REGULASI EMOSI PADA REMAJA DIFABEL
Naskah Publikasi
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi
Oleh :
BAGAS UNGGUL WICAKSONO
F 100 080 103
FAKULTAS PSIKOLOGI
REGULASI EMOSI PADA REMAJA DIFABEL
Naskah Publikasi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh
Derajat Sarjana S-1 Psikologi
Oleh :
BAGAS UNGGUL WICAKSONO
F 100 080 103
FAKULTAS PSIKOLOGI
REGULASI EMOSI PADA REMAJA DIFABEL
Yang diajukan oleh:
Bagas Unggul Wicaksono
F. 100 080 103
Talah disetujui untuk dipertahankan
di depan Dewan Penguji
Telah disetujui oleh:
Pembimbing Utama
REGULASI EMOSI PADA REMAJA DIFABEL
Yang diajukan oleh
Bagas Unggul Wicaksono
F. 100 080 103
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Pada tanggal
Juni 2013
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Penguji Utama
Dra. Zahrotul Uyun M.Si
Penguji Pendamping I
Dra. Wiwien Dinar S.Psi., M.Si.
Penguji Pendamping II
Setiyo Purwanto S.Psi., M.Si.
Surakarta, Juni 2013
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Fakultas Psikologi
Dekan
REGULASI EMOSI PADA REMAJA DIFABEL
Bagas Unggul Wicaksono
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
ABTRAKSI
REGULASI EMOSI PADA REMAJA DIFABEL
Regulasi emosi pada remaja difabel merupakan kemampuan untuk tetap tenang dibawah tekanan. Remaja difabel yang memiliki kemampuan regulasi emosi yang baik dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih atau marah sehingga mempercepat dalam penyelesaian suatu masalah. regulasi emosi dipengaruhi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik, faktor intrinsik meliputi krakteristik anak itu sendiri, temperamen dan perhatian. Faktor ekstrinsik meliputi keluarga, caregivers khususnya ibu, indikasi orang yang dekat secara emosional menrut saudara atau teman sebaya, mesin belajar, dan lingkungan individu tinggal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara mendalam dan mendiskripsikan regulasi emosi pada remaja difabel. bagaimanakah regulasiemosi pada remaja difabel.
Informan dalam penelitian ini diambil dengan cara purposive sampling, yaitu pengambilan informan berdasarkan ciri-ciri dan kriteria-kriteria tertentu. Informan dalam penelitian ini adalah remaja penyandang difabel di Surakarta. Kriteria informan penelitian adalah: a) berusia 12-18 tahun, b) mengalami kecacatan secara mendadak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja yang mengalami kecacatan perolehan memiliki mengalami proses ketika remaja dihadapkan dengan situasi yang tidak terduga sebab terjadinya kecacatan yang dialami oleh remaja difabel akan mengalami proses regulasi emosi dimana remaja difabel akan memaksa orang lain untuk bertanngung jawab dengan apa yang telah dialami yang mengakibatkan mejnadi cacat pada awalnya remaja difabel masih mengaggap dirinya normal dan mencoba melakukan aktifitas-aktifitas seperti tidak terjadi sesuatu, barulah setelah itu remaja difabel meilih untuk diam ketika dia sadar situasi yang terjadi yang telah dialaminya pada saat inilah remaja difabel memerlukan orang lain untuk berdiskusi agar mendapatkan informasi tentang kondisi yang dialaminya kemudian remaja difabel berusaha untuk memberbaiki diri walapun masih sering untuk menghindari banyak orang dan berfikir berharap keajaiban tentang kondisi yang dialami bisa berubah, memulai untuk membuat rencana atau strategi untuk mencapai keinginan dan cita – cita dari perilaku tersebut remaja difabel akan mengambil makna positif dari peristiwa yang telah dialaminya.
