• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAK BERDAULAT ATAS SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN UNTUK PANGAN DAN PERTANIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HAK BERDAULAT ATAS SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN UNTUK PANGAN DAN PERTANIAN"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

HAK BERDAULAT ATAS SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN UNTUK PANGAN DAN PERTANIAN

Isna Fatimah

Pembimbing: Melda Kamil Ariadno dan Arie Afriansyah

ABSTRAK

Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian (SDGT) merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan seluruh umat manusia sehingga pemanfaatannya menjadi kepentingan semua negara. Fakta bahwa ketergantungan atas SDGT antar negara sangat besar membuat negara-negara menginginkan akses ke SDGT harus dibuka untuk siapa saja. Meski demikian, negara-negara juga tidak sepakat untuk mengakui SDGT sebagai Common Heritage of Mankind.

Sementara itu, karena nilainya yang sangat potensial, bioprospecting atas SDGT banyak dilakukan sehingga dorongan untuk menerapkan rezim Hak Kekayaan Intelektual atas SDGT tidak terelakkan. Sebagai upaya mengakomodir kepentingan semua negara atas SDGT, International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture mengakui bahwa negara mempunyai hak berdaulat atas SDGT yang diikuti dengan kewajiban membuka akses dan pembagian keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatannya melalui sistem multilateral. Penelitian ini bertujuan menjelaskan latar belakang sampai diadopsinya prinsip hak berdaulat atas SDGT serta menganalisis penerapannya di Brazil, Amerika Serikat, Jerman, Cina dan Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa negara-negara tersebut mengakui prinsip hak berdaulat atas SDGT yang diejawantahkan dalam kegiatan eksploitasi, mekanisme akses dan pembagian keuntungan, pemenuhan hak petani dan perlindungan atas pengetahuan tradisional. Namun, penerapan hak berdaulat di tiap-tiap negara tersebut belum dapat diimplementasikan secara utuh.

Kata Kunci : Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian, International Treaty on Plant Genetic Resources, Hak Berdaulat, Akses dan Pembagian Keuntungan.

(2)

PENDAHULUAN

Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian (SDGT) merupakan sumber daya yang memegang peranan sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia di dunia di antara jenis Sumber Daya Genetik (SDG) lain. Terdapat beberapa kekhasan dari SDGT ini yang menyebabkan masyarakat internasional memandang perlu untuk diatur secara sui generis.1 Kekhasan SDGT dibandingkan SDG lain diantaranya peran SDGT untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok manusia sangat besar; ketergantungan antar negara dalam rangka memenuhi kebutuhan SDGT masing-masing sangat tinggi;2 banyak komponen dari SDGT yang tidak bisa bertahan hidup tanpa campur tangan manusia; SDGT sebagian besar dikelola oleh petani. Salah satu yang terpenting dari kekhasannya adalah SDGT merupakan sumber daya alam yang menurut rangkaian sejarah telah tersebar dari wilayah asal ke berbagai wilayah lain.3 Artinya, banyak SDGT yang semula hanya dapat ditemukan di wilayah tertentu, kini dapat ditemukan di berbagai wilayah lain karena telah disebarkan baik secara alamiah maupun disengaja oleh tangan manusia.4

Pemanfaatan SDGT menjadi kepentingan global sehingga masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanannya menjadi tantangan bagi masyarakat internasional untuk dicari jalan keluar. Jalan keluar ini salah satunya dengan membangun kerjasama internasional terutama melalui perjanjian interansional yang mengatur hal-hal berkaitan dengan SDGT. Adapun masalah mendasar dalam pemanfaatan SDGT yang mendorong dibentuknya perjanjian internasional tersebut terdiri dari tiga                                                                                                                          

1Gerald Moore dan Witold Tymowski, Explanatory Guide to the International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture. (Cambridge: International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, 2005), hlm. 19. Instrumen hukum Internasional yang mengatur khusus tentang Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian ini adalah International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture. Sebelumnya, payung hukum yang melindungi diakomodir oleh Convention on Biological Diversity, tetapi kemudian dalam pertemuan Nairobi, negara anggota CBD bersepakat untuk membuat pengaturan lebih khusus tentang SDGT ini.

2Christine Frison, Fransisco Lopez, and Jose T. Esquinaz-Alcazar, ed., Plant Genetic Resources and food Security: Security Perspectives on the International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture, (London dan New York: FAO, Bioversity International and Earthscan, 2011), hlm. 9.

3 Moore, loc. cit.

4 Ibid, hlm. 19.

(3)

faktor utama yaitu kebutuhan untuk mempertahankan keragaman SDG Tanaman, mewujudkan ketahanan pangan, dan mengatasi perubahan iklim.5

Berdasarkan Convention on Biological Diversity, prinsip yang berlaku atas Sumber Daya Genetik (SDG) adalah Hak Berdaulat (sovereign right). Prinsip ini kemudian diadopsi pula dalam International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture yang mengatur khusus SDGT.

Pokok-pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Bagaimana perkembangan konsep pemanfaatan Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian dalam lingkup internasional?

2. Bagaimana pengaturan internasional tentang hak berdaulat atas Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian?

3. Bagaimana penerapan konsep hak berdaulat atas Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian di Brazil, Amerika Serikat, Jerman, Cina, dan Indonesia?

