commit to user
i
PERAMALAN
PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS PADA ERA OTONOMI DAERAH
DI KABUPATEN SUKOHARJO
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajad Magister Program Studi Magister Agribisnis
Minat Utama: Ekonomi Pertanian
Diajukan Oleh: Eka Dewi Nurjayanti
S 640809001
PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNIS PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
commit to user
ii
PERAMALAN
PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS PADA ERA OTONOMI DAERAH
DI KABUPATEN SUKOHARJO
TESIS Disusun oleh: Eka Dewi Nurjayanti
S 640809001
Telah disetujui oleh Tim Penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua Dr. Ir. Kusnandar, M.Si
NIP. 19670703 199203 1 004
... ...
Sekretaris Prof. Dr. Ir. Endang Siti Rahayu, MS NIP. 19570104 198003 2 001
... ...
Anggota 1 Prof. Dr. Ir. Darsono, M.Si NIP. 19660611 199103 1 002
... ...
Anggota 2 Prof. Dr. Ir. Suprapti Supardi, MP NIP. 19480808 197612 2 001
... ...
Mengetahui:
Ketua Program Studi Magister Agribisnis
Prof. Dr. Ir. Endang Siti Rahayu, MS
NIP. 19570104 198003 2 001 ... ...
Direktur PPs UNS
Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D.
commit to user
iii
KATA PENGANTAR
Assalaamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis yang berjudul PERAMALAN PENAWARAN DAN PERMINTAAN
BERAS PADA ERA OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN SUKOHARJO,
dengan tujuan untuk melengkapi persyaratan guna mendapatkan gelar Magister
Agribisnis Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D, selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Prof. Dr. Ir. Endang Siti Rahayu, M.S, selaku Ketua Program Studi Magister
Agribisnis Universitas Sebelas Maret Surakarta dan juga sebagai penguji
yang banyak memberikan masukan, saran, dan motivasi dalam penyusunan
tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan sebagai bagian dari keluarga
besar Program Studi Magister Agribisnis dan semoga program studi ini
semakin berkembang dan sukses pada waktu yang akan datang.
3. Dr. Ir. Kusnandar, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Magister Agribisnis
Universitas Sebelas Maret Surakarta dan juga sebagai penguji. Terima kasih
commit to user
iv
4. Prof. Dr. Ir. Darsono, M.Si, selaku pembimbing utama yang sangat inspiratif
dan solutif. Terima kasih telah berkenan mendampingi, meluangkan waktu,
tenaga, pemikiran, serta banyak memberikan arahan, motivasi, kritik, dan
saran selama proses penyusunan tesis ini.
5. Prof. Dr. Ir. Suprapti Supardi, MP, selaku pembimbing pendamping yang
inspiratif dan solutif. Terima kasih telah memberikan banyak arahan,
masukan, kritik dan saran, serta motivasi dan nasihat selama proses
penyusunan tesis ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Magister Agribisnis Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta atas ilmu yang telah
diberikan dan bantuannya selama masa perkuliahan penulis di Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
7. Staff administrasi Program Studi Magister Agribisnis Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan banyak bantuan
dalam hal administrasi dan seminar.
8. Bappeda Kabupaten Sukoharjo yang telah memberikan izin penelitian kepada
penulis.
9. Dinas Pertanian, Badan Pusat Statistika, Badan Ketahanan Pangan Kabupaten
Sukoharjo dan BPS Provinsi Jawa Tengah yang telah memberikan banyak
informasi dan data-data penting dalam penelitian penulis ini.
10. Orang tuaku tercinta Bapak Ilyas Zainal S.Pd dan Ibu Esti Handayani S.Pd,
commit to user
v
nasihat, dan kasih sayang, serta kesempatan dan kepercayaan yang telah
diberikan kepada penulis selama ini.
11. Adik-adikku Ristiya Dwi Anggraeni dan Wahyu Tri Widyastuti terima kasih
atas doa, dukungan, dan semangat yang semakin mempererat persaudaraan
kita.
12. Seluruh Keluarga Besar Eyang Djamat Suharjono dan Eyang Kasmad yang
telah memberikan doa, kasih sayang, dukungan, motivasi, dan bantuan bagi
penulis.
13. Sahabat terbaikku Ika Dewi Puspita Sari (Alm.) terima kasih untuk indahnya
kebersamaan dan persahabatan yang akan selalu memotivasi penulis untuk
terus berkarya.
14. Sahabat sekaligus saudaraku, Nita, Dede, Ncit, Putri, Yaning, Wilis, Era,
abang Arief, dan Heri. Tidak hanya sahabat tapi kalian adalah teman, saudara,
dan keluarga yang senantiasa menemaniku untuk lebih memahami makna
hidup.
15. Untuk “abang” yang telah mengajarkan banyak hal untuk selalu sabar dan
terus berusaha. Terima kasih untuk kebersamaan, kesabaran, motivasi,
nasehat dan semangat yang diberikan.
16. Teman seperjuangan, Tri R. Setyowati. Kebersamaan, perjuangan, dan
kesabaran yang dilalui bersama telah memberikan banyak warna dan cerita
hingga pada akhirnya kita berhasil menyelesaikan penelitian ini.
17. Teman-teman Magister Agribisnis, Tri Rahayu S., Umi Nur S., Tria Rosana,
commit to user
vi
Suratno, Farid Sunarto, Endang Tien, dan Sutopo. Teman-teman
seperjuangan yang memberikan banyak cerita, kebersamaan, motivasi dan
bantuan serta persahabatan yang unik dan penuh warna.
18. Teman-teman “siap dan pasti kaya team”, Agrobisnis 2005: diantaranya Siti,
Niken, Triana, Pandan, Hafid, Simbah, Gulan, Luthfi, Cecep. Bersama kalian
banyak memberikan warna dalam hidup. Terima kasih juga untuk
bantuannya.
19. Sekartaji crew: Lina, Kuning, Rima, Sarah, Umi, Sari, Sulis terima kasih
untuk keceriaan, kebersamaan, bantuan dan semuanya.
20. Semua pihak yang telah membantu kelancaran penyusunan tesis ini dan
memberi dukungan, doa dan semangat bagi penulis untuk terus berjuang.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun di kesempatan yang
akan datang. Akhirnya penulis berharap semoga sumbangan pemikiran ini akan
dapat bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak . Terimakasih.
Wassalaamu’alaikum. Wr. Wb.