Regulasi Emosi pada Remaja Difabel
Dalam perjalanan hidupnya
manusia melewati fase-fase kehidupan
sejak ia dilahirkan. Salah satu fase yang
dilewati itu adalah masa remaja. Masa
remaja merupakan suatu fase
perkembangan antara anak–anak dan masa
dewasa. Namun harapan yang ada menjadi
sirna karena terjadi peristiwa-peristiwa
yang tidak terduga dalam kehidupannya
misalnya kecelakaan atau bencana alam
yang menyebabkan remaja mengalamai
cacat pada anggota tubuhnya. Remaja
yang sebelumnya mempunyai fisik yang
normal akan menghadapi berbagai
permasalahan yang menyangkut kondisi
kecacatan tubuh yang baru diperolehnya
termasuk emosional dari penyandang yang
mengalami perubahan. Berbagai kelainan
pada kondisi fisiknya yang baru tersebut
akan mempengaruhi pertumbuhan,
perkembangan perilakunya dan emosi
sehari-hari. Adapun bentuk kecelakaan
yang mengakibatkan kecacatan dapat
berupa kecelakaan saat berkendaraan,
cedera saat terjadi bencana alam ataupun
cedera saat melakukan aktivitas
sehari-hari (Baltus 2002).
Feist & Feist (2006) mengatakan
bahwa kekurangan yang terdapat pada
salah satu bagian tubuh individu dapat
mempengaruhi individu tersebut secara
keseluruhan. Hal itu disebabkan
penyandang cacat tubuh bila dibandingkan
dengan ketunaan yang lain lebih mudah
diketahui karena ketunaannya tampak
secara jelas dan penderita cacat tubuh pun
menyadari hal tersebut. Kecacatan
tersebut berakibat terhadap kondisi jiwa
remaja penyandang cacat tubuh.
Adler (dalam Suryabrata, 2002)
mengatakan bahwa rasa rendah diri ini
muncul dan disebabkan karena adanya
suatu perasaan kurang berharga yang
timbul karena ketidakmampuan psikologis
maupun social dan pengelolaan emosi
yang dirasakan secara subjektif, dengan
kekurangan-kekurangan yang ada pada
diri anak akan menjadikannya tersingkir
dari kehidupan disekitarnya. Menurut
Mappiare (2002) suatu bentuk ketiadaan
yang dimiliki oleh seseorang dapat
menyebabkan seseorang tersebut
diabaikan dan kurang diterima oleh
kelompoknya, semakin banyak
kekurangannya akan semakin besar pula
kemungkinannya untuk ditolak oleh
teman-temannya. Dimasyarakat, sering
terlihat penyandang difabel yang tidak
mendapat dukungan dari orang lain untuk
melaksanakan sesuatu. Masyarakat
kurang memandang bahwa penyandang
difabel juga memiliki kemampuan ,
normal pada umumnya. Masyarakat lebih
mengartikan penyandang difabel berbeda
dalam segala hal baik itu secara fisik
maupun kedudukan dimasyarakat.
Masyarakat cenderung tidak memikirkan
bagaimana agar penyandang difabel
menjadi bagaian masyarakat seutuhnya,
seperti masyarakat pada umumnya.
Anak berkebutuhan khusus di
Indonesia bila dilihat dari data statistik
jumlah Penyandang cacat sesuai hasil
Survey Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS) tahun 2004 adalah : Tuna
netra 1.749.981 jiwa, Tuna daksa
1.652.741 jiwa, tuna grahita 777.761 jiwa,
Tuna rungu 602.784 jiwa. Jumlah seluruh
penyandang cacat ada 4.783.267 jiwa.
Rikapetulasi dan distribusi data
Penyandang Masalah kesejahteraan sosial
(PMKS) yang dikeluarkan oleh
Kementrian Sosial Republik Indonesia.
Pada tahun 2008 mencatat bahwa terdapat
1.544.184 jiwa, tahun 2009 1.541.942
jiwa, tahun 2010 terdapat 2.126.785 jiwa
penyandang cacat di Indonesia. (www.
inklusi.com).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui secara mendalam dan
mendiskripsikan regulasi emosi pada
remaja difabel. Maka dari itu penulis
memilih judul REGULASI EMOSI
PADA REMAJA DIFABEL.