PEMBAHASAN

Pemanfaatan SDGT sangat dipengaruhi oleh konsep kepemilikan yang menaunginya. Konsep kepemilikan SDGT ini juga memengaruhi kebijakan pelestarian SDGT. Konsep kepemilikan yang berpengaruh terhadap konsep kepemilikan SDGT salah satunya adalah common heritage.6 Akan tetapi, konsep common heritage of mankind (CHM) dipandang tidak sesuai mengingat karakter SDGT tidak dapat disamakan dengan karakter Sumber Daya Alam di International Sea Bed Area karena SDGT berada di dalam wilayah kedaulatan yang jelas. Selain itu, tuntutan atas perlunya memperhatikan lingkungan dan menjamin keberlanjutan SDGT terus bertambah sehingga berkembanglah pemikiran tentang prinsip hak berdaulat (sovereign right). Seiring dengan tuntutan melakukan pelestarian, SDGT yang juga dipandang sebagai komoditas penting dalam dunia perdagangan menjadi                                                                                                                          

5 Food and Agriculture Organization (FAO) (a), Introduction to the International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture, (FAO: Rome, 2012), hlm. 6-9.

6 Graham Dutfield (a), Intellectual Property, Biogenetic Resources, and Traditional Knowledge, (London: Earthscan, 2004), hlm. 10.

(4)

bagian dari kesepakatan dagang internasional yang menuntut diterapkan perlindungan dan pengelolaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).7

Sepanjang Abad 21, SDGT telah menjadi objek HKI yang ketika dimasukkan dalam lingkup pengaturan perdagangan dunia seperti Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) akan menimbulkan masalah bagi upaya pelestarian keragaman genetik.8 Tuntutan dari Negara Selatan adalah agar rezim yang berlaku atas SDGT adalah kedaulatan. Selain itu, menurut Negara Selatan, bila SDGT asli dipandang sebagai CHM, maka semua varietas hasil pengembangannya—yang telah dikembangkan oleh Negara Utara—harus pula diklasifikasikan sebagai CHM.9 Di sisi lain, Negara Utara berpendapat bahwa suatu SDGT yang belum diteliti sama dengan belum diketahui nilainya, sehingga belum dapat dimanfaatkan. Berfokus pada dibukanya akses memperoleh SDGT dan diperkuatnya perlindungan HKI, argumen ini menyatakan bahwa untuk mengembangkan varietas tanaman baru diperlukan mekanisme perlindungan yang kuat bagi pemulia.10 Negara Utara menolak pengakuan rezim kedaulatan atas SDGT karena dipandang dapat membatasi akses ke SDGT yang mana merupakan kebutuhan seluruh umat manusia.

Adanya perselisihan antara penerapan konsep CHM dan HKI atas SDGT sendiri, akhirnya memunculkan suatu konsep yang dipandang mampu menengahi keduanya, yaitu konsep Hak Berdaulat (sovereign right). Konsep Hak Berdaulat atas SDG pertama kali diperkenalkan dalam Convention on Biological Diversity 1992 (CBD) yaitu Hak Berdaulat atas SDG secara general. Pasal 3 CBD menyatakan bahwa:

                                                                                                                         

7 Efridani Lubis, “Penerapan Konsep Sovereign Right dan Hak Kekayaan Intelektual dalam Perspektif Perlindungan dan Pemanfaatan SDG Indonesia,” (Disertasi: Universitas Indonesia, 2009), hlm. 75.

8 Keith Aoki dan Kennedy Luvai, “Reclaiming ‘Common Heritage’ Treatment in The International Plant Genetic Resources Regime Complex,” (Michigan State Law Review, 2007), sebagaimana dikutip Lubis, op. cit., hlm. 36.

9 Lubis, op. cit., hlm. 96.

10 James O. Odek, “ Biopiracy: Creating Propietary Rights In Plant Genetic Resources,”

(Journal of Intellectual Property Right Association, 1994), www.westlaw.com, diakses pada 9 April 2013.

(5)

States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction.

CBD merupakan instrumen hukum internasional pertama yang memberikan hak berdaulat pada negara atas SDG yang ada di wilayahnya dan menghasilkan kewenangan untuk mengatur dan mengawasi akses ke SDG.11 Konsep ini merupakan jawaban dari protes atas ketidakadilan yang terjadi bila konsep CHM berlaku atas SDG Tanaman. Penggunaan konsep CHM atas SDG telah ditolak dalam pembahasan pembentukan CBD. Konsep yang diterima adalah hak berdaulat, yang bersandar pada prinsip ’common concern’. Prinsip common concern mengatur bahwa tanggungjawab atas SDG didasarkan pada kepentingan masyarakat internasional secara keseluruhan.12

Pasal 3 CBD memasukkan pengaturan yang sejalan dengan Prinsip 21 Deklarasi Stockholm yang menyatakan bahwa negara mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alam mereka sendiri sesuai dengan kebijakan lingkungan nasional.13 Pasal 15 CBD kemudian menyatakan bahwa hak berdaulat atas sumber daya alam yang negara miliki menjadi landasan bagi negara untuk mengatur akses ke SDG.14

Penekanan dalam CBD diberikan pada tanggung jawab negara atas sumber daya alam yang ada di yurisdiksinya sendiri. Dalam preamble dinyatakan bahwa negara bertanggungjawab melakukan konservasi atas keanekaragaman hayati dengan berdasar pada pemanfaatan yang berkelanjutan.15

                                                                                                                         

11 Lyle Glowka et. al, A Guide to the Convention on Biological Diversity, (International Union for Conservation of Nature and Natual Law (IUCN), 1996), hlm. 76.

12 Ibid, hlm. 3.

13 Susette Biber-Klemm, Thomas Cottier, dan Danuta Szymura Berglas, Rights to Plant Genetic Resources and Traditional Knowledge, (The Swiss Agency for Development and Cooperation, 2006), hlm. 57.

