• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Berikut ini akan dijabarkan mengenai teori-teori yang digunakan dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Berikut ini akan dijabarkan mengenai teori-teori yang digunakan dalam"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

14 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Berikut ini akan dijabarkan mengenai teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini.

2.1.1 Teori Persepsi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), persepsi memiliki dua definisi, yaitu: 1) Tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu dan 2) Proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancaindranya. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah proses untuk menanggapi, memahami, dan menafsirkan suatu kejadian atau peristiwa yang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ada di dalam individu tersebut. Menurut Robbins (2015:103) persepsi adalah sebuah proses individu mengorganisasikan dan menginterpretasikan kesan sensoris untuk memberikan pengertian pada lingkungannya.

Menurut Lubis (2011:97) persepsi adalah bagaimana orang-orang melihat atau menginterprestasikan peristiwa, objek, serta manusia. Definisi persepsi yang formal adalah proses di mana seseorang memilih, berusaha, dan menginterprestasikan rangsangan ke dalam suatu gambaran yang terpadu dan penuh arti (Lubis, 2011:97). Persepsi juga merupakan pengalaman tentang objek atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Meskipun demikian, karena persepsi tentang objek atau

(2)

15

peristiwa tersebut bergantung pada suatu kerangka ruang dan waktu, maka persepsi akan bersifat sangat subjektif dan situasional (Lubis, 2011:97).

Menurut Robbins (2015:104) ada tiga faktor yang memengaruhi persepsi sesorang, yaitu:

1) Faktor-faktor pada penilai

Faktor-faktor pada penilai terdiri dari sikap, motif, minat, pengalaman, dan ekspektasi.

2) Faktor-faktor pada target

Faktor-faktor pada target terdiri dari inovasi, pergerakan, suara, ukuran, latar belakang, proksimitas, dan kesamaan.

3) Faktor-faktor pada situasi

Faktor-faktor pada target terdiri dari waktu, latar kerja, dan latar sosial.

Gibson (2001) menyatakan bahwa proses pemberian makna kepada lingkungan oleh individu disebut dengan persepsi atau dengan kata lain lingkungan merupakan faktor yang menentukan bagaimana persepsi individu tentang obyek yang diamatinya. Gibson (2001) juga mengatakan bahwa respon individu terhadap obyek akan bergantung pada persepsi yang timbul pada dirinya.

Berdasarkan pendapat Gibson (2001) diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan respons dari penerimaan kesan melalui penglihatan, sentuhan atau melalui indera lainnya, yang kemudian dipahami dan ditafsirkan berdasarkan pengalaman yang berbeda dari tiap individu dan faktor lingkungan, sehingga akan menghasilkan perilaku yang berbeda pula.

(3)

16

Berdasarkan beberapa pendapat diatas tampak adanya pengaruh persepsi dalam membentuk perilaku individu sebagai warga negara dalam rangka memenuhi kewajiban membayar pajak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai konklusi tentang persepsi individu bahwa persepsi adalah proses menerima, mengorganisasikan dan mengartikan suatu obyek (Gibson, 2001). Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa persepsi individu terhadap perilaku penggelapan pajak adalah proses individu dalam menerima, menanggapi, dan menafsirkan perilaku penggelapan pajak yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang melingkupi individu tersebut.

2.1.2 Teori Atribusi

Menurut Malle (2011) dalam dunia psikologi, atribusi memiliki dua makna utama. Pertama untuk menjelaskan perilaku seseorang dan kedua untuk menyimpulkan perilaku seseorang. Menurut Heider (1958) dalam Manusov dan Spitzberg (2008) teori atribusi merupakan sebuah teori untuk menggambarkan dan menjelaskan tentang proses mental dan komunikatif yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang sebagian besar digambarkan dari peristiwa yang berasal dari dalam individu maupun lingkungan sosial. Menurut Lubis (2011:90) teori atribusi mempelajari proses bagaimana seseorang menginterprestasikan suatu peristiwa, alasan, atau sebab perilakunya.