LANDASAN TEORI
A. Regulasi Emosi
1. Pengertian Regulasi Emosi
Emosi dalam makna yang paling
harfiah didefinisikan sebagai kegiatan dan
pengolahan pikiran, perasaan nafsu, dari
setiap keadaan mental yang hebat atatau
meluap-luap. Emosi juga menunjukan
pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran
yang khas, suatu kedaan biologis,
psikologis, dan serangkean kecenderungn
untuk bertindak (Goleman, 2001).
Regulasi emosi adalah kemampuan
untuk tetap tenang dibawah tekanan.
Remaja yang memiliki kemampuan
regulasi emosi dapat mengendalikan
dirinya apabila sedang kesal dan dapat
mengatasi rasa cemas, sedih atau marah
sehingga mempercepat dalam
penyelesaian suatu masalah.
Pengekspresian emosi, baik negatif
ataupun positif merupakan hal yang sehat
dan konstruktif asalkan dilakukan dengan
tepat (Reivich dan Shatte, 2002).
Regulasi emosi didefinisikan sebagai
ketenangan sseorang atau usaha untuk
mempengaruhi emosi yang ada pada diri
seseorang ketika mereka memilikinya dan
(Mauss dkk, 2007). Regulasi emosi juga
sering didefinisikan dalam kontek
kemampuan relasi sosial anak untuk
memonitor mengevalusi, dan mengubah
reaksi emosi untuk mencapai tujuan
individu dan memfasilitasi adaptasi
dengan lingkungan sosial (Kimberly dkk,
2003).
2. Proses Regulasi Emosi
Menurut Lazaruz, (2007) mengemukakan
teori proses model regulasi emosi, yaitu:
(1) individu memasuki situasi tertentu, (2)
individu memberikan perhatian pada
aspek-aspek tertentu dari situasi, dari pada
orang lain; (3) individu menafsikan atau
menilai aspek-aspek situasi dengan cara
yang memudahkan proses emosional, dan
(4) kemudian individu mengalami emosi
meledak penuh, termasuk
perubahan-perubahan fisiologis, perilaku implus dan
perasaan subjektf.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Regulasi Emosi
Regulasi emosi dapat dipengaruh
oleh beberapa faktor. Untuk mengetahui
lebih jelasnya berikut ini dijelaskan
pendapat beberapa ahli mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi
emosi.
Menurut Morris, dkk (2007)
faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi
emosi adalah :
a.Keluarga dapat dibedakan menjadi
parenting practices, keadaan emosi
dalam keluarga, serta karakteristik
orang tua.
b.Media belajar ( melalui observasi:
modeling dan penularan emosi
sertareferensi sosial)
c.Karakteristik anak itu sendiri.
Menurut Fox & Calkin (dalam Daud, &
Asniar, 2005) regulasi emosi dipengaruhi
oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik.
Faktor intrinsik yang berpengaruh
terhadap regulasi emosi antara lain:
a. Temperament
Dikatakan bahwa longitudinal ditemukan
bahwa temperamen pada masa bayi
memegang peranan dalam perkembangan
pengendalian emosi.
b. Perhatian atau Attention
Ditemukan bahwa individu memiliki
kemampuan atensi yang baik, memiliki
fisiologis yang baik, kemudian
berpengaruh pada temperamen dan
kemampuan anak dalam mengelola
Faktor ekstrinsik yang berpengaruh
terhadap regulasi emosi ntara lain:
a. Caregivers
Caregivers khususnya ibu memberi
kontribusi yang besar bagi kemampuan
anak dalam pengendalian emosi. Individu
yang memiliki hubungan yang baik
dengan ibu akan memiliki self comfrort
dan rasa aman kemudian berpengaruh
pada temperamen dan kemampuan anak
dalam mengelola emosinya.
b. Saudara dan teman sebaya
Saudara dan teman sebaya memiiki peranan sebagai pendukung dan model bagi ekspresi emosi anak. Individu belajar mengekspresikan emosinya dengan mengamati hal-hal membangkitkan emosi tertentu pada orang lain, kemudian individu tersebut akan bereaksi dengan ekspresi yang sama dengan orang yang diamatinya.
c. Lingkungan
Lingkungan sosial seperti sekolah dan media masa berperan dalam mensosialisasikan cara ekspresi yang dapat diterima oleh masyarakat.
