• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Orang Kristen Indonesia memiliki dua kewarganegaraan sekaligus, yaitu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Orang Kristen Indonesia memiliki dua kewarganegaraan sekaligus, yaitu"

Copied!
368
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Orang Kristen Indonesia memiliki dua kewarganegaraan sekaligus, yaitu warga Negara Kesatuan Republik Indonesia dan warga Kerajaan Allah. Tugas Kristen yang memiliki dua kewarganegaraan tersebut berjalan secara bersamaan, seperti yang termaktub dalam Doa Bapa Kami, yakni menghadirkan Kerajaan dan Kehendak Allah di bumi seperti di Sorga. Dalam kehidupan di bumi, orang Kristen harus tunduk kepada pemerintahan di bumi sejauh pemerintah itu menjalankan pemerintahan yang tidak bertentangan dengan perintah Allah.

Seperti yang disebutkan oleh Simatupang (2018) walaupun gereja tidak menjalankan suatu kegiatan-kegiatan politik, tetapi gereja menganjurkan aar anggotanya melaksanakan tanggung jawabnya sebagai anggota suatu masyarakat, sebagai warga suatu Negara, sebagai pelaksanaan panggilannya menjadi terang dan garam, sebagai pelaksanaan suruhan untuk mengasihi sesamanya dan untuk mendirikan tanda-tanda kerajaan Allah dalam sistem politik, sosial, ekonomi manapun juga dalam kebudayaan manapun. Gereja harus menganjurkan anggotanya untuk berjuang guna mendapatkan sistem-sistem politik, sosial, ekonomi yang lebih baik dan kebudayaan yang lebih memuaskan.

Lebih lanjut Stott (1984) menyebutkan keberhasilan gereja dalam memberitakan Injil Kerajaan Allah dalam dunia akan sangat diperbesar bila dikerahkan semua anggota jemaat dengan segala bakat dan kebolehannya, termasuk dalam bidang politik. Keterlibatan warga gereja dalam aksi sosial bukan hanya bertujuan untuk memenangkan pendapat umum, melainkan usaha agar melalui perundang-

(2)

2

undangan terbina kehidupan masyarakat yang lebih berkenan dimata Tuhan.

Untuk menyusun dan mengeluarkan suatu Undang-Undang, diperlukan kekuasaan politik, yang dalam suatu Negara demokrasi kekuatan itu ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dalam realitasnya, hasil penelitian Sibarani (2007) menunjukkan bahwa sikap warga gereja dan pendeta Indonesia terhadap politik terbelah dua, yaitu antara yang setuju agar gereja agar aktif dalam politik dan disisi lain beranggapan bahwa politik bukanlah urusan gereja. Kelompok yang menolak aktif dalam politik menganggap bahwa Yesus Kristus sebagai mesias dan murid-muridNya dalam perjanjian baru adalah anti politik, menganggap bahwa agama memiliki keterbatasan cakupan dalam arti bahwa agama Kristen hanya untuk agama Kristen, agama berhubungan dengan “kepribadian yang terdalam” bukan “ke luar”

atau kegiatan sosial politik, sehingga kekristenan harus memisahkan kerajaan Allah dari kerajaan dunia. Disisi lain, bagi kelompok yang mendukung keterlibatan dalam politik memandang bahwa Alkitab justru dengan jelas memperkenalkan Allah sebagai “Allah yang Politis” dan Allah yang berkarya dalam sejarah umat manusia di sepanjang masa. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ditemukan terminologi politik dalam Alkitab dalam menjelaskan hubungan Allah dengan umatNya seperti Tuan, Raja, Penguasa, hakim-hakim, hukum/perundang- undangan, pembebasan, tertindas, terjajah dan sebagainya. Bahkan mengutip Sitompul, Sibarani (2007) menyebutkan bahwa para nabi Perjanjian Lama dalam Alkitab tampil sebagai pembaharu sosial (social reformator). Dalam Kitab Perjanjian Baru juga disebutkan bahwa Yesus pun memiliki seorang murid yang adalah seorang aktivis kaum Zelot. Yesus dalam kotbah dan tindakannya

(3)

3

mengecam kesewenang-wenangan kaum Farisi dan Saduki tetapi dilain pihak memberikan perhatian dan pembelaan kepada orang-orang lemah dan tertindas.

Walaupun terdapat perbedaan pandangan diantara warga gereja tentang keterlibatan gereja dan jemaat dalam politik, dalam realitasnya sangat banyak orang-orang Kristen yang terjun ke dunia politik dan menjadi pemimpin politik.

Motivasi orang Kristen terjun ke dunia politik bisa beragam, apakah demi kekuasaan atau demi idealisme sebagai wara Negara maupun sebagai warga gereja. Tetapi jika gereja bermaksud menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah diseluruh aspek kehidupan, termasuk dalam dunia politik, maka kehadiran warga gereja didalam politik perlu didorong dan diberikan landasan teologis yang menerangi kehadiran mereka di dunia politik tersebut.

Jika dicermati perkembangan akhir-akhir ini, telah terjadi krisis kepemimpinan dalam politik yang ditandai dengan banyaknya moral hazard yang dilakukan para pemimpin politik yang berujung pada pemidaan beberapa pemimpin politik, termasuk pemimpin politik yang berasal dari kalangan Kristen. Khusus bagi para pemimpin politik Kristen, krisis ini terjadi sebagai akibat kegagalan pribadi menjalankan norma-norma yang berlaku dan juga akibat kurangnya perhatian akan model kepemimpinan yang dicontohkan dalam Alkitab.

Selain masalah krisis kepemimpinan politik, paradigma kepemimpinan politik juga berubah. Sistem rekrutmen pemimpin politik yang dilakukan melalui pemilihan langsung telah melahirkan pemimpin politik berwatak transaksional karena dihasilkan dari proses politik yang transaksional. Keterpilihan seorang pemimpin politik tidak ditentukan oleh kualitas pemimpin tetapi lebih banyak ditentukan oleh kemampuan financial untuk mendongkrak elektabilitas. Persoalan menjadi muncul dikemudian hari bukan hanya dalam tingginya biaya politik yang

(4)

4

harus dikembalikan dalam masa jabatan lima tahun, tetapi juga rendahnya kualitas Undang-undang yang dihasilkan oleh legislatif atau rendahnya kinerja kepala daerah.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang model kepemimpinan yang ditunjukkan oleh tokoh dalam Alkitab dan merumuskan topik penelitian disertasi ini dengan judul : TEOLOGI KEPEMIMPINAN POLITIK : DARI PEMBEBASAN MENUJU PEMBERDAYAAN.

Dalam konteks situasi ini, penulis sampai pada suatu pertanyaan apa yang dapat dilakukan orang Kristen dalam kepemimpinan politik sehingga dunia politik menjadi dunia yang membebaskan, memihak dan memberdayakan yang lemah.

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini akan fokus mempelajari model kepemimpinan yang dipraktekkan sebagaimana misi yang diproklamasikan Yesus di awal karya-Nya di dunia ini sepeeti yang ditulis dalam Lukas 4:14-30. Dari model kepemimpinan yang dipraktekkan Yesus selama bekerja bersama murid-muridNya baik dari perkataan- perkataan-Nya maupun tidakan-Nya, disertasi ini kemudian merumuskan Teologi Kepemimpinan Politik.

C. Perumusan Masalah

Dengan melihat masalah kepemimpinan politik seperti yang diuraikan diatas, jelas bahwa diperlukan suatu teologi kepemimpinan politik bagi umat Kristen yang terjun dalam dunia politik. Dari uraian tersebut, masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

(5)

5

1. Apa dan bagaimanakah model kepemimpinan Yesus dalam perikop Lukas 4 : 14-30?

2. Apakah dapat dirumuskan Teologi Kepemimpinan Politik sesuai dengan perikop Lukas 4 : 14-30?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menemukan model kepemimpinan Yesus dalam perikop Lukas 4 : 14- 30

2. Menemukan rumusan Teologi Kepemimpinan Politik sesuai dengan perikop Lukas 4 : 14-30

E. Pembatasan Penelitian

Penelitian ini akan mengkaji model kepemimpinan yang ditunjukkan oleh Yesus, kemudian merumuskan kesesuaian model tersebut untuk diterapkan dalam dunia politik menjadi teologi kepemimpinan politik. Teologi Kepemimpinan dibutuhkan diberbagai lapangan kehidupan seperti dunia bisnis, organisasi sosial, dan organisasi lainnya, sehingga cakupan penelitian ini dibatasi hanya dalam kepemimpinan politik.

F. Kegunaan Penelitian

Secara akademis, hasil penelitian ini akan memberikan kontribusi untuk bidang teologi khususnya untuk bidang Teologi Kepemimpinan Politik, suatu bidang yang saat ini belum banyak mendapat perhatian dari Teolog di Indonesia. Secara

(6)

6

praktis, penelitian ini akan merumuskan suatu teologi kepemimpinan politik yang memiliki maksud praktis untuk membantu orang-orang Kristen dalam praktek kepemimpinan politik yang konsisten dengan nilai-nilai kristiani yang terdapat dalam Alkitab. Perumusan teologi kepemimpinan politik ini akan menjadi kerangka kerja pribadi pemimpin politik Kristen untuk melakukan refleksi dan tindakan, bermanfaat menjadi bagian dari bahan untuk bimbingan rohani, serta dapat digunakan sebagai bahan untuk program pengembangan kepemimpinan politik kristen.

