• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Akhir Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi Kajian Sumberdaya Kelautan Pulau Biawak Dan Laut Sekitarnya Kabupaten Indramayu Jawa Barat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Laporan Akhir Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi Kajian Sumberdaya Kelautan Pulau Biawak Dan Laut Sekitarnya Kabupaten Indramayu Jawa Barat."

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN SUMBERDAYA KELAUTAN

PULAU BIAWAK DAN LAUT SEKITARNYA

KABUPATEN INDRAMAYU JAWA BARAT

Peneliti Utama : Dr. Sunarto, S.Pi., M.Si (NIDN: 0025036807) Anggota : 1. Ir. Indah Riyantini, M.Si

(NIDN: 0001035702)

2. Dr. Sc. Agr. Yudi Nurul Ihsan, S.Pi., M.Si (NIDN: 0001127505)

3. Syawaludin Alisyahbana Harahap, S.Pi., MSc. (NIDN: 0023107608)

Dibiaya Oleh:

Dana Dipa BLU Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan

Universitas Padjadjaran

Tahun Anggaran 2013

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

(2)

i

dan Laut Sekitarnya Kabupaten Indramayu Jawa Barat”

Bidang Unggulan : Lingkungan Hidup

Topik Unggulan : Layanan Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati

Ketua Peneliti

a. Nama Lengkap : Dr. Sunarto, S.Pi., M.Si b. NIP/NIK : 19680325 199403 1 005

c. NIDN : 0025036807

d. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala e. Jabatan Struktural :

-f. Fakultas/Jurusan : Perikanan dan Ilmu Kelautan/Ilmu Kelautan g. Alamat Instansi : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Unpad

Jl. Raya Bandung-Sumedang KM. 21, Jatinangor, Bandung

h. Telp/Faks/E-mail : 022 87701519/022 87701518/ fpik@unpad.ac.id

Lama Penelitian Keseluruhan : 5 bulan Biaya Penelitian Tahun Berjalan

a. Diusulkan ke Dikti : Rp.

-b. Dana internal PT : Rp. 39.200.000,-c. Dana dari instansi lain Rp.

-J u m l a h : Rp. 39.200.000,- Terbilang (Tiga puluh sembilan juta dua ratus ribu rupiah)

Jatinangor, 05 Desember 2013

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran

(3)

ii

yang sangat besar, baik sumberdaya hayati, non hayati serta jasa lingkungan yang sangat bermanfaat untuk kemakmuran rakyat. Namun demikian, pemanfaatannya cenderung mengikuti azas akses terbuka dimana semua orang berhak memanfaatkan sumberdaya dimanapun dan kapanpun secara maksimal. Sehingga pola pemanfaatan ini akan membawa dampak kerusakan sumberdaya alam.

Salah satu kawasan tersebut adalah Pulau Biawak yang merupakan salah satu pulau kecil di Laut Jawa berada di sebelah utara Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat. Wilayah ini oleh pemerintah daerah telah di tetapkan sebagai salah satu kawasan konservasi perairan daerah (KKPD), termasuk di dalamnya terdapat P. Gosong dan P. Candikian. Data dan inforamasi terkini yang berkaitan dengan sumberdaya yang ada di kawasan tersebut masih sangat minim dan belum terintegrasi satu dengan yang lain sehingga kondisi dan statusnya belum tergambar secara utuh. Untuk itu perlu dilakukan kajian tentang hal tersebut dengan tujuan untuk mengidentifikasi sumberdaya ekosistem yang ada serta melakukan penilaian terhadap kondisi sumberdaya tersebut sehingga tersedianya data dan informasi terkini tentang ekosistem di kawasan tersebut. Kajian sumberdaya kelautan P. Biawak dan laut sekitarnya dilakukan dengan difokuskan kepada kajian ekologi (ekosistem mangrove, terumbu karang, lamun serta biota yang berasosiasi).

(4)

Sumberdaya ekosistem yang dapat dijumpai di P. Biawak dan laut sekitarnya adalah ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Kerapatan pohon pada ekosistem mangrove di P. Biawak termasuk dalam kategori kerapatan tegakannya rendah sampai tinggi dengan kisaran 6 hingga 18 tegakan.100m-2, namun hanya didominasi oleh Rhizophora sp. dan Avicenia sp. Padang lamun dilokasi penelitian memiliki persentase tutupan sangat rendah yaitu hanya berkisar antara 5-10% dan tumbuh pada substrat dasar pasir hanya ditumbuhi dari jenis Enhalus acoroides. Kondisi terumbu karang di lokasi penelitian masuk dalam kategori buruk (6,25%) hingga baik (63,75%) dan secara umum, rata-rata kondisi terumbu karang termasuk dalam kategori sedang (tutupan karang hidup 34,69%).

(5)

iv

karuniaNya sehingga laporan penelitian ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Penelitian dengan judul “Kajian Sumberdaya Kelautan Pulau Biawak dan Laut Sekitarnya Kabupaten Indramayu Jawa Barat” dilakukan dengan maksud untuk menambah pengetahuan tentang potensi dan keberadaan sumberdaya kelautan yang ada di Pulau Biawak dan laut sekitarnya termasuk Pulau Gosong dan Pulau Candikian yang masuk ke dalam gugus kepulauannya. Diharapkan laporan penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan yang ada di wilayah penelitian.

Pada kesempatan ini pula, penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya terutama kepada Fakultas perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad dan semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.

Semoga laporan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai dasar dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan yang ada di P. Biawak secara khusus dan Kabupaten Indramayu Jawa Barat pada umumnya secara optimal dan berkelanjutan.

Jatinangor, Desember 2013

(6)

v

1.4. Luaran dan Manfaat Penelitian... 2

II. KAJIAN PUSTAKA... 3

2.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 3

2.2. Sumberdaya Alam Laut, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil... 4

2.3. Ekosistem Mangrove ... 5

3.3.3. Pengamatan Terumbu Karang ... 16

(7)

3.3.5. Pengamatan Megabentos ... 18

3.4. Analisis Data ... 19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

4.1. Mangrove ... 20

4.2. Lamun ... 23

4.3. Terumbu Karang... 23

4.3.1. Terumbu Karang Pulau Gosong ... 24

4.3.2. Terumbu Karang Pulau Candikian ... 26

4.4. Ikan Karang ... 28

4.5. Biota Megabentos ... 30

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 32

5.1. Kesimpulan ... 32

5.2. Saran ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 34

(8)

vii

Tabel 1. Alat yang dipergunakan... 14 Tabel 2. Posisi Koordinat Stasiun Pengamatan Ekosistem... 15 Tabel 3. Kategori Lifeformdan Substrat serta Kode Pencatatan pada Metode

(9)

viii

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian... 13

Gambar 2. Ilustrasi Teknik Pengambilan Data Ikan Menggunakan Metode UVC (English et al. 1994) ... 18