4. Aspek-aspek Regulasi Emosi
Menurut Filkman & Lazarus (dalam
Lazarus, 2007) kadang-kadang
regulasi emosi juga digunakan sebagai
metode coping terhadap stres yang
dialami oleh seseorang. Adapun
aspek-aspek dari regulasi emosi adalah
sebagai berikut:
a. Konfrontatif.
Individu memaksa orang lain untuk
bertanggung jawab dalam hal mengubah
cara berfikirnya, mengekspresikan
kemarahan pada orang lain yang menjadi
penyebabnya.
b. Distancing (mengambil jarak).
Menjaga jarak dari masalah agar tidak
terlalu larut dalam masalah yang terjadi
dengan tetap melakukan
aktifitas-aktifitasnya seperti biasa sehingga tampak
seperti tidak terjadi apa-apa.
c. Self-controling.
Individu berusaha untuk menyimpan
perasaan yang sesungguhnya dan tidak
terlalu , mengikuti kata hatinya, yang pada
saat itu mungkin sedang emosi.
d. Seeking social support.
Individu berusaha untuk berbicara dan
mendiskusikan dengan orang lain tentang
suatu situasi untuk memperoleh banyak
informasi tentang situasi tersebut, dengan
kata lain meminta saran dan pendapat dari
sahabat atau orang-orang yang dia
hormati.
e. Accepting responsibility.
Individu menginstropeksi diri dengan
kesalahan dan melakukan sesuatu untuk
memperbaiki diri.
f. Escape-avoidance.
Berusaha untuk menghindari banyak
orang dan mengharapkan keajaiban akan
datang dan merubah keadaan.
g. Planful Problem Solving.
Individu membuat rencana dan
berusaha untuk merealisasikannya., hanya
berkonsentrasi apa yang dilakukan
selanjutnya selangkah demi selangkah.
h. Positive reappraisal.
Kecenderungan individu untuk
mengambil makna positif dan situasi yang
sedang terjadi. Seperti, individu berubah
atau tumbuh menjadi orang yang benar
atau menemukan kembali hal-hal penting
dalam kehidupan yang dijalani.
B. Difabel
Difabel (differently able people atau
individu yang berkelainan) adalah setiap
orang yang mempunyai kelainan fisik dan
atau mental, yang dapat mengganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan
baginya dalam melakukan berbagai
aktivitas. Konsep kecacatan (difability)
telah mengalami pergeseran dan
perubahan makna (World Health
Organization, 2004; Bierman, 1997;
dalam Altholz & Golensky, 2004).
Beberapa kalangan intelektual di
Indonesia sendiri telah mengusung istilah
“difabel” untuk mengganti istilah
disabilitas yang cenderung judgmental
(Komardjaja, 2004; Fakih, 1999 dalam
Marcoes et. al., 2005).
Macam-macam difabel menurut
Demartoto (2007) terdiri dari :
1) Cacat Fisik
Cacat fisik adalah kecacatan yang
mengakibatkan gangguan pada fungsi
tubuh.
2) Cacat Mental
Cacat mental adalah kelainan
mental dan atau tingkah laku, baik cacat
bawaan maupun akibat dari penyakit
3) Cacat Fisik dan Cacat Mental
Cacat fisik dan mental adalah
keadaan seseorang yang menyandang dua
jenis kecacatan sekaligus.
Regulasi Emosi Pada Remaja
Difabel
Individu yang menyandang difabel
mendapat pandangan yang negatif
terhadap dirinya, terlebih ketika seseorang
menyandang difabel yang mengalami
kecacatan secara mendadak (kecelakaan)
dikarenakan penyandang difabel akan
mengalami banyak perubahan yang terjadi
dalam kehidupannya sebelum mengalami
kecacatan. Penyandang difabel tidak bisa
melakukan aktivitas seperti sebelum
mengalami kecacatan. Penyandang difabel
seringkali kehilangan tujuan juga
membuat hubungannya dengan orang lain
menjadi terhambat.
