangkan, item-item dengan kecenderungan ekstrinsik dimaknai melalui pandangan terhadap agama sebagai tameng yang berguna untuk mendukung kepercayaan diri, memperbaiki status, bertahan melawan kenyataan, atau memberi sanksi pada suatu cara hidup.

Melalui item-item yang berorientasi intrinsik, religiusitas dinyatakan sebagai penghayatan agama yang dihidupi oleh individu. Sebagai contoh, pada item nomor 5 (lampiran 8) yang berbunyi: “keyakinan pada Tuhan membuat hidup lebih bermakna.” Melalui item tersebut, religiusitas

(37)

sekali jika memungkinkan.” Pada item tersebut sikap religiusitas ditunjukkan melalui kewajiban hadir ke tempat ibadah.

4. Tahap Perkembangan Religiusitas

James W. Fowler (dalam Cremers,1995) telah mengembangkan teori mengenai religiusitas (keberagamaan). Terdapat tujuh tahap perkembangan kepercayaan menurut Fowler, yakni:

a. Kepercayaan Awal dan Elementer (usia 0 – 2 tahun)

Rasa percaya dan setia yang elementer pada semua orang dan lingkungan yang mengasuh sang bayi, serta pada gambaran kenyataan yang paling akhir dan mendasar.

b. Kepercayaan Intuitif – Proyektif (usia 2 – 6 tahun)

Tahapan ini terjadi pada masa kanak-kanak. Sifat anak-anak yang masih egosentris menyebabkan mereka sulit membedakan pandangan mereka dengan pandangan dari orangtua terhadap Tuhan, malaikat, dan surga / neraka. Anak-anak memiliki pikiran bahwa menyembah Tuhan merupakan suatu kewajiban yang memiliki ganjaran bila tidak dilakukan.

c. Kepercayaan Mistis – Harfiah (usia 6 – 11 tahun)

(38)

mereka memandang bahwa Tuhan memiliki kekuasaan dan kekuatan dalam hidup mereka.

d. Kepercayaan Sintetis – Konvensional (usia 12 tahun – dewasa)

Tahapan ini terjadi pada remaja awal yang merupakan masa transisi dari masa anak-anak. Dalam tahapan ini, remaja mulai mampu berpikir secara abstrak sehingga lebih bersikap kritis terhadap pengetahuan yang berasal dari luar diri mereka. Remaja juga mulai menginginkan hubungan yang intim dengan Tuhan, sehingga mereka mulai meyakini kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan dan tokoh yang menjadi panutan dalam hal keagamaan. Kelemahan yang mereka alami pada tahap ini adalah ketidakmampuan untuk menganalisis alternative ideology agama secara tepat, yang juga sering terjadi pada orang dewasa menurut Fowler.

e. Kepercayaan Individuatif – Reflektif (dimulai pada usia 18 tahun) Tahap ini terjadi pada masa transisi dari masa remaja menuju dewasa awal. Individu telah memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan melakukan tanggungjawab terhadap apa yang diyakininya. Individu pada tahap ini telah memiliki kesadaran bahwa keyakinan yang mereka yakini memiliki arti bagi kehidupan mereka sehingga harus diperjuangkan.

f. Kepercayaan Konjungtif (dimulai pada usai 35 tahun)

(39)

hidup yang sebelumnya telah ditetapkan dengan jelas kini menjadi kabur dan seakan-akan kosong. Mulai timbul kesadaran baru dan pengakuan kritis terhadap berbagai macam polaritas, ketegangan, kedwiartian, dan multidimensionalitas yang dirasakan dalam diri individu.

g. Kepercayaan yang Mengacu pada Universalitas (usia 30 tahun dan seterusnya)

Tahap ini sebenarnya jarang terjadi, apabila terjadi umumnya setelah umur 30 tahun. Individu yang telah mencapai tahap ini melepaskan diri sebagai pusat istimewa proses konstitusi kepercayaan dan semakin mundur ke belakang. Individu ini mengalami perombakan radikal terhadap segala pikiran, nilai, dan komitmennya yang biasa. Dorongan hati yang dimiliki semata-mata berasal dari kebajikan ilahi, seperti cinta kasih inklusif dan keadilan universal serta penghargaan yang amat tinggi terhadap nilai hidup.

(40)

kehidupan mereka sehingga harus diperjuangkan. Dapat dikatakan pula bahwa pada tahapan ini individu memiliki religiusitas yang lebih stabil. 5. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Religiusitas

a. Faktor Emosi

i. Kesejahteraan Psikologis

Witter, Stock, Okun, dan Haring (dalam Chamberlain & Zika, 1988) menemukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara religiusitas dan kesejahteraan psikologis.

ii. Rasa Bersalah Seksual

Pada penelitian Woo dan Brotto (2012) terhadap perempuan Asia timur, ditemukan bahwa level yang tinggi pada religiusitas menyebabkan sex guilt meningkat, dan hal tersebut menyebabkan hasrat seksual menurun.

b. Faktor Demografi

(41)

dimiliki. Selain itu, ditemukan pula bahwa tingkat religiusitas pada perempuan Amerika kulit hitam segala usia melebihi tingkat religiusitas pada laki-lakinya (Levin & Taylor, 1993).

