• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAMALAN PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS PADA ERA OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN SUKOHARJO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERAMALAN PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS PADA ERA OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN SUKOHARJO"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

PERAMALAN

PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS PADA ERA OTONOMI DAERAH

DI KABUPATEN SUKOHARJO

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajad Magister Program Studi Magister Agribisnis

Minat Utama: Ekonomi Pertanian

Diajukan Oleh: Eka Dewi Nurjayanti

S 640809001

PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNIS PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)

commit to user

ii

PERAMALAN

PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS PADA ERA OTONOMI DAERAH

DI KABUPATEN SUKOHARJO

TESIS Disusun oleh: Eka Dewi Nurjayanti

S 640809001

Telah disetujui oleh Tim Penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua Dr. Ir. Kusnandar, M.Si

NIP. 19670703 199203 1 004

... ...

Sekretaris Prof. Dr. Ir. Endang Siti Rahayu, MS NIP. 19570104 198003 2 001

... ...

Anggota 1 Prof. Dr. Ir. Darsono, M.Si NIP. 19660611 199103 1 002

... ...

Anggota 2 Prof. Dr. Ir. Suprapti Supardi, MP NIP. 19480808 197612 2 001

... ...

Mengetahui:

Ketua Program Studi Magister Agribisnis

Prof. Dr. Ir. Endang Siti Rahayu, MS

NIP. 19570104 198003 2 001 ... ...

Direktur PPs UNS

Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D.

(3)

commit to user

iii

KATA PENGANTAR

Assalaamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

tesis yang berjudul PERAMALAN PENAWARAN DAN PERMINTAAN

BERAS PADA ERA OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN SUKOHARJO,

dengan tujuan untuk melengkapi persyaratan guna mendapatkan gelar Magister

Agribisnis Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini tidak terlepas dari

bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis

ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D, selaku Direktur Program Pascasarjana

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Prof. Dr. Ir. Endang Siti Rahayu, M.S, selaku Ketua Program Studi Magister

Agribisnis Universitas Sebelas Maret Surakarta dan juga sebagai penguji

yang banyak memberikan masukan, saran, dan motivasi dalam penyusunan

tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan sebagai bagian dari keluarga

besar Program Studi Magister Agribisnis dan semoga program studi ini

semakin berkembang dan sukses pada waktu yang akan datang.

3. Dr. Ir. Kusnandar, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Magister Agribisnis

Universitas Sebelas Maret Surakarta dan juga sebagai penguji. Terima kasih

(4)

commit to user

iv

4. Prof. Dr. Ir. Darsono, M.Si, selaku pembimbing utama yang sangat inspiratif

dan solutif. Terima kasih telah berkenan mendampingi, meluangkan waktu,

tenaga, pemikiran, serta banyak memberikan arahan, motivasi, kritik, dan

saran selama proses penyusunan tesis ini.

5. Prof. Dr. Ir. Suprapti Supardi, MP, selaku pembimbing pendamping yang

inspiratif dan solutif. Terima kasih telah memberikan banyak arahan,

masukan, kritik dan saran, serta motivasi dan nasihat selama proses

penyusunan tesis ini.

6. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Magister Agribisnis Program

Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta atas ilmu yang telah

diberikan dan bantuannya selama masa perkuliahan penulis di Program

Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

7. Staff administrasi Program Studi Magister Agribisnis Program Pascasarjana

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan banyak bantuan

dalam hal administrasi dan seminar.

8. Bappeda Kabupaten Sukoharjo yang telah memberikan izin penelitian kepada

penulis.

9. Dinas Pertanian, Badan Pusat Statistika, Badan Ketahanan Pangan Kabupaten

Sukoharjo dan BPS Provinsi Jawa Tengah yang telah memberikan banyak

informasi dan data-data penting dalam penelitian penulis ini.

10. Orang tuaku tercinta Bapak Ilyas Zainal S.Pd dan Ibu Esti Handayani S.Pd,

(5)

commit to user

v

nasihat, dan kasih sayang, serta kesempatan dan kepercayaan yang telah

diberikan kepada penulis selama ini.

11. Adik-adikku Ristiya Dwi Anggraeni dan Wahyu Tri Widyastuti terima kasih

atas doa, dukungan, dan semangat yang semakin mempererat persaudaraan

kita.

12. Seluruh Keluarga Besar Eyang Djamat Suharjono dan Eyang Kasmad yang

telah memberikan doa, kasih sayang, dukungan, motivasi, dan bantuan bagi

penulis.

13. Sahabat terbaikku Ika Dewi Puspita Sari (Alm.) terima kasih untuk indahnya

kebersamaan dan persahabatan yang akan selalu memotivasi penulis untuk

terus berkarya.

14. Sahabat sekaligus saudaraku, Nita, Dede, Ncit, Putri, Yaning, Wilis, Era,

abang Arief, dan Heri. Tidak hanya sahabat tapi kalian adalah teman, saudara,

dan keluarga yang senantiasa menemaniku untuk lebih memahami makna

hidup.

15. Untuk “abang” yang telah mengajarkan banyak hal untuk selalu sabar dan

terus berusaha. Terima kasih untuk kebersamaan, kesabaran, motivasi,

nasehat dan semangat yang diberikan.

16. Teman seperjuangan, Tri R. Setyowati. Kebersamaan, perjuangan, dan

kesabaran yang dilalui bersama telah memberikan banyak warna dan cerita

hingga pada akhirnya kita berhasil menyelesaikan penelitian ini.

17. Teman-teman Magister Agribisnis, Tri Rahayu S., Umi Nur S., Tria Rosana,

(6)

commit to user

vi

Suratno, Farid Sunarto, Endang Tien, dan Sutopo. Teman-teman

seperjuangan yang memberikan banyak cerita, kebersamaan, motivasi dan

bantuan serta persahabatan yang unik dan penuh warna.

18. Teman-teman “siap dan pasti kaya team”, Agrobisnis 2005: diantaranya Siti,

Niken, Triana, Pandan, Hafid, Simbah, Gulan, Luthfi, Cecep. Bersama kalian

banyak memberikan warna dalam hidup. Terima kasih juga untuk

bantuannya.

19. Sekartaji crew: Lina, Kuning, Rima, Sarah, Umi, Sari, Sulis terima kasih

untuk keceriaan, kebersamaan, bantuan dan semuanya.

20. Semua pihak yang telah membantu kelancaran penyusunan tesis ini dan

memberi dukungan, doa dan semangat bagi penulis untuk terus berjuang.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,

penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun di kesempatan yang

akan datang. Akhirnya penulis berharap semoga sumbangan pemikiran ini akan

dapat bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak . Terimakasih.

Wassalaamu’alaikum. Wr. Wb.

Surakarta, Agustus 2011

(7)

commit to user

vii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

RINGKASAN ... xvi

SUMMARY ... xvii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Kegunaan Penelitian ... 15

II. LANDASAN TEORI ... 16

A. Tinjauan Pustaka ... 16

1. Beras ... 16

2. Otonomi Daerah ... 18

3. Permintaan ... 20

4. Penawaran ... 24

5. Regresi Atas Variabel Dummy ... 27

6. Model Persamaan Simultan ... 29

7. Peramalan ... 30

8. Penaksiran dan Peramalan Permintaan ... 32

9. Analisis Deret Waktu (Time Series) ... 34

10. Metode Box-Jenkins (ARIMA) ... 37

11. Penelitian Terdahulu ... 46

a. Analisis Penawaran dan Permintaan... 46

b. Analisis Peramalan Penawaran dan Permintaan ... 49

B. Kerangka Teori Pendekatan Masalah ... 54

1. Metode ARIMA (Box-Jenkins)... 54

2. Model Persamaan Simultan ... 57

C. Pembatasan Masalah ... 60

D. Asumsi - Asumsi ... 60

E. Definisi Operasional dan Konsep Pengukuran Variabel ... 60

III. METODE PENELITIAN ... 63

A. Metode Dasar Penelitian ... 63

B. Metode Pengambilan Daerah Penelitian... 63

(8)

commit to user

viii

D. Metode Analisis Data... 64

1. Model ARIMA Permintaan dan Penawaran Beras... 64

2. Uji Variabel Dummy ... 68

3. Model Persamaan Simultan ... 69

4. Uji Kelayakan Model ... 71

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 75

A. Keadaan Alam ... 75

B. Luas Wilayah... 76

C. Keadaan Penduduk dan Tenaga Kerja ... 76

D. Keadaan Perindustrian ... 79

E. Keadaan Umum Pertanian ... 81

F. Keadaan Sektor Tanaman Bahan Makanan... 84

G. Keadaan Perekonomian ... 86

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 88

A. Dinamika Penawaran dan Permintaan Beras... 88

1. Dinamika Penawaran Beras di Kabupaten Sukoharjo ... 88

2. Dinamika Permintaan Beras di Kabupaten Sukoharjo ... 92

B. Model ARIMA Penawaran dan Permintaan Beras ... 95

1. Penawaran Tahunan Beras ... 95

a. Tahap Identifikasi ... 95

b. Tahap Estimasi ... 98

c. Tahap Uji Diagnostik ... 100

2. Permintaan Tahunan Beras... 106

a. Tahap Identifikasi ... 106

b. Tahap Estimasi ... 108

c. Tahap Uji Diagnostik ... 110

C. Uji Variabel Dummy ... 117

D. Model Persamaan Simultan ... 119

E. Peramalan Penawaran dan Permintaan Beras ... 123

F. Pembahasan ... 127

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 136

A. Kesimpulan ... 136

B. Saran ... 138

DAFTAR PUSTAKA ... 141

(9)

commit to user

ix

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Hal

1. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2005 – 2010 ... 9

2. Penawaran, Permintaan dan Surplus Beras di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2005 – 2010 ... 10

3. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Sex Ratio di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2004-2009 ... 76

4. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kabupaten

Sukoharjo Tahun 2009... 78

5. Jumlah, Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Sukoharjo Tahun 2004-2009 ... 79

6. Industri Menurut Kelompok Usaha di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009 ... 80

7. Luas Penggunaan Lahan Sawah di Kabupaten Sukoharjo Tahun

2009 ... 82

8. Luas Penggunaan Lahan Bukan Sawah Menurut Jenis di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009 ... 82

9. Luas Penggunaan Lahan Bukan Sawah Menurut Status di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009 ... 83

10. Perkembangan Produksi Tanaman Bahan Makanan Menurut Jenisnya di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2005 – 2009 (Ton) ... 84

11. Produksi Bersih Padi dan Penawaran Tahunan Beras di Kabupaten Sukoharjo Tahun 1994 – 2010 ... 89

12. Jumlah Penduduk dan Permintaan Tahunan Beras di Kabupaten Sukoharjo Tahun 1994 – 2010 ... 93

13. Nilai ADF dan Critical Value Data Penawaran Tahunan Beras di Kabupaten Sukoharjo ... 97

(10)

commit to user

x

15. Perbandingan Uji Diagnostik Beberapa Model ARIMA

Penawaran Tahunan Beras di Kabupaten Sukoharjo ... 101

16. Hasil Pengujian Model ARIMA (0,1,1) Penawaran Tahunan Beras di Kabupaten Sukoharjo ... 104

17. Nilai ADF dan Critical Value Data Permintaan Tahunan Beras di Kabupaten Sukoharjo ... 107

18. Hasil Estimasi Model Tentatif Permintaan Tahunan Beras di Kabupaten Sukoharjo... 109

19. Perbandingan Uji Diagnosis Beberapa Model ARIMA

Permintaan Tahunan Beras di Kabupaten Sukoharjo ... 111

20. Hasil Pengujian Model ARIMA (2,2,1) Permintaan Tahunan Beras di Kabupaten Sukoharjo ... 114

21. Nilai F-statistic dan Tingkat Probabilitas Hasil Chow Breakpoint Test Variabel Dummy ... 118

22. Hasil Estimasi Model Persamaan Simultan Penawaran dan Permintaan Tahunan Beras di Kabupaten Sukoharjo ... 122

(11)

commit to user

xi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Kurva Permintaan ... 23

2. Kurva Penawaran ... 25

3. Kerangka Pemikiran Analisis Peramalan Permintaan dan Penawaran Beras Pada Era Otonomi Daerah di Kabupaten Sukoharjo ... 59

4. Plot Data Penawaran Tahunan Beras di Kabupaten

Sukoharjo (Ton) ... 96

5. Plot Data Permintaan Tahunan Beras di Kabupaten

Sukoharjo (Ton) ... 106

6. Plot Hasil Peramalan Penawaran dan Permintaan Tahunan

(12)

commit to user

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Permintaan dan Penawaran Beras di Kabupaten Sukoharjo

Tahun 1994 – 2010... 146

2 Nilai ADF dan Critical Value Data Penawaran Tahunan Beras..

147

3 Nilai ADF dan Critical Value Data Permintaan Tahunan Beras.. 148

4 Collerogram Data Penawaran Tahunan Beras... 149

5 Collerogram Data Permintaan Tahunan Beras...

150

6 Hasil Estimasi Model ARIMA Penawaran Tahunan Beras di

Kabupaten Sukoharjo... 151

7 Hasil Estimasi Model ARIMA Permintaan Tahunan Beras di

Kabupaten Sukoharjo... 156

8 Uji Chow Breakpoint Test... 162

9 Estimasi Model Persamaan Simultan... 163

10 Hasil Peramalan Penawaran Dan Permintaan Tahunan Beras Di

(13)

commit to user

xiii

RINGKASAN

Eka Dewi Nurjayanti. S640809001. 2011. Peramalan Penawaran dan Permintaan Beras Pada Era Otonomi Daerah di Kabupaten Sukoharjo.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika penawaran dan permintaan beras pada era sebelum dan sesudah pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Sukoharjo dan menganalisis peramalan penawaran dan permintaan beras di Kabupaten Sukoharjo pada tahun 2011 – 2015. Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Lokasi penelitian diambil secara sengaja (purposive), yaitu Kabupaten Sukoharjo. Data dianalisis dengan (1) metode Box-Jenkins (ARIMA) melalui empat tahap yaitu identifikasi, estimasi parameter, uji diagnostic, dan peramalan; (2) uji titik patah Chow (Chow Breakpoint Test); dan (3) metode persamaan simultan.

Hasil penelitian data penawaran tahunan beras mempunyai pola fluktuatif dengan trend cenderung meningkat. Data belum stasioner dan menjadi stasioner pada differencing pertama. Hasil estimasi parameter menetapkan model tentatif untuk penawaran tahunan beras adalah ARIMA (0,1,1). Pada uji diagnostik ditetapkan bahwa model ARIMA yang terbaik adalah ARIMA (0,1,1) dengan RMSE sebesar 5.186,376; R2 sebesar 0,850311; nilai F-statistic sebesar 79,52704; dan parameter MA signifikan karena nilai probabilitasnya lebih kecil dari 0,05. Data permintaan tahunan beras memiliki trend meningkat dan cenderung linier. Data permintaan tahunan beras tidak stasioner dan menjadi stasioner pada

differencing kedua. Hasil estimasi parameter menetapkan model tentatif untuk permintaan tahunan beras adalah ARIMA(1,2,1). Setelah dilakukan uji diagnostik, model terbaik untuk permintaan tahunan beras yang dipilih adalah ARIMA (2,2,1) dengan RMSE sebesar 677,4671; R2 sebesar 0,947327; nilai F-statistic sebesar 53,95478; dan parameter AR(1) dan MA(1) signifikan karena nilai probabilitasnya lebih kecil dari 0,05. Hasil Chow Breakpoint Test menunjukkan periode yang berpengaruh terhadap structural break data penawaran dan permintaan tahunan beras adalah tahun 2000, dengan nilai F-statistic sebesar 3,033932 dan tingkat probabilitasnya juga signifikan. Pada model persamaan simultan hasil estimasi menunjukkan bahwa model mempunyai nilai R2 0,644626; F-statistic sebesar 5,462146; RMSE sebesar 8.823,807; dan nilai probabilistik dari F-statistic sudah signifikan. Otonomi daerah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penawaran dan permintaan tahunan beras, karena peran pemerintah daerah di sektor perberasan relatif kecil dan sebagian besar kebijakan ditetapkan oleh pemerintah pusat. Hasil peramalan penawaran dan permintaan tahunan beras tahun 2011 – 2015 menunjukkan bahwa permintaan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya, sedangkan penawaran cenderung mengalami penurunan.

(14)

commit to user

xiv

SUMMARY

Eka Dewi Nurjayanti. S640809002. 2011. The Forecasting Supply and Demand of Rice in Era of Regional Autonomy in Sukoharjo Regency.

The purpose of this research is to know the dynamics of suppling and demanding rice in era before and after regional autonomy in Sukoharjo Regency and to analyzed forecast of them in Sukoharjo Regency on 2011 – 2015. The basic method applied in this research is analytical descriptive method. The research object is taken purposively, that is Sukoharjo Regency. The method of analysis data in this research is (1) Box-Jenkins (ARIMA) method with fourth steps, include identification, parameter estimation, diagnostic checking, and forecasting; (2) Chow Breakpoint Test; and (3) simultaneous equation method.