14 Glowka, op. cit., hlm. 3.

15 Ibid., hlm. 10.

(6)

Affirming that the conservation of biological diversity is a common concern of humankind,

Reaffirming that States have sovereign rights over their own biological resources,

Reaffirming also that States are responsible for conserving their biological diversity and for using their biological resources in a sustainable manner,

Di dalam ketiga preamble tersebut, secara berurutan dinyatakan bahwa CBD mengakui konsep common concern of humankind, hak berdaulat, dan tanggung jawab negara. Dengan penegasan konsep common concern of humankind, CBD juga menekankan bahwa negara tetap memiliki hak berdaulat atas sumber daya hayati ‘mereka’.16 Istilah common concern of humankind di sini dimasukkan dengan tujuan untuk menekankan bahwa seluruh umat manusia mempunyai kepentingan untuk memastikan dilakukan konservasi keanekaragaman hayati sebagai hal esensial bagi keberlangsungan hidup manusia di dunia.17 Selain memiliki hak berdaulat, negara memegang tanggung jawab terhadap konservasi keanekaragaman hayatinya dan ketika memanfaatkan sumber daya hayati tersebut, pemanfaatannya harus dilakukan dengan cara berkelanjutan.18 Paragraf ketiga tersebut menjadi penghubung jarak antara konsep common concern of humankind dan konsep hak berdaulat.19

Terdapat dua pembatasan dari kegiatan eksploitasi atas SDG yaitu pertama, berkaitan dengan tanggung jawab untuk memastikan perlindungan lingkungan yang telah melewati batas-batas negara. Dengan kata lain, perlindungan lingkungan di yurisdiksi negara lain harus diperhatikan oleh negara ketika melaksanakan hak berdaulatnya. Artinya, pelaksanaan hak berdaulat tidak boleh sampai mencemari lingkungan negara lain, yang dikenal dengan istilah ‘non-harm principle.’ Non-harm principle mensyaratkan negara untuk melakukan tindakan yang terbaik untuk

                                                                                                                         

16 Pengertian ‘mereka’ merujuk pada hak milik (property right), tapi terminologi tersebut digunakan untuk memudahkan pengertian sesungguhnya yaitu yurisdiksi dari negara tertentu.

Sehingga diartikan sebagai sumber daya hayati yang ada di yurisdiksi negara itu sendiri.

17 Ibid.

18 Dutfield (a), op. cit., hlm 5.

19 Glowka, op. cit., hlm. 10.

(7)

mencegah kerusakan lingkungan terhadap negara lain yang sering diasosiasikan dengan kerusakan lingkungan lewat polusi air dan udara. 20

Batasan lain dari penerapan hak berdaulat ini adalah pelaksanaannya harus sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan prinsip Hukum Internasional. Negara, dalam menerapkan hak berdaulat harus memperhatikan berbagai kebijakan yang diatur dalam Piagam PBB. Kebijakan yang dimaksud mencakup pemberian dukungan untuk menciptakan standar hidup lebih tinggi dan mencari solusi bagi masalah-masalah ekonomi, sosial, dan kesehatan dalam lingkup internasional. Tujuan-tujuan tersebut tidak boleh dicapai dengan mengesampingkan konservasi lingkungan.21

Lahirnya CBD mendesak agar segera dilakukan perbaikan atas International Undertaking dengan tujuan untuk mengharmonisasikan kedua instrumen tersebut.

Negosiasi membahas perbaikan dari International Undertaking dilakukan oleh Komisi FAO untuk SDGT (the FAO Commission on Genetic Resources for Food and Agriculture).22 Hasil negosiasi ini nantinya mengarah kepada terbentuknya ITPGRFA.23

International Undertaking sendiri merupakan instrumen hukum internasional komprehensif pertama yang mengatur tentang SDGT. Instrumen hukum ini diadopsi pada tahun 1983 oleh Konferensi FAO melalui Resolusi 8/83. International Undertaking merupakan voluntary agreement sehingga tidak mengikat secara hukum.24 Setelah lahir CBD, mulailah diinisiasi pembentukan pengaturan yang mengikat, yang menerapkan prinsip hak berdaulat atas SDGT, dengan kata lain,

                                                                                                                         

20 Ibid.

21 Ibid.

22 Pertama kali dibentuknya komisi ini hanya dimandatkan untuk mengatur masalah SDGT sehingga namanya hanya ‘Commission on Plant Genetic Resources’. Sejak tahun 1995, dalam konferensi negara-negara anggota FAO, komisi tersebut diperluas mandatnya hingga mencakup keanekaragaman hayati yang berkaitan dengan SDGT sehingga namanya diubah menjadi Commission on Genetic Resources for Food and Agriculture.

23 FAO (a), op. cit., hlm. 61.

24 Ibid, hlm. 68.

(8)

membuat pembaharuan atas International Undertaking yang masih menganggap SDGT sebagai CHM.25 Hasilnya adalah dilahirkannya ITPGRFA.

Prinsip hak berdaulat dalam ITPGRFA diatur dalam Pasal 10 tentang Sistem Multilateral Akses dan Pembagian Keuntungan:

10.1 In their relationships with other States, the Contracting Parties recognize the sovereign rights of States over their own plant genetic resources for food and agriculture, including that the authority to determine access to those resources rests with national governments and is subject to national legislation.

10.2 In the exercise of their sovereign rights, the Contracting Parties agree to establish a multilateral system, which is efficient, effective, and transparent, both to facilitate access to plant genetic resources for food and agriculture, and to share, in a fair and equitable way, the benefits arising from the utilization of these resources, on a complementary and mutually reinforcing basis.