G. Hipotesa Penelitian

Dengan melaksanakan studi interpretatif atas teks Alkitab dan berbagai literatur maka hipotesis penelitian ini adalah bahwa teologi kepemimpinan politik dapat dirumuskan dan rumusan teologi kepemimpinan politik tersebut dapat digunakan menerangi keterlibatan para pemimpin Kristen dalam berkiprah di dunia politik.

H. Sistematika Penulisan

Seperti yang akan didirikan pada Bab Pendahuluan, mengembangkan teologi kepemimpinan politik memerlukan dasar dari Alkitab dan literature-literatur yang membahas praktek kepemimpinan politik. Proses dan pengembangan teologi seperti kepemimpinan politik dalam penelitian ini sebagai berikut. Setelah bab pendahuluan ini, Bab Dua akan menyajikan tinjauan pustaka/ literatur yang berkaitan dengan teologi kepemimpinan politik. Kata kunci dan ide-ide diidentifikasi dari literatur dan dikategorikan menjadi beberapa elemen untuk teologi kepemimpinan politik.

(7)

7

Setelah melakukan kajian pustaka, Bab Tiga akan merumuskan metodologi penelitian yang digunakan untuk merumuskan teologi kepemimpinan politik dari teks Alkitab yang dipilih dan berbagai literatur yang dikaji. Dengan menggunakan kerangka konseptual dari Bab Tiga, selanjutnya Bab Empat menyajikan analisis dari Teks Alkitab terpilih dan literatur yang dikaji dengan menganalisis potensinya untuk memenuhi unsur-unsur teologi kepemimpinan politik yang dilanjutkan dengan penyempurnaan dari esensi interpretasi dari teks .

Bab Lima akan menyajikan ulasan proses penelitian dan menyajikan kesimpulan, bersama dengan rekomendasi untuk implementasi dan untuk penelitian lebih lanjut.

Diharapkan bahwa hasil penelitian ini memiliki potensi untuk memberikan sesuatu yang baru dalam kajian teologi kepemimpinan politik dan bernilai praktis untuk pengembangan kepemimpinan politik kristen.

(8)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pluralitas Definisi Kepemimpinan

Kata “kepemimpinan” atau leadership berasal dari kata “pemimpin” atau leader. Penelitian Stodgill menemukan bahwa kata “leader” baru ditemukan pertama kali dalam Oxford English Dictionayi terbitan tahun 1300 (Gunawan, 2014). Sedangkan kata “leadership” belum ada dalam kamus sampai abad pertengahan. Dalam Samuel Johnson’s Dictionary terbitan 1755, Perry’s Royal Standard English Dictionari (1788), Perry’s English Dictionary (1805) dan edisi revisi Samuel Johnson’s Dictionary (1879) yang dilakukan John Walker juga belum ditemukan kata leadership tetapi hanya memuat kata leader. Baru pada kamus The Century Dictonary (1889) dan The Universal Dictionary of the English (1898) dimuat kata leadership yang didefinisikan secara singkat yaitu kontrol, arahan, keutamaan (Gunawan, 2014). Diperkirakan kata leadership baru muncul pada paruh pertama abad ke sembilan belas dalam literatur tentang pengaruh dan kontrol politik dalam parlemen Inggris (Bass, 1981).

Rost (1993) melakukan penelitian secara etimologis kata leader, yang berasal dari kata to lead, dan menemukan bahwa kata tersebut berakar pada kosa kata kuno Inggris yaitu kata leden atau loeden yang berarti menuntun, membimbing, menunjukkan jalan. Akar kata tersebut berasal dari kata Latin, yaitu ducere, yang artinya menarik keluar, membimbing, menuntun dan mendidik.

Kata lead dalam bahasa Anglo Saxon juga diartikan sebagai jalur perjalanan kapal (Usman, 2019). Oxford English Dictionary (1989: 749) mendefinisikan pemimpin sebagai “seseorang yang mengarahkan orang lain dalam tindakan

(9)

9

atau pendapat; seseorang yang memimpin dalam bisnis, perusahaan, atau gerakan; orang yang 'diikuti' oleh murid atau pengikut”. Pemimpin diartikan juga sebagai orang yang berhasi mengumpulkan orang lain untuk mengikutinya (Cowley, 1920). Pemimpin memungkinkan pengikut untuk menyadari potensinya dengan menghilangkan hambatan yang menghalangi pengikut melakukan tugasnya (DePree, 1987). Dalam literatur kepemimpinan dan manajemen modern pemimpin diartikan sebagai orang yang menentukan tujuan, memotivasi, dan menindak bawahannya (Bush, 2008).

Robbins dan Coulter (2010) mendefinisikan pemimpin adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain dan memiliki otoritas manajerial sedangkan kepemimpinan adalah apa yang dilakukan pemimpin. Kepemimpinan merupakan proses memimpin sebuah kelompok dan mempengaruhi kelompok itu dalam mencapai tujuannya.

Dalam penelitian ini definisi pemimpin dirumuskan dengan menggabungkan arti katanya dalam bahasa Latin dan definisi dalam teori kepemimpinan modern. Dengan demikian pemimpin diartikan sebagai orang yang membimbing, menuntun dan mendidik serta memotivasi pengikutnya dengan maksud untuk menarik keluar dari situasi tertentu menuju tujuan yang ditetapkan dan diinginkan oleh pemimpin tersebut. Situasi tertetu tersebut merupakan situasi yang dianggap seperti ketidakmampuan, ketidakberdayaan menuju situasi yang lebih baik seperti menjadi lebih mampu atau lebih berdaya.

Definisi dan teori kepemimpinan seperti sungai yang mengalir melintasi berbagai tempat dan waktu. Sungai yang mengalir meninggalkan jejak sekaligus membawa berbagai partikel dari setiap tempat yang dilintasi, demikian juga definisi dan teori kepemimpinan meninggalkan jejak di berbagai tempat dan waktu

(10)

10

sekaligus membawa berbagai partikel dari tempat dan waktu tersebut.

Pergerakannya yang jauh melintasi sejarah menjadikannya memiliki banyak wajah dan karakteristik tergantung pada zaman, tempat dan situasi ketika didefinisikan.

Berbagai disiplin ilmu dan bidang kehidupan dilintasi kepemimpinan dan memunculkan definisi dan teori kepemimpinan yang khas pada bidang tersebut.

Sampai tahun 1980-an definisi dan teori kepemimpinan telah dikembangkan di berbagai bidang ilmu seperti bidang politik yang dikembangkkan R.C. Tucker, B.M. Bass dan E.P. Hollander bidang psikologi, J.D. Whitehead dan M.A.

Whitehead dibidang teologi, F.G. Bailey di bidang antropologi, P. Hersey dan K.

Blanchard di bidang relasi dan sumber daya manusia, A. Zaleznik di bidang bisnis dan lain sebagainya (Gunawan, 2014).

Luasnya cakupan dan banyaknya partikel yang dibawa oleh konsep kepemimpinan menyebabkan hampir tak ada kesepakatan mengenai definisi kepemimpinan. Bahkan beberapa buku yang ditulis sama sekali tidak memberikan definisi kepemiminan (Gunawan, 2014 ). Penelitian Joseph C. Rost yang dikutip oleh Gunawan (2014) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1900- 1990 dari 587 literatur yang diterbitkan tentang kepemimpinan, hanya 221 karya yang mencantukan definisi dan 366 lainnya tidak mencantumkan definisi kepemimpinan.

Beragamnya definsi tetang kepemimpinan memunculkan penilaian para ahli bahwa arti kepemimpinan itu ambigu (Yukl, 2015). Seperti yang disebutkan oleh Hariri (2011) penilaian ambiguitas ini disematkan kepada kepemimpinan dengan empat alasan. Alasan pertama, kata "kepemimpinan" merupakan kata umum yang bersifat teknis dari suatu disiplin ilmiah tetapi pendefinisiannya tidak

(11)

11

tepat (Yukl, 2015). Kedua, fenomena yang sama diberikan istilah yang tidak tepat misalnya dengan istilah otoritas, kekuasaan, pengawasan, administrasi, manajemen, dan kontrol (Yukl, 2015). Ketiga, kepemimpinan sering tumpang tindih dengan arti lain seperti pada manajemen. Ke empat, banyaknya definisi kepemimpinan hampir sama dengan banyaknya orang yang mencoba mendefinisikannya (Bass, 1990). Dari sekitar 350 definisi kepemimpian yang pernah dikumpulkan, tidak ada satu pun definisi yang dianggap mewakili secara tepat makna konsep kepemimpinan (Daft dan Pirola-Merlo, 2009; Sims, Faraj dan Yun, 2009). Banyaknya ragam definisi kepemimpinan sehingga Bennis (1959) menyebutkan “konsep kepemimpinan selalu membingungkan kita atau muncul dalam bentuk lain untuk kembali menggoda kita dengan ketidakpastian dan kompleksitas. Jadi, kita harus terus-menerus menciptakan istilah untuk mengatasi hal itu ... dan tetap saja konsep itu tidak dapat didefinisikan dengan tepat.”