The result got from this research is the annual supply rice data have a fluctuation pattern with increase trend. It is not stationary and become stationary in first differencing. The result of parameter estimation judged that tentative model for the annual supply rice is ARIMA (0,1,1). The result of diagnostic checking judged that the best ARIMA model is ARIMA (0,1,1) with RMSE value is 5.186,376; R2 value is 0,850311; F-statistic value is 79,52704; and parameter of MA is significant because probabilistic value is less than 0,05. The annual demand rice data have an increased and linear trend. It is not stationary and become stationary in second differencing. The result of parameter estimation judged that tentative model for the annual demand rice is ARIMA (1,2,1). After diagnostic checking test, the best ARIMA model for the annual demand rice is ARIMA (2,2,1) with RMSE value is 677,4671; R2 value is 0,947327; F-statistic

value is 53,95478; and parameter of MA(1) and AR(1) are significant because the value of probability is less than 0,05. Chow Breakpoint Test showed that in 2000 was a period which affected annual supply and demand of rice, with F-statistic

value is 3,033932 and this probability is significant. In simultaneous equation model, estimation result showed that the model had value of R2 is 0,644626; value of F-statistic is 5,462146; value of RMSE is 8.823,807; and probabilistic value of F-statistic is significant. Regional autonomy not affected in supply and demand of rice. It is because rule of regional government less than main government in capital country. The result of forecasting annual supply and demand of rice in 2011 – 2015 showed annual demand rice tended increase while annual supply decreased.

(15)

commit to user

xv

LEMBAR PERNYATAAN

Nama : Eka Dewi Nurjayanti

NIM : S640809002

Program Studi : Agribisnis

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul “Peramalan

Penawaran dan Permintaan Beras Pada Era Otonomi Daerah di Kabupaten Sukoharjo” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis ini diberi tanda tersendiri dan ditunjukkan dalam daftar

pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya ini tidak benar, maka

saya bersedia sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya

peroleh atas tesis tersebut.

Surakarta, Agustus 2011

Yang menyatakan,

(16)

commit to user

xvi

PERAMALAN

PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS PADA ERA OTONOMI DAERAH

DI KABUPATEN SUKOHARJO

TESIS Disusun oleh: Eka Dewi Nurjayanti

S 640809001

Telah disetujui oleh:

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing

Utama

Prof. Dr. Ir. Darsono, M.Si

NIP. 19660611 199103 1 002

... ...

Pembimbing

Pendamping

Prof. Dr. Ir. Suprapti Supardi, MP

NIP. 19480808 197612 2 001

... ...

Mengetahui:

Ketua Program Studi Magister Agribisnis

(17)

commit to user

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang pemenuhannya

menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam UU

No.7 Tahun 1996 tentang pangan. Hal ini menjadikan pangan sebagai

komoditas penting dan strategis. Kecukupan dan ketersediaan pangan akan

menentukan kualitas sumber daya manusia dan ketahanan bangsa. Kecukupan

dan ketersediaan pangan berkaitan dengan ketahanan pangan. Menurut

Peraturan Pemerintah RI No. 68 Tahun 2002 tentang ketahanan pangan,

disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi

rumah tangga yang tercermin dengan tersedianya pangan yang cukup, baik

jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (Made, 2008: 52).

Dalam pengertian tersebut pemenuhan kebutuhan pangan dapat disediakan

melalui hasil produksi dalam negeri atau impor.

Indonesia kaya akan beraneka ragam sumber bahan pangan baik nabati

maupun hewani untuk pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, sehingga

kondisi ini sangat mendukung untuk mencapai ketahanan pangan yang

mantap. Ketahanan pangan sangat erat kaitannya dengan peran strategis

sektor pertanian. Secara empiris peran sektor pertanian tidak hanya

berkontribusi dalam aspek penyediaan (food availability), tetapi juga

memproduksi pangan dan secara global merupakan gantungan nafkah utama

sekitar 36 % penduduk dunia. Bahkan untuk negara berkembang angkanya

(18)

lebih tinggi lagi, berkisar antara 40 – 50 % (Sumaryanto, 2009: 7). Di

Indonesia menurut BPS (2009: 51), sampai dengan bulan Februari, dari total

104,49 juta penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja, terdapat sekitar

43,03 juta penduduk (41,2 %) yang bekerja di sektor pertanian, kehutanan,

perburuan dan perikanan. Perkembangan sektor pertanian sebagaimana yang

terdapat pada kebijakan pembangunan pertanian Indonesia, lebih menitik

beratkan pada produksi makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia

yaitu beras.

Beras merupakan komoditas yang sangat penting dan strategis bagi

bangsa Indonesia. Beras menjadi penting karena merupakan bahan makanan

pokok masyarakat Indonesia, dan menjadi strategis karena dapat

mempengaruhi stabilitas ekonomi (melalui inflasi) dan stabilitas nasional

(gejolak sosial) (Hasyim, 2007: 3). Sebagai bahan makanan pokok, maka

kebutuhan beras setiap saat harus dapat dipenuhi dan perlu diupayakan

ketersediaanya dalam jumlah yang cukup, mutu yang baik, aman dikonsumsi,

dan mudah diperoleh dengan harga yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan

masyarakat.

Sebagai bahan pangan pokok, beras memiliki peran yang sangat penting

dalam kehidupan masyarakat Indonesia dipandang dari aspek ekonomi,

tenaga kerja, lingkungan hidup, sosial, budaya dan politik. Begitu pentingnya

beras sehingga pengelolaannya harus dilakukan secara berhati-hati, terutama

dalam hal kebijaksanaan perberasan yang ditetapkan pemerintah. Dalam

(19)

commit to user

mengatur ekonomi perberasan nasional (Saifullah, 2001: 1). Salah satu

campur tangan pemerintah dalam ekonomi perberasan adalah melalui

Keputusan Presiden No. 114/U/Kep/1976 pada tanggal 10 Mei 1967 tentang

pembentukan Badan Urusan Logistik (Bulog). Badan ini dibentuk sebagai

lembaga pembeli tunggal untuk beras (Kepres No. 272/1967) sedangkan

Bank Indonesia ditetapkan sebagai penyandang dana tunggal untuk beras

(Inpres No. 1/1968) (Emperadani, 2005: 2; Himateta, 2010: 1). Kebijakan

pemerintah membentuk Bulog tidak terlepas dari situasi ekonomi saat itu.

Memasuki 1967, krisis ekonomi terus berlanjut sehingga hampir

menghancurkan sendi-sendi pokok kehidupan bangsa. Negara dihadapkan

pada masalah kosongnya stok pangan di gudang-gudang BPUP (Badan

Pelaksana Urusan Pangan), habisnya devisa negara, dan tingkat inflasi yang

membumbung tinggi (Darwis, 2010: 2).

Bulog dalam perkembangannya mengalami beberapa perubahan fungsi

dan tugas. Selain sebagai pengelola cadangan pangan, Bulog juga diberi

kewenangan sebagai importir tunggal gula pasir dan gandum, serta distributor

gula pasir, kedelai, dan tepung terigu. Bahkan selama tahun 1977 – 1979,

Bulog mendapat tugas menerapkan kebijakan harga dasar untuk jagung,

kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau. Perubahan tugas dan fungsi yang

dituangkan dalam beberapa Keputusan Presiden ini menjadikan Bulog tidak

hanya menangani bidang perberasan nasional saja, tetapi juga mengendalikan

(20)

bahan pangan lainnya (Emperadani, 2005: 3; Darwis, 2010: 2; Himateta,

2010: 1; Saifullah, 2001: 1-2).

Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ini diharapkan

mendukung perberasan nasional. Instrumen yang dibentuk pemerintah adalah

penetapan pengendalian harga dasar gabah yang setiap tahun disesuaikan

dengan masukan, inflasi, dan faktor lainnya. Bulog juga dibentuk untuk

mengamankan harga dasar gabah dan stabilitas domestik, selain itu juga

diberi hak monopoli impor pengadaan pangan. Melalui berbagai kebijakan

ini, ekonomi perberasan dalam negeri dapat ditangkal dari gejolak perubahan

global. Akan tetapi mulai tahun 1997, kondisi perberasan nasional mengalami

perubahan dikarenakan Indonesia mengalami krisis ekonomi. Krisis ekonomi

yang dipicu oleh krisis moneter ini memberikan dampak yang luas terhadap

perekonomian Indonesia. Untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah

melakukan pembenahan di bidang moneter salah satunya dengan menerima

bantuan dana moneter dari IMF (Irawan, 2002: 3-5).