Hak berdaulat pada prinsipnya berarti negara memiliki kekuasaan dan yurisdiksi untuk mengatur pendistribusian, pemanfaatan, dan kepemilikan dari sumber daya alam dan aset (baik yang berwujud maupun tidak berwujud) yang ada di dalam wilayah kedaulatannya.26 Dalam ITPGRFA, pengakuan hak berdaulat atas SDGT mencakup bahwa negara-negara dapat saling memperoleh keuntungan dari adanya sistem multilateral yang efektif untuk akses yang tersedia bagi seleksi SDGT yang disetujui bersama dan bagi pembagian keuntungan yang adil dan merata yang dihasilkan dari pemanfaatannya.27 Secara singkat, dapat diartikan hak berdaulat di                                                                                                                          

25 Pasal 1 ayat (1) International Undertaking menyatakan bahwa: “Ketentuan tersebut menyatakan: The objective of this Undertaking is to ensure that plant genetic resources of economic and/or social interest, particularly for agriculture, will be explored, preserved, evaluated and made available for plant breeding and scientific purposes. This Undertaking is based on the universally accepted principle that plant genetic resources are a heritage of mankind and consequently should be available without restriction.

26 Carlos M. Correa, “Sovereign and Property Rights Over Plant Genetic Resources,”

disampaikan dalam FAO background study paper No. 2, Commission on Plant Genetic Resources, First Extraordinary Session, di Roma, 7-11 November 1994.

27 Indonesia (b), Undang-Undang tentang Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian), LN No. 23 Thn 2006, TLN No. 4612., Terjemahan resmi salinan naskah asli, preamble.

(9)

sini memberikan kewenangan kepada negara untuk mengatur akses terhadap SDGT di wilayahnya sekaligus memperoleh keuntungan dari tindak lanjut pemberian akses tersebut. Dengan kata lain di sini, terjadi perubahan dari konsep-konsep awal.

Konsep CHM bahwa semua negara berhak mengakses SDGT ditinggalkan sementara konsep perlindungan HKI tetap diakui dengan syarat-syarat tertentu yang ditentukan oleh hukum nasional masing-masing negara.

Berjalannya fungsi Sistem Multilateral tidak bertentangan dengan hak berdaulat negara-negara anggota karena justru sistem tersebut dibangun berdasarkan kehendak negara-negara dengan menggunakan hak berdaulatnya masing-masing. Konsep hak berdaulat dan kewenangan pemerintah tiap-tiap negara untuk menentukan akses ke SDG sendiri merupakan konsep inti dari CBD.

Ketentuan pasal ini merupakan ketentuan yang mengaitkan ITPGRFA dengan CBD.28 Kesamaan konsep antara CBD dan ITPGRFA dapat menjadi jawaban pertanyaaan tentang kegiatan pemanfaatan apa yang dapat dilakukan atas SDGT berdasarkan ITPGRFA. Kegiatan pemanfaatan yang dimaksud adalah kegiatan eksploitasi sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam Pasal 3 CBD. Adapun pelaksanaan sistem multilateral yang dimaksud dalam Pasal 10 tersebut juga sejalan dengan Pasal 15 ayat (2) CBD: “Each Contracting Party shall endeavour to create renditions to facilitate access to genetic resources for environmentally sound uses by other Contracting Parties and not to impose restrictions that run counter to the objectives of this Convention.”

Ketentuan Pasal 10 ITPGRFA menekankan dua bentuk sistem multilateral yaitu fasilitasi akses ke SDGT dan pembagian keuntungan yang timbul dari pemanfaatan SDGT dengan adil dan seimbang. Dua mekanisme tersebut harus dijalankan berdampingan dan saling melengkapi. Penyediaan fasilitas tidak bisa dipisahkan dengan pembagian keuntungan, demikian pula sebaliknya. Justru dua mekanisme tersebut satu sama lain saling melengkapi dan menjadi komponen yang memperkuat sistem multilateral.29 Pasal 10 ayat (2) ITPGRFA menyatakan bahwa tujuan dari sistem multilateral harus dicapai melalui tindakan yang efisien, efektif, dan transparan.

                                                                                                                         

28 Moore dan Tymowski, op. cit., hlm. 79.

29 Ibid., hlm. 80.

(10)

Adapun mekasime fasilitasi ABS diwujudkan dalam Perjanjian Pengalihan Material (Material Transfer Agreement, MTA) yang diadopsi oleh governing body.

Governing body dalam hal ini akan menentukan syarat dan kondisi untuk akses ke SDG dan pembagian keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatannya. ITPGRFA membangun beberapa ketentuan mandatoir dan kondisi yang terkandung dalam MTA tetapi membiarkan beberapa isu yang dapat dinegosiasikan dengan governing body. Akses akan diberikan bagi kegiatan pemanfaatan dan konservasi dalam penelitian, pemuliaan dan pelatihan untuk pangan dan pertanian.30

Sementara mengenai pembagian keuntungan, diatur lebih lanjut dalam Pasal 13 ayat (2) ITPGRFA yaitu bahwa pelaksanaannya harus dilakukan secara adil dan seimbang melalui mekanisme pertukaran informasi, akses terhadap teknologi dan alih teknologi, pengembangan kapasitas, dan pembagian keuntungan moneter dan bentuk lainnya dari komersialisasi SDGT. Kemudian dalam Pasal 13 ayat (3)-nya, ditegaskan bahwa pembagian keuntungan diserahkan kepada sistem multilateral untuk disalurkan baik secara langsung maupun tidak langsung terutama kepada petani-petani. Petani yang dimaksud di sini diutamakan adalah petani yang ada di negara berkembang atau negara yang sedang dalam masa peralihan ekonomi, yang secara berkelanjutan memanfaatkan serta melestarikan SDGT.