Gambar 3. Jenis-Jenis Mangrove yang ditemukan di P. Biawak ... 21

Gambar 4. Sampah yang Berserakan di Akar Mengrove ... 22

Gambar 5. Grafik Persentasi Tutupan Karang Pada Stasiun 1 P. Gosong... 24

Gambar 6. Patahan Karang (rubble) di P. Gosong ... 25

Gambar 7. Grafik Persentasi Tutupan Karang Pada Stasiun 2 P. Gosong... 25

Gambar 8. Kondisi Terumbu Karang di P. Gosong Pada Kedalaman 1m... 26

Gambar 9. Grafik Persentasi Tutupan Karang Pada Stasiun 3 P. Candikian... 27

Gambar 10. Grafik Persentasi Tutupan Karang Pada Stasiun 4 P. Candikian ... 28

Gambar 11. Kapal Nelayan yang Sedang Berlabuh di Sekitar P. Biawak... 29

(10)

ix

Lampiran 1. Pulau-Pulau di gugusan P. Biawak dan Laut Sekitarnya ... 37

Lampiran 2. Beberapa Jenis Lamun yang ada di Indonesia... 38

Lampiran 3. Peta Lokasi Pengamatan... 39

Lampiran 4. Kategori LifeformKarang dan Substrat Dasar ... 40

Lampiran 5. Kegiatan Survei Lapangan ... 46

Lampiran 6. Gambaran Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Di Lokasi Survei.. 50

Lampiran 7. Beberapa Contoh Jenis Kelompok Ikan Karang... 51

(11)

1

Indonesia merupakan negara archipelago terbesar di dunia dengan luas territorial daratan dan lautan sekitar 7,7 juta km2, yang terdiri dari 17.504 pulau dengan garis pantai 95.181 km membentang dari Sabang sampai Merauke. Sekitar 75% dari seluruh wilayah tersebut terdiri dari perairan pesisir dan lautan, termasuk 3,1 km2 lautan territorial dan kepulauan, serta 2,7 juta km2 zona ekonomi eksklusif (ZEE). Indonesia memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut yang sangat besar, meliputi sumberdaya perikanan, terumbu karang, mangrove, padang lamun, rumput laut, estuari, minyak dan gas bumi, dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dijadikan modal dasar pembangunan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Pemanfaatan kawasan perairan cenderung mengikuti azas akses terbuka dimana semua orang berhak memanfaatkan sumberdaya dimanapun dan kapanpun secara maksimal. Kondisi ini akan diperburuk lagi dengan pertambahan jumlah penduduk, tuntutan kualitas kehidupan masyarakat, tujuan komersial, teknologi pemanfaatan sumberdaya yang semakin canggih. Pola pemanfaatan ini akan membawa dampak kerusakan sumberdaya alam.

(12)

kepada kajian ekologi (ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang, serta biota yang berasosiasi).

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan konteks penelitian yang telah dipaparkan, maka masalah yang dapat diidentifikasi dari penelitian ini adalah bagaimana kondisi terkini ekosistem pesisir dan laut P. Biawak dan laut sekitarnya.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifika sumberdaya ekosistem pesisir dan laut P. Biawak dan laut sekitarnya.

2. Melakukan penilaian terhadap kondisi sumberdaya pesisir dan laut P. Biawak dan laut sekitarnya saat ini.

1.4. Luaran dan Manfaat Penelitian

Adapun luaran dan manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Tersedianya data dan informasi terkini tentang ekosistem pesisir dan laut P. Biawak dan laut sekitarnya serta masing- masing status dari ekosistem tersebut.

(13)

3

Secara administratif, P. Biawak masuk ke dalam Kabupaten Indramayu yang berbatasan dengan Kabupaten Subang di sebelah barat, di sebelah utara dengan Laut Jawa, di sebelah timur dengan Kabupaten Cirebon dan Laut Jawa, dan sebelah selatan dengan Kabupaten Sumedang, Majalengka dan Cirebon. P. Biawak dan sekitarnya terdiri dari tiga pulau kecil, yaitu P. Biawak sebagai pulau utama (pada masa kolonial Belanda dikenal dengan P. Bompies), dikenal juga dengan P. Rakit, P.Gosong dan P. Candikian (Pulau Rakit Utara) (Lampiran 1).

Pulau Biawak dan sekitarnya adalah kawasan konservasi laut daerah (KKLD) yang terletak di sebelah utara Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Dasar hukum penetapan P. Biawak dan sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi dan Wisata Laut adalah SK Bupati Indramayu No. 556/Kep.528 Diskanla/2004 yang dikeluarkan pada tanggal 7 April 2004 dengan luas kawasan kurang lebih 720 Ha. Secara geografis kawasan konservasi ini terletak pada koordinat sebagai berikut (Ruchimat et al. 2010):

1. P. Biawak 06o56’022” LS dan 108o22’015” BT 2. P. Gosong 05o52’076” LS dan 108o24’337” BT, serta 3. P. Candikian 05o48’089” LS dan 108o24’487” BT

KKLD P. Biawak dan sekitarnya terletak di sebelah utara Indramayu, yaitu sekitar 26 mil (±50 km) dari daratan Indramayu Kawasan ini dapat dijangkau dengan menggunakan kapal nelayan dengan lama perjalanan 4 sampai 6 jam. Akses menuju pulau ini berasal dari beberapa daerah sekitarnya, misalnya Brondong dan Karangsong. Untuk menuju pulau tersebut bisa menggunakan perahu yang disewa dari nelayan karena tidak ada angkutan khusus yang berangkat setiap hari dengan tarif Rp 2 juta per 10 orang.

(14)

dioperasikan setiap hari Sabtu dan Minggu dengan tarif sewa Rp 290 ribu per orang. Dengan kapal milik Pemkab. Indramayu ini, pengunjung bisa menyeberang ke P. Biawak dengan waktu tempuh sekitar 1 sampai 1,5 jam.

Iklim Kabupaten Indramayu termasuk tipe D (iklim sedang) dengan curah hujan rata-rata tahunan 1.428 mm.tahun-1. Suhu harian berkisar 260C - 270C dengan suhu tertinggi 300C - dan terendah 180C, serta kelembaban udara berkisar antara 70% - 80%. Angin barat dan timur bertiup seara bergantian kurang lebih setiap 6 bulan, angin barat bertiup bulan Desember sampai bulan April dan angin timur pada bulan Mei sampai bulan Oktober. Gelombang laut di P. Biawak dan sekitarnya dipengaruhi oleh gelombang musiman, yaitu musim barat dan timur serta musim peralihan dengan ketinggian mencapai 0,5 sampai 0,8 meter.

2.2. Sumberdaya Alam Laut, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

Dalam suatu wilayah pesisir khususnya di wilayah pulau-pulau kecil terdapat sistem lingkungan (ekosistem) dan sumberdaya. Ekosistem tersebut bersifat alamiah atau buatan. Ekosistem alami yang terdapat di pulau-pulau kecil, antara lain adalah : terumbu karang (coral reef), mangrove, pantai berbatu (rocky beach), estuaria, laguna, delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa kawasan pariwisata, kawasan budidaya (marine culture) dan kawasan pemukiman (Dahuri et al. 2001).

(15)

masyarakat dan pemerintah lebih banyak terkuras untuk mengelola sumberdaya yang ada di darat yang mempunyai luas hanya sepertiga dari luas negeri ini (Kusumastanto 2000).

2.3. Ekosistem Mangrove

Secara umum, Sanger et al. (1986) memberikan pengertian bahwa hutan mangrove adalah sebagai suatu formasi hutan yang dipengaruhi oleh adanya pasang-surut air laut, dengan keadaan tanah yang anaerobik. Tumbuhan yang hidup di hutan ini memiliki daya adaptasi morfologi dan fisiologi yang baik terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut terdiri dari sekelompok tumbuhan dari berbagai macam jenis tumbuhan dari family seperti dari jenis Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Scyphyphora dan Nypa (Sukardjo 1996; Sorianegara 1987).