Pemerintah banyak melakukan perubahan kebijakan untuk memulihkan

situasi ekonomi bangsa dan mengembalikan kepercayaan masyarakat

Indonesia maupun global. Perubahan kebijakan juga terjadi pada sektor

perberasan yang pada akhirnya juga berpengaruh terhadap Bulog (Gaybita,

2008: 3). Tugas pokok Bulog kemudian diperbarui melalui Keppres RI No.

19/1998 tanggal 21 Januari 1998 tentang tugas pokok Bulog, yaitu hanya

mengelola beras saja sedangkan komoditas lainnya diserahkan kepada

(21)

commit to user

harga dasar tetap menjadi prioritas utama. Sedangkan peran dalam menjaga

stabilitas harga konsumen mulai berkurang sejalan dengan terus tertekannya

harga beras domestik. Sebaliknya, peran Bulog untuk membantu kelompok

miskin yang rawan pangan semakin menonjol (Gaybita, 2008: 3).

Adanya kebijakan baru ini dipandang sebagai era liberalisasi komoditas

pangan. Sebab, sejak Kepres tersebut dibuat tugas pokok Bulog hanya

mengelola beras. Kemudian melalui Keppres No. 103/2001 tanggal 13

September 2001, pemerintah mengatur kembali tugas dan fungsi Bulog.

Bulog hanya melaksanakan tugas pemerintahan di bidang manajemen logistik

sesuai peraturan perundangan-undangan yang berlaku dengan kedudukan

sebagai lembaga pemerintah non departemen yang bertanggung jawab

langsung kepada presiden (Darwis, 2010: 1; Perum Bulog, 2010: 1).

Sejak berdirinya Bulog sampai terjadinya krisis ekonomi, manajemen

Bulog tidak banyak berubah dari waktu ke waktu, meskipun ada perbedaan

tugas dan fungsi dalam berbagai periode. Pada awal berdirinya status Bulog

adalah sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) berdasarkan

Keppres RI No. 39 tahun 1978. Akan tetapi, krisis ekonomi yang terjadi di

Indonesia pada tahun 1997 menimbulkan tekanan yang sangat kuat agar peran

pemerintah dipangkas secara drastis sehingga semua kepentingan nasional

termasuk pangan harus diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar.

Tekanan tersebut terutama mucul dari negara-negara maju pemberi pinjaman

khususnya AS dan lembaga keuangan internasional seperti IMF dan World

(22)

Banyaknya tekanan tersebut memberi konsekuensi bahwa Bulog harus

berubah secara total. Adanya perubahan kebijakan pangan pemerintah dan

pemangkasan tugas dan fungsi Bulog seperti yang tertuang dalam beberapa

Keppres dan SK Menperindag sejak tahun 1998, serta Keppres RI No. 103

tahun 2001 menegaskan bahwa Bulog harus beralih status menjadi BUMN

selambat-lambatnya Mei 2003, merupakan faktor pendorong untuk

melakukan perubahan pada Bulog. Selain hal tersebut, fakor lainnya adalah

berlakunya beberapa UU baru, khususnya UU No. 5 Tahun 1999 tentang

larangan praktek monopoli, dan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

Daerah yang membatasi kewenangan Pemerintah Pusat dan dihapusnya

instansi vertikal. Selanjutnya Bulog melakukan berbagai kajian-kajian baik

oleh intern Bulog maupun pihak ekstern. Berdasarkan hasil kajian, ketentuan

dan dukungan politik DPR RI, disimpulkan bahwa status hukum yang paling

sesuai bagi Bulog adalah Perum. Dengan bentuk Perum, Bulog tetap dapat

melaksanakan tugas publik yang dibebankan oleh pemerintah terutama dalam

pengamanan harga dasar pembelian gabah, pendistribusian beras untuk

masyarakat miskin yang rawan pangan, pemupukan stok nasional untuk

berbagai keperluan publik menghadapi keadaan darurat dan kepentingan

publik lainnya dalam upaya mengendalikan gejolak harga. Disamping itu,

Bulog dapat memberikan kontribusi operasionalnya kepada masyarakat

sebagai salah satu pelaku ekonomi dengan melaksanakan fungsi usaha yang

tidak bertentangan dengan hukum dan kaidah transparansi. Berdasarkan hal

(23)

commit to user

menjadi Perum Bulog berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun

2003 yang kemudian direvisi menjadi PP RI No. 61 Tahun 2003 (Darwis,

2010: 1; Perum Bulog, 2010: 1).

Berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang

selanjutnya direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, menjadikan urusan di sektor perberasan diserahkan kepada

pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan secara teknis beras merupakan

produk sektor pertanian yang merupakan salah satu bidang kewenangan

pemerintah daerah. Berdasarkan hal ini maka pemerintah daerah secara

proaktif harus berperan dalam menangani persoalan perberasan yang terjadi

di daerahnya. Ini disebabkan sejak perubahan status Bulog dari LPND

menjadi Perum, harga sejumlah komoditas pangan termasuk beras selalu

mengalami perubahan. Pemerintah tidak lagi bisa mengendalikan harga sebab

harga terbentuk berdasarkan mekanisme pasar. Perubahan pada harga beras,

tidak banyak mempengaruhi permintaan beras, hal ini disebabkan orang akan

berusaha mempertahankan kuantitas beras yang dikonsumsinya meskipun

harga beras mengalami perubahan yang besar. Akan tetapi perubahan harga

beras yang berkepanjangan tentu akan merugikan masyarakat sebagai

konsumen. Keseimbangan antara ketersediaan pasokan beras dan permintaan

konsumen merupakan hal yang dapat menjaga stabilitas harga beras.

Ketersediaan pasokan beras di pasar tidak luput dari dukungan

pemerintah terutama pada teknis produksi, sarana dan prasarana usaha tani,

(24)

otonomi daerah sekarang ini, manajemen sistem kebijakan perberasan yang

menjadi tanggung jawab pemerintah daerah adalah sistem kebijakan yang

menyangkut aspek penyediaan sarana dan prasarana usahatani, misalnya

menyangkut pembangunan jaringan irigasi, penyediaan bibit unggul, fasilitas

penanganan pasca panen yang memadai dan penyuluhan pertanian tentang

informasi pasar dan teknologi (Sutrisno, 2009: 2). Dengan adanya otonomi

daerah ini diharapkan pemerintah daerah dapat memberikan dukungan yang

lebih baik pada para pelaku sektor perberasan, karena tidak lagi tergantung

pada pemerintah pusat. Pemerintah daerah dapat lebih mengoptimalkan

sumber daya daerah yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan pangan

masyarakat sehingga kesejahteraan rakyat menjadi lebih terjamin. Demikian

juga yang terjadi di Kabupaten Sukoharjo sebagai salah satu kabupaten

penghasil beras di propinsi Jawa Tengah.

Jawa Tengah merupakan salah satu propinsi pemasok kebutuhan beras

nasional. Produktivitas padi yang terbesar di propinsi Jawa Tengah adalah

Kabupaten Sukoharjo (BPS, 2009: 207). Menurut data Badan Ketahanan

Pangan Kabupaten Sukoharjo pada tahun 2009 total produksi bersih beras

sebesar 210.726,38 ton. Produksi bersih beras tersebut berasal dari produksi

padi sebanyak 357.525 ton yang diperoleh dari lahan sawah dengan luas

panen 50.448 ha dan rata-rata produktivitas 70,87 ku/ha. Total produksi

bersih beras ini mampu mencukupi kebutuhan penduduk 843.127 jiwa,

(25)

commit to user

Selama kurun waktu 6 tahun, yaitu tahun 2005-2010, luas lahan panen

dan produksi padi di Kabupaten Sukoharjo mengalami fluktuasi. Selain

karena perubahan luas lahan panen, curah hujan atau iklim juga sangat

mempengaruhi budidaya tanaman padi yang pada akhirnya akan ikut

berpengaruh pada jumlah hasil panen atau produksi padi. Perkembangan luas

lahan panen, produktivitas, dan produksi padi di Kabupaten Sukoharjo dapat

dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2005 – 2010

Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ku/Ha) Produksi (Ton)

2005 2006 2007 2008 2009 2010 46.440 49.422 46.171 48.248 50.448 51.876 64,43 65,24 69,88 69,90 70,87 64,70 299.206 322.426 322.656 337.244 357.525 335.638 Sumber : Sukoharjo Dalam Angka 2010 (BPS, 2010)

Sebagaimana disajikan pada Tabel 1, dapat diketahui bahwa luas panen,

produktivitas, dan produksi padi selama tahun 2005 – 2010 cenderung

mengalami peningkatan. Kondisi ini tentu sangat mendukung untuk

menjamin ketersediaan beras guna memenuhi kebutuhan pangan masyarakat

di Kabupaten Sukoharjo. Jumlah penduduk yang cenderung meningkat setiap

tahunnya tentu akan berpengaruh pada peningkatan permintaan beras sebagai

bahan pangan utama. Permintaan yang terus meningkat tentu harus diimbangi

dengan ketersediaan beras yang cukup untuk memenuhi permintaan tersebut.