ITPGRFA berbeda dengan instrumen hukum lain yang juga mengatur tentang SDG, termasuk CBD, yang memperluas penguasaan individu dan kedaulatan serta pembatasan atas SDG-nya dilakukan melalui hubungan bilateral.

Perbedaan ini terlihat dengan dibentuknya pendekatan multilateral yang menyediakan standar protokol dan bentuk kerjasama bagi semua negara anggota.31

Perbedaan berikutnya antara ITPGRFA dengan CBD adalah CBD mengatur keanekaragaman hayati secara keseluruhan dan membangun mekanisme kerjasama dalam konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman hayati. CBD menciptakan komitmen spesifik terkait SDG, yaitu berupa ABS. Selain mengakomodir kepentingan ekonomi dan sosial dalam penggunaan                                                                                                                          

30 UNEP, “Analysis of Existing National, Regional, and International Legal Instruments Relating to Access and Benefit-Sharing and Experience Gained in Their Implementation, Including Identification of Gaps,” (Ad-Hoc Open-Ended Working Group on Access and Benefit-Sharing Third Meeting, Bangkok 14-18 February 2005, UNEP/CBD/WG-ABS/3/2), hlm. 2.

31 Ibid, hlm. 9.

(11)

keanekaragaman hayati, tujuan utama CBD sebenarnya adalah lebih menekankan pada kepentingan lingkungan.32 Di sisi lain, ITPGRFA mengatur tentang isu spesifik seputar konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari SDGT sedangkan tujuannya lebih ditekankan pada upaya penanganan masalah pangan dan pertanian. Karena masalah pangan dan pertanian menimbulkan ketergantungan yang demikian besar antar negara satu dengan lainnya, maka negara-negara anggota ITPGRFA sepakat untuk membangun Sistem Multilateral untuk ABS. Sistem ini tidak bertentangan dengan CBD, hanya saja negara-negara anggota ITPGRFA sepakat agar akses SDGT di antara mereka dilakukan tidak melalui kesepakatan bilateral melainkan multilateral.33 Berdasarkan ITPGRFA, SDGT dipertukarkan melalui Standard Material Transfer Agreement (SMTA) dan dapat diperoleh dengan bebas untuk kepentingan penelitian, pemuliaan, konservasi, dan pelatihan.34

Dewasa ini, ketentuan HKI yang paling berpengaruh di dunia dalah Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs).

Ketentuan dalam TRIPs yang berkaitan dengan SDG Tanaman35 tertuang dalam Pasal 27 ayat (3) huruf b yang berbunyi sebagai berikut:

Members may also exclude from patentability: (b) plants and animals other than micro-organisms, and essentially biological processes for the production of plants or animals other than non-biological and microbiological processes. However, Members shall provide for the protection of plant varieties either by patents or by an effective sui generis system or by any combination thereof. The provisions of this subparagraph shall be reviewed four years after the date of entry into force of the WTO Agreement.

                                                                                                                         

32 Moore dan Tymowski, op. cit., hlm. 11.

33 Ibid.

34 Melissa, op. cit., hlm. 11.

35 Ketentuan Pasal 27 ayat (3) huruf b TRIPs ini dikenal dengan sebutan “Biotechnology Clause”.

(12)

Dibolehkannya negara memberikan pengecualian bagi tanaman dan hewan sebagai objek paten serta diwajibkannya memberikan perlindungan bagi varietas tanaman menjadi salah satu isu paling kontroversial dalam rezim HKI.36

Ketentuan dalam CBD yang berkaitan dengan HKI khususnya dalam pembahasan ini perlindungan yang diberikan oleh TRIPs, terdapat dalam Pasal 16 ayat (5) dan Pasal 22 ayat (1) CBD. Pasal 16 ayat (5) menyatakan bahwa penegakan perlindungan terhadap HKI oleh negara anggotanya harus berkesesuaian dan tidak boleh bertentangan dengan tujuan dari CBD tetapi tetap sesuai dengan hukum nasional dan hukum internasional.37 Sedangkan Pasal 22 ayat (1) mengatur bahwa ketentuan-ketentuan dalam CBD tidak akan memengaruhi hak dan kewajiban negara anggotanya yang diperoleh dari perjanjian internasional lain yang berlaku kecuali pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut menyebabkan kerusakan serius atau berbahaya bagi keanekaragaman hayati.38

Suatu negara yang tunduk pada TRIPs dan CBD akan mengalami masalah dalam menerapkan keduanya mengingat masing-masing memiliki tujuan yang cenderung saling bertentangan:39

(1) fokus TRIPs adalah melindungi inventor yang telah menginvensi suatu informasi genetik tertentu sedangkan fokus CBD adalah melindungi petani dan masyarakat adat yang telah mengkreasikan dan mengonservasi informasi genetik;

(2) TRIPs tidak mengenal klaim berdasarkan hak kolektif sehingga mekanisme pembagian keuntungan yang dianut oleh CBD tidak bisa diterima konsep HKI yang melindungi individu;

                                                                                                                         

36 The United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dan the International Centre for Trade and Sustainable Development (ICTSD), Resource Book on TRIPS and Development, (New York: Cambridge University Press, 2005), hlm. 388.

37 CBD (a), op. cit., Art. 16 Par. 5: “...The Contracting Parties, recognizing that patents and other intellectual property rights may have an influence on the implementation of this Convention, shall cooperate in this regard subject to national legislation and international law in order to ensure that such rights are supportive of and do not run counter to its objectives.”

38 Ibid, Art. 22: “...The provisions of this Convention shall not affect the rights and obligations of any Contracting Party deriving from any existing international agreement, except where the exercise of those rights and obligations would cause a serious damage or threat to biological diversity.