Tumbuhan mangrove mampu tumbuh dan berkembang pada lingkungan pesisir yang berkadar garam sangat ekstrim, jenuh air, kondisi tanah yang kurang stabil dan anaerob. Dengan kondisi lingkungantersebut, beberapa jenis tumbuhan mangrove mampu mengembangkan mekanisme yang memungkinkan secara aktif untuk mengeluarkan garam dari jaringan. Sementara itu, organ yang lainnya memiliki daya adaptasi dengan cara mengembangkan sistem akar napas untuk memperoleh oksigen dari sistem perakaran yang hidup pada substrat yang anaerobik (Pramudji 2001).

(16)

banyak dipengaruhi oleh topografi daerah pedalaman. Ada hubungan yang erat antara kondisi air dengan vegetasi hutan mangrove. Di beberapa tempat, mangrove menunjukkan tingkatan zonasi yang nyata yang cenderung berubah dari tepi air menuju daratan. Namun kadang – kadang tergantung pada undulasi / tinggi rendahnya lantai hutan atau anak sungai di dalam area yang skemanya khusus dan menggambarkan keadaan umum dari dataran pasang surut.

Secara Ekologis ekosistem mangrove sangat penting dalam menyediakan tempat untuk bertelur, pemijahan dan pembesarkan serta tempat mencari makan berbagai macam ikan dan udang kecil, karena suplai makanannya tersedia dan terlindung dari ikan pemangsa. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat bagi jenis-jenis ikan, kepiting dan kerang-kerangan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Dilihat dari aspek fisik, hutan mangrove mempunyai peranan sebagai pelindung kawasan pesisir dari hempasan angin, arus dan ombak dari laut, serta berperan juga sebagai benteng dari pengaruh banjir dari daratan. Tipe perakaran beberapa jenis tumbuhan mangrove (pneumatophore) tersebut juga mampu mengendapkan lumpur, sehingga memungkinkan terjadinya perluasan areal hutan mangrove. Disamping itu, perakaran jenis tumbuhan mangrove juga mampu berperan sebagai perangkap sedimen dan sekaligusmengendapkan sedimen, yang berarti pula dapat melindungi ekosistem padang lamun dan terumbu karang dari bahaya pelumpuran.Terciptanya keutuhan dan kelestarian ketiga ekosistem dari bahaya kerusakan tersebut, dapat menciptakan suatu ekosistem yangsangat luas dan komplek serta dapat memelihara kesuburan, sehingga pada akhirnyadapat menciptakan dan memberikan kesuburan bagi perairan kawasan pantai dan sekitarnya (Pramudji 2001).

2.4. Ekosistem Lamun

(17)

1. mampu hidup di media air asin,

2. mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam,

3. mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang baik, dan

4. mampu melaksanakan penyerbukan dan daur generative dalam keadaan terbenam (Den Hartog 1970 dalam Irawan 2003).

Secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir dan laut (Bengen 2001 dan Azkab 2006), yaitu:

1. Lamun berperan sebagai produsen primer yang mampu memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian besar memasuki rantai makanan, baik melalui pemangsaan langsung oleh herbivora maupun melalui dekomposisi sebagai serasah. Lamun juga memberikan sumbangan terhadap produktivitas terumbu karang. Serasah yang diproduksi oleh lamun dapat membantu meningkatkan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton di perairan terumbu karang sehingga energi yang diambil lamun akan dialihkan ke ekosistem terumbu karang.

2. Lamun sebagai penangkap sedimen yang dapat mengikat sedimen dan menstabilkan substrat lunak dengan system perakaran yang padat dan saling menyilang. Daun lamun yang lebat akan memperlambat aliran air yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan di sekitarnya menjadi tenang. Disamping itu, rizhome dan akar lamun dapat menahan serta mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar perairan.

(18)

4. Lamun berperan sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari.

5. Lamun memegang peranan yang berarti dalam daur berbagai zat hara dan elemen-elemen langka di lingkungan bahari.

6. Lamun sebagai makanan dan kebutuhan lain. Selain peranan-peranan lamun yang telah dibahas di atas juga masih ada beberapa hal yang tidak kalah penting khususnya lamun sebagai makanan, baik makanan hewan maupun manusia, serta kegunaan lain seperti sebagai bahan baku dalam pembuatan kertas.

7. Lamun dapat menjadi objek wisata bahari dan wisata pendidikan.

Dari 20 jenis lamun yang dijumpai di perairan Asia tenggara, hanya 13 jenis lamun yang umum dijumpai di perairan Indonesia, yaitu Cymodocea serrulata, C. rotundata, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, H. pinifolia, Halophila minor, H. ovalis, H. decipiens, H. spinulosa, H. beccari, Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium, dan Thalassodendron ciliatum (Kiswara 2009). Penyebaran lamun di Indonesia mencakup perairan Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, Papua. Gambar jenis-jenis lamun yang telah disebutkan, dapat dilihat pada Lampiran 2.

2.5. Ekosistem Terumbu Karang

(19)

kedua tipe karang ini adalah bahwa di dalam jaringan karang hermatipik terdapat sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis yang dinamakan zooxantellae. Sedangkan pada karang ahermatipik tidak terdapat zooxantellaedi dalam jaringan karangnya (Nybakken 1992).

Bentuk pertumbuhan karang (lifeform) adalah penampilan organisme karang yang dihasilkan dari interaksi genetik dan faktor lingkungan. Karang memiliki variasi bentuk pertumbuhan koloni yang berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan. Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang batu terbagi atas karang Acropora dengan non-Acropora (English et al.1994). Menurut TERANGI (2007) perbedaan Acropora dengan non-Acropora terletak pada struktur skeletonnya. Acropora memiliki bagian yang disebut axial koralit dan radial koralit, sedangkan non-acropora hanya memiliki radial koralit. Bentuk lifeformberdasarkan Acropora dan non-Acroporaadalah sebagai berikut:

1. Bentuk pertumbuhan Acropora.

a. Acropora Bercabang (Acropora Branching) (ACB), karang berbentuk seperti ranting pohon.

b. Acropora Berjari (Acropora Digitate) (ACD), karang dengan bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti jari-jari tangan.

c. Acropora meja (Acropora Tabulate) (ACT), karang dengan bentuk bercabang dengan arah mendatar, rata seperti meja.

d. Acropora Submasif (Acropora Submassive) (ACS), karang dengan bentuk percabangan Berbentuk lempeng dan kokoh.

e. Acropora Merayap (Acropora Encrusting) (ACE), karang dengan bentuk merayap, biasanya terjadi pada Acropora yang belum sempurna.

2. Bentuk pertumbuhan non-Acropora.

a. Karang Bercabang (Coral Branching) (CB), karang dengan bentuk bercabang seperti ranting pohon.

b. Karang Masif (Coral Massive)(CM), karang dengan bentuk seperti batu besar yang padat.