Perkembangan penawaran, permintaan, dan surplus beras di Kabupaten

(26)

Tabel 2. Penawaran, Permintaan dan Surplus Beras di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2005 – 2010

Tahun Jumlah Penduduk (jiwa) Penawaran (Ton) Permintaan (Ton) Surplus (Ton) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 821.213 826.289 831.613 837.279 843.127 849.016 167.287,872 177.413,144 170.016,216 190.569,488 196.239,792 165.172,568 76.266,05 76.737,46 77.231,90 77.758,10 70.763,65 71.257,91 91.021,82 100.675,68 92.784,31 112.811,38 125.476,14 93.914,65 Sumber : Badan Ketahanan Pangan, 2010

Surplus yang terdapat pada Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa masih

terdapat kelebihan produksi beras dikurangi dengan konsumsi beras. Hal ini

mengindikasikan bahwa pemerintah Kabupaten Sukoharjo dapat memenuhi

permintaan beras masyarakat. Surplus beras tersebut selanjutnya dapat

diperdagangkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang berada di luar

Kabupaten Sukoharjo. Hal ini juga dapat menunjukkan bahwa pemerintah

daerah telah menerapkan kebijakan-kebijakan yang mendukung sektor

perberasan dan berhasil mengoptimalkan sumberdaya pertanian yang terdapat

di Kabupaten Sukoharjo. Kondisi surplus ini diharapkan dapat terus

berlangsung, akan tetapi hal ini tidak dapat dipastikan sebab adanya desakan

pengurangan luas lahan pertanian dan perubahan iklim yang tidak menentu.

Sisi lainnya adalah pertambahan jumlah penduduk yang semakin meningkat

tentu membutuhkan bahan pangan, terutama beras, yang semakin banyak

pula.

Selama tahun 2005 – 2010, kondisi permintaan dan penawaran beras di

(27)

commit to user

terjadi pada tahun-tahun sebelumnya ini dapat digunakan untuk meramalkan

kondisi tahun berikutnya dengan menggunakan metode Box-Jenkins

(ARIMA). Pada metode ARIMA, hasil peramalan sangat dipengaruhi oleh

kondisi variabel terikat pada periode sebelumnya, atau merupakan nilai-nilai

time-laged dari variabel tak bebas yang disebut autoregressive. Selain itu,

pada metode ini juga memperhitungkan adanya hubungan ketergantungan

antara nilai-nilai kesalahan yang berurutan, yang dikenal dengan moving

average. Berdasarkan pertimbangan ini, selanjutnya dengan menambahkan

variabel dummy untuk menguji pengaruh pelaksanaan otonomi daerah

terhadap penawaran dan permintaan beras di Kabupaten Sukoharjo, maka

dapat dilakukan analisis tentang peramalan penawaran dan permintaan beras.

Analisis peramalan permintaan dan penawaran ini menjadi penting untuk

perencanaan kebijakan di sektor perberasan. Pemerintah daerah selanjutnya

dapat menyusun perencanaan kebijakan-kebijakan untuk mendukung

penawaran dan permintaan beras di Kabupaten Sukoharjo.

B. Perumusan Masalah

Bagi Indonesia, pangan diidentikkan degan beras, karena jenis pangan

ini merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Nilai

strategis beras antara lain disebabkan karena beras adalah makanan pokok

paling penting. Beras memiliki pengaruh yang besar dalam bidang ekonomi

(penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan dan dinamika sosial pedesaan),

lingkungan (menjaga tata guna air dan udara bersih), dan sosial politik

(28)

utama pemenuhan gizi yang meliputi kalori, protein, lemak dan vitamin

(Abubakar, 2008: 2).

Berdasarkan pertimbangan tersebut, pemerintah selalu berupaya untuk

meningkatkan ketahanan pangan melalui peningkatan ketersediaan beras bagi

masyarakat. Pertimbangan tersebut menjadi penting sebab jumlah penduduk

yang terus bertambah, untuk itu diperlukan ketersediaan pangan dalam

jumlah yang cukup. Pemerintah Kabupaten Sukoharjo terus berupaya untuk

meningkatkan produksi padi guna menjamin ketersediaan beras untuk

memenuhi kebutuhan pangan masyarakat di Kabupaten Sukoharjo.

Berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang

merupakan pembaharuan dari UU otonomi daerah sebelumnya, telah

memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk memanfaatkan

potensi daerahnya dengan lebih maksimal demi tercapainya kesejahteraan

masyarakat. Sama halnya, dalam sektor perberasan yang tercakup dalam

sektor pertanian, diserahkan kepada tanggung jawab pemerintah daerah.

Pemerintah daerah diharapkan lebih giat dan optimal dalam meningkatkan

ketersediaan beras di daerahnya, yang dapat diterapkan melalui berbagai

kebijakan yang mendukung sektor perberasan. Dukungan pemerintah

misalnya dapat melalui penyaluran pupuk kepada petani, penyediaan sarana

produksi budidaya padi, dan penyuluhan tentang teknologi baru yang tepat

guna serta informasi harga hasil pertanian. Dukungan pemerintah yang baik

(29)

commit to user

memicu kerja petani yang pada akhirnya akan menjamin peningkatan hasil

produksi.

Adanya perubahan kepengurusan sektor perberasan, yang pada awalnya

merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan sekarang diserahkan ke

pemerintah daerah merupakan peluang bagi pemerintah daerah untuk lebih

meningkatkan ketersediaan pangan bagi masyarakatnya. Selain itu perubahan

peran Bulog selaku lembaga yang mengelola perberasan, merupakan peluang

bagi lembaga ini di tingkat daerah untuk menjamin ketersediaan bahan

pangan yang cukup dan merata. Meskipun harga beras sekarang ini

diserahkan pada mekanisme pasar, akan tetapi Bulog tetapi mepunyai peran

tersendiri yaitu dengan menjamin keseimbangan antara ketersediaan pasokan

dan permintaan konsumen untuk stabilitas harga beras agar tidak merugikan

produsen dan konsumen.

Meskipun pada kenyataannya produksi beras tidak hanya ditentukan

oleh dukungan pemerintah daerah saja. Banyak faktor-faktor lain yang ikut

menentukan penawaran beras di pasaran, misalnya harga beras itu sendiri,

luas panen padi, harga pupuk dan iklim juga ikut berpengaruh. Produksi beras

harus selalu ditingkatkan karena semakin meningkatnya jumlah penduduk,

yang berdampak pada peningkatan konsumsi bahan pangan. Walaupun

sekarang banyak terdapat bahan pangan lain, seperti roti, gandum, dan mie,

akan tetapi sampai saat ini beras masih menjadi bahan pangan utama. Untuk

itulah ketersediaan beras harus selalu dijaga untuk memenuhi kebutuhan

(30)

Produksi beras di Kabupaten Sukoharjo selama beberapa tahun ini

selalu dapat memenuhi permintaan masyarakat (surplus), akan tetapi kondisi

ini tidak dapat dipastikan untuk beberapa tahun ke depan. Budidaya tanaman

padi sangat tergantung pada kondisi iklim, terjadinya penyimpangan iklim

akan sangat mempengaruhi produktivitas padi. Jika produktivitas semakin

turun sedangkan permintaan beras terus meningkat akibat pertambahan

jumlah penduduk, dikhawatirkan produksi beras tidak dapat memenuhi

permintaan masyarakat, kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan.

Berdasarkan hal ini maka penting untuk mengetahui peramalan penawaran

dan permintaan beras, untuk mengetahui gambaran kondisi ke depan.

Peramalan ini menjadi penting mengingat beras merupakan kebutuhan

pangan paling pokok yang kebutuhannya harus selalu terpenuhi. Melalui hasil

peramalan yang diperoleh selanjutnya dapat digunakan sebagai lat bantu

untuk merumuskan kebijakan-kebijakan terkait dengan kondisi perberasan.

Berdasarkan uraian tersebut maka disusun perumusan masalah sebagai

berikut :

1. Bagaimanakah dinamika penawaran dan permintaan beras pada era

sebelum dan sesudah pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten

Sukoharjo?

2. Bagaimanakah peramalan penawaran beras di Kabupaten Sukoharjo pada

tahun 2011 – 2015 ?