Surakarta, Agustus 2011
commit to user
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
RINGKASAN ... xvi
SUMMARY ... xvii
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 15
D. Kegunaan Penelitian ... 15
II. LANDASAN TEORI ... 16
A. Tinjauan Pustaka ... 16
1. Beras ... 16
2. Otonomi Daerah ... 18
3. Permintaan ... 20
4. Penawaran ... 24
5. Regresi Atas Variabel Dummy ... 27
6. Model Persamaan Simultan ... 29
7. Peramalan ... 30
8. Penaksiran dan Peramalan Permintaan ... 32
9. Analisis Deret Waktu (Time Series) ... 34
10. Metode Box-Jenkins (ARIMA) ... 37
11. Penelitian Terdahulu ... 46
a. Analisis Penawaran dan Permintaan... 46
b. Analisis Peramalan Penawaran dan Permintaan ... 49
B. Kerangka Teori Pendekatan Masalah ... 54
1. Metode ARIMA (Box-Jenkins)... 54
2. Model Persamaan Simultan ... 57
C. Pembatasan Masalah ... 60
D. Asumsi - Asumsi ... 60
E. Definisi Operasional dan Konsep Pengukuran Variabel ... 60
III. METODE PENELITIAN ... 63
A. Metode Dasar Penelitian ... 63
B. Metode Pengambilan Daerah Penelitian... 63
commit to user
viii
D. Metode Analisis Data... 64
1. Model ARIMA Permintaan dan Penawaran Beras... 64
2. Uji Variabel Dummy ... 68
3. Model Persamaan Simultan ... 69
4. Uji Kelayakan Model ... 71
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 75
A. Keadaan Alam ... 75
B. Luas Wilayah... 76
C. Keadaan Penduduk dan Tenaga Kerja ... 76
D. Keadaan Perindustrian ... 79
E. Keadaan Umum Pertanian ... 81
F. Keadaan Sektor Tanaman Bahan Makanan... 84
G. Keadaan Perekonomian ... 86
V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 88
A. Dinamika Penawaran dan Permintaan Beras... 88
1. Dinamika Penawaran Beras di Kabupaten Sukoharjo ... 88
2. Dinamika Permintaan Beras di Kabupaten Sukoharjo ... 92
B. Model ARIMA Penawaran dan Permintaan Beras ... 95
1. Penawaran Tahunan Beras ... 95
a. Tahap Identifikasi ... 95
b. Tahap Estimasi ... 98
c. Tahap Uji Diagnostik ... 100
2. Permintaan Tahunan Beras... 106
a. Tahap Identifikasi ... 106
b. Tahap Estimasi ... 108
c. Tahap Uji Diagnostik ... 110
C. Uji Variabel Dummy ... 117
D. Model Persamaan Simultan ... 119
E. Peramalan Penawaran dan Permintaan Beras ... 123
F. Pembahasan ... 127
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 136
A. Kesimpulan ... 136
B. Saran ... 138
DAFTAR PUSTAKA ... 141
commit to user
ix
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Hal
1. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2005 – 2010 ... 9
2. Penawaran, Permintaan dan Surplus Beras di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2005 – 2010 ... 10
3. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Sex Ratio di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2004-2009 ... 76
4. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kabupaten
Sukoharjo Tahun 2009... 78
5. Jumlah, Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Sukoharjo Tahun 2004-2009 ... 79
6. Industri Menurut Kelompok Usaha di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009 ... 80
7. Luas Penggunaan Lahan Sawah di Kabupaten Sukoharjo Tahun
2009 ... 82
8. Luas Penggunaan Lahan Bukan Sawah Menurut Jenis di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009 ... 82
9. Luas Penggunaan Lahan Bukan Sawah Menurut Status di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009 ... 83
10. Perkembangan Produksi Tanaman Bahan Makanan Menurut Jenisnya di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2005 – 2009 (Ton) ... 84
11. Produksi Bersih Padi dan Penawaran Tahunan Beras di Kabupaten Sukoharjo Tahun 1994 – 2010 ... 89
12. Jumlah Penduduk dan Permintaan Tahunan Beras di Kabupaten Sukoharjo Tahun 1994 – 2010 ... 93
13. Nilai ADF dan Critical Value Data Penawaran Tahunan Beras di Kabupaten Sukoharjo ... 97
commit to user
x
15. Perbandingan Uji Diagnostik Beberapa Model ARIMA
Penawaran Tahunan Beras di Kabupaten Sukoharjo ... 101
16. Hasil Pengujian Model ARIMA (0,1,1) Penawaran Tahunan Beras di Kabupaten Sukoharjo ... 104
17. Nilai ADF dan Critical Value Data Permintaan Tahunan Beras di Kabupaten Sukoharjo ... 107
18. Hasil Estimasi Model Tentatif Permintaan Tahunan Beras di Kabupaten Sukoharjo... 109
19. Perbandingan Uji Diagnosis Beberapa Model ARIMA
Permintaan Tahunan Beras di Kabupaten Sukoharjo ... 111
20. Hasil Pengujian Model ARIMA (2,2,1) Permintaan Tahunan Beras di Kabupaten Sukoharjo ... 114
21. Nilai F-statistic dan Tingkat Probabilitas Hasil Chow Breakpoint Test Variabel Dummy ... 118
22. Hasil Estimasi Model Persamaan Simultan Penawaran dan Permintaan Tahunan Beras di Kabupaten Sukoharjo ... 122
commit to user
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1. Kurva Permintaan ... 23
2. Kurva Penawaran ... 25
3. Kerangka Pemikiran Analisis Peramalan Permintaan dan Penawaran Beras Pada Era Otonomi Daerah di Kabupaten Sukoharjo ... 59
4. Plot Data Penawaran Tahunan Beras di Kabupaten
Sukoharjo (Ton) ... 96
5. Plot Data Permintaan Tahunan Beras di Kabupaten
Sukoharjo (Ton) ... 106
6. Plot Hasil Peramalan Penawaran dan Permintaan Tahunan
commit to user
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1 Permintaan dan Penawaran Beras di Kabupaten Sukoharjo
Tahun 1994 – 2010... 146
2 Nilai ADF dan Critical Value Data Penawaran Tahunan Beras..
147
3 Nilai ADF dan Critical Value Data Permintaan Tahunan Beras.. 148
4 Collerogram Data Penawaran Tahunan Beras... 149
5 Collerogram Data Permintaan Tahunan Beras...
150
6 Hasil Estimasi Model ARIMA Penawaran Tahunan Beras di
Kabupaten Sukoharjo... 151
7 Hasil Estimasi Model ARIMA Permintaan Tahunan Beras di
Kabupaten Sukoharjo... 156
8 Uji Chow Breakpoint Test... 162
9 Estimasi Model Persamaan Simultan... 163
10 Hasil Peramalan Penawaran Dan Permintaan Tahunan Beras Di
commit to user
xiii
RINGKASAN
Eka Dewi Nurjayanti. S640809001. 2011. Peramalan Penawaran dan Permintaan Beras Pada Era Otonomi Daerah di Kabupaten Sukoharjo.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika penawaran dan permintaan beras pada era sebelum dan sesudah pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Sukoharjo dan menganalisis peramalan penawaran dan permintaan beras di Kabupaten Sukoharjo pada tahun 2011 – 2015. Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Lokasi penelitian diambil secara sengaja (purposive), yaitu Kabupaten Sukoharjo. Data dianalisis dengan (1) metode Box-Jenkins (ARIMA) melalui empat tahap yaitu identifikasi, estimasi parameter, uji diagnostic, dan peramalan; (2) uji titik patah Chow (Chow Breakpoint Test); dan (3) metode persamaan simultan.
Hasil penelitian data penawaran tahunan beras mempunyai pola fluktuatif dengan trend cenderung meningkat. Data belum stasioner dan menjadi stasioner pada differencing pertama. Hasil estimasi parameter menetapkan model tentatif untuk penawaran tahunan beras adalah ARIMA (0,1,1). Pada uji diagnostik ditetapkan bahwa model ARIMA yang terbaik adalah ARIMA (0,1,1) dengan RMSE sebesar 5.186,376; R2 sebesar 0,850311; nilai F-statistic sebesar 79,52704; dan parameter MA signifikan karena nilai probabilitasnya lebih kecil dari 0,05. Data permintaan tahunan beras memiliki trend meningkat dan cenderung linier. Data permintaan tahunan beras tidak stasioner dan menjadi stasioner pada
differencing kedua. Hasil estimasi parameter menetapkan model tentatif untuk permintaan tahunan beras adalah ARIMA(1,2,1). Setelah dilakukan uji diagnostik, model terbaik untuk permintaan tahunan beras yang dipilih adalah ARIMA (2,2,1) dengan RMSE sebesar 677,4671; R2 sebesar 0,947327; nilai F-statistic sebesar 53,95478; dan parameter AR(1) dan MA(1) signifikan karena nilai probabilitasnya lebih kecil dari 0,05. Hasil Chow Breakpoint Test menunjukkan periode yang berpengaruh terhadap structural break data penawaran dan permintaan tahunan beras adalah tahun 2000, dengan nilai F-statistic sebesar 3,033932 dan tingkat probabilitasnya juga signifikan. Pada model persamaan simultan hasil estimasi menunjukkan bahwa model mempunyai nilai R2 0,644626; F-statistic sebesar 5,462146; RMSE sebesar 8.823,807; dan nilai probabilistik dari F-statistic sudah signifikan. Otonomi daerah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penawaran dan permintaan tahunan beras, karena peran pemerintah daerah di sektor perberasan relatif kecil dan sebagian besar kebijakan ditetapkan oleh pemerintah pusat. Hasil peramalan penawaran dan permintaan tahunan beras tahun 2011 – 2015 menunjukkan bahwa permintaan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya, sedangkan penawaran cenderung mengalami penurunan.
commit to user
xiv
SUMMARY
Eka Dewi Nurjayanti. S640809002. 2011. The Forecasting Supply and Demand of Rice in Era of Regional Autonomy in Sukoharjo Regency.