Menurut Robbins (2015:104) teori atribusi yaitu sebuah percobaan untuk menentukan apakah perilaku seorang individu disebabkan dari internal atau eksternal. Perilaku yang disebabkan internal adalah yang dipercaya pengamat berada dalam kendali perilaku pribadi dari individu, sedangkan perilaku yang

(4)

17

disebabkan eksternal adalah apa yang kita bayangkan situasi memaksa individu untuk melakukannya (Robbins, 2015:105). Perilaku yang disebabkan eksternal dapat diartikan sebagai perilaku yang dipengaruhi dari luar individu, artinya individu akan berperilaku bukan karena keinginannya sendiri, melainkan karena desakan atau keadaan yang tidak bisa terkontrol (Robbins, 2015:105).

Penentuan internal atau eksternal menurut Robbins (2015:105) bergantung pada tiga faktor sebagai berikut.

1) Perbedaan, artinya apakah seorang individu menampilkan perilaku yang berbeda dalam situasi yang berbeda. Apabila perilaku seseorang tersebut dianggap sebagai suatu hal yang tidak biasa dilakukan, maka individu lain yang akan bertindak sebagai pengamat akan memberikan persepsi bahwa orang tersebut melakukan perilaku yang ditimbulkan secara eksternal.

Sebaliknya jika perilaku tersebut dianggap sebagai suatu hal yang biasa dilakukan, maka akan dinilai sebagai atribusi secara internal.

2) Konsensus, artinya jika setiap orang menghadapi situasi yang sama dan memberikan respons yang sama. Apabila konsekuensinya tinggi, maka termasuk atribusi yang ditimbulkan secara internal. Sebaliknya jika konsekuensinya rendah, maka termasuk atribusi yang ditimbulkan secara eksternal.

3) Konsistensi, yaitu jika seseorang menilai perilaku-perilaku orang lain dengan respon atau tanggapan yang sama dari waktu ke waktu. Semakin konsisten perilaku tersebut, maka orang akan menghubungkan perilaku tersebut dengan sebab-sebab internal.

(5)

18

Menurut Jatmiko (2006) kondisi internal dan eksternal sangat memengaruhi persepsi seseorang dalam membuat suatu penilaian mengenai perilaku orang lain. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak dapat timbul berdasarkan penilaian wajib pajak terhadap perilaku penggelapan pajak yang dilakukan oleh orang lain.

2.1.3 Tinjauan umum tentang pajak

Tinjauan umum tentang pajak dijabarkan menjadi beberapa bagian yaitu pengertian pajak, fungsi pajak, jenis pajak, stelsel pajak, asas pemungutan pajak, sistem pemungutan pajak, dan tarif pajak.

2.1.3.1 Pengertian pajak

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2.1.3.2 Fungsi pajak

Menurut Resmi (2011:3) fungsi pajak dibedakan menjadi dua, yaitu:

1) Fungsi budgetair (sumber keuangan negara) yaitu pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan.

(6)

19

2) Fungsi regularend (pengaturan) yaitu pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan.

2.1.3.3 Jenis pajak

Menurut Mardiasmo (2013:5) jenis pajak digolongkan menjadi tiga, yaitu:

1) Menurut golongannya, jenis pajak terdiri dari:

(1) Pajak langsung adalah pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain atau pihak lain.

(2) Pajak tidak langsung adalah pajak yang akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga.

2) Menurut sifatnya, jenis pajak terdiri dari:

(1) Pajak subjektif adalah pajak yang pengenaannya memperlihatkan pada keadaan pribadi wajib pajak atau pengenaan pajak yang memperhatikan pada subjeknya.

(2) Pajak objektif adalah pajak yang pengenaannya memperhatikan pada objeknya baik berupa benda, keadaan, perbuatan peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa memperhatikan keadaan pribadi subjek pajak (wajib pajak) maupun tempat tinggal.