3. Bagaimanakah peramalan permintaan beras di Kabupaten Sukoharjo

(31)

commit to user

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui dinamika penawaran dan permintaan beras pada era sebelum

dan sesudah pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Sukoharjo.

2. Menganalisis peramalan penawaran beras di Kabupaten Sukoharjo pada

tahun 2011 – 2015.

3. Menganalisis peramalan permintaan beras di Kabupaten Sukoharjo pada

tahun 2011 – 2015.

D. Kegunaan Penelitian

1. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk

menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Agribisnis pada

Program Studi Agribisnis Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas

Maret Surakarta. Selain itu penelitian ini juga bermanfaat untuk

menambah wawasan terutama yang berkaitan dengan peramalan

penawaran dan permintaan.

2. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo, hasil penelitian ini

diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan

dalam menyusun kebijakan terutama terkait dengan permintaan dan

penawaran beras di Kabupaten Sukoharjo.

3. Bagi pihak lain, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

tambahan informasi dan referensi dalam penyusunan penelitian

(32)

commit to user

II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Beras

Dalam pengertian sehari-hari yang dimaksud beras adalah gabah

yang bagian kulitnya sudah dibuang dengan cara digiling dan disosoh

menggunakan alat pengupas dan penggiling (huller) serta penyosoh

(polisher). Gabah yang hanya terkupas bagian kulit luarnya (hull), disebut

beras pecah kulit (brown rice). Tinggi-rendahnya tingkat penyosohan

menentukan tingkat kehilangan zat-zat gizi. Proses penggilingan dan

penyosohan yang baik akan menghasilkan butiran beras utuh (beras

kepala) yang maksimal dan beras patah yang minimal. Lapisan yang

menyelimuti bagian luar beras pecah kulit, yakni dedak dan/atau bekatul

(rice bran) mengandung sekitar 65% dari zat gizi mikro penting dalam

beras. Dedak mengandung vitamin (tiamin, niasin, vitamin B6), mineral

(besi, fosfor, magnesium, potasium), asam amino, asam lemak esensial,

serta antioksidan. Kandungan zat gizi tersebut memberi manfaat dalam

meningkatkan kesehatan tubuh, bersifat hipoalergenik (rendah

kemungkinan untuk memicu alergi), sumber serat makan yang banyak

digunakan dalam berbagai industri pangan, farmasi dan pangan suplemen

(dietary supplement). Beras giling (milled rice) berwarna putih karena

telah terbebas dari bagian dedaknya yang berwarna coklat. Bagian dedak

padi sekitar 5-7 % dari berat beras pecah kulit (brown rice). Makin tinggi

(33)

commit to user

derajat penyosohan dilakukan makin putih warna beras giling yang

dihasilkan, namun makin miskin zat-zat gizi (Rahmat, 2010: 1).

Pola konsumsi masyarakat pada masing-maisng daerah

berbeda-beda, tergantung dari potensi daerah dan struktur budaya masyarakat. Pola

konsumsi masyarakat Indonesia masih didominasi oleh padi-padian,

khususnya beras yang diindikasikan oleh tingginya starchy staple ratio.

Masyarakat umumnya mempunyai ketergantungan yang kuat terhadap

beras sebagai sumber karbohidrat dan sebagai upaya untuk mengurangi

ketergantungan masyarakat pada beras maka perlu menggali potensi lokal

yang berbasis non-beras untuk memenuhi kebutuhan pangannya

(Made, 2008: 52).

Menurut Lassa (2006: 3-4) dominasi beras atas sumber daya pangan

lainnya di Indonesia dapat ditemukan dalam istilah-istilah lokal seperti

“palawija” (Sansekerta, phaladwija) yang harfiahnya berarti sesuatu yang

bukan beras (sekunder) atau pangan kelas dua, sesuatu yang

terkonstruksikan secara budaya (culturally constructed). Dalam penelitian

ini Van der Eng (2001:190) juga mengatakan bahwa beras telah menjadi

sumber pangan dominan yang tercermin dari 50% total konsumsi nasional.

Hari ini, 96% penduduk Indonesia makan beras ketimbang sumber pangan

lainnya (Simatupang, 1999: 4).

Beras merupakan komoditas yang penting karena merupakan

kebutuhan pangan pokok yang setiap saat harus dapat dipenuhi.

(34)

commit to user

yang cukup, mutu yang baik, aman dikonsumsi, dan mudah diperoleh

dengan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh

karena itu, sasaran pembangunan pertanian adalah memantapkan neraca

ketersediaan beras (Nurmalina, 2008: 48).

2. Otonomi Daerah

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

telah membuka saluran baru bagi pemerintah propinsi dan kabupaten

untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan

umum kepada masyarakat setempat, untuk mengatur dan mengurus rumah

tangganya sendiri. Untuk menjamin proses desentralisasi berlangsung dan

berkesinambungan, pada prinsipnya acuan dasar dari otonomi daerah telah

diwujudkan melalui Undang nomor 22 Tahun 1999 dan

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, serta Peraturan Pemerintah Nomor 25

Tahun 2000, Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000, selanjutnya

Peraturan Pemerintah Nomor 104, 105, 106, 107, 108, 109, dan 110 Tahun

2000 dan ketentuan lainnya yang relevan (Widjaja, 2004: 1-2).

Pemberlakuan UU N. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

atau lebih akrab degan sebutan otonomi, adalah salah satu hasil reformasi

politik dan pemerintahan di Indonesia sebagai dampak krisis ekonomi

yang begitu hebat. Undang-Undang ini memberikan banyak kewenangan

kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri kecuali di

sektor-sektor agama, pertahanan dan keamanan, politik luar negeri, moneter dan

(35)

commit to user

tanggung jawab daerah. Dengan kewenangan ini, Pemerintah Daerah dapat

merekayasa pembangunan sesuai kebutuhan dan kapasitas sumberdayanya

tanpa harus menunggu ijin dari Pemerintah Pusat. Pada pasal 10 (1) UU

No. 22/1999 disebutkan daerah berwenang mengelola sumber daya

nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara

kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya pasal 11 (2) menyebutkan bahwa bidang pemerintahan yang

wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi

pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian,

perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal. Lingkungan

hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja (Sudantoko, 2003: 33-34).

Otonomi daerah merupakan fenomena politis yang sangat

dibutuhkan dalam era globalisasi dan demokrasi, apalagi jika dikaitkan

dengan tantangan masa depan memasuki era perdagangan bebas yang

antara lain ditandai dengan tumbuhnya berbagai bentuk kerja sama

regional, perubahan pola atau sistem informasi global. Melalui otonomi

daerah diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan seluruh

kegiatannya dan pemerintah pusat diharapkan tidak terlalu aktif mengatur

daerah. Pemerintah daerah diharapkan mampu memainkan peranannya

dalam membuka peluang memajukan daerah dengan melakukan

identifikasi potensi sumber-sumber pendapatannya dan mampu

menetapkan belanja daerah secara ekonomi yang wajar, efisien, efektif,

(36)

mempertanggungjawabkan kepada pemerintah atasannya maupun kepada

publik/masyarakat (Widjaja, 2004: 7).

Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu

ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar

susunan pemerintahan dan atau pemerintahan daerah, potensi dan

keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan

memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai

dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah

dalam kesatuan sistem pengelenggaraan Pemerintahan Negara. Dalam

kenyataannya, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tidak sesuai dengan

perkembangan keadaan ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan

otonomi daerah, perlu diganti (direvisi) dan kemudian disahkan

Undang-Undang yang baru yaitu Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah (LNRI Tahun 2004 Nomor 125, TLNRI Nomor

4437) (Widjaja, 2007: 37).

3. Permintaan

Konsep permintaan mewakili perilaku konsumen secara umum di

pasar. Perilaku konsumen dalam hal ini adalah faktor-faktor yang

mempengaruhi jumlah permintaan suatu produk oleh konsumen dan

bagaimana pengaruh dari perubahan faktor-faktor tersebut terhadap

permintaan produk tersebut. Konsep permintaan menjelaskan bahwa

(37)

commit to user

tersebut, bauran pemasaran produk pesaing, pendapatan konsumen, jumlah

penduduk, ekspektasi konsumen, dan lain-lain (Herlambang, 2002: 29).