The purpose of this research is to know the dynamics of suppling and demanding rice in era before and after regional autonomy in Sukoharjo Regency and to analyzed forecast of them in Sukoharjo Regency on 2011 – 2015. The basic method applied in this research is analytical descriptive method. The research object is taken purposively, that is Sukoharjo Regency. The method of analysis data in this research is (1) Box-Jenkins (ARIMA) method with fourth steps, include identification, parameter estimation, diagnostic checking, and forecasting; (2) Chow Breakpoint Test; and (3) simultaneous equation method.
The result got from this research is the annual supply rice data have a fluctuation pattern with increase trend. It is not stationary and become stationary in first differencing. The result of parameter estimation judged that tentative model for the annual supply rice is ARIMA (0,1,1). The result of diagnostic checking judged that the best ARIMA model is ARIMA (0,1,1) with RMSE value is 5.186,376; R2 value is 0,850311; F-statistic value is 79,52704; and parameter of MA is significant because probabilistic value is less than 0,05. The annual demand rice data have an increased and linear trend. It is not stationary and become stationary in second differencing. The result of parameter estimation judged that tentative model for the annual demand rice is ARIMA (1,2,1). After diagnostic checking test, the best ARIMA model for the annual demand rice is ARIMA (2,2,1) with RMSE value is 677,4671; R2 value is 0,947327; F-statistic
value is 53,95478; and parameter of MA(1) and AR(1) are significant because the value of probability is less than 0,05. Chow Breakpoint Test showed that in 2000 was a period which affected annual supply and demand of rice, with F-statistic
value is 3,033932 and this probability is significant. In simultaneous equation model, estimation result showed that the model had value of R2 is 0,644626; value of F-statistic is 5,462146; value of RMSE is 8.823,807; and probabilistic value of F-statistic is significant. Regional autonomy not affected in supply and demand of rice. It is because rule of regional government less than main government in capital country. The result of forecasting annual supply and demand of rice in 2011 – 2015 showed annual demand rice tended increase while annual supply decreased.
commit to user
xv
LEMBAR PERNYATAAN
Nama : Eka Dewi Nurjayanti
NIM : S640809002
Program Studi : Agribisnis
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul “Peramalan
Penawaran dan Permintaan Beras Pada Era Otonomi Daerah di Kabupaten Sukoharjo” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis ini diberi tanda tersendiri dan ditunjukkan dalam daftar
pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya ini tidak benar, maka
saya bersedia sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya
peroleh atas tesis tersebut.
Surakarta, Agustus 2011
Yang menyatakan,
commit to user
xvi
PERAMALAN
PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS PADA ERA OTONOMI DAERAH
DI KABUPATEN SUKOHARJO
TESIS Disusun oleh: Eka Dewi Nurjayanti
S 640809001
Telah disetujui oleh:
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing
Utama
Prof. Dr. Ir. Darsono, M.Si
NIP. 19660611 199103 1 002
... ...
Pembimbing
Pendamping
Prof. Dr. Ir. Suprapti Supardi, MP
NIP. 19480808 197612 2 001
... ...
Mengetahui:
Ketua Program Studi Magister Agribisnis
commit to user
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang pemenuhannya
menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam UU
No.7 Tahun 1996 tentang pangan. Hal ini menjadikan pangan sebagai
komoditas penting dan strategis. Kecukupan dan ketersediaan pangan akan
menentukan kualitas sumber daya manusia dan ketahanan bangsa. Kecukupan
dan ketersediaan pangan berkaitan dengan ketahanan pangan. Menurut
Peraturan Pemerintah RI No. 68 Tahun 2002 tentang ketahanan pangan,
disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi
rumah tangga yang tercermin dengan tersedianya pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (Made, 2008: 52).
Dalam pengertian tersebut pemenuhan kebutuhan pangan dapat disediakan
melalui hasil produksi dalam negeri atau impor.
Indonesia kaya akan beraneka ragam sumber bahan pangan baik nabati
maupun hewani untuk pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, sehingga
kondisi ini sangat mendukung untuk mencapai ketahanan pangan yang
mantap. Ketahanan pangan sangat erat kaitannya dengan peran strategis
sektor pertanian. Secara empiris peran sektor pertanian tidak hanya
berkontribusi dalam aspek penyediaan (food availability), tetapi juga
memproduksi pangan dan secara global merupakan gantungan nafkah utama
sekitar 36 % penduduk dunia. Bahkan untuk negara berkembang angkanya
lebih tinggi lagi, berkisar antara 40 – 50 % (Sumaryanto, 2009: 7). Di
Indonesia menurut BPS (2009: 51), sampai dengan bulan Februari, dari total
104,49 juta penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja, terdapat sekitar
43,03 juta penduduk (41,2 %) yang bekerja di sektor pertanian, kehutanan,
perburuan dan perikanan. Perkembangan sektor pertanian sebagaimana yang
terdapat pada kebijakan pembangunan pertanian Indonesia, lebih menitik
beratkan pada produksi makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia
yaitu beras.
Beras merupakan komoditas yang sangat penting dan strategis bagi
bangsa Indonesia. Beras menjadi penting karena merupakan bahan makanan
pokok masyarakat Indonesia, dan menjadi strategis karena dapat
mempengaruhi stabilitas ekonomi (melalui inflasi) dan stabilitas nasional
(gejolak sosial) (Hasyim, 2007: 3). Sebagai bahan makanan pokok, maka
kebutuhan beras setiap saat harus dapat dipenuhi dan perlu diupayakan
ketersediaanya dalam jumlah yang cukup, mutu yang baik, aman dikonsumsi,
dan mudah diperoleh dengan harga yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan
masyarakat.
Sebagai bahan pangan pokok, beras memiliki peran yang sangat penting
dalam kehidupan masyarakat Indonesia dipandang dari aspek ekonomi,
tenaga kerja, lingkungan hidup, sosial, budaya dan politik. Begitu pentingnya
beras sehingga pengelolaannya harus dilakukan secara berhati-hati, terutama
dalam hal kebijaksanaan perberasan yang ditetapkan pemerintah. Dalam
commit to user
mengatur ekonomi perberasan nasional (Saifullah, 2001: 1). Salah satu
campur tangan pemerintah dalam ekonomi perberasan adalah melalui
Keputusan Presiden No. 114/U/Kep/1976 pada tanggal 10 Mei 1967 tentang
pembentukan Badan Urusan Logistik (Bulog). Badan ini dibentuk sebagai
lembaga pembeli tunggal untuk beras (Kepres No. 272/1967) sedangkan
Bank Indonesia ditetapkan sebagai penyandang dana tunggal untuk beras
(Inpres No. 1/1968) (Emperadani, 2005: 2; Himateta, 2010: 1). Kebijakan
pemerintah membentuk Bulog tidak terlepas dari situasi ekonomi saat itu.
Memasuki 1967, krisis ekonomi terus berlanjut sehingga hampir
menghancurkan sendi-sendi pokok kehidupan bangsa. Negara dihadapkan
pada masalah kosongnya stok pangan di gudang-gudang BPUP (Badan
Pelaksana Urusan Pangan), habisnya devisa negara, dan tingkat inflasi yang
membumbung tinggi (Darwis, 2010: 2).
Bulog dalam perkembangannya mengalami beberapa perubahan fungsi
dan tugas. Selain sebagai pengelola cadangan pangan, Bulog juga diberi
kewenangan sebagai importir tunggal gula pasir dan gandum, serta distributor
gula pasir, kedelai, dan tepung terigu. Bahkan selama tahun 1977 – 1979,
Bulog mendapat tugas menerapkan kebijakan harga dasar untuk jagung,
kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau. Perubahan tugas dan fungsi yang
dituangkan dalam beberapa Keputusan Presiden ini menjadikan Bulog tidak
hanya menangani bidang perberasan nasional saja, tetapi juga mengendalikan
bahan pangan lainnya (Emperadani, 2005: 3; Darwis, 2010: 2; Himateta,
2010: 1; Saifullah, 2001: 1-2).
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ini diharapkan
mendukung perberasan nasional. Instrumen yang dibentuk pemerintah adalah
penetapan pengendalian harga dasar gabah yang setiap tahun disesuaikan
dengan masukan, inflasi, dan faktor lainnya. Bulog juga dibentuk untuk
mengamankan harga dasar gabah dan stabilitas domestik, selain itu juga
diberi hak monopoli impor pengadaan pangan. Melalui berbagai kebijakan
ini, ekonomi perberasan dalam negeri dapat ditangkal dari gejolak perubahan
global. Akan tetapi mulai tahun 1997, kondisi perberasan nasional mengalami
perubahan dikarenakan Indonesia mengalami krisis ekonomi. Krisis ekonomi
yang dipicu oleh krisis moneter ini memberikan dampak yang luas terhadap
perekonomian Indonesia. Untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah
melakukan pembenahan di bidang moneter salah satunya dengan menerima
bantuan dana moneter dari IMF (Irawan, 2002: 3-5).