Yukl (2015) menghimpun berbagai defenisi kepemimpinan sebagai berikut :1

Kepemimpinan adalah "perilaku individu tertentu ... yang mengarahkan aktivitas grup untuk mencapai tujuan bersama.” (Hemphill & Coons, 1957, h.

7)

Kepemimpinan adalah “peningkatan pengaruh yang melebihi kepatuhan mekanis terhadap perintah rutin organisasi." (D. Katz & Kahn, 1978, h. 528)

"Kepemimpinan dilaksanakan ketika seseorang ... memobilisasi ... secara institusional, politis, psikologis, dan sumber lainnya untuk membangkitkan, melibatkan, dan memenuhi tujuan pengikutnya." (Burns, 1978, h 18).

"Kepemimpinan disadari ada dalam proses ketika satu atau lebih individu berhasil membentuk dan menentukan kehidupan orang lain." (Smircich &

Morgan, 1982, h. 258)

Kepemimpinan adalah "proses memengaruhi aktivitas grup yang terorganisir untu« mencapai tujuan." (Rauch & Behling, 1984. h.46).

"Kepemimpinan adalah tentang mengartikulasikan visi, mewujudkan nilai, dan menciptakan ling- kungan yang di situ sesuatu dapat dicapai.” (Richards &

Eagel, 1986, h. 4).

"Kepemimpinan adalah proses memberikan tujuan (arah yang berarti) atas usaha kolektif dan menyebab- kan adanya usaha yang dikeluarkan untuk

1 Gary Yukl, Kepemimpinan dalam Organisasi (Jakarta : Penerbit Indeks, 2015), hlm. 3

(12)

12

mencapai tujuan"(Jacobs & Jaques, 1990, h. 281).

Kepemimpinan “adalah kemampuan untuk bertindakdi luarbudaya ... untuk memulai proses perubahan evolusioner yang lebih adaptif." (Schein, 1992, h.2).

“Kepemimpinan adalah proses untuk memahami apa yang dilakukan orang secara bersama-sama, sehingga mereka memahami dan mau melakukannya.” (Drath& Palus, 1994, h. 4).

Kepemimpinan adalah "kemampuan individu tertentu untuk memengaruhi, memotivasi, dan membuat orang lain bisa berkontribusi demi efektivitas dan keberhasilan organisasi ..." (House et. Al„ 1999, h.184).

Apabila ditelaah lebih teliti lagi, keragaman definisi kepemimpinan ini juga berevolusi dalam melintasi sejarah dan waktu. Ada berbagai definisi dalam setiap waktu dimana defnisi tersebut tak terlepas dari pengaruh berbagai situasi dunia termasuk politik seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1 di bawah ini:

Tabel 1. Evolusi definisi kepemimpinan2

1900-1929

Definisi tentang kepemimpinan yang muncul di tiga puluh tahun pertama abad ke-20 menekankan kontrol dan sentralisasi kekuasaan dengan tema umum tentang domi- nasi.

Contoh, di konferensi tentang kepemimpinan pada tahun 1927, kepemimpinan didefinisikan sebagai “kemampuan untuk menekankan hasrat pemimpin terha- dap orang yang dipimpin dan mendorong kepatuhan, penghargaan, loyalitas, dan kerjasama” (Moore, 1927, hal. 124).

1930-an

Sifat menjadi fokus untuk mendefinisikan kepemimpinan, dengan pandangan yang berubah tentang kepemimpinan sebagai pengaruh, bukan dominasi. Kepemimpinan juga didefinisikan sebagai interaksi karakter kepribadian khusus yang dimiliki seseorang dengan yang dimiliki kelompok. Dicatat juga bahwa walaupun sikap dan aktivitas dari banyak orang dipengaruhi oleh satu orang, para pengikut juga me- mengaruhi pimpinannya.

2 Peter G. Northouse, Kepemimpinan. Teori dan Praktek (Jakarta : Indeks, 2017), hlm. 2-5

(13)

13 1940-an

Pendekatan kelompok muncul ke muka dengan kepemimpinan yang didefinisikan sebagai perilaku individu saat mengarahkan aktivitas kelompok (Hemphill, 1949). Di waktu yang sama, kepemimpinan dengan persuasi dibedakan dari “sikap dan metode dalam mengawasi orang” atau kepemimpinan dengan pemaksaan (Copeland, 1942).

1950-an

Tiga tema yang mendominasi definisi kepemimpinan selama dekade ini:

Keberlangsungan teori kelompok, yang membentuk kepemimpinan sebagai apa yang dilakukan pemimpin dalam kelompok:

Kepemimpinan sebagai hubungan yang mengembangkan tujuan bersama, yang mendefinisikan kepemimpinan berdasarkan pada perilaku pemimpin: dan

Keefektifan, di mana kepemimpinan didefinisikan oleh kemampuan untuk memengaruhi seluruh keefektifan kelompok.

1960-an

Walaupun merupakan masa-masa yang kacau untuk masalah dunia, tahun 1960-an terdapat keselarasan di kalangan ahli kepemimpinan. Definisi utama tentang

kepemimpinan sebagai perilaku yang memengaruhi orang-orang untuk mencapai tu- juan bersama, telah digarisbawahi oleh Seeman (I960) yang menggambarkan ke- pemimpinan sebagai "tindakan oleh orang-orang yang memengaruhi orang lain dalam arah yang sama” (h. 53).

1970-an

Fokus kelompok memberi jalan untuk pendekatan perilaku organisasional, di mana kepemimpinan dilihat sebagai “membentuk dan mempertahankan kelompok atau organisasi untuk mencapai tujuan kelompok atau organisasionaf' (Rost, 1991.h.59).

Tetapi, definisi Burns (1978) merupakan konsep terpenting tentang kepemimpinan:

Kepemimpinan adalah proses mobilisasi timbal balik oleh orang-orang dengan motif dan nilai tertentu, beragam sumber daya ekonomi, politik, dan lainnya, dalam konteks persaingan dan konflik, untuk menyadari tujuan yang dimiliki secara man- diri atau bersama oleh pemimpin dan pengikut” (h.425).

1980-an

Dekade ini dipenuhi dengan karya akademisi dan karya populer tentang kepemim- pinan, sehingga topik ini menjadi pusat perhatian akademisi dan publik. Sebagai ha- silnya, sejumlah definisi untuk kepemimpinan menjadi terlalu berlebihan dengan sejumlah tema yang tetap ada:

• Lakukan seperti yang diminta pemimpin. Definisi kepemimpinan umumnya tetap menyampaikan pesan bahwa kepemimpinan membuat pengikut melakukan apa yang diinginkan atasan.

• Pengaruh. Mungkin, kata yang paling sering digunakan dalam definisi ke- pemimpinan di era 1980-an adalah pengaruh. Kata itu dianalisis dari setiap sudut pandang. Bagaimanapun, dalam upaya untuk membedakan kepemimpinan dari manajemen. akademisi menyatakan bahwa kepemimpinan adalah pengaruh yang tidak bersifat memaksa.

Sifat. Dicetuskan oleh buku laris In Search of Excellence (Peters & Waterman, 1982), gerakan kepemimpinan-sebagai-kehebatan membuat sifat kepemimpinan kembali menjadi sorotan. Sebagai hasilnya, banyak pemahaman orang tentang

(14)

14 kepemimpinan didasarkan pada orientasi sifat.

• Transformasi. Burns (1978) dipuji karena memulai gerakan yang mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses transformasional. Definisi tersebut menyatakan, kepemimpinan terjadi “ketika satu atau lebih orang terlibat dengan orang lain dalam cara tertentu, sehingga pemimpin dan pengikutnya saling mengangkat ke tingkatan motivasi dan moralitas yang lebih tinggi" (h- 83).

Memasuki Abad 21

Setelah ketidakcocokan selama berpuluh tahun, pakar kepemimpinan sepakat tentang satu hal: Mereka tidak dapat menghasilkan suatu definisi bersama untuk ke-

pemimpinan. Debat pun terus terjadi, seperti apakah kepemimpinan dan manajemen merupakan proses terpisah, sementara yang lain menekankan pada sifat, keterampilan, atau aspek hubungan kepemimpinan. Karena faktor seperti pengaruh global yang berkembang dan perbedaan generasional, maka kepemimpinan akan terus memiliki makna yang berbeda untuk orang yang berbeda. Intinya, kepemimpinan adalah konsep yang kompleks sehingga suatu definisi yang pasti akan sulit didapat.

Sumber: Northouse (2017).

Berbagai definisi kepemimpinan seperti yang diuraikan diatas memperlihatkan juga perkembangan persepsi para ahli tentang kepemimpinan.

Persepsi itu berevolusi dari pandangan bahwa kepemimpinan merupakan suatu kemampuan atau perilaku menjadi proses pengaruh seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2 (Harrison, 2018).