Tingkat religiusitas dipengaruhi pula oleh faktor usia. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Witter, Stock, Okun, dan Haring yang mengatakan bahwa religiusitas pada individu yang lebih tua memiliki pengaruh yang kuat terhadap kesejahteraan psikologis (dalam Chamberlain & Zika, 1988).

Berdasarkan faktor etnis, Mitchell menemukan bahwa warisan budaya pada kebanyakan kelompok etnis berkaitan dengan masyarakat dan tradisi religius (dalam Ahrold & Meston, 2008).

(42)

B. KOMUNIKASI SEKSUAL 1. Definisi Komunikasi

Berelson dan Steiner (dalam Fisher, 1986) mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses penyampaian informasi, ide, emosi, keterampilan, melalui penggunaan simbol-kata, gambar, angka, atau grafik. Menurut DeVito (2011), komunikasi mengacu pada tindakan, oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan, terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik.

Berdasarkan pengertian tersebut, komunikasi dapat diartikan sebagai proses yang bertujuan untuk menyampaikan pesan berupa informasi maupun ide tertentu melalui berbagai media yang memiliki pengaruh bagi pengirim dan penerima pesan. Pada suatu relasi interpersonal dikenal istilah komunikasi interpersonal.

(43)

dengan kesehatan, dimana komunikasi dapat mempengaruhi emosi, serta kesejahteraan mental dan fisik kita (dalam Parker & Ivanov, 2013).

Beberapa pengertian diatas menyebutkan bahwa komunikasi interpersonal memiliki makna bagi setiap individu yang terlibat dalam proses tersebut, sehingga dapat mempengaruhi kesejahteraan fisik dan mental. Selain itu, Budyatna dan Ganiem (2011) menyebutkan bahwa keberhasilan didalam komunikasi interpersonal secara relatif dapat meningkatkan kebahagiaan dan produktivitas individu. Didalam mengembangkan relasi interpersonal, khususnya didalam relasi yang intim antara perempuan dan laki-laki, penting untuk mempelajari komunikasi sebagai faktor yang dapat meningkatkan kualitas hubungan.

2. Komunikasi Seksual

a. Definisi Komunikasi Seksual

(44)

didiskusikan seperti praktek seksual, kenikmatan seksual, dan ajakan seksual (Faulker & Lanutti, Holmberg & Blair, dalam Babin 2013). Selain itu, Rehmanet al. (2011) menyatakan bahwa komunikasi seksual dilakukan dengan membicarakan topik-topik terkait seksualitas bersama pasangan.

Komunikasi seksual juga dapat dipahami sebagai suatu kemampuan untuk membicarakan dan memulai perilaku seksual yang memuaskan (Morokoffet al., dalam Oattes & Offman, 2007). Sebagai tambahan, menurut Cupach dan Comstock (dalam Oattes & Offman, 2007), komunikasi seksual mengarahkan pasangan untuk saling memberi pengertian mengenai kebutuhan seksual mereka, hasrat seksual dan pilihan dalam melakukan hubungan seksual.

Penelitian terdahulu mendefinisikan komunikasi seksual dalam bentuk sexual self disclosure dan sexual assertiveness.Sexual self-disclosure adalah kemampuan untuk mengkomunikasikan pilihan-pilihan seksual secara terbuka (Rehman et al., 2011). Sedangkan,

sexual assertiveness merupakan kemampuan seseorang untuk mengkomunikasikan kebutuhan seksual dan memulai perilaku seksual dengan pasangan (Shafer dalam Menard & Offman, 2009).

(45)

aktivitas seksual sebelumnya kepada pasangan baik secara verbal maupun non-verbal.

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Seksual

Oattes dan Offman (2007) telah membuktikan bahwa harga diri global dan harga diri seksual mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan komunikasi seksual. Individu dengan harga diri global dan harga diri seksual yang tinggi cenderung mampu untuk berkomunikasi seksual. Penelitian sebelumnya juga telah membuktikan bahwa individu dengan harga diri global yang tinggi memiliki kemampuan komunikasi seksual yang tinggi pula (Ferroni & Taffe, dalam Oattes & Offman, 2007). Serupa dengan penelitian Adler dan Hendrick (1991) yang menemukan bahwa individu dengan harga diri seksual yang tinggi akan lebih menerima seksualitas mereka dan dengan demikian individu tersebut mampu untuk berpikir serta menyiapkan interaksi seksual selanjutnya. Zeanah dan Schwarz mendefinisikan harga diri seksual sebagai reaksi afektif seseorang pada penilaian subjektif atas pikiran, perasaan, dan perilaku seksual seseorang (Menard & Offman, 2009).

(46)

dan keterhubungan dengan menjaga otonomi diri, selama tetap terhubung dengan sistem relasi (Bowen dalam Timm & Keiley, 2011). Scnarch (dalam Timm & Keiley, 2011) berpendapat bahwa kemampuan diferensiasi diri dalam relasi intim mengarahkan pasangan untuk dapat berbicara secara terbuka mengenai berbagai masalah, kebutuhan, dan fantasi seksual tanpa dibebani rasa cemas.