Pemerintah banyak melakukan perubahan kebijakan untuk memulihkan
situasi ekonomi bangsa dan mengembalikan kepercayaan masyarakat
Indonesia maupun global. Perubahan kebijakan juga terjadi pada sektor
perberasan yang pada akhirnya juga berpengaruh terhadap Bulog (Gaybita,
2008: 3). Tugas pokok Bulog kemudian diperbarui melalui Keppres RI No.
19/1998 tanggal 21 Januari 1998 tentang tugas pokok Bulog, yaitu hanya
mengelola beras saja sedangkan komoditas lainnya diserahkan kepada
commit to user
harga dasar tetap menjadi prioritas utama. Sedangkan peran dalam menjaga
stabilitas harga konsumen mulai berkurang sejalan dengan terus tertekannya
harga beras domestik. Sebaliknya, peran Bulog untuk membantu kelompok
miskin yang rawan pangan semakin menonjol (Gaybita, 2008: 3).
Adanya kebijakan baru ini dipandang sebagai era liberalisasi komoditas
pangan. Sebab, sejak Kepres tersebut dibuat tugas pokok Bulog hanya
mengelola beras. Kemudian melalui Keppres No. 103/2001 tanggal 13
September 2001, pemerintah mengatur kembali tugas dan fungsi Bulog.
Bulog hanya melaksanakan tugas pemerintahan di bidang manajemen logistik
sesuai peraturan perundangan-undangan yang berlaku dengan kedudukan
sebagai lembaga pemerintah non departemen yang bertanggung jawab
langsung kepada presiden (Darwis, 2010: 1; Perum Bulog, 2010: 1).
Sejak berdirinya Bulog sampai terjadinya krisis ekonomi, manajemen
Bulog tidak banyak berubah dari waktu ke waktu, meskipun ada perbedaan
tugas dan fungsi dalam berbagai periode. Pada awal berdirinya status Bulog
adalah sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) berdasarkan
Keppres RI No. 39 tahun 1978. Akan tetapi, krisis ekonomi yang terjadi di
Indonesia pada tahun 1997 menimbulkan tekanan yang sangat kuat agar peran
pemerintah dipangkas secara drastis sehingga semua kepentingan nasional
termasuk pangan harus diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar.
Tekanan tersebut terutama mucul dari negara-negara maju pemberi pinjaman
khususnya AS dan lembaga keuangan internasional seperti IMF dan World
Banyaknya tekanan tersebut memberi konsekuensi bahwa Bulog harus
berubah secara total. Adanya perubahan kebijakan pangan pemerintah dan
pemangkasan tugas dan fungsi Bulog seperti yang tertuang dalam beberapa
Keppres dan SK Menperindag sejak tahun 1998, serta Keppres RI No. 103
tahun 2001 menegaskan bahwa Bulog harus beralih status menjadi BUMN
selambat-lambatnya Mei 2003, merupakan faktor pendorong untuk
melakukan perubahan pada Bulog. Selain hal tersebut, fakor lainnya adalah
berlakunya beberapa UU baru, khususnya UU No. 5 Tahun 1999 tentang
larangan praktek monopoli, dan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah yang membatasi kewenangan Pemerintah Pusat dan dihapusnya
instansi vertikal. Selanjutnya Bulog melakukan berbagai kajian-kajian baik
oleh intern Bulog maupun pihak ekstern. Berdasarkan hasil kajian, ketentuan
dan dukungan politik DPR RI, disimpulkan bahwa status hukum yang paling
sesuai bagi Bulog adalah Perum. Dengan bentuk Perum, Bulog tetap dapat
melaksanakan tugas publik yang dibebankan oleh pemerintah terutama dalam
pengamanan harga dasar pembelian gabah, pendistribusian beras untuk
masyarakat miskin yang rawan pangan, pemupukan stok nasional untuk
berbagai keperluan publik menghadapi keadaan darurat dan kepentingan
publik lainnya dalam upaya mengendalikan gejolak harga. Disamping itu,
Bulog dapat memberikan kontribusi operasionalnya kepada masyarakat
sebagai salah satu pelaku ekonomi dengan melaksanakan fungsi usaha yang
tidak bertentangan dengan hukum dan kaidah transparansi. Berdasarkan hal
commit to user
menjadi Perum Bulog berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun
2003 yang kemudian direvisi menjadi PP RI No. 61 Tahun 2003 (Darwis,
2010: 1; Perum Bulog, 2010: 1).
Berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang
selanjutnya direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, menjadikan urusan di sektor perberasan diserahkan kepada
pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan secara teknis beras merupakan
produk sektor pertanian yang merupakan salah satu bidang kewenangan
pemerintah daerah. Berdasarkan hal ini maka pemerintah daerah secara
proaktif harus berperan dalam menangani persoalan perberasan yang terjadi
di daerahnya. Ini disebabkan sejak perubahan status Bulog dari LPND
menjadi Perum, harga sejumlah komoditas pangan termasuk beras selalu
mengalami perubahan. Pemerintah tidak lagi bisa mengendalikan harga sebab
harga terbentuk berdasarkan mekanisme pasar. Perubahan pada harga beras,
tidak banyak mempengaruhi permintaan beras, hal ini disebabkan orang akan
berusaha mempertahankan kuantitas beras yang dikonsumsinya meskipun
harga beras mengalami perubahan yang besar. Akan tetapi perubahan harga
beras yang berkepanjangan tentu akan merugikan masyarakat sebagai
konsumen. Keseimbangan antara ketersediaan pasokan beras dan permintaan
konsumen merupakan hal yang dapat menjaga stabilitas harga beras.
Ketersediaan pasokan beras di pasar tidak luput dari dukungan
pemerintah terutama pada teknis produksi, sarana dan prasarana usaha tani,
otonomi daerah sekarang ini, manajemen sistem kebijakan perberasan yang
menjadi tanggung jawab pemerintah daerah adalah sistem kebijakan yang
menyangkut aspek penyediaan sarana dan prasarana usahatani, misalnya
menyangkut pembangunan jaringan irigasi, penyediaan bibit unggul, fasilitas
penanganan pasca panen yang memadai dan penyuluhan pertanian tentang
informasi pasar dan teknologi (Sutrisno, 2009: 2). Dengan adanya otonomi
daerah ini diharapkan pemerintah daerah dapat memberikan dukungan yang
lebih baik pada para pelaku sektor perberasan, karena tidak lagi tergantung
pada pemerintah pusat. Pemerintah daerah dapat lebih mengoptimalkan
sumber daya daerah yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan pangan
masyarakat sehingga kesejahteraan rakyat menjadi lebih terjamin. Demikian
juga yang terjadi di Kabupaten Sukoharjo sebagai salah satu kabupaten
penghasil beras di propinsi Jawa Tengah.