Tabel 2. Konsep dan definisi kepemimpinan menurut berbagai penulis3

Penulis Defenisi Konsep

Hemphill (1949)

Perilaku individu ketika ia terlibat dalam mengarahkan kegiatan kelompok

Perilaku

Stogdill (1950) 'Kepemimpinan dapat dianggap sebagai proses (tindakan) mempengaruhi kegiatan kelompok terorganisir dalam upaya ke arah penetapan tujuan dan pencapaian tujuan'

Proses

Bennis (1959) Kepemimpinan adalah 'proses dimana agen menginduksi bawahan untuk berperilaku dengan cara yang diinginkan'

Proses

3 Christian Harrison, Leadership Theory and Research. A Critical Approach to New and Existing Paradigms (USA : Palgrave Macmillan, 2018), p. 4-6

(15)

15

Katz dan Kahn (1978) Kepemimpinan adalah pengaruh inkremental atas dan di atas kepatuhan mekanis dengan arahan rutin dari organisasi'

proses perilaku

Smircich dan Morgan (1982)

'Kepemimpinan diwujudkan dalam proses di mana satu atau lebih individu berhasil dalam mencoba untuk memaknai dan mendefinisikan realitas lain.' 'Ini melibatkan keterlibatan atau proses negosiasi melalui mana individu-individu tertentu secara implisit atau eksplisit menyerahkan kekuasaan mereka untuk mendefinisikan sifat pengalaman mereka kepada orang lain'

Proses

Richards dan Engle (1986)

'Kepemimpinan adalah tentang mengartikulasikan visi, mewujudkan nilai- nilai, dan menciptakan lingkungan di mana hal-hal tersebut dapat dicapai'

Perilaku

Gardner (1990)

Kepemimpinan adalah 'proses persuasi atau keteladanan dengan mana seorang individu (atau tim kepemimpinan) menginduksi kelompok untuk mengejar tujuan yang diselenggarakan oleh pemimpin atau bersama oleh pemimpin dan atau pengikutnya

Proses

Penulis Defenisi Konsep

Jacobs dan Jaques (1990)

'Kepemimpinan adalah proses pemberian tujuan (arah bermakna) untuk upaya kolektif, dan menyebabkan orang lain berupaya untuk mencapai tujuan'

Proses

Kotter (1990) Kepemimpinan 'mengacu pada proses yang membantu mengarahkan dan memobilisasi orang dan / atau ide-ide mereka ...'

Proses

Drath dan Palus (1994)

'Kepemimpinan adalah proses yang membuat apa yang dilakukan orang bersama-sama menjadi masuk akal sehingga orang akan memahami dan berkomitmen'

Proses

Clark dan Clark (1996) 'Kepemimpinan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan, yang dapat diamati orang lain, yang terjadi dalam kelompok, organisasi, atau lembaga, dan yang melibatkan pemimpin dan pengikut yang rela mengambil bagian dalam tujuan umum dan bekerja sama untuk mencapainya'

Proses

Barnard (1997) Kepemimpinan 'mengacu pada kualitas perilaku individu membimbing orang lain atau kegiatan mereka dalam upaya yang terorganisir'

Perilaku

(16)

16

Stogdill (1997 Kepemimpinan adalah 'proses mempengaruhi kegiatan kelompok terorganisir dalam upaya menetapkan tujuan dan pencapaian tujuan'

Proses

Robbins (1998) Kepemimpinan adalah 'kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan'

Kemampuan Barker (2001)

Kepemimpinan adalah 'proses perubahan transformatif di mana etika individu diintegrasikan ke dalam adat istiadat masyarakat sebagai sarana pembangunan sosial secara evolusiner'

Proses

Lussier dan Achua (2001)

'Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi pemimpin dan pengikut untuk mencapai tujuan organisasi melalui perubahan'

Proses

Northouse (2010) 'Kepemimpinan adalah proses dimana seorang individu mempengaruhi sekelompok individu untuk mencapai tujuan bersama'

Proses

Yukl (2010) 'Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju tentang apa yang perlu dilakukan dan bagaimana melakukannya, dan proses memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan bersama'

Proses

(17)

17 B. Teori-teori Kepemimpinan

Seperti halnya definisi kepemimpinan yang berkembang terus dan menyesuaikan dengan zaman, teori tentang kepemimpinan pun terus berkembang dan menyerap berbagai unsur disiplin ilmu. Teori dan pendekatan yang dikembangkan para ahli tersebut selain beragam juga terdapat yang tumpang tindih.

Beberapa peneliti telah mengidentifakasi berbagai pendekatan atau teori tentang kepemimpina, diantaranya telah mengidentifikasi sembilan ahli dengan berbagai pendekatan yang berhasil diidentifikasi (Hariri, 2011). Kesembilan ahli tersebut dengan pendekatannya sebagai berikut :4

1. Brungardt (1996, p. 82) mengelompokkan berbagai teori kepemimpinan menjadi lima kelompok teori, yaitu : (1) teori sifat, (2) teori perilaku, (3) teori situasional, (4) teori pengaruh-kekuasaan, dan (5) teori transformasional.

2. Bolden et al. (2003) mengelompokkan menjadi tujuh teori yaitu: (1) teori orang hebat (great man theory), (2) teori sifat, (3) teori perilaku, (4) teori situasional, (5) teori kontingensi, (6) teori transaksional, dan (7) teori transformasional.

3. Yukl (2002, p. 10) mengelompokkan menjadi lima lima teori yaitu: (1) teori sifat, (2) teori perilaku, (3) teori pengaruh-kekuasaan, (4) teori situasional, dan teori integratif.

4. Daft (2005) mengelompokkan menjadi enam teori yaitu: (1) teori orang besar, (2) teori sifat, (3) teori perilaku, (4) teori kontingensi, (5) teori pengaruh, dan (6) teori relasional.

4 Hasan Hariri, Leadership Stlye, Decision Making Style, and Teacher Job Satisfaction : An Indonesian School Contex. Ph.D Thesis, (Australia : James Cook University ), p. 42

(18)

18

5. Kao (2005) dan Kao & Kao (2007) mengelompokkan dengan menyebutnya sebagai periodisasi atau era, yaitu: (1) era sifat, (2) era perilaku, (3) era kontingensi, dan (4) era baru (teori transformasional). Pendekatan pertama sampai ketiga dimasikkan Kao sebagai pendekatan awal atau

tradisional.

6. DeChurch, Hiller, Murase, Doty, dan Salas (2010) membagi pendekatan kepemimpinan menjadi enam pendekatan yaitu: (1) sifat-sifat pemimpin, (2) perilaku pemimpin dan pendekatan kontingensi, (3) pertukaran pemimpin- anggota (Leader Member Exchange /LMX), (4) kepemimpinan

transformasional, (5) kepemimpinan strategis, dan (6) kepemimpinan bersama.

7. Gardner, Avolio, Luthans, May, dan Walumbwa (2005) memperkenalkan teori baru tentang kepemimpinan yang diberi nama kepemimpinan autentik.

Teori kepemimpinan autentiki ini memperhatikan hubungan antara pemimpin-pengikut dan rekannya yang terjadi dalam keadaan (1)

keterbukaan, transparansi, dan kepercayaan, (2) bimbingan menuju tujuan layak, dan (3) penekanan pada pengembangan pengikut.

8. Uhl-Bien dan McKelveri (2007) memperkenalkan model yang disebut Complexity Leadership Theory ( CLT). CLT membayangkan tiga fungsi kepemimpinan. Ini adalah (1) kepemimpinan administratif, (2) kepemimpinan adaptif, dan (3) kepemimpinan yang memungkinkan. Kepemimpinan administratif mengacu pada fungsi CLT berdasarkan otoritas dan posisi yang memiliki kekuatan untuk membuat keputusan untuk organisasi.

Kepemimpinan adaptif mengacu pada fungsi CLT untuk menghasilkan hasil dalam sistem sosial. Kepemimpinan yang memungkinkan adalah fungsi CLT

(19)

19

yang memiliki peran kunci untuk secara efektif mengelola keterikatan antara struktur dan perilaku adaptif dan administratif untuk meningkatkan efektivitas dan fleksibilitas organisasi secara keseluruhan (Marion & Uhl-Bien, 2007, di Uhl-Bien et al. , 2007).

9. Bass (1985) memperluas karya Burns (1978) mengenalkan full range leadership (FRL) theory yang lebih dikenal dengan model kepemimpinan transformasional (Bass, 1985, 1999). Pendekatan ini terdiri dari tiga gaya kepemimpinan: gaya kepemimpinan laissez-faire, gaya kepemimpinan transaksional, dan gaya kepemimpinan transformasional.

Dari hasil pengamatannya terhadap berbagai teori kepemimpinan diatas, terdapat sebanyak 18 pendekatan atau teori kepemimpinan ( Hariri, Ridwan, dan Karwan, 2017). Ke delapan belas teori kepemimpinan tersebut adalah : 1) teori sifat, 2) teori perilaku, 3) teori situasional, 4) teori kekuasaan-pengaruh, 5) teori transformsional, 6) teori orang besar, 7) teori kontingensi, 8) teori transaksional, 9) teori integratif, 10) teori relasional, 11) teori pertukaran pemimpin - pengikut (Leader-Member Exchange/LMX theory), 12) Kepemimpinan strategis, 13) kepemimpinan bersama (share leadership), 14) kepemimpinan autentik, 15) kepemimpinan administratif, 16) kepemimpinan adaptif, 17) kepemimpinan yang memberdayakan (enabling leadership) dan 18) gaya kepemimpian Laissez-faire.