Beebe, S.A, et al (2011) memandang komunikasi seksual sebagai ungkapan individuakan hasrat seksual secara verbal maupun nonverbal. Ungkapan akan hasrat seksual tersebut, baik secara verbal maupun nonverbal, merupakan salah satu bentuk dari ekspresi seksual. Beberapa penelitian yang dirangkum dalam Murray, Ciarrocchi, dan Murray-Swank (2007) telah menunjukkan bahwa terhambatnya ekspresi seksual disebabkan oleh pengaruh sikap religiusitas dengan

sex guilt sebagai mediatornya. Berdasarkan temuan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa perilaku komunikasi seksual turut dipengaruhi pula oleh sikap religiusitas yang dimiliki oleh individu.

C. Perempuan Dewasa Menikah 1. Definisi

(47)

Erikson, isu utama permulaan masa dewasa ditandai dengan munculnya rasa intimasi versus isolasi (Papalia et al., 2008). Apabila pada tahap ini seorang individu dewasa tidak dapat membuat komitmen personal terhadap orang lain, maka mereka akan terisolasi dan lebih terpaku pada pikiran atau kegiatannya sendiri. Oleh karena itu, setiap individu pada tahap ini akan berusaha menyelesaikan tugas perkembangannya yakni dengan mencapai intimasi.

Masa dewasa mencirikan adanya sikap kedewasaan yang menunjukkan adanya sikap pertanggungjawaban penuh atas pembentukan diri sendiri (Kartono, 1992). Dalam hal ini, perempuan dianggap dewasa apabila seorang perempuan mampu memahami dirinya sendiri dan mulai merencanakan pola hidup bagi masa depannya. Menurut Kartono (1992), perempuan dewasa adalah perempuan yang sudah memiliki bentuk dan sifat yang relatif stabil. Kestabilan pribadi pada perempuan dewasa memungkinkannya untuk memilih bidang studi, profesi/pekerjaan, dan relasi sosial yang bersifat stabil pula, termasuk didalam relasi pernikahan.

(48)

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, perempuan dewasa menikah adalah seorang perempuan usia 18-60 tahun yang telah terikat lahir-batin dengan seorang laki-laki untuk membentuk keluarga berdasarkan agama yang dianut.

2. Pola Komunikasi

Komunikasi dapat berupa komunikasi verbal dan komunikasi non-verbal. Komunikasi verbal mengacu pada bentuk komunikasi yang dilakukan melalui kata-kata. Sedangkan, komunikasi non-verbal merupakan bentuk komunikasi yang tidak berfokus pada kata-kata aktual, seperti intonasi suara, ekspresi wajah, bahkan jarak antara seseorang dengan orang lainnya saat berdiri. Selanjutnya, akan dijelaskan bagaimana karakteristik pola komunikasi verbal pada perempuan yang berbeda dengan pola komunikasi pada laki-laki (dalam Matlin, 2012).

(49)

bahwa laki-laki cenderung lebih sering menginterupsi pembicaraan daripada perempuan.

Perempuan dan laki-laki juga memiliki perbedaan dalam gaya maupun isi dari bahasa ketika melakukan komunikasi verbal. Carli menemukan bahwa orang-orang jarang menggunakan bahasa yang menunjukkan keragu-raguan ketika mereka berbicara pada jenis kelamin yang sama. Sebaliknya, ketika perempuan berbicara pada laki-laki, mereka nampaknya lebih sering menggunakan bentuk kalimat yang menunjukkan keragu-raguan. Misalnya, “saya tidak yakin”. Sedangkan, isi pembicaraan yang seringkali dibahas oleh perempuan berdasarkan urutan intensitasnya berkisar seputar dunia sosial, proses berpikir, emosi, pekerjaan, dan seks.Hasil penelitian yang dilakukan oleh Newman et al. tersebut menunjukkan bahwa perempuan sangat jarang membicarakan soal seks. 3. Seksualitas Perempuan Dewasa Menikah

Memasuki usia dewasa, perempuan memiliki minat yang lebih besar terhadap seksualitas dibandingkan dengan masa remaja (Hurlock, 1980). Karakteristik seksual pada perempuan dewasa dilihat sebagai sesuatu yang khas dari perempuan dan mungkin berbeda dari karakteristik seksual pada laki-laki. Beberapa aspek mengenai seksualitas perempuan dewasa meliputi respon seksual, hasrat seksual, sikap terhadap seksualitas perempuan, dan perilaku seksual.

(50)

khususnya secara fisiologis. Empat tahap yang terjadi selama aktivitas seksual perempuan, meliputi excitement phaseyang berupa rangsangan seksual akibat sentuhan dan pikiran-pikiran erotik; plateau phaseyang menandakan daerah klitoris semakin sensitif; orgasmic phase yang menimbulkan kontraksi pada rahim dan bagian luar vagina; dan resolution phaseyang menandakan kembalinya organ seksual pada kondisi awal. Meskipun terdapat kesamaan reaksi fisiologis dengan laki-laki, perempuan cenderung lebih menekankan pentingnya emosi dan pikiran dalam aktivitas seksual (dalam Matlin, 2012). Menurut Hurlock (1980), respon seksual perempuan akan menurun diakibatkan adanya sikap mawas terhadap perilaku seksual yang dilakukan bersama pasangan.

(51)

perempuan tidak suka untuk memiliki pasangan seksual yang banyak (Impett & Peplau; Miller et al; Mosher & Danoff-Burg; dan Vohs & Baumeister, dalam Matlin, 2012).