Jawa Tengah merupakan salah satu propinsi pemasok kebutuhan beras
nasional. Produktivitas padi yang terbesar di propinsi Jawa Tengah adalah
Kabupaten Sukoharjo (BPS, 2009: 207). Menurut data Badan Ketahanan
Pangan Kabupaten Sukoharjo pada tahun 2009 total produksi bersih beras
sebesar 210.726,38 ton. Produksi bersih beras tersebut berasal dari produksi
padi sebanyak 357.525 ton yang diperoleh dari lahan sawah dengan luas
panen 50.448 ha dan rata-rata produktivitas 70,87 ku/ha. Total produksi
bersih beras ini mampu mencukupi kebutuhan penduduk 843.127 jiwa,
commit to user
Selama kurun waktu 6 tahun, yaitu tahun 2005-2010, luas lahan panen
dan produksi padi di Kabupaten Sukoharjo mengalami fluktuasi. Selain
karena perubahan luas lahan panen, curah hujan atau iklim juga sangat
mempengaruhi budidaya tanaman padi yang pada akhirnya akan ikut
berpengaruh pada jumlah hasil panen atau produksi padi. Perkembangan luas
lahan panen, produktivitas, dan produksi padi di Kabupaten Sukoharjo dapat
dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2005 – 2010
Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ku/Ha) Produksi (Ton)
2005 2006 2007 2008 2009 2010 46.440 49.422 46.171 48.248 50.448 51.876 64,43 65,24 69,88 69,90 70,87 64,70 299.206 322.426 322.656 337.244 357.525 335.638 Sumber : Sukoharjo Dalam Angka 2010 (BPS, 2010)
Sebagaimana disajikan pada Tabel 1, dapat diketahui bahwa luas panen,
produktivitas, dan produksi padi selama tahun 2005 – 2010 cenderung
mengalami peningkatan. Kondisi ini tentu sangat mendukung untuk
menjamin ketersediaan beras guna memenuhi kebutuhan pangan masyarakat
di Kabupaten Sukoharjo. Jumlah penduduk yang cenderung meningkat setiap
tahunnya tentu akan berpengaruh pada peningkatan permintaan beras sebagai
bahan pangan utama. Permintaan yang terus meningkat tentu harus diimbangi
dengan ketersediaan beras yang cukup untuk memenuhi permintaan tersebut.
Perkembangan penawaran, permintaan, dan surplus beras di Kabupaten
Tabel 2. Penawaran, Permintaan dan Surplus Beras di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2005 – 2010
Tahun Jumlah Penduduk (jiwa) Penawaran (Ton) Permintaan (Ton) Surplus (Ton) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 821.213 826.289 831.613 837.279 843.127 849.016 167.287,872 177.413,144 170.016,216 190.569,488 196.239,792 165.172,568 76.266,05 76.737,46 77.231,90 77.758,10 70.763,65 71.257,91 91.021,82 100.675,68 92.784,31 112.811,38 125.476,14 93.914,65 Sumber : Badan Ketahanan Pangan, 2010
Surplus yang terdapat pada Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa masih
terdapat kelebihan produksi beras dikurangi dengan konsumsi beras. Hal ini
mengindikasikan bahwa pemerintah Kabupaten Sukoharjo dapat memenuhi
permintaan beras masyarakat. Surplus beras tersebut selanjutnya dapat
diperdagangkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang berada di luar
Kabupaten Sukoharjo. Hal ini juga dapat menunjukkan bahwa pemerintah
daerah telah menerapkan kebijakan-kebijakan yang mendukung sektor
perberasan dan berhasil mengoptimalkan sumberdaya pertanian yang terdapat
di Kabupaten Sukoharjo. Kondisi surplus ini diharapkan dapat terus
berlangsung, akan tetapi hal ini tidak dapat dipastikan sebab adanya desakan
pengurangan luas lahan pertanian dan perubahan iklim yang tidak menentu.
Sisi lainnya adalah pertambahan jumlah penduduk yang semakin meningkat
tentu membutuhkan bahan pangan, terutama beras, yang semakin banyak
pula.
Selama tahun 2005 – 2010, kondisi permintaan dan penawaran beras di
commit to user
terjadi pada tahun-tahun sebelumnya ini dapat digunakan untuk meramalkan
kondisi tahun berikutnya dengan menggunakan metode Box-Jenkins
(ARIMA). Pada metode ARIMA, hasil peramalan sangat dipengaruhi oleh
kondisi variabel terikat pada periode sebelumnya, atau merupakan nilai-nilai
time-laged dari variabel tak bebas yang disebut autoregressive. Selain itu,
pada metode ini juga memperhitungkan adanya hubungan ketergantungan
antara nilai-nilai kesalahan yang berurutan, yang dikenal dengan moving
average. Berdasarkan pertimbangan ini, selanjutnya dengan menambahkan
variabel dummy untuk menguji pengaruh pelaksanaan otonomi daerah
terhadap penawaran dan permintaan beras di Kabupaten Sukoharjo, maka
dapat dilakukan analisis tentang peramalan penawaran dan permintaan beras.
Analisis peramalan permintaan dan penawaran ini menjadi penting untuk
perencanaan kebijakan di sektor perberasan. Pemerintah daerah selanjutnya
dapat menyusun perencanaan kebijakan-kebijakan untuk mendukung
penawaran dan permintaan beras di Kabupaten Sukoharjo.
B. Perumusan Masalah
Bagi Indonesia, pangan diidentikkan degan beras, karena jenis pangan
ini merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Nilai
strategis beras antara lain disebabkan karena beras adalah makanan pokok
paling penting. Beras memiliki pengaruh yang besar dalam bidang ekonomi
(penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan dan dinamika sosial pedesaan),
lingkungan (menjaga tata guna air dan udara bersih), dan sosial politik
utama pemenuhan gizi yang meliputi kalori, protein, lemak dan vitamin
(Abubakar, 2008: 2).
Berdasarkan pertimbangan tersebut, pemerintah selalu berupaya untuk
meningkatkan ketahanan pangan melalui peningkatan ketersediaan beras bagi
masyarakat. Pertimbangan tersebut menjadi penting sebab jumlah penduduk
yang terus bertambah, untuk itu diperlukan ketersediaan pangan dalam
jumlah yang cukup. Pemerintah Kabupaten Sukoharjo terus berupaya untuk
meningkatkan produksi padi guna menjamin ketersediaan beras untuk
memenuhi kebutuhan pangan masyarakat di Kabupaten Sukoharjo.
Berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang
merupakan pembaharuan dari UU otonomi daerah sebelumnya, telah
memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk memanfaatkan
potensi daerahnya dengan lebih maksimal demi tercapainya kesejahteraan
masyarakat. Sama halnya, dalam sektor perberasan yang tercakup dalam
sektor pertanian, diserahkan kepada tanggung jawab pemerintah daerah.
Pemerintah daerah diharapkan lebih giat dan optimal dalam meningkatkan
ketersediaan beras di daerahnya, yang dapat diterapkan melalui berbagai
kebijakan yang mendukung sektor perberasan. Dukungan pemerintah
misalnya dapat melalui penyaluran pupuk kepada petani, penyediaan sarana
produksi budidaya padi, dan penyuluhan tentang teknologi baru yang tepat
guna serta informasi harga hasil pertanian. Dukungan pemerintah yang baik
commit to user
memicu kerja petani yang pada akhirnya akan menjamin peningkatan hasil
produksi.
Adanya perubahan kepengurusan sektor perberasan, yang pada awalnya
merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan sekarang diserahkan ke
pemerintah daerah merupakan peluang bagi pemerintah daerah untuk lebih
meningkatkan ketersediaan pangan bagi masyarakatnya. Selain itu perubahan
peran Bulog selaku lembaga yang mengelola perberasan, merupakan peluang
bagi lembaga ini di tingkat daerah untuk menjamin ketersediaan bahan
pangan yang cukup dan merata. Meskipun harga beras sekarang ini
diserahkan pada mekanisme pasar, akan tetapi Bulog tetapi mepunyai peran
tersendiri yaitu dengan menjamin keseimbangan antara ketersediaan pasokan
dan permintaan konsumen untuk stabilitas harga beras agar tidak merugikan
produsen dan konsumen.
Meskipun pada kenyataannya produksi beras tidak hanya ditentukan
oleh dukungan pemerintah daerah saja. Banyak faktor-faktor lain yang ikut
menentukan penawaran beras di pasaran, misalnya harga beras itu sendiri,
luas panen padi, harga pupuk dan iklim juga ikut berpengaruh. Produksi beras
harus selalu ditingkatkan karena semakin meningkatnya jumlah penduduk,
yang berdampak pada peningkatan konsumsi bahan pangan. Walaupun
sekarang banyak terdapat bahan pangan lain, seperti roti, gandum, dan mie,
akan tetapi sampai saat ini beras masih menjadi bahan pangan utama. Untuk
itulah ketersediaan beras harus selalu dijaga untuk memenuhi kebutuhan
Produksi beras di Kabupaten Sukoharjo selama beberapa tahun ini
selalu dapat memenuhi permintaan masyarakat (surplus), akan tetapi kondisi
ini tidak dapat dipastikan untuk beberapa tahun ke depan. Budidaya tanaman
padi sangat tergantung pada kondisi iklim, terjadinya penyimpangan iklim
akan sangat mempengaruhi produktivitas padi. Jika produktivitas semakin
turun sedangkan permintaan beras terus meningkat akibat pertambahan
jumlah penduduk, dikhawatirkan produksi beras tidak dapat memenuhi
permintaan masyarakat, kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan.