Peneliti lain mengidentifikasi berbagai teori kepemimpinan dari delapan ahli yang yang mengelompokkannya dengan berbagai nama teori (Usman, 2019). Secara lengkap teori kepemimpinan dari delapan ahli tersebut disajikan dalam Tabel 3. Dari delapan ahli yang diidentifikasi dan teori yang dikelompokkannya, selanjutnya Usman (2019) menyusun dua belas kelompok teori kepemimpinan yaitu teori orang besar, pendekatan sifat, pendekatan

(20)

20

pengaruh-kekuasaan, pendekatan perilaku, pendekatan keterampilan, kepemimpinan moral, kepemimpinan pelayan, pendekatan situasional, pendekatan kontingensi, pendekatan transaksional, pendekatan atribut dan pedekatan transformasional.

Aithal dan Aithal (2019) juga melakukan penelusuran terhadap berbagai teori kepemimpinan yang berkembang dalam 100 tahun terakhir dan menemukan berbagai teori seperti Great-man, teori Trait, teori Kontingensi atau situasional, teori Gaya dan Perilaku, teori Kepemimpinan Proses, teori kepemimpinan Transaksional yang juga menunjukkan perbedaan sekaligus kesamaan pada teori-teori yang telah disebutkan diatas. Teori-teori ini dibingkai berdasarkan karakteristik tertentu dari seorang pemimpin saat membuat keputusan dan sifat tertentu dari seorang pemimpin terhadap masalah yang dia hadapi dalam kehidupan / organisasi / masyarakatnya. Teori-teori ini fokus pada sikap seorang pemimpin dan perilakunya terhadap pengambilan keputusan.

Berbagai teori tersebut bersama dengan literatur terkait yang mengembangkannya disajikan dalam Tabel 3.

Teori kepemimpinan yang dikembangkan dalam lingkugan yang spesifik selama 50 tahun terakhir juga telah diteliti (Aithal dan Aithal, 2019). Teori-teori tersebut dibangun atau dikembangkan berdasarkan sikap pemimpin dalam melihat dan memahami masalah atau situasi untuk membuat keputusan dan perilakunya terhadap masalah individu atau organisasi atau sosial. Semua teori kepemimpinan berhubungan dengan kemampuan pengambilan keputusan seorang pemimpin dalam ketidakpastian lingkungan internal atau eksternal.

Dengan demikian teori-teori ini berkaitan dengan perilaku seorang pemimpin dalam lingkungan tertentu.

(21)

21 Tabel 3. Teori kepemimpinan umum dalam 100 tahun terakhir

No. Teori Kepemimpinan Fokus Referensi

1 Teori Orang hebat Pemimpin dilahirkan bukan dibuat Thomas Carlyle (1847) 2 Teori Sifat Berdasarkan pada (i) sifat-sifat yang muncul (mereka

yang sangat bergantung pada keturunan) sebagai tinggi, kecerdasan, daya tarik, dan kepercayaan diri dan (ii) sifat-sifat efektif (berdasarkan pengalaman atau pembelajaran), termasuk karisma

Ekvall & Arvonen ( 1991)

3 Teori kontingensi (Situasional)

Tidak ada kepemimpinan tunggal yang tepat karena dimensi internal dan eksternal dari lingkungan pemimpin untuk beradaptasi dengan situasi khusus itu

Greenleaf ( 1977 )

4 Teori Gaya dan Perilaku Pemimpin tiga kategori sebagai pemimpin demokratis, pemimpin otokratis, dan pemimpin laissez-faire

Yukl (1989)

5 Teori Kepemimpinan Proses

Teori proses fokus pada kepemimpinan pelayan, kepemimpinan berpusat utama dan kepemimpinan karismatik

Greenleaf (1996)

6 Teori kepemimpinan transaksional

Jenis kepemimpinan imbalan-kontingen yang memiliki pertukaran aktif dan positif antara pemimpin dan pengikut

Bass and Avolio (1994)

7 Teori kepemimpinan transformasional

Seorang pemimpin transformasional berupaya membujuk para pengikut untuk menyusun ulang kebutuhan mereka dengan melampaui kepentingan pribadi dan berusaha untuk kebutuhan tingkat tinggi. Pemimpin semacam itu memberdayakan para pengikut

House & Shamir, (1993)

(22)

22

Dari berbagai penelusuran tentang teori kepemimpinan diatas, terlihat keberagaman teori kepemimpinan, dan jika diteliti lebih lanjut antara teori tersebut sering terjadi tumpang tindih. Dengan banyaknya teori tersebut, maka dalam penelitian ini akan dibahas hanya beberapa teori yang relevan dengan penelitian ini.

1. Teori orang besar (the great man theories)

Teori kepemimpinan pada awal abad kedua puluh didominasi oleh gagasan dari “orang besar.” (great man). Perspektif ini berfokus pada sifat-sifat atau karakteristik yang dimiliki oleh pemimpin sosial, politik, dan militer yang besar

seperti Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, dan Mohandas Gandhi (Northouse, 2017). Para pendukung pandangan ini menegaskan bahwa kualitas

kepemimpinan karena diwarisi, bukan karena belajar dan karakteristik ini membedakan pemimpin dari pengikut (Kirkpatrick & Locke, 199)

Menurut teori ini jika seseorang dilahirkan sebagai pemimpin maka ia akan menjadi pemimpin. Teori orang besar menyatakan bahwa seseorang menjadi pemimpin karena dia keturunan orang besar. Sesorang diangkat sebagai pemimpin karena warisan dari orangtuanya secara turun temurun. Contoh anak raja akan menjadi raja.

2. Teori Sifat (Trait Theories)

Upaya sistematis pertama untuk mempelajari kepemimpinan dimulai sejak awal abad kedua puluh ketika pandangan teori “orang besar” berkembang secara formal menjadi teori-teori sifat (Northouse, 2017). Pendekatan sifat ditekankan

(23)

23

pada identifikasi atribut “pemimpin besar” seperti kepribadian, motif, nilai-nilai, dan keterampilan (Yukl, 2015).

Robbins dan Coulter ( 2010) menyebutkan bahwa fokus riset kepemimpinan pada tahun 1920-an dan 1930-an terletak pada memahami sifat pemimpin yaitu, karakteristik—yang dapat membedakan antara pemimpin dan non pemimpin.

Sifat-sifat yang dipelajari adalah fisik, penampilan, golongan sosial, stabilitas emosi, kelancaran berbicara, dan kemampuan bersosial. Terlepas dari usaha keras peneliti, memang mustahil mengidentifikasi sifat-sifat yang senantiasa membedakan seorang pemimpin dengan non pemimpin. Namun, usaha untuk mengidentifikasi secara konsisten sifat yang berkaitan dengan kepemimpinan (prosesnya, bukan pada orangnya) akhirnya berhasil.

Pendekatan sifat berfokus pada kualitas pemimpin tanpa mempertimbangkan kualitas atau perilaku pengikut atau situasi. Pendekatan ini menegaskan bahwa pemimpin dan kepribadian pemimpin adalah penting dalam proses kepemimpinan dan menekankan bahwa pemimpin yang memiliki sekelompok sifat tersebut sangat penting untuk kepemimpinan yang efektif (Northouse, 2017). Salah satu kekuatan dari pendekatan ini adalah fokusnya yang eksklusif pada pemimpin tanpa memperhatikan pengikut dan situasi. Fokus pada pemimpin memberikan pemahaman yang lebih dalam bagaimana ciri-ciri dan kepribadian pemimpin yang terkait dengan proses kepemimpinan. Penelitian yang berfokus pada pendekatan ini juga mengidentifikasi tolok ukur untuk mengidentifikasi sifat-sifat yang menghasilkan pemimpin yang baik (Kirkpatrick &

Locke, 1991).

(24)

24

Berbagai hasil penelitian tentang teori sifat ini mendapat berbagai kritik dari para peneliti. Dari ratusan penelitian yang dikumpulkan sejak pertengahan tahun 1900-an tidak ada penemuan ciri atau sifat yang konsisten yang menjadi ciri atau sifat seorang pemimpin yang menjamin efektifitas dan keberhasilannya sebagai pemimpin (Stogdill, 1948).

Robbins dan Coulter ( 2010) menyebutkan bahwa para peneliti akhirnya memahami bahwa sifat itu sendiri tidak cukup membantu dalam mengidentifikasi pemimpin yang efektif karena penjelasan yang semata-mata berdasarkan sifat mengesampingkan interaksi antara pemimpin dengan anggota kelompoknya yang juga merupakan faktor situasional. Dengan memiliki sifat yang tepat, maka kemungkinan besar seorang individu dapat menjadi seorang pemimpin yang efektif. Oleh karena itu, penelitian kepemimpinan pada akhir tahun 1940-an sampai pertengahan tahun 1960-an lebih berkonsentrasi pada jenis perilaku yang ditunjukkan oleh pemimpin. Peneliti ingin mengetahui apakah ada keunikan dalam hal yang dilakukan oleh pemimpin yang efektif-atau dengan kata lain, dalam perilaku mereka.