(7)

20

3) Menurut lembaga pemungutannya, jenis pajak terdiri dari:

(1) Pajak Negara atau Pajak Pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara pada umumnya.

(2) Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Daerah Tingkat I maupun Daerah Tingkat II dan digunakan untuk membiayai rumah tangga masing-masing.

2.1.3.4 Stelsel pajak

Menurut Waluyo (2014:16) stelsel pajak dibagi menjadi tiga yaitu:

1) Stelsel nyata (riil stelsel) yaitu pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata, sehingga pemungutan baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan dapat diketahui.

2) Stelsel anggapan (fictive stelsel) yaitu pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang.

3) Stelsel campuran yaitu kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.

Pada awal tahun besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya.

(8)

21 2.1.3.5 Asas pemungutan pajak

Terdapat tiga asas yang digunakan untuk memungut pajak dalam Pajak Penghasilan menurut Waluyo (2014:16) yaitu:

1) Asas tempat tinggal artinya negara-negara mempunyai hak untuk memungut atas seluruh penghasilan wajib pajak berdasarkan tempat tinggal wajib pajak.

2) Asas kebangsaan yaitu pengenaan pajak dihubungkan dengan suatu negara.

3) Asas sumber artinya negara mempunyai hak untuk memungut pajak atas penghasilan yang bersumber pada suatu negara yang memungut pajak.

2.1.3.6 Sistem pemungutan pajak

Sistem pemungutan pajak dibagi menjadi tiga (Mardiasmo, 2013:7), yaitu:

1) Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

2) Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.

3) With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

(9)

22 2.1.3.7 Tarif Pajak

Menurut Mardiasmo (2013:9) tarif pajak dibedakan menjadi empat yaitu:

1) Tarif sebanding atau proporsional yaitu tarif berupa presentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.

2) Tarif tetap yaitu tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.

3) Tarif progresif yaitu presentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.

4) Tarif degresif yaitu presentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.

2.1.4 Wajib pajak

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 2 menjelaskan bahwa wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

2.1.5 Penggelapan Pajak

Menurut Harry Graham Balter dalam Zain (2007:49) penggelapan pajak mengandung arti sebagai usaha yang dilakukan oleh wajib pajak – apakah berhasil atau tidak – untuk mengurangi atau sama sekali menghapus utang pajak yang berdasarkan ketentuan yang berlaku sebagai pelanggaran terhadap perundang-

(10)

23

undangan perpajakan. Menurut Masri (2012:5) penggelapan pajak adalah usaha- usaha memperkecil jumlah pajak dengan melanggar ketentuan-ketentuan pajak yang berlaku. Pelaku tax evasion dapat dikenakan sanksi administratif maupun sanksi pidana.

Penggelapan pajak (tax evasion) adalah usaha yang dilakukan oleh wajib pajak untuk meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-undang.

Dikarenakan melanggar undang-undang, penggelapan pajak ini dilakukan dengan menggunakan cara yang tidak legal. Para wajib pajak sama sekali mengabaikan ketentuan formal perpajakan yang menjadi kewajibannya, memalsukan dokumen, atau mengisi data dengan tidak lengkap dan tidak benar (Mardiasmo, 2013).

Menurut Cohn (1998) dalam Rahhal (2014) terdapat dua hal yang berkaitan dengan penyebab terjadinya penggelapan pajak, yaitu:

1) Penggelapan pajak yang berkaitan dengan sistem perpajakan, terdiri dari:

(1) Pegawai pajak kurang efisiensi dalam menjalankan rencana audit pajak.

(2) Terjadinya korupsi administrasi perpajakan.

(3) Prosedur pemungutan pajak yang rumit.

(4) Lemahnya hukum pajak dalam menangani kasus penggelapan pajak dan penghindaran pajak.

2) Penggelapan pajak yang berkaitan dengan wajib pajak, terdiri dari:

(1) Etika wajib pajak itu sendiri.

(2) Kurangnya kesadaran wajib pajak tentang pentingnya membayar pajak.