Berdasarkan hal ini maka penting untuk mengetahui peramalan penawaran
dan permintaan beras, untuk mengetahui gambaran kondisi ke depan.
Peramalan ini menjadi penting mengingat beras merupakan kebutuhan
pangan paling pokok yang kebutuhannya harus selalu terpenuhi. Melalui hasil
peramalan yang diperoleh selanjutnya dapat digunakan sebagai lat bantu
untuk merumuskan kebijakan-kebijakan terkait dengan kondisi perberasan.
Berdasarkan uraian tersebut maka disusun perumusan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah dinamika penawaran dan permintaan beras pada era
sebelum dan sesudah pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten
Sukoharjo?
2. Bagaimanakah peramalan penawaran beras di Kabupaten Sukoharjo pada
tahun 2011 – 2015 ?
3. Bagaimanakah peramalan permintaan beras di Kabupaten Sukoharjo
commit to user
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui dinamika penawaran dan permintaan beras pada era sebelum
dan sesudah pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Sukoharjo.
2. Menganalisis peramalan penawaran beras di Kabupaten Sukoharjo pada
tahun 2011 – 2015.
3. Menganalisis peramalan permintaan beras di Kabupaten Sukoharjo pada
tahun 2011 – 2015.
D. Kegunaan Penelitian
1. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk
menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Agribisnis pada
Program Studi Agribisnis Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas
Maret Surakarta. Selain itu penelitian ini juga bermanfaat untuk
menambah wawasan terutama yang berkaitan dengan peramalan
penawaran dan permintaan.
2. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo, hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan
dalam menyusun kebijakan terutama terkait dengan permintaan dan
penawaran beras di Kabupaten Sukoharjo.
3. Bagi pihak lain, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
tambahan informasi dan referensi dalam penyusunan penelitian
commit to user
II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Beras
Dalam pengertian sehari-hari yang dimaksud beras adalah gabah
yang bagian kulitnya sudah dibuang dengan cara digiling dan disosoh
menggunakan alat pengupas dan penggiling (huller) serta penyosoh
(polisher). Gabah yang hanya terkupas bagian kulit luarnya (hull), disebut
beras pecah kulit (brown rice). Tinggi-rendahnya tingkat penyosohan
menentukan tingkat kehilangan zat-zat gizi. Proses penggilingan dan
penyosohan yang baik akan menghasilkan butiran beras utuh (beras
kepala) yang maksimal dan beras patah yang minimal. Lapisan yang
menyelimuti bagian luar beras pecah kulit, yakni dedak dan/atau bekatul
(rice bran) mengandung sekitar 65% dari zat gizi mikro penting dalam
beras. Dedak mengandung vitamin (tiamin, niasin, vitamin B6), mineral
(besi, fosfor, magnesium, potasium), asam amino, asam lemak esensial,
serta antioksidan. Kandungan zat gizi tersebut memberi manfaat dalam
meningkatkan kesehatan tubuh, bersifat hipoalergenik (rendah
kemungkinan untuk memicu alergi), sumber serat makan yang banyak
digunakan dalam berbagai industri pangan, farmasi dan pangan suplemen
(dietary supplement). Beras giling (milled rice) berwarna putih karena
telah terbebas dari bagian dedaknya yang berwarna coklat. Bagian dedak
padi sekitar 5-7 % dari berat beras pecah kulit (brown rice). Makin tinggi
commit to user
derajat penyosohan dilakukan makin putih warna beras giling yang
dihasilkan, namun makin miskin zat-zat gizi (Rahmat, 2010: 1).
Pola konsumsi masyarakat pada masing-maisng daerah
berbeda-beda, tergantung dari potensi daerah dan struktur budaya masyarakat. Pola
konsumsi masyarakat Indonesia masih didominasi oleh padi-padian,
khususnya beras yang diindikasikan oleh tingginya starchy staple ratio.
Masyarakat umumnya mempunyai ketergantungan yang kuat terhadap
beras sebagai sumber karbohidrat dan sebagai upaya untuk mengurangi
ketergantungan masyarakat pada beras maka perlu menggali potensi lokal
yang berbasis non-beras untuk memenuhi kebutuhan pangannya
(Made, 2008: 52).
Menurut Lassa (2006: 3-4) dominasi beras atas sumber daya pangan
lainnya di Indonesia dapat ditemukan dalam istilah-istilah lokal seperti
“palawija” (Sansekerta, phaladwija) yang harfiahnya berarti sesuatu yang
bukan beras (sekunder) atau pangan kelas dua, sesuatu yang
terkonstruksikan secara budaya (culturally constructed). Dalam penelitian
ini Van der Eng (2001:190) juga mengatakan bahwa beras telah menjadi
sumber pangan dominan yang tercermin dari 50% total konsumsi nasional.
Hari ini, 96% penduduk Indonesia makan beras ketimbang sumber pangan
lainnya (Simatupang, 1999: 4).
Beras merupakan komoditas yang penting karena merupakan
kebutuhan pangan pokok yang setiap saat harus dapat dipenuhi.
commit to user
yang cukup, mutu yang baik, aman dikonsumsi, dan mudah diperoleh
dengan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh
karena itu, sasaran pembangunan pertanian adalah memantapkan neraca
ketersediaan beras (Nurmalina, 2008: 48).
2. Otonomi Daerah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
telah membuka saluran baru bagi pemerintah propinsi dan kabupaten
untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan
umum kepada masyarakat setempat, untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri. Untuk menjamin proses desentralisasi berlangsung dan
berkesinambungan, pada prinsipnya acuan dasar dari otonomi daerah telah
diwujudkan melalui Undang nomor 22 Tahun 1999 dan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, serta Peraturan Pemerintah Nomor 25
Tahun 2000, Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000, selanjutnya
Peraturan Pemerintah Nomor 104, 105, 106, 107, 108, 109, dan 110 Tahun
2000 dan ketentuan lainnya yang relevan (Widjaja, 2004: 1-2).
Pemberlakuan UU N. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
atau lebih akrab degan sebutan otonomi, adalah salah satu hasil reformasi
politik dan pemerintahan di Indonesia sebagai dampak krisis ekonomi
yang begitu hebat. Undang-Undang ini memberikan banyak kewenangan
kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri kecuali di
sektor-sektor agama, pertahanan dan keamanan, politik luar negeri, moneter dan
commit to user
tanggung jawab daerah. Dengan kewenangan ini, Pemerintah Daerah dapat
merekayasa pembangunan sesuai kebutuhan dan kapasitas sumberdayanya
tanpa harus menunggu ijin dari Pemerintah Pusat. Pada pasal 10 (1) UU
No. 22/1999 disebutkan daerah berwenang mengelola sumber daya
nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara
kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya pasal 11 (2) menyebutkan bahwa bidang pemerintahan yang
wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi
pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian,
perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal. Lingkungan
hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja (Sudantoko, 2003: 33-34).
Otonomi daerah merupakan fenomena politis yang sangat
dibutuhkan dalam era globalisasi dan demokrasi, apalagi jika dikaitkan
dengan tantangan masa depan memasuki era perdagangan bebas yang
antara lain ditandai dengan tumbuhnya berbagai bentuk kerja sama
regional, perubahan pola atau sistem informasi global. Melalui otonomi
daerah diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan seluruh
kegiatannya dan pemerintah pusat diharapkan tidak terlalu aktif mengatur
daerah. Pemerintah daerah diharapkan mampu memainkan peranannya
dalam membuka peluang memajukan daerah dengan melakukan
identifikasi potensi sumber-sumber pendapatannya dan mampu
menetapkan belanja daerah secara ekonomi yang wajar, efisien, efektif,
mempertanggungjawabkan kepada pemerintah atasannya maupun kepada
publik/masyarakat (Widjaja, 2004: 7).
Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu
ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar
susunan pemerintahan dan atau pemerintahan daerah, potensi dan
keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan
memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai
dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah
dalam kesatuan sistem pengelenggaraan Pemerintahan Negara. Dalam
kenyataannya, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tidak sesuai dengan
perkembangan keadaan ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan
otonomi daerah, perlu diganti (direvisi) dan kemudian disahkan
Undang-Undang yang baru yaitu Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (LNRI Tahun 2004 Nomor 125, TLNRI Nomor
4437) (Widjaja, 2007: 37).