3. Pendekatan Pengaruh - Kekuasaan

Pendekatan kepemimpinan lain yang berpusat pada pemimpin adalah pendekatan kekuasaan-pengaruh. Pendekatan ini difokuskan pada kemampuan pemimpin untuk mempengaruhi keyakinan orang lain, sikap, dan tindakan dari bawahan melalui penggunaan kekuasaan dan pengaruh (Bass, 1960; France &

Raven, 1959). Kekuasaan tidak hanya digunakan untuk mempengaruhi bawahan tetapi untuk mempengaruhi rekan-rekan, atasan, dan orang-orang di luar

(25)

25

organisasi (Yukl, 2015). Seperti yang disebutkan Yukl (2015) pengaruh merupakan inti kepemimpinan dan kepemimpinan yang efektif sangat tergantung pada kemampuan pemimpin untuk mempengaruhi orang lain agar mampu menjalankan permintaan, mendukung proposal, dan mengimplementasikan kebijakan dari pemimpin. Bass (1960) menyatakan bahwa ada dua jenis kekuasaan: kekuasaan posisi dan kekuasaan pribadi. Kekuasaan posisi adalah kekuasaan seorang pemimpin yang diperoleh berdasarkan peringkat tertentu atau posisi dalam organisasi. Kekuasaan pribadi adalah kekuasaan yang berasal dari pengikut. Selain kekuasaan yang diperoleh pemimpin karena pangkat atau posisi, kekuasaan posisi diidentifikasi juga terjadi termasuk karena kontrol atas : sumber daya dan manfaat, informasi, dan lingkungan kerja fisik. Kekuasaan pribadi juga termasuk pengaruh dari keahlian dalam tugas serta persahabatan dan loyalitas (Yukl, 2015).

Lima tipe umum dari kekuasaan diidentifikasi: (a) reward, (b) paksaan (koersif), (c) legitimasi, (d) rujukan, dan (e) keahlian. Kekuasan reward (imbalan) adalah kendali pemimpin atas sumber daya penting dan manfaat yang mungkin diinginkan oleh orang yang menjadi target. Seorang pemimpin dengan kekuasaan koersif memiliki otoritas atas hukuman. Kekuasaan legitimasi datang sebagai hasil dari wewenang formal pemimpin untuk membuat perintah. Kekuasaan rujukan datang dari keinginan orang yang menjadi target untuk menyenangkan pemimpin dan mendapatkan persetujuan dari seseorang yang dihormati dan dikagumi. Kekuasaan karena keahlian berasal dari pengakuan tingkat keterampilan pemimpin yang dibutuhkan pada tugas tertentu (Yukl, 2015).

(26)

26

Selain lima kategori ini, Yukl (2015) juga mengidentifikasi kategori baru kekuasaan, kekuasaan ekologi, yang memberikan kontrol pemimpin atas lingkungan fisik, teknologi, dan lingkungan kerja organisasi. Kekuasaan keahlian berasal dari pengakuan tingkat keterampilan pemimpin yang dibutuhkan pada tugas tertentu (Yukl, 2015). Selain lima kategori ini, Yukl (2015) juga mengidentifikasi kategori baru kekuasaan, kekuasaan ekologi, yang memberikan kontrol pemimpin atas fisik lingkungan, teknologi, dan organisasi lingkungan kerja.

Salah satu kekuatan dari teori kekuasaan-pengaruh adalah fleksibilitas dari kategori baru kekuasaan ekologi yang diidentifikasi oleh Yukl (2015). Kontrol atas lingkungan fisik, teknologi, dan lingkungan organisasi kerja memungkinkan untuk modifikasi desain pekerjaan untuk meningkatkan motivasi karyawan yang kemudian dapat meningkatkan kualitas kerja dan kepuasan (Yukl, 2015).

Kelemahan dari teori kekuasan - pengaruh pemimpin adalah pandangan bahwa pemimpin sebagai pengendali dan manipulatif tanpa kepedulian terhadap kebutuhan atau motivasi dari para pengikut (Yukl, 2015).

4. Teori Perilaku (Behavioral Theories)

Penelitian mengenai pendekatan kepemimpinan perilaku dimulai pada tahun 1950 dan merupakan tanggapan terhadap ketidakmampuan teori sifat untuk mendefinisikan dan mendeskripsikan kepemimpinan. Penelitian selama periode ini difokuskan pada dua kategori yang secara luas didefinisikan sebagai perilaku:

hubungan perilaku (disebut sebagai “pertimbangan” oleh Stogdill, 1974) dan perilaku tugas (disebut sebagai “struktur memprakarsai” oleh Stogdill, 1974).

Tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk menjelaskan bagaimana para

(27)

27

pemimpin mengkoordinasikan dua perilaku tersebut untuk mempengaruhi bawahan dalam upaya mereka untuk mencapai tujuan.

Para peneliti berharap bahwa pendekatan teori perilaku dapat memberikan jawaban yang lebih pasti mengenai sifat dasar kepemimpinan daripada teori sifat.

Beberapa studi dilakukan pada 1950-an dan 1960-an oleh para peneliti di Ohio State University dan University of Michigan untuk menentukan bagaimana para pemimpin dapat membuat kombinasi terbaik antara perilaku hubungan dan perilaku tugas (Hemphill & Coons, 1957; Katz & Kahn, 1952; Katz, Maccoby, Gurin, & Floor, 1951; Katz, Maccoby & Morse, 1950). Namun, hasil penelitian ini saling bertentangan dan tidak jelas (Yukl, 2015).

a. Penelitian Universitas Iowa.

Robbins dan Coulter ( 2010) menyebutkan penelitian Universitas Iowa, yang diselenggarakan di Amerika Serikat, meneliti tiga gaya kepemimpinan untuk menemukan gaya kepemimpinan yang paling efektif. Gaya autokrasi menggambarkan pemimpin yang mendikte metode kerja, membuat keputusan sepihak, dan membatasi partisipasi karyawan. Gaya demokratis menggambarkan pemimpin yang melibatkan karyawan dalam membuat keputusan, mendelegasikan wewenang, dan menggunakan umpan balik sebagai kesempatan untuk melatih karyawan. Terakhir, gaya laissez-faire (arti harfiahnya biarkan terjadi), menggambarkan pemimpin yang memberikan kesempatan kepada kelompok untuk membuat keputusan dan menyelesaikan pekerjaan dengan cara apa pun yang menurut mereka pantas. Dari hasil riset para peneliti menunjukkan bahwa gaya demokratis menghasilkan kinerja yang baik, baik dalam kuantitas

(28)

28

maupun kualitas perkerjaan. Namun demikian, Robbins dan Coulter ( 2010) menunjukkan bahwa kajian lanjutan mengenai gaya autokrasi dan demokratis menunjukkan hasil yang bervariasi. Dalam beberapa penelitian gaya demokratis terkadang menghasilkan tingkat prestasi lebih tinggi dari gaya autokrasi, tetapi penelitian lain menunjukkan hasil yang berbeda. Namun, hasil yang lebih konsisten didapatkan saat pengukuran tingkat kepuasan karyawan dilakukan.

Anggota kelompok merasa lebih puas di bawah pemimpin yang demokratis daripada autokratis. Dilemma antara kepuasan karyawan dan kinerja bawahan ini mendorong dilakukannya penelitian mengenai kunci karakteristik kajian perilaku yang lain.

b. Penelitian Ohio State.

Dalam salah satu studi Ohio State, Hemphill dan Coons (1957) menganalisis bagaimana pemimpin berperilaku dengan memberikan kuesioner lengkap kepada bawahan tentang pemimpin. Kuesioner yang terdiri dari 150 pertanyaan tersebut kemudian dikenal dengan Leader Behaviour Description Questionnaire (LBDQ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekelompok perilaku yang khas ditunjukkan oleh seorang pemimpin. Studi ini mengidentifikasi dua tipe umum: inisiasi struktur (perilaku tugas) dan pertimbangan (hubungan perilaku) (Stogdill, 1974). Lebih lanjut Robbins dan Coulter (2010) menjelaskan dimensi pertama yang disebut inisiasi struktur (initiating structure), mengacu pada sejauh mana pemimpin menentukan perannya dan peran anggota kelompok dalam mencapai tujuan. Inisiasi struktur mencakup perilaku yang berusaha mengorganisasi pekerjaan, hubungan kerja, dan tujuan. Dimensi kedua adalah

(29)

29

konsiderasi (consideration), sejauh mana pemimpin memiliki hubungan kerja dengan karakteristik saling percaya dan rasa hormat terhadap gagasan dan perasaan anggota kelompok. Pemimpin yang memiliki perhatian tinggi bersedia membantu anggota kelompok dengan masalah pribadinya, bersahabat dan mudah didekati, dan memperlakukan seluruh anggota kelompok dengan setara.