Penyandang difabel yang
mengalami kecelakaan akan menglami
perubahan didalam hidupnya baik itu dari
segi fisik maupun psikis, kesulitan untuk
ber aktivitas, pehatiandan hambatan emosi
yang akan muncul yang pada akhirnya
akan mengakibatkan stress atau hambatan
psikologis yaitu kesulitan untuk
meregulasikam emosi yang ada dalam
dirinya yang terjadi karena faktor
intrinsik dan faktor ekstrinsik, faktor
intrinsik meliputi krakteristik anak itu
sendiri, temperamen dan perhatian. Faktor
ekstrinsik meliputi keluarga, caregivers
khususnya ibu, indikasi orang yang dekat
secara emosional menurut saudara atau
teman sebaya, mesin belajar, dan
lingkungan individu tinggal.
METODE PENELITIAN
Penelitian yang berjudul Regulasi
Emosi Pada Remaja Difabel dalam
metode penelitiannya menggunakan
metode penelitian kualitatif, yaitu proses
penelitian guna memperoleh pemahaman
berdasarkan pada tradisi metodologi
penyelidikan tertentu untuk
mengeksplorasi masalah kemanusiaan
atau masalah sosial dalam setting yang
alami (Creswell, 1998). Penelitian ini
menggunakan pendekatan fenomenologi
karena informasi yang ingin diungkap
merupakan fenomena di masyarakat.
Penentuan informan dalam penelitian ini
diambil dengan cara purposive sampling,
yaitu pengambilan informan berdasarkan
ciri-ciri dan kriteria-kriteria tertentu.
Informan dalam penelitian ini adalah
remaja-remaja penyandang difabel di
Surakarta. Kriteria informan penelitian
adalah: a) berusia 12-18 tahun, b)
mengalami kecacatan secara mendadak.
Jumlah 6 terdiri dari 3 informan utama (
remaja yang mengalami kecacatan dan 3
informan pendukung ( orang terdekat
informan utama).
HASIL PENELITIAN
Emosi dalam makna yang paling
harfiah didifinisikan sebagai kegiatan dan
pengolahan pikiran, perasaan nafsu, dari
setiap keadaan mental yang hebat atatau
meluap-luap. Emosi juga menunjukan
pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran
yang khas, suatu kedaan biologis,
psikologis, dan serangkean kecenderungn
untuk bertindak (Goleman, 2001).
Regulasi emosi didefinisikan sebagai
mempengruhi emosi yang ada pada diri
seseorang ketika mereka memilikinya dan
bagaimana ekpresi tersebut diekpresikan
(Mauss dkk, 2007). Regulasi emosi juga
sering didifinisikan dalam kemampua
relasi sosial anak untuk memonitor
mengevalusi, dan mengubah reaksi emosi
untuk mencapai tujuan individu dan
memfasilitasi adaptasi dengan lingkunan
sosial (Kimberly dkk, 2003).
Berdasarkan hasil wawancara yang
dilakukan kepada para remaja difabel
yang menjadi informan dalam penelitian
ini diketahui bahwa ketika mengalami
kenyataan yang menyebabkan mereka
mengalami kekurangan kecacatan, mereka
mengalami kondisi yang sulit pada
awalnya para remaja difabel mencoba
untuk memaksa orang lain bertanggung
jawab dengan apa yang telah terjadi
Dalam mengahadapi kondisi baru
yang membuat informan mempunyai
kemampuan yang berbeda, bahkan
mungkin tidak lagi bisa melakukan hal-hal
layaknya orang normal pada umumnya
remaja difabel cenderung mencoba untuk
mencoba hal yang dibilang baru dan
mereka tetap berusaha melakukan aktifitas
tersebut seperti orang normal pada
umumnya walaupun mereka mengalami
kecacatan seperti kehilangan kaki maupun
tidak bisa melihat. Hal ini sesuai dengan
pendapat (Mauss dkk, 2007) yang
mengatakan bahwa ketenangan seseorang
usaha untuk mengurangi emosi.