Sikap individu terhadap seksualitas dipengaruhi oleh budaya dimana individu tersebut tinggal. Mayoritas masyarakat Amerika Utara percaya bahwa hubungan seksual diluar pernikahan dapat diterima secara wajar dalam suatu hubungan yang dilandasi komitmen (Widmer et al., dalam Matlin, 2012). Di negara timur, seperti Filipina, 60 % masyarakatnya menganggap bahwa hubungan seks diluar pernikahan merupakan hal yang tidak benar.

Masyarakat memiliki sikap yang berbeda terhadap perilaku seksual perempuan dibandingkan dengan perilaku seksual laki-laki. Penelitian Hatfield dan Rafson, dan Sprecher (dalam Matlin, 2012) menemukan bahwa masyarakat Amerika Utara memiliki suatu standar ganda yang berisi suatu keyakinan bahwa hubungan seks diluar pernikahan lebih tepat dilakukan oleh laki-laki ketimbang perempuan.

(52)

mengungkapakan ketertarikan erotik mereka (Peplau, dalam Matlin, 2012).

Pada aspek perilaku, perempuan memiliki perilaku seksual yang sangat berbeda dari laki-laki.Penelitian Hill; Hyde & Oliver; Peterson & Hyde, dalam Matlin, 2012) menemukan bahwa perilaku masturbasi lebih umum dilakukan laki-laki daripada perempuan.

D. Dinamika Hubungan antara Religiusitas dan Komunikasi Seksual pada Perempuan Dewasa yang Telah Menikah

Sikap religiusitas terbentuk atas dasar keterikatan individu dengan sistem kepercayaan yang diyakini. Kepercayaan atau agama merupakan suatu relasi manusia dengan Tuhan sebagaimana didalam penghayatan manusia (Dister, 1988). Kemudian, individu memaknai relasi tersebut kedalam suatu sikap yang disebut sebagai religiusitas. Religiusitas dipahami sebagai sikap yang berasal dari keyakinan individu terhadap pengalaman keagamaan yang menimbulkan rasa kedekatan dengan Tuhan sebagai pribadi yang abstrak dan mendorong individu untuk mencari makna eksistensinya. Pengaruh agama terhadap perilaku manusia terutama untuk memperoleh ketenangan didalam hidup, sehingga secara psikologis agama menjadi suatu nilai penting bagi individu (Dister, 1998).

(53)

individu berada pada tahap yang disebut individuatif – reflektif. Fowler (dalam Cremers, 1995) mengatakan, individu pada tahap tersebut telah memiliki kesadaran bahwa kepercayaan yang mereka yakini memiliki arti bagi kehidupan mereka sehingga harus diperjuangkan secara bertanggungjawab. Maka, tahap perkembangan kepercayaan pada perempuan dewasa berada di tahap individuatif – reflektif, dimana perempuan dewasa menyadari bahwa kepercayaan yang mereka yakini memberikan arti bagi kehidupan sehingga mereka mampu memperjuangkan keyakinan tersebut dengan penuh tanggungjawab.

Selain itu, ditemukan bahwa tingkat religiusitas yang dimiliki perempuan dewasa lebih tinggi dibandingkan religiusitas pada laki-laki dewasa.Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Beit-Hallahmi dan Argyle (dalam Walter & Davie, 1998) yang menemukan bahwa religiusitas perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, baik dalam hal intensitas kehadiran ke rumah ibadah, doa pribadi maupun isi dari keyakinan religius yang dimiliki. Sikap religiusitas yang tinggi pada perempuan diduga mempengaruhi sikap perempuan, khususnya terhadap seksualitas.

(54)

oleh Basson dalam artikel New England Journal of Medicine (www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMcp050154). Selain hasrat seksual, kepuasan seksual juga dipengaruhi oleh komunikasi seksual.

Komunikasi seksual merupakan suatu kemampuan untuk mendiskusikan berbagai aspek kehidupan seksual, seperti keterbukaan diri, hasrat seksual, ajakan seksual, kenikmatan seksual, maupun aktivitas seksual sebelumnya kepada pasangan baik secara verbal maupun non-verbal. Hasil penelitian yang dirangkum oleh Oattes dan Offman (2007) menunjukkan bahwa komunikasi seksual yang baik dapat meningkatkan kepuasan seksual. Akan tetapi, tidak semua individu mampu melakukan komunikasi seksual, terutama perempuan. Hal ini terkait dengan pendapat Newman et al. (dalam Matlin, 2012) yang mengatakan bahwa perempuan sangat jarang membicarakan soal seks dibandingkan laki-laki.

(55)

sehingga tidak terlibat aktif dalam kehidupan seksual. Kemudian, sikap religius yang ekstrinsik pada diri perempuan diduga membentuk pola pikir yang cenderung kaku terhadap hukum agama, khususnya terkait kehidupan seksual. Sikap religiusitas tersebut cenderung berusaha mengendalikan setiap tatanan perilaku seksual manusia agar sesuai dengan kehendak Tuhan. Perempuan dewasa pada umumnya merasa sulit untuk menceritakan pengalaman seksual kepada laki-laki lain, bahkan kepada suaminya, karena memiliki anggapan bahwa pengalaman seksual merupakan hal yang kotor, salah, dan dosa (Priyatna, 2013). Anggapan tersebut diduga karena sikap religius yang dimiliki oleh perempuan menikah. Maka, peneliti menduga bahwa sikap religiusitas pada perempuan menjadi faktor yang menghambat komunikasi seksual sebagai bagian dari ekspresi seksual.