39 Lekha Laxman, “The Interface Between TRIPS dan CBD: Efforts Towards Harmonisation,”

(Journal of International Trade Law & Policy, Emerald Group Publishing Limited, 2013).

(13)

(3) TRIPs memberikan keuntungan dari hasil invensi kepada inventor saja atau pihak yang memegang HKI sedangkan CBD juga memberi insentif kepada pihak yang telah berjasa melestarikan SDG aslinya (yang belum dikembangkan).

Dilihat dari perbedaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketentuan CBD pada akhirnya akan mudah terkesampingkan oleh TRIPs terutama bila sudah dikaitkan dengan bioprospecting.40 Tidak hanya terhadap CBD, penerapan TRIPs juga memiliki pertentangan dengan penerapan ITPGRFA. Dalam ITPGRFA, ABS yang adil dan seimbang dari hasil pemanfaatan SDGT merupakan hal yang esensil dan mendasar sebagai implementasi prinsip hak berdaulat.

Konsep hak berdaulat sendiri merupakan konsep yang digunakan pula dalam rezim Hukum Laut yaitu atas wilayah Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif.

Adapun perbedaan mendasar antara hak berdaulat dalam rezim hukum laut dengan hukum tentang SDGT adalah SDGT berada di wilayah kedaulatan penuh suatu negara. Jika hak berdaulat dalam hukum laut memperluas penguasaan negara atas sumber daya alam hingga ke wilayah landas kontinen dan ZEE, hak berdaulat dalam hukum tentang SDGT justru mengurangi kedaulatan penuh negara atas benda yang jelas-jelas berada di wilayah kedaulatannya. Oleh karena itulah maka jelas ada perbedaan pula dalam pengaturan dan mekanisme penerapan di tiap-tiap rezim.

Berikut akan diuraikan perbedaan pengaturan dan mekanisme penerapan hak berdaulat menurut UNCLOS 1982, CBD, dan ITPGRFA.

                                                                                                                         

40 Ibid.

41 Lebih lanjut pembahasan tentang CBD diuraikan dalam BAB III, 3.1.3.

42 Lebih lanjut pembahasan tentang ITPGRFA diuraikan dalam BAB III, 3.1.5.

Hak berdaulat menurut

UNCLOS 1982 Hak berdaulat menurut

CBD41 Hak berdaulat menurut ITPGRFA42

Objeknya (sumber daya alam) berada di luar wilayah

kedaulatan, karena kedaulatan penuh negara hanya sampai wilayah laut teritorial.

Objeknya berada di dalam wilayah kedaulatan teritorial.

Objeknya berada di dalam wilayah kedaulatan teritorial.

Ada kewajiban untuk

menentukan berapa jumlah yang boleh ditangkap

Tidak ada ketentuan mengenai jumlah yang boleh atau tidak boleh

Tidak ada ketentuan mengenai jumlah yang boleh atau tidak boleh

(14)

Tabel 2.1 Perbandingan ketentuan terkait hak berdaulat menurut UNCLOS 1982, CBD dan ITPGRFA

Hak Berdaulat atas SDGT dapat dikatakan sudah menjadi prinsip yang diterima oleh masyarakat internasional. Jika melihat hukum dan kebijakan yang diambil Brazil, Amerika Serikat, Jerman, Cina, dan Indonesia terkait SDGT, dapat diketahui bahwa semua negara tersebut menyetujui konsep hak berdaulat atas SDGT. Dengan kata lain, semua negara tersebut, termasuk Amerika Serikat, tidak menghendaki diberlakukannya konsep CHM atas SDGT sebagaimana dahulu pernah diadopsi dalam International Undertaking. Namun yang berbeda dari masing- masing negara selain tidak semuanya sudah menjadi negara anggota CBD dan/atau ITPGRFA, adalah penentuan mekanisme akses dan pembagian keuntungan. Hal ini adalah wajar karena CBD sendiri menyerahkan penentuan mekanisme akses dan pembagian keuntungan kepada kebijakan nasional negara masing-masing negara anggotanya. Berbeda dengan ITPGRFA yang memperkenalkan Sistem Multilateral yang pelaksanaan dan pengawasannya tidak lagi dilakukan oleh negara anggotanya. Sebaliknya, negara anggota telah bersepakat menyerahkan kewenangan pelaksanaan dan pengawasan akses dan pembagian keuntungan

(fisheries). dieksploitasi. dieksploitasi.

Terdapat lembaga (authority) yang bantu menyalurkan benefit sharing kepada landlock states dan geographically

disadvantage states.

Pembagian keuntungan diserahkan pada

negosiasi para pihak sesuai dengan bilateral agreement.

Pembagian keuntungan dilakukan melalui Sistem Multilateral.

Menyatakan secara tegas bahwa hak berdaulat di ZEE menjadi landasan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya alam yang hidup (Pasal 73). Di landas kontinen, hak berdaulat menjadi landasan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam (Pasal 77).

Mensyaratkan secara tegas bahwa

pelaksanaan hak berdaulat adalah untuk kegiatan eksploitasi dan kegiatan tersebut tidak boleh sampai

mengakibatkan

kerusakan bagi negara lain (Pasal 3).

Tidak menyatakan secara tegas kegiatan pemanfaatan apa yang dapat dilakukan

berdasarkan hak berdaulat, tetapi

mengatur agar tindakan yang dilakukan atas SDGT harus sesuai dengan tujuan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan.

(15)

kepada Sistem Mulitlateral berdasarkan hak berdaulat yang dimiliki oleh masing- masing.