3. Permintaan
Konsep permintaan mewakili perilaku konsumen secara umum di
pasar. Perilaku konsumen dalam hal ini adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi jumlah permintaan suatu produk oleh konsumen dan
bagaimana pengaruh dari perubahan faktor-faktor tersebut terhadap
permintaan produk tersebut. Konsep permintaan menjelaskan bahwa
commit to user
tersebut, bauran pemasaran produk pesaing, pendapatan konsumen, jumlah
penduduk, ekspektasi konsumen, dan lain-lain (Herlambang, 2002: 29).
Menurut Arsyad (2000: 125-128) pada tingkat individual,
permintaan ditentukan oleh dua faktor, yaitu nilai dari cara mendapatkan
dan menggunakan barang dan jasa dan kemampuan untuk mendapatkan
barang dan jasa. Kedua faktor tersebut merupakan prasyarat bagi
permintaan efektif individual. Suatu hasrat saja tanpa didukung daya beli
(purchasing power) hanyalah keinginan bukan permintaan. Permintaan
individual tersebut apabila dijumlahkan akan membentuk permintaan
pasar. Permintaan pasar selanjutnya akan membentuk fungsi permintaan
pasar suatu produk yang menunjukkan hubungan antara jumlah produk
yang diminta dengan semua faktor yang mempengaruhi permintaan
tersebut. Berbagai variabel penentu permintaan dapat digolongkan menjadi
variabel strategis (harga barang yang bersangkutan, advertensi, kualitas
dan desain barang, serta saluran distribusi barang), variabel konsumen
(tingkat pendapatan, selera konsumen, dan harapan konsumen terhadap
harga di masa yang akan datang), variabel pesaing (harga barang substitusi
dan barang komplementer, advertensi dan promosi barang lain, saluran
distribusi barang lain, serta kualitas dan desain barang lain) dan variabel
lainnya (kebijakan pemerintah, jumlah penduduk, dan cuaca).
Ketika pendapatan total seseorang meningkat, dengan asumsi
harga-harga tidak berubah, maka kuantitas barang yang dibeli untuk setiap
kecenderungan seperti ini disebut barang normal. Sebagian besar barang
merupakan barang normal, jika pendapatan meningkat, dalam prakteknya
orang cenderung untuk membeli lebih banyak barang. Permintaan untuk
barang-barang ”mewah” akan meningkat lebih cepat jika pendapatan naik,
tetapi permitaan barang “untuk keperluan sehari-hari” akan meningkat
lebih lambat (Nicholson, 2002: 92-94).
Jika harga suatu jenis barang berubah, perubahan ini memiliki dua
efek yang berbeda pada pilihan-pilihan seseorang. Dengan efek subtitusi,
meskipun individu tetap bertahan pada kurva indiferens yang sama,
konsumsinya harus diubah agar MRS-nya sama dengan rasio harga yang
baru dari kedua barang. Dengan efek pendapatan, karena perubahan harga
berarti perubahan daya beli “riil”, orang akan berpindah ke kurva
indiferens baru yang konsisten dengan daya beli baru ini.
Kecenderungannya adalah orang memilih untuk meningkatkan konsumsi
barang yang harganya menurun dan mengurangi konsumsi barang yang
harganya meningkat. Selain berdampak terhadap barang itu sendiri,
perubahan harga suatu barang juga akan berdampak pada kuantitas barang
lain yang diminta. Pada dua barang yang bersifat komplemen, kenaikan
harga suatu barang akan menurunkan kuantitas konsumsi barang lain.
Sedangkan pada barang yang bersifat subtitusi, kenaikan harga suatu
barang akan meningkatkan konsumsi barang lain (Nicholson, 2002:
commit to user
Permintaan pasar atau permintaan agregat atas suatu komoditi
menunjukkan jumlah alternatif dari komoditi yang diminta per periode
waktu, pada berbagai harga alternatif oleh semua individu di dalam pasar.
Jadi, permintaan pasar untuk suatu komoditi tergantung pada semua faktor
yang menentukan permintaan individu, dan selanjutnya pada jumlah
pembeli komoditi tersebut di pasar. Secara geometris, kurva permintaan
pasar atas suatu komoditi diperoleh melalui penjumlahan horizontal dari
semua kurva permintaan individualitas komoditi tersebut
(Salvatore, 2006: 13).
P (Harga)
P1
P2
Q
[image:39.595.151.510.249.553.2]Q1 Q2
Gambar 1. Kurva Permintaan
Hubungan antara harga dan jumlah penjualan jika digambarkan akan
membentuk kurva permintaan, yang menunjukkan jumlah total produk
yang ingin dan mampu dibeli oleh konsumen pada berbagai tingkat harga
yang ditawarkan oleh produsen, dengan mempertahankan faktor-faktor
lain konstan (Herlambang, 2002: 30). Pergeseran sepanjang kurva
terjadi perubahan harga, faktor lain dianggap cateris paribus. Sedangkan
apabila terjadi perubahan satu variabel atau lebih (selain harga) dalam
fungsi permintaan produk tertentu akan mengakibatkan terjadinya
pergeseran dari suatu kurva permintaan ke kurva permintaan lainnya
(Arsyad, 2000:132-133).
4. Penawaran
Penawaran adalah salah satu kekuatan yang menentukan
keseimbangan pasar. Penawaran pasar atas suatu produk menunjukkan
total penawaran seluruh produsen yang ada di pasar, yang ditentukan oleh
harga produk itu sendiri, harga produk lain, biaya produksi, teknologi,
kebijakan pemerintah, besar pajak dan subsidi, dan lain-lain. Jika harga
suatu produk semakin murah, maka jumlah penawaran produk tersebut
oleh produsen akan semakin kecil, demikian sebaliknya. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat korelasi positif antara jumlah penawaran
suatu produk dengan harganya dan jika digambarkan akan membentuk
kurva penawaran. Kurva penawaran menunjukkan jumlah penawaran
suatu produk pada berbagai tingkat harga, sementara faktor lain dianggap
tetap (Herlambang, 2002: 39-40).
Penawaran pasar atau penawaran agregat dari suatu komoditi
memberikan jumlah alternatif dari penawaran komoditi dalam periode
waktu tertentu pada berbagai harga alternatif oleh semua produsen
commit to user
pada semua faktor yang menentukan penawaran produsen secara individu,
dan seterusnya pada jumah produsen dalam pasar (Salvatore, 2006: 15).
Kurva penawaran (supply curve) menunjukkan jumlah barang yang
produsen bersedia menjual dengan harga yang akan diterimanya di pasar
dengan mempertahankan setiap faktor yang mempengaruhi jumlah
penawaran agar tetap. Kurva penawaran menunjukkan bagaimana jumlah
barang yang ditawarkan untuk dijual berubah seiring dengan perubahan
harga barang tersebut. Kurva penawaran naik kemiringannya, semakin
tinggi harganya, semakin banyak perusahaan mampu dan bersedia
(Pindyck dan Daniel, 2007: 24).
Kurva penawaran memperlihatkan apa yang terjadi dengan kuantitas
barang yang ditawarkan ketika harganya berubah, dengan menganggap
seluruh faktor penentu lainnya konstan. Jika satu dari faktor-faktor
tersebut berubah, kurva penawaran akan bergeser (Mankiw, 2000: 88).