(20)

d. Karang Submasif (Coral Submassive) (CS), karang dengan bentuk kokoh dengan tonjolan-tonjolan atau koloni-koloni kecil.

e. Karang Lembaran (Coral Foliose) (CF), karang dengan bentuk menyerupai lembaran daun.

f. Karang api (Coral Millepora) (CML), karang yang dapat dikenali dengan adanya warna kuning pada ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar bila tersentuh.

g. Karang Biru (Coral Heliopora) (CHL), karang dengan bentuk karang berwarna biru pada skeletonnya.

Berdasarkan struktur geomorfologi dan proses pembentukannya, terumbu karang terdiri atas 3 (tiga) tipe terumbu, yaitu : (1) terumbu karang tepi (fringing reef); (2) terumbu karang penghalang (barrier reef); dan (3) terumbu karang cincin (attol) (Thamrin 2006).

2.6. Ikan Karang

Ekosistem terumbu karang memiliki spesies biota laut yang amat beragam, dan sebagian besar dari spesies tersebut benilai ekonomis tinggi. Tingginya tingkat keanekaragaman tersebut disebabkan oleh besarnya variasi habitat yang terdapat di dalam ekosistem terumbu karang. Terumbu karang menempati areal yang cukup luas dan terdiri dari berbagai bentuk asosiasi yang kompleks, dengan jumlah tipe habitat yang berbeda-beda, semuanya berada di satu sistem yang terjalin dalam hubungan fungsional yang harmonis. Spesies yang paling banyak dijumpai adalah ikan karang (Dahuri 2003).

(21)

TERANGI (2004) mengelompokkan ikan karang atas 2 (dua) kelompok besar yaitu Ikan karang berdasarkan periode aktif mencari makan dan ikan karang berdasarkan perananya di dalam pengelolaan. Kelompok ikan karang berdasarkan periode aktif mencari makan yaitu:

1. Ikan nokturnal(aktif pada malam hari), contohnya pada ikan-ikan dari famili Holocentridae (swanggi), famili Apogonidae (beseng), famili Haemulidae, Priachanthidae (bigeyes), Muraenidae (moray), Serranidae (jawfish) dan beberapa dari famili Mullidae (goatfishes).

2. Ikan diurnal (aktif pada siang hari), contohnya pada ikan-ikan dari famili Labridae (wrasses), Chaetodontidae (butterflyfishes), Pomacentridae (damselfishes), Scaridae (parrotfishes), Acanthuridae (surgeonfishes), Blennidae (blennies), Balistidae(triggerfishes), Pomachantidae (angelfishes), Monachantidae, Ostracionthidae, Canthigasteridae dan beberapa dari famili Mullidae(goatfishes).

3. Ikan crespuscular (aktif di antara dua waktu) contohnya dari ikan-ikan dari famili Sphyraenidae (barracudas), Carangidae (jacks), Scorpaenidae (lionfishes), Synodontidae (lizardfishes), Carcharinidae, Sphyrnidae (sharks) dan beberapa dari Muraenidae (Eels).

Kelompok ikan karang Berdasarkan Peranannya di dalam pengelolaan yaitu: 1. Ikan target adalah ikan yang merupakan target untuk penangkapan atau lebih

dikenal juga dengan ikan ekonomis penting atau ikan konsumsi seperti; Seranidae (Kerapu), Lutjanidae (Kakap), Lethrinidae (Lencam), Acanthuridae, Mullidae (Goatfishes), Siganidae (Baronang), Haemulidae (Bibir tebal), Labridae (Khusus genus Cheilinus, Choerodon dan Hemigymnus), Nempiteridae, Priacanthidae, Carangidae (Kue), Sphraenidae (Barracuda).

(22)

3. Ikan lain (Mayor Famili) pada umumnya ditemukan dalam jumlah banyak dan banyak dijadikan ikan hias air laut (Pomacentridae, Caesionidae (Ekor kuning), Scaridae, Apogonidae, dll).

2.7. Megabentos

(23)

13

Penelitian ini dilaksanakan dengan tahapan yang dimulai dari persiapan, pengumpulan data kemudian pengolahan data dilanjutkan dengan analisis serta terakhir adalah menyusun laporan. Penelitian dilakukan selama lima bulan yaitu dimulai dari bulan Juli hingga November 2013. Penelitian berlokasi di P. Biawak dan laut sekitarnya termasuk P. Gosong dan P. Candikian Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

3.2. Alat dan Bahan

(24)

Tabel 1. Alat yang dipergunakan.

No. Alat/Bahan Kegunaan

1. Ms. Officedan Statistik Menyusun laporan dan Mengolah data secara komputerisasi

2. Peralatan Sampling (alat transek berupa roll meter dan transek kuadrat serta peralatan selam)

(Global Positioning System)

Menentukan titik koordinat

5. Printer Mencetak data dan peta hasil

penelitian

6. Kamera digital/UW Dokumentasi survei lapangan 7. Alat tulis bawah air (sabak dll) Mencatat kegiatan penelitian

3.3. Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi yaitu melakukan pengamatan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap gejala atau fenomena yang ada pada objek penelitian (Tika 2005). Observasi langsung dilakukan dengan melakukan survei lapangan dan pengukuran secara in-situ, sedangkan observasi tidak langsung yaitu dengan melakukan penelaahan terhadap data dan informasi dari kajian dan hasil penelitian sebelumnya.

Secara garis besar tahapan penelitian ini terdiri dari pengumpulan data yang diawali dari studi pustaka yang berhubungan dengan kondisi umum lokasi penelitian, hasil-hasil kajian dan penelitian yang pernah dilakukan selanjutnya melakukan pengumpulan data di lapangan (survei). Setelah informasi dan data terkumpul selanjutnya dilakukan pengolahan data dan terakhir dilakukan analisis data untuk melihat gambaran tentang sumberdaya kelautan yang ada di lokasi penelitian.

(25)

dan megabentos). Lokasi titik koordinat stasiun pengamatan dan pengumpulan data ekosistem pesisir tertera pada Tabel 2dan Lampiran 3.

Tabel 2. Posisi Koordinat Stasiun Pengamatan Ekosistem

Stasiun

2 108˚22’45.1”BT05˚55’31.5”LS 05˚55’59.3’’LS

108˚23’11.0’’BT

05° 52’ 07.0” LS 108° 24’ 19.3” BT

3 108˚22’30.4”BT05˚56’07.0”LS - 05° 48’ 12.69” LS 108° 22’ 53.0” BT

4 - - 05° 48’ 12.6” LS

108° 25’ 20.9” BT

3.3.1. Pengamatan Mangrove

Pengamatan dan pengumpulan data mangrove dilakukan di tiga stasiun yang berada di P. Biawak. dengan cara menghitung jumlah pohon mangrove, lebar batang pohonnya dan juga memperkirakan tinggi pohon. Pengambilan sampel dilakukan pada daerah yang berada pada plot berukuran 10 x10 m. Selain menghitung kerapatan tegakan mangrove, juga dicatat jenis-jenis mangrove yang ditemukan dilokasi survei. Kerapatan tegakan mangrove merupakan penting untuk menentukan tingkat kekritisan kawasan mangrove. Menurut KEMENHUT (2005) bahwa ada 3 klasifikasi tingkat kerapatan tegakan mangrove yaitu:

 Tinggi apabila jumlah tegakan 1.500 pohon.ha-1

 Sedang apabila julah tegakan 1.000 - 1.500 pohon.ha-1, dan

 Rendah apabila jumlah tegakan < 1.000 pohon.ha-1

3.3.2. Pengamatan Lamun

(26)

 Kategori kaya/sehat apabila % tutupan 60%

 Kurang Kaya/Kurang sehat apabila % tutupan 30-59,9%, dan  Miskin apabila % tutupan 29,9%

Persamaan untuk mengetahui persentase tutupan lamun dapat dilihat pada persamaan berikut (Fachrul 2007):

(%) = 100%

3.3.3. Pengamatan Terumbu Karang

Pengamatan dan pengumpulan data pada ekosistem terumbu karang meliputi pengamatan karang, ikan karang dan megabentos. Pengamatan ini dilakukan di 4 stasiun, masing-masing 2 stasiun di P. Gosong dan 2 stasiun lainnya berada di P. Candikian.