Selain itu, penerapan hak berdaulat atas SDGT di negara-negara yang telah menjadi anggota CBD maupun ITPGRFA sekalipun masih berbeda-beda.

Perbedaan ini disebabkan oleh faktor-faktor seperti perbedaan konsep kepemilikan yang dianut oleh negara; bagaimana pemerintah memandang urgensi dari pengaturan tersebut; dan komitmen masing-masing negara dengan negara lain, organisasi internasional, ataupun kerjasama regional. Jika dilihat, Brazil merupakan negara yang seregion dan berhubungan baik dengan anggota dari Andean Pact yang terdiri dari negara-negara Amerika Latin yang telah saling mendukung dalam hal perlindungan SDGT sejak awal. Oleh karenanya, menetapkan ketentuan yang spesifik dan implementatif tentang akses dan pembagian keuntungan bagi Brazil lebih mudah. Berbeda dengan Jerman yang karena merupakan anggota EU mempunyai komitmen lain yang menyebabkan pengaturan tentang akses dan pembagian keuntungan harus disesuaikan dengan EU Directives.

Sementara Amerika sebagai negara non anggota CBD dan ITPGRFA pada prinsipnya menyetujui konsep akses dan pembagian keuntungan namun dalam kenyataannya tidak mengimplementasikan mekanisme pembagian keuntungannya.

Akan tetapi Amerika Serikat banyak menyumbang dana bagi lembaga-lembaga pendukung terselenggaranya mekanisme akses dan pembagian keuntungan seperti CGIAR dan Bank Gen Internasional. Sedangkan Cina, meskipun hanya menjadi anggota CBD dan bukan ITPGRFA tetapi pada prinsipnya mendukung mekanisme Sistem Multilateral yang dibangun ITPGRFA.

Lebih jelas tentang perbandingan hukum dan kebijakan pemerintah kelima negara tersebut akan dipaparkan dalam tabel berikut:

Negara

Penerapan Hak Berdaulat atas SDGT Pemanfaatan Akses dan

Pembagian Keuntungan

Hak Petani Pengetahuan Tradisional

Brazil Sangat bergantung

pada varietas dari luar.

Ada mekanisme akses yang cukup baik. Harus

ada izin dari pemerintah. namun

Belum ada pengaturan spesifik.

Memberikan perlindungan melalui perundang- undangan nasional

(16)

Tabel 4.2 Perbandingan Penerapan Hak Berdaulat di Brazil, Amerika Serikat, Jerman, Cina dan Indonesia

Masalah dalam penerapan hak berdaulat memang tidak selalu sama di tiap- tiap negara. Adapun dari masalah-masalah internal tersebut, akan berpengaruh pada hubungan internasional yang dijalin negara masing-masing dalam hal kerjasama di bidang SDGT. Dalam tataran prinsip, negara-negara menyetujui pengakuan terhadap kedaulatan negara atas SDGT-nya dilakukan dengan berdasarkan hak berdaulat. Hak berdaulat sebagai hak negara untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi atas SDGT yang berada di wilayahnya, di mana negara mempunyai kedaulatan teritorial, diikuti kewajiban menyediakan akses kepada

sasaran pembagian keuntungan belum

jelas. Bergabung dalam Sistem

Multilateral

dan kerjasama regional.

Amerika Serikat

Mayoritas koleksi ex situ.

Ada mekanisme akses yang baik.

Menyerahkan pembagian keuntungan

pada para pihak.

Belum ada pengaturan yang

jelas.

Menentang konsep ini.

Jerman Bisa memenuhi

kebutuhan sendiri tapi lebih banyak

menggunakan varietas modern.

Belum ada mekanisme lebih lanjut di tingkat nasional. Akses SDGT

yang dikuasai privat dilakukan melalui hubungan kontraktual.

Bergabung dengan Sistem Multilateral.

Belum ada pengaturan yang

jelas.

Belum mengatur.

Cina Sangat kaya SDGT,

tetapi banyak SDGT yang tidak termonitor

dalam program pengelolaan negara, apalagi inventarisasi.

Ada mekanisme yang dibangun secara bilateral, tapi belum meratifikasi ITPGRFA

jadi tidak tergabung dalam Sistem

Multilateral.

Belum ada pengaturan yang

jelas.

Belum mengatur.

Indonesia Sangat kaya SDGT,

tetapi banyak SDGT yang tidak termonitor

dalam program pengelolaan negara, apalagi inventarisasi.

Mekanisme akses masih dalam tahap

pengembangan.

Pembagian keuntungan belum

jelas sasarannya.

Belum ada pengaturan yang

jelas.

Belum mengatur.

(17)

negara lain atas SDGT-nya sebagai langkah untuk mewujudkan kelestarian SDGT maupun mencapai ketahanan pangan dengan pamanfaatan berkelanjutan.

Adapun masalah yang sama-sama dialami oleh semua negara dalam upaya menjalankan hak berdaulat untuk kepentingan nasionalnya sekaligus kewajiban menyediakan akses bagi pihak asing dapat dirangkum sebagai berikut:

a. Inventarisasi yang belum baik;

b. Regulasi teknis tentang Akses dan Pembagian Keuntungan serta perlindungan hak petani dan pengetahuan tradisional masyarakat adat atau lokal;

c. Minim kesadaran masyarakat akan pentingnya mempertahankan kepemilikan atas SDGT baik secara fisik maupun intelektual;

d. Pertentangan dengan penerapan rezim HKI.