P (Harga)
P1
P2
Q
[image:41.595.152.511.235.716.2]Q1 Q2
Konsep dasar dari fungsi penawaran suatu produksi dapat
dinyatakan dalam hubungan antara kuantitas yang ditawarkan (kuantitas
penawaran) dan sekumpulan variabel spesifik yang mempengaruhi
penawaran produk sebagai berikut (Gaspersz, 2000: 71):
Qsx = f(Px, Pr, T, Pe, Nf, O)
Keterangan :
Qsx : kuantitas penawaran produk
f : notasi fungsi yang berarti penawaran dari
Px : harga dari produk x
Pr : harga dari input yang digunakan untuk memproduksi produk x
T : tingkat teknologi yang tersedia
Pe : ekspektasi produsen akan harga produk x di masa mendatang
Nf : banyaknya produsen yang memproduksi produk sejenis
O : faktor spesifik lain yang berkaitan dengan penawaran produk x
Pada berbagai kasus sederhana, kurva penawaran mengukur berapa
banyak barang yang akan disediakan untuk konsumen pada setiap tingkat
harga. Sebagai tambahan, definisi dari kurva penawaran adalah untuk
setiap tingkat harga, kita menentukan berapa banyak barang yang akan
ditawarkan. Jika kita mempunyai sejumlah penawaran individu dari suatu
barang, kita dapat menambahkan penawaran individu tersebut untuk
commit to user
5. Regresi Atas Variabel Dummy
Analisis regresi tidak saja digunakan untuk data-data kuantitatif,
tetapi juga bisa digunakan untuk data kualitatif. Jenis data kualitatif
tersebut seringkali menunjukkan keberadaan klasifikasi (kategori) tertentu,
sering juga dikategorikan variabel bebas (X) dengan klasifikasi
pengukuran nominal dalam persamaan regresi. Sebagai contoh, bila ingin
meregresikan pengaruh kondisi kemasan produk dodol nenas terhadap
harga jual. Pada umumnya, cara yang dipakai untuk penyelesaian adalah
memberi nilai 1 (satu) kalau kategori yang dimaksud ada dan nilai 0 (nol)
kalau kategori yang dimaksud tidak ada (bisa juga sebaliknya, tergantung
tujuannya). Dalam kasus kemasan ini, bila kemasannya menarik diberi
nilai 1 dan bila tidak menarik diberi nilai 0. Variabel yang mengambil nilai
1 dan 0 disebut variabel dummy dan nilai yang diberikan dapat digunakan
seperti variabel kuantitatif lainnya (Pusdatin, 2011: 5).
Menurut (Gujarati, 2004: 263-267) variabel yang mengambil nilai
seperti 1 dan 0 disebut variabel dummy, nama lainnya adalah variabel
indikator, variabel binary (2 angka), variabel bersifat katagori, variabel
kualitatif, dan variabel yang membagi dua (dichotomous). Ciri model
regresi variabel dummy adalah:
a. Jika suatu variabel kualitatif mempunyai m kategori, maka hanya
menggunakan m-1 variabel dummy.
b. Penetapan nilai 1 dan 0 untuk dua kategori adalah tanpa suatu dasar
c. Kelompok, kategori, atau klasifikasi yang diberi nilai nol seringkali
disebut sebagai kategori dasar, kontrol, perbandingan, atau yang
diabaikan merupakan dasar dalam arti bahwa perbandingan dibuat
dalam kategori ini.
d. Koefisien yang diberikan untuk variabel dummy D dapat disebut
koefisien intersep deferensial karena koefisien tadi menyatakan berapa
banyak nilai unsur intersep dari kategori yang mendapat nilai 1
berbeda dari koefisien intersep dari kategori dasar.
Seringkali topik penelitian yang dibuat menggunakan jenis data
kualitatif. Misalnya laki-laki dan wanita, industri sandang, pangan,
peralatan, dst. Jika jenis kelamin atau industri diberi kode dengan angka,
maka sama sekali tidak menunjukkan bahwa angka yang lebih tinggi
menunjukkan nilai yang lebih besar. Angka-angka (numerik) tersebut
hanya kode untuk membedakan jenis atau kategori yang satu dengan yang
lain. Jika kategori seperti itu merupakan variabel penjelas maka dapat
digunakan variabel dummy. Jika kita memiliki tiga kategori, maka kita
hanya bisa membuat variabel dummy sebanyak dua (n-1) kategori. Hal ini
dilakukan untuk menghindari multikolinearitas yang sempurna. Misalnya
kita punya sembilan kelompok industri, maka kita dapat memasukkan
delapan variabel (Nachrowi, 2008: 27).
Meskipun merupakan suatu alat yang serba guna, teknik variabel
dummy perlu ditangani secara hati-hati. Pertama, jika model regresi berisi
commit to user
banyaknya klasifikasi tiap variabel kualitatif. Kedua, koefisien yang
diberikan pada variabel dummy selalu harus diinterpretasikan dalam
hubungannya dengan kelompok dasar, yaitu kelompok yang mendapat
nilai nol. Akhirnya, jika suatu model mempunyai beberapa variabel
kualitatif dengan beberapa kelas, pengenalan variabel dummy dapat
menghasilkan banyak derajat kebebasan (Gujarati, 2004: 278).
6. Model Persamaan Simultan
Seringkali hubungan satu arah atau hubungan sebab akibat satu arah
tidak berarti. Ini terjadi jika Y tidak hanya ditentukan oleh X tetapi
beberapa dari X sebaliknya, ditentukan oleh Y. Secara ringkas, terdapat
hubungan dua arah atau simultan antara X dan (beberapa dari) X, yang
membuat perbedaan antara variabel tak bebas dan variabel yang
menjelaskan menjadi meragukan. Pada persamaan simultan yang
dilakukan adalah mengumpulkan secara bersama-sama sejumlah variabel
yang dapat ditentukan secara simultan oleh kumpulan variabel sisanya.
Dalam model persamaan seperti ini terdapat lebih dari satu persamaan,
satu untuk tiap variabel tak bebas, atau bersifat endogen atau gabungan
atau bersama. Tidak seperti model persamaan tunggal, dalam model
persaman simultan orang tidak mungkin menaksir dari satu persamaan
tunggal tanpa memperhitungkan informasi yang diberikan oleh persamaan
lain dalam sistem (Gujarati, 2004: 307).
Salah satu bentuk model persamaan simultan adalah model
commit to user
lengkap antara berbagai variabel ekonomi. Persamaan struktural dari suatu
model mengandung variabel endogen, variabel eksogen, dan variabel
gangguan. Parameter struktural mencerminkan pengaruh langsung dari
setiap variabel bebas terhadap variabel terikat. Variabel endogen dalam
persamaan struktural adalah variabel tak bebas dalam persamaan yang
nilainya ditentukan di dalam sistem persamaan, meskipun variabel tersebut
mungkin juga muncul sebagai variabel bebas dalam persamaan. Variabel
eksogen merupakan variabel yang nilainya ditentukan di luar model, yang
meliputi lagged endogenous variable. Variabel eksogen dan variabel
endogen beda kala disebut predetermined variables
(Johnston, 1984: 450-460).
Dari struktur rekursif ini tampak bahwa hubungan kausal antara
variabel endogen dan variabel penjelas bersifat searah, dimana tidak
terdapat ketergantungan di antara variabel endogen. Dengan demikian
dapat diketahui bahwa 俰1 mempengaruhi 俰2, namun 俰2 tidak
mempengaruhi 俰1. Demikian pula 俰1 dan 俰2 mempengaruhi 俰3, namun 俰3
tidak mempengaruhi 俰1 dan 俰2, berarti setiap persamaan mempelihatkan
hubungan ketergantungan unilateral (Gujarati, 2004: 339-340).
7. Peramalan
Sering terdapat senjang waktu (time lag) antara kesadaran akan
peristiwa kebutuhan mendatang dengan peristiwa itu sendiri. Adanya
tenggang waktu (lead time) ini merupakan alasan utama bagi perencanaan
commit to user
perencanaan tidak diperlukan. Jika waktu tenggang ini panjang dan hasil
peristiwa akhir tergantung pada fakta-fakta yang dapat diketahui, maka
perencanaan dapat memegang peranan penting. Dalam situasi seperti itu
peramalan diperlukan untuk menetapkan kapan suatu peristiwa akan
terjadi atau timbul sehingga tindakan yang tepat dapat dilakukan
(Makridakis et al., 1999: 3).
Herlambang (2002: 86) menjelaskan bahwa tujuan peramalan adalah
untuk meminimalkan resiko dan ketidakpastian yang mungkin akan
dihadapi perusahaan untuk operasi perusahaan dalam jangka pendek
maupun untuk perencanaan jangka panjang perusahaan. Kedudukan
peramalan menjadi semakin penting karena organisasi bisnis dan
lingkungan menjadi semakin kompleks dan berubah dengan tempo yang
semakin cepat. Semua organisasi bisnis beroperasi dalam suatu lingkungan
yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Oleh karena itu, hasil dari
peramalan dapat digunakan oleh manajer sebagai pegangan untuk
menentukan masa depan perusahaan.
Situasi peramalan sangat beragam dalam horizon waktu peramalan,
faktor yang menentukan hasil sebenarnya, tipe po