Menurut Arsyad (2000: 125-128) pada tingkat individual,

permintaan ditentukan oleh dua faktor, yaitu nilai dari cara mendapatkan

dan menggunakan barang dan jasa dan kemampuan untuk mendapatkan

barang dan jasa. Kedua faktor tersebut merupakan prasyarat bagi

permintaan efektif individual. Suatu hasrat saja tanpa didukung daya beli

(purchasing power) hanyalah keinginan bukan permintaan. Permintaan

individual tersebut apabila dijumlahkan akan membentuk permintaan

pasar. Permintaan pasar selanjutnya akan membentuk fungsi permintaan

pasar suatu produk yang menunjukkan hubungan antara jumlah produk

yang diminta dengan semua faktor yang mempengaruhi permintaan

tersebut. Berbagai variabel penentu permintaan dapat digolongkan menjadi

variabel strategis (harga barang yang bersangkutan, advertensi, kualitas

dan desain barang, serta saluran distribusi barang), variabel konsumen

(tingkat pendapatan, selera konsumen, dan harapan konsumen terhadap

harga di masa yang akan datang), variabel pesaing (harga barang substitusi

dan barang komplementer, advertensi dan promosi barang lain, saluran

distribusi barang lain, serta kualitas dan desain barang lain) dan variabel

lainnya (kebijakan pemerintah, jumlah penduduk, dan cuaca).

Ketika pendapatan total seseorang meningkat, dengan asumsi

harga-harga tidak berubah, maka kuantitas barang yang dibeli untuk setiap

(38)

kecenderungan seperti ini disebut barang normal. Sebagian besar barang

merupakan barang normal, jika pendapatan meningkat, dalam prakteknya

orang cenderung untuk membeli lebih banyak barang. Permintaan untuk

barang-barang ”mewah” akan meningkat lebih cepat jika pendapatan naik,

tetapi permitaan barang “untuk keperluan sehari-hari” akan meningkat

lebih lambat (Nicholson, 2002: 92-94).

Jika harga suatu jenis barang berubah, perubahan ini memiliki dua

efek yang berbeda pada pilihan-pilihan seseorang. Dengan efek subtitusi,

meskipun individu tetap bertahan pada kurva indiferens yang sama,

konsumsinya harus diubah agar MRS-nya sama dengan rasio harga yang

baru dari kedua barang. Dengan efek pendapatan, karena perubahan harga

berarti perubahan daya beli “riil”, orang akan berpindah ke kurva

indiferens baru yang konsisten dengan daya beli baru ini.

Kecenderungannya adalah orang memilih untuk meningkatkan konsumsi

barang yang harganya menurun dan mengurangi konsumsi barang yang

harganya meningkat. Selain berdampak terhadap barang itu sendiri,

perubahan harga suatu barang juga akan berdampak pada kuantitas barang

lain yang diminta. Pada dua barang yang bersifat komplemen, kenaikan

harga suatu barang akan menurunkan kuantitas konsumsi barang lain.

Sedangkan pada barang yang bersifat subtitusi, kenaikan harga suatu

barang akan meningkatkan konsumsi barang lain (Nicholson, 2002:

(39)

commit to user

Permintaan pasar atau permintaan agregat atas suatu komoditi

menunjukkan jumlah alternatif dari komoditi yang diminta per periode

waktu, pada berbagai harga alternatif oleh semua individu di dalam pasar.

Jadi, permintaan pasar untuk suatu komoditi tergantung pada semua faktor

yang menentukan permintaan individu, dan selanjutnya pada jumlah

pembeli komoditi tersebut di pasar. Secara geometris, kurva permintaan

pasar atas suatu komoditi diperoleh melalui penjumlahan horizontal dari

semua kurva permintaan individualitas komoditi tersebut

(Salvatore, 2006: 13).

P (Harga)

P1

P2

Q

[image:39.595.151.510.249.553.2]

Q1 Q2

Gambar 1. Kurva Permintaan

Hubungan antara harga dan jumlah penjualan jika digambarkan akan

membentuk kurva permintaan, yang menunjukkan jumlah total produk

yang ingin dan mampu dibeli oleh konsumen pada berbagai tingkat harga

yang ditawarkan oleh produsen, dengan mempertahankan faktor-faktor

lain konstan (Herlambang, 2002: 30). Pergeseran sepanjang kurva

(40)

terjadi perubahan harga, faktor lain dianggap cateris paribus. Sedangkan

apabila terjadi perubahan satu variabel atau lebih (selain harga) dalam

fungsi permintaan produk tertentu akan mengakibatkan terjadinya

pergeseran dari suatu kurva permintaan ke kurva permintaan lainnya

(Arsyad, 2000:132-133).

4. Penawaran

Penawaran adalah salah satu kekuatan yang menentukan

keseimbangan pasar. Penawaran pasar atas suatu produk menunjukkan

total penawaran seluruh produsen yang ada di pasar, yang ditentukan oleh

harga produk itu sendiri, harga produk lain, biaya produksi, teknologi,

kebijakan pemerintah, besar pajak dan subsidi, dan lain-lain. Jika harga

suatu produk semakin murah, maka jumlah penawaran produk tersebut

oleh produsen akan semakin kecil, demikian sebaliknya. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa terdapat korelasi positif antara jumlah penawaran

suatu produk dengan harganya dan jika digambarkan akan membentuk

kurva penawaran. Kurva penawaran menunjukkan jumlah penawaran

suatu produk pada berbagai tingkat harga, sementara faktor lain dianggap

tetap (Herlambang, 2002: 39-40).

Penawaran pasar atau penawaran agregat dari suatu komoditi

memberikan jumlah alternatif dari penawaran komoditi dalam periode

waktu tertentu pada berbagai harga alternatif oleh semua produsen

(41)

commit to user

pada semua faktor yang menentukan penawaran produsen secara individu,

dan seterusnya pada jumah produsen dalam pasar (Salvatore, 2006: 15).

Kurva penawaran (supply curve) menunjukkan jumlah barang yang

produsen bersedia menjual dengan harga yang akan diterimanya di pasar

dengan mempertahankan setiap faktor yang mempengaruhi jumlah

penawaran agar tetap. Kurva penawaran menunjukkan bagaimana jumlah

barang yang ditawarkan untuk dijual berubah seiring dengan perubahan

harga barang tersebut. Kurva penawaran naik kemiringannya, semakin

tinggi harganya, semakin banyak perusahaan mampu dan bersedia

(Pindyck dan Daniel, 2007: 24).

Kurva penawaran memperlihatkan apa yang terjadi dengan kuantitas

barang yang ditawarkan ketika harganya berubah, dengan menganggap

seluruh faktor penentu lainnya konstan. Jika satu dari faktor-faktor

tersebut berubah, kurva penawaran akan bergeser (Mankiw, 2000: 88).

P (Harga)

P1

P2

Q

[image:41.595.152.511.235.716.2]

Q1 Q2

(42)

Konsep dasar dari fungsi penawaran suatu produksi dapat

dinyatakan dalam hubungan antara kuantitas yang ditawarkan (kuantitas

penawaran) dan sekumpulan variabel spesifik yang mempengaruhi

penawaran produk sebagai berikut (Gaspersz, 2000: 71):

Qsx = f(Px, Pr, T, Pe, Nf, O)

Keterangan :

Qsx : kuantitas penawaran produk

f : notasi fungsi yang berarti penawaran dari

Px : harga dari produk x

Pr : harga dari input yang digunakan untuk memproduksi produk x

T : tingkat teknologi yang tersedia

Pe : ekspektasi produsen akan harga produk x di masa mendatang

Nf : banyaknya produsen yang memproduksi produk sejenis

O : faktor spesifik lain yang berkaitan dengan penawaran produk x

Pada berbagai kasus sederhana, kurva penawaran mengukur berapa

banyak barang yang akan disediakan untuk konsumen pada setiap tingkat

harga. Sebagai tambahan, definisi dari kurva penawaran adalah untuk

setiap tingkat harga, kita menentukan berapa banyak barang yang akan

ditawarkan. Jika kita mempunyai sejumlah penawaran individu dari suatu

barang, kita dapat menambahkan penawaran individu tersebut untuk

(43)

commit to user

5. Regresi Atas Variabel Dummy

Analisis regresi tidak saja digunakan untuk data-data kuantitatif,

tetapi juga bisa digunakan untuk data kualitatif. Jenis data kualitatif

tersebut seringkali menunjukkan keberadaan klasifikasi (kategori) tertentu,

sering juga dikategorikan variabel bebas (X) dengan klasifikasi

pengukuran nominal dalam persamaan regresi. Sebagai contoh, bila ingin

meregresikan pengaruh kondisi kemasan produk dodol nenas terhadap

harga jual. Pada umumnya, cara yang dipakai untuk penyelesaian adalah

memberi nilai 1 (satu) kalau kategori yang dimaksud ada dan nilai 0 (nol)

kalau kategori yang dimaksud tidak ada (bisa juga sebaliknya, tergantung

tujuannya). Dalam kasus kemasan ini, bila kemasannya menarik diberi

nilai 1 dan bila tidak menarik diberi nilai 0. Variabel yang mengambil nilai

1 dan 0 disebut variabel dummy dan nilai yang diberikan dapat digunakan

seperti variabel kuantitatif lainnya (Pusdatin, 2011: 5).