Pemimpin memperhatikan (memikirkan) kenyamanan, kesejahteraan, status, dan kepuasan aggotanya. Peneliti menemukan bahwa pemimpin yang memiliki konsiderasi dan inisiasi struktur yang tinggi (disebut seorang high-high leader) sering kali mencapai kinerja dan kepuasan kelompok yang tinggi pula, namun itu tidak selalu terjadi.

c. Penelitian Universitas Michigan.

Robbins dan Coulter ( 2010) menyebutkan bahwa penelitian kepemimpinan yang dilaksanakan di Universitas Michigan, Amerika Serikat pada saat yang hampir bersamaan dengan penelitian yang dilakukan di negara bagian Ohio, juga berusaha mengidentifikasi karakteristik perilaku pemimpin yang berkaitan dengan efektivitas kinerja. Para peneliti di University of Michigan melakukan serangkaian penelitian untuk mengeksplorasi bagaimana kepemimpinan berfungsi dalam kelompok-kelompok kecil (Katz & Kahn, 1952; Katz, Maccoby, Gurin, & Floor, 1951; Katz, Maccoby & Morse, 1950). Grup Michigan juga menghasilkan 2 dimensi perilaku kepemimpinan, yang diberi nama orientasi pada karyawan dan orientasi pada produksi. Pemimpin yang berorientasi karyawan menekankan pada relasi antarpribadi. Sementara itu, pemimpin berorientasi produksi menekankan pada aspek pekerjaan. Hal ini juga mengidentifikasi kemampuan mereka untuk

(30)

30

memfasilitasi pencapaian tujuan dan mencapai tujuan (Bensimon, Neumann, &

Bimbaum, 1989; Reddin, 1967). Perilaku ini termasuk kegiatan seperti mengarahkan, mengkoordinasikan, perencanaan, dan pemecahan masalah.

Tidak seperti penelitian lainnya, penelitian Michigan berkesimpulan bahwa pemimpin yang berorientasi pada karyawan mampu mencapai produktivitas dan kepuasan anggota kelompok yang tinggi.

d. Grid Manajerial

Dimensi perilaku yang telah dijelaskan sebelumnya menghasilkan dasar pengembangan dari grid dua dimensi untuk menilai gaya kepemimpinan.

Robbins dan Coulter ( 2010) menyebutkan bahwa grid manajerial menggunakan dimensi perilaku “perhatian pada orang“ dan “perhatian pada produksi” dan mengevaluasi manfaat perilaku pemimpin ini dengan membuat ranking skala dari 1 (rendah) ke 9 (tinggi). Walaupun grid ini memiliki 81 potensi kategori di mana gaya perilaku pemimpin mungkin berada, hanya 5 gaya yang diberikan nama, yaitu: manajemen yang lemah (impoverished management) (1,1), manajemen tugas (task management) (9,1), Manajemen middle-of-the-road (5,5), manajemen country club (1,9), dan manajemen tim (9,9). Dari kelima gaya ini, para peneliti berkesimpulan bahwa manajer dapat menghasilkan kinerja terbaik saat menggunakan gaya 9,9. Sayangnya, grid ini tidak menjelaskan mengenai apa yang menjadikan seorang manajer seorang pemimpin yang efektif. Grid ini hanya dapat memberikan kerangka kerja konsep gaya kepemimpinan. Bahkan hanya ada sedikit bukti yang mendukung kesimpulan bahwa gaya 9,9 paling efektif pada berbagai situasi.

(31)

31

Northouse (2017) menyebutkan kekuatan pendekatan perilaku diantaranya bahwa pendekatan perilaku menandai perubahan besar dalam fokus umum kepemimpinan untuk menyertakan perilaku pemimpin. Pendekatan ini mengurangi penekanan pada karakteristik pribadi pemimpin dan lebih menekankan pada tugas dan perilaku pemimpin. Berbagai studi memberi kredibilitas prinsip dasar dari pendekatan ini seperti yang dibuktikan oleh studi Ohio State University dan Universitas Michigan, dan kemudian dalam studi yang dilakukan oleh Blake dan Mouton (1985) dan Blake dan McCanse (1991).

Namun pendekatan perilaku juga tidak lepas dari kritik dan kelemahan karena dalam penelitian belum menunjukkan bagaimana perilaku pemimpin dikaitkan dengan hasil kinerja (Northouse, 2017; Yukl, 2015). Sebuah hubungan yang konsisten antara tugas dan hubungan perilaku dan hasil seperti moral, kepuasan kerja, dan produktivitas belum begitu jelas (Yukl, 2015). Studi penelitian tidak dapat menentukan gaya universal kepemimpinan dan perilaku yang akan efektif dalam setiap situasi (Northouse, 2017). Pendekatan perilaku menyiratkan bahwa bahwa gaya kepemimpinan yang paling efektif adalah kombinasi dari tugas tinggi dan hubungan tinggi, walaupun belum cukup terbukti (Yukl, 2015).

Para peneliti kepemimpinan menemukan bahwa untuk dapat meramal kesuksesan dalam kepemimpinan ternyata berkaitan dengan sesuatu yang lebih kompleks dari pada mengisolasi beberapa sifat atau perilaku pemimpin. Para peneliti mulai mencari pengaruh-pengaruh situasi untuk mengetahui gaya kepemimpinan apa yang mungkin lebih sesuai dalam situasi yang berbeda.

(32)

32 5. Teori Keterampilan

Peneliti telah memelajari keterampilan kepemimpinan selama bertahun- tahun baik secara langsung maupun tidak (lihat Bass, 1990, hal. 97-109). Tetapi, motivasi untuk penelitian tentang keterampilan adalah artikel klasik yang diterbitkan oleh Robert Katz di Harvard Business Review pada tahun 1955 yang bertajuk "Skills of an Effective Administrator." Artikel Katz adalah upaya untuk mengatasi masalah sifat dengan membicarakan kepemimpinan sebagai kumpulan keterampilan yang dapat dikembangkan (Northouse, 2017). Berdasarkan penelitian lapangan dalam administrasi dan pengamatan pribadinya tentang eksekutif di tempat kerja, Katz (1995, h. 34) menyatakan, bahwa administrasi yang efektif (yaitu kepemimpinan) tergantung pada tiga keterampilan pribadi dasar:

teknis, manusia, dan konseptual. Katz menyatakan bahwa keterampilan ini cukup berbeda dari sifat atau karakter pemimpin. Keterampilan adalah apa yang bisa dicapai pemimpin, sementara sifat adalah apa yang membentuk diri pemimpin (yaitu karakteristik yang mereka miliki sejak lahir) (Northouse, 2017).

Dengan menegaskan bahwa keefektifan kepemimpinan ditentukan oleh tiga ketrampilan tersebut di atas maka setiap pemimpin harus fokus pada upaya menguasai ketiga keterampilan tersebut. Secara ringkas tiga keterampilan yang harus dikuasai tersebut disajikan pada Tabel 4 (Usman, 2019).

Perkembangan lebih lanjut dalam teori keterampilan ini memunculkan kebutuhan keterampilan baru yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin (Mumford et al., 2000a). Ketiga kompetensi tersebut adalah keterampilan dalam pemecahan masalah, penilaian sosial dan keterampilan pengetahuan. Berbeda

(33)

33

dengan pendekatan sifat yang memfokuskan kepemimpinan sebagai suatu sifat yang dimiliki oleh segelintir orang, teori kepemimpinan keterampilan ini memberikan pola pikir baru bahwa kepemimpinan dapat dipelajari oleh siapa saja yang menginginkannya.

Namun demikian walaupun pendekatan keterampilan disebutkan sebagai pendekatan baru apabila dicermati lebih lanjut komponen utama dari penelitian Mumford et al. (2000a) mengenai keterampilan tetaplah pada atribut individu yang mirip sifat sehingga pendekatan berbasis keterampilan masih tetap didorong oleh sifat (Northouse, 2017).

Tabel 4. Keterampilan yang dimiliki oleh pemimpin

Keterampilan Teknik: pengetahuan tentang metode-metode, proses-proses, prosedur-prosedur, dan Teknik-teknik untuk melaksanakan kegiatan khusus, dan kemampuan menggunakan alat dan perlengkapan relevan dengan kegiatan tersebut.