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan dan analisis yang telah dipaparkan maka dapat disimpulkan bahwa:

1. SDGT merupakan common goods yang pernah dianggap sebagai heritage of mankind (CHM) menurut International Undertaking 1983. Namun negara-negara tidak menyetujui penerapan prinsip CHM. Sementara kegiatan bioprospecting terus dilakukan dan rezim HKI atas SDGT tidak terhindarkan. Untuk menengahi kedua prinsip yang bertentangan tersebut, akhirnya disepakati bahwa rezim atas SDGT adalah Hak Berdaulat.

2. Pengaturan Hak Berdaulat atas SDG diatur dalam CBD sementara khusus SDGT diatur dalam ITPGRFA. Keduanya mempunyai konsekuensi penerapan Akses dan Pembagian Keuntungan (ABS). Untuk ITPGRFA, penerapan ABS dilakukan melalui Sistem Multilateral.

3. Brazil, Amerika Serikat, Jerman, Cina dan Indonesia mengakui prinsip Hak Berdaulat atas SDGT namun implementasi ABS sebagai konsekuensi penerapan prinsip tersebut masih belum terlaksana secara utuh.

SARAN

(18)

1. Fungsi Sistem Multilateral khususnya dalam hal pembagian keuntungan segera direalisasikan. Semua negara anggota ITPGRFA membangun National Focal Point untuk mendukung terselenggaranya Sistem Multilateral.

2. Indonesia merealisasikan sistem inventarisasi terpadu dan menunjuk satu otoritas khusus yang bertindak sebagai National Focal Point untuk menangani mekanisme ABS; komitmen atas Sistem Multilateral; dan memonitor kegiatan bioprospecting atas SDGT.

(19)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Biber-Klemm, Susette, Thomas Cottier, dan Danuta Szymura Berglas. Rights to Plant Genetic Resources and Traditional Knowledge. The Swiss Agency for Development and Cooperation, 2006.

Dutfield, Graham. Intellectual Property, Biogenetic Resources, and Traditional Knowledge. London: Earthscan, 2004.

Food and Agriculture Organization (FAO). Introduction to the International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture. FAO: Rome, 2012.

Glowka, Lyle. Et al. A Guide to the Convention on Biological Diversity. International Union for Conservation of Nature and Natual Law (IUCN), 1996.

Lubis, Efridani. “Penerapan Konsep Sovereign Right dan Hak Kekayaan Intelektual dalam Perspektif Perlindungan dan Pemanfaatan SDG Indonesia.” Disertasi:

Universitas Indonesia, 2009.

Moore, Gerald dan Witold Tymowski. Explanatory Guide to the International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture. Cambridge:

International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, 2005.

The United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dan the International Centre for Trade and Sustainable Development (ICTSD).

Resource Book on TRIPS and Development. New York: Cambridge University Press, 2005.

United Nations Environment Programme (UNEP). “Analysis of Existing National, Regional, and International Legal Instruments Relating to Access and Benefit-Sharing and Experience Gained in Their Implementation, Including Identification of Gaps.” Ad-Hoc Open-Ended Working Group on Access and Benefit-Sharing Third Meeting, Bangkok 14-18 February 2005, UNEP/CBD/WG-ABS/3/2.

(20)

Artikel/Jurnal

Aoki, Keith, dan Kennedy Luvai. “Reclaiming Common Heritage Treatment In The International Plant Genetic Resources Regime Complex.” Michigan State Law Review, 2007.

Correa, Carlos M. “Sovereign and Property Rights Over Plant Genetic Resources.”

Disampaikan dalam FAO Background Study Paper No. 2, Commission on Plant Genetic Resources, First Extraordinary Session, di Roma, 7-11 November 1994.

Laxman, Lekha. “The Interface Between TRIPS dan CBD: Efforts Towards Harmonisation.” Journal of International Trade Law & Policy, Emerald Group Publishing Limited, 2013.

Odek, James O. “ Biopiracy: Creating Propietary Rights In Plant Genetic Resources.”

Journal of Intellectual Property Right Association, 1994. www.westlaw.com.

Peraturan

Indonesia. Undang-Undang tentang Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian). LN No. 23 Thn 2006.

TLN No. 4612. Terjemahan resmi salinan naskah asli.

_______. Undang-Undang tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati. UU No. 5 Tahun 1994. LN No. 41 Tahun 1994.

TLN No. 1556. Terjemahan resmi salinan naskah asli.

Gambar

Tabel 2.1 Perbandingan ketentuan terkait hak berdaulat menurut UNCLOS 1982, CBD dan  ITPGRFA
Tabel 4.2 Perbandingan Penerapan Hak Berdaulat di Brazil, Amerika Serikat, Jerman, Cina  dan Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

PENGARUH PARAMETER TIME REPETITION (TR) PADA KUALITAS CITRA LUMBAL DENGAN MENGGUNAKAN

Selain itu, Undang-Undang ini juga memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang dalam bentuk hak

Berdasarkan kegiatan pengabdian yang telah dilakukan maka simpulan yang diperoleh bahwa dengan mempelajari jarimatika dan sempoa dapat membantu siswa dalam berhitung

(1) Bidang Pengembangan Kelembagaan, Industri Pariwisata dan Pemberdayaan Masyarakatunit kerja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata sebagai unsur lini dalam pelaksanaan

Siswa kategori literasi kuantitatif sedang hanya mampu menetapkan sebagian informasi dari soal yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah, akibatnya analisis terhadap

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui upaya penanganan promosi event melalui media sosial twitter, instagram, facebook yang dilakukan social media officer

Dari hasil analisis data parameter diameter tongkol, berat tongkol pertanaman dan berat tongkol per plot menunjukkan pengaruh nyata, tetapi pada parameter tersebut

Pemberian pupuk vermikompos dengan dosis 1 kg dicampur dengan tanah 10 kg (P1) memberikan hasil yang tertinggi terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, dan