Menurut (Gujarati, 2004: 263-267) variabel yang mengambil nilai

seperti 1 dan 0 disebut variabel dummy, nama lainnya adalah variabel

indikator, variabel binary (2 angka), variabel bersifat katagori, variabel

kualitatif, dan variabel yang membagi dua (dichotomous). Ciri model

regresi variabel dummy adalah:

a. Jika suatu variabel kualitatif mempunyai m kategori, maka hanya

menggunakan m-1 variabel dummy.

b. Penetapan nilai 1 dan 0 untuk dua kategori adalah tanpa suatu dasar

(44)

c. Kelompok, kategori, atau klasifikasi yang diberi nilai nol seringkali

disebut sebagai kategori dasar, kontrol, perbandingan, atau yang

diabaikan merupakan dasar dalam arti bahwa perbandingan dibuat

dalam kategori ini.

d. Koefisien  yang diberikan untuk variabel dummy D dapat disebut

koefisien intersep deferensial karena koefisien tadi menyatakan berapa

banyak nilai unsur intersep dari kategori yang mendapat nilai 1

berbeda dari koefisien intersep dari kategori dasar.

Seringkali topik penelitian yang dibuat menggunakan jenis data

kualitatif. Misalnya laki-laki dan wanita, industri sandang, pangan,

peralatan, dst. Jika jenis kelamin atau industri diberi kode dengan angka,

maka sama sekali tidak menunjukkan bahwa angka yang lebih tinggi

menunjukkan nilai yang lebih besar. Angka-angka (numerik) tersebut

hanya kode untuk membedakan jenis atau kategori yang satu dengan yang

lain. Jika kategori seperti itu merupakan variabel penjelas maka dapat

digunakan variabel dummy. Jika kita memiliki tiga kategori, maka kita

hanya bisa membuat variabel dummy sebanyak dua (n-1) kategori. Hal ini

dilakukan untuk menghindari multikolinearitas yang sempurna. Misalnya

kita punya sembilan kelompok industri, maka kita dapat memasukkan

delapan variabel (Nachrowi, 2008: 27).

Meskipun merupakan suatu alat yang serba guna, teknik variabel

dummy perlu ditangani secara hati-hati. Pertama, jika model regresi berisi

(45)

commit to user

banyaknya klasifikasi tiap variabel kualitatif. Kedua, koefisien yang

diberikan pada variabel dummy selalu harus diinterpretasikan dalam

hubungannya dengan kelompok dasar, yaitu kelompok yang mendapat

nilai nol. Akhirnya, jika suatu model mempunyai beberapa variabel

kualitatif dengan beberapa kelas, pengenalan variabel dummy dapat

menghasilkan banyak derajat kebebasan (Gujarati, 2004: 278).

6. Model Persamaan Simultan

Seringkali hubungan satu arah atau hubungan sebab akibat satu arah

tidak berarti. Ini terjadi jika Y tidak hanya ditentukan oleh X tetapi

beberapa dari X sebaliknya, ditentukan oleh Y. Secara ringkas, terdapat

hubungan dua arah atau simultan antara X dan (beberapa dari) X, yang

membuat perbedaan antara variabel tak bebas dan variabel yang

menjelaskan menjadi meragukan. Pada persamaan simultan yang

dilakukan adalah mengumpulkan secara bersama-sama sejumlah variabel

yang dapat ditentukan secara simultan oleh kumpulan variabel sisanya.

Dalam model persamaan seperti ini terdapat lebih dari satu persamaan,

satu untuk tiap variabel tak bebas, atau bersifat endogen atau gabungan

atau bersama. Tidak seperti model persamaan tunggal, dalam model

persaman simultan orang tidak mungkin menaksir dari satu persamaan

tunggal tanpa memperhitungkan informasi yang diberikan oleh persamaan

lain dalam sistem (Gujarati, 2004: 307).

Salah satu bentuk model persamaan simultan adalah model

(46)

commit to user

lengkap antara berbagai variabel ekonomi. Persamaan struktural dari suatu

model mengandung variabel endogen, variabel eksogen, dan variabel

gangguan. Parameter struktural mencerminkan pengaruh langsung dari

setiap variabel bebas terhadap variabel terikat. Variabel endogen dalam

persamaan struktural adalah variabel tak bebas dalam persamaan yang

nilainya ditentukan di dalam sistem persamaan, meskipun variabel tersebut

mungkin juga muncul sebagai variabel bebas dalam persamaan. Variabel

eksogen merupakan variabel yang nilainya ditentukan di luar model, yang

meliputi lagged endogenous variable. Variabel eksogen dan variabel

endogen beda kala disebut predetermined variables

(Johnston, 1984: 450-460).

Dari struktur rekursif ini tampak bahwa hubungan kausal antara

variabel endogen dan variabel penjelas bersifat searah, dimana tidak

terdapat ketergantungan di antara variabel endogen. Dengan demikian

dapat diketahui bahwa 俰1 mempengaruhi 俰2, namun 俰2 tidak

mempengaruhi 俰1. Demikian pula 俰1 dan 俰2 mempengaruhi 俰3, namun 俰3

tidak mempengaruhi 俰1 dan 俰2, berarti setiap persamaan mempelihatkan

hubungan ketergantungan unilateral (Gujarati, 2004: 339-340).

7. Peramalan

Sering terdapat senjang waktu (time lag) antara kesadaran akan

peristiwa kebutuhan mendatang dengan peristiwa itu sendiri. Adanya

tenggang waktu (lead time) ini merupakan alasan utama bagi perencanaan

(47)

commit to user

perencanaan tidak diperlukan. Jika waktu tenggang ini panjang dan hasil

peristiwa akhir tergantung pada fakta-fakta yang dapat diketahui, maka

perencanaan dapat memegang peranan penting. Dalam situasi seperti itu

peramalan diperlukan untuk menetapkan kapan suatu peristiwa akan

terjadi atau timbul sehingga tindakan yang tepat dapat dilakukan

(Makridakis et al., 1999: 3).

Herlambang (2002: 86) menjelaskan bahwa tujuan peramalan adalah

untuk meminimalkan resiko dan ketidakpastian yang mungkin akan

dihadapi perusahaan untuk operasi perusahaan dalam jangka pendek

maupun untuk perencanaan jangka panjang perusahaan. Kedudukan

peramalan menjadi semakin penting karena organisasi bisnis dan

lingkungan menjadi semakin kompleks dan berubah dengan tempo yang

semakin cepat. Semua organisasi bisnis beroperasi dalam suatu lingkungan

yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Oleh karena itu, hasil dari

peramalan dapat digunakan oleh manajer sebagai pegangan untuk

menentukan masa depan perusahaan.

Situasi peramalan sangat beragam dalam horizon waktu peramalan,

faktor yang menentukan hasil sebenarnya, tipe po

Gambar

Tabel 1.  Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Kabupaten
Tabel 2.  Penawaran, Permintaan dan Surplus Beras di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2005 – 2010
Gambar 1. Kurva Permintaan
Gambar 2. Kurva penawaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada uji-t diperoleh bahwa variabel harga beras, harga jagung, harga mi instan, dan pendapatan perkapita penduduk berpengaruh secara nyata terhadap permintaan

Melihat hal yang terjadi pada kondisi perberasan di Indonesia, penulis ingin meneliti tentang bagaimana penetapan harga beras di Indonesia, permintaan penawaran beras di

ANALISIS KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH PADA ERA OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2001-2013. SAFITRI

(2011) Dampak Kebijakan Pemerintah dan Perubahan Faktor Lain terhadap Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia: Analisis Simulasi Kebijakan Independen: Harga

Dalam penelitian yang berjudul Analisis Determinan Permintaan Komoditas beras di Kabupaten Gowa ada beberapa variabel yang berpengaruh terhadap permintaan Komoditas Beras

permintaan. Pada komoditas kedelai ini, peubah harga kedelai berpengaruh signifikan terhadap permintaan kedelai. 4) Penawaran komoditas kedelai dipengaruhi oleh situasi

Kajian ini dilakukan untuk menganalisis stabilitas keseimbangan sistem penawaran dan permintaan beras di Indonesia dengan menggunakan model keseimbangan Cobweb dari

Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa jumlah penduduk dan pendapatan sangat berpengaruh terhadap permintaan beras, sehingga tingkat ketersediaan beras untuk