(3) Beban pajak yang tinggi disebut sebagai alasan ekonomis dari penggelapan pajak.

(11)

24

Menurut Siahaan (2010:110) perilaku penggelapan pajak menimbulkan dampak negatif dalam tiga bidang sebagai berikut.

1) Dalam bidang keuangan

Dampak penggelapan pajak dalam bidang keuangan yaitu dapat menyebabkan ketidakseimbangan anggaran dan konsekuensi-konsekuensi lain yang berhubungan dengan kenaikan tarif pajak, inflasi, dan sebagainya.

2) Dalam bidang ekonomi

Dampak penggelapan pajak dalam bidang ekonomi yaitu:

(1) Penggelapan pajak sangat memengaruhi persaingan sehat diantara para pengusaha, sebab suatu perusahaan yang menggelapkan pajaknya dengan menekan biaya secara tidak legal, mereka mempunyai posisi yang lebih menguntungkan daripada saingan-saingan yang tidak berbuat demikian.

(2) Penggelapan pajak menyebabkan stagnasi perputaran roda ekonomi yang apabila perusahaan bersangkutan berusaha untuk mencapai tambahan dari keuntungannya dengan penggelapan pajak dan tidak mengusahakan dengan jalan perluasan aktivitas atau peningkatan usaha.

(3) Penggelapan pajak menyebabkan langkanya modal karena para wajib pajak yang menyembunyikan keuntungannya terpaksa berusaha keras untuk menutupinya agar tidak sampai terdeteksi oleh fiskus.

3) Dalam bidang psikologi

Dampak penggelapan pajak dalam bidang psikologi yaitu menyebabkan wajib pajak menjadi terbiasa untuk melakukan penggelapan pajak dengan melanggar undang-undang. Apabila wajib pajak sampai hati melakukan

(12)

25

penipuan dalam bidang fiskal, lambat laun wajib pajak tidak akan segan- segan berbuat sama dalam hal ini. Hal tersebut dapat menyebabkan dampak lain seperti: kemungkinan terungkapnya praktik penipuan tersebut dengan konsekuensi pembayaran pajak yang berlipat ganda karena meliputi utang pajak dalam waktu tertentu, ditambah dengan denda dan kenaikan pajak yang harus dibayarnya.

2.1.6 Sistem Perpajakan

Pada dasarnya, sistem perpajakan suatu negara merupakan refleksi dari kehidupan sosial, ekonomi, dan kebijakan publik (public policy) yang telah ditetapkan pemerintah, yang pada umumnya dalam bentuk perundang-undangan yang menentukan course of action yang harus dilaksanakan yang tercermin dalam berbagai keputusan yang diterbitkan oleh instansi yang bersangkutan (Zain, 2007:24). Sistem perpajakan dapat diartikan sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari unsur tax policy, tax law, dan tax administration yang saling berhubungan satu sama lain, bersinergi, bekerja sama secara harmonis untuk mencapai tujuan negara dalam target perolehan penerimaan pajak secara optimal (Rahayu, 2010).

Menurut McGee (2006) sistem perpajakan dan tarif pajak berkaitan dengan terjadinya korupsi dalam bentuk apapun. Jadi gambaran umum mengenai sistem pajak adalah tentang tinggi rendahnya tarif pajak dan pertanggungjawaban iuran pajak. Pertanggungjawaban yang dimaksud adalah iuran pajak tersebut digunakan untuk pengeluaran umum negara, atau justru dikorupsi oleh pemerintah maupun oleh para petugas pajak (Suminarsasi dan Supriyadi, 2011).

(13)

26

Sistem perpajakan berkaitan dengan prosedur yang memudahkan wajib pajak dalam menyetorkan pajaknya dan sosialisasi atau penyuluhan yang baik dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengenai akses penyetoran pajak (Suminarsasi dan Supriyadi, 2011). Pembinaan wajib pajak dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain pemberian penyuluhan pengetahuan perpajakan, baik melalui media massa maupun penerangan langsung kepada masyarakat (Siahaan, 2010:187).