Pengamatan karang dilakukan dengan penggunakan metode PIT (Point Intercept Transect) yaitu dengan menggunakan tali transek berskala (roll meter) yang diletakkan di dasar perairan dan dimulai dari titik nol. Tali transek dibentangkan sejajar garis pantai pada kedalaman antara 3 hingga 10 meter sepanjang 50 meter. Tiap koloni karang (lifeform) dan jenis substrat dasar (abiotik) yang berada di bawah tali transek di setiap jarak 0,5 meter dicatat, dimulai dari titik ke-1 yang berada di 0,5 meter hingga titik yang ke-100 yang berada di 50 meter. Kategori lifeformdan abiotik yang dicatat adalah karang batu (karang Acropora dan karang Non-Acropora), karang lunak, karang mati, makro alga dan abiotik (Manuputty dan Djuwariah 2009) (Tabel 3dan Lampiran 4).

Tabel 3. Kategori Lifeformdan Substrat serta Kode Pencatatan pada Metode PIT.

No. Kode Pencatatan

Kategori Lifeform

dan Substrat Keterangan

1. AC Acropora Karang dari jenis Acropora

2. NA Non-Acropora Karang dari jenis Non-Acropora 3. DC Dead Coral Karang mati, biasanya berwarna

putih.

4. DCA Dead Coral Alga Karang mati yang warnanya berubah

(27)

5. SC Soft Coral Jenis-jenis Karang Lunak

6. FS Fleshy Seaweed Jenis-jenis makro alga : Sargassum, Turbinaria, Halimedadll.

7. R Rubble Patahan karang, biasanya dari jenis

karang bercabang dan sudah mati 8. RK Rock Substrat dasar yang keras (cadas)

9. S Sand Pasir

10. SI Silt Pasir lumpuran yang halus Sumber: Manuputty dan Djuwariah (2009)

Jumlah masing-masing kategori dikelompokkan berdasarkan jumlah titik PIT yang terdapat koloni karang atau substrat untuk dihitung persentase tutupannya (%), Persentase tutupan dari masing-masing kategori dapat dihitung dengan rumus (modifikasi Manuputty dan Djuwariah 2009):

% =ℎ 100%

Kondisi ekosistem terumbu karang ditentukan berdasarkan persen tutupan karang batu hidup dengan kriteria CRITC-COREMAP LIPI berdasarkan Gomez & Yap (1988) sebagai berikut:

rusak bila persen tutupan karang hidup antara 0-24,9%.

sedangbila persen tutupan karang hidup antara 25-49,9%

baikbila persen tutupan karang hidup antara 50-74,9%, dan

sangat baikapabila persen tutupan karang batu hidup75-100% Selain % tutupan karang hidup yang digunakan untuk melihat kondisi terumbu karang, indeks kematian karang/mortality index (MI) juga dapat digunakan untuk menduga kondisi dari ekosistem terumbu karang terkait dengan besarnya perubahan karang hidup menjadi karang mati. Indeks ini menggunakan persamaan:

= % % + %

(28)

kecil atau tingkat kesehatan karang tinggi, namun bila nilai MI mendekati 1 berarti kondisi terumbu karang dikatakan memiliki rasio kematian yang besar atau memiliki kesehatan yang rendah (Fachrul 2008).

3.3.4. Pengamatan Ikan Karang

Pengamatan ikan karang dilakukan dengan metode UVC (Underwater Visual Census). Lokasi transek yang digunakan sama dengan lokasi transek yang digunakan pada saat melakukan pengamatan terumbu karang dengan luas pengamatan sepanjang 50 meter dengan jarak 2,5 m ke arah kiri dan 2,5 m ke arah kanan (Gambar 2). Pengamatan ikan karang dilakukan untuk mengetahui jumlah dan kelimpahan dari kelompok ikan yang berasosiasi dengan ekosistem terumbu karang, yaitu dari kelompok ikan mayor, ikan target dan ikan indikator.

Gambar 2. Ilustrasi Teknik Pengambilan Data Ikan Menggunakan Metode UVC (English et al. 1994)

3.3.5. Pengamatan Megabentos

(29)

teknik Visual Censusdengan lebar pengamatan 1 m kanan dan 1 m kiri dari garis transek. Jenis biota megabentos yang diamati sepanjang transek ialah:

 Krustasea (lobster, udang dan kepiting)

 Bulu seribu (Achantaster planci)

 Bulu babi (Diademasp.)

 Teripang (Holothurian)

 Kima (Tridacnasp.)

 Siput (Drupellasp.)

3.4. Analisis Data

(30)

20

gambaran tentang sumberdaya kelautan yang ada di P. Biawak dan perairan sekitarnya (Lampiran 5). Pengamatan tentang ekosistem mangrove dan lamun dilakukan di P. Biawak, sementara untuk pengamatan ekosistem terumbu karang di lakukan di P. Gosong dan Candikian, karena di kedua pulau ini masih minim informasi tentang kondisi terumbu karang termasuk di dalamnya asosiasi dengan ikan karang dan biota bentik.

Secara umum, tergambar bahwa kondisi ekosistem di P. Biawak dan perairan sekitarnya sudah mengalami degradasi, baik ekosistem maupun biota yang berasosiasi dengannya. Aktifitas penangkapan ikan yang tinggi sehingga terjadi over fishing, penangkapan ikan dengan alat dan cara yang merusak serta limbah dari aktifitas manusia merupakan hal-hal yang menyebabkan terjadinya penurunan kuantitas dan kualitas dari sumberdaya kelautan yang di wilayah ini. Ancaman ini sejalan dengan kekhawatiran yang disampaikan oleh Reid at al. (2009) yang menyatakan bahwa eksploitasi di wilayah pesisir dan laut yang besar telah mengakibatkan degradasi sumberdaya yang ada dengan hilangnya lebih dari 40% terumbu karang, 50% tutupan mangrove serta 60% dari area lamun diseluruh dunia. Hal ini semakin parah karena terjadinya konflik atas daerah penangkapan ikan dan lemahnya sistem pengelolaan sumberdaya yang ada sehingga mengarah kepada cara-cara yang merusak.

4.1. Mangrove

(31)

apabila jumlah tegakan < 1.000 pohon.ha-1. Di lokasi pengamatan hanya dijumpai dua jenis mangrove yaitu Rhizophora sp. dan Avicenia sp. (Gambar 3).