Keterampilan sosial: pengetahuan tentang perilaku manusia dan proses interpersonal; memahami perasaan-perasaan, sikap-sikap, dan motif-motif orang lain dari yang dia ucapkan dan lakukan (empati, kepekaan sosial); kemampuan berkomunikasi secara jelas dan efektif (pandai berbicara, persuasif); kemampuan memantapkan secara efektif dan hubungan kerja sama (taktis, diplomasi, keterampilan mendengarkan, pengetahuan tentang perilkau sosial yan dapat diterima)

Konseptual skill: kemampuan menganalisis secara umum, berpikir logis, ahli dalam merumuskan an memiliki konsep hubungan yang kompleks dan membingungkan; kreatif dalam memecahkan masalah dan ide-ide, mampu menganalisis peristiwa-peristiwa dan merasakan kecenderungan-kecenderungan, antisipaasi terhadap perubahan, dan mengenal peluang-peluang dan masalah- masalah potensial (induktif dan deduktif)

Sumber : Usman, 2019

Walaupun pendekatan keterampilan dinilai memiliki keunggulan, seperti halnya teori kepemimpinan lain yang memiliki kelemahan, teori kepemimpinan keterampilan juga mendapat sejumlah kritik (Northouse, 217). Pertama, cakupan

(34)

34

pendekatan keterampilan dinilai meluas hingga keluar dari batasan kepemimpinan, misalnya karena memasukkan motivasi, pemikiran kritis, kepribadian, dan penanganan konflik, sehingga pendekatan keterampilan membicarakan lebih dari sekadar kepemimpinan. Kedua, terkait dengan kritik pertama, model keterampilan ini lemah dalam nilai analitis. Hal itu tidak menjelaskan secara spesifik bagaimana variasi dalam keterampilan penilaian sosial dan keterampilan pemecahan masalah memengaruhi kinerja. Model itu menyatakan bahwa komponen ini terkait, tetapi hal itu tidak menggambarkan dengan akurat bagaimana hal itu berfungsi. Intinya, model mungkin salah karena hal itu tidak menjelaskan bagaimana keterampilan menghasilkan kinerja kepemimpinan yang efektif.

6. Teori Kepemimpinan Transaksional (Transactional Leadership Theory) Robbins dan Coulter ( 2010) menyebutkan bahwa pemimpin transaksi mengarahkan atau memotivasi bawahannya untuk bekerja mencapai tujuan dengan memberikan penghargaan atas produktivitas mereka. Sedangkan menurut Solihin ( 2009) teori ini menyatakan bahwa para karyawan akan termotivasi oleh imbalan maupun hukuman. Sistem sosial termasuk organisasi akan berjalan dengan baik apabila terdapat sebuah rantai komando yang jelas.

Pada saat seseorang bekerja di sebuah perusahaan, bagian dari kesepakatan kerja antara karyawan dengan atasannya adalah bahwa ia akan tunduk kepada wewenang atasan. Dengan demikian bawahan akan bersedia untuk melaksanakan apa yang diperintahkan oleh atasannya.

Menurut teori ini, seorang pemimpin akan dapat menjalankan

(35)

35

kepemimpinannya dengan efektif apabila ia mampu mengembangkan struktur kerja yang jelas sehingga para manajer tersebut akan dapat merumuskan dengan tepat apa saja yang dibutuhkan oleh para bawahan agar bisa melaksanakan pekerjaan dengan baik serta memberi imbalan yang sesuai dengan kinerja yang ditunjukkan. Demikian pula manajer dapat memberikan sanksi bagi para karyawan yang tidak dapat mencapai standar kinerja yang telah ditetapkan (Solihin, 2009).

7. Teori Kepemimpinan Transformasional (Transformational Leadership Theory)

Menurut Solihin ( 2009) teori kepemimpinan transformasi didasari oleh hasil penelitian mengenai adanya perilaku kepemimpinan di mana para pemimpin yang kemudian dikategorikan sebagai pemimpin transformasi (transformational leader) memberikan inspirasi kepada sumber daya manusia yang lain dalam organisasi untuk mencapai sesuatu melebihi apa yang direncanakan oleh organisasi. Pemimpin transformasi juga merupakan pemimpin visioner yang mengajak sumber daya manusia organisasi bergerak menuju visi yang dimiliki oleh pemimpin. Para pemimpin transformasi lebih mengandalkan karisma dan kewibawaan (referent power) dalam menjalankan kepemimpinannya.

Karakteristik pemimpin transformasi memiliki perbedaan dengan pemimpin transaksi, yaitu pemimpin transaksi biasanya mengarahkan sumber daya manusia untuk mencapai sesuatu sesuai dengan rencana dan lebih mengandalkan kepemimpinannya kepada kekuasaan legitimasi (legitinuite power) atau otoritas formal (formal authority).

(36)

36

Munculnya kepemimpinan transformasional dimulai dengan buku Burns (1978) tentang kepemimpinan. Dia memandang peran kepemimpinan dan followership saling berhubungan dan melihat kepemimpinan transformasional sebagai proses ketika “satu atau lebih orang terlibat dengan orang lain sedemikian rupa dimana para pemimpin dan pengikut saling menaikkan motivasi dan moralitas satu sama lain ke tingkat yang lebih tinggi” (hal. 20) . Kepemimpinan transformasional dipandang sebagai proses yang berubah dan mengubah individu dalam suatu organisasi. Pemimpin transformasional peduli dengan nilai-nilai, etika, standar, dan tujuan jangka panjang dan juga fokus pada penilaian motif pengikut, memuaskan kebutuhan mereka, dan memperlakukan mereka sebagai manusia seutuhnya (Bums, 1978).

Bass (1985) memperluas dan menyempurnakan kepemimpinan transformasional dengan lebih terfokus pada kebutuhan para pengikut daripada kebutuhan pemimpin. Bass (1985) menyatakan bahwa seorang pemimpin dapat memotivasi pengikutnya dengan (a) meningkatkan kadar kesadaran pengikut tentang pentingnya dan nilai dari target yang ditetapkan dan yang diidealkan, (b) menjadikan pengikut untuk melampaui kepentingan mereka sendiri demi tim atau organisasi, dan (c) menggerakkan pengikut untuk memenuhi tingkat kebutuhan yang lebih tinggi.

Bass (1985) mengidentifikasi empat faktor yang yang menjadi ciri kepemimpinan transformasional: pengaruh idealisasi, motivasi inspirasional, stimulasi intelektual, dan pertimbangan individual. Faktor pengaruh idealisasi merujuk pada pemimpin yang menjadi model dengan standar moral dan etika tinggi. Selain itu, pemimpin dihormati dan dipercaya oleh pengikut dan menjadi

(37)

37

penyedia misi dan visi. Motivasi inspirasional menjadi ciri pemimpin yang menciptakan semangat tim dan inspirasi dalam mendorong komitmen untuk dan menjadi visi bersama.

Sebuah teks pada strategi kepemimpinan transformasional yang sering dikutip adalah Bennis dan Nanus (Northouse, 2017; Yukl, 2015) . Para penulis mencatat karya Bums (1978) sebagai pemberi kontribusi besar dalam penelitian mereka. Dalam penelitian tersebut 90 pemimpin diminta serangkaian pertanyaan yang hasilnya mengidentifikasi empat strategi interaktif yang umum digunakan oleh para pemimpin dalam pengaturan grup. Hal tersebut adalah (a) perhatian melalui visi, (b) makna melalui komunikasi, (c) kepercayaan melalui positioning, dan (d) penyebaran diri. Sayangnya, Bennis dan Nanus (1985) tidak menjelaskan setiap karakteristik pemimpin yang dipilih. Selain itu tidak ada penjelasan tentang bagaimana data dianalisis.

Yukl (2015) mengidentifikasi tujuh pedoman bagi pemimpin transformasional berdasarkan tinjauan teori dan temuan penelitian tentang kepemimpinan transformasional. Yukl menemukan bahwa pemimpin transformasional (a) mengartikulasikan visi yang jelas dan menarik, (b) menjelaskan bagaimana visi dapat dicapai, (c) bertindak percaya diri dan optimis, (d) menunjukkan keyakinannya kepada pengikut, (e) menggunakan aksi dramatis, tindakan simbolik untuk menekankan nilai-nilai kunci, (f) memimpin dengan contoh, dan (g) memberdayakan orang untuk mencapai visi. Akibatnya, pengikut termotivasi dan merasa percaya, kagum, setia dan menghormati pemimpin.

Robbins dan Coulter ( 2010) menyatakan bahwa kepemimpinan transaksi dan

Referensi

Dokumen terkait

A. Memeriksa semua informasi yang dikumpulkan dari berbagai sumber informasi sekunder.. nengumpulkan semua informasi dalam unit sesuai dengan masalah yang

Walaupun dahulu dipandang sebagai gangguan mental, penelitian selama beberapa puluh tahun menemukan bahwa tidak ada hubungan antara orientasi homoseksual dengan masalah

Ilyas (2000), menyatakan perawat merupakan salah satu tenaga medis di rumah sakit yang memberikan pelayanan untuk menunjang kesembuhan pasien, dapat dikatakan

“X”, menemukan bahwa 80% (8 orang) yang menghayati bahwa tuntutan target merupakan hal yang menekan dan Medical Representative akan merasa cemas (menimbulkan

a. Menemukan data dan Informasi tentang Hubungan Pengawasan dengan kinerja pegawai Sub Bagian Umum dan Kepegawaian Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota

Menurut Mulyani Sumantri (2001: 124) metode diskusi diartikan sebagai siasat “penyampaian” bahan pengajaran yang melibatkan peserta didik untuk membicarakan dan menemukan

Dengan adanya kompetisi adu bakat yang ditayangkan di televisi, masyarakat Indonesia semakin tahu bahwa anak-anak bangsa memiliki banyak sekali prestasi di berbagai

Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara karakteristik mahasiswa angkatan 2020 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia dengan