Kewajiban untuk memperbaiki sistem perpajakan merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan secara terus-menerus dan sistem tersebut hendaknya selalu disesuaikan dengan keadaan yang mutakhir (up to date) yang sejalan dengan perubahan-perubahan aktivitas dan struktur perdagangan, perubahan dalam pola hidup keluarga dan pemilikan kekayaan serta perubahan-perubahan dalam tujuan ekonomi dan sosial masyarakat (Zain, 2007:23).

Sistem perpajakan di Indonesia saat ini memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang secara teratur sesuai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Sementara itu fiskus berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas-tugas pembinaan, pelayanan, pengawasan, dan penerapan sanksi perpajakan.

2.1.7 Keadilan

Menurut Adam Smith dalam (Zain, 2007:25) prinsip yang paling utama dalam rangka pemungutan pajak adalah keadilan dalam perpajakan yang dinyatakan dengan suatu pernyataan bahwa setiap warga negara hendaknya berpartisipasi dalam pembiayaan pemerintah, sedapat mungkin secara

(14)

27

proporsional sesuai dengan kemampuan masing-masing, yaitu dengan cara membandingkan penghasilan yang diperolehnya dengan perlindungan yang dinikmatinya dari negara. Asas keadilan pemungutan pajak menurut Richard A.

Musgrave dan Peggy B dalam Waluyo (2014:13) dibedakan menjadi dua yaitu:

1) Benefit Principle. Dalam perpajakan yang adil, setiap wajib pajak harus membayar pajak sejalan dengan manfaat yang dinikmatinya dari pemerintah, pendekatan ini disebut revenue and expenditure approach.

2) Ability Principle. Dalam pendekatan ini menyarankan agar pajak dibebankan kepada wajib pajak atas dasar kemampuan membayar.

Menurut Zain (2007:26) sistem perpajakan yang adil ialah adanya perlakuan yang sama terhadap orang atau badan yang berada dalam situasi ekonomi yang sama (misalnya mempunyai penghasilan tahunan yang sama) dan memberikan perlakuan yang berbeda-beda terhadap orang atau badan dalam keadaan ekonomi yang berbeda-beda. Keadaan pertama yaitu perlakuan yang sama terhadap penghasilan yang sama disebut sebagai keadilan secara horizon (horizontal equity), sedang yang kedua yang pada dasarnya berkenaan dengan distribusi beban pajak diantara masyarakat yang mempunyai penghasilan dan kekayaan yang berbeda-beda, lebih dikenal sebagai keadilan secara vertikal (vertical equity).

Prinsip keadilan sangat perlu diterapkan dengan baik mengingat sistem pemungutan pajak di Indonesia saat ini menggunakan self assesment system.

Tujuannya agar wajib pajak tidak melakukan penghindaran maupun penggelapan pajak sebagai bentuk perlawanan-perlawanan pajak karena wajib pajak merasa

(15)

28

diperlakukan secara tidak adil. Mardiasmo (2013) mengutarakan bahwa sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil.

Menurut Nickerson et al. (2009) pemerintah dapat dikatakan adil dalam memperlakukan masyarakatnya apabila uang pajak yang dibayarkan oleh masyarakat digunakan sebagaimana mestinya, yaitu untuk pengeluaran umum negara, tidak untuk kepentingan pribadi pemerintah. Pemerintah juga dapat dikatakan adil apabila pengenaan dan pemungutan pajak terhadap masyarakat diperlakukan dengan sama. Kondisi ini akan terlihat dari undang-undang pajak yang telah disusun dan dilaksanakan (Suminarsasi dan Supriyadi, 2011).

2.1.8 Teknologi perpajakan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) teknologi dibedakan menjadi dua definisi, yaitu: 1) Metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis ilmu pengetahuan terapan 2) Keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia. Jadi dapat disimpulkan bahwa teknologi perpajakan merupakan metode yang dikembangkan dalam bidang perpajakan untuk menyediakan kebutuhan masyarakat demi kenyamanan dan kemudahan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Perkembangan teknologi dimanfaatkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk melakukan modernisasi perpajakan. Tujuan penggunaan teknologi informasi dalam perpajakan adalah menghemat waktu, mudah, akurat, dan menghemat penggunaan kertas.