Tabel 4. Jenis, Lebar Rata-Rata Badan Pohon dan Jumlah Tegakan Mangrove

Stasiun Jenis Lebar Rata-Rata Badan Pohon (cm)

Jumlah Pohon (Tegakan)

1 Rhizophora sp. 30 6

2 Avicennia sp. 50 18

3 Rhizophora sp. 25 11

(a) Avicenia sp.

(b) Rhizophora sp.

(32)

Mangrove di kawasan ini harus terus dijaga karena keberadaannya sangat di perlukan dalam menjaga keutuhan ekosistem yang ada di kawasan ini. Mangrove menjadi tipe vegetasi yang khas karena ekosistem ini menjadi penghubung antara ekosistem darat dengan ekosistem pantai bahkan dengan ekosistem lepas pantai. Pentingnya kawasan mangrove bukan hanya sebagai sumberdaya hutan, namun lebih penting dari pada itu merupakan kawasan ekosistem sebagai sumber makanan utama bagi organesme perairan dalam bentuk bahan organic (detritus) yang dihasilkan dari dekomposisi serasah ataupun sebagai tempat pemijahan bagi hewan-hewan akuatik (Nontji 2002).

Namun demikian, dari hasil observasi di lapangan ditemukan dibanyak tempat bahwa sampah banyak tersangkut di akar-akar mangrove dimana materi sampah tersebut didominasi oleh limbah yang sulit terurai yaitu bekas peralatan penangkapan ikan nelayan berupa jaring, tali tambang, plastik dan pelampung baik yang terbuat dari bahan plastik maupun steroform (Gambar 4). Hal ini tentunya akan mengganggu pertumbuhan dari mangrove dan juga biota-biota yang hidup di ekosistem tersebut.

(33)

4.2. Lamun

Setelah dilakukan observasi di sekeliling P. Biawak selama 7 jam, maka ditetapkan dua lokasi pengamatan yang terdapat lamun. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan transek kuadrat. Dari keseluruhan lamun yang diamati, semuanya jenis lamun masuk dalam spesies Enhalus acoroides dan substratnya merupakan pasir. Gambaran tentang ekosistem lamun dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Pengamatan Lamun di P. Biawak

St. Posisi Tipe

2 108˚23’11.0’’ BT05˚55’59.3’’ LS Pasir 5 % Enhalus

acoroides 55

Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa persentase tutupan lamun sangat rendah yaitu hanya berkisar antara 5-10%. KemenLH (2004) membuat kriteria kondisi berdasarkan persentase tutupan lamun yaitu apabila tutupan lamun 29,9% maka ekosistem lamun tersebut masuk dalam kondisi miskin.

4.3. Terumbu Karang

(34)

4.3.1. Terumbu Karang Pulau Gosong

Pengamatan terumbu karang di P. Gosong dilakukan di dua stasiun yaitu stasiun selatan dan timur. Pada stasiun selatan persentase tutupan terumbu karang hanya 6,25 % dan persentase abiotik (termasuk patahan karang, batu dan pasir) mencapai 82,5 %, lebih banyak ditemukan rubble/patahan karang (Gambar 5). Artinya pada lokasi ini kondisi terumbu karang dalam kondisi buruk. Hal ini diindikasikan juga dengan indeks mortalitas yang sudah melebihi angka 0,5 yaitu sebesar 0,643.

Gambar 5. Grafik Persentasi Tutupan Karang Pada Stasiun 1 P. Gosong

Dari hasil wawancara dengan nelayan yang sedang beristirahat di atas kapalnya, diperairan P. Gosong diketahui bahwa perairan ini bebas untuk nelayan menangkap ikan tetapi karena kurang pengawasan keamanan dari pihak terkait dicurigai banyak nelayan yang melakukan illegal fishing dengan melakukan cara-cara yang merusak terumbu karang karena banyak ditemukan rubble di dasar perairannya (Gambar 6). Maka dari itu sangat diperlukan perencanaan serta pelaksanaan perbaikan ekosistem terumbu karang untuk mengembalikan keadaan ekosisten terumbu karang seperti semula pada perairan ini.

0

(35)

Gambar 6. Patahan Karang (rubble) di P. Gosong

Pada stasiun 2 yaitu bagian timur P. Gosong di temukan bahwa keadaan tutupan terumbu karang lebih baik dibanding pada stasiun 1 hal ini didukung dengan persentasi tutupan karang mencapai 23,75% yang mengindikasikan bahawa pada lokasi ini kondisi tutupan karang masih dikategorikan kedalam kondisi buruk (Gambar 7). Hal ini juga ditunjukkan dengan keadaan kerusakan terumbu karang yang relatif tinggi dengan banyak ditemukannya rubble(patahan karang) hingga mencapai nilai 37,50 % dengan indeks mortalitas karang sebesar 0,635.

Gambar 7. Grafik Persentasi Tutupan Karang Pada Stasiun 2 P. Gosong 0

(36)

Perbedaan yang mencolok tentang keadaan ekosistem terumbu karang pada stasiun 2 ini adalah pada kedalaman 6-9m yaitu tempat gelaran transek dipasang lebih banyak ditemukan karang mati dibandingkan karang hidup akibat kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan tetapi keadaan yang berbeda ditemukan pada kedalaman 1m, keadaan ekosistem terumbu karang di kedalaman tersebut masih sangat terjaga. Keadaan yang berbeda ini karena pada kedalaman yang dangkal aktivitas penangkapan ikan tidak dilakukan dan tidak dapat dilewati oleh kapal nelayan, apabila kapal nelayan melintas akan karam. Hal inilah yang membuat pada kedalaman 1m di stasiun 2 P. Gosong masih dalam kondisi sangat baik (Gambar 8).

Gambar 8. Kondisi Terumbu Karang di P. Gosong Pada Kedalaman 1m

4.3.2. Terumbu Karang Pulau Candikian

Lokasi kedua sebagai tempat pengambilan data keadaan ekosistem terumbu karang yaitu P. Candikian yang merupakan pulau tak berpenghuni dengan jarak waktu tempuh dari P. Biawak sekitar 2,5 jam ke arah utara. Keadaan terumbu karang di perairan pulau ini secara umum lebih baik kondisinya dibandingkan dengan kondisi terumbu karang di P. Gosong.

(37)

terumbu karang diperairan ini masuk dalam kategori baik dan tidak banyak ditemukan rubble yang menjadi indikator bahwa penangkapan ikan dengan cara-cara merusak tidak terjadi dilokasi ini. Faktor abiotik yang banyak ditemukan disini adalah hamparan pasir yang luas pada dasar perairan tempat kami menggelar transek.

Gambar 9. Grafik Persentasi Tutupan Karang Pada Stasiun 3 P. Candikian

Pada stasiun 3 ini juga ditemukan tutupanacropora branchingyang sangat luas pada gelaran transek di meter 15,5 m hingga 19 m serta pada gelaran transek 40 m hingga 44,5 m substrat yang tercatat adalah acropora branching(Lampiran 6b). Selain tutupan karang acropora branching juga ditemukan coral massive berukuran besar yang masih sangat terawat sehingga cocok untuk dijadikan tempat spot dive.

(38)

Gambar 10. Grafik Persentasi Tutupan Karang Pada Stasiun 4 P. Candikian

4.4. Ikan Karang

Kelompok ikan yang di data adalah kelompok ikan mayor, ikan target dan ikan indikator. Dari hasil survey yang dilakukan ditemukan hanya lima famili ikan yaitu Chaetodontidae, Haemulidae, Serranidae, Lutjanidae dan Scaridae (Lampiran 7).

Pada P. Gosong, pengambilan data ikan karang dilakukan pada dua stasiun yaitu stasiun barat dan stasiun timur pulau dengan masing-masing gelaran garis transek pada kedalaman antara 9-6 m dan 5-3 m. Pada transek 50 m pertama tidak terlalu banyak ikan yang ditemukan, ikan yang ditemukan adalah dari famili Chaetodontidae, Scaridae dengan ukuran lebih dari 20 cm, dan Serranidae dengan ukuran 30-40 cm. Kelimpahan ikan famili Chaetodontidae sebesar 8 ind.250m-2, kelimpahan ikan dari famili Scaridae sebesar 4 ind.250m-2, dan Serranidae dengan ukuran 30-40 cm dengan kelimpahan sebesar 2 ind.250m-2. Pada transek kedua yang berlokasi di timur P. Gosong ditemukan ikan dari famili Chaetodontidae dan Haemulidae. Kelimpahan ikan dari famili Chaetodontidae sebesar 10 ind.250m-2 dan dari famili Haemulidae dengan kelimpahan sebesar 1 ind.250m-2. Terlihat bahwa kelimpahan ikan di stasiun 2 tidak lebih banyak dari stasiun 1.

0

(39)

Pulau kedua sebagai lokasi pengamatan ikan karang adalah P. Candikian, Kelimpahan ikan karang di pulau ini lebih baik dibandingkan dengan kelimpahan ikan karang di P. Gosong. Pada transek pertama di P. Candikian ditemukan ikan dari famili Chaetodontidae, Haemulidae, Lutjanidae, dan Serranidae dengan ukuran 30-40 cm. Kelimpahan ikan dari famili Chaetodontidae sebesar 9 ind.250m-2, dari famili ikan Haemulidae sebesar 1 ind.250m-2, famili ikan Lutjanidae sebesar 5 ind.250m-2, ikan Scaridae sebesar 10 ind.250m-2 dan Serranidae sebesar 5 ind.250m-2. Transek kedua di P. Candikian diperoleh kelimpahan ikan Chaetodontidae sebesar 6 ind.250m-2, Haemulidae sebesar 3 ind.250m-2, Scaridae sebesar 11 ind.250m-2dan Serranidae sebesar 1 ind.250m-2.

Kelimpahan dari kelompok ikan target baik di P. Gosong maupun di P. Candikian tergolong sangat rendah. Menurut Manuputty dan Djuwariah (2009)

bahwa apabila jumlah individu ikan Target sepanjang transek dengan luasan 125m2kurang dari 25 ekor maka masuk dalam kriteria kelimpahan ”Sedikit”. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingginya aktifitas penangkapan ikan di sekitar kawasan ini tanpa pengawasan yang ketat oleh pihak berwenang, ini dapat terlihat dari relatif banyaknya kapal-kapal nelayan yang sedang berlabuh disekitar P. Biawak (Gambar 11). Kelimpahan ikan karang juga berkaitan dengan kondisi tutupan terumbu karang yang buruk pada lokasi ini.

(40)

4.5. Biota Megabentos

Megabentos yang menjadi fokus dalam pengamatan ini terbagi atas tiga taxa atau kelompok yaitu ekinodermata, moluska dan krustasea. Kehadiran kelompok ini dalam keanekaragaman jenis yang tinggi dapat dipengaruhi oleh kondisi atau kualitas ekosistem terumbu karang. Artinya semakin baik kondisi terumbu karang maka semakin besar peluang tingginya keragaman megabentos, begitu juga sebaliknya. Cappenberg (2011) menyatakan bahwa keseimbangan ekosistem akan terjaga bila komponen pendukung selalu berada pada kondisi yang stabil. Indikator kestabilan itu dapat dilihat dari besarnya keanekaragaman hayati (biodiversitas) yang merupakan unsur biotik dalam suatu ekosistem. Dengan kata lain tingginya biodiversitas mengindikasikan kualitas ekosistem dalam kondisi baik dan sebaliknya rendahnya biodiversitas menunjukkan adanya tekanan atau degradasi kualitas ekosistem.

Pengamatan megabentos yang dilakukan merupakan megabentos yang berasosiasi dengan terumbu karang. Hasil kegiatan survei yang dilakukan, hanya ditemukan dua kelompok megabentos yaitu dari ekinodermata (bulu babi/Diademasp. dan teripang) dan juga dari kelompok moluska (kima/Tridacna sp). Untuk teripang ditemukan 2 spesies yaitu Holothuria sp. dan Stichopus sp. (Lampiran 8).

(41)

perairan antara lain habitat yang tidak sesuai (pasir/pasir lumpuran); perairan yang keruh/sedimentasi yang cukup tinggi; serta keterbatasannya ketersediaan makanan. Menurut User (1984), kelompok biota ini akan baik pertumbuhannya bila berada pada perairan yang jernih. Hal ini berhubungan dengan cara makan yang menyaring makanan dari perairan sekitar (filter feeder). Adanya zooxanthella (alga bersel satu) yang hidup bersimbiosis dengan genus Tridacna membutuhkan sinar matahari untuk melakukan fotosintesa serta dapat memberikan sebagian nutrisi pada biota tersebut.

Gambar 12. Cangkang Kima di P. Gosong

(42)

32

Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian adalah:

1. Sumberdaya ekosistem yang umum dijumpai di P. Biawak dan sekitarnya adalah ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang.

2. Kerapatan tegakan pohon pada ekosistem mangrove bervariasi mulai dari rendah sampai tinggi yaitu 6-18 tegakan.100m-2 dan hanya didominasi oleh Rhizophora sp. dan Avicenia sp.

3. Padang lamun dilokasi penelitian tumbuh pada substrat dasar pasir dan hanya ditumbuhi dari jenis Enhalus acoroides dengan persentase tutupan termasuk dalam kategori rendah yaitu 5-10%.

4. Kondisi terumbu karang di lokasi penelitian masuk dalam kategori buruk (6,25%) hingga baik (63,75%) dan secara umum, rata-rata kondisi terumbu karang termasuk dalam kategori sedang (tutupan karang hidup 34,69%). 5. Ikan karang indikator masih ditemukan di lokasi penelitian yaitu dari

kelompok Chaetodontidae. Namun untuk ikan target kelimpahannya sangat kecil, hal ini mengindikatorkan bahwa lokasi ini sudah mengalami overfishing.

6. Fauna megabentos di dominasi oleh kima (Tridacnasp.) terutama pada lokasi P. Gosong.

5.2. Saran

Adapun saran yang dapat disampaikan adalah:

1. Perlu dilakukan reboisasi hutan mangrove terutama untuk lokasi P. Gosong dan P. Candikian.

(43)

3. Perlu dilakukannya pengawasan yang lebih intensif oleh institusi yang berwenang terhadap kegiatan perikanan di kawasan ini, terlebih lagi kawasan ini merupakan kawasan konservasi.

(44)

34

Baugis, P. 1976. Marine Plankton Ecology. Elsevier.

Bengen, D. G. 2001. Ekosistem Dan Sumberdaya Alam Pesisir Dan Laut. Sinopsis. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 62 hlm.

Cappenberg, H. A. W. 2011. Kelimpahan Dan Keragaman Megabentos Di Perairan Teluk Ambon. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2011) 37(2): 277-294 ISSN 0125 – 9830. Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI. Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting, dan M. J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Ed rev. Jakarta: PT. Pradnya Paramita Jakarta.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

English, S., C. Wilkinson, and V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville. Erdmann, A. M. 2004. A Natural History Guide to Komodo National Park. The

Nature Conservancy.

Fachrul, M. F. 2008. Metode Sampling Bioekologi.Bumi Aksara. Jakarta.

Gomez, E. D. and H. T. Yap, 1988. Monitoring reef condition In : R.A. Kenchington & B.E.T. Hudson (eds). Coral Reef Management handbook, UNESCO Jakarta : 187-195.

Irawan, A. 2003. Asosiasi Makrozoobentos Berdasarkan Letak Padang Lamun Di Estuaria Bontang Kuala, Kota Bontang, Kalimantan Timur [tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 100 hlm.

KemenHut. 2005. Pedoman Inventarisasi Dan Identifikasi Lahan Kritis Mangrove. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan Dan Perhutanan Sosial, Departemen KehutananRI. Jakarta.

KemenLH. 2004. Kriteria Baku Kerusakan Dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 200 Tahun 2004. Kementerian Lingkungan Hidup Repiblik Indonesia. Jakarta.

(45)

Kusumastanto, T. 2000. Perencanaan dan Pengembangan Pulau-Pulau Kecil, Prosiding Temu Pakar Penyusunan Konsep Tata Ruang Pesisir; Jakarta, Okt 2000. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. hlm B.2. Levinton, J. S. 1982. Marine Ecology. Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs. New

Jersey.

Manuputty, A. E. W., dan Djuwariah. 2009. Panduan Metode Point Intersept Transect (PIT) untuk Masyarakat. Studi Baseline dan Monitoring Kesehatan Karang di Lokasi Perlindungan Laut. CRITC-COREMAP II – LIPI. Jakarta.

Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.

Nontji, A. 2006. Plankton. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi. Jakarta.

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. [Terjemahan dari Fundamental Of Ecology]. Samingan T & Srigandono B (penerjemah). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 546 hlm.

Pramudji. 2001. Ekosistem Hutan Mangrove Dan Peranannya Sebagai Habitat Berbagai Fauna Aquatik. Oseana, Volume XXVI, Nomor 4, 2001:13 – 23. Balai Litbang Biologi Laut, Puslit Oseanografi-LIPI, Jakarta

Reid, C., J. Marshall, D. Logan and D. Kleine. 2009. Terumbu Karang dan Perubahan Iklim. Panduan Pendidikan dan Pembangunan Kesadartahuan. CoralWatch, The University of Queensland, Brisbane, Australia.

Ruchimat, T., R. Basuki dan Suraji. 2010. Mengenal Potensi Kawasan Konsevasi Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Profil 76 Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Volume II (Edisi Lengkap). Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP II). Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat Jenderal KP3K, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta 10110-Indonesia.

Saenger, P., E. J. Hegerl and J. D. S. Da Vie 1983. Global Status of Mangrove Ecosystems. By The Working Group On Mangrove Ecosystems On The IUCN Commission On Ecology. The Environ-Mentalist, Vol. 3. Supplement No.: p. 88.

Setiawan, F. 2012. Panduan Lapangan Identifikasi Ikan Karang Dan Invertebrata Laut Dilengkapi Dengan Metode Monitoringnya. Wildlife Conservation Society.

(46)

Sukardjo, S. 1996. Gambaran Umum Ekologi Mangrove Di Indonesia Lokakarya Strategi Nasional Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi lahan, Departemen Kehutanan, Jakarta: 26 hal.

TERANGI. 2004. Panduan Dasar Untuk Pengenalan Ikan Karang Secara Visual Indonesia. http://www.terangi.or.id/publications/pdf/pandikan.pdf.

TERANGI. 2007. Terumbu Karang dan Karang.

http://www.terangi.or.id/id/index.php?option=com_content&task=view&i d=9&Itemid=41.

Thamrin. 2006. Karang: Biologi Reproduksi dan Ekologi. Minamandiri Press. Pekanbaru.

Tika, M. P. 2005. Metode Penelitian Geografi. P.T. Bumi Aksara. Jakarta.

Tomascik, T, A. J. Mah, A. Nontji, & M. K. Moosa. 1997. The Ecology of The Indonesian Sea. Part II. Chapters 13-23. Periplus Edition (HK) Ltd., Singapore.

(47)

37 (a) P. Biawak

(b) P. Gosong

(48)
(49)
(50)
(51)
(52)

(c) Kategori Dead Coral(Manuputty dan Djuawariah 2009)

(53)
(54)
(55)

Sand

Silt

Rock

(56)

46

(a) Kegiatan Transek Mangrove

(57)

(c) Persiapan Survei Laut

(58)
(59)
(60)

(a) Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Di P. Gosong

(61)

Chaetodon octofasciatus Chelmon rostratus Heniochus acuminatus

HAEMULIDAE/Sweetlips Fish (Ikan Bibir Tebal)

Plectorhinchus vittatus Plectorhinchus chaetodontoides

Diagramasp.

LUTJANIDAE/Snapper Fish (Ikan Kakap)

Lutjanus biguttatus Lutjanus monostigma Lutjanus kasmira

SERRANIDAE/Grouper Fish (Ikan Kerapu)

Epinephelus quoyanus Epinephelus merra Cephalopholis miniata

SCARIDAE/ Parrot Fish (Ikan Kakatua)

(62)

Kima (Tridacnasp.)

Bulu babi (Diademasp.)

Gambar

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Tabel 1. Alat yang dipergunakan.
Tabel 2. Posisi Koordinat Stasiun Pengamatan Ekosistem
Tabel 3. Kategori Lifeform dan Substrat serta Kode Pencatatan pada Metode PIT.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis data hasil pengukuran menunjukkan bahwa peserta didik di Madrasah Tsanawiyah kode S mempunyai sikap-sikap spiritual yang unggul pada aspek beriman kepada Allah

mengembangkan menerapkan pendekatan realistik dalam proses belajar mengajar, diharapkan dapat menciptakan kegiatan interaktif, menarik perhatian siswa, melatih

Penilaian dalam tahap ini bukan lah sebagai penilaian pribadi atau subjektif saja, tetapi penilaian yang didasarkan pada analisis mendalam atas karya musik dan

Berdasarkan contoh kesalahan konsep yang ditemukan pada buku ajar SMA dapat dikelompokkan kesalahan konsep genetika terjadi akibat enam sebab yakni penyajian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian beberapa sumber bahan organik dan masa inkubasi terhadap pH, C-organik, N-total, P-total dan K-dd pada tanah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah Kualitas Kehidupan Kerja ( Quality of Work Life ) dan

• Sumber daya perusahaan mengubah aliran informasi di dalam dan antara organisasi bisnis , karena sebuah sistem informasi antarorganisasi (IOS) menggunakan teknologi jaringan

penelitian dengan menguraikan isi dari objek yang diteliti. 4) Pendidik menugasi peserta didik untuk mendiskusikan unsur intrinsik dan nilai pendidikan akhlak pada