Menurut Leverson (dalam Gross,
2007), fungsi emosi yang utama adalah
untuk menkoordinir sistem tanggap,
sehinga seseorang dapat mengendalikan
dan meregulasi emosi tersebut, mereka
lebih memilih diam ketika mendapati
keadaan yang mereka tidak sangka
sebelumnya, harus hidup dengan
kekurangan yang meraka tanggung
walapun mereka menyembuyikan
perasaan yang sebenarnya kalau teryata
kaki dan mata mereka sudah tidak
berfungi secara maksimal.
Remaja yang mengalami
kecacatan perolehan cenderung mencoba
berdiskusi dan membicarakan dengan
orang terdekat untuk mendapatkan
informasi tentang situasi yang sedang
dialaminya agar bisa dimengerti dan
mencari solusi terbaik Individu belajar
mengekspresikan emosinya dengan
mengamati hal-hal membangkitkan emosi
tertentu pada orang lain, kemudian remaja
difabel tersebut akan bereaksi dengan
ekspresi yang sama dengan orang yang
diamatinya.
Hal tersulit yang dapat dilihat
berfikir apa kesalahan yang telah terjadi
dan berusaha untuk memperbaiki diri
dengan melakukan kegiatan yang
bermanfaat. Media belajar melalui
pengamatan kepada lingkungan ataupun
modeling ini akan berpengaruh pada
kemampuan remaja yang mengalami
kecacatan .
Menurut Lazaruz (2007)
mengemukakaan teori proses model
regulasi emosi, individu mengalami emosi
meledak penuh, termasuk
perubahan-perubahan fisiologis, perilaku implus dan
perasaan subjektf mereka cenderung pada
awalnya akan menghindari banyak orang
merasa malu dan putus asa terkadang juga
berfikir kalau seandainya tidak terjadinya
penyebab kecacatan mereka. dalam
mengelola emosinya. remaja cenderung
akan mengambil makna positif sebagai
pemicu untuk hidup lebih bermanfaat dan
mengetahui bahwa meraka tidak sendiri
dan masih banyak orang yang tidak
seberuntung mereka.
Dinamika regulasi emosi pada remaja
difabel yang mengalami kecacatan secara
perolehan, ketika remaja dihadapkan
dengan situasi yang tidak terduga sebab
terjadinya kecacatan yang dialami oleh
remaja difabel akan mengalami proses
regulasi emosi dimana remaja difabel
akan memaksa orang lain untuk
bertanngung jawab dengan apa yang telah
dialami yang mengakibatkan mejnadi
cacat pada awalnya remaja difabel masih
mengaggap dirinya normal dan mencoba
melakukan aktifitas-aktifitas seperti tidak
terjadi sesuatu, barulah setelah itu remaja
difabel meilih untuk diam
Remaja difabel memerlukan
orang lain untuk berdiskusi agar
mendapatkan informasi tentang kondisi
yang dialaminya kemudian remaja difabel
berusaha untuk memberbaiki diri walapun
masih sering untuk menghindari banyak
orang dan berfikir berharap keajaiban
tentang kondisi yang dialami bisa
berubah, memulai untuk membuat rencana
atau strategi untuk mencapai keinginan
dan cita – cita dari perilaku tersebut
remaja difabel akan mengambil makna
positif dari peristiwa yang telah
dialaminya.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan data dari hasil analisis
dan pembahasan penelitian maka dapat
disimpulkan bahwa remaja yang
mengalami kecacatan perolehan memiliki
konsep regulasi emosi cenderung akan
jawab akan apa yang terjadi padanya.
menjaga jarak dari masalah dengan
melakukan aktifitas- aktifitas seperti
biasanya, memilih untuk diam ketika
mengenyadari apa yang telah terjadi pada
dirinya walapun terkadang merasa sangat
terpukul.
Remaja difabel mencoba untuk
berdiskusi dan membicarakan dengan
orang terdekat untuk bebicara tentang
situasi yang sedang dialaminya agar bisa
dimengerti dan mencari solusi terbaik.
mencoba untuk berfikir apa kesalahan
yang telah terjadi dan berusaha untuk
memperbaiki diri dengan melakukan
kegiatan yang bermanfaat.