(16)

29

Salah satu bentuk modernisasi perpajakan dengan menggunakan teknologi informasi adalah E-system perpajakan. E-system perpajakan terdiri dari e- registration, e-filling, e-SPT, e-NJOP, e-NPWP, e-billing, dan e-faktur. Tujuan

adanya E-system perpajakan yaitu untuk mempermudah wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya dan meningkatkan pelayanan terhadap wajib pajak, baik dari segi kualitas maupun waktu sehingga lebih efektif.

Hendaknya informasi yang akan digunakan untuk kepentingan mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dapat dengan mudah diperolehnya melalui pembukuan komersial dan sebagian besar wajib pajak tidak memerlukan bantun konsultan pajak dalam pengisian SPT-nya (Zain, 2007:29).

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Ayu dan Hastuti (2009), Permatasari dan Laksito (2013), dan Ardyaksa (2014) mengemukakan bahwa masih banyak wajib pajak yang masih menggunakan fasilitas-fasilitas perpajakan secara manual, jarang membuka website DJP, dan belum memaksimalkan kemudahan yang ditawarkan oleh DJP kepada wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya. Hal ini diperkuat dengan hasil analisis deskriptif responden atas pernyataan yang mana mayoritas responden masih jarang menggunakan fasilitas teknologi dan informasi perpajakan seperti e-registration, e-SPT, e- filling, dan online payment (Ardyaksa, 2014).

(17)

30 2.2 Hipotesis Penelitian

Berikut ini akan dijabarkan mengenai hipotesis penelitian dalam penelitian ini.

2.2.1 Pengaruh sistem perpajakan pada persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak

Pengaruh sistem perpajakan pada persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak didasari oleh teori atribusi eksternal. Teori atribusi eksternal merupakan perilaku yang dipengaruhi dari luar individu, artinya individu akan berperilaku bukan karena keinginannya sendiri, melainkan karena desakan atau keadaan yang tidak bisa terkontrol (Robbins, 2015:105). Jadi dapat diartikan bahwa wajib pajak akan berperilaku sesuai dengan pandangan mereka mengenai penggelapan pajak yang dipengaruhi oleh kondisi eksternal yaitu berkaitan dengan pelaksanaan sistem perpajakan.

Kondisi eksternal yang memengaruhi persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak yaitu bagaimana pertanggungjawaban pemerintah dalam menggunakan uang pajak, apakah digunakan untuk pengeluaran umum negara atau justru disalahgunakan oleh pemerintah maupun oleh petugas pajak (Suminarsasi dan Supriyadi, 2011). Semakin baik pelaksanaan sistem perpajakan maka perilaku penggelapan pajak dianggap tidak baik, sebaliknya semakin buruk pelaksanaan sistem perpajakan maka perilaku penggelapan pajak cenderung dianggap baik.

Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rachmadi (2014) yang menyatakan bahwa sistem perpajakan berpengaruh negatif pada persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak. Handyani dan Cahyonowati

(18)

31

(2014), Ginanjar (2014), dan Ningsih (2015) juga menyatakan hal serupa bahwa sistem perpajakan berpengaruh negatif pada persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak.

Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis menarik hipotesis sebagai berikut.

H1: Sistem perpajakan berpengaruh negatif pada persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak.

2.2.2 Pengaruh keadilan pada persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak

Pengaruh keadilan pada persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak didasari oleh teori atribusi eksternal. Teori atribusi eksternal merupakan perilaku yang dipengaruhi dari luar individu, artinya individu akan berperilaku bukan karena keinginannya sendiri, melainkan karena desakan atau keadaan yang tidak bisa terkontrol (Robbins, 2015:105). Jadi dapat diartikan bahwa wajib pajak akan berperilaku sesuai dengan pandangan mereka mengenai penggelapan pajak yang dipengaruhi oleh kondisi eksternal yaitu berkaitan dengan keadilan yang diberikan oleh pemerintah.