E. Hipotesis

(56)

34 suatu ganjaran terhadap perilaku yang

dipengaruhi oleh iman akan Tuhan

Religiusitas

Perempuan Dewasa Menikah

Ireligius:

Tidak memahami konsep tentang Tuhan, tidak memahami adanya kewajiban timbal

balik antara ketuhanan dan kemanusiaan, dan tidak meyakini adanya suatu ganjaran terhadap perilaku yang dipengaruhi oleh

iman akan Tuhan

Komunikasi Seksual:

Tidak mampu mendiskusikan berbagai aspek kehidupan seksual, seperti keterbukaan diri, hasrat seksual, ajakan

seksual, kenikmatan seksual, maupun aktivitas seksual sebelumnya kepada pasangan baik secara verbal maupun

non-verbal

Komunikasi Seksual:

Mampu untuk mendiskusikan berbagai aspek kehidupan seksual, seperti keterbukaan diri,

hasrat seksual, ajakan seksual, kenikmatan seksual, maupun aktivitas seksual sebelumnya

(57)

35

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif korelasional, yaitu penelitian yang melihat hubungan antar variabel (Kountur, 2003).Variabel-variabel didalam penelitian ini diukur melalui instrumen penelitian sehingga data yang terdiri dari angka-angka dapat dianalisis dengan menggunakan prosedur statistik (Noor, 2011).

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel merupakan suatu atribut atau nilai dari orang, objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu (Noor, 2011). Berdasarkan landasan teori yang telah dipaparkan, penelitian ini memiliki dua variabel, yaitu:

1. Variabel Bebas : Religiusitas

2. Variabel Terikat : Komunikasi Seksual

C. Definisi Operasional 1. Religiusitas

(58)

pada skala ini, menunjukkan bahwa subjek memiliki tingkat religiusitas yang semakin tinggi pula.

2. Komunikasi Seksual

Komunikasi seksual adalah suatu kemampuan untuk mendiskusikan berbagai aspek kehidupan seksual, seperti keterbukaan diri, hasrat seksual, ajakan seksual, kenikmatan seksual, maupun aktivitas seksual sebelumnya kepada pasangan baik secara verbal maupun non-verbal. Tingkat komunikasi seksual diukur menggunakan skala komunikasi seksual yang disusun sendiri oleh peneliti melalui survey pendahuluan mengenai komunikasi seksual. Faktor-faktor didalam skala komunikasi seksual terdiri dari perilaku seksual, peningkatan kualitas hubungan, pandangan/nilai terhadap seksualitas, dan pengalaman seksual. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek dalam skala komunikasi seksual, menunjukkan tingkat komunikasi seksual yang tinggi pada diri subjek. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh subjek, hal tersebut menunjukkan tingkat komunikasi seksual yang rendah pula pada diri subjek.

D. Subjek Penelitian

(59)

sebagai subjek didalam penelitian ini. Pemilihan kriteria tersebut berdasarkan atas pertimbangan bahwa perempuan menikah memiliki frekuensi yang aktif dalam hubungan seksual, sehingga akan lebih membantu peneliti dalam memahami variabel komunikasi seksual. Subjek penelitian yang dipilih oleh peneliti berkisar pada usia 18 – 60 tahun berdasarkan atas kriteria usia dewasa awal hingga dewasa madya (Hurlock, 1980).

E. Metode Pengumpulan Data

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai cara yang ditempuh oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitian. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan alat berupa skala pengukuran sikap jenis Likert. Skala Likert merupakan skala yang bertujuan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi terhadap fenomena sosial (Sugiyono, 2003). Peneliti menggunakan religion scale, survey terhadap komunikasi seksual dan skala komunikasi seksual dalam pengumpulan data penelitian. Religion scale

bertujuan untuk mengukur tingkat religusitas pada perempuan menikah. Kemudian, survey terhadap komunikasi seksual bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk komunikasi seksual yang terjadi secara aktual pada masyarakat Indonesia. Skala komunikasi seksual merupakan skala yang bertujuan untuk mengukur tingkat komunikasi seksual yang dimiliki oleh perempuan menikah. 1. Religion Scale

(60)

psikologi (King dan Crowther, 2004). Pada artikel tersebut, disajikan beberapa alat ukur religiusitas dan spiritualitas beserta tujuan konseptual yang dapat dipahami. Menurut King dan Crowther, sejumlah alat ukur tersebut telah memiliki kontribusi teoritis dan empiris yang unik terhadap literatur di bidang religi. King dan Crowther menyatakan pula bahwa terdapat izin yang memperbolehkan para peneliti untuk menggunakan sejumlah alat ukur yang ditinjau ulang didalam artikel tersebut.

Religion scale dimaksudkan untuk mengukur sikap terhadap keyakinan dan praktek religius (Kauffman dalam King & Crowther, 2004). Tiga aspek besar didalam keyakinan yang akan diukur adalah (1) konsep mengenai kodrat dan karakter ketuhanan; (2) doktrin yang berkenaan dengan kewajiban timbal balik dan keharusan antara ketuhanan dan kemanusiaan; dan (3) tatanan perilaku yang dirancang agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan untuk meyakinkan orang-orang percaya akan suara hatinya bahwa apapun ganjaran yang akan diterima dan kebebasan dari hukuman di dunia bergantung pada imannya. Tahap awal dalam penyusunan skala ini dilakukan dengan mengumpulkan sekitar 200 pernyataan singkat terkait dengan berbagai keyakinan dan praktik religius yang kebanyakan diperoleh dari penerbitan dengan topik mengenai keyakinan (Bardis, 1961).

Skala ini terdiri dari 25 aitem yang seluruhnya merupakan item

(61)

tinggal di luar negeri, dalam hal ini negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional. Teknik penerjemahan ini dilakukan dengan menerjemahkan kembali skala yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Setelah diterjemahkan kembali kedalam bahasa Inggris, item-item pada skala tersebut kemudian dibandingkan dengan item-item pada skala asli untuk melihat apakah terdapat makna yang tidak sama. Item-item yang dihasilkan melalui back-translation diperiksa kembali oleh dosen pembimbing skripsi.

Rentang nilai pada skala ini berkisar dari angka 0 sampai 4. Angka 0 menunjukkan respon sangat tidak setuju, angka 1 menunjukkan respon tidak setuju, angka 2 menunjukkan respon ragu-ragu, angka 3 menunjukkan respon setuju, dan angka 4 untuk menunjukkan respon yang sangat setuju. Pemberian nilai pada skala ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1

Sistem Penilaian Religion Scale

Jawaban Pernyataan

Favorable

Sangat Setuju (SS) 4

Setuju (S) 3

Ragu-ragu (R) 2

Tidak Setuju (TS) 1

(62)

2. Survey terhadap Komunikasi Seksual

Skala penelitian mengenai komunikasi seksual yang kebanyakan dilakukan di luar negeri dirasa kurang relevan dengan kondisi budaya masyarakat Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai sopan santun. Beberapa aitem pada skala yang peneliti temukan menuliskan nama bagian genital tubuh secara jelas. Peneliti merasa kurang pantas untuk menggunakan skala tersebut, terlebih mengingat bahwa penelitian yang terkait bidang seksualitas menuntut kepercayaan penuh dari calon responden untuk dapat berpartisipasi. Oleh karena itu, peneliti melakukan survey pendahuluan terhadap komunikasi seksual guna mengetahui bentuk-bentuk komunikasi seksual yang terjadi didalam konteks masyarakat Indonesia.

(63)

Selanjutnya angket disebarkan kepada 101 responden dewasa, 56 orang pria dan 55 orang wanita. Jawaban dari angket tersebut kemudian dianalisis menggunakan teknik kualitatif untuk merumuskan tema umum mengenai komunikasi seksual yang secara relevan terjadi pada masyarakat Indonesia. Peneliti dibantu oleh dosen pembimbing skripsi dalam proses analisis hasil angket tersebut hingga dapat merumuskan empat tema umum. (Lampiran.2) Keempat tema umum tersebut yaitu: (1) Perilaku seksual; (2) Peningkatan kualitas hubungan; (3) Nilai / pandangan terhadap seksualitas; dan (4) Pengalaman seksual. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh melalui survey tersebut, dapat peneliti simpulkan bahwa komunikasi seksual pada masyarakat Indonesia mencakup empat pesan seksualitas yang ingin disampaikan kepada pasangan baik secara verbal maupun nonverbal.

3. Skala Komunikasi Seksual

Skala komunikasi seksual terdiri dari 24 item yang disusun berdasarkan 4 aspek dari komunikasi seksual, yaitu komunikasi seksual untuk mencapai “perilaku seksual”, komunikasi seksual untuk

“peningkatan kualitas hubungan”, komunikasi seksual dalam

mengungkapkan “nilai/pandangan terhadap seksualitas”, dan komunikasi

(64)

Tabel 2

Blue Print Skala Komunikasi Seksual

No Aspek

Komunikasi Seksual

Favorable Unfavorable Jumlah

1. Perilaku seksual 7 3 10

2. Peningkatan kualitas hubungan

Pilihan jawaban didalam skala komunikasi seksual, meliputi: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Sistem pemberian nilai dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3

Sistem Penilaian Skala Komunikasi Seksual

Jawaban Pernyataan

(65)

Pelaksanaan uji coba berupa penyebaran kuesioner berlangsung dari tanggal 11 Maret 2015 hingga tanggal 18 Maret 2015. Skala uji coba terdiri dari skala komunikasi seksual yang memuat 40 item dan religion scale yang memuat 25 item, kemudian disebarkan kepada 30 orang perempuan menikah yang berada di kota Yogyakarta. Setelah kuesioner kembali pada peneliti, hasil jawaban responden kemudian dianalisis menggunakan program SPSS 16.0 for Windows.

1. Validitas

Validitas merupakan ukuran yang menunjukkan ketepatan dan kecermatan dari suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 1992). Peneliti menggunakan validitas isi didalam penelitian ini. Validitas isi adalah validitas yang diestimasi dengan menggunakan analisis rasional atau penilaian dari seorang ahli (Azwar, 1992). Ahli yang memberikan penilaian dalam penelitian ini adalah dosen pembimbing skripsi. Penilaian pada skala tersebut berdasarkan kesesuaian antara seluruh item yang disusun dengan aspek-aspek dari variabel yang hendak diukur.

2. Seleksi Item

(66)

Sebagai contoh, pada skala komunikasi seksual yang disusun oleh peneliti, item dengan daya beda yang tinggi adalah item yang dapat membedakan antara individu yang memiliki kemampuan komunikasi seksual yang tinggi dengan individu yang memiliki kemampuan komunikasi seksual yang rendah. Daya beda diuji dengan menghitung koefisien korelasi antara distribusi skor item dengan distribusi skor skala. Hasil dari penghitungan tersebut menghasilkan sebuah parameter yang disebut koefisien korelasi item total (rix) (Azwar, 2009). Item yang baik adalah item yang memiliki

koefisien korelasi item total ≥ 0,30.

Berdasarkan hasil uji coba yang dilakukan,religion scale memiliki 24 item yang layak digunakan(Lampiran. 5), kemudian skala komunikasi seksual memiliki 24 item yang layak digunakan (Lampiran. 6). Dikarenakan hanya 1 item yang tidak lolos seleksi pada religion scale, peneliti memutuskan untuk tetap menggunakan ke-25 item pada skala tersebut. Blue print skala komunikasi seksual dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4

Blue Print Penulisan Item Setelah Pelaksanaan Uji Coba

No Aspek

Komunikasi Seksual

Favorable Unfavorable Jumlah

1. Perilaku seksual 6 0 6

2. Peningkatan kualitas

hubungan 6 1 7

3. Nilai/pandangan

terhadap seksualitas 7 0 7

4. Pengalaman seksual 3 1 4

(67)

3. Reliabilitas

Reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau diandalkan (Noor, 2011). Suatu alat ukur dapat dikatakan mantap atau konsisten apabila menunjukkan hasil yang sama setiap kali dilakukan pengukuran dalam kondisi yang sama (Noor, 2011).

Peneliti menggunakan pendekatan α Cronbach untuk menguji nilai

reliabilitas pada hasil uji coba skala. Hasil perhitungan menunjukkan skala komunikasi seksual memiliki koefisien reliabel sebesar 0,890, sedangkan

religion scale memiliki koefisen reliabel sebesar 0,924. Berdasarkan hasil tersebut, skala komunikasi seksual dan religion scale dapat dikatakan reliabel.

G. Metode Analisis Data 1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

(68)

apabila nilai p lebih kecil daripada 0,05 maka data penelitian memiliki sebaran yang tidak normal.

b. Uji Linearitas

Teknik regresi mengasumsikan adanya suatu hubungan yang linear antarvariabel. Asumsi linearitas menyatakan bahwa hubungan antarvariabel yang mengikuti garis lurus (Santoso, 2010). Apabila nilai p < 0,05 maka terdapat hubungan yang linear pada kedua variabel yang diukur. Sedangkan, nilai p > 0,05 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang linier pada kedua variabel.

2. Uji Hipotesis a. Uji Korelasi

(69)
(70)

48

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Subjek Penelitian

Subjek pada penelitian ini adalah perempuan dewasa yang telah menikah dengan rentang usia 18 – 60 tahun. Subjek penelitan diperoleh dari daerah Kalimantan Barat dan Yogyakarta. Dari 150 subjek yang telah diberikan skala penelitian, terdapat 140 subjek yang bersedia mengisi skala dan telah memenuhi kriteria usia subjek penelitian. Deskripsi mengenai identitas subjek disajikan melalui tabel-tabel dibawah ini.

Tabel 5

Deskripsi Subjek Berdasarkan Usia

Usia (tahun) Frekuensi Persentase

≤ 20 2 1.4%

21 – 30 72 51.4%

31 – 40 40 28.6%

41 – 50 22 15.7%

> 50 4 2.9%

Total 140 100%

(71)

Tabel 6

Deskripsi Subjek Berdasarkan Suku

Suku Frekuensi Persentase

Batak 4 2.9% berdomisili di Kalimantan Barat, dengan persentase sebesar 57.9%. Sedangkan, suku yang paling sedikit adalah suku Bugis, suku Manado, dan suku Toraja, masing-masing dengan persentase sebesar 0.7%.

Tabel 7

Deskripsi Subjek Berdasarkan Agama

Agama Frekuensi Persentase

Budha 2 1.4%

Islam 39 27.9%

Katolik 72 51.4%

Kristen 27 19.3%

Total 140 orang 100%

(72)

Tabel 8

Deskripsi Subjek Berdasarkan Jenjang Pendidikan

Jenjang Pendidikan Frekuensi Persentase

Tidak Sekolah 1 0.7%

Pendidian Dasar 79 56.4%

Pendidikan Diploma 27 19.3%

Pendidikan Sarjana 33 23.6%

Total 140 orang 100%

Subjek yang terlibat didalam penelitian ini terdiri dari subjek dengan jenjang pendidikan yang bervariasi, mulai dari Tidak Sekolah hingga pendidikan Sarjana. Berdasarkan kategori jenjang pendidikan, subjek paling banyak berasal dari jenjang pendidikan dasar (56,4%). Sedangkan, jenjang pendidikan yang paling sedikit adalah Tidak Sekolah, dengan persentase sebesar 0.7%.

Tabel 9

Deskripsi Subjek Berdasarkan Pekerjaan

Pekerjaan Frekuensi Persentase

Guru 17 12.1%

(73)

Tabel 10

Deskripsi Subjek Berdasarkan Usia Pernikahan

Usia Pernikahan Frekuensi Persentase

≤ 5 tahun 58 41.4% hingga ≥ 25 tahun. Usia pernikahan yang paling banyak dimiliki oleh subjek penelitian ini berada dalam rentang waktu ≤ 5 tahun, dengan persentase

sebesar 41,4%. Sedangkan, usia pernikahan yang paling sedikit yaitu dalam rentang waktu ≥ 25 tahun, dengan persentase sebesar 3,6%.

Tabel 11

Deskripsi Subjek Berdasarkan Jumlah Anak

Jumlah Anak Frekuensi Persentase

0 17 12.1%

1 – 3 117 83.6%

> 3 6 4.3%

Total 140 orang 100%

(74)

B. Pelaksanaan Penelitian

Peneliti melakukan pendataan terlebihdahulu terkait nama calon subjek yang akan diberikan skala penelitian. Berdasarkan pendataan tersebut, terdapat 100 nama perempuan menikah yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti dibantu dengan beberapa orang. Calon subjek penelitian dipilih berdasarkan kemudahan dalam menjangkaunya. Hal ini bertujuan agar peneliti dapat bertemu langsung dengan subjek, sehingga subjek dapat memahami tujuan dari penelitian ini.

Persiapan untuk mengumpulkan data dilakukan dengan mempersiapkan skala yang akan digunakan kedalam bentuk final. Skala komunikasi seksual dan religion scale digabungkan kedalam suatu booklet yang telah dilengkapi dengan petunjuk pengisian skala. Kemudian, skala penelitian tersebut dicetak sebanyak 150 eksemplar.

Skala penelitian mulai disebarkan pada 26 April 2015 hingga terkumpul semua pada 29 Mei 2015. Proses pengumpulan data tersebut dilakukan dengan menemui subjek secara perorangan. Peneliti memberikan waktu selama 1 – 3 hari untuk subjek dapat mengisi skala penelitian secara lebih efektif. Hal ini bertujuan pula untuk menghindari jawaban subjek yang tidak sesuai dengan keadaan sesungguhnya.

C. Deskripsi Data Penelitian

(75)

Data penelitian ini akan dideskripsikan berdasarkan skor pada skala religiusitas dan skala komunikasi seksual.

1) Skala Religiusitas

Skor maksimal subyek : 4 × 25 = 100 Skor minimal subjek : 0 × 25 = 0

Rumus Satuan Deviasi Standar:

σ = 1/6 (skor maksimal subjek – skor minimal subjek) σ = 1/6 (100 – 0) = 17

Rumus Mean Teoritis:

µ = ½ (skor maksimal item + skor minimal item) K µ = ½ ( 4 + 0) 25 = 50

Keterangan: µ : Mean Teoritis

σ : Satuan Deviasi Standar

K : Jumah Item

Rumus Kategori Skor:

Rendah : x < µ - 0.1 (σ) = 50 – 0.1 (17) = 50 – 1.7 = 48.3

(76)

= 67

Tinggi : (µ + 1.0(σ)) ≥ x = 67-100

Maka, kategori skor pada skala religiusitas: Rendah : 17 - 47

Sedang : 48 - 66 Tinggi : 67 – 100 Tabel 12

Skor Subjek Pada Variabel Religiusitas

Religiusitas Kategori Total

Rendah Sedang Tinggi Total

Gambar

grafik. Menurut DeVito  (2011), komunikasi mengacu pada tindakan, oleh
Tabel 1 Sistem Penilaian Religion Scale
Tabel 3 Sistem Penilaian Skala Komunikasi Seksual
Tabel 4 Blue Print Penulisan Item Setelah Pelaksanaan Uji Coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mengisi dan menandatangani Formulir Pemesanan Pembelian Obligasi Negara Ritel dari Departemen Keuangan, Formulir Pembelian Surat Berharga Negara, dan Formulir

Jumlah Saham yang ditawarkan 26.000.000.000 Saham Biasa Atas Nama dengan Nilai

Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Zohreh Hajiha dan Neda Sobhani (2012) meneliti tentang ukuran auditor, spesialisasi industri dan audit tenure

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) Kesesuaian kondisi fisik terhadap usaha ternak sapi perah; 2) Pengelolaan usaha ternak sapi perah; 3) Hambatan dan

Variabel Non Performing Loan (NPL) berpengaruh tidak signifikan terhadap harga saham pada Kinerja Keuangan 10 bank dengan asset terbesar yang ditawarkan di Bursa

Adapun batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hanya dilakukan pada kegiatan uji kandungan Besi (Fe) pada air sumur, sebelum dan sesudah dikontakkan dengan

tentang suatu obyek apakah disukai atau tidak, dan sikap konsumen juga bisa menggambarkan kepercayaan konsumen terhadap berbagai atribut dan manfaat dari obyek

Sampai saat ini belum diketahui gambaran karakteristik pasien diabetes melitus tipe 2 dengan tinea korporis di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H Adam Malik Medan