Walaupun pada awalnya akan
menghindari banyak orang merasa malu
dan putus asa terkadang juga berfikir
kalau tidak terjadinya penyebab dari
kecacatan mereka. Namum remaja difabel
mampu membuat rencana baru dengan
semangat yang ada walapun memiliki
keterbatasan mereka mencoba untuk
belajar dan melakukan sesuatu hal
selangkah demi selamgkah agar tercapai
keinginan yang telah diinginkan. Dan
yang terpenting adalah mereka mampu
untuk mengambil makna positif sebagai
pemicu untuk hidup lebih bermanfaat dan
mengetahui bahwa meraka tidak sendiri
dan masih banyak orang yang tidak
seberuntung mereka. Dinamika regulasi
emosi pada remaja difabel yang
mengalami kecacatan secara perolehan,
ketika remaja dihadapkan dengan situasi
yang tidak terduga sebab terjadinya
kecacatan yang dialami oleh remaja
difabel akan mengalami proses regulasi
emosi dimana remaja difabel akan
memaksa orang lain untuk bertanngung
jawab dengan apa yang telah dialami yang
mengakibatkan mejnadi cacat pada
awalnya remaja difabel masih mengaggap
dirinya normal dan mencoba melakukan
aktifitas-aktifitas seperti tidak terjadi
sesuatu, barulah setelah itu remaja difabel
meilih untuk diam
Remaja difabel memerlukan orang
lain untuk berdiskusi agar mendapatkan
informasi tentang kondisi yang dialaminya
kemudian remaja difabel berusaha untuk
memberbaiki diri walapun masih sering
untuk menghindari banyak orang dan
berfikir berharap keajaiban tentang
kondisi yang dialami bisa berubah,
memulai untuk membuat rencana atau
strategi untuk mencapai keinginan dan
cita – cita dari perilaku tersebut remaja
difabel akan mengambil makna positif
B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan, maka saran penelitian ini
adalah
1. Untuk informan diharapkan dapat
meregulasi atau mengelola emosi
mereka dengan baik agar dapat
lebih bisa mengembangkan diri
mereka dengan lebih maksimal.
2. Utuk orang tua (orang terdekat) dan
Instasi yang terkait , diharapakan
menjadi pertimbangan untuk lebih
bisa memahami bahwa remaja
difabel memerlukan tempat dan
perhatian yang lebih agar remaja
difabel dapat memaksimalkan
kemampuannya jauh lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Altholz, S., & Golensky, M. 2004.
Counseling, Support, and Advocacy forClients
Baltus, R.K. (2002). Personal Psychology for Life and Work. 2nd Edision. New
York: McGraw-Hill.Inc
Creswell, John W.1998.Qualitative Inquiry and Research Design. London: Sage Publications.
Demartoto, A. 2007. Menyibak
Sensitivitas Gender Dalam
Keluarga Difabel.Surakarta : UNS Press.
Feist, J. & Feist, G. J. (2006). Theories of Personality. 5th Edition. Boston: McGraw-Hill.
Goleman, D. (2001).
EmotionalIntelegensi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Kimberly, S. (2003). Regulating Emotion
in Parent-Chind and Peer
Relationships; A
Comparason of Sexually
Maltreated ang Nonmaltreated Girls. Child Maltreated, 8, 163
Lazarus, R.S. 2007. Paterns of
Adjustment. Tokyo: McGraw Hill Kogakusha, Ltd
Mappiare, Andi. 2002. PsikologiRemaja. Surabaya: Usaha Nasional
Mauss, I B., Bunge, silivia A., & Gross, James J. (2007). Autmati emotion regulation. Social and
Personality Psychology Compass, 1. 10 146 167
Morris, A.S., Slik., J.S., Steinbrerg, L., Myers, S.S.& Robinson, L.R. (2007) The role of the family context in the development of emotion regulation. Journal of social development, 16, 2, 361-388.
Reivich & Shatte. (2002). Resiliensi. http://id.wikipedia.org/wiki/Resilie nsi
Suryabrata, S. 2002.