Kondisi eksternal yang memengaruhi persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak yaitu apabila uang pajak yang dibayarkan oleh masyarakat digunakan sebagaimana mestinya serta pengenaan dan pemungutan pajak terhadap masyarakat diperlakukan dengan sama (Nickerson et al., 2009). Semakin tinggi tingkat keadilan yang dilakukan pemerintah, maka perilaku penggelapan pajak dianggap tidak baik, sebaliknya semakin rendah tingkat keadilan yang dilakukan

(19)

32

pemerintah, maka perilaku penggelapan pajak cenderung dianggap baik. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Handyani dan Cahyonowati (2014) dan Ginanjar (2014) yang menyatakan bahwa keadilan berpengaruh negatif pada persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak.

Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis menarik hipotesis sebagai berikut.

H2: Keadilan berpengaruh negatif pada persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak.

2.2.3 Pengaruh teknologi perpajakan pada persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak

Pengaruh teknologi perpajakan pada persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak didasari oleh teori atribusi eksternal. Teori atribusi eksternal merupakan perilaku yang dipengaruhi dari luar individu, artinya individu akan berperilaku bukan karena keinginannya sendiri, melainkan karena desakan atau keadaan yang tidak bisa terkontrol (Robbins, 2015:105). Jadi dapat diartikan bahwa wajib pajak akan berperilaku sesuai dengan pandangan mereka mengenai penggelapan pajak yang dipengaruhi oleh kondisi eksternal yaitu berkaitan dengan teknologi perpajakan.

Kondisi eksternal yang memengaruhi persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak yaitu bagaimana penerapan teknologi terkini dalam pelayanan perpajakan (Ayu dan Hastuti, 2009). Semakin baik teknologi perpajakan yang ada maka perilaku penggelapan pajak dianggap tidak baik, sebaliknya semakin buruk teknologi perpajakan yang ada maka perilaku penggelapan pajak cenderung

(20)

33

dianggap baik. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Permatasari dan Laksito (2013) dan Ardyaksa (2014) yang menyatakan bahwa teknologi perpajakan berpengaruh negatif terhadap persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak.

Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis menarik hipotesis sebagai berikut.

H3: Teknologi perpajakan berpengaruh negatif pada persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan bagi para pembeli tanah, dampak yang ditimbulkan antara lain pembeli tidak dapat membangun apabila tanah kapling tersebut tidak sesuai dengan peruntukan

RSIA Permata Bunda pengolahan data pasien rawat inap telah dilakukan komputer tetapi pengunaan sarana komputer tidak dilakukan dengan secara maksimal sehingga hasil

Di dalam pokok pembahasan peserta didik akan mempelajari bagaimana cara perkembangbiakan hewan dan perkembangbiakan tumbuhan secara langsung dan khusus, media pop up book ini

Keadilan prosedur juga akan meningkatkan kepuasan kerja, bukan karena semata-mata bertujuan untuk menghasilkan outcome yang lebih adil, tetapi karena dapat menyebabkan

Dalam keseimbangan pada film Slepping Beauty, lebih memperlihatkan bagaimana kehidupan raja dan ratu, ketika mereka telah mempunyai seorang anak yang telah lama mereka

Abdullah bin Mubarok berkata, “Sungguh mengembalikan satu dirham yang berasal dari harta yang syubhat lebih baik bagiku daripada bersedeqah dengan seratus ribu dirham”..

Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat dan rahmat Allah SWT sehingga Penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Penulisan Hukum

Pada percobaan lanjutan tahun kedua (2010), pengaruh residu dan pemberian kapur tambahan sebagai perawatan tanah sebesar 25% takaran yang diberikan pada tahun